• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-faktor yang Menyebabkan Terjadinya Perkawinan Usia Muda Dikalangan Remaja di Desa Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Faktor-faktor yang Menyebabkan Terjadinya Perkawinan Usia Muda Dikalangan Remaja di Desa Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Faktor Sosial Ekonomi 2.1.1. Pengertian Sosial Ekonomi

Kata sosial berasal dari kata “socius” yang artinya kawan (teman). Dalam hal ini

arti kawan bukan terbatas sebagai teman sepermainan, teman sekelas, teman sekampung

dan sebagainya. Yang dimaksud kawan disini adalah mereka (orang-orang) yang ada di

sekitar kita, yakni yang tinggal dalam satu lingkungan tertentu dan mempunyai sifat yang

saling mempengaruhi (Wahyuni, 1986 : 60).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata sosial berarti segala sesuatu yang

berkenaan dengan masyarakat (KBBI, 2002 : 1454). Sedangkan kata sosial menurut

Departemen Sosial adalah segala sesuatu yang dipakai sebagai acuan dalam berinteraksi

antar manusia dalam konteks masyarakat atau komuniti, sebagai acuan berarti sosial

bersifat abstrak yang berisi simbol-simbol berkaitan dengan pemahaman terhadap

lingkungan, dan berfungsi untuk mengatur tindakan-tindakan yang dimunculkan oleh

individu-individu sebagai anggota suatu masyarakat. Sehingga dengan demikian, sosial

haruslah mencakup lebih dari seorang individu yang terikat pada satu kesatuan interaksi,

karena lebih dari seorang individu berarti terdapat hak dan kewajiban dari masing-masing

individu yang saling berfungsi satu dengan lainnya (http://www.depsos.go.id diakses pada pukul 14.25 WIB, 18 April 2012).

(2)

cara mengatur rumah tangga. Ini adalah pengertian yang paling sederhana. Namun seiring

dengan perkembangan dan perubahan masyarakat, maka pengertian ekonomi juga sudah

lebih luas. Ekonomi juga sering diartikan sebagai cara manusia untuk memenuhi

kebutuhan sehari-hari. Jadi dapat dikatakan bahwa ekonomi bertalian dengan proses

pemenuhan keperluan hidup manusia sehari-hari (http://id.wikipedia.org/Ilmu_ekonomi,

diakses pada pukul 19.32 WIB, 19 April 2012).

Menurut istilah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ekonomi berarti segala

sesuatu tentang azas-azas produksi, distribusi dan pemakaian barang-barang serta

kekayaan (seperti perdagangan, hal keuangan dan perindustrian) (KBBI, 2002 : 379). Dari

beberapa pengertian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa sosial ekonomi dapat diartikan

sebagai segala sesuatu yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat, antara

lain dalam sandang, pangan, perumahan, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain.

Pemenuhan kebutuhan yang dimaksud berkaitan dengan penghasilan. Hal ini disesuaikan

dengan penelitian yang dilakukan.

Kehidupan sosial ekonomi harus di pandang sebagai sistem (sistem sosial) yaitu

satu keseluruh bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berhubungan dalam suatu

kesatuan. Kehidupan sosial adalah kehidupan bersama manusia atau kesatuan manusia

yang hidup dalam suatu pergaulan. Interaksi ini pertama sekali terjadi pada keluarga

dimana ada terjadi hubungan antara ayah, ibu dan anak. Dari adanya interaksi antara

anggota keluarga maka akan muncul hubungan dengan masyarakat luar. Pola hubungan

interaksi ini tentu saja di pengaruhi lingkungan dimana masyarakat tersebut bertempat

tinggal. Di dalam masyarakat pedesaan kita ketahui interaksi yang terjadi lebih erat

(3)

interaksi biasanya lebih dieratkan oleh status, jabatan atau pekerjaan yang dimiliki. Hal

ini menyebabkan terjadinya stratifikasi sosial di dalam masyarakat.

Keberadaan seperti hal diatas mempengaruhi gaya hidup seseorang, tentu saja

termasuk dalam berperilaku dan dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Seperti yang

dikatakan oleh beberapa ahli mengenai konsumsi dan gaya hidup. Konsumsi terhadap

suatu barang menurut Weber merupakan gambaran hidup dari kelompok atau status

tertentu (Kartono, 1992 : 137).

Melly. G. Tan mengatakan untuk melihat kedudukan sosial ekonomi adalah

pekerjaan, penghasilan, dan pendidikan. Berdasarkan ini masyarakat itu dapat

digolongkan kedalam kedudukan sosial ekonomi rendah, sedang dan tinggi (Tan dalam

Koentjaraningrat, 1981 : 35).

1. Golongan masyarakat berpenghasilan rendah. Yaitu masyarakat yang menerima

pendapatan lebih rendah dari keperluan untuk memenuhi tingkat hidup yang

minimal. Untuk memenuhi tingkat hidup yang minimal, mereka perlu

mendapatkan pinjaman dari orang lain. Karena tuntutan kehidupan yang keras,

kehidupan remajanya menjadi agresif. Sementara itu, orang tua yang sibuk

mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan ekonomi tidak sempat memberikan

bimbingan dan melakukan pengawasan terhadap perilaku putra-putrinya, sehingga

remaja cenderung dibiarkan menemukan dan belajar sendiri serta mencari

pengalaman sendiri.

2. Golongan masyarakat berpenghasilan sedang. Yaitu pendapatan yang hanya

(4)

3. Golongan masyarakat berpenghasilan tinggi. Yaitu selain dapat memenuhi

kebutuhan pokok, juga sebagian dari pendapatannya itu dapat ditabungkan dan

digunakan untuk kebutuhan yang lain. Remaja dalam golongan ini sering berada

dalam kemewahan yang berlebihan. Remaja dengan mudahnya mendapatkan

segala sesuatu. Membuatnya kurang menghargai dan menganggap sepele, yang

dapat menciptakan kehidupan berfoya-foya, sehingga anak dapat terjerumus

dalam lingkungan antisosial. Kemewahan membuat anak menjadi terlalu manja,

lemah secara mental, tidak mampu memanfaatkan waktu luang dengan hal-hal

yang bermanfaat. Situasi demikian menyebabkan remaja menjadi agresif dan

memberontak, lalu berusaha mencari kompensasi atas dirinya dengan melakukan

perbuatan yang bersifat melanggar.

2.2. Faktor Pendidikan 2.2.1 Defenisi Pendidikan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991), pendidikan diartikan pemahaman

proses pembelajaran bagi individu untuk mencapai pengetahuan dan pemahaman sebagai

yang lebih tinggi mengenai obyek – obyek tertentu dan spesifik. Pengetahuan tersebut diperoleh secara formal yang berakibat individu mempunyai pola pikir dan perilaku

sesuai dengan pendidikan yang telah diperolehnya.

Secara umum pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana

belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi

dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,

kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.

(5)

dilihat tetapi labih mendalam yaitu pemberian pengetahuan, pertimbangan dan

kebijaksanaan. Salah satu dasar utama pendidikan adalah untuk mengajar kebudayaan

melewati generasi.

Ada dua faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan, khusunya di Indonesia yaitu :

1. Faktor internal, meliputi jajaran dunia pendidikan baik itu Departemen Pendidikan

Nasional, Dinas Pendidikan Daerah, dan juga sekolah yang berada di garis depan.

Dalam hal ini, interfensi dari pihak – pihak yang terkait sangatlah dibutuhkan agar pendidikan senantiasa selalu terjaga dengan baik.

2. Faktor eksternal, adalah masyarakat pada umunya yang merupakan ikon pendidikan

dan merupakan tujuan dari adanya pendidikan yaitu sebagai objek dari pendidikan.

(http://www.kavie-design.indonesianforum.net).

Dalam pengertian yang sederhana dan umum, makna pendidikan sebagai usaha

manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi pembawaan baik jasmani

maupun rohani sesuai dengan nilai – nilai yang ada di dalam masyarakat dan kebudayaan. Usaha-usaha yang dilakukan untuk menanamkan nilai – nilai tersebut serta mewariskannya pada generasi berikutnya untuk dikembangkan dalam hidup dan

kehidupan yang terjadi dalam suatu proses pendidikan atau dengan kata lain bahwa

pendidikan dapat diaartikan sebagai suatu hasil peradaban bangsa yang dikembangkan

atas dasar pandangan bangsa itu sendiri (nilai dan norma masyarakat) yang berfungsi

(6)

2.2.2. Tingkat Pendidikan

Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat

perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang

dikembangkan. Pendidikan di Indonesia mengenal tiga jenjang pendidikan, yaitu

pendidikan dasar (SD/MI/Paket A dan SLTP/MTs/Paket B), pendidikan menengah

(SMA/SMK/MA/Paket C), dan pendidikan tinggi. Meski tidak termasuk dalam jenjang

pendidikan, terdapat pula pendidikan anak usi dini, pendidikan yang diberikan sebelum

memasuki dasar. Jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk

mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan

pendidikan.

1. Pendidikan formal

Pendidikan formal merupakan pendidikan yang diselengarakan di sekolah – sekolah pada umumnya. Jalur pendidikan ini mempunyai jenjang pendidikan yang jelas, mulai

dari pendidikan dasar, pendidikan pertama, pendidikan menengah sampai pendidikan

tinggi.

2. Pendidikan non formal

Pendidikan non formal meliputi pendidikan dasar, dan pendidikan lanjutan.

Pendidikan dasar mencakup pendidikan keaksaraan dasar, keaksaraan fungsional, dan

keaksaraan fungsional, dan keaksaraan lanjutan paling banyak ditemukan dalam

pendidikan usia dini (PAUD), Taman Pendidikan Al Qur’an (TPA), maupun Pendidikan Lanjut Usia. Pemberantasan Buta Aksara (PBA) serta program paket A

(setara SD), paket B (setara B) merupakan pendidikan dasar. Pendidikan lanjutan

meliputi program paket C (setara SLTA), kursus, pendidikan vokasi, latihan

(7)

Pendidikan non formal mengenal pula Pusat Kegiatan Masyarakat (PKBM) sebagai

pangkalan program yang dapat berada di dalam kawasan setingkat atau lebih kecil

dari kelurahan/desa. PKBM berlaku untuk umum merupakan padanan dari

Community Learning Center (CLC) yang menjadi bagian komponen dari Community Center.

2.3 Faktor OrangTua

2.3.1 Peran dan Fungsi OrangTua

Anak – anak dan remaja sangat memerlukan perhatian dan bimbingan dalam menjalani masa remaja menuju masa depannya, sebuah masa yang selaku orangtua tidak

pernah tahu. Sepantasnyalah selaku orangtua memberikan bekal bekal kepada anak-anak

tersebut sehingga mereka dapat menjalani kehidupan dengan benar dan bahagia.

Berbagai masalah remaja yang muncul dewasa ini baik yang berhubungan dengan

perilaku seks, kecanduan obat dan kenakalan remaja lainnya disebabkan antara lain oleh

kurangnya perhatian dan bekal yang diterima oleh anak-anak dan remaja dari

orangtuanya, yang berawal dari masalah komunikasi antara ayah, ibu dan mereka.

Kebanyakan dari para orangtua merasa canggung dan kurang percaya diri untuk

mempersiapkan anak-anak mereka memasuki masa baligh atau dewasa karena

menganggap pembicaraan mengenai seks adalah tabu, sehingga segan membicarakannya

dan tidak tahu bagaimana cara memulai menyampaikannya.

Orangtua merupakan komponen keluarga yang terdiri dari Ayah dan Ibu, dan

merupakan hasil dari sebuah ikatan perkawinan yang sah yang dapat membentuk sebuah

keluarga. Orangtua merupakan guru yang paling utama ditemui oleh anak didalam

(8)

lingkungan masyrakat dan sebagainya. Artinya, orangtua memiliki tanggung jawab yang

lebih untuk mendidik, membimbing dan mngasuh anak – anak mereka untuk mencapai tahapan yang mengantarkan anaknya sebagai bekal menuju kehidupan masyarakat yang

lebih luas lagi. Orangtua yang mengajarkan nilai – nilai yang terkandung di dalam keluarganya kepada anak – anaknya dan memberi sanksi ketika anaknya melanggar aturan di dalam keluarga.

Orangtua memiliki fungsi penting bagi anak di dalam sebuah keluarga, fungsi – fungsi tersebut antara lain :

1. Fungsi Religius, artinya orangtua memiliki kewajiban untuk memperkenalkan dan

mengajak anak dan anggota lainnya kepada kehidupan beragama. Memberikan

penjelasan bahwa untuk melaksanakan fungsi ini, orangtua sebagai tokoh inti dalam

keluarga itu harus terlebih dahulu menciptakan iklim yang dapat religius dalam

lingkungan keluarga itu, yang dapat dihayati oleh seluruh anggota keluarga.

Orangtua merupakan komponen keluarga yang terdiri dari Ayah dan Ibu, dan

merupakan hasil dari sebuah ikatan perkawinan yang sah yang dapat membentuk sebuah

keluarga. Orangtua merupakan guru yang paling utama ditemui oleh anak didalam

keluarga sebelum si anak terjun ke dalam lingkungan yang lebih luas lagi, seperti

lingkungan masyrakat dan sebagainya. Artinya, orangtua memiliki tanggung jawab yang

lebih untuk mendidik, membimbing dan mngasuh anak – anak mereka untuk mencapai tahapan yang mengantarkan anaknya sebagai bekal menuju kehidupan masyarakat yang

(9)

Orangtua memiliki fungsi penting bagi anak di dalam sebuah keluarga, fungsi – fungsi tersebut antara lain :

2. Fungsi Religius, artinya orangtua memiliki kewajiban untuk memperkenalkan dan

mengajak anak dan anggota lainnya kepada kehidupan beragama. Memberikan

penjelasan bahwa untuk melaksanakan fungsi ini, orangtua sebagai tokoh inti dalam

keluarga itu harus terlebih dahulu menciptakan iklim yang dapat religius dalam

lingkungan keluarga itu, yang dapat dihayati oleh seluruh anggota keluarga.

3. Fungsi Edukatif, pelaksanaan fungsi edukatif di keluarga merupakan salah satu

tanggungjawab yang dipikul oleh orangtua. Sebagai salah satu unsur pendidikan

keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama bagi anak. Orangtua harus

mengetahui tentang pentingnya anak secara keseluruhan. Ditangan orangtuanyalah

masalah – masalah yang menyangkut anak, apakah dia akan tumbuh menjadi orang yang suka merusak dan menyeleweng atau si anak akan tumbuh menjadi orang yang

baik.

4. Fungsi Protekrif, biasanya orangtua memberikan gambaran pelaksanaan fungsi

lingkungan, yaitu dengan cara melarang atau menghindarkan anak dari perbuatan – perbuatan yang tidak diharapakan oleh orangtua, mengawasi atau membatasi

perbuatan anak dalam hal – hal tertentu, menganjurkan atau menyuruh mereka untuk melakukan perbuatan – perbuatan yang diharapkan oleh orangtua mereka, mengajak bekerja sama dan saling membantu, dan memberikan contoh dan teladan dalam hal – hal yang diharapkan oleh orangtua.

5. Fungsi Sosialisasi, tugas orangtua dalam mendidik setiap anaknya tidak saja

mencakup mengembangkan pribadi, agar menjadi pribadi yang baik tetapi meliputi

(10)

itu perlu dilaksanakan fungsi sosialisasi itu berarti orangtua memiliki kedudukan

sebagai penghubung anak dengan kehidupan sosial dan norma - norma sosial dan

membutuhkan fasilitas yang memadai.

6. Fungsi Ekonomis, meliputi : pemberian nafkah, perencanaan serta pembelajarannya.

Keadaan ekonomi keluarga mempengaruhi pula harapan orangtua akan masa depan

anak – anak mereka serta harapan anak – anak itu sendiri. Orangtua harus dapat mendidik anaknya agar dapat memberikan penghargaan yang tepat terhadap uang dan

pencariannya, diserta dengan pengertian kedudukan ekonomi keluarga secara nyata,

bila tahap perkembangan anak telah memungkinkan.

Berdasarkan dari penjelasan di atas mengenai fungsi orangtua terhadap anaknya

antara lain menanamkan kehidupan yang beragama, memberikan pendidikan dalam masa

perkembangan anak, terutama pada anak yang beranjak remaja, perlunya pendidikan

mengenai dunia remaja terhadap anak merupakan pendidikan yang paling mendasar yang

diberikan oleh orangtua kepada anaknya yang akan beranjak remaja, dengan begitu si

anak akan cenderung terbuka terhadap orangtua , orangtua juga berfungsi sebagai

penghubung dalam kehidupan sosial anak dan memberikan nafkah secara ekonomi demi

masa depan si anak.

2.4. Perkawinan

2.4.1. Definisi Penyesuaian Perkawinan

Penyesuaian dapat didefinisikan sebagai interaksi seseorang yang continue dengan

diri sendiri, dengan orang lain, dan dengan dunia anda (Calhoun & Acocella, 1995).

(11)

seseorang : tubuh, perilaku, dan pemikiran serta perasaaan diri sendiri adalah sesuatu

yang dihadapi individu setiap detik. Interaksi dengan orang lain, jelas berpengaruh pada

individu, sebagaimana individu juga berpengaruh terhadap orang lain. Interaksi dengan

dunia kita, penglihatan dan penciuman serta suara yang mengelilingi seseorang saat ia

menyelesaikan urusannya, mempengaruhi diri sendiri dan dunia atau lingkungannya.

Penyesuaian juga merupakan suatu proses psikologis dimana seseorang mengatur atau

memenuhi keinginan dan tantangan dan kehidupan sehari-hari (Witten & Lloyd, 2006).

Salah satu bentuk penyesuaian diri adalah penyesuaian terhadap perkawinan.

Penyesuaian perkawinan adalah suatu ”state” dimana seluruh perasaan bahagia

dan kepuasan suami dan istri terhadap pernikahan mereka dan antara mereka berdua.

Pasangan yang menikah memiliki banyak harapan, yang terkadang realistis tapi ada yang

tidak realistis. Penyesuaian pernikahan menuntut adanya kematangan dan tumbuh serta

berkembangnya pengertian diantara pasangan (Hashmi, Khurshid, Hassan, 2006).

Laswell dan Laswell mengatakan konsep dari penyesuaian pernikahan adalah dua

individu belajar untuk saling mengakomodasikan kebutuhan, keinginan dan harapan.

Penyesuaian pernikahan juga sebuah proses yang panjang karena setiap orang dapat

berubah sehingga setiap waktu masing-masing pasangan harus melakukan penyesuaian

pernikahan. Hoult juga mengatakan bahwa penyesuaian pernikahan merupakan

perubahan sikap dan tingkah laku pada masing-masing pasangan suami istri yang

menguntungkan untuk memenuhi harapan atau tujuan pernikahan (Wahyuningsih,

(12)

Berdasarkan beberapa pengertian penyesuaian perkawinan diatas, maka dapat

disimpulkan bahwa penyesuaian perkawinan merupakan poses interaksi dan sejumlah

perasaan suami dan istri terhadap pernikahan mereka, menyesuaikan diri, dan

mengembangkan serta menumbuhkan interaksi dan pencapaian kepuasan yang

maksimum terhadap hubungan yang mereka bentuk.

2.4.2. Landasan Hukum Perkawinan

Adapun yang menjadi dasar hukum perkawinan adalah :

1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

a. Pasal 1 :

Perkawinan adalah ikatan suami istri lahir-bathin antara seorang pria dengan

seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa).

Sebuah perkawinan diijinkan apabila seorang pria telah mencapai umur 19

tahun dan seorang wanita telah mencapai umur 16 tahun.

a. Pasal 2 :

(1). Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

agama dan kepercayaannya.

(2). Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

2. Selain Undang-Undang diatas, Undang-Undang RI No. 10 Tahun 1992 tentang

perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga sejahtera, dapat juga

(13)

3. Untuk menindak lanjuti pasal (1) UU No. 1 Tahun 1974, Badan Kependudukan dan

Keluarga Berencana Nasional Pusat yang telah bekerjasama dengan MOU bahwa

Usia Pertama Perkawinan adalah apabila seorang pria telah mencapai umur 25 tahun

dan seorang wanita telah mencapai umur 20 tahun.

2.4.3. Bentuk-bentuk Penyesuaian Diri dalam Perkawinan

Penyesuaian diri dalam perkawinan memiliki beberapa area yang akan dilalui,

seperti agama, kehidupan sosial, teman yang menguntungkan, hukum, keuangan, dan

seksual. Hurlock (1999) juga mengatakan bahwa dari sekian banyak masalah

penyesuaian diri dalam pernikahan, ada empat hal pokok yang paling umum dan paling

penting dalam menciptakan kebahagiaan perkawinan. Empat hal itu adalah :

1. Penyesuaian dengan pasangan

Masalah yang paling penting yang pertama kali harus dihadapi saat seseorang

memasuki dunia pernikahan adalah penyesuaian dengan pasangan (istri maupun

suaminya). Semakin banyak pengalaman dalam hubungan interpersonal antara pria dan

wanita yang diperoleh dimasa lalu, makin besar pengertian dan wawasan sosial mereka

sehingga memudahkan dalam penyesuaian dengan pasangan. Hal ini juga terjadi pada

remaja putri yang menikah dini.

Hurlock (1999) juga mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi

(14)

a. Konsep pasangan ideal.

Pada saat memilih pasangan, baik pria maupun wanita sampai pada waktu tertentu

dibimbing oleh konsep pasangan ideal yang dibentuk selama masa dewasa. Semakin

seseorang terlatih menyesuaikan diri terhadap realitas maka semakin sulit penyesuaian

yang dilakukan terhadap pasangan.

b. Pemenuhan kebutuhan

Apabila penyesuaian yang baik dilakukan, pasangan harus memenuhi kebutuhan

yang berasal dari pengalaman awal. Apabila diperlukan pengenalan, pertimbangan

prestasi dan status sosial sosial agar bahagia, pasangan harus membantu pasangan lainnya

untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

c. Kesamaan latar belakang

Semakin sama latar belakang suami dan istri maka semakin mudah untuk saling

menyesuaikan diri. Bagaimanapun juga apabila latar belakang mereka sama, setiap orang

dewasa mencari pandang unik tentang kehidupan. Semakin berbeda pandangan hidup ini,

maka semakin sulit penyesuaian diri dilakukan.

d. Minat dan kepentingan bersama

Kepentingan yang sama mengenai suatu hal yang dapat dilakukan pasangan

cenderung membawa penyesuaian yang baik dari pada kepentingan bersama yang sulit

(15)

e. Keserupaan nilai

Pasangan yang menyesuaikan diri dengan baik mempunyai nilai yang lebih serupa

daripada mereka yang penyesuaian dirinya buruk.

f. Konsep peran

Setiap lawan pasangan mempunya konsep yang pasti mengenai bagaimana

seharusnya peranan seorang suami dan istri, atau setiap individu mengharapkan

pasangannya memainkan perannya. Jika harapan terhadap peran tidak terpenuhi maka

akan mengakibatkan konflik dan penyesuaian yang buruk.

g. Perubahan dalam pola hidup

Penyesuaian terhadap pasangannya berarti mengorganisasikan pola kehidupan,

merubah persahabatan dan kegiatan-kegiatan sosial, serta merubah persyaratan pekerjaan,

terutama bagi seorang istri. Penyesuaian-penyesuaian ini seringkali diikuti oleh konflik

emosional.

2. Penyesuaian seksual

Masalah penyesuaian utama yang kedua dalam pernikahan adalah penyesuaian

seksual, masalah ini adalah masalah yang paling sulit dalam pernikahan dan salah satu

penyebab yang mengakibatkan pertengkaran dan ketidakbahagiaan dalam pernikahan.

Permasalahan biasanya dikarenakan pasangan belum mempunyai pengalaman yang cukup

dan tidak mampu mengendalikan emosi mereka. Terdapat beberapa faktor yang

(16)

a. Perilaku terhadap seks

Sikap terhadap seks sangat dipengaruhi oleh cara pria dan wanita menerima

informasi seks selama masa anak-anak dan remaja. Jika perilaku yang tidak

menyenangkan dilakukan maka akan sulit sekali untuk dihilangkan bahkan tidak mungkin

dihilangkan.

b. Pengalaman seks masa lalu

Cara orang dewasa bereaksi terhadap masturbasi, petting, dan hubungan suami

istri sebelum menikah, ketika mereka masih muda dan cara pria dan wanita merasakan itu

sangat mempengaruhi perilakunya terhadap seks. Apabila pengalaman awal seorang

wanita tidak menyenangkan maka hal ini akan mewarnai sikapnya terhadap seks.

c. Dorongan seksual

Dorongan seksual berkembang lebih awal pada pria daripada wanita dan

cenderung tetap demikian, sedang wanita muncul secara periodik. Dengan turun naik

selama siklus menstruasi. Variasi ini mempengaruhi minat dan kenikmatan akan seks,

yang kemudian mempengaruhi penyesuaian seksual.

d. Pengalaman seks marital awal

Sikap terhadap penggunaan alat kontrasepsi,dan pengaruh vasektomi.

3. Penyesuaian keuangan

Uang dan kurangnya uang mempunyai pengaruh yang kuat terhadappenyesuaian

diri individu dalam pernikahan. Istri yang berusia muda atau masih remaja cenderung

(17)

keluarga. Suami juga terkadang mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan

keuangan, khususnya jika istrinya bekerja di luar rumah dan berhenti setelah memiliki

anak pertama sehingga mengurangi pendapatan keluarga.

4. Penyesuaian dengan pihak keluarga pasangan

Setiap individu yang menikah secara otomatis memperoleh sekelompok keluarga

baru. Mereka itu adalah anggota keluarga pasangan dengan usia yang berbeda, mulai dari

bayi hingga kakek atau nenek dan terkadang dengan latar belakang yang berbeda, tingkat

pendidikan yang berbeda, budaya dan latar belakang sosial yang berbeda. Penyesuaian

diri dengan pihak keluarga pasangan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :

a. Stereotip tradisional mengenai ibu mertua

Stereotip yang secara luas diterima masyarakat ”Ibu mertua yang representatif”

dapat menimbulkan perangkat mental yang tidak menyenangkan bahkan sebelum

perkawinan. Stereotip yang tidak menyenangkan mengenai orang usia lanjut seperti

cenderung ikut campur tangan dapat masalah bagi keluarga pasangan.

b. Keinginan untuk mandiri

Orang yang menikah muda cenderung menolak berbagai saran dan petunjuk dari

orang tua mereka, walaupun mereka menerima bantuan keuangan, dan khususnya mereka

menolak bantuan dari keluarga pasangan.

c. Keluargaisme

Penyesuaian dan perkawinan akan lebih pelik apabila salah satu pasangantersebut

(18)

Apabila pasangan terpengaruh oleh keluarga, apabila seseorang anggota keluarga

berkunjung dalam waktu yang lama dan hidup dengan mereka untuk seterusnya.

d. Mobilitas sosial

Individu dewasa muda yang status sosialnya meningkat diatas anggota keluarga

atau diatas status keluarga pasangannya mungkin saja tetap membawa mereka dalam latar

belakangnya. Banyak orangtua dan anggota keluarga sering bermusuhan dengan pasangan

muda.

e. Anggota keluarga berusia lanjut

Merawat anggota keluarga berusia lanjut merupakan faktor yang sangat sulit

dalam penyesuaian pekawinan karena sikap yang tidak menyenangkan terhadap orangtua

dan urusan keluarga khususnya bila dia juga mempunyai anak-anak.

f. Bantuan keuangan untuk keluargapasangan

Apabila pasangan muda harus membantu atau memikul tanggung jawab, bantuan

keuangan bagi pihak keluarga pasangan, hal itu sering membawa hubungan keluarga yang

tidak baik. Hal ini dikarenakan anggota keluarga pasangan dibantu keuangannya, menjadi

marah dan tersinggung dengan tujuan agar diperoleh bantuan tersebut.

2.4.4. Kondisi Yang Menyumbang Kesulitan Dalam Penyesuaian Perkawinan

Hurlock (1999) mengemukakan beberapa faktor yang dapat menimbulkan

(19)

1. Persiapan yang terbatas untuk pernikahan

Penyesuaian seksual saat ini terlihat lebih mudah dilakukan dibandingkan masa

lalu, dikarenakan banyaknya informasi namun kebanyakan pasangan suami istri hanya

menerima sedikit persiapan dibidang keterampilan domestik, mengasuh anak, dan

manajemen uang.

2. Perubahan peran dan status sosial menjadi suami atau istri.

Kecenderungan terhadap perubahan peran dalam perkawinan bagi pria dan wanita

serta konsep yang berbeda tentang peran membuat penyesuaian dalam pernikahan

semakin sulit saat ini dibandingkan pada masa lalu.

3. Pernikahan dini

Pernikahan dini akan lebih banyak memerlukan proses penyesuaian diri masing-masing

pasangan karena pada umumnya di usia ini individu belum terlalu matang dalam hal

emosional, ekonomi, dan seksual.

4. Konsep yang tidak realistis tentang perkawinan.

Orang dewasa yang belajar perguruan tinggi dengan pengalaman yang sedikit

cenderung memiliki konsep yang tidak realistis mengenai makna pernikahan dengan

pekerjaan, pembelanjaan uang, atau perubahan pola hidup.

5. Pernikahan campuran

(20)

6. Pacaran yang dipersingkat.

Periode masa pacaran yang singkat pada masa sekarang dibandingkan masa lalu,

sehingga pasangan hanya punya sedikit waktu untuk memecahkan masalah tentang

penyesuaian sebelum melangsungkan pernikahan.

7. Romantika perkawinan

Harapan yang berlebihan mengenai tujuan dan hasil pernikahan sering membawa

kekecewaan yang menambah kesulitan penyesuaian terhadap tugas dan tanggung jawab

pernikahan.

2.4.5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Pernikahan

Burgess & Locke (1960), menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor dasar yang

dapat digunakan untuk mengetahui pernyesuaian pernikahan, yaitu :

1. Karakteristik kepribadian

Salah satu faktor yang mempengaruhi proses penyesuaian perkawinan dan

karakteristik kepribadian. Berikut ini 6 karakteristik kepribadian yang dapat

menyebabkan ketidak bahagian dalam pernikahan yaitu :

a. Individu yang memiliki kecenderungan pesimis yang lebih besar dari pada sikap

optimis.

b. Individu yang memiliki kecenderungan neurotis yang ditampilkan dengan ciri-ciri

(21)

c. Individu yang memiliki kecenderungan tingkah laku dominan (menguasai) terhadap

orang lain (suami/istri) dan keras kepala.

d. Individu yang selalu mencela dan tidak memperhatikan orang lain(suami / istri).

e. Individu yang kurang percaya diri.

f. Individu yang merasa sanggup memenuhi kebutuhan sendiri yang ditunjukkan dengan

tingkah laku menyendiri bila menghadapi masalah, menghindari dan menolak nasehat

orang lain.

Apabila antara suami istri tidak ada rasa saling percaya akan membuat kehidupan

pernikahan menjadi tidak bahagia. Faktor keterbukaan antara suami dan istri cukup

penting dalam penyesuaian pernikahan. Saling terbuka memudahkan proses penyesuaian

dalam pernikahan, sedangkan saling menutup diri (tidak terbuka) antara suami dan istri

cenderung menyulitkan pernikahan. Jika suami istri menyelesaikan masalah sendiri atau

tidak saling terbuka menyebabkan mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan emosional

satu sama lain.

2. Latar belakang Budaya

Persamaan latar belakang budaya antara suami dan istri merupakan hal yang baik,

sedangkan jika terdapat perbedaan latar belakang yang cukup besar maka hal tertentu ini

dapat menyulitkan penyesuaian dalam pernikahan. Suami dan istri dengan latar belakang

budaya yang berbeda akan mengalami kesulitan berkomunikasi. Beberapa penelitian

(22)

(1) Tingkat budaya orang tua suami lebih berpengaruh daripada orang tua istri. Umumnya

pria boleh menikahi wanita dengan kondisi ekonomi dan status sosial lebih rendah.

Sedangkan wanita tidak boleh menikahi pria yang memiliki tingkat ekonomi dan

status sosial lebih rendah darinya.

(2) Perbedaan budaya antara suami dan istri diasumsikan akan mengakibatkan

pernikahan yang tidak sukses.

3. Pola Respon

Secara umum keromantisan dihubungkan dengan adanya saling ketertarikan. Hal

ini merupakan kebahagian terbesar dalam pernikahan. Gairah cinta ini tidak dibatasi oleh

perbedaan budaya dan kelas sedangkan gambaran yang membosankan apabila cinta

berkembang tanpa adanya keakraban dan persahabatan. Hal ini tidak tergantung pada

kecantikan, daya tarik seks, atau ciri fisik lain, tetapi pada keserasian, ketertarikan, dan

hubungan yang akrab.

4. Hasrat Seks

Data statistik yang didapat Terman dan Locke dari penelitian yang dilakukan oleh

Burgess & Cottrel, serta beberapa penelitian lain memberikan informasi bahwa terdapat

hubungan antara perilaku seksual dengan penyesuaian pernikahan. Menurut Walgito

(1984) adanya saling pengertian antara suami dan istri terhadap dorongan seks,

pasangannya akan menghindarkan ketidakpuasan dalam melakukan hubungan seksual.

sedangkan bila pasangannya memiliki dorongan seksual yang tidak seimbang dan tidak

dapat dimengerti oleh kedua belah pihak, hal tersebut akan menimbulkan persoalan.

(23)

lebih besar mempengaruhi penyesuaian seksual dalam perkawinan dibandingkan dengan

faktor biologis.

2.4.6. Pola Penyesuaian Perkawinan

Landis dan landis (dalam wahyuningsih, 2002) mengemukakan tiga pola

penyesuaian perkawinan berdasarkan cara –cara memecahkan konflik, yaitu :

1. Kompromi (compromise), yang berarti bahwa dalam memecahkan konflik pasangan, suami istri melakukan kesepakatan-kesepakatan yang memuaskankedua belah pihak.

Suami istri berusaha untuk menyatukan pendapat melalui kesepakatan sehingga

meraih tingkat penyesuaian yang tinggi yang kemudian menumbuhkan rasa saling

percaya dan rasa aman.

2. Akomodasi (accomodate), pada pola ini pasangan berada pada posisi bertolak belakang, memiliki karakteristik yang bertolak belakang, tetapi menerima kenyataan

bahwa ada perbedaan. Pasangan suami istri melakukan akomodasi untuk mencapai

keseimbangan dengan mentoleransi tingkah laku atau hal-hal lain dari pasangannya

yang berbeda dengannya. Selama proses akomodasi pasangan dapat melakukan

diskusi untuk meraih cara pandang yang menguntungkan kedua belah pihak.

3. Permusuhan (hostility), pada pola ini pasangan suami-istri berusaha untuktetap mempertahankan pendapat masing-masing dengan segala cara. Pasangan sering

bertengkar mengenai berbagai hal yang berbeda. Pasangan suami istri tidak dapat

menyelesaikan perbedaan yang ada dengan cara yang memuaskan, sehingga

(24)

2.5. Remaja

2.5.1. Pengertian Remaja

Menurut Papalia (2004) remaja adalah transisi perkembangan antara

masakanak-kanak dan masa dewasa yang meliputi perubahan secara fisik, kognitif, dan perubahan

sosial. Lahey (2004) menyatakan bahwa remaja adalah periode yang dimulai dari

munculnya pubertas sampai pada permulaan masa dewasa. Hurlock (1999),

mengemukakan istilah Adolescence atau remaja yang berasal dari bahasa latin adolescere

yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Istilah adolescence, seperti yang

dipergunakan saat ini juga mempunyai arti yang luas, mencakup kematangan mental,

emosional, social, dan fisik.

Menurut Piaget dalam Hurlock 1999) secara psikologis masa remaja adalah usia

dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa. Lazimnya masa remaja

dianggap mulai ada saat anak secara seksual menjadi matang dan berakhir sampai ia

menjadi matang secara hukum. Batasan remaja menurut WHO (dalam Sarwono, 2003)

lebih konseptual .Dalam definisi ini dikemukakan 3 kriteria yaitu biologi, psikologi, dan

sosial ekonomi, sehingga secara lengkap definisi tersebut berbunyi sebagai berikut :

Remaja adalah suatu masa dimana :

1. Individu berkembang dari saat pertama kali menunjukkan tanda-tanda seksual

sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual.

2. Individu mengalami perkembangan psikologi dan pola identitas dari kanak-kanak

menjadi dewasa.

3. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada keadaan yang

(25)

Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan masa remajamerupakan

masa dimana individu mengalami transisi perkembangan dari masa kanak-kanak menuju

dewasa, kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik, usia dimana individu mulai

berhubungan dengan masyarakat, dan telah mengalami perkembangan tanda-tanda

seksual, pola psikologis, dan menjadi lebih mandiri.

2.5.2. Pembagian Masa Remaja

Menurut Monks (2001) batasan usia remaja adalah antara 12 tahun sampai 21

tahun. Monks membagi batasan usia ini dalam tiga fase, yaitu :

1. Fase Praremaja atau remaja awal ( 12 - 15 tahun )

Pada masa ini individu mulai meninggalkan peran sebagai anak – anak dan berusaha mengembangkan diri sebagai individu yang mandiri. Fokus dari tahap ini adalah

penerimaan terhadap bentuk dan kondisi fisik serta adanya konformitas yang kuat dengan

teman sebayanya. Masa praremaja biasanya berlangsung hanya dalam waktu yang relatif

singkat. Masa ini ditandai dengan gejaknya seperti tidak tenang, kurang suka bekerja,

pesimistik dan sebagaianya. Secara garis besar sifat-sifat negatif tersebut dapat diringkas,

yaitu : negatif dalam prestasi, baik prestasi jasmani maupun prestasi mental, dan negatif

dalam sikap sosial, baik dalam bentuk menarik diri dalam masyarakat maupun dalam

bentuk agresif terhadap masyarakat.

2. Fase remaja Madya atau pertengahan ( 15 - 18 tahun )

Masa ini ditandai dengsn berkembangnya kemampuan berfikir individu yang baru.

Teman sebaya masih memiliki peran yang penting, namun individu sudah lebih mampu

mengarahkan diri sendiri. Pada masa ini, remaja mulai mengembangkan kematangan

(26)

awal yang bertujuan dengan vokasional yang ingin dicapai. Selain itu, penerimaan dari

lawan jenis menjadi penting bagi individu.

3. Fase remaja Akhir ( 18 - 21 tahun )

Masa ini ditandai oleh persiapan akhir untuk memasuki peran-peran orang

dewasa. Selama periode ini remaja berusaha memantapkan tujuan vokasional dan

mengembangkan sense of personal identity. Keinginan yang kuat untuk menjadi matang

dan diterima dalam kelompok teman sebaya dan orang dewasa, juga menjadi ciri dari

tahap ini.

Batasan usia remaja untuk masyarakat Indonesia sendiri adalah antara usia 11

tahun sampai usia 24 tahun. Hal ini dengan pertimbangan bahwa usia 11 tahun adalah

usia dimana pada umumnya tanda-tanda seksual sekunder mulai tampak. Batasan usia 24

tahun merupakan batas maksimal individu yang belum dapat memenuhi persyaratan

kedewasaan secara sosial maupun psikologis. Individu yang sudah menikah dianggap dan

diperlukan sebagai individu dewasa penuh sehingga tidak lagi digolongkan sebagai

remaja (Sarwono, 2003).

The UN Convention on The Rights of The Child (CRC) menandakan bahwa usia

18 tahun merupakan usia yang berada diantara masa anak-anak dan masa dewasa, usia ini

merupakan batasan usia remaja. CRC juga mengatakan bahwa individu yang berusia

dibawah 18 tahun masih dianggap sebagai usia anak-anak atau remaja. The World Health

Organization (WHO) memiliki batasan yang tidak jauh berbeda. Batasan usia remaja

menurut WHO adalah individu yang berusia pada rentang 10-19 tahun. Berdasarkan dari

beberapa pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa rata-rata batasan usia remaja

(27)

10-15 tahun, fase remaja tengah berkisar 16-18 tahun dan fase remaja akhir berkisar

19-24 tahun.

2.5.3. Ciri-ciri Remaja Yang Melakukan Perkawinan muda

Hurlock mengatakan bahwa semua periode perkembangan memiliki ciri-ciri

perkembangan yang membedakan dari satu periode dengan periode berikutnya. Masa

remaja juga mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan dengan periode sebelumnya

dan sesudahnya. Remaja yang menikah baik itu remaja putra maupun remaja putri akan

mengalami masa remaja yang diperpendek, sehingga ciri dan tugas perkembangan

mereka juga ikut diperpendek dan masuk pada masa dewasa (Monks, 2001).

1. Remaja yang telah menikah akan mengalami suatu periode peralihan yang cukup

signifikan. Peralihan yang terjadi adalah beralih dari masa anak-anak menuju masa

dewasa, dimana remaja harus meninggalkan segala sesuatu yang bersifat

kekanak-kanakan dan harus mempelajari pola dan sikap baru terutama dalam pernikahan.

2. Remaja yang telah menikah akan mengalami periode perubahan, yaitu meliputi

perubahan fisik, emosional, perubahan pola dan minat, perubahan nilai-nilai yang

berlaku, dan sikap ambivalen terhadap setiap perubahan.

3. Remaja yang telah menikah, mereka diharuskan masuk pada masa dewasa, tidak lagi

pada ambang masa dewasa. Masa remaja mereka menjadi diperpendek dan mereka

(28)

2.5.4. Tugas-Tugas Perkembangan Remaja

Dalam Hurlock (1999), semua tugas perkembangan pada masa remaja dipusatkan

pada penanggulangan sikap dan pola perilaku yang kekanak-kanakan dan mengadakan

persiapan untuk menghadapi masa dewasa. Monks (2001) menyebutkan bahwa remaja

yang telah menikah maka masa remaja menjadi diperpendek sehingga tugas-tugas

perkembangannya juga mengalami penyesuaian. Adapun tugas perkembangan pada masa

remaja adalah :

1. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria

maupun wanita. Remaja mulai mempelajari hubungan baru dengan lawan jenis dengan

tujuan untuk mengetahui lawan jenis lebih dalam bagaimana harus bergaul dengan

mereka. Remaja yang menikah mulai mempelajari hubungan baru dengan pasangan

dan lebih matang, hubungan dengan teman sebaya mereka juga sudah mulai terbatasi.

2. Mencapai peran sosial sebagai pria atau wanita Remaja putri yang telah menikah

pencapaian peran sosial sebagai wanita yaitu menjadi istri dan ibu yang baik. Peran

sosial ini terbentuk mulai saat kanak-kanak, seperti pada wanita dimana mereka

didorong untuk berprilaku feminin sejak mereka masih kanak-kanak. Peran sosial ini

biasanya diakui oleh masyarakat dan diterima oleh masyarakat.

3. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif Seringkali sulit

bagi remaja untuk menerima keadaan fisiknya bila sejak kanak-kanak mereka telah

mengagungkan konsep mereka tentang penampilan saat dewasa nanti. Remaja yang

telah menikah akan mengalami hal baru berkaitan dengan kondisi fisiknya, seperti

(29)

4. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya.

Bagi remaja yang sangat mendambakan kemandirian, usaha untuk mandiri secara

emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lain merupakan tugas perkembangan

yang mudah. Remaja yang menikah diusia muda diharapkan mencapai kemandirian

emosional dari orang tua walaupun mereka belum cukup siap.

5. Mempersiapkan karier ekonomi Remaja putri yang menikah di usia muda menjadi

terhambat dalam persiapan karier ekonomi mereka. Mereka kehilangan kesempatan

untuk melanjutkan keterampilan lainnya sehingga menghambat proses persiapan karier

ekonomi mereka.

6. Mempersiapkan pernikahan dan keluarga Kecenderungan kawin muda menyebabkan

persiapan pernikahan merupakan tugas perkembangan yang paling penting dalam

tahun-tahun remaja. Persiapan pernikahan dan keluarga saat ini hanya sedikit diberikan

baik itu dalam keluarga maupun disekolah dan di Perguruan tinggi, kurangnya

persiapan ini merupakan salah satu penyebab dari “ masalah yang tidak terselesaikan” yang oleh remaja dibawa kedalam masa dewasa. Remaja putri yang telah menikah

biasanya tidak dapat melanjutkan pendidikan mereka sehingga persiapan mereka

dalam menghadapi dunia pernikahan juga terbatas (Santrock, 1995). Persiapan yang

terbatas itu tidak hanya dari pendidikan saja, kesiapan yang terbatas dari segi fisik

(30)

2.6. Pernikahan Dini

2.6.1. Definisi Pernikahan Dini

Pernikahan merupakan salah satu bentuk interaksi antara manusia. Menurut

Duvall dan Miller (Aryaaulia, 2004), pernikahan dapat dilihat sebagai suatu hubungan

dyadic atau berpasangan antara pria dan wanita, yang juga merupakan bentuk interaksi

antara pria dan wanita yang sifatnya paling intim dan cenderung diperhatikan. Menikah

juga didefinisikan sebagai hubungan pria dan wanita yang diakui dalam masyarakat yang

melibatkan hubungan seksual, adanya penguasaan dan hak mengasuh anak, dan saling

mengetahui tugas masing-masing sebagai suami dan istri. Duvall (2002) juga menyatakan

bahwa pernikahan merupakan upacara pengakuan dan pernyataan menerima suatu

kewajiban baru dalam tata susunan masyarakat. Menikah adalah memasuki jenjang rumah

tangga atas dasar membangun dan membina bersama.

Dariyo (2002) menambahkan bahwa menikah merupakan hubungan yang bersifat

suci/sakral antara pasangan dari seorang pria dan seorang wanita yang telah menginjak

atau dianggap telah memiliki umur cukup dewasa dan hubungan tersebut telah diakui

secara sah dalam hukum dan secara agama. Menurutnya, kesiapan mental untuk menikah

mengandung pengertian kondisi psikologis emosional untuk siap menanggung berbagai

resiko yang timbul selama hidup dalam pernikahan, misalnya pembiayaan ekonomi

keluarga, memelihara dan mendidik anak-anak, dan membiayai kesehatan keluarga.

Pasal 1 Undang-undang Pernikahan No 1 tahun 1974 menyatakan pernikahan

adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami dan istri

dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang

(31)

yang dilakukan oleh pasangan yang berusia dibawah 19 tahun (WHO, 2006). Hal ini

sesuai dengan rekomendasi The Eliminatian of All Forms of Discrimination against

Women (CEDAW) yang menyatakan bahwa usia 18 tahun seharusnya menjadi usia

minimum yang resmi untuk menikah baik pada pria maupun wanita.

Berdasarkan beberapa penjelasan diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa

pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan oleh individu yang berusia dibawah 19

tahun dan merupakan suatu hubungan dydic atau berpasangandan interaksi antar pria dan

wanita yang bersifat suci aau sakral yang melibatkan melibatkan hubungan seksual,

adanya penguasaan dan hak mengasuh anak, dan saling mengetahui tugas masing-masing

sebagai suami dan istri.

2.6.2. Alasan Menikah

Menurut Bowner dan Spanier dalam Rahmi (2003) terdapat beberapa alasan

seseorang untuk menikah seperti mendapatkan jaminan ekonomi, membentuk keluarga,

mendapatkan keamanan emosi, harapan orang tua, melepaskan diri dari kesepian,

menginginkan kebersamaan, mempunyai daya tarik seksual, untuk mendapatkan

perlindungan, memperoleh posisi sosial dan prestise, dan karena cinta.

Duvall (2002) mengatakan ada beberapa alasan seseorang untuk menikah yakni

untuk melepaskan diri dari beban hidup, untuk mengatasi perasaan trauma terhadap

pengalaman berhubungan dengan lawan jenis, tekanan dari lingkungan keluarga, karena

daya tarik seks, untuk merasakan kesenangan dan untuk status. Turner dan Helms dalam

Dariyo (2002) menyatakan bahwa terdapat beberapa motivasi seseorang untuk menikah,

(32)

a. Motif Cinta

Cinta dan komitmen merupakan dasar utama pasangan untuk menikah. Banyak

pasangan yang melangsungkan pernikahan karena memiliki kecocokan dan kesamaan

minat.

b. Motif untuk memperoleh legitimasi terhadap pemenuhan kebutuhan biologis.

Dengan menikah mereka dianggap tidak melanggar aturan dan norma masyarakat

jika ingin melakukan hubungan seksual.

c. Untuk memperoleh legitimasi status anak.

Anak yang lahir dari hubungan antar laki-laki dan wanita yang terikat dalam

lembaga perkawinan akan memperoleh pengakuan yang sah dihadapan ajaran agama

maupun hukum negara.

d. Merasa siap secara mental

Keadaan siap untuk menikah akan membawa pasangan untuk menikah sesegera

mungkin.

2.6.3. Pengaruh Faktor Kesiapan Menikah terhadap Penyesuaian Pernikahan

Kemampuan untuk membuat keputusan-keputusan yang bijak mencari pasangan

dan mampu saling berbagi dengan pasangan merupakan langkah awal menuju

perkawinan. Pasangan yang terlihat cocok satu ama lain dalam cinta, belum tentu siap

untuk menikah. Menghadapi jenjang pernikahan dipermukan beberapa kesiapan dalam

(33)

menikah menjadi dua bagian yaitu kesiapan pribadi (personal) dan kesiapan situasi

(ciscumstantial). Aspek-aspek tersebut adalah :

a. Kesiapan pribadi (personal)

1. Kematangan Emosi.

Kematangan emosi yang berarti kemampuan seseorang untuk dapat siaga

terhadap diri dan kemampuan mengidentifikasikan perasaan sendiri. Kematangan emosi

yaitu konsep normatif dalam perkembangan psikologis yang berarti bahwa seorang

individu telah menjadi seorang yang dewasa. kematangan emosi berasal dari pengalaman

yang cukup terhadap suatu perubahan dan terhadap suatu permasalahan. Kehidupan

pernikahan memerlukan harapan yang realistik. Harapan yang realistik dapat membuat

seseorang mampu menerima dirinya sendiri apa adanya dan mampu menerima orang lain

sebagaimana diri orang tersebut. Kehidupan pernikahan yang memiliki pasangan yang

dewasa secara emosi dan memiliki harapan-harapan pernikahan yang realistik akan lebih

mudah melakukann penyesuaian pernikahan sehingga lebih mudah dipertahankan.

Sebaliknya jika tidak maka akan sulit mempertahankan pernikahan.

2. Kesiapan Usia

Kesiapan usia berarti melihat usia yang cukup untuk menikah. Menjadi pribadi

yang dewasa secara emosi membutuhkan waktu, sehingga usia merupakan hal yang

(34)

3. kematangan sosial

Seseorang bisa saja dewasa secara emosional tapi bukan berarti memiliki cukup

pengalaman dalam kehidupan sosial orang dewasa untuk siap menikah. Kematangan

sosial dapat dilihat dengan cukupnya pengalaman berkencan (enough dating) dan cukupnya pengalaman hidup (enough single life).

4. Kesehatan emosional

permasalahan emosional yang dimiliki oleh manusia, diantaranya adalah

kecemasan, merasa tidak aman, curiga dan lain-lain. Setiap individu memiliki perasaan

seperti itu, namun jika hal itu berada tetap pada diri seseorang maka ia akan sulit menjalin

hubungan dengan orang lain. Masalah emosi biasanya menjadi tanda ketidakmatangan

yaitu bersikaps posesif, ketidakmampuan bertanggung jawab dan tidak dapat diprediksi.

5. Kesiapan Model Peran

Banyak orang belajar bagaimana menjadi suami dan istri yang baik dalam proses

perkembangan mereka kelak. Mereka belajar apa artinya menjadi suami mapun istri yang

baik dengan melihat figur ayah dan ibu mereka. orang tua yang memiliki figusr suami dan

istri yang baik akan dapat memepengaruhi kesiapan menikahkan anak-anak mereka yang

nantinya akan mempengaruhi pola penyesuaian pernikahan mereka.

b. Kesiapan Situasi

1. Kesiapan Sumber finansial

Kesiapan finansial tergantung dari nilai-nilai yang dimiliki masing-masing

(35)

rendah, maka sedikit banyak masih memerlukan bantuan materi dari orang tua. Pasangan

seperti ini dikatakan belum mampu mandiri sepenuhnya dalam mengurus rumah tangga

yang memungkinkan akan menghadapi masalah yang lebih besar nantinya.

2. Kesiapan Sumber Waktu

Masing-masing pasangan perlu mempersiapkan rencana-rencana untuk

pernikahan, bulan madu, dan tahun-tahun pertama pernikahan. Persiapan rencana yang

tergesa-tergesa akan mengarah pada persiapan pernikahan yang buruk dan memberi

dampak yang buruk pada awal-awal pernikahan.

2.6.4. Peranan Usia dalam Pernikahan

Usia adalah salah satu hal yang memiliki peran besar dalam pernikahan,

sebagaimana yang disampaikan Walgito (1984) mengenai beberapa kaitan usia pasangan

dalam keluarga yang terbentuk sebagai akibat dari pernikahan, yaitu :

1. Hubungan usia dengan faktor fisiologis dalam pernikahan.

Usia pernikahan yang ditentukan dalam undang-undang pernikahan tahun 1974

adalah untuk pria yang sudah berusia 19 tahun dan bagi wanitanya berusia 16 tahun. Usia

ini dapat dilihat dari segi fisiologis seseorang yang pada umumnya sudah matang, yang

berarti pada usia tersebut pasangan sudah dapat membuahkan keturunan. Pernyataan ini

dapat disimpulkan bahwa batasan usia 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita lebih

(36)

2. Hubungan usia dengan keadaan psikologis dalam pernikahan.

Usia memiliki kaitan dengan keadaan psikologis seseorang. Semakin bertambah

usia seseorang diharapkan lebih matang aspek-aspek perkembangan psikologisnya.

Remaja putri yang berusia 16 tahun belum dapat dikatakan dewasa secara psikologis,

demikian pula dengan pria berusia 19 tahun. Pernikahan pada usia yang masih muda akan

mengundang banyak masalah karena dari sisi psikologis pasangan yang belum matang.

Pasangan akan mengalami keruntuhan dalam rumah tangganya karena faktor usia yang

terlalu muda sehingga dapat menimbulkan perceraian.

3. Hubungan usia dengan kematangan sosial, khususnya sosial-ekonomi dalam perkawinan.

Kematangan sosial-ekonomi pada umumnya berkaitan dengan usia individu.

Semakin bertambahnya usia seseorang kemungkinan untuk kematangan dibidang sosial

ekonomi juga akan semakin nyata. Bertambahnya usia seseorang akan semakin

bertambahnya dorongan untuk mencari nafkah sebagai penopang kehidupan, sehingga

dalam pernikahan masalah kematangan ekonomi perlu juga mendapat perhatian sekalipun

dalam batasan minimal. Seseorang yang berani membentuk keluarga melalui pernikahan

berarti segala tanggung jawab dalam hal menghidupi keluarga terletak pada pasangan

tersebut. Remaja yang menikah diusia muda biasanya belummemiliki pekerjaan yang

tetap dan sesuai dengan pengeluaran keluarga diperkirakan akan mengalami kesulitan

(37)

4. Usia yang ideal dalam penikahan.

Tidak terdapat ukuran yang pasti mengenai penentuan usia yang paling baik

dalam melangsungkan pernikahan, akan tetapi untuk menentukan umur yang ideal dalam

pernikahan, dapat dikemukakan beberapa hal sebagai bahan pertimbangan :

a. Kematangan fisiologis dan kejasmanian

Keadaan jasmani yang cukup matang dan sehat diperlukan dalam melakukan

tugas dalam pernikahan.

b. Kematangan psikologis.

Terdapat banyak hal yang timbul dalam pernikahan yang membutuhkan

pemecahannya dari segi kematangan psikologis. Walgito (1999), mengemukakan bahwa

didalam pernikahan dituntut adanya kematangan emosi agar seseorang dapat menjalankan

pernikahan dengan baik. Beberapa tanda kematangan emosi tersebut adalah mempunyai

tanggung jawab, memiliki toleransi yang baik dan dapat menerima keadaan dirinya

maupun keadaan orang lain seperti apa adanya. Kematangan seperti ini pada umumnya

dapat dicapai saat seseorang mencapai usia 21 tahun.

c. Kematangan sosial, khususnya sosial-ekonomi.

Kematangan sosial khususnya sosial-ekonomi diperlukan dalam pernikahan,

karena hal ini merupakan penyangga dalam memutar roda ekonomi keluarga karena

pernikahan. Usia yang masih muda pada umumnya belum mempunyai pegangan dalam

(38)

dapat berdiri sendiri untuk kelangsungan keluarga tersebut, tidak bergantung lagi pada

pihak lain termasuk orang tua.

d. Tinjauan masa depan atau jangkauan kedepan.

Keluarga pada umumnya menghendaki adanya keturunan yang dapat melanjutkan

keturunan keluarga, disamping usia seseorang yang terbatas dimana pada suatu saat akan

mengalami kematian. Sejauh mungkin diusahakan bila orang tua telah lanjut usianya,

anak-anaknya telah dapat berdiri sendiri dan tidak lagi menjadi beban orangtuanya

sehingga pandangan kedepan perlu dipertimbangkan dalam pernikahan.

e.Perbedaan perkembangan antara pria dan wanita.

Perkembangan wanita dan pria tidaklah sama. Seorang wanita yang usianya sama

dengan seorang pria tidak berarti bahwa kematangan psikologisnya juga sama. Sesuai

dengan perkembangannya, pada umumnya wanita lebih dahulu mencapai kematangan

daripada pria.

2.6.5. Penyebab Pernikahan Dini

Penyebab pernikahan dini tergantung pada kondisi dan kehidupan sosial

masyarakatnya. UNICEF mengemukakan 2 alasan utama terjadinya pernikahan dini

(early marriage):

1. Pernikahan dini sebagai sebuah strategi untuk bertahan secara ekonomi (early marriage as a strategy for economic survival).

Kemiskinan adalah faktor utama yang menyebabkan timbulnya pernikahan dini.

(39)

keluarga akan dinikahkan dengan pria lebih tua darinya dan bahkan sangat jauh jarak

usianya, hal ini adalah strategi bertahan sebuah keluarga.

2. Untuk melindungi (protecting girls)

Pernikahan dini adalah salah satu cara untuk memastikan bahwa anak perempuan

yang telah menjadi istri benar-benar terlindungi, melahirkan anak yang sah, ikatan

perasaan yang kuat dengan pasangan dan sebagainya. Menikahkan anak diusia muda

merupakan salah satu cara untuk mencegah anak dari perilaku seks pra-nikah.

Kebanyakan masyarakat sangat menghargai nilai keperawanan dan dengan sendirinya hal

ini memunculkan sejumlah tindakan untuk melindungi anak perempuan mereka dari

perilaku seksual pranikah.

Mathur, Greene, dan Malhotra (2003) dalam International Center for Research

On Women (ICRW), juga mengungkapkan beberapa penyebab pernikahan dini, yaitu :

1. Peran gender dan kurangnya alternatif (Gender roles and a lack of alternatives)

Remaja adalah peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, adalah suatu

periode ketika anak laki-laki dan anak perempuan menghadapi sejumlah tekanan yang

menuntut mereka untuk menyesuaikan diri, menyelidiki, dan mengalami kehidupan

seperti yang telah budaya definisikan. Anak laki-laki pada sebagian besar masyarakat

menghadapi tekanan sosial dan budaya selama masa remaja untuk berhasil di sekolah,

membuktikan seksualitasnya, ikut serta dalam olahraga dan aktivitas fisik,

mengembangkan kelompok sosial dengan teman sebayanya, menunjukkan kemampuan

mereka mereka dalam menangani ekonomi keluarga dan tanggung jawab finansial.

(40)

putri di banyak negara berkembang lebih difokuskan pada masalah pernikahan,

menekankan pada pekerjaan rumah tangga dan kepatuhan, serta sifat yang baik untuk

menjadi istri dan ibu.

2. Nilai virginitas dan ketakutan mengenai aktivitas seksual pranikah (value of virginity and fears about premarital sexual activity) .

Beberapa budaya di dunia, wanita tidak memiliki kontrol terhadap seksualitasnya,

tetapi merupakan properti bagi ayah, suami, kelurga atau kelompok etnis mereka. Oleh

karena itu, keputusan untuk menikah, melakukan aktivitas seksual, biasanya anggota

keluarga yang menentukan, karena perawan atau tidaknya Ia sebelum menikah

menentukan harga diri keluarga. Ketika anak perempuan mengalami menstruasi,

ketakutan akan aktivitas seksual sebelum menikah dan kehamilan menjadi perhatian

utama keluarga. Penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa terkadang pernikahan di

usia muda terjadi sebagai solusi untuk kehamilan yang terjadi di luar pernikahan (Bennet,

2001 dan Gupta, 2000).

3. Pernikahan sebagai usaha untuk menggabungkan dan transaksi (marriege alliances and transactions).

Tekanan menggunakan pernikahan untuk memperkuat keluarga, kasta, atau

persaudaraan yang kemudian membentuk penggabungan politik, ekonomi, dan sosial

cenderung menurunkan usia untuk menikah pada beberapa budaya (Chandrasekhar, 1996

dan Hussain, 2001). Transaksi ekonomi juga menjadi bagian integral dalam proses

(41)

4. Kemiskinan (the role of poverty)

Kemiskinan dan tingkat ekonomi lemah juga merupakan alasan yang penting

menyebabkan pernikahan dini pada remaja putri. Remaja putri yang tinggal di keluarga

yang sangat miskin, sebisa mungkin secepatnya dinikahkan untuk meringankan beban

keluarga.

Menurut Sarwono (2003), pernikahan muda atau pernikahan dini banyak terjadi

pada masa pubertas, hal ini terjadi karena remaja sangat rentan terhadap perilaku seksual

yang membuat mereka melakukan aktivitas seksual sebelum menikah sehingga

menyebabkan kehamilan, yang kemudian solusi yang diambil adalah dengan menikahkan

mereka. Sedangkan Sanderowitz dan Paxman (dalam Sarwono, 2003) menyatakan bahwa

pernikahan muda juga sering terjadi karena remaja berfikir secara emosional untuk

melakukan pernikahan, mereka berfikir telah saling mencintai dan siap untuk menikah.

Faktor penyebab lain terjadinya pernikahan muda adalah perjodohan orang tua,

perjodohan ini sering terjadi akibat putus sekolah dan akibat dari permasalahan ekonomi.

2.6.6. Konsekuensi Perkawinan Usia Muda

Mathur, Greene, dan Malhotra (2003) juga mengemukakan sejumlah konsekuensi

negatif dari perkawinan usia dini atau menikah di usia muda yang mengakibatkan remaja

terutama remaja putri yang menjadi fokus penelitian serta lingkungan di sekitarnya.

1. Akibatnya dengan kesehatan (Health and related outcomes)

a. Melahirkan anak terlalu dini, kehamilan yang tidak diinginkan, dan aborsi yang tidak

(42)

b. Kurangnya pengetahuan, informasi dan akses pelayanan.

c. Tingginya tingkat kematian saat melahirkan dan abnormalitas.

d. Meningkatnya penularan penyakit seksual dan bahkan HIV/AIDS.

2. Akibatnya dengan kehidupan (Life outcomes)

a. Berkurangnya kesempatan, keahlian dan dukungan sosial

b. Berkurangnya kekuatan dalam kaitannya dengan hukum, karena keahlian,

sumber-sumber, pengetahuan, dukungan sosial yang terbatas.

3. Akibatnya dengan anak (Outcomes for children)

kesehatan bayi dan anak yang buruk memiliki kaitan yang cukup kuat dengan

usia ibu yang terlalu muda, berkesinambungan dengan ketidakmampuan wanita muda

secara fisik dan lemahnya pelayanan kesehatan reproduktif dan sosial terhadap mereka.

Anak-anak yang lahir dari ibu yang berusia di bawah 20 tahun memiliki resiko kematian

yang cukup tinggi.

4. Akibatnya dengan perkembangan (development outcomes)

Hal ini berkaitan dengan Millenium Develovement Goals (MDGs) seperti

dukungan terhadap pendidikan dasar, dan pencegahan terhadap HIV/AIDS. Ketika

dihubungkan dengan usia saat menikah, dengan jelas menunjukkan bahwa menikah di

usia yang tepat akan dapat mencapai tujuan perkembangan, yang meliputi menyelesaikan

pendidikan, bekerja, dan memperoleh keahlian serta informasi yang berhubungan dengan

peran dimasyarakat, anggota keluarga, dan konsumen sebagai bagian dari masa dewasa

(43)

2.6.7 Dinamika Penyesuaian Pernikahan Remaja Putri yang Melakukan pernikahan dini

Salah satu tugas perkembangan pada masa remaja adalah mempersiapkan

pernikahan dan keluarga. Persiapan pernikahan merupakan tugas perkembangan yang

paling penting dalam tahun-tahun remaja. Hal ini dikarenakan munculnya kecenderungan

kawin muda dikalangan remaja yang tidak sesuai dengan tugas perkembangan mereka

(Hurlock, 1999). Remaja Putri yang melakukan pernikahan dini akan mengalami masa

remaja yang diperpendek sehingga tugas dan ciri perkembangan mereka juga mengalami

penyesuaian (Monks, 2001).

Pernikahan merupakan suatu wadah dimana problema psikis dan sosial yang

penting bagi laki-laki dan wanita karena masing-masing harus berusaha ntuk melakukan

penyesuaian diri dengan pasangannya dan kehidupan pernikahannya. Penyesuaian seperti

ini biasanya terjadi sangat lama dan dipengaruhi berbagai faktor psikologis, tetapi dapat

dipastikan bahwa wanita mengalami banyak kesulitan dalam melakukan penyesuaian diri

(Ibrahim, 2002).

Pernikahan adalah suatu wadah yang mengharuskan individu untuk

memberdayakan diri dalam menerima kelebihan dan kekurangan pasangan (Hassan,

2005) sehingga akan membawa pada suatu kondisi pernikahan yang bahagia jika mereka

berhasil dalam melakukan penyesuaian, dan akan mengalami kegagalan jika mereka tidak

berhasil. Pasangan muda yang menikah di usia remaja begitupun juga remaja putri harus

mencoba membentuk hubungan jangka panjang dibawah kondisi dimana mereka hanya

memiliki sedikit pengetahuan tentang diri pasangan masing-masing serta dukungan yang

(44)

senada dengan yang diungkapkan Walgito (1999) dimana Pernikahan pada usia yang

masih muda akan mengundang banyak masalah karena dari sisi psikologis pasangan yang

belum matang.

Permasalahan-permasalahan yang sering muncul didalam penyesuaian pernikahan

adalah permasalahan yang berhubungan dengan penyesuaian terhadap pasangan,

penyesuaian seksual, penyesuaian keuangan, dan penyesuaian dengan keluarga pasangan

(Hurlock, 1999). Permasalahan-permasalahan diatas juga akan dialami oleh remaja putri

yang melakukan pernikahan dini.

Hanum (1997) menyatakan bahwa perkembangan kejiwaan istri yang berusia

remaja belum cukup matang dalam memasuki dunia pernikahan. Hasil penelitian

menunjukkan istri yang lebih emosional dalam menyikapi permasalahan dalam kehidupan

rumah tangga dibandingkan dengan suami. Mosse (dalam Uyun, 2002) menyatakan

bahwa hal itu dikarenakan perempuan lebih banyak memikul beban dalam kegiatan

harian keluarga, laki-laki lebih banyak memiliki waktu untuk dirinya sendiri maupun

untuk beristirahat, sedangkan perempuan lebih banyak menghabiskan waktu untuk

keluarganya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsekuensi psikologis yang menyertai

pernikahan remaja putri adalah timbulnya berbagai penyesalan. Penyesalan itu berkisar

pada masalah terputusnya studi, tidak dapat mencari penghasilan, ketidakmampuan dalam

mengasuh anak yang dilahirkan secara baik dan benar, tidak dapat memperoleh

kesempatan untuk bergaul dengan orangorang diluar komunitasnya, jika dipahami lebih

lanjut pada dasarnya penyesalan yang muncul tersebut lebih terarah pada hilangnya masa

(45)

Gambar

Gambar 2.1 Bagan Alur Pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

Registry merupakan suatu database besar berhirarki yang berisi bermacam-macam pengaturan untuk sistem operasi Windows, seperti pengaturan-pengaturan untuk tampilan, kinerja,

Sedangkan pada bagian News, dapat dimasukkan berita berita terkini mengenai dunia sepakbola pada khususnya agar seluruh penikmat sepakbola dapat terus mengikuti perkembangan yang

[r]

Dapat dilihat dari hasil tabel 3 menunjukan bahwa distribusi waktu pemasanagan IUD didapatkan kejadian Ekspulsi berdasarkan waktu pemsangan IUD dari 53 akseptor

Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dipaparkan dan diuraikan pada bagian sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang

Adapun tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui bagaimana efektivitas pengawasan dan penyidikan terhadap tindak pidana penyalahgunaan takaran timbangan yang

Selanjutnya, bab ini juga akan membahas mengenai pelaksanaan bimbingan rohani Islam di Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang yang meliputi, tujuan bimbingan rohani

Permasalahan awal (pra tindakan) yang dihadapi dalam pembelajaran Matematika konsep operasi hitung perkalian dan pembagian adalah: (1) Kriteria Ketuntasan