BAB II
PENGATURAN MENGENAI PENYELESAIAN SENGKETA DAN PERDAMAIAN MENURUT HUKUM ISLAM
A. Pengaturan Hukum tentang Penyelesaian Sengketa dan Perdamaian
a. Penyelesaian Sengketa
Upaya-upaya penyelesaian sengketa internasional merupakan hal penting
dalam upaya merealisasikan perdamaian dunia. Wujudnya keamanan serta
ketenteraman dalam segala aspek kehidupan merupakan tujuan tertinggi dalam
hubungan antarmanusia. Oleh karena itu, sebagai rahmat bagi seluruh alam, Islam
yang merupakan agama kedamaian dan keselamatan memberi perhatian besar
pada persoalan tersebut. Islam membolehkan menempuh segala sarana yang dapat
mengantarkan pada penyelesaian sengketa dan perwujudan kedamaian selama
tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah syar’i dan dipastikan dapat menciptakan maslahat bagi umat manusia secara umum, dan kaum muslimin khususnya.
Disamping itu, Islam menggalakkan upaya-upaya preventif bagi segala perkara
yang dapat menjadi sumber sengketa, baik dalam skala individu maupun
internasional.20
Dalam konteks ini Allah Ta’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan) karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan, janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain.” (Q.S Al-Hujurat: 12). Rasulullah
20
SAW bersabda: “Tidak halal bagi seorang mukmin berjual beli di atas jual beli saudaranya dan janganlah meminang (wanita) pinangan saudaranya hingga ia meninggalkannya” (HR. Muslim No. 1413). Ayat dan hadits diatas hanya sebagai contoh bahwa seluruh sifat-sifat yang dilarang tersebut, yakni prasangka buruk,
mencari-cari keburukan orang lain, menggunjing, berjual beli di atas jual beli
saudaranya dan selainnya, merupakan sumber-sumber lahirnya sengketa yang
dapat merusak hubungan antarsesama yang karenanya diharamkan oleh syariat
Islam.
Banyak dalil-dalil dalam Al-Qur’an dan Sunnah yang memberi isyarat
akan anjuran untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi di antara manusia, antara
lain:
1. Firman Allah Ta’ala: “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan-bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat makruf, atau mendamaikan (perselisihan) di antara manusia. Dan barang siapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (QS. An-Nisaa: 114)
Mendamaikan perselisihan di antara manusia dalam ayat ini sifatnya
umum, mencakup persoalan darah, harta, dan harga diri serta segala
sesuatu yang menjadi sumber perselisihan dan sengketa di antara manusia.
Bahkan, mengadakan perdamaian tersebut dianjurkan dalam
menyelesaikan sengketa antaragama.21
21
2. Allah SWT berfirman: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al-Maidah: 2)
Tolong menolong dalam kebaikan sifatnya umum dan luas, mencakup
segala jenis dan bentuk kebaikan serta maslahat. Sebagaimana diketahui
bahwa maslahat dan kebaikan yang paling besar adalah mendamaikan
perselisihan yang terjadi di antara manusia dan negara sebagaimana
ditunjukkan oleh Ayat 114 surat An-Nisaa diatas.
3. Dari Ummu Kultsum ra. bahwasanya ia mendengar Rasulullah SAW
bersabda: “Tidak dikatakan sebagai pendusta orang yang (berdusta) untuk mendamaikan (sengketa) antara manusia, maka ia menumbuhkan kebaikan atau berkata yang baik-baik.” (HR. Bukhari No. 2692)
Ibnu Syihab (w. 124 H) berkata: “Aku tidak pernah mendengar Nabi SAW memberi keringanan pada sesuatu dari ucapan manusia berupa kebohongan melainkan pada tiga keadaan: perang, mendamaikan sengketa manusia, serta ucapan (cumbuan) seorang suami pada istri nya dan sebaliknya demi kemaslahatan.” (HR. Muslim No. 2605)
Dimana hadits ini merupakan anjuran dari Nabi SAW untuk mendamaikan
perselisihan yang terjadi diantara manusia, kendati dalam merealisasikan
hal tersebut seseorang terpaksa harus berbohong dan tidak mengatakan
hakikat yang sebenarnya.
4. Dari Abu Darda’ ra. (w. 32 H), ia berkata bahwa Rasulullah SAW
dari kedudukan puasa, salat, dan sedekah?” Para sahabat menjawab: “Iya.” Beliau bersabda: “Mendamaikan sengketa manusia.” (HR. Abu Daud No. 4921)
Dari keterangan tentang urgensi menciptakan perdamaian serta mencegah
perselisihan dan sengketa, khusus persoalan sengketa internasional yang
melibatkan dua negara atau lebih, maka dalam perspektif hukum Islam, sarana
terpenting dalam upaya penyelesaian sengketa dengan cara damai tersebut adalah
adanya keterlibatan dan peran dari negara lain, khususnya negara-negara muslim
melalui media perundingan dalam hal mencari solusi dan jalan keluar terbaik bagi
penyelesaian sengketa, apa pun motif sengketa itu. Hal ini sejalan dengan firman
Allah Ta’ala: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”
(QS. Al-Maidah:2)
Syariat Islam telah mencanangkan pentingnya penegakan sebuah lembaga
internasional yang memiliki otoritas untuk membantu penyelesaian berbagai
sengketa internasional melalui jalur perdamaian atau kekuatan jika keadaan dan
beriman itu bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujurat: 9-10)
Secara umum, ayat ini memuat empat point penting yang merupakan asas
bagi penyelesaian sengketa internasional secara damai:
1. Perintah melakukan ishlah (perdamaian) bagi pihak-pihak yang bersengketa.
2. Adanya tindakan nyata dari sebuah kelompok (organisasi internasional),
berupa teguran atau kekuatan militer terhadap pihak yang membelot
(melanggar) perjanjian damai yang telah disepakati, hingga mereka
menyatakan kesiapan diri kembali pada kesepakatan semula.
3. Memberi keputusan secara adil dan bijaksana bagi pihak-pihak yang
bersedia kembali pada perjanjian damai tersebut.
4. Isyarat akan anjuran membentuk sebuah kelompok atau organisasi
internasional untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi
antarkelompok atau antarnegara.22
Kata perang dalam permulaan ayat ini, “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang”, bukanlah semata perang dalam tataran arti yang sempit. Akan tetapi termasuk didalamnya seluruh makna umum yang
mengarah pada arti perselisihan atau sengketa. Ayat ini memberi keterangan akan
kewajiban menegakkan perdamaian di antara kelompok yang berselisih. Oleh
karenanya, merupakan perkara aksiomatik, bahwa tindakan-tindakan penegakkan
22
perdamaian yang dilakukan oleh sebuah lembaga atau organisasi internasional itu,
sudah pasti tercakup di dalamnya seluruh sarana-sarana, seperti perundingan,
negosisasi, perwakilan, dan arbitrase.
Umat Islam diberi izin untuk membela diri terhadap musuh Islam adalah
karena dalam kondisi tertentu yang ekstrim, namun demikian izin tersebut
diberikan dalam kondisi tertentu yang menyertainya seperti terbukti dari ayat-ayat
yang baru saja dikutip. Allah Ta’ala menyatakan izin tersebut diberikan karena
adanya suatu pelanggaran yang dilakukan oleh salah satu pihak. Mereka yang
telah melakukan pelanggaran boleh diperangi sampai pada akhirnya kembali
kepada hal yang telah ditetapkan oleh Allah Ta’ala.
Secara umum ayat ini mewajibkan pentingnya menyelesaikan segala
bentuk sengketa melalui keputusan final yang mengikat. Jika keduanya (golongan
yang berselisih itu) tunduk dan menghormati kesepakatan, maka Allah Ta’ala
memerintahkan untuk menahan diri dari perang. Adapun jika salah satu dari
keduanya menyimpang berbuat aniaya, tidak bersedia tunduk terhadap putusan
lembaga internasional serta menolak kembali perintah Allah Ta’ala, atau
memaksa dengan permusuhan, maka ia dikategorikan sebagai “baghiyah” (pembelot) yang menyimpang dari otoritas hukum internasional Islam dan
membangkang terhadap undang-undang.23
23Ibid
Mengutip perkataan Ibnu At-Thabari (w. 310 H), Al-Qurthubi (w. 671 H)
“Jika seandainya wajib menghindar dan menetapi rumah setiap pecah sengketa
antara dua kelompok (negara), maka hukum tidak akan tegak dan kebathilan akan
merajalela. Di samping itu pelaku nifak dan fujur (kaum pendosa) akan mendapat
jalan menghalalkan segala hal yang diharamkan (oleh Allah Ta’ala) seperti
membunuh, merusak dan menawan wanita. Karenanya, wajib bersatu membentuk
suatu kelompok guna menghadapi kaum pembelot tersebut.”24
Hadits di atas menunjukkan kewajiban mengikuti keputusan perundingan
antara dua golongan yang bersengketa, serta upaya menciptakan perdamaian di
antara keduanya. Di dalamnya diserukan kerja sama dalam rangka mewujudkan
perdamaian internasional yang tegak di atas keadilan, serta memerintahkan
pentingnya menciptakan perwakilan untuk pengaturan penjagaan keamanan, yang
pada akhirnya terwujud kewajiban menegakkan hukuman untuk membantu
negara-negara yang tertindas.
Pernyataan ini tentunya berpedoman pada sabda Rasulullah SAW., sebagai
mana diriwayatkan oleh Anas bin Malik ra. (w. 93 H):
“Berilah bantuan pada saudaramu baik yang melakukan kezaliman maupun yang dizalimi”. Seorang sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, saya menolongnya jika ia terzalimi, bagaimana saya menolong jika ia melakukan kezaliman itu?” Beliau menjawab: “Engkau mencegahnya dari kezaliman, maka itu termasuk menolongnya.” (HR. Bukhari No. 2443)
25
24
Al-Qurthubi, Muhammad bin Ahmad, Jami’ li Ahkam Al-Quran, Cet. III, (Kairo: Daar al-Kitab al-Arabi, 1387 H/1967 M) Hlm. 317, dikutip dalam buku Muhammad Ashri dan Rapung Samuddin, Op.Cit, Hlm. 274
25
Al-Thayyar, Ali bin Abdur Rahman, Al-Niza’at Al-Dauliyah fi Syari’ah Al-Islamiyah, Cet. I, (Riyadh: Huquq Al-Thab’i lil Muallif, 1424 H) Hlm. 147, dikutip dalam buku Muhammad Ashri dan Rapung Samuddin, Op.Cit, Hlm. 275
badan-badan internasional yang bertujuan mengawal terwujudnya perdamaian dan
keamanan bersama agama-agama non-muslim lainnya.
Islam membolehkan adanya perjanjian dan kesepakatan bersama dengan
agama lain, serta mengarahkan agar selalu konsisten menghormati kesepakatan
yang telah dilahirkan, tentunya untuk tujuan mencegah peperangan, fitnah, serta
mewujudkan perdamaian antarbangsa di dunia. Sa’id Hawwa berkata:
“Dibolehkan bagi kelompok muslim untuk ikut dalam perjanjian dalam mencari kebaikan dan takwa, selama tidak membawa kepada diskriminasi dan permusuhan melawan kaum muslimin. Juga diperbolehkan bagi muslim untuk ikut kesepakatan bersama non-muslim melawan segala bentuk kekejaman dan kejahatan, selama masih memperhatikan kepentingan umat muslim untuk jangka waktu panjang dan pendek. Pada peristiwa yang telah disebutkan sebelumnya, setelah diutus menjadi Nabi, beliau tetap mengungkapkan keinginannya untuk mendukung perjanjian kerja sama tersebut bila dipanggil lagi.”26
Dari sini tampak akan kebolehan menyelenggarakan kerja sama dan
kesepakatan antara negara Islam dengan negara-negara non-muslim, seperti ikut
bergabung bersama Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam rangka menyelesaikan
berbagai sengketa internasional, mewujudkan perdamaian global, serta
menegakkan kebenaran dan keadilan sebagaimanayang ditunjukkan oleh
keinginan beliau untuk kembali bergabung dalam hilf al-fudhul yang dahulu
26
diselenggarakan oleh bangsa Quraisy.27
Sebab turunnya ayat ini, bahwasannya Rasulullah SAW pernah mengajak
Al-Harits bin Abi Dhirar Al-Khuza’i masuk Islam, dan dia pun menerima dan
memeluk Islam. Lalu ia berkata kepada Rasulullah SAW, pergilah kepada
kaumku lalu ajaklah mereka masuk Islam dan menunaikan zakat. Setelah itu
Al-Harits pun ditugaskan mengumpulkan dari kaumnya harta zakat (sebab mereka Tentunya, kebolehan tersebut berlaku
selama tidak melanggar batas-batas hukum syariat serta tidak mendatangkan
mudharat bagi kaum muslimin.
Di samping itu, syariat Islam membatasi konsep-konsep penggunaan jalur
perang pada batas-batas tertentu, mengharamkan permusuhan dalam segala aspek
dan motif, serta berupaya senantiasa menyebarkan keadilan, rahmat, kasih sayang
dan persamaan di antara umat manusia. Islam menghormati hukum dan peraturan
yang berlaku hingga pada persoalan perang. Karena itu, secara tegas Islam
menekankan segala upaya verifikasi atau tabayyun dalam setiap sebab yang dapat melahirkan sengketa internasional, selama hal itu dapat menyelesaikan sengketa
yang bakal terjadi. Allah Ta’ala menegaskan hal ini dalam firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpahkan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat: 6)
27
telah memelihara Islam) serta meminta kepada Rasulullah SAW untuk mengutus
seorang yang akan mengambilnya. Rasulullah SAW kemudian mengutus
Al-Walid bin Uqbah bin Abi Mu’aith (w. 61 H). Melihat keterlambatan utusan yang
datang, Al-Harits menyangka Rasulullah marah kepada mereka. Maka ia pun
berinisiatif keluar bersama kaumnya untuk bertemu dengan Rasulullah SAW.
Demi menyaksikan Al-Harits bin Dhirar dan kaumnya keluar, Al-Walid yang saat
itu telah dekat lantas berbalik pulang dan mengabarkan kepada Rasulullah SAW
bahwa Al-Harits menolak zakat dan berniat membunuhnya. Mendengar hal ini,
Nabi SAW tidak lantas bertindak, bahkan mengirim utusan untuk verifikasi berita
dari Al-Walid, hingga kemudian berhasil tercegah meletusnya perang.28
Upaya verifikasi terhadap suatu hal merupakan perkara wajib dan
mengikat demi mendedahkan dan menjelaskan hakikat suatu kebenaran. Upaya ini
sudah barang tentu membantu perwujudan perdamaian dan keamanan yang
diserukan oleh agama Islam. Jadi kesimpulannya, dalam tataran hukum Islam,
penyelesaian sengketa internasional itu terbagi menjadi dua: (1) Penyelesaian
secara damai, yang meliputi upaya-upaya yang mengarah kepadanya, berupa
verifikasi, negosiasi, mediasi, perundingan, hingga penyelesaian melalui badan
internasional, karena ia merupakan asas bagi penyelesaian sengketa tersebut; (2)
Penyelesaian melalui jalur kekerasan, dalam hal ini perang dan yang semakna
dengannya, jika salah satu dari kedua pihak yang berselisih membangkang dan
tidak bersedia menempuh jalur perdamaian.
28
b. Perdamaian
Secara etimologi, kata al-mu’ahadah (Perjanjian Damai) berasal dari Al-ahdu, yang berarti setiap yang terjadi di antara manusia berupa kesepakatan, menjaga kehormatan serta menjamin keamanan. Al-mu’ahad artinya, seseorang yang menjalin kesepakatan dengan kita. Adapun al-mu’ahadah dan al-ta’ahud
maknanya sama, yakni membuat perjanjian akan sesuatu yang disepakati. Kata al-ahdu dalam makna etimologi digunakan pula untuk makna kesepakatan antara dua orang atau dua kelompok atas suatu perkara yang harus ditepati untuk
menciptakan maslahat bersama antara kedua belah pihak atau salah satu dari
keduanya. Sementara, kata al-mu’ahadah bermakna membuat kesepakatan tersebut.29
1. Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani (w. 189 H) menyatakan: “Bahwa ia
adalah perjanjian damai dari kaum muslimin untuk penduduk daar al-harb
selama tahun-tahun (waktu) yang disepakati.
Adapun makna kata al-mu’ahadah secara terminologinya, menurut para ulama Islam, terdapat beberapa definisi, di antaranya:
2. Al-Kasani (w. 587 H) mendefinisikannya sebagai kesepakatan damai
untuk meninggalkan perang.
3. Ibnu Qudamah al-Maqdisi (w. 682 H) menyatakannya sebagai
“kesepakatan yang dibuat oleh penduduk daar al-harb untuk meninggalkan perang dalam jangka waktu tertentu baik dengan membayar
sesuatu atau tidak.”
29
4. Menurut Muhammad Khair Haikal, al-mu’ahadah adalah perdamaian (mushaalahah) dengan penduduk negara non-muslim untuk menghentikan perang dalam jangka waktu tertentu, baik disertai dengan kompensasi
maupun tidak.
5. Komite Pengkajian Bahasa Arab di Kairo memberi definisi bagi kata al-mu’ahadah, bahwasanya ia adalah kesepakatan yang terjadi antara dua negara atau lebih untuk mengatur hubungan antarmereka.30
Dalam ajaran Islam bahwa perdamaian merupakan kunci pokok menjalin
hubungan antar umat manusia, sedangkan perang dan pertikaian adalah sumber
mala petaka yang berdampak pada kerusakan sosial. Agama mulia ini sangat
memperhatikan keselamatan dan perdamaian, juga menyeru kepada umat manusia
agar selalu hidup rukun dan damai dengan tidak mengikuti hawa nafsu dan
godaan Syaitan. Islam sangat menekankan perdamaian dalam kehidupan sosial di
tengah masyarakat, keadilan harus diterapkan bagi siapa saja walau dengan musuh
sekalipun. Karena dengan ditegakkannya keadilan, maka tidak ada seorang pun
yang merasa dikecewakan dan didiskriminasikan sehingga dapat meredam rasa
permusuhan, dengan demikian konflik tidak akan terjadi.31
Kesimpulannya bahwa makna kesepakatan damai bagi negara Islam adalah
segala kesepakatan yang diselenggarakan oleh pemimpin (imam) atau wakilnya
dengan golongan ahlu harbi dan ahlu dzimmah sserta kelompok kaum muslimin yang membelot, untuk hubungan yang disyariatkan, disertai lampiran akan
30
Muhammad Ashri dan Rapung Samuddin, Op.cit, Hlm. 359
kaidah-kaidah dan syarat-syarat perjanjian tersebut.Dalam perspektif syariat
Islam, menyelenggarakan kesepakatan damai dengan negara-negara nonmuslim
hukumnya mubah (boleh), selama dipandang mengandung maslahat bagi agama dan kaum muslimin.32
1. Firman Allah Ta’ala:
Karenanya, segala kesepakatan damai yang tidak
mendatangkan maslahat bagi kaum muslimin, apalagi jika kemudian melahirkan
mudarat, maka hukumnya tidak boleh.
Dalil yang menunjukkan kebolehan ini sangat banyak di antaranya:
“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, makacondonglah kepadanya dan bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Anfal: 61)
Ayat ini merupakan dalil pembolehan al-mushalahah dan al-muwada’ah
(perdamaian) jika kaum musyrikin meminta dan condong padanya. Kalau
dalam perdamaian itu terdapat maslahat, maka tidak mengapa bagi kaum
muslimin untuk memulai (permohonan damai tersebut) jika memang
dibutuhkan.33
2. Firman Allah Ta’ala:
“Kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada suatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian (damai) atau orang-orang yang datang kepada kamu sedang hati mereka merasa keberatan
32
Muhammad Ra’fat Utsman, Haquq wa Wajibaat wa Ilaaqaat Dauliyah fi al-Islam, Cet. IV, (Kairo: Daar al-Dhiya’, 1991 M), Hlm. 233. Di ambil dalam buku Muhammad Ashri dan Rapung Samuddin, Op.Cit, Hlm. 359
untuk memerangi kamu dan memerangi kaumnya. Kalau Allah menghendaki, tentu Dia memberi kekuasaan kepada mereka terhadap kamu, lalu pastilah mereka memerangimu. Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu, serta mengemukakan perdamaian kepadamu, maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk menawan dan membunuh) mereka.” (QS. An-Nisaa: 90)
Dengan mementingkan kemaslahatan bagi kaum Muslimin, maka sesuai
dengan dalil ini bahwasanya antara ahlu al-harb (negeri non-muslim) dan
ahlu al-Islam diperbolehkan menyelenggarakan perjanjian damai.34
B. Dasar Pemberlakuan Perjanjian Damai
Wahbah Al-Zuhaili menyatakan, Islam menjunjung tinggi persoalan
kesepakatan damai serta segala sarana yang dapat mewujudkan tujuan-tujuan
(syariat) yang bersifat umum. Bagi seorang pemimpin, merupakan satu keharusan
untuk menjalin perdamaian dengan kalangan non-muslim jika terdapat padanya
kebaikan agama. Melalui perjanjian damai itu, diharapkan mereka mendapat
pemahaman yang baik terhadap agama Islam dan tertarik padanya.Adapun contoh
berdasarkan perbuatan Rasulullah SAW diantaranya:
Pertama: Perjanjian damai diselenggarakan oleh Nabi SAW dengan kaum Yahudi di Madinah pada tahun ke-1 H. Hal demikian terlaksana setelah Nabi
SAW hijrah ke Madinah dan sukses menegakkan sendi-sendi masyarakat Islam
yang baru, berupa kesatuan aqidah, politik, dan sistem kehidupan di antara kaum
muslimin. Perhatian beliau pada saat itu terpusat untuk menciptakan keamanan,
kebahagiaan, dan kebaikan bagi semua manusia, serta mengatur kehidupan di
daerah itu dalam suatu kesepakatan.
Tetangga paling dekat dengan kaum muslimin di Madinah adalah kaum
Yahudi. Beliau menawarkan perjanjian damai dengan mereka, yang intinya
memberikan kebebasan menjalankan agama, memutar kekayaan, serta tidak boleh
saling menyerang dan memusuhi.35
1. Orang-orang Yahudi Bani ‘Auf adalah satu umat dengan orang-orang
mukmin. Bagi orang-orang Yahudi agama mereka dan bagi orang-orang
muslim agama mereka, termasuk para pengikut mereka dan diri mereka
sendiri. Hal ini juga berlaku bagi kaum Yahudi selain Bani ‘Auf.
Adapun isi traktat itu adalah sebagai berikut:
2. Orang-orang Yahudi berkewajiban menanggung nafkah mereka sendiri,
begitu pula orang-orang muslim.
3. Mereka harus bahu membahu dalam menghadapi musuh yang hendak
membatalkan piagam perjanjian ini.
4. Mereka harus saling menasihati, berbuat bijak, dan tidak boleh berbuat
jahat.
5. Tidak boleh berbuat jahat terhadap seseorang yang telah terikat dengan
perjanjian ini.
6. Wajib membantu orang-orang yang terzalimi.
7. Orang-orang Yahudi harus berjalan seiring dengan orang-orang Mukmin
saat mereka terjun dalam kancah pertempuran.
35
8. Yastrib (madinah) adalah kota yang dianggap suci oleh setiap pihak yang
menyetujui perjanjian ini.
9. Jika terjadi sesuatu ataupun perselisihan di antara orang-orang yang
mengakui perjanjian ini, yaitu dikhawatirkan akan menimbulkan
kerusakan, maka tempat kembalinya adalah Allah Ta’ala dan Muhammad
SAW.
10. Orang-orang Quraisy tidak boleh mendapat perlindungan dan tidak boleh
ditolong.
11. Mereka harus tolong-menolong dalam menghadapi orang yang hendak
menyerang Yastrib.
12. Perjanjian tidak boleh dilanggar kecuali memang dia orang yang zalim
atau jahat.36
Kedua: Perjanjian Hudaibiyah antara Nabi SAW dan kaum Quraisy pada tahun ke-VI Hijriah. Peristiwa ini dimulai saat Nabi SAW keluar bersama sekitar
1.400 personel (dalam riwayat lain 1.500 orang) menuju Mekkah untuk
menunaikan ibadah umrah. Mendengar rencana Nabi SAW itu, pihak Quraisy
tidak tinggal diam. Mereka bermufakat mencegat Nabi SAW masuk ke dalam
Masjidil Haram. Diutuslah Suhail bin Amru (w. 18 H) untuk menemui beliau dan
mengadakan perundingan. Dari perundingan itu, lahirlah traktat-traktat
kesepakatan bersama yang kemudian disebut Perjanjian Hudaibiyah. Di antara
point-point perjanjian itu adalah sebagai berikut:
36
1. Rasulullah SAW harus kembali pada tahun ini, dan tidak boleh memasuki
Mekkah kecuali tahun depan bersama orang-orang muslim. Mereka diberi
jangka waktu selama tiga hari berada di Mekkah dan hanya boleh
membawa senjata yang biasa dibawa musafir, yaitu pedang yang
disarungkan. Sementara pihak Quraisy tidak boleh menghalangi dengan
cara apapun.
2. Gencatan senjata antara kedua belah pihak selama sepuluh tahun, sehingga
semua orang merasa aman dan sebagian tidak boleh memerangi sebagian
yang lain.
3. Siapa yang ingin bergabung dengan pihak Muhammad dan perjanjiannya,
maka dia boleh melakukannya, dan siapa yang ingin bergabung dengan
pihak Quraisy dan perjanjiannya, maka dia boleh melakukannya. Kabilah
mana pun yang bergabung dengan salah satu pihak, maka kabilah itu
menjadi bagian dari pihak tersebut, sehingga penyerangan yang ditujukan
terhadap kabilah tertentu, dianggap menyerang terhadap pihak yang
bersangkutan dengannya.
4. Siapa pun orang Quraisy yang mendatangi Muhammad tanpa izin walinya
(melarikan diri), maka ia harus dikembalikan kepada pihak Quraisy, dan
siapa pun dari pihak Muhammad yang mendatangi Quraisy (melarikan diri
darinya), maka dia tidak boleh dikembalikan padanya.37
37
Al-Nawawi (w. 672 H) menyatakan saat mengomentari peristiwa
Perjanjian Hudaibiyah:
“Seorang pemimpin berhak menjalin perjanjian damai (Al-Shulh) selama hal itu dipandang dapat mewujudkan maslahat bagi kaum muslimin, kendati pada mulanya perjanjian damai tersebut menurut sebagian orang tidak membawa kemaslahatan.”38
a. Firman Allah Ta’ala: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah kamu tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Surat Al-Maa’idah: 2) Selain itu terdapat beberapa dalil lain yang menerangkan kepada umat
muslim untuk melakukan perjanjian damai, yakni:
b. Dari Abu Hurairah ra. Ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Setiap persendian tulang manusia harus disedekahi setiap hari selama matahari masih terbit. Engkau mendamaikan dua orang yang berselisih adalah shadaqah, menolong seseorang menaiki kendaraan adalah shadaqah atau mengangkatkan barangnya adalah shadaqah, kata-kata yang baik adalah shadaqah, setiap langkah kaki yang kau ayunkan untuk shalat adalah shadaqah, dan engkau menyingkirkan duri dari jalan adalah shadaqah.” (HR. Bukhari No. 2827 dan HR. Muslim No. 1009)
c. Rasulullah SAW bersabda: “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam saling mencintai dan mengasihi bagaikan satu tubuh, apabila satu tubuh
38
merasa sakit, maka seluruh anggota tubuh tidak bisa tidur dan demam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Berlaku adil di antara orang yang bertengkar dan berselisih serta
memutuskan hubungan, dilakukan dengan cara menghukumi mereka dengan adil,
mendamaikan di antara mereka dengan cara yang dibolehkan, yaitu dengan tidak
menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Ini adalah bentuk
taqarrub yang paling utama dan ibadah yang paling sempurna.39Mendamaikan orang yang bertikai merupakan shadaqah kepada keduanya, mengingat dengan
ishlah tersebut keduanya terhindar dari dampak yang ditimbulkan oleh pertikaian
yang terjadi antara keduanya, dampak tersebut bisa berupa cacian atau bahkan
perlakuan kasar. Karena itu pertikaian tersebut harus dihentikan, bahkan dalam
meleraikan dibolehkan berbohong.40
Perlu digarisbawahi, nota kesepakatan internasional yang diselenggarakan
antara kaum muslimin dan non-muslim tidak disyaratkan mesti sejalan dengan
aturan-aturan Islam. Sebab, yang menjadi pertimbangan utama dalam
penyelenggaraan perjanjian tersebut adalah terwujudnya maslahat bagi kaum
muslimin dan tidak melanggar kaidah-kaidah syariat. Perkara ini dapat dilihat dari
peristiwa Perjanjian Hudaibiyah, di situ banyak hal-hal yang disepakati oleh Nabi
SAW kendati secara lahir tidak sejalan dengan aturan-aturan syarak.41
Sebagai contoh, perundingan antara Nabi SAW dan Suhail bin Amru (w.
18 H) kala merumuskan isi nota kesepakatan tersebut. Pada saat itu Nabi SAW
39
An-Nawawi, Musthafa Dieb Al-Bugha dan Muhyidin Mitsu, Al-Wafi: Syarah Hadits Arba’in, Cet. VI, (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2012), Hlm. 233
2015, pukul 15.00 WIB
41
memanggil Ali bin Abi Thalib ra. (W. 40 H) untuk menulis isi perjanjian itu.
Beliau mendiktekan pada Ali: “Bismillahir rahmanir rahim.” Suhail menyela: “Tentang Ar-Rahman, demi Allah aku tidak tahu siapa Dia?” Tapi tulislah:
“Bismika Allahuma.” Nabi pun memerintahkan Ali untuk menulis seperti itu. Kemudian beliau berkata lagi: “Ini adalah perjanjian yang ditetapkan Muhammad
Rasul Allah.” Suhail kembali menyela: “Andaikan kami tahu engkau adalah Rasul
Allah tentu kami tidak akan menghalangimu untuk memasuki Masjidil Haram,
tidak pula memerangimu. Tapi tulislah: “Muhammad bin Abdillah.” Beliau pun
berkata: “Bagaimanapun juga aku adalah Rasul Allah sekalianpun kalian
mendustakanku.” Lalu beliau memerintahkan Ali bin Abi Thalib menulis seperti
usulan Suhail dan menghapus kata-kata Rasul Allah yang tertulis. Namun Ali
menolak untuk menghapusnya. Akhirnya beliau yang menghapus tulisan itu
dengan tangannya sendiri.42
C. Jenis-jenis Perdamaian
Jenis-jenis perdamaian dalam kajian hukum Islam disesuaikan pada dua
tabiat hubungan, yakni hubungan yang bersifat permanen (daaim) dan temporer (muaqqat). Perjanjian yang sifatnya permanen (al-Mu’ahadah al-Daimah) adalah perjanjian yang tidak boleh dibatalkan oleh imam (pemerintah) secara sepihak
kendati dalam pembatalan tersebut terdapat maslahat bagi kaum muslimin, selama
42
pihak kedua tidak menyelisihi poin-poin perjanjian. Ini dinamakan sebagai akad dzimmah.43
1) Jenis yang jumlahnya terbatas, yakni jumlah orang yang mengikat
perjanjian dengan kaum muslimin terbatas. Perjanjian jenis ini boleh
diselenggarakan oleh setiap kaum muslimin dengan kaum nonmuslim, dan
ia disebut juga dengan akad al-aman.
Sementara itu, perjanjian yang sifatnya temporer (Mu’ahadah al-Muaqqat) terbagi menjadi dua jenis:
2) Jenis yang jumlah tidak terbatas, dan ia dinamakan sebagai al-hudnah; dinamakan pula muwada’ah, mu’ahadah, musalamah, dan al-muhadanah.
Berikut ini adalah rincian jenis-jenis dari perdamaian menurut hukum
Islam:
1. Akad Dzimmah (Jizyah)
Secara etimologi dzimmah berarti al-ahdu (perjanjian) dan al-aman
(jaminan keamanan), al-dhaman (jaminan), al-kafalah (tanggungan), al-haq
(keberhakan). Adapun dzimmah menurut terminologi berarti akad perjanjian
damai yang sifatnya permanen dengan golongan selain kaum muslimin sebagai
jaminan bagi mereka untuk tinggal di negara Islam, dalam keadaan terjamin
keselamatan diri, harta, dan kehormatan mereka. Muhammad bin Hasan
Al-Syaibani (w. 189 H) menyatakan: “Akad dzimmah adalah perjanjian penghentian perang, dan keharusan bagi ahlu dzimmah tunduk kepada segala ketentuan aturan
43
Islam dalam hal-hal yang berkaitan dengan hubungan (perjanjian), serta rela
tinggal di negeri Islam.”44
1) Firman Allah Ta’ala dalam Surat At-Taubah ayat 29: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.”
Berikut merupakan dasar pemberlakuan akad dzimmah, yaitu:
Surat At-Taubah ini turun setelah penaklukan kota Mekkah tahun 9 H.
Khusus ayat di atas diturunkan tatkala Rasulullah SAW memerintahkan
para sahabat beranjak menuju Tabuk untuk menghadapi pasukan Romawi
dan sekutu-sekutunya dari kabilah Kristen bangsa Arab. Penetapan akad
dzimmah dalam syariat serta pemungutan jizyah mulai berlaku setelah
turunnya surat At-Taubah ini.
2) Dari Sulaiman bin Buaraidah ra. (w. 105) dari bapaknya (w. 63 H), ia
berkata: “Rasulullah SAW jika hendak mengutus panglima perang beliau
akan memberi wasiat akan ketakwaan kepada Allah Ta’ala dan kebaikan
pada diri pribadinya serta kaum muslimin yang bersamanya.” Beliau
bersabda: “Jika engkau berhadapan dengan musuh dari musyrikin, maka ajaklah mereka pada salah satu dari tiga perkara: Ajaklah mereka pada
44
Islam; bila mereka menyambutnya maka terimalah dan tahan diri kalian. Jika mereka menolak, maka ajaklah mereka untuk membayar jizyah; bila mereka menyambutnya maka terimalah dan tahan diri kalian. Namun jika mereka menolak juga, maka mohonlah pertolongan pada Allah dan perangilah mereka.” (HR. Muslim No. 1731)
Melalui akad ini, maka ahlul dzimmah berhak untuk berdomisili dalam
negara Islam dan hidup bersama kaum muslimin, dengan hak dan kewajiban
sebagai warga negara yang sama terhadap negara, berupa jaminan keamanan serta
kebebasan dalam hal mencari penghidupan serta menjalankan kehidupan
beragama sesuai dengan keyakinan masing-masing. Hikmah pensyariatan jizyah
yaitu membangun jalinan sosial antara muslim dan nonmuslim. Hidup
berdampingan secara damai tidak jarang menjadi daya tarik nonmuslim untuk
memeluk agama Islam. Selain itu, interaksi dengan kaum muslimin dapat dapat
menambah wawasan mereka tentang Islam. Diharapkan dari hubungan ini akan
muncul para muallaf baru yang beriman kepada Allah Ta’ala dan hari akhir.45
2. Akad Al-Aman
Al-Aman menurut bahasa adalah lawan dari ketakutan. Namun, yang dikehendaki dalam pembahasan di sini adalah penghentian membunuh dan
berperang dengan musuh. Akad ini merupakan bagian dari rekayasa perang dan
kebaikan dalam perang. Terdapat beberapa definisi yang dilontarkan para sajana
hukum Islam mengenai makna al-aman, di antaranya:
45
1) Definisi golongan Hanafiyah terhadap akad al-aman, al-Kasaani (w. 587 H) menyatakan: “Kata ini bermakna suatu proses di mana pasukan (Islam)
mengepung benteng musuh, lalu mereka meminta jaminan keamanan, dan
kaum muslimin menyanggupi untuk memberi jaminan tersebut.
2) Al-Dasuqi (w. 1230 H) dari kalangan Malikiyah memberi definisi bagi
akad al-aman sebagai: “Hilangnya kebolehan menumpahkan darah dan mengambil harta golongan harbi (kaum nonmuslim yang diperangi) dalam satu kancah peperangan dan lainnya, bersama dengan keluasan mereka
tinggal di bawah hukum Islam dalam jangka waktu tertentu.”
3) Al-Syarbini (w. 977 H) dari ulama kalangan Syafi’i menyatakan: “Akad
al-aman adalah perjanjian yang diarahkan untuk meninggalkan perang dan
pembunuhan terhadap kaum nonmuslim.”
Dari definisi akad al-aman yang dilontarkan para ulama di atas, maka yang
tampak sebagai definisi terbaik adalah definisi al-Dasuqi (w. 1230 H) dari
kalangan Malikiyah. Definisi tersebut lebih dekat dengan maksud sebenarnya dan
lebih universal, mencakup gambaran bagi kandungan akad al-aman tersebut. Berikut merupakan dasar pemberlakuan akad al-Aman:
1) Fiman Allah Ta’ala berkenaan dengan permohonan Nabi Ibrahim AS
dalam Surat Al-Baqarah ayat 126, yakni:
2) Firman Allah Ta’ala kala menyebutkan nikmat-nikmat yang diberikan
kepada bangsa Quraisy dalam Surat Quraisy ayat 4, yakni:
“Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.”
3) Firman Allah Ta’ala tentang buah dari keyakinan yang benar dalam Surat
Al-An’am ayat 82, yakni:
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), maka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”
4) Dari Amru bin Syu’aib (w. 118 H) dari bapaknya dari kakeknya
menyebutkan, Rasulullah SAW bersabda: “Seluruh kaum muslimin setaraf dalam (hak tuntutan) atas darah, dan berlaku jaminan keamanan (yang ia berikan) hingga oleh seorang yang paling rendah (kedudukannya) di antara mereka.” (HR. Abu Daud No. 2753)
Dalam referensi para sarjana hukum Islam, akad al-aman terbagi menjadi
dua jenis, yakni:
1) Akad al-Aman umum, artinya akad yang diadakan untuk kepentingan sekelompok orang yang tak terhitung jumlahnya seperti penduduk di
sebuah kawasan tertentu, dan yang boleh mengadakan akad aman
semacam ini hanya imam atau yang mewakilinya (pemimpin).46
46
2) Akad al-Aman khusus, artinya akad yang diadakan untuk kepentingan
perorangan atau sekelompok orang yang terhitung jumlahnya seperti
sepuluh orang atau hitungan di bawahnya.47
3. Akad Hudnah
Hudnah, muwad’ah, mu’ahadah, musalamah dan muhadanah mempunyai arti yang sama. Menurut bahasa adalah mushalahah (berdamai). Sedangkan
menurut syara’ adalah berdamai dengan orang-orang kafir musuh dengan
menghentikan peperangan hingga masa yang telah ditentukan disertai sejumlah
uang pengganti atau tanpa pengganti, baik di lingkungan mereka ada seseorang
yang tetap memilih agamanya dan seseorang yang tidak tetap memilih agamanya.
Akad hudnah diberlakukan dengan para musuh yang berdomisili di berbagai
negara yang mereka kuasai, bukan saat mereka mengambil alih negara kita secara
paksa, seperti tindakan yang dilakukan bangsa Yahudi di Palestina. Pada saat
terjadi pengambilalihan secara paksa, maka menurut syara’ wajib mengusir
mereka dari negara tersebut.48
1) Firman Allah Ta’ala dalam Surat At-Taubah ayat 9, yakni: Berikut merupakan dasar pemberlakuan akad hudnah:
“(Inilah pernyataan) pemutusan hubungan dari Allah dan Rasul-Nya kepada orang-orang musyrikin yang kalian telah mengadakan perjanjian (dengan mereka). Maka berjalanlah kalian di bumi selama empat bulan
47
Ibid, Hlm 436
48
dan ketahuilah bahwa kalian tidak dapat melemahkan Allah, dan sesungguhnya Allah menghinakan orang-orang kafir.”
2) Firman Allah Ta’ala dalam Surat Al-Anfal ayat 61, yakni:
“Tetap, jika mereka condong kepada perdamaian, maka terimalah dan bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”
Ketika akad hudnah dihukumi sah, maka diwajibkan atas pihak yang
mengadakan akad hudnah dan orang-orang setelahnya yang berstatus sebagai
iman (pemimpin) menjaga diri mereka dan melindungi dari sesuatu yang
menyakitkan sampai habisnya masa hudnah. Atau mereka membatalkan akad
hudnah dengan ungkapan yang tegas dari mereka, atau mereka menyerang kaum
kaum muslim tanpa alasan yang jelas, atau mengirimkan surat tertulis kepada
orang-orang kafir musuh dengan mengungkapkan kekurangan kaum muslimin,
atau dengan membunuh seorang muslim. Kita tidak harus melindungi dan
memediasi kafir musuh. Karena hudnah bertujuan memberikan perlindungan,
bukan menjaga, berbeda dengan akad dzimmah.49
D. Kewajiban Menghormati Perdamaian
Traktat-traktat internasional yang pernah disepakati sebelum datangnya
Islam, kebanyakan hanya sebagai alat bagi bangsa-bangsa besar untuk menekan
bangsa lemah atau bangsa yang kalah. Demikianlah, hingga umur traktat-traktat
itu jarang yang berlanjut lama. Sebab, tatkala negara lemah menjadi kuat dan
49
sebaliknya, negara besar menjadi lemah, atau negara lemah mendapat pendukung
yang siap menghadapi rivalnya, maka riwayat traktat tersebut berakhir sudah.50
Berbeda ketika syariat Islam datang, keberadaan traktat-traktat internasional mulai
memasuki era baru. Islam menetapkan hukum akan kewajiban untuk menempati
dan menghormati kewajiban. Islam tidak menjadikan traktat-traktat tersebut
sebagai alat untuk membuat makar dan tipu daya, sebagaimana Islam
mencegahnya menjadi sarana untuk memonopoli perekonomian, membuka
pasar-pasar baru, menyedot darah dan sumber daya alam bangsa lain, seperti banyak
dilakukan bangsa-bangsa imperalis timur dan barat pada abad pertengahan.51
Bukti sejarah paling otentik berkaitan dengan sifat amanah serta kesetiaan
kaum muslimin untuk menghormati sebuah perjanjian, kendati secara lahiriah
merugikan bagi kaum muslimin adalah peristiwa yang terjadi sesaat setelah
ditandatanganinya traktat perjanjian Hudaibiyah. Yakini, peristiwa pelarian Abu
Jandal bin Suhail ra. (w. 18 H) anak dari Suhail bin Amru yang saat itu bertindak
sebagai wakil kaum Quraisy. Dalam kondisi terbelenggu dari Mekkah untuk
menyusul kaum muslimin di Madinah. Suhail bin Amru lantas mencengkram
kerah baju Abu Jandal, memukul, dan menyeretnya untuk dikembalikan kepada
kaum Quraisy. Sebab, demikianlah di antara isi perjanjian yang telah disepakati.
Abu Jandal pun berseru lantang: “Wahai segenap kaum muslimin, tegakah kalian
bila aku dikembalikan kepada kaum musyrikin yang akan menyiksa diriku karena
agamaku ini?” Maka Rasulullah SAW menjawab: “Wahai Abu Jandal, sabar dan
50
Ibnu Qudamah, Muhammad bin Ahmad, Al-Syarh Al-Kabir Ma’a Al-Mughni, t.Cet, (Beirut: Daar Al-Kutub Al-Arabi, 1403 H/1983 M), Hlm. 244, dikutip dalam buku Muhammad Ashri dan Rapung Samuddin, Op.Cit, Hlm. 391
51
bertahanlah, sungguh Allah akan memberi jalan keluar bagimu serta kaum lemah
yang bersamamu. Kami telah mengukuhkan sebuah perjanjian antara kami dan
mereka , dengan sumpah yang kami dan mereka berikan atas nama Allah.
Sungguh kami tidak akan mengkhianatinya.”52
“Bahwa Islam juga mewajibkan untuk menghormati dan menaati perjanjian
internasional. Sikap, seperti ini adalah bagian dari akhlak seorang muslim yang
baik. Sebagai contoh, ketika Nabi SAW dinasihati untuk mengikuktkan segel
(stempel) resmi pada surat yang akan beliau kirimkan kepada para pemimpin lain,
beliau menerimanya. Sebab, hal ini merupakan aturan dan tata cara pada saat itu.
Bila tidak, para pemimpin yang dikirimkan surat tidak akan mau menerima surat
tersebut. Jadi beliau pun memberi stempel pada suratnya dengan menggunakan
cincinnya yang diukir dengan kata Muhammad, Rasul Allah. Dari sini dapat
disimpulkan bahwa Nabi SAW ikut kepada protokol internasional.” Sa’id Hawwa berkata:
53
“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu
Jelaslah di sini, syariat Islam memerintahkan untuk senantiasa dan
menghormati perjanjian. Sehingga dengan demikian bagi seluruh umat Islam
dilarang untuk membatalkannya, apalagi mengkhianatinya. Hal ini sesuai dengan
firman Allah Ta’ala:
52
Mubarakfuri, Shofiyur Rahman, Rahiq Makhtum, Cet. I, (Riyadh: Daar Al-Salam dan Damaskus: Daar Al-Faiha’, 1418 H), Hlm. 326, dikutip dalam Muhammad Ashri dan Rapung Samuddin, Op.Cit, Hlm. 392-393
53
(terhadap sumpah-sumpahmu itu). Sesungguhnya, Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. Dan, janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali. Kamu menjadikan sumpah (perjanjian)-mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain. Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu. Dan sesungguhnya di hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu. Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan. Dan janganlah kamu jadikan sumpah-sumpahmu sebagai alat menipu di antaramu, yang menyebabkan tergelincir kaki(mu) sesudah kokoh tegaknya, dan kamu rasakan kemelaratan (di dunia) karena kamu menghalangi (manusia) dari jalan Allah; dan bagimu azab yang besar.” (QS. An-Nahl: 91-94)
Nas Al-Quran ini menyinggung anjuran menghormati perjanjian dan
peringatan keras menyelisihinya. Padanya Allah Ta’ala menyerupakan orang yang
menyelisihi perjanjian seperti wanita gila yang menguraikan kembali benang yang
telah lama dipintal hingga tercerai berai. Di samping itu, ayat di atas
mengisyaratkan bahwa setia memegang perjanjian merupakan gambaran kekuatan
sebelumnya kokoh.54
Tidak boleh membatalkan perjanjian setelah disepakati, atau mengingkari
poin-poin yang ada di dalamnya sebagaimana perintah Allah Ta’ala dalam banyak
ayat Al-Qur’an diantaranya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu...” (QS. Al-Maidah: 1). Demikian pula segala kesepakatan berupa perjanjian seorang manusia kepada orang lain, bakal menjadi pertanyaan atas
dirinya pada hari kiamat kelak, sepperti firman Allah Ta’ala: “Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggung jawabnya.” (QS. Al-Isra’: 34). Dan juga, perjanjian dikatakan sebagai hukum yang harus dihormati dan
tidak boleh diselisihi.
Menghormati perjanjian adalah anjuran illahi yang adil demi menjaga tujuan syariat yang diemban oleh dakwah Islamiyah, menegakkan
perdamaian dan tidak dirusak oleh permusuhan dan makar tipu daya.
55
Sehingga, setia dan hormat padanya sejalan dengan sifat
keimanan yang kokoh, seperti firman Allah Ta’ala: “Maka selama mereka berlaku
lurus terhadapmu, hendaklah kamu berlaku lurus (pula) terhadap mereka.” (QS.
At-Taubah: 7).
54
Ibnu Katsir, Op.Cit, Hlm. 220
55