BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peristiwa bencana alam gempa bumi dan tsunami5 pada tanggal 26 Desember
20046
5
Dalam terminologi Aceh, istilah atau kata tsunami tidak dikenal. Namun demikian, dalam masyarakat Aceh, terutama di kalangan orang tua dan juga kalangan yang belajar di dayah (pesantren, mengenalinya dengan istilah lain, “ie beuna” melalui cerita-cerita lisan. Ie berarti air dan beuna berarti benar. Ie beuna dimaksudkan sebagai air yang menunjukkan kebenaran ayat-ayat Tuhan dalam menghapus segenap kebatilan. Selain istilah ie beuna, ada pula yang menyebutnya dengan smong atau seumong. Lihat Abdullah Sanny, Lokakarya Nasional Menjaring Aspirasi Masyarakat dalam Rangka Menyusun Program Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh Pasca Tsunami, Banda Aceh: 1 Februari 2005, dalam Hasanuddin Yusuf, Sejarah Aceh dan Tsunami, (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2005), hal. 166. Menurut orang tua-tua, ie beuna itu dapat berasal dari laut dan juga disertai semburan air dari permukaan tanah. Lihat Sanusi M. Syarif, Gampong dan Mukim di Aceh: Menuju Rekonstruksi Pasca Tsunami, Cetakan Kedua, (Banda Aceh: Pustaka Rumpun Bambu, 2010), hal. 102.
telah menimbulkan derita kemanusiaan dan menyebabkan ratusan ribu orang
meninggal dunia, kehilangan tempat tinggal dan harta benda serta lumpuhnya sektor
ekonomi, infrastruktur hingga menimbulkan keresahan masyarakat terhadap status
dan kepemilikan hak atas tanah. Dampak peristiwa tsunami di Provinsi Aceh (dulu
6
Gempa bumi tanggal 26 Desember 2004 di Asia Tenggara, yang terbesar dalam kurun waktu 40 tahun terakhir dan terbesar kelima sejak tahun 1900, tercatat 9,1 pada skala Richter. Gempa tersebut beserta gelombang tsunami yang terjadi setelahnya menyebabkan bencana yang menewaskan lebih dari 220.000 orang. Patahan seluas 1.000 kilometer persegi yang muncul akibat pergerakan sejumlah lempengan di bawah permukaan bumi dan energi raksasa yang ditimbulkan oleh bongkahan tanah raksasa yang berpindah tempat, berpadu dengan energi raksasa yang terjadi di samudra membentuk gelombang tsunami. Gelombang tsunami itu menghantam negara-negara Asia Tenggara seperti Indonesia, Sri Lanka, India, Malaysia, Thailand, Bangladesh, Myanmar, Maladewa dan Seychelles, dan bahkan pesisir pantai Afrika seperti Somalia, yang terletak sejauh kurang lebih 5.000 kilometer. Istilah “tsunami”, yang dalam bahasa Jepang berarti gelombang pelabuhan, menjadi bagian dari bahasa dunia pasca tsunami raksasa Meiji pada tanggal 15 Juni 1896 yang melanda Jepang dan menyebabkan
21.000 orang kehilangan nyaw
disebut Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)),7 telah menimbulkan
permasalahan pertanahan, antara lain:8
1. musnah dan kerusakan obyek/bidang-bidang tanah, termasuk hilang/ rusaknya tanda batas tanah dan titik dasar teknik;
2. subyek hak hilang, meninggal, mengungsi, tidak diketahui alamat serta tidak memiliki ahli waris;
3. rusak/hancurnya gedung kantor beserta dokumen pertanahan, seperti alas hak dan sertipikat hak atas tanah pada masyarakat, hak tanggungan pada Bank, buku tanah/dokumen pada Kantor Pertanahan;
4. petugas, aparatur dan pihak-pihak terkait hilang, meninggal dunia, tidak berada di tempat/tidak diketahui alamat, aparat desa/kecamatan, tokoh masyarakat, tokoh pemuda serta saksi/pihak yang berbatasan).
Tsunami telah mengakibatkan terjadinya proses pemisahan secara fisik
(penguasaan) antara bidang tanah dengan pemiliknya. Juga telah terjadi proses
kemusnahan (hilang dan rusak) berbagai bukti (dokumen dan bukti fisik) hubungan
pemilikan antara satu bidang tanah dengan orang tertentu. Hal tersebut sangat
berpotensi menimbulkan permasalahan di masa yang akan datang.
Bidang tanah adalah satu-satunya harta (asset) yang tertinggal. Tanah yang
tertinggal juga dalam keadaan rusak secara fisik dan kehilangan dokumen
penguasaan/pemilikan, bahkan sebagian bidang tanah musnah. Kerusakan fisik tanah
dan kehilangan dokumen penguasaan/pemilikan cenderung untuk dapat dinyatakan
7
Penggunaan kata Aceh bukan Nanggroe Aceh Darussalam, oleh penulis berdasarkan Peraturan Gubernur Aceh Nomor 46 Tahun 2009 tentang Penggunaan Sebutan Nama Aceh dan Gelar Pejabat Pemerintahan dalam Tata Naskah Dinas di Lingkungan Pemerintah Aceh tertanggal 7 April 2009. Ditegaskan dalam Pergub No. 46 Tahun 2009 tersebut bahwa sebutan Daerah Otonom, Pemerintahan Daerah, Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Nomenklatur dan Papan Nama Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA), Titelatur Penandatangan, Stempel Jabatan dan Stempel Instansi dalam Tata Naskah Dinas di lingkungan Pemerintah Aceh, diubah dan diseragamkan dari sebutan/nomenklatur “Nanggroe Aceh Darussalam” (“NAD”) menjadi sebutan/nomenklatur “Aceh”.
8
telah “lumpuh” nya penguasaan/pemilikan tanah warga di wilayah bencana. Sulit
membayangkan upaya pembangunan kembali wilayah yang terkena bencana dalam
prespektif pertanahan tanpa terlebih dahulu melaksanakan pemulihan hak
keperdataan atas tanah milik warga.
Berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional (selanjutnya disebut BPN) yang
disampaikan pada rapat dengar pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia (DPR RI) tanggal 7 Maret 2005, kerusakan yang diakibatkan oleh gempa
dan tsunami di Provinsi Aceh meliputi areal ± 28.483,7 Ha atau 1,27% dari luas
Provinsi Aceh sebesar 2.252.053,9 Ha, yaitu: Kota Banda Aceh, Kota Lhokseumawe,
Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten
Nagan Raya, Kabupaten Pidie, Kabupaten Bireuen, Kabupaten Aceh Utara. Gempa
dan gelombang tsunami yang terjadi di Provinsi Aceh juga menimbulkan dampak
sebagai berikut:9
1. Dampak Kelembagaan a. Sumber Daya Manusia
Pegawai Kantor Wilayah BPN Provinsi Aceh yang meninggal dunia sebanyak 35 orang, dan dari pegawai yang selamat, terdapat beberapa pegawai yang mengalami trauma berat akibat kehilangan suami/istri/anak dan keluarga lainnya serta harta benda.
b. Sarana dan prasarana kerja
Kerusakan dan kehilangan sarana dan prasarana kerja di BPN Provinsi Aceh meliputi gedung kantor, perlengkapan/peralatan kantor, sarana mobilitas dan dokumen pertanahan. Kerusakan dan kehilangan dokumen pertanahan terparah adalah pada Kanwil BPN Provinsi Aceh, Kantor Pertanahan Kota Banda Aceh dan Kantor Pertanahan Kabupaten Aceh Besar.
9
2. Dampak Fisik
Kerusakan bidang-bidang tanah sebagai dampak dari bencana/peristiwa gempa bumi dan tsunami di Provinsi Aceh dapat dikategorikan menjadi 3 (tiga) tingkatan, yaitu:
a. Rusak berat
Tanahnya musnah, tenggelam atau turun. b. Rusak sedang
Tanahnya ada tetapi batas tanah dan fondasi bangunan tidak tampak sama sekali tetapi dapat diidentifikasi.
c. Rusak ringan
Katagori rusak ringan yang dimaksudkan adalah daerahnya hanya terkena lidah air, serta tidak terdapat kerusakan dan sama sekali aman/tidak terkena dampak bencana.
3. Dampak terhadap Koordinat Titik Kerangka Dasar
Gempa tektonik secara teoritis menimbulkan pergeseran pada kulit bumi (topografi) yang berakibat pada terjadinya pergeseran koordinat titik kerangka dasar. Dari hasil pengamatan melalui pengukuran beberapa titik Kerangka Dasar Kadastar Nasional (KDKN) diduga telah terjadi pergeseran koordinat yang cukup signifikan, oleh karenanya untuk pelaksanaan rekonstruksi batas tanah diperlukan:
a. Pengukuran KDKN Orde II dan Orde III dengan menggunakan GPS tipe Geodetik.
b. Pembuatan Peta Dasar Pendaftaran (baru) pasca tsunami dengan menampilkan bidang-bidang tanah.
4. Dampak terhadap Pengelolaan dan Pelayanan Pertanahan
Dampak kelembagaan, dampak fisik dan dampak lain yang ditimbulkan oleh gempa dan tsunami di Provinsi Aceh telah berakibat pada terhentinya penyelenggaraan pengelolaan dan pelayanan pertanahan pada Kantor-kantor Pertanahan yang terkena musibah yaitu meliputi Kantor Wilayah Badan Pertnahan Nasional Provinsi Aceh, Kantor Pertanahan Kota Banda Aceh dan Kantor Pertanahan Kabupaten Aceh Besar. Kerusakan gedung kantor dan tidak adanya perlengkapan serta peralatan kantor, sarana mobilitas, dan dokumen pertanahan, serta pegawai yang trauma karena kehilangan rumah, suami/istri, dan anak serta sanak keluarga lain, dan harta benda telah berakibat pada tidak berjalannya penyelenggaraan pengelolaan dan pelayanan pertanahan di Provinsi Aceh.
Berdasarkan analisis, permasalahan pertanahan berkaitan dengan keberadaan
obyek dan keberdaan subyek serta dokumen pertanahan dapat dinventarisir sebagai
1. Obyek hak
Terdapat tanah musnah10
2. Subyek Hak
. Terhadap fisik tanah yang masih ada, batas-batas
tanah mengalami kerusakan atau hilang antara lain batas-batas tanah dalam
bentuk permanen, bangunan, batas-batas alam seperti pohon-pohon besar serta
tempat-tempat pemakaman umum dan keluarga. Di beberapa lokasi sisa-sisa
batas-batas tanah yang masih ada telah diratakan dengan buldoser sehingga
batas fisik tanah yang masih tersisa menjadi semakin tidak jelas dan bahkan
hilang.
11
Pemilik tanah atau ahli waris yang sah banyak yang meninggal dunia, hilang,
tidak diketahui keberadaannya serta berdomisili di tempat pengungsian dan
diantaranya mengungsi di luar Provinsi Aceh. Beberapa ahli waris masih di
bawah umur dan belum ada kesepakatan diantara ahli waris.
3. Dokumen Pertanahan
Kondisi dokumen pertanahan yang berada pada Kantor Pertanahan dan
masyarakat banyak yang hilang dan dalam kondisi rusak/hancur. Dokumen
10
Tanah Musnah adalah tanah yang sudah berubah dari bentuk asalnya karena peristiwa alam dan tidak dapat diidentifikasi lagi sehingga tidak dapat difungsikan, digunakan, dan dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Lihat Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2007 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2007 tentang Penanganan Permasalahan Hukum dalam Rangka Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 168 (selanjutnya disebut UU No. 48 Tahun 2007).
11
pertanahan meliputi alas hak dan sertipikat12 yang berada pada masyarakat
sedangkan yang berada pada Kantor Pertanahan dalam bentuk buku tanah,13
Masyarakat yang terkena tsunami baik yang selamat dari bencana maupun
ahli waris sangat mengharapkan untuk memperoleh perlindungan hukum hak-hak atas
tanah yang mereka miliki/kuasai sebelum terjadinya tsunami. Keinginan mereka
untuk kembali menata kehidupan di lokasi semula juga sangat tinggi.
tanda bukti hak atas tanah dan surat-surat yang berkaitan dengan tanah atau
bukti kepemilikan lainnya atas tanah yang menjadi dasar dan persyaratan
dalam proses penerbitan sertipikat hak atas tanah.
Desakan agar jaminan perlindungan hukum terhadap hak atas tanah warga
korban tsunami juga disampaikan oleh Anggota Komisi A, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) Kota Banda Aceh yang mendesak Pemerintah Kota Banda Aceh
12
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104 (selanjutnya disebut UUPA) tidak pernah disebut sertipikat tanah, namun seperti yang dijumpai dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c ada disebutkannya “surat tanda bukti hak”. Dalam pengertian sehari-hari surat tanda bukti hak ini sudah sering ditafsirkan sebagai sertipikat tanah. Menurut Mhd. Yamin Lubis dan Abd Rahim Lubis, bahwa pengertian yang sama bahwa surat tanda bukti hak adalah sertipikat (lihat Muhammad Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, (Bandung: Mandar Maju, 2008), hlm. 203. Senada dengan Herman Hermit, sertipikat merupakan surat tanda bukti hak atas tanah atau satuan rumah susun. Suatu pengakuan dan penegasan dari negara terhadap penguasaan tanah atau satuan rumah susun secara perorangan atau bersama atau badan hukum yang namanya ditulis di dalamnya dan sekaligus menjelaskan lokasi, gambar, ukuran dan batas-batas bidang tanah atau satuan rumah susun tersebut (lihat Herman Hermit, Cara Memperoleh Sertipikat Tanah: Tanah Hak Milik, Tanah Negara, Tanah Pemda dan Balik Nama, Teori dan Praktek Pendaftaran Tanah di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2009), hal. 31).
13
segera mengganti sertipikat tanah warga korban tsunami. Jika status dan kepemilikan
tanah-tanah tidak segera diselesaikan, dikhawatirkan masalah itu menjadi embrio
munculnya sengketa di tengah masyarakat.14
Pemerintah dalam hal ini BPN yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden
Republik Indonesia No. 26 Tahun 1988, bertanggung jawab mengelola dan
mengembangkan administrasi pertanahan, baik berdasarkan UUPA maupun peraturan
perundang-undangan lainnya.
15
Program pemulihan urusan pertanahan menjadi tidak sederhana, dan menjadi
hal yang sangat prioritas dilaksanakan karena tujuan kegiatan pertanahan dituntut
untuk dapat memberikan jaminan kepastian hukum kepada pemilik tanah.
Keputusan Presiden tersebut telah diubah dengan
Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 kemudian diubah dengan Peraturan
Presiden Nomor 85 Tahun 2012 dan terakhir diubah dengan Peraturan Presiden
Nomor 63 Tahun 2013 tentang Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN
RI). Terakhir dalam Kabinet Kerja (Tahun 2014) telah berubah menjadi Kementerian
Agraria dan Tata Ruang.
16
14
Harian Serambi Indonesia terbitan tanggal 8 Agustus 2005.
Sebagai
15
A.P. Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, (Jakarta: Mandar Maju, 1993), hal. 10.
16
upaya menjamin perlindungan hukum terhadap pemilik tanah di wilayah bencana
tsunami serta dalam rangka proses percepatan pemulihan keadaan pasca bencana,
mutlak diperlukan suatu program simultan yang sistematis, komprehensif dan
terintegrasi di bidang pertanahan. Kegiatan ini diperlukan juga sebagai wujud
komitmen perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM)17 di wilayah bencana. Oleh
karena itu, Pemerintah dalam hal ini BPN, menyelenggarakan program pendaftaran
tanah terhadap seluruh bidang tanah di seluruh desa/kelurahan di lokasi bencana
tsunami tanpa memungut biaya,18
tentang kepastian hukum terdapat juga dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45) perubahan ketiga bahwa “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
yang dilakukan melalui kegiatan Rekonstruksi
Sistem Administrasi Pertanahan Aceh atau Reconstruction of Aceh Land
Administration System (RALAS). RALAS dilaksanakan untuk mengembalikan setiap
jengkal tanah kepada pemilik yang sebenarnya seperti keadaan sebelum terjadinya
bencana alam tsunami tanggal 26 Desember 2004. Upaya itu dilakukan dalam rangka
memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hak atas tanah.
17
Suatu hak baru berfungsi secara efektif, apabila hak tersebut dapat dipertahankan dan dilindungi. Untuk itu, sebagai negara yang berdasarkan atas hukum (rechsstaat), hak asasi harus merupakan bagian dari hukum nasional dan harus ada prosedur hukum untuk mempertahankan dan melindungi hak asasi tersebut. Oleh karena itu, pengimplementasian hak asasi manusia harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut:
1. Hak asasi manusia harus dijadikan sebagai hukum positif,
2. Harus ada prosedur hukum untuk mempertahankan dan melindungi hak asasi manusia tersebut,
3. Harus ada kemandirian pengadilan sebagai pemegang kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka. Bahder Johan Nasution, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, (Bandung: Mandar Maju, 2012), hal. 244-245.
18
Program RALAS melakukan pendaftaran tanah berbasis masyarakat sebanyak
600.000 (enam ratus ribu) bidang tanah di wilayah komunitas yang terkena tsunami
dan komunitas yang berdekatan, sebagaimana Surat Keputusan Kepala Badan
Pertanahan Nasional No. 114-II/2005 tentang Manual Pendaftaran Tanah di
Daerah-daerah Pasca Tsunami. Pendaftaran tanah sebanyak 600.000 bidang tanah tersebut
dilaksanakan secara bertahap mulai tahun 2005 sampai dengan tahun 2009.19
Berdasarkan data dari Kantor Wilayah BPN Provinsi Aceh dari target 600.000
(enam ratus ribu) bidang tanah yang dilaksanakan melalui kegiatan RALAS,
pencapaian pengukurannya sebanyak 321.479 (tiga ratus dua puluh satu ribu empat
ratus tujuh puluh sembilan) bidang tanah sedangkan penerbitan sertipikatnya
sebanyak 231.316 (dua ratus tiga puluh satu ribu tiga ratus enam belas).
20
Program rekonstruksi pemilikan penguasaan tanah yang dilakukan oleh
jajaran BPN melalui kegiatan RALAS tersebut mendapat tantangan dalam
pelaksanaannya mengingat kompleksnya permasalahan yang muncul sebagai dampak
bencana alam gempa dan tsunami di Provinsi Aceh. Permasalahan rekonstruksi
pertanahan sebagai upaya dalam rangka perlindungan hukum bidang pertanahan
pasca tsunami di Provinsi Aceh dihadapkan pada 2 (dua) sisi yang saling berbenturan, Berdasarkan kajian realisasi kegiatan RALAS berkaitan dengan pendaftaran tanah di
lokasi tsunami masih jauh dari target yang direncanakan.
19
Surat Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 114-II/2005 tentang Manual Pendaftaran Tanah di Daerah-daerah Pasca Tsunami.
20
di mana di satu sisi tuntutan penanganan dalam kondisi darurat dan di sisi lain harus
berhadapan dengan tuntutan reformasi yang mengedepankan penanganan yang
demokratis.
Oleh karena problema tersebut, pemberdayaan masyarakat dalam pelaksanaan
kegiatan pertanahan pada wilayah bencana melalui peningkatan partisipasi
masyarakat mutlak diperlukan. Hal ini sesuai dengan rekomendasi Komisi II DPR RI
kepada Kepala BPN tentang bagaimana penanganan pasca bencana di Provinsi Aceh
dan Kabupaten Nias Provinsi Sumatera Utara.21
Partisipasi masyarakat merupakan hal yang mutlak diperlukan dalam
pemulihan hak-hak keperdataan di bidang pertanahan di wilayah bencana, hal yang
terkait kesiapan BPN seperti ketersediaan peraturan dan kemampuan sumber daya
manusia (SDM) sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan program besar dan
mulia tersebut.
Kegiatan rekonstruksi fisik merupakan pekerjaan dengan menggunakan
teknologi tinggi yang belum pernah dilaksanakan oleh aparat BPN yang bertugas
di Provinsi Aceh. Pelaksanaan kegiatan tersebut agar dapat berjalan dengan optimal,
diperlukan sumber daya manusia yang profesional dan berkemampuan teknologi
tinggi. Kendala yang dihadapi terhadap sumber daya manusia terutama yang bertugas
di Provinsi Aceh sebagaimana telah diuraikan pada awal tulisan ini yaitu kekurangan
pegawai sebagai akibat dari korban tsunami baik yang meninggal maupun yang
21
mengalami trauma dan kurangnya sumber daya manusia yang handal yang mampu
menggunakan teknologi tinggi tersebut sedangkan sarana dan prasarana banyak yang
hilang/musnah.
Rekonstruksi obyek dan subyek hak atas tanah, khususnya berkaitan dengan
masalah-masalah yang timbul akibat tidak diketahuinya lagi subyek atau pemilik
tanah, dihadapkan pada belum tersedianya pranata hukum yang berkedudukan
sebagai hukum positif yang dapat dijadikan dasar penyelesaian pada masa darurat.
Berkaitan dengan tidak diketahuinya lagi subyek/pemilik tanah pasca tsunami,
maka Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama Nanggroe Aceh Darussalam (MPU
NAD) telah menerbitkan Surat Keputusan MPU NAD Nomor 3 Tahun 2005 tanggal
18 Rabiul Awal 1426 H/27 April 2005 M tentang Perlindungan Hak Atas Tanah, Hak
Nasab Bagi Anak Yatim, Hak Isteri dan Waris Mafqud Akibat Gempa dan
Gelombang Tsunami yang menyebutkan bahwa tanah dan harta benda yang
ditinggalkan korban gempa dan tsunami yang tidak meninggalkan ahli waris adalah
menjadi milik umat Islam yang diserahkan melalui Baitul Mal.22
22
Surat Keputusan Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 3 Tahun 2005 tanggal 18 Rabiul Awal 1426 H/27 April 2005 M tentang Perlindungan Hak Atas Tanah, Hak Nasab Bagi Anak Yatim, Hak Isteri dan Waris Mafqud Akibat Gempa dan Gelombang Tsunami.
Substansi fatwa
tersebut telah mendapat legitimasi dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2007
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2007 tentang Penanganan Permasalahan Hukum dalam Rangka Pelaksanaan
Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara. Dalam
Pasal 8 ayat (1), menyebutkan:
“Tanah yang tidak ada lagi pemilik dan ahli warisnya yang beragama Islam menjadi harta agama dan dikelola oleh Baitul Mal”.
Baitul Mal sebagai subyek hak atas tanah secara implisit tidak diatur dalam
peraturan perundang-undangan dibidang pertanahan, tetapi berdasarkan keistimewaan
dan kekhususan Provinsi Aceh dimungkinkan diatur dengan peraturan setempat.
Berdasarkan ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA)23 yang
memberikan dasar bagi berlakunya hukum adat di bidang pertanahan (agraria),
ketentuan-ketentuan mengenai Baitul Mal yang hidup di dalam masyarakat tersebut
dapat dipergunakan sebagai sumber hukum guna penyelesaian masalah tersebut di
atas. Kendala yang dihadapi bersumber pada ketentuan-ketentuan hukum tanah
nasional (hukum positif) yang tidak secara eksplisit menyatakan bahwa Baitul Mal
dapat menjadi subyek hak atas tanah. Untuk itu guna memenuhi keperluan bagi upaya
memberikan jaminan kepastian hukum, nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat
tersebut dapat diadopsi dengan mencantumkannya dalam peraturan
perundang-undangan.24
23
Pasal 5 UUPA mengatakan: “Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini, dan dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”.
24
Rekonstruksi dalam rangka pemulihan, jaminan kepastian serta perlindungan
hukum hak atas tanah masyarakat harus segera diwujudkan. “Harus” karena
pemulihan, jaminan kepastian hukum serta perlindungan hukum hak atas tanah
merupakan syarat mutlak bagi upaya pemulihan kehidupan sosial kemasyarakatan
terutama pembangunan kembali Provinsi Aceh pasca bencana. “Harus” terutama
karena di sinilah representasi kehadiran negara untuk memberikan jaminan kepastian
dan perlindungan hukum terhadap penguasaan/ pemilikan masyarakat dalam bentuk
hak atas tanah. Hal ini merupakan amanat dari Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang
Dasar 1945 (UUD 1945) jo Pasal 19 ayat (1) UUPA.
Namun demikian mengingat kenyataan urusan pertanahan yang dalam kondisi
normal saja sangat rumit dan tidak mudah diselesaikan apalagi dalam kondisi yang
serba tidak normal seperti yang terjadi di Provinsi Aceh pasca bencana. Oleh karena
itu, rekonstruksi, kepastian dan perlindungan hukum terhadap penguasaan/pemilikan
masyarakat dalam bentuk hak atas tanah di Provinsi Aceh pasca bencana alam harus
benar-benar diselenggarakan secara integral dan holistik serta melibatkan seluas
mungkin partisipasi masyarakat.25
25
Kakanwil BPN NAD, “Rekonstruksi Bidang Pertanahan Pasca Bencana Alam Gempa Bumi dan Gelombang Tsunami di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (sebagai Wujud Perlindungan dan Jaminan Kepastian Hak Atas Tanah)”, makalah, disampaikan dalam seminar yang dilaksanakan tanggal 1 Maret 2005 di Pekanbaru, hal. 2. Partisipasi masyarakat di sini dimaksudkan adalah suatu kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang ikut serta dalam suatu kegiatan secara bersama serta mengembangkan langkah-langkah kegiatan. Partisipasi adalah hak dan bukan sebuah alat untuk mencapai tujuan suatu kegiatan pembangunan. Inti pokok dari partisipasi masyarakat adalah keterlibatan seluruh unsur masyarakat dalam proses pengambilan keputusan yang dimulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga monitoring dan evaluasi RALAS.
Berdasarkan fakta-fakta di atas, perlu dilakukan pengkajian lebih mendalam
mengapa pelaksanaan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh tidak
berjalan sesuai dengan target yang telah direncanakan.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas dapat dikemukakan permasalahan
dalam penelitian ini, sebagai berikut:
1. bagaimana ketersediaan aturan hukum yang menjadi dasar dalam pelaksanaan
rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh?
2. bagaimana peran BPN dalam melaksanakan rekonstruksi pertanahan pasca
tsunami di Provinsi Aceh?
3. bagaimana partisipasi masyarakat dalam mendukung pelaksanaan
rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk:
1. mengkaji ketersediaan aturan hukum yang menjadi dasar dalam pelaksanaan
rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh;
2. mengkaji peran BPN dalam melaksanakan rekonstruksi pertanahan pasca
tsunami di Provinsi Aceh;
3. menggali partisipasi masyarakat dalam mendukung pelaksanaan rekonstruksi
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoretis
maupun secara praktis, sebagai berikut:
1. Secara Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi penemuan konsep-konsep
perlindungan hukum dan kepastian hukum di bidang pertanahan terhadap
masyarakat yang mengalami bencana gempa, tsunami atau keadaan darurat luar
biasa. Penelitian ini juga diharapkan dapat menambah khasanah ilmu hukum,
khususnya Hukum Pertanahan di Indonesia.
2. Secara Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dan masukan
bagi BPN (sekarang Kementerian Agraria dan Tata Ruang), Badan Pembinaan
Hukum Nasional (BPHN), DPR, Pemerintah dalam upaya pembentukan pranata
hukum pertanahan di Indonesia khususnya dalam rangka penanganan masalah
pertanahan akibat bencana alam, seperti gempa dan tsunami.
E. Kerangka Teoretis dan Kerangka Konsepsional 1. Kerangka Teoretis26
Kerangka teoretis merupakan “kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat,
teori, thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem), yang menjadi
26
bahan perbandingan, pegangan teoretis yang mungkin disetujui ataupun tidak
disetujui”.27
Kerangka teoretis28 adalah penentuan tujuan dan arah penelitian dalam
memilih konsep-konsep yang tepat guna pembentukan asumsi-asumsinya. Teori itu
bukanlah pengetahuan yang sudah pasti, tetapi harus dianggap sebagai petunjuk,29
analisis dari hasil penelitian yang dilakukan, sehingga merupakan masukan eksternal
bagi penelitian ini. Robert K. Yin mengatakan: “theory means the design of research
steps according to some relationship to the literature, policy issues, or other
substance source”.30
27
Sedangkan teori itu sendiri adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik, tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual di mana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Dengan kata lain, teori dalam ilmu pengetahuan merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan obyek yang dijelaskan, dan meskipun suatu penjelasan tampaknya begitu meyakinkan, akan tetapi harus didukung oleh fakta-fakta empiris agar dapat dinyatakan benar (valid atau sahih). M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal. 27 dan 80. Dalam hal ini, teori berguna untuk:
Maksudnya pengertian teori adalah suatu langkah dalam
kerangka penelitian yang berhubungan dengan literatur, isu kebijakan atau dari
sumber substansi yang lain. Teori adalah suatu penjelasan yang berupaya untuk
(1)Menyimpulkan generalisasi-generalisasi dari fakta-fakta hasil pengamatan;
(2)Memberi kerangka orientasi untuk analisis dan pengklasifikasian fakta-fakta yang dikumpulkan;
(3)Memberi ramalan terhadap gejala-gejala baru yang akan terjadi; dan
(4)Mengisi lowongan-lowongan dalam pengetahuan peneliti tentang gejala-gejala yang telah dan sedang terjadi. Lihat Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Edisi Ketiga, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997), hal. 10.
28
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986), hal. 129. Soerjono Soekanto menyebutkan bahwa di dalam penelitian hukum juga dapat disusun dengan menerangkan metode klasifikasi dan memilih ruang lingkup yang akan diteliti. Bandingkan dengan pendapat Robert K. Yin, Application of Case Study Research, (New Delhi: Sage Publications International and Professional Publisher Newburry Park, 1993), hal. 4, bahwa teori adalah desain langkah-langkah penelitian yang berhubungan dengan kepustakaan, isu kebijakan maupun narasumber penting lainnya. Gorys Keraf mendefinisikan teori sebagai asas-asas umum dan abstrak yang diterima secara ilmiah dan sekurang-kurangnya dapat dipercaya untuk menerangkan fenomena-fenomena yang ada. Lihat Gorys Keraf, Argumentasi dan Narasi, (Jakarta: PT. Gramedia, 2001), hal. 47.
29
Koentjaraningrat, 1997, Op.Cit, hal. 21.
30
menyederhanakan pemahaman mengenai suatu fenomena atau teori juga merupakan
simpulan dari rangkaian berbagai fenomena menjadi sebuah penjelasan yang sifatnya
umum.31
Pembahasan mengenai Rekonstruksi Pertanahan Pasca Tsunami
di Provinsi Aceh, teori dasar (grand theory) yang digunakan sebagai pisau analisis
adalah Teori Sistem Hukum yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman.
Unsur-unsur sistem hukum menurut Lawrence M. Friedman, yaitu: substance, structure and
culture.32
Substansi hukum meliputi aturan, norma dan pola perilaku manusia yang
berada dalam sistem itu. Substansi hukum tidak hanya menyangkut peraturan
perundang-undangan yang terdapat dalam kitab-kitab hukum (law in book)tetapi juga
ada hukum yang hidup (living law) termaksud di dalamnya “produk” yang dihasilkan
oleh orang-orang yang berada dalam sistem itu, misalnya keputusan-keputusan yang
mereka keluarkan dan aturan-aturan yang mereka susun. Dalam penelitian ini,
substansi hukumnya adalah keberadaan peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang pelaksanaan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi
Aceh sebagai dasar hukum bagi BPN untuk melakukan rekonstruksi pertanahan.
Struktur dari sistem hukum menurut Lawrence M. Friedman terdiri dari
unsur-unsur jumlah dan ukuran pengadilan, yurisdiksi tiap-tiap peradilan dan upaya-upaya
31
Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum: Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 134.
32
hukum. Struktur hukum juga menyangkut penataan badan-badan penegak hukum
lainnya seperti jaksa, polisi, pengacara dan badan-badan lainnya. Suatu unsur yang
sangat penting dalam struktur hukum adalah agency-agency/
organ-organ/pejabat-pejabat yang melaksanakan fungsi struktural tersebut diawasi dengan sebuah sistem
pengawasan yang memadai. Struktur hukum dalam penelitian ini adalah peran
Pemerintah dalam rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh diwakili
oleh BPN dan BRR yang bekerja secara struktural, terintegrasi dan holistik untuk
mewujudkan perlindungan hukum dan kepastian hukum kepada pemilik tanah.
Budaya hukum menyangkut sikap manusia terhadap hukum dan sistem
hukum. Bisa meliputi persoalan-persoalan kepercayaan, nilai, pemikiran, dan harapan
manusia terhadap hukum dan sistem hukum. Budaya hukum dapat diartikan sebagai
suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum
digunakan, dihindari atau disalahgunakan. Budaya hukum yang dikaji dalam
penelitian ini adalah budaya hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat
Aceh selama pelaksanaan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami. Budaya hukum
menunjukkan tradisi hukum yang digunakan untuk mengatur kehidupan suatu
masyarakat hukum. Apabila masyarakat hukum tersebut sederhana, maka kehidupan
masyarakatnya terikat ketat oleh solidaritas mekanis, persamaan kepentingan dan
kesadaran, sehingga masyarakat lebih menyerupai suatu keluarga besar, maka hukum
cenderung berbentuk tidak tertulis.33
33
Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2003), hal. 156.
tergantung kepada budaya hukum anggota-anggotanya yang dipengaruhi oleh latar
belakang pendidikan, lingkungan, budaya, posisi ataupun kedudukan, bahkan
kepentingan-kepentingan.34
Sebagai middle theory, dalam penelitian ini menggunakan Teori Perlindungan
Hukum oleh Salmond yang berasal dari Teori Hukum Alam. Awal mula dari
munculnya Teori Perlindungan Hukum ini bersumber dari Teori Hukum Alam atau
Aliran Hukum Alam. Aliran ini dipelopori oleh Plato, Aristoteles (murid Plato), dan
Zeno (pendiri aliran Stoic).35
Salmond mengatakan dalam Teori Perlindungan Hukum, bahwa hukum
bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam
masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap
kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai
kepentingan di lain pihak.36 Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan
kepentingan manusia, sehingga hukum memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan
kepentingan manusia yang perlu diatur dan dilindungi.37
Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum lahir
dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh
masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk
34
Cita Citrawinda Priapantja, Budaya Hukum Indonesia Menghadapi Globalisasi: Perlindungan Rahasia Dagang di Bidang Farmasi, (Jakarta: Chandra Pratama, 1999), hal. 196.
35
Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004), hal. 116.
36
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 53.
37
mengatur hubungan prilaku antara anggota-anggota masyarakat dan antara
perseorangan dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan masyarakat.38
Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa perlindungan hukum adalah
memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang
lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua
hak-hak yang diberikan oleh hukum.39
Perlindungan hukum menurut Philipus M. Hadjon bagi rakyat sebagai
tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan represif.40 Perlindungan hukum yang
preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan
pemerintah bersikap hati-hati dalam pengambilan keputusan berdasarkan diskresi,
dan perlindungan yang represif bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa,
termasuk penanganannya di lembaga peradilan.41
Philipus M. Hadjon membagi bentuk perlindungan hukum menjadi 2 (dua), yaitu:42
1. Perlindungan hukum yang preventif
Perlindungan hukum ini memberikan kesempatan kepada
rakyat untuk mengajukan keberatan (inspraak) atas
38
Ibid, hal. 53.
39
Ibid, hal. 54. Menurut Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra berpendapat bahwa hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan antisipatif. Lihat Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Remaja Rusdakarya, 1993), hal. 118. Sunaryati Hartono mengatakan bahwa hukum dibutuhkan untuk mereka yang lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik untuk memperoleh keadilan sosial. Lihat Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, (Bandung: Alumni, 1991), hal. 55.
40
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia; Sebuah Studi tentang prinsip-prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987), hal. 2 .
41
Maria Alfons, “Implementasi Perlindungan Indikasi Geografis Atas Produk-produk Masyarakat Lokal dalam Perspektif Hak Kekayaan Intelektual”, Ringkasan Disertasi Doktor, (Malang: Universitas Brawijaya, 2010), hal. 18.
42
pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintahan mendapat bentuk yang definitif. Sehingga, perlindungan hukum ini bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa dan sangat besar artinya bagi tindakan pemerintah yang didasarkan pada kebebasan bertindak. Dan dengan adanya perlindungan hukum yang preventif ini mendorong pemerintah untuk berhati-hati dalam mengambil keputusan yang berkaitan
dengan asas freies ermessen, dan rakyat dapat mengajukan
keberatan atau dimintai pendapatnya mengenai rencana keputusan tersebut.
2. Perlindungan hukum yang represif
Perlindungan hukum ini berfungsi untuk menyelesaikan apabila terjadi sengketa. Indonesia dewasa ini terdapat
berbagai badan yang secara partial menangani perlindungan
hukum bagi rakyat, yang dikelompokkan menjadi 3 (tiga) badan, yaitu:
a. Pengadilan dalam lingkup Peradilan Umum
Dewasa ini dalam praktek telah ditempuh jalan untuk menyerahkan suatu perkara tertentu kepada Peradilan Umum sebagai perbuatan melawan hukum oleh penguasa.
b. Instansi Pemerintah yang merupakan lembaga banding
administrasi
Penanganan perlindungan hukum bagi rakyat melalui instansi pemerintah yang merupakan lembaga banding administrasi adalah permintaan banding terhadap suatu tindakan pemerintah oleh pihak yang merasa dirugikan oleh tindakan pemerintah tersebut. Instansi pemerintah yang berwenang untuk merubah bahkan dapat membatalkan tindakan pemerintah tersebut.
c. Badan-badan khusus
Merupakan badan yang terkait dan berwenang untuk menyelesaikan suatu sengketa. Badan-badan khusus tersebut antara lain adalah Kantor Urusan Perumahan, Pengadilan Kepegawaian, Badan Sensor Film, Panitia Urusan Piutang Negara, serta Peradilan Administrasi Negara.
Pada hakikatnya terdapat hubungan antara subjek hukum dengan objek hukum
yang dilindungi oleh hukum dan menimbulkan kewajiban. Hak dan kewajiban yang
masyarakat merasa aman dalam melaksanakan kepentingannya. Hal ini menunjukkan
bahwa perlindungan hukum dapat diartikan sebagai suatu pemberian jaminan atau
kepastian bahwa seseorang akan mendapatkan apa yang telah menjadi hak dan
kewajibannya, sehingga yang bersangkutan merasa aman.43
Perlindungan hukum dan kepastian hukum yang diberikan Pemerintah (BPN)
kepada masyarakat di wilayah pasca bencana gempa bumi dan tsunami
di Provinsi Aceh yang tanahnya musnah baik yang sudah terdaftar maupun yang
belum terdaftar adalah memperoleh tanah pengganti atau ganti kerugian melalui
pelaksanaan rekonstruksi pertanahan dengan cara melakukan pendaftaran tanah
berbasis masyarakat secara gratis. Pasal 15 UU No. 48 Tahun 2007 mengatakan
permohonan penerbitan tanda bukti hak pengganti, konversi hak atas tanah,
pengakuan hak atas tanah, atau penetapan hak atas tanah dan pendaftarannya bagi
masyarakat di wilayah pasca bencana gempa bumi dan tsunami tidak dikenakan
biaya, bea, dan pajak sampai dengan tahun 2009.
Sebagai applied theory yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori
Kepastian Hukum yang dikemukakan oleh Utrecht. Menurut Utrecht, hukum bertugas
menjamin adanya kepastian hukum (recht zekerheit) dalam pergaulan manusia dan
hubungan-hubungan dalam pergaulan kemasyarakatan. Hukum menjamin kepastian
43
pada pihak yang satu terhadap pihak yang lain.44 Van Apeldoorn juga sependapat di
mana dengan adanya kepastian hukum berarti ada perlindungan hukum.45
Hukum Pertanahan Indonesia menginginkan kepastian mengenai siapa
pemegang hak milik. Kebutuhan masyarakat akan suatu peraturan kepastian hukum
terhadap tanah, sehingga setiap pemilik dapat terjamin haknya dalam
mempertahankan hak miliknya dari gangguan luar.46 Untuk menjamin kepastian
hukum terhadap hak atas tanah, Pasal 19 ayat (1) UUPA, mengamanatkan pemerintah
untuk diadakan pendaftaran tanah47
Pasal 19 ayat (2), menyebutkan pendaftaran tanah sebagaimana diatur dalam
ayat (1) meliputi:
di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut
ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
a. pengukuran, pemetaan dan pembukuan tanah;
b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian
yang kuat.
44
E. Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Buku Ichtiar, 1957).
45
Ibid.
46
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Hak Atas Benda, (Jakarta: PT. Intermasa, 1980), hal. 21.
47
Pasal 19 ayat (3), menyebutkan pendaftaran tanah diselenggarakan dengan
mengingat keadaan negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta
kemungkinan penyelenggaraannya menurut pertimbangan Menteri Agraria.
Sebagai pelaksanaan amanat Pasal 19 ayat (1) terkait pengaturan pendaftaran
tanah diatur dengan Peraturan Pemerintah, telah diterbitkan Peraturan Pemerintah
Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah. Dalam perkembangan berikutnya
Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan baru tentang pendaftaran tanah di
Indonesia. Kebijakan baru tersebut adalah Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 yang ditetapkan pada tanggal 8 Juli 1997 tentang Pendaftaran Tanah
(selanjutnya disebut PP No. 24 Tahun 1997). PP No. 24 Tahun 1997 telah
ditindaklanjuti melalui Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional No. 3 Tahun 1997 (selanjutnya disebut Peraruan MNA/Kepala BPN No. 3
Tahun 1997) yang merupakan peraturan pelaksana penyelenggaraan pendaftaran
tanah di Indonesia.48
Lahirnya ketentuan PP No. 24 Tahun 1997 sebagai pengganti PP No. 10
Tahun 1961 telah menyempurnakan pelaksanaan pendaftaran tanah di Indonesia.
Menurut A.P. Parlindungan, PP No. 24 Tahun 1997 telah memperkaya ketentuan
Pasal 19 UUPA tersebut, karena:49
48
Soni Harsono, Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional, “Kebijakan Baru di Bidang Pertanahan Dampak dan Aplikasinya dalam Pembangunan Nasional”, Sambutan Kunci/Makalah, Disampaikan dalam Rangka Dies Natalis XXVII KM. Teknik Geodesi-Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada, (Yogyakarta: Universitas Gajahmada), 15 November 1997.
49
1. dengan diterbitkannya sertipikat hak atas tanah, maka kepada pemiliknya diberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum;
2. dengan informasi pertanahan yang tersedia di kantor pertanahan maka pemerintah akan mudah merencanakan pembangunan negara yang menyangkut tanah, bahkan bagi rakyat sendiri lebih mengetahui kondisi peruntukan tanah dan kepemilikannya;
3. dengan administrasi pertanahan yang baik akan terpelihara masa depan pertanahan yang terencana.
PP No. 10 Tahun 1961 dan PP No. 24 Tahun 1997 tersebut merupakan bentuk
pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka rechtscadaster (pendaftaran tanah) yang
bertujuan memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang
hak atas tanah dengan alat bukti yang dihasilkan pada akhir proses pendaftaran tanah
tersebut berupa buku tanah dan sertipikat tanah yang terdiri dari salinan buku tanah
dan surat ukur.50
Terdaftarnya bagian tanah tersebut, sebenarnya tidak semata-mata akan
terwujudnya jaminan keamanan akan kepemilikannya dalam menuju kepastian
hukum. Bahkan seseorang pemilik akan mendapatkan kesempurnaan dari haknya,
karena hal-hal sebagai berikut:51
a. adanya rasa aman dalam memiliki hak atas tanah (security);
b. mengerti dengan baik apa dan bagaimana yang diharapkan dari pendaftaran tersebut (simplity);
c. adanya jaminan ketelitian dalam sistem yang dilakukan (accuracy); d. mudah dilaksanakan (expedition);
Agraria pada Fakultas Hukum, diucapkan di hadapan Rapat Terbuka Universitas Sumatera Utara Gelanggang Mahasiswa, Kampus USU, Medan, 2 September 2006, hal. 8-9.
50
Arie S. Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, (Jakarta: Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, 2005), hal. 81.
51
e. dengan biaya yang bisa dijangkau oleh semua orang yang hendak mendaftarkan tanah (cheapness), dan daya jangkau ke depan dapat diwujudkan terutama atas harga tanah itu kelak (suistable).
Prinsip-prinsip yang terdapat dalam PP No. 10 Tahun 1961 justru dipertegas
dan diperjelas di dalam PP No. 24 Tahun 1997. Penegasan yang diatur dalam PP No.
24 Tahun 1997 merupakan upaya penyempurnaan terhadap peraturan yang ada
sekaligus penyesuaian terhadap perkembangan kebutuhan masyarakat sebagaimana
prinsip-prinsipnya telah diamanatkan oleh UUPA. Ketentuan baru pendaftaran tanah
dimaksud secara substansial tetap menampung konsepsi-konsepsi hukum adat yang
hidup dan berakar dalam masyarakat, sehingga dengan demikian memperkuat
kerangka tujuan UUPA yaitu untuk menciptakan unifikasi hukum tanah nasional
yang memang didasarkan pada hukum adat.52
Tugas untuk melakukan pendaftaran tanah di seluruh Indonesia dibebankan
kepada Pemerintah yang oleh Pasal 19 ayat (1) UUPA ditentukan bertujuan tunggal
yaitu untuk menjamin kepastian hukum. Menurut penjelasan dari UUPA, pelaksanaan
kegiatan pendaftaran tanah merupakan kewajiban dari Pemerintah bertujuan
menjamin kepastian hukum yang bersifat rechtscadastar artinya untuk kepentingan
pendaftaran tanah saja dan hanya mempermasalahkan haknya apa dan siapa
pemiliknya, bukan untuk kepentingan lain seperti perpajakan.53
52
Muhammad Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, (Bandung: Mandar Maju, 2008), hal. 15.
53
PP No. 24 Tahun 1997 merupakan bagian dari usaha pemerintah untuk
menyediakan dasar hukum penyelenggaraan pendaftaran tanah yang berkepastian hak
sekaligus menampung aspirasi masyarakat di dalam hal kepastian hukum atas tanah.54
Pendaftaran tanah menurut Pasal 1 butir (1) PP No. 24 Tahun 1997 adalah: “Rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengelolaan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah yang sudah ada hak-haknya dan hak milik atas rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya”.
Pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan asas sederhana, aman,
terjangkau, mutakhir dan terbuka. Asas sederhana berarti ketentuan-ketentuan
pokoknya maupun prosedurnya mudah dipahami oleh pihak-pihak yang berkentingan.
Asas aman terkandung maksud bahwa penyelenggaraan pendaftaran tanah
diselenggarakan secara teliti dan cermat sehingga hasilnya dapat memberikan
jaminan kepastian hukum. Asas terjangkau di sini terkandung makna keterjangkauan
dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan golongan ekonomi lemah.
Pelayanan yang diberikan dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah harus bisa
terjangkau oleh pihak yang memerlukan. Sedangkan asas mutakhir adalah
kelengkapan yang memadai dalam pelaksanaannya dan berkesinambungan dalam
pemeliharaan datanya. Data yang tersedia menunjukkan keadaan yang mutakhir,
untuk itu perlu diikuti kewajiban pendaftaran dan pencatatan perubahan-perubahan
yang terjadi di kemudian hari. Pengertian terbuka pada pendaftaran adalah adanya
54
transparansi dalam setiap proses kegiatan pendaftaran tanah, dan masyarakat dapat
memperoleh data yang benar dan setiap saat.55
Pendaftaran tanah mempunyai tujuan sebagai berikut:
56
a. untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan;
b. untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar;
c. untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
Tujuan memberikan jaminan kepastian hukum yang selanjutnya diberikan
sertipikat hak atas tanah kepada yang bersangkutan, merupakan tujuan utama dalam
pendaftaran tanah sebagaimana ditetapkan oleh Pasal 19 UUPA. Menurut Boedi
Harsono, memperoleh sertipikat hak atas tanah, bukan sekedar fasilitas, melainkan
merupakan hak pemegang hak atas tanah yang dijamin oleh Undang-Undang.57
Demikian pentingnya peranan sertipikat, sehingga kekuatan pembuktiannya
tidak hanya berlaku ekternal/terhadap pihak luar, tetapi juga mempunyai daya
kekuatan internal, yakni memberikan rasa aman bagi para pemegang/pemiliknya serta
ahli warisnya agar ahli warisnya di kemudian hari tidak mengalami kesulitan, dalam
55
Ibid bandingkan dengan Pasal 2 PP No. 24 Tahun 1997.
56
Pasal 3 PP No. 24 Tahun 1997.
57
arti tidak perlu bersusah payah untuk mengurusnya, hanya harus menjaga
keamanannya serta menghindari kerusakannya.58
Hal penting lain ditekankan dalam PP No. 24 Tahun 1997 adalah dalam
rangka memberikan kepastian hukum kepada pemegang hak atas tanah, diberikan
penafsiran mengenai makna “alat pembuktian yang kuat” dari sertipikat, yaitu selama
belum dibuktikan dan sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang dicantumkan dalam
sertipikat harus diterima sebagai data yang benar, baik dalam perbuatan hukum
sehari-hari maupun dalam sengketa di pengadilan, sepanjang data tersebut sesuai
dengan data yang tercantum dalam surat ukur dan hukum tanah yang bersangkutan.59
Bahkan disebutkan pula bahwa sesuatu pihak yang akan kehilangan haknya
untuk menuntut pelaksanaan hak atas suatu bidang tanah yang telah dibukukan dan
dikeluarkan sertipikat atas nama pihak lain, jika yang bersangkutan telah memperoleh
tanah itu dengan iktikat baik dan menguasainya secara nyata lebih dari 5 (lima) tahun,
keterangan atas penjelasan seperti ini merupakan refleksi kepastian hukum yang
pasti.
60
Karena tujuan pendaftaran tanah adalah untuk mengumpulkan dan
menyajikan informasi mengenai bidang tanah, maka data fisik yaitu keterangan
tentang letak, batas dan luas bidang tanah, termasuk mengenai bangunan yang ada
di atasnya, dan data yuridis yaitu keterangan mengenai status hukum bidang tanah
58
Beni Bosu, Perkembangan Terbaru Sertipikat (Tanah, Tanggungan, dan Kondominium), (Jakarta: Mediatama Saptakarya, 1997), hal. 5.
59
Ibid.
60
terkait dibukukan, dengan demikian setiap data fisik dan data yuridis mengenai data
itu semuanya tercatat dalam dokumen pendaftaran.
Pemberian kesempatan kepada masyarakat baik perorangan maupun
kelompok untuk berpartisipasi dalam pemberian dan pengumpulan informasi tentang
data yuridis tanah. Dalam kaitannya dengan data fisik tanah, masyarakat khususnya
pemegang hak atas tanah dan pemilik tanah di sekitarnya diikutsertakan dalam
menentukan batas-batas pemilikan tanahnya secara musyawarah. Apabila
musyawarah itu tidak dapat menghasilkan kesepakatan, maka hal tersebut diserahkan
kepada pengadilan untuk memutuskan dan menetapkan batas-batas kepemilikannya,
sehingga nilai kepastian hukumnya dapat menjamin. Bentuk partisipasi lain dalam
kaitannya dengan data fisik tanah adalah dibukanya kesempatan badan usaha ikut
melakukan pengukuran dan pemetaan. Berkenaan dengan pengumpulan data yuridis
tanah, masyarakat dapat memberikan kesaksian untuk memperkuat kepemilikan
orang lain atas sebidang tanah, terutama jika alat-alat bukti tertulis tidak tersedia.61
Partisipasi masyarakat dalam pendaftaran tanah adalah terkait dengan
kesadaran hukum masyarakat. Kesadaran hukum masyarakat dalam pendaftaran tanah
sangat penting sehingga kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang
pertanahan harus dipatuhi dan dilaksanakan. Menurut Zainuddin Ali, salah satu faktor
yang mengefektifkan suatu peraturan adalah warga masyarakat, yaitu berupa
kesadaran warga masyarakat untuk mematuhi suatu peraturan perundang-undangan,
61
derajat kepatuhan. Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa derajat kepatuhan
masyarakat terhadap hukum, merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum
yang bersangkutan.62
Suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri adalah bahwa masyarakat
Indonesia bersifat majemuk baik dari segi kehidupan sosial budayanya maupun dari
kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh masing-masing kelompok masyarakat. Oleh
karenanya perbedaan merupakan suatu realita yang harus dihormati. Pemberian
perhatian dan penghormatan terhadap perbedaan itu tercermin dalam ketentuan
tentang alat-alat bukti awal yang dapat digunakan untuk keperluan pendaftaran hak
atas tanah.
Kelompok-kelompok masyarakat yang pada masa lalu sudah pernah
bersentuhan dengan administrasi dan hukum pertanahan yang lebih modern seperti
yang berlangsung dalam masyarakat di Jawa dan daerah swapraja, alat bukti awal
yang dapat digunakan sebagai dasar untuk mengkonversi dan mendaftarkan hak atas
tanahnya berupa bukti-bukti tertulis yang pernah dikeluarkan seperti grosse akte dari
hak-hak Barat, sertipikat model E atau D yang dikenal di Yogyakarta, dan girik atau
petuk pajak tanah. Jika alat-alat bukti tersebut tidak ada, maka dapat dipergunakan
kesaksian orang lain atau pernyataan yang diberikan oleh pihak yang mendaftarkan.
Sedangkan untuk kelompok-kelompok masyarakat yang belum pernah tersentuh
administrasi dan hukum pertanahan yang lebih modern dan hanya mengenal
ketentuan hukum adat, alat bukti yang dapat digunakan kenyataan tentang
62
penguasaan secara fisik atas tanah oleh yang bersangkutan dengan syarat bahwa
penguasaan itu telah berlangsung secara turun-menurun dan atas dasar iktikat baik
selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih, diperkuat dengan kesaksian orang-orang yang
dapat dipercaya seperti ketua-ketua adat, dan tidak dipermasalahkan oleh masyarakat
hukum adat yang bersangkutan. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menyesuaikan
dengan keadaan sekarang di mana alat-alat bukti tertulis tersebut banyak yang sudah
tidak ada lagi dan keadaan di daerah-daerah yang memang tidak mengenal adanya
alat bukti tertulis.63
PP No. 24 Tahun 1997 juga mengatur secara terinci tentang penerbitan
sertipikat pengganti karena sertipikat rusak, hilang, masih menggunakan blangko
lama atau yang tidak diserahkan kepada pembeli lelang dalam suatu lelang eksekusi.
Berdasarkan Pasal 57 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997, permohonan sertipikat
pengganti hanya dapat diajukan oleh pihak yang namanya tercantum sebagai
pemegang hak dalam buku tanah yang bersangkutan atau pihak lain yang merupakan
penerima hak berdasarkan akta PPAT atau kutipan risalah lelang sebagaimana
dimaksud pada Pasal 37 dan Pasal 41, atau akta sebagaimana dimaksud Pasal 43 ayat
(1), atau surat sebagaimana dimaksud Pasal 53 atau kuasanya. Dalam hal pemegang
63
hak atau penerima hak64
Demi kepentingan kepastian hukum terhadap sertipikat hilang dan
penggantian sertipikat baru, diperlukan pernyataan di bawah sumpah dari yang
bersangkutan di hadapan Kepala Kantor Pertanahan atau pejabat yang ditunjuk,
selanjutnya diumumkan 1 (satu) kali dalam salah satu surat kabar harian setempat
dengan biaya pemohon. Jika dalam jangka 30 (tiga puluh) hari tidak ada yang
mengajukan keberatan atau ada yang mengajukan keberatan akan tetapi menurut
pertimbangan Kepala Kantor Pertanahan keberatan tersebut tidak beralasan, maka
diterbitkan sertipikat baru, dan apabila keberatan tersebut dianggap beralasan, maka
Kepala Kantor Pertanahan menolak menerbitkan sertipikat pengganti.
sudah meninggal dunia, permohonan sertipikat pengganti
dapat diajukan oleh ahli warisnya dengan menyerahkan bukti sebagai ahli waris.
65
Sebagai pelaksanaan amanat Pasal 19 ayat (4) UUPA terkait biaya-biaya dalam pelaksanaan pendaftaran tanah, mengatur sebagai berikut:66
(1)besarnya dan cara pembayaran biaya-biaya dalam rangka pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah diatur dengan Peraturan Pemerintah tersendiri; (2)atas permohonan yang bersangkutan, Menteri atau Pejabat yang ditunjuk
dapat membebaskan pemohon dari sebagian atau seluruh biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jika pemohon dapat membuktikan tidak mampu membayar biaya tersebut;
(3)untuk pendaftaran peralihan hak karena pewarisan yang diajukan dalam waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal meninggalnya pewaris, tidak dipungut biaya pendaftaran;
(4)tata cara untuk memperoleh pembebasan atas biaya pendaftaran tanah diatur oleh Menteri.
Pendaftaran tanah berdasarkan PP No. 24 Tahun 1997 berbeda pelaksanaan
dengan pendaftaran tanah dalam keadaan darurat67
64
Pasal 57 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997.
seperti bencana gempa dan
65
Pasal 59 PP No. 24 Tahun 1997.
66
tsunami tahun 2004 di Provinsi Aceh, akan tetapi mempunyai tujuan yang sama yaitu
memberikan kepastian hukum hak atas tanah. Pendaftaran tanah pasca tsunami di
Provinsi Aceh dilaksanakan melalui program RALAS yang dikenal dengan istilah
pendaftaran tanah berbasis masyarakat mempunyai perbedaan dengan pendaftaran
tanah dalam PP No. 24 Tahun 1997 antara lain dalam hal penentuan lokasi
pendaftaran tanah, tidak dikenakan biaya apapun dalam keseluruhan program
pendaftaran tanah, penentuan batas-batas bidang tanah dan kepemilikan hak atas
tanah didasarkan kepada kesepakatan warga, dilaksanakan dalam jangka waktu cepat,
pengolahan data dilakukan dengan menggunakan sistem digital, pemetaan dilakukan
dengan menggunakan sistem satelit, dilaksanakan dengan prinsip: partisipatif,
transparans, akuntabel, dan adanya monitoring secara independen dan pelaksanaan
program mencakup seluruh bidang tanah di seluruh gampong yang terkena bencana
tsunami.
Sesuai dengan Teori Perlindungan Hukum di atas yang dikemukakan oleh
Salmond, bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan
berbagai kepentingan (kebutuhan) dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas
kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan
67
dengan cara membatasi berbagai kepentingan di lain pihak.68
Kepentingan atau
kebutuhan masyarakat yang terkena dampak tsunami di Provinsi Aceh adalah
perlindungan terhadap kepemilikan tanahnya yang diwujudkan dengan pemberian
sertipikat hak atas tanah oleh Pemerintah untuk melindungi pemilik atau ahli waris
yang sebenarnya dari pihak-pihak yang tidak berhak.
2. Kerangka Konsepsional69
Kerangka konsepsional70 penting dirumuskan agar tidak tersesat ke
pemahaman lain, di luar maksud penulis. Konsepsional ini merupakan “alat yang
dipakai oleh hukum di samping yang lain-lain, seperti asas dan standar”. Oleh karena
itu, kebutuhan untuk membentuk konsepsional merupakan salah satu dari hal-hal
yang dirasakan penting dalam hukum. Konsepsional adalah suatu konstruksi mental,
yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran
penelitian untuk keperluan analisis.71
68
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 53.
Dalam konsepsional diungkapkan beberapa
69
Konsepsional berarti berdasarkan konsepsi, pikiran dan cita-cita. Lihat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Cetakan Ketujuh, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), hal. 520.
70
Kerangka konsepsional biasanya sekaligus merumuskan definisi-definisi tertentu yang dapat dijadikan pedoman operasional di dalam pengumpulan, pengolahan, analisa, dan konstruksi data. Lihat Soerjono Soekanto, 1986, Op.Cit, hal. 137.
71
konsepsional atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian
hukum.72
Selanjutnya konsepsional atau pengertian merupakan unsur pokok dari suatu
penelitian. Kalau masalah dan kerangka teoritisnya sudah jelas, biasanya sudah
diketahui pula fakta mengenai gejala-gejala yang menjadi pokok perhatian, dan suatu
konsepsional sebenarnya adalah definisi secara singkat dari sekelompok fakta atau
gejala itu. Maka konsepsional merupakan definisi dari apa yang perlu diamati,
konsepsional menentukan antara variabel-variabel yang ingin menentukan adanya
hubungan empiris.73
Menjawab permasalahan dalam penelitian disertasi ini perlu didefinisikan
beberapa konsep dasar dalam rangka menyamakan persepsi atau pandangan agar
secara operasional dapat dibatasi ruang lingkup dari variabel dan dapat diperoleh
hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah ditentukan. Beberapa
definisi secara konsepsional dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Rekonstruksi pertanahan adalah penataan dan penentuan kembali fisik/obyek
dan subyek tanah terhadap tanah pertanian dan perumahan melalui penerbitan
sertipikat hak atas tanah.
lebih. Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi III, (Yogyakarta: Roke Sarasni, 1996), hal. 22-23, 58-59.
72
Soerjono Soekanto, 1986, Op.Cit, hal. 21. Pada hakikatnya, konsepsional merupakan suatu pengarah, atau pedoman yang lebih konkrit dari kerangka teoritis (tinjauan pustaka) yang sering kali masih bersifat abstrak. Namun demikian, suatu kerangka konsepsional belaka kadang-kadang dirasakan masih juga abstrak, sehingga diperlukan definisi-definisi operasional yang akan menjadi pegangan konkrit di dalam proses penelitian, lihat Satjipto Rahardjo, 1996, Op.Cit, hal. 30 dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 48.
73
b. Rekonstruksi fisik/obyek pertanahan adalah penentuan kembali batas
bidang-bidang tanah yang telah rusak/hilang.
c. Rekonstruksi yuridis pertanahan adalah sebagai upaya Pemerintah dalam
rangka menemukan kembali pemilik-pemilik tanah, guna dihubungkan
dengan pemilikan tanahnya secara fisik dan administrasi yang terputus
sebagai akibat bencana tsunami.
d. Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap
subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif
maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis.
Dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi
hukum, yaitu konsep di mana hukum dapat memberikan suatu keadilan,
ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian.
e. Bencana adalah gangguan serius terhadap masyarakat yang menyebabkan
kerugian, baik terhadap manusia, material maupun lingkungan yang melebihi
kemampuan masyarakat untuk menanganinya dengan sumberdaya sendiri.
f. Kondisi darurat adalah suatu situasi yang luar biasa di mana terjadi ancaman
yang serius terhadap kehidudpanan manusia sebagai akibat dari bencana.
g. Tsunami adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan manusia/masyarakat akibat gelombang air yang
sangat besar yang dibangkitkan oleh macam-macam gangguan di dasar
h. Ketersediaan hukum adalah kesiapan dari peraturan perundang-undangan
terutama dibidang pertanahan untuk digunakan atau dioperasikan dalam
rangka menyelesaikan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi
Aceh.
i. Peran Badan Pertanahan Nasional adalah kesiapan Badan Pertanahan
Nasional meliputi sumber daya manusia baik dari segi kualitas maupun
kuantitas serta sarana dan prasarana yang diperlukan dalam rangka
rekonstruksi pertanahan.
j. Partisipasi masyarakat adalah suatu proses yang melibatkan masyarakat, yaitu
proses komunikasi dua arah yang terus menerus dilakukan untuk
meningkatkan kesadaran masyarakat secara penuh dalam rangka mendukung
kegiatan rekonstruksi pertanahan yang bertujuan mengembalikan hak atas
tanah kepada pemiliknya pasca tsunami di Provinsi Aceh.
F. Metode74 Penelitian75
74
Secara etimologis metode diartikan sebagai jalan atau cara melakukan atau mengerjakan sesuatu, metode berasal dari bahasa Yunani “Methodos” yang artinya “jalan menuju”, bagi kepentingan ilmu pengetahuan, metode merupakan titik awal menuju proposisi-proposisi akhir dalam bidang pengetahuan tertentu. Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2008), hal. 13. Maka penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya, di samping itu juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2007), hal. 43.
75
Pemilihan suatu metode yang baik untuk suatu penelitian tergantung kepada
sasaran penelitian, bahan yang tersedia, kondisi yang meliputi kegiatan penelitian,
dan terutama jenis informasi yang diperlukan. Metode penelitian yang digunakan
dalam pengumpulan data merupakan hal yang sangat penting dalam pengumpulan
bahan materi penulisan disertasi. Dalam penulisan ini, metode penelitian yang
digunakan adalah sebagai berikut:
1. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat preskriptif yang memberikan pemecahan suatu masalah
(problem solving) dan tidak sekedar deskriptif (just to describe something as it is).76
2. Jenis Penelitian
Dengan sifat penelitian preskriptif ini maka dapat dicari solusi aturan hukum
pelaksanaan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh, kesiapan BPN
dalam melakukan rekonstruksi pertanahan dan partisipasi masyarakat dalam
mendukung kegiatan rekonstruksi pertahanan pasca tsunami di Provinsi Aceh.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum empiris. Penelitian
hukum empiris77
76
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Jakarta: PT. Sofmedia, 2012), hal. 107.
merupakan penelitian terhadap identifikasi hukum (tidak tertulis)
dan penelitian terhadap efektivitas hukum.
77
3. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan adalah Pendekatan Undang-Undang
(statute approach). Pendekatan Undang-Undang dilakukan dengan menelaah semua
undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang
ditangani. Dalam penelitian ini, peneliti mencari ratio legis dan dasar ontologis
lahirnya undang-undang seperti Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2007.
4. Lokasi Penelitian
Mengingat luasnya Provinsi Aceh yang terkena tsunami, maka dipilih 2 (dua)
kabupaten/kota sebagai lokasi penelitian yaitu Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh
Besar. Pemilihan kedua lokasi tersebut berkaitan dengan kepadatan penduduk,
sebagai ibukota provinsi atau berdekatan dengan ibukota Provinsi dan merupakan
lokasi prioritas pelaksanaan kegiatan RALAS terutama di awal kegiatan rekonstruksi
pertanahan, juga berdasarkan pertimbangan hal-hal berikut:
a. Kota Banda Aceh:
1) Luas 6.136 Ha pada saat sebelum gempa dan tsunami terdiri dari 32,65% penggunaan tanah bangunan dan 67,35% penggunaan tanah non bangunan, sesudah bencana tanah bangunan berubah menjadi 12,58% tanah bangunan rusak sedangkan selebihnya 20,07% terdiri dari 2,87% rusak ringan, 0,39% rusak berat/musnah dan 16,81% bebas tsunami. Penggunaan tanah non bangunan berubah menjadi 35,27% rusak sedangkan selebihnya 32,08% tidak rusak yang dirinci menjadi 7,06% rusak ringan/aman tidak terkena tsunami dan 5,54% rusak berat/musnah.
2) Total kerusakan sebesar 47,85%, terdiri dari:
i. 12,58% penggunaan tanah bangunan dengan kualifikasi 4,19% rusak berat, 4,69% rusak sedang, dan 3,70% rusak ringan.
ii. 35,27% penggunaan tanah non bangunan dengan kualifikasi hampir seluruhnya rusak berat dan sedang.
b. Kabupaten Aceh Besar:
1) Luas kabupaten 296.690 Ha yang terkena tsunami seluas 11.566 Ha atau 3,89% dari total luas wilayah, meliputi Baitussalam, Darul Imarah, Leupung, Lhoknga, Lhoong, Mesjid Raya, Pekanbada dan Pulo Aceh.
2) 3,89% luas wilayah yang terkena tsunami hampir seluruhnya dalam kondisi rusak sedang sampai berat. 78
5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian hukum empiris ini menggunakan:
a. Penelitian Kepustakaan (Library Research).
Penelitian kepustakaan dilakukan untuk mendapatkan data sekunder, yang
meliputi: bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum
tertier.
1) Bahan hukum primer, yaitu: bahan-bahan hukum yang mengikat, yang
terdiri dari:
a) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945;
b) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104;
c) Undang-Undang 51/Prp Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya;
d) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak Atas dan Benda-benda yang ada di atasnya;
e) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2005 tentang Badan Rehabilitasi Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi
78