BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Besarnya jumlah penduduk Indonesia tidak diikuti dengan penyediaan
lapangan kerja yang luas. Hal itu menyebabkan munculnya banyak pengangguran.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) sampai dengan Februari 2012 jumlah
pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 6,32% atau sekitar 7,6 juta jiwa
(http://www.bps.go.id/?news=928
Menurut Kementrian Keuangan, Usaha Mikro, Kecil, dan Menegah
(UMKM) adalah kegiatan usaha perorangan atau badan usaha yang telah
melakukan kegiatan/usaha yang mempunyai omzet per tahun setinggi-tingginya
Rp 600 juta atau aset setinggi-tingginya Rp 600 juta (di luar tanah dan bangunan
yang ditempati). Contohnya Firma, CV, PT, dan Koperasi yakni dalam bentuk
badan usaha. Sedangkan contoh dalam bentuk perorangan antara lain pengrajin,
industri rumah tangga, peternak, nelayan, petani, pedagang barang dan jasa
lainnya (Keputusan Menteri Keuangan No. 316/KMK 016/1994).
). Pada akhirnya, untuk terlepas dari
pengangguran dan untuk tetap dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, masyarakat
mencari peluang kerja dengan mendirikan berbagai jenis usaha dengan skala yang
tidak terlalu besar misalnya industri kecil, perdagangan, jasa, konstruksi,
transportasi, dan lain sebagainya. Usaha-usaha seperti inilah yang dinamakan
UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah). Kemunculan UMKM tidak dapat
dilepaskan dari kegagalan sektor formal dalam menyerap pertumbuhan angkatan
Peran Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) sebagai penopang
utama perekonomian Indonesia sudah tidak diragukan lagi. Berbagai kajian
maupun hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh para ahli yang menggeluti
bidang ini (Tambunan, 2009 dan Purwanto, 2005) menyebutkan bahwa lokomotif
utama perekonomian Indonesia selama ini pada dasarnya adalah sektor UMKM.
Ketika kita menyebut UMKM sebagai pilar perekonomian Indonesia, paling tidak
ada tiga fungsi utama yang wajib untuk disebutkan, yaitu: (1) sektor UMKM
sebagai penyedia lapangan kerja bagi jutaan orang yang tidak tertampung di
sektor formal, (2) sektor UMKM sebagai penyedia bahan baku murah bagi
perusahaan-perusahaan besar, (3) sektor UMKM sebagai sumber penghasil devisa
negara melalui ekspor berbagai jenis produk yang dihasilkan oleh sektor ini
(Purwanto, 2005: 99).
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997 menjadi bukti
yang cukup kuat terhadap berbagai temuan para ahli tersebut. Ketika berbagai
usaha besar terpuruk karena imbas krisis ekonomi, UMKM ternyata justru dapat
bertahan dan bahkan menjadi katup penyelamat bagi jutaan rakyat yang
membutuhkan kehadirannya (http://kompasiana.com/post/bisnis/2011/02/08/
Tidak hanya sebagai katup pengaman untuk mencegah terjadinya
pergolakan sosial, keberadaan UMKM dalam kenyataannya juga mampu menjadi
motor penggerak pembangunan ekonomi bagi kedua golongan masyarakat miskin
di perkotaan maupun pedesaan. Dalam konteks ini UMKM dapat berperan
sebagai instrumen mobilitas vertikal bagi rumah tangga dan kelompok yang
kurang beruntung tadi (Purwanto, 2005: 106).
Pada level yang lebih luas lagi, keberadaan UMKM juga sedikit banyak
memberi kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi nasional maupun membantu
pemerintah untuk meningkatkan cadangan devisa melalui ekspor. Kontribusi
UMKM terhadap pembangunan ekonomi nasional di Indonesia, baik dalam
penyediaan lapangan kerja, peningkatan PDB, maupun peningkatan cadangan
devisa terus meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan pertumbuhan jumlah
UMKM di Indonesia (Purwanto, 2005: 107).
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) perkembangannya cukup
baik di Indonesia, namun ada satu kendala yang sampai saat ini masih mereka
hadapi, yaitu masalah pemenuhan modal. Para pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah (UMKM) kesulitan untuk mengembangkan usahanya karena
keterbatasan modal dan begitu pula masyarakat yang ingin membuka usaha
kecil-kecilan. Tidak semua masyarakat, terutama masyarakat lapisan menengah ke
bawah memiliki modal yang cukup untuk membuka atau mengembangkan usaha
dan produktivitasnya, sehingga dalam hal ini masyarakat tersebut membutuhkan
bantuan berupa pinjaman atau kredit yang biasanya dapat diperoleh di suatu
lembaga perbankan.
(http://archive.bisnis.com/articles/akses-modal-ukm-terhambat-biaya-transaksi-perbankan
Untuk mengatasi masalah permodalan bagi UMKM, pemerintah memiliki
suatu kebijakan mengenai pemberdayaan UMKM, khususnya dalam akses
permodalan, yaitu melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR). Melalui KUR, pelaku
UMKM dapat memperoleh akses kredit yang dapat digunakan sebagai modal
untuk memulai dan membuka usaha baru atau mengembangkan usaha sehingga
semakin produktif.
KUR lahir sebagai respons dari Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2007
Tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah khususnya di bidang Reformasi Sektor
Keuangan. Instruksi Presiden tersebut ditindaklanjuti dengan ditandatanganinya
Nota Kesepahaman Bersama antara Pemerintah, Lembaga Penjaminan, dan
Perbankan pada tanggal 09 Oktober 2007 sebagaimana kemudian diubah dengan
addendum pada tanggal 14 Mei 2008 tentang Penjaminan Kredit/Pembiayaan
kepada UMKM dan Koperasi atau yang lebih populer dengan istilah Kredit Usaha
Rakyat (KUR). Melalui KUR, pemerintah mengharapkan adanya percepatan
pengembangan kegiatan perekonomian terutama di sektor riil, dalam rangka
penanggulangan atau pengentasan kemiskinan dan perluasan kesempatan kerja
(Retnadi, 2008).
Pada dasarnya KUR merupakan kredit pembiayaan usaha tanpa agunan
karena yang menjadi agunan pokok KUR adalah kelayakan usaha dan usaha itu
sendiri, namun beberapa bank memiliki aturan mengenai agunan tambahan.
Dalam pelaksanaan KUR, perbankan memiliki peranan yang sangat penting yaitu
sebagai penerima jaminan yang berfungsi menyalurkan kredit kepada UMKM dan
Koperasi dengan menggunakan dana internal masing-masing. Bank menjadi pihak
yang berhubungan langsung dengan masyarakat yang membutuhkan kredit
permodalan. KUR merupakan Kredit Modal Kerja dan Kredit Investasi yang
dibiayai sepenuhnya dari dana perbankan
(http://komite-kur.com/category-2-ketentuan-dan-peraturan.asp
Bank pelaksana KUR adalah bank yang ikut menandatangani Nota
Mikro, Kecil, Menengah, dan Koperasi (UMKMK) yang terdiri dari Bank Rakyat
Indonesia (BRI), Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Mandiri, Bank Tabungan
Negara (BTN), Bank Syariah Mandiri (BSM), Bank Bukopin, Bank Negara
Indonesia Syariah (BNI Syariah) dan seluruh Bank Pembangunan Daerah (BPD)
yang tersebar di seluruh Indonesia. Bank Rakyat Indonesia (BRI) merupakan bank
yang terdepan dalam penyaluran KUR. Bank BRI adalah penyalur KUR terbesar
dengan total plafon mencapai Rp 65,3 triliun
(http://komite-kur.com/article-75-sebaran-penyaluran-kredit-usaha-rakyat-periode-november-2007-maret-2013.asp
Jumlah dana Kredit Usaha Rakyat yang telah dikeluarkan untuk sektor
UMKM sampai saat ini sudah sangat banyak, namun KUR juga mencatatkan
banyak tunggakan. Muhammad Hasyim, Kepala Bidang Restrukturisasi
Pendanaan Kementrian Koperasi dan UKM seperti yang dikutip oleh Harian
Tribunnews.com mengatakan bahwa sampai dengan Juli 2012 rasio kredit macet
KUR mencapai 3,4% dari outstanding kredit Rp 36,72 triliun dan plafon Rp 82,46
triliun. (
).
http://www.tribunnews.com/2012 /08 /31 /kredit - macet - kur – makin -
menumpuk
Berdasarkan wawancara penulis dengan salah satu Account Officer di
Bank Rakyat Indonesia (BRI) Cabang Stabat, diketahui bahwa jalannya KUR di
BRI Cabang Stabat sangat baik, hal itu dapat dilihat dari jumlah Non Performing
Loan (NPL) atau kredit bermasalah yang mencapai 0% atau dengan kata lain tidak
ada sama sekali untuk jenis kredit KUR jika dibandingkan dengan dua belas Unit
Bank Rakyat Indonesia (BRI) lainnya yang ada di Stabat yang masih memiliki
yang penulis ketahui bahwa BRI Cabang Stabat adalah BRI yang terbaik dalam
penyaluran KUR di Provinsi Sumatera Utara.
(Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Bapak Turkis Utama selaku
Account Officer Program KUR dan Bapak Gatot Cahyo Purwodi selaku Pimpinan
Cabang pada BRI Cabang Stabat).
Sektor UMKM yang menjadi salah satu penggerak ekonomi nasional ini
sangat membutuhkan akses permodalan. Dengan adanya KUR para pelaku
UMKM menjadi mudah untuk memperoleh modal sehingga pada akhirnya dapat
membantu mereka dalam menumbuhkembangkan usaha. Karena pentingnya KUR
bagi UMKM, maka pelaksanaannya pun harus dilakukan sebaik mungkin. Oleh
sebab itu, berdasarkan uraian di atas, saya tertarik untuk melakukan penelitian
dengan judul: “Implementasi Kredit Usaha Rakyat dalam Mengembangkan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. Cabang Stabat”
1.2. Fokus Masalah
Dalam penelitian kualitatif ada yang disebut dengan batasan masalah.
Batasan masalah dalam penelitian kualitatif disebut dengan fokus, yang berisi
pokok masalah yang bersifat umum. Fokus itu merupakan domain tunggal atau
beberapa domain yang terkait dari situasi sosial. Pada penelitian kualitatif,
penemuan fokus berdasarkan hasil studi pendahuluan, pengalaman, referensi, dan
disarankan oleh orang yang dipandang ahli. Fokus dalam penelitian kualitatif juga
masih bersifat sementara dan akan berkembang di lapangan (Sugiyono, 2008:
290). Dalam penelitian ini, penulis ingin mengetahui bagaimana implementasi
memfokuskan penelitian ini pada implementasi Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Berjalannya implementasi KUR dengan baik akan membantu sektor UMKM
dalam hal akses permodalan, yang mana modal merupakan komponen yang
sangat penting untuk memulai dan mengembangkan usaha.
1.3. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka permasalahan yang
menjadi perhatian penulis adalah: “Bagaimana Implementasi Kredit Usaha Rakyat dalam mengembangkan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah pada Bank Rakyat Indonesia Cabang Stabat?”
1.4. Tujuan Penelitian
Setiap penelitian yang dilakukan tentu mempunyai sasaran yang hendak
dicapai atau menjadi tujuan penelitian. Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui implementasi Kredit Usaha Rakyat (KUR) dalam
mengembangkan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) pada Bank
Rakyat Indonesia (BRI) Cabang Stabat;
2. Untuk mengetahui kendala-kendala yang terjadi dalam proses implementasi
Kredit Usaha Rakyat (KUR) dalam mengembangkan Usaha Mikro, Kecil, dan
1.5. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari hasil penelitian ini
adalah:
1. Manfaat subjektif. Sebagai sarana untuk melatih dan mengembangkan
kemampuan berpikir ilmiah, sistematis, dan metodologis penulis dalam
menyusun berbagai kajian literatur untuk menjadikan suatu wacana baru dalam
memperkaya khazanah kognitif.
2. Manfaat praktis. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan akan memberi
manfaat bagi instansi terkait sebagai masukan/sumbangan pemikiran demi
peningkatan pelaksanaan program dan kebijakan.
3. Manfaat akademis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan
memperkaya ragam penelitian yang telah dibuat oleh para mahasiswa bagi
Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sumatera Utara serta dapat dijadikan bahan referensi bagi
terciptanya suatu karya ilmiah.
1.6. Kerangka Teori
Menurut Hoy dan Miskel (Sugiyono, 2008: 25) teori adalah seperangkat
konsep, asumsi dan generalisasi yang dapat digunakan untuk mengungkapkan dan
menjelaskan perilaku dalam berbagai organisasi. Sebelum melakukan penelitian
yang lebih lanjut, seorang peneliti perlu menyusun suatu kerangka teori sebagai
landasan berpikir untuk menggambarkan dari sudut mana peneliti menyoroti
masalah yang dipilihnya. Sugiyono (2008) lebih lanjut menambahkan bahwa teori
bagi peneliti kualitatif akan berfungsi sebagai bekal untuk bisa memahami
Kerangka teori adalah bagian dari penelitian, tempat peneliti memberikan
penjelasan tentang hal-hal yang berhubungan dengan variabel pokok,
sub-variabel, atau pokok masalah yang ada dalam penelitian (Arikunto, 2007: 92).
Sebagai landasan berpikir dalam menyelesaikan atau memecahkan
masalah yang ada, perlu adanya pedoman teoritis yang membantu dan sebagai
bahan referensi dalam penelitian. Kerangka teori diharapkan dapat memberikan
pemahaman yang jelas dan tepat bagi peneliti dalam memahami masalah yang
diteliti.
1.6.1. Kebijakan Publik
1.6.1.1. Pengertian Kebijakan Publik
Definisi publik adalah mengenai orang atau masyarakat, dimiliki
masyarakat, serta berhubungan dengan, atau mempengaruhi suatu bangsa, negara,
atau komunitas (http://id.wikipedia.org/wiki/Publik). Kata “publik” secara
terminologi mengandung arti sekelompok orang atau masyarakat dengan
kepentingan tertentu. Istilah publik merupakan aktivitas manusia yang dipandang
perlu untuk diatur atau diintervensi oleh pemerintah atau aturan sosial, atau
setidaknya oleh tindakan bersama. Makna modern dari gagasan “kebijakan”
dalam bahasa Inggris adalah seperangkat aksi atau rencana yang mengandung
tujuan politik. Sejak periode pasca Perang Dunia II, kata policy mengandung
makna kebijakan sebagai sebuah rationale, sebuah manifestasi dari penilaian
penuh pertimbangan. Sebuah kebijakan adalah usaha untuk mendefinisikan dan
menyusun basis rasional untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (Parsons,
Pengertian kebijakan publik itu sendiri memiliki makna yang luas,
masing-masing definisi memberi pendekatan yang berbeda-beda, karenanya diperlukan
batasan-batasan ataupun konsep kebijakan publik. Usaha pemerintah untuk
merespons kepentingan publik ini adalah yang disebut dengan kebijakan publik.
Robert Eyestone mengatakan secara luas kebijakan publik dapat didefinisikan
sebagai hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya. Konsep yang
ditawarkan Eyestone ini mengandung pengertian yang begitu luas dan kurang
pasti karena apa yang dimaksud dengan kebijakan publik dapat mencakup banyak
hal (Winarno, 2008: 17).
Carl Friedrich memandang kebijakan sebagai suatu arah tindakan yang
diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu
yang memberikan hambatan-hambatan dan peluang-peluang terhadap kebijakan
yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu
tujuan atau merealisasikan suatu sasaran atau suatu maksud tertentu. Definisi ini
mencakup dimensi yang luas karena kebijakan tidak hanya dipahami sebagai
tindakan yang dilakukan oleh pemerintah, melainkan oleh kelompok ataupun
individu. James Anderson mendefinisikan kebijakan sebagai arah tindakan yang
mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor
dalam mengatasi suatu masalah ataupun persoalan (Winarno, 2008: 17-19).
Menurut Woll (Tangkilisan, 2003), kebijakan publik adalah sejumlah
aktivitas pemerintah untuk memecahkan masalah di masyarakat, baik secara
langsung maupun melalui lembaga yang mempengaruhi kehidupan masyarakat.
Berdasarkan definisi tersebut, Woll menyatakan bahwa pengaruh dari tindakan
oleh politisi, pegawai pemerintah atau yang lainnya dengan menggunakan
kekuatan publik yang pada akhirnya dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat;
(2) ada output kebijakan, yakni dengan dibuatnya kebijakan, pemerintah dituntut
membuat aturan, anggaran, personil, dan regulasi dalam bentuk program yang
akan mempengaruhi kehidupan masyarakat; (3) adanya dampak kebijakan yang
mempengaruhi kehidupan masyarakat.
Menurut Thomas R. Dye, kebijakan adalah suatu pilihan pemerintah untuk
menentukan langkah untuk “berbuat” atau “tidak berbuat”. Lasswel dan Kaplan
melihat kebijakan itu sebagai “sarana” untuk mencapai “tujuan”. Kebijakan itu
tertuang dalam “program” yang diarahkan kepada pencapaian “tujuan”, “nilai”,
dan “praktek”. Sehingga dapat dirumuskan bahwa kebijakan publik adalah
serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan oleh pemerintah dengan
tujuan tertentu demi kepentingan masyarakat (Lubis, 2007: 6-9).
Dari definisi tersebut dapat dinyatakan bahwa sebenarnya kebijakan publik
secara sederhana merupakan aktivitas-aktivitas pemerintah yang memiliki tujuan
dan memiliki pengaruh terhadap kehidupan masyarakat banyak atau publik,
aktivitas yang dikerjakan atau tidak dikerjakan oleh pemerintah. Kebijakan publik
menentukan bentuk suatu kehidupan setiap bangsa dan negara. Semua negara
menghadapi masalah yang relatif sama, yang berbeda adalah bagaimana respons
terhadap masalah tersebut. Respons ini yang disebut sebagai kebijakan publik.
Dari penjelasan-penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa Kredit Usaha
Rakyat adalah sebuah program yang dibuat oleh pemerintah sebagai bentuk
aplikasi dari kebijakan publik yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan
1.6.1.2. Tahap-tahap Kebijakan Publik
Proses kebijakan publik merupakan proses yang kompleks karena
melibatkan banyak proses maupun variabel yang dikaji. Oleh karena itu beberapa
ahli politik yang menaruh minat untuk mengkaji kebijakan publik, membagi
proses-proses penyusunan kebijakan publik ke dalam beberapa tahap. Tujuan
pembagian seperti ini adalah untuk memudahkan kita di dalam mengkaji
kebijakan publik (Winarno, 2008: 32).
Ada beberapa tahapan-tahapan proses penyusunan kebijakan publik.
Tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut (Winarno, 2008: 32-34):
1. Tahap Penyusunan Agenda. Dalam tahap ini para pejabat yang dipilih dan
diangkat menempatkan masalah pada agenda publik. Sebelumnya
masalah-masalah berkompetisi dulu untuk dapat masuk dalam agenda kebijakan. Pada
akhirnya, beberapa masalah masuk ke dalam agenda kebijakan para perumus
kebijakan.
2. Tahap Formulasi Kebijakan. Masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan
kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi
didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah terbaik. Pemecahan
masalah tersebut berdasarkan alternatif-alternatif atau pilihan kebijakan yang
ada.
3. Tahap Adopsi Kebijakan. Melakukan adopsi salah satu alternatif kebijakan dari
setiap alternatif yang terdapat dalam formulasi kebijakan dengan dukungan
dari mayoritas legislatif, konsensus antara direktur lembaga atau keputusan
4. Tahap Implementasi Kebijakan. Keputusan kebijakan yang telah diambil dalam
adopsi kebijakan yang memang dapat dianggap sebagai kebijakan yang terbaik
dalam pemecahan suatu masalah harus diimplementasikan. Implementasi
kebijakan dilakukan oleh badan-badan administrasi negara maupun agen-agen
pemerintahan di tingkat bawah yang memobilisasikan sumber daya finansial
dan manusia.
5. Tahap Evaluasi Kebijakan. Tahap ini dilakukan untuk melihat sejauh mana
sebuah kebijakan mampu memecahkan masalah dengan menggunakan
kriteria-kriteria sebagai dasar untuk melihat dampak kebijakan yang telah
diimplementasikan.
Dalam pandangan Ripley (Subarsono, 2005: 11), tahapan kebijakan publik
digambarkan sebagai berikut: Gambar 1.1. Tahapan Kebijakan Publik
1.6.2. Implementasi
1.6.2.1. Pengertian Implementasi Kebijakan
Studi implementasi adalah studi perubahan yang terjadi dan perubahan
bisa dimunculkan, juga merupakan studi tentang mikrostruktur dari kehidupan
politik yaitu organisasi di luar dan di dalam sistem politik menjalankan urusan
mereka dan berinteraksi satu sama lain dan motivasi yang membuat bertindak
secara berbeda (Parsons, 2008: 463).
Dalam setiap perumusan suatu tindakan apakah itu menyangkut program
maupun kegiatan-kegiatan selalu diiringi dengan suatu tindakan pelaksanaan atau
implementasi, karena suatu kebijaksanaan tanpa diimplementasikan maka tidak
akan banyak berarti.
Implementasi merupakan tahapan yang penting karena menentukan apakah
kebijakan yang ditempuh telah benar-benar applicable di lapangan dan berhasil
untuk menghasilkan output dan outcome seperti yang telah direncanakan.
Seperti yang dikemukakan oleh Grindle (Wahab, 1990: 59), implementasi
kebijakan bukanlah sekedar bersangkut-paut dengan mekanisme penjabaran
keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur rutin lewat saluran-saluran
birokrasi, melainkan lebih dari itu, ia menyangkut masalah konflik, keputusan,
dan siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan. Oleh sebab itu, tidak
berlebihan jika dikatakan bahwa implementasi kebijakan merupakan aspek yang
terpenting dari keseluruhan proses kebijakan. Ini menunjukkan adanya keterkaitan
yang erat antara perumusan kebijakan dengan implementasi kebijakan, dalam arti,
implementasi tidak bekerja sesuai persyaratan, maka kebijakan yang semula baik
akan menjadi jelek dan begitu pula sebaliknya.
Sesuai dengan hal tersebut, Van Meter dan Van Horn (Winarno, 2008:
146) mengemukakan: “Implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang
dilakukan oleh individu-individu (kelompok-kelompok pemerintah maupun
swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam
keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya”.
Standar dan sasaran kebijakan didasarkan pada kepentingan utama
terhadap faktor-faktor yang menentukan pencapaian kebijakan. Mengidentifikasi
indikator-indikator pencapaian merupakan tahap yang krusial dalam analisis
implementasi kebijakan. Indikator-indikator pencapaian ini menilai sejauh mana
ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan telah direalisasikan. Dampak
kondisi-kondisi ekonomi, sosial, dan politik pada kebijakan publik merupakan
pusat perhatian yang besar selama dasawarsa yang lalu. Para peminat
perbandingan politik dan kebijakan publik secara khusus tertarik dalam
mengidentifikasikan pengaruh variabel-variabel lingkungan pada hasil-hasil
kebijakan. Faktor-faktor implementasi keputusan-keputusan kebijakan mendapat
perhatian yang kecil, namun menurut Van Meter dan Van Horn, faktor-faktor ini
mempunyai efek mendalam terhadap pencapaian badan-badan pelaksana.
Sedangkan menurut Edward (2003: 1) Implementasi kebijakan adalah
salah satu tahap kebijakan publik, antara pembentukan kebijakan dan
konsekuensi-konsekuensi kebijakan bagi masyarakat yang dipengaruhinya.
Jika suatu kebijakan tidak tepat atau tidak dapat mengurangi masalah yang
kegagalan sekalipun kebijakan itu diimplementasikan dengan sangat baik, dapat
mengalami kegagalan jika kebijakan tersebut kurang diimplementasikan dengan
baik oleh para pelaksana kebijakan.
Selanjutnya Jones (1994) mengemukakan: “Implementasi adalah suatu
proses interaktif antara suatu perangkat tujuan dengan tindakan atau bersifat
interaktif dengan kegiatan-kegiatan kebijaksanaan yang mendahuluinya, dengan
kata lain implementasi merupakan kegiatan yang dimaksudkan untuk
mengoperasikan sebuah program dengan pilar-pilar organisasi, interpretasi dan
pelaksanaan”.
Sedangkan menurut Mazmanian dan Sabatier (Nugroho, 2006),
menjelaskan lebih lanjut tentang konsep implementasi kebijakan sebagai berikut:
“Memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah program dinyatakan
berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi
kebijakan, yaitu kejadian-kejadian atau kegiatan yang timbul setelah
disahkannya pedoman-pedoman kebijakan negara, yaitu mencakup baik
usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan
akibat/dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian.”
Drucker (Eriza, 2006) merumuskan bahwa implementasi merupakan
tindakan-tindakan yang dilakukan dalam rangka pencapaian tujuan yang telah
digariskan terlebih dahulu.
Sedangkan Wibawa (Tangkilisan, 2003: 20) berpendapat bahwa
implementasi kebijakan adalah untuk menetapkan arah agar tujuan kebijakan
1.6.2.2. Model-model Implementasi
Untuk mempermudah dalam memahami dan mengimplementasikan suatu
kebijakan, terdapat beberapa model, antara lain:
A.Model Meter dan Horn
Meter dan Horn (Wibawa, 1994: 19) merumuskan sebuah abstraksi yang
memperlihatkan hubungan antar berbagai faktor yang mempengaruhi hasil atau
kinerja suatu kebijakan. Kinerja yang tinggi berlangsung dalam antar hubungan
berbagai faktor sebagaimana terlihat pada bagan.
Standar dan
Sikap pelaksana Kinerja
Kebijakan Gambar 1.2. Bagan Model Implementasi Kebijakan Menurut Meter dan Horn
Model ini menjelaskan tentang hubungan-hubungan antara
variabel-variabel bebas. Variabel-variabel-variabel tersebut dijelaskan oleh Van Meter dan Van
Horn (Winarno, 2008: 145) sebagai berikut:
1. Ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan
Variabel ini didasarkan pada kepentingan utama terhadap faktor-faktor
yang menentukan kinerja kebijakan. Menurut Van Meter dan Horn, identifikasi
indikator-indikator kinerja merupakan tahap yang krusial dalam analisis
implementasi kebijakan. Indikator-indikator kinerja ini menilai sejauh mana
ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan direalisasikan.
Ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan berguna dalam menguraikan tujuan-tujuan
keputusan kebijakan secara menyeluruh, maka ukuran-ukuran dan
tujuan-tujuan dirumuskan secara spesifik dan konkret.
2. Sumber-sumber kebijakan
Sumber-sumber layak mendapatkan perhatian karena menunjang
keberhasilan implementasi kebijakan. Sumber-sumber yang dimaksud
mencakup dana atau perangsang (incentive) lain yang mendorong dan
memperlancar implementasi yang efektif.
3. Komunikasi antar organisasi dan kegiatan-kegiatan pelaksana
Implementasi akan berjalan efektif bila ukuran-ukuran dan tujuan
dipahami oleh individu-individu yang bertanggung jawab dalam kinerja
kebijakan. Dengan begitu sangat pentingnya untuk memberi perhatian yang
besar kepada kejelasan ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan kebijakan, ketepatan
komunikasi badannya dengan para pelaksana, dan konsistensi atau
dengan berbagai sumber informasi. Ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan
tidak dapat dilaksanakan kecuali jika ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan itu
dinyatakan dengan cukup jelas, sehingga para pelaksana dapat mengetahui apa
yang diharapkan dari ukuran-ukuran tersebut.
4. Karakteristik badan pelaksana
Dalam melihat karakteristik badan-badan pelaksana, tidak bisa
dilepaskan dari struktur birokrasi. Struktur birokrasi diartikan sebagai
karakteristik-karakteristik, norma-norma, dan pola hubungan yang terjadi
berulang-ulang dalam badan-badan eksekutif yang mempunyai hubungan baik
potensial maupun nyata dengan apa yang mereka miliki dengan menjalankan
kebijakan. Komponen dari modal ini terdiri dari ciri-ciri struktur formal dari
organisasi dan atribut-atribut yang tidak formal dari personil mereka.
5. Lingkungan sosial, ekonomi, dan politik
Hal ini menunjukkan bahwa lingkungan dalam ranah implementasi
dapat mempengaruhi kesuksesan implementasi kebijakan itu sendiri.
6. Kecenderungan pelaksanaan
Arah kecenderungan pelaksanaan terhadap ukuran-ukuran dasar dan
tujuan-tujuan kebijakan merupakan suatu hal yang sangat penting. Penerimaan
terhadap ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan yang diterima secara
luas oleh pelaksana kebijakan akan menjadi pendorong keberhasilan bagi
implementasi kebijakan.
7. Kaitan antara komponen-komponen model
Komponen yang dimaksud di sini adalah ukuran-ukuran dasar dan
karakteristik dari badan pelaksana dan kecenderungan para pelaksana yang
semuanya saling berkaitan dalam mengimplementasikan kebijakan.
8. Masalah kapasitas
Kapasitas merupakan salah satu faktor yang berpengaruh bagi
implementasi kebijakan. Hal ini menyangkut staf yang terlatih dan banyaknya
pekerjaan yang dikerjakan, sumber-sumber keuangan dan hambatan-hambatan
yang bisa menjadikan implementasi kebijakan tidak berjalan dengan baik.
B.Model Mazmanian dan Sabatier
Model yang kedua adalah model yang dikembangkan oleh Daniel
Mazmanian dan Paul A. Sabatier (Nugroho, 2006: 629) yang mengemukakan
bahwa implementasi adalah upaya melaksanakan keputusan kebijakan. Model
Mazmanian dan Sabatier ini disebut “Model Kerangka Analisis Implementasi” (a frame work for implementation analysis).
Mazmanian-Sabatier mengklasifikasikan proses implementasi kebijakan
ke dalam tiga variabel (Nugroho, 2006: 629), yaitu:
1. Variabel Independen
Mudah-tidaknya masalah dikendalikan yang berkenaan dengan
indikator masalah teori dan teknis pelaksanaan, keragaman objek, dan
perubahan seperti apa yang dikehendaki.
2. Variabel Intervening
Diartikan sebagai kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses
implementasi dengan indikator kejelasan dan konsistensi tujuan,
dipergunakannya teori kausal, ketetapan alokasi sumber dana, keterpaduan
pelaksana, dan perekrutan pejabat pelaksana yang memiliki keterbukaan
kepada pihak luar, variabel di luar kebijakan yang mempengaruhi proses
implementasi yang berkenaan dengan indikator kondisi sosio-ekonomi dan
teknologi, dukungan publik, sikap dan sumber konstituen, dukungan pejabat
yang lebih tinggi, serta komitmen dan kualitas kepemimpinan dari pejabat
pelaksana.
3. Variabel Dependen
Yaitu tahapan dalam proses implementasi kebijakan publik dengan lima
tahapan, yang terdiri dari: (1) pemahaman dari lembaga/badan pelaksana dalam
bentuk disusunnya kebijakan pelaksana (2) kepatuhan objek (3) hasil nyata (4)
penerimaan atas hasil nyata (5) tahapan yang mengarah pada revisi atas
kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan, baik sebagian maupun keseluruhan
kebijakan yang bersifat mendasar.
C.Model George C. Edwards III
Menurut Edwards (Winarno, 2008: 174), studi implementasi kebijakan
adalah krusial bagi public administration dan publik policy. Implementasi
kebijakan adalah tahap antara pembentukan kebijakan dan
konsekuensi-konsekuensi kebijakan bagi masyarakat yang dipengaruhinya. Jika suatu
kebijakan tidak tepat atau tidak dapat mengurangi masalah yang merupakan
sasaran dari kebijakan, maka kebijakan itu mungkin akan mengalami kegagalan
sekalipun kebijakan itu diimplementasikan dengan sangat baik. Sementara itu
suatu kebijakan yang cemerlang mungkin juga akan mengalami kegagalan jika
kebijakan tersebut kurang diimplementasikan dengan baik oleh para pelaksana
Dalam mengkaji implementasi kebijakan, Edwards mulai dengan
mengajukan dua buah pertanyaan, yakni : prakondisi-prakondisi apa yang
diperlukan sehingga suatu implementasi kebijakan berhasil? Dan
hambatan-hambatan utama apa yang mengakibatkan suatu implementasi gagal. Edwards
berusaha menjawab kedua pertanyaan penting ini dengan membicarakan empat
faktor atau variabel krusial dalam implementasi kebijakan. Faktor atau variabel
tersebut adalah komunikasi, sumber daya, kecenderungan-kecenderungan atau
tingkah laku-tingkah laku dan struktur organisasi.
Menurut Edwards III, oleh karena empat faktor yang berpengaruh terhadap
implementasi kebijakan bekerja secara simultan dan berinteraksi satu sama lain
untuk membantu dan menghambat implementasi kebijakan, maka pendekatan
yang ideal adalah dengan cara merefleksikan kompleksitas ini dengan membahas
semua faktor tersebut sekaligus. Untuk memahami suatu implementasi kebijakan
perlu menyederhanakan, dan untuk menyederhanakan perlu merinci
penjelasan-penjelasan tentang implementasi dalam komponen-komponen utama. Patut
diperhatikan di sini bahwa implementasi dari setiap kebijakan merupakan suatu
proses yang dinamis yang mencakup banyak interaksi dari banyak variabel. Oleh
karenanya tidak ada variabel tunggal dalam proses implementasi, sehingga perlu
dijelaskan keterkaitan antara satu variabel dengan variabel yang lain dan
bagaimana variabel-variabel ini mempengaruhi proses implementasi kebijakan.
1. Komunikasi
Secara umum, Edwards membahas tiga hal penting dalam proses
komunikasi kebijakan, yakni transmisi, konsistensi dan kejelasan. Menurut
bahwa mereka yang melaksanakan keputusan harus mengetahui apa yang
mereka lakukan. Keputusan-keputusan kebijakan dan perintah-perintah harus
diteruskan kepada personil yang tepat sebelum keputusan itu dapat diikuti.
Tentu saja komunikasi-komunikasi harus akurat dan harus dimengerti dengan
cermat oleh para pelaksana. Komunikasi juga menunjuk bahwa setiap
kebijakan akan dapat dilaksanakan dengan baik jika terjadi komunikasi yang
efektif antara pelaksana program (kebijakan) dengan para kelompok sasaran
(target group). Tujuan dana sasaran dari program/kebijakan dapat
disosialisasikan secara baik sehingga dapat menghindari adanya distorsi atas
kebijakan dan program. Ini menjadi penting karena semakin tinggi
pengetahuan kelompok atas program maka akan mengurangi tingkat penolakan
dan kekeliruan dalam mengaplikasikan program dan kebijakan dalam ranah
yang sesungguhnya. Berikut akan dijelaskan lebih rinci unsur dari komunikasi,
yaitu:
a. Transmisi
Faktor utama yang berpengaruh terhadap komunikasi kebijakan adalah
transmisi. Sebelum pejabat dapat mengimplementasikan suatu keputusan, ia
harus menyadari bahwa suatu keputusan telah dibuat dan satu perintah
untuk pelaksanaannya telah dikeluarkan. Hal ini tidak selalu merupakan
proses yang langsung sebagaimana tampaknya. Banyak sekali ditemukan
keputusan-keputusan tersebut diabaikan atau jika tidak demikian, sering kali
terjadi kesalahpahaman terhadap keputusan-keputusan yang dikeluarkan.
Ada beberapa hambatan yang timbul dalam mentransmisikan perintah
perintah yang dikeluarkan oleh pengambil kebijakan. Pertentangan terhadap
kebijakan ini akan menimbulkan hambatan atau distorsi seketika terhadap
komunikasi kebijakan. Hal ini terjadi karena para pelaksana menggunakan
keleluasaan yang tidak dapat mereka elakkan dalam melaksanakan
keputusan-keputusan dan perintah umum. 2) Informasi melewati
berlapis-lapis hierarki birokrasi. Penggunaan sarana komunikasi yang tidak langsung
mungkin juga mendistorsikan perintah-perintah pelaksana.
b. Kejelasan
Jika kebijakan-kebijakan diimplementasikan sebagaimana yang diinginkan,
maka petunjuk-petunjuk pelaksana tidak hanya harus diterima oleh para
pelaksana kebijakan, tetapi juga komunikasi kebijakan tersebut harus jelas.
Namun demikian, ketidakjelasan pesan komunikasi kebijakan tidak selalu
menghalangi implementasi. Pada tataran tertentu, para pelaksana
membutuhkan fleksibilitas dalam melaksanakan kebijakan. Edwards
mengidentifikasikan enam faktor yang mendorong terjadinya ketidakjelasan
komunikasi kebijakan, yaitu: kompleksitas kebijakan publik, keinginan
untuk tidak mengganggu kelompok-kelompok masyarakat, kurangnya
konsensus mengenai tujuan-tujuan kebijakan, masalah-masalah dalam
memulai suatu kebijakan baru, menghindari pertanggungjawaban kebijakan,
dan sifat pembuatan kebijakan pengadilan.
c. Konsistensi
Jika implementasi kebijakan ingin berlangsung efektif, maka
perintah-perintah pelaksanaan harus konsisten. Perintah-perintah-perintah implementasi
tindakan yang sangat longgar dalam menafsirkan dan mengimplementasikan
kebijakan. Bila hal ini terjadi maka akan berakibat pada ketidakefektivan
implementasi kebijakan.
Menurut Edwards dengan menyelidiki hubungan antara komunikasi dan
implementasi maka kita dapat mengambil generalisasi, yakni bahwa
semakin cermat keputusan-keputusan dan perintah-perintah pelaksanaan
diteruskan kepada mereka yang harus melaksanakannya, maka semakin
tinggi probabilitas keputusan-keputusan kebijakan dan perintah-perintah
pelaksanaan tersebut dilaksanakan.
2. Sumber Daya
Perintah-perintah implementasi mungkin diteruskan secara cermat, jelas
dan konsisten, tetapi jika para pelaksana kekurangan sumber daya yang
diperlukan untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan, maka implementasi ini
pun cenderung tidak efektif. Dengan demikian, sumber daya dapat menjadi
faktor yang penting dalam melaksanakan kebijakan publik. Sumber daya yang
penting meliputi staf yang memadai serta keahlian-keahlian yang baik untuk
melaksanakan tugas-tugas mereka, wewenang dan fasilitas-fasilitas yang
diperlukan untuk menerjemahkan usul-usul di atas kertas guna melaksanakan
pelayanan publik.
a. Staf
Barangkali sumber yang paling penting dalam melaksanakan kebijakan
adalah staf. Satu hal yang harus diingat adalah bahwa jumlah tidak selalu
mempunyai efek positif bagi implementasi kebijakan. Kasus rendahnya
digunakan untuk menjelaskan proporsi ini. Pelayanan publik di Indonesia
sering kali dinyatakan lamban dan cenderung tidak efisien. Penyebabnya
bukan terletak pada jumlah staf yang menangani pelayanan publik tersebut,
tetapi lebih pada kurangnya sumber daya manusia dan rendahnya motivasi
para pegawai. Dengan demikian tidaklah cukup hanya dengan jumlah
pelaksana yang memadai, namun harus disertai dengan
keterampilan-keterampilan yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan. Salah satu
masalah yang dihadapi oleh pemerintah adalah sedikitnya pejabat yang
mempunyai keterampilan-keterampilan pengelolaan. Sering kali mereka
yang mempunyai latar belakang profesional yang dinaikkan pangkatnya
sampai mereka menjadi administrator-administrator. Lagi pula mereka
sering kali tidak mempunyai keahlian pengelolaan bagi kedudukan mereka
yang baru. Latihan atau training yang diberikan kepada para pelaksana ini
sangat minim, sehingga kemampuan profesional mereka mengalami
kenaikan yang cukup lambat. Sementara itu pejabat-pejabat di tingkat atas,
yaitu pejabat yang dipilih berdasarkan politik mempunyai kedudukan yang
relatif singkat sehingga kurang menanamkan kemampuan jangka panjang.
Kurangnya keterampilan-keterampilan pengelolaan merupakan masalah
besar yang dihadapi oleh pemerintah daerah. Hal ini disebabkan oleh
minimnya sumber daya yang digunakan untuk latihan profesional. Faktor
lain adalah kesulitan dalam merekrut dan mempertahankan
administrator-administrator yang kompeten karena umumnya gaji, prestise dan jaminan
kerja mereka yang rendah. Dalam banyak kasus, rendahnya jaminan kerja
pemerintah. Orang-orang yang mempunyai kemampuan cenderung bekerja
di sektor swasta atau di luar pemerintah karena mempunyai jaminan kerja
yang baik.
b. Informasi
Informasi merupakan sumber penting kedua dalam implementasi kebijakan.
Informasi mempunyai dua bentuk. Pertama, informasi mengenai bagaimana
melaksanakan suatu kebijakan. Pelaksana-pelaksana perlu mengetahui apa
yang dilakukan dan bagaimana mereka harus melakukannya. Bentuk kedua
dari informasi ini adalah data tentang ketaatan personil-personil lain
terhadap peraturan-peraturan pemerintah. Pelaksana-pelaksana harus
mengetahui apakah orang-orang lain yang terlibat dalam pelaksanaan
kebijakan ini menaati undang-undang ataukah tidak. Kurangnya
pengetahuan tentang bagaimana mengimplementasikan beberapa kebijakan
mempunyai beberapa konsekuensi langsung, antara lain 1) Beberapa
tanggung jawab secara sungguh-sungguh tidak akan dapat dipenuhi atau
tidak dapat dipenuhi tepat pada waktunya. 2) Ketidakefisienan. Kebijakan
yang tidak tepat menyebabkan unit-unit pemerintah lain atau
organisasi-organisasi dalam sektor swasta membeli perlengkapan, mengisi formulir
atau menghentikan kegiatan-kegiatan yang tidak diperlukan.
c. Wewenang
Wewenang ini akan berbeda-beda dari satu program ke program lainnya
serta mempunyai banyak bentuk yang berbeda. Namun demikian, dalam
beberapa hal suatu badan mempunyai wewenang yang terbatas atau
Bila wewenang formal tidak ada, atau sering disebut dengan wewenang di
atas kertas, sering kali salah dimengerti oleh para pengamat dengan
wewenang yang efektif. Padahal keduanya mempunyai perbedaan yang
substansial. Wewenang di atas kertas atau wewenang formal adalah suatu
hal, sedangkan apakah wewenang tersebut digunakan secara efektif adalah
hal lain. Dengan demikian, bisa saja terjadi suatu badan mempunyai
wewenang formal yang besar, namun tidak efektif dalam menggunakan
wewenang tersebut. Menurut Edwards kita dapat memahami mengapa hal
ini terjadi dengan menyelidiki salah satu dari sanksi-sanksi yang paling
potensial merusak dari yurisdiksi-yurisdiksi tingkat tinggi, yakni wewenang
menarik kembali dana dari suatu program. Lindblom mengemukakan
beberapa ciri kewenangan, yakni: kewenangan selalu bersifat khusus;
kewenangan, baik sukarela maupun paksaan, merupakan konsesi dari
mereka yang mau tunduk; kewenangan itu rapuh; dan yang terakhir,
kewenangan diakui karena berbagai sebab. Menurut Lindblom, sebab-sebab
kewenangan terdiri dari dua hal pokok, yakni: pertama, sebagian orang
beranggapan bahwa mereka lebih baik jika ada seseorang yang memerintah.
Kewenangan mungkin juga ada karena adanya ancaman, teror, dibujuk,
diberi keuntungan dan lain sebagainya.
d. Fasilitas-fasilitas
Fasilitas fisik mungkin juga merupakan sumber daya penting dalam
implementasi. Seorang pelaksana mungkin memiliki staf yang memadai,
mungkin memahami apa yang harus dilakukan dan mungkin mempunyai
untuk melakukan koordinasi, tanpa perlengkapan, tanpa perbekalan, maka
besar kemungkinan implementasi yang dicanangkan tidak akan berhasil.
3. Disposisi
Disposisi menunjuk karakteristik yang menempel erat kepada
implementor kebijakan/program. Karakter yang dimiliki oleh implementor
adalah kejujuran, komitmen, dan demokrasi. Implementor yang memiliki
komitmen tinggi dan jujur akan senantiasa bertahan di antara hambatan yang
ditemui dalam program/kebijakan. Kejujuran mengarahkan implementor untuk
tetap berada dalam arus program yang telah digariskan dalam guideline
program.
4. Struktur Organisasi
Struktur organisasi menjadi sangat penting dalam implementasi
kebijakan. Aspek struktur organisasi ini mencakup dua hal penting, pertama
adalah mekanisme dan kedua yaitu struktur organisasi pelaksana itu sendiri.
Mekanisme implementasi program biasanya sudah ditetapkan melalui Standard
Operational Procedure (SOP) yang dicantumkan dalam guideline program.
SOP yang baik mencantumkan kerangka kerja yang jelas, sistematis, tidak
berbelit dan mudah dipahami oleh siapa pun, karena akan menjadi acuan dalam
bekerjanya implementor. Sedangkan struktur organisasi pelaksana pun sejauh
mungkin menghindari hal yang berbelit, panjang, dan kompleks. Struktur
organisasi pelaksana harus dapat menjamin adanya pengambilan keputusan
atas kejadian luar biasa dalam program secara tepat.
Model implementasi George C. Edwards III inilah yang akan digunakan
pada Bank Rakyat Indonesia Cabang Stabat dalam mengembangkan Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah. Alasan penulis menggunakan model ini adalah karena
variabel ataupun indikator yang dikemukakan oleh George C. Edwards III
merupakan variabel yang bisa menjelaskan secara komprehensif tentang kinerja
implementasi dan dapat lebih konkret dalam menjelaskan proses implementasi
yang sebenarnya.
1.6.3. Kredit Usaha Rakyat
1.6.3.1. Latar Belakang Kredit Usaha Rakyat
Ketersediaan lapangan pekerjaan pada sektor formal yang terbatas serta
krisis ekonomi yang kerap melanda Indonesia membuat masyarakat harus
berjuang lebih keras lagi untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Hal ini
mendorong masyarakat untuk membuka lapangan pekerjaan baru bagi dirinya dan
orang lain dengan mendirikan usaha sendiri di luar sektor formal.
Usaha-usaha dengan skala tidak terlalu besar inilah yang kemudian disebut
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Usaha ini dapat bergerak dalam
bidang perdagangan, jasa, konstruksi, transportasi, dan industri, serta jenis usaha
lainnya. UMKM ini telah terbukti dapat bertahan dalam krisis ekonomi yang
melanda Indonesia pada tahun 1997 dan memiliki kontribusi bagi pertumbuhan
ekonomi nasional.
Namun, di tengah pertumbuhannya, sektor UMKM yang diharapkan
tersebut tidak bertumbuh secepat dan seluas yang diharapkan. Hal ini dikarenakan
tidak semua masyarakat mampu mendirikan dan mengembangkan UMKM. Faktor
utama ketidakmampuan masyarakat untuk mendirikan atau mengembangkan
diharapkan untuk mengatasi masalah permodalan tersebut. Dan pada akhirnya,
Pemerintah sebagai pembuat kebijakan menjawab masalah tersebut dengan
mengeluarkan suatu kebijakan, yaitu yang sampai saat ini populer dengan sebutan
Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Kredit Usaha Rakyat (KUR) adalah kredit/pembiayaan modal kerja
dan/atau investasi kepada UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) di bidang
usaha yang produktif dan layak namun belum bankable (yang belum dapat
memenuhi persyaratan perkreditan/pembiayaan dari bank) yang sebagian dijamin
oleh Perusahaan Penjamin (http://www.ekon.go.id/media/filemanager/...pdf
KUR merupakan bagian integral dari pelaksanaan kebijakan INPRES
6/2007 tentang Percepatan Sektor Riil dan Pemberdayaan UMKM. KUR sendiri
pertama kali diluncurkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 05
November 2007. Implementasinya berpangkal pada Nota Kesepahaman Bersama
antara Instansi/departemen teknis, perbankan, dan perusahaan penjaminan. KUR
merupakan aktualisasi dari siasat inovatif untuk menciptakan hubungan yang
saling melengkapi dan saling mengisi antara sektor finansial dan sektor riil.
Terstruktur sebagai sindikasi pembiayaan nasional yang bersifat lintas fungsional,
lintas sektoral, dan lintas regional; bersentuhan langsung dengan aspek makro dan
mikro ekonomi; dan berorientasi pada keselarasan antara segi pertumbuhan dan
pemerataan. KUR dimaksudkan untuk memperkuat kemampuan permodalan
UMKM melalui penerapan skim penjaminan kredit. Penyaluran KUR
dilaksanakan secara serempak oleh BRI, BNI, BTN, Bank Mandiri, Bank Syariah
Mandiri, dan BUKOPIN; dan terhadap penyaluran KUR itu, pemerintah
(JAMKRINDO) dan PT. Asuransi Kredit Indonesia (ASKRINDO). KUR
bersumber dari dana perbankan, disediakan untuk keperluan modal kerja dan
investasi; dan disalurkan kepada pelaku UMKM perorangan dan atau kelompok
usaha dalam wadah koperasi, yang memiliki usaha feasible tetapi belum bankable
(http://www.smecda.com/...pdf
Perkembangan pelaksanaan KUR, sangat ditentukan oleh terselenggaranya
koordinasi yang melibatkan tiga unsur berikut: ( ).
http://www.smecda.com/...pdf
a. Unsur instansi/departemen pembina meliputi Menko Perekonomian,
Kementrian Koperasi dan UKM, Departemen Pertanian, Departemen Kelautan
dan Perikanan, Departemen Perindustrian, Departemen Kehutanan, dan
instansi/departemen terkait lainnya, di tingkat pusat dan daerah.
).
b. Unsur perbankan terdiri dari: Bank BRI, Bank Mandiri, Bank BNI, Bank BTN,
Bank BUKOPIN, dan Bank Syariah Mandiri.
c. Unsur lembaga penjaminan terdiri dari: JAMKRINDO dan ASKRINDO.
Kegiatan yang dikoordinasikan meliputi: (i) penyiapan UMKM sesuai
dengan kewenangan instansi pembina; (ii) penetapan kebijakan dan prioritas
bidang usaha UMKM; (iii) pelaksanaan penyaluran KUR dengan pihak perbankan
dan lembaga penjaminan; dan (iv) penetapan kebijakan penjaminan. Dalam siklus
koordinasi itu, Komite Kebijakan Penjaminan Kredit/Pembiayaan kepada Usaha
Mikro, Kecil, dan Menengah yang dibentuk oleh Menko Perekonomian,
merupakan penyedia stimulus fiskal (dalam bentuk penjaminan yang bersumber
dari APBN). Komite kebijakan ini amat menentukan kelancaran penyaluran KUR
kepada UMKM serta menentukan keberhasilan bank pelaksana dan lembaga
(http://www.smecda.com/kajian/files/Lap_Akhir_Kajian_Damp_KUR/3_Bab_2.p
df
1.6.3.2. Kebijakan Penyaluran Kredit Usaha Rakyat
).
Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Inpres No. 6 tanggal 08 Juni
2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan
UMKM yang diikuti dengan adanya Nota Kesepahaman Bersama antara
Departemen Teknis, Perbankan, dan Perusahaan Penjaminan yang ditandatangani
pada tanggal 09 Oktober 2007 dengan ditandai peluncuran Penjaminan
Kredit/Pembiayaan kepada UMKM. Pada tanggal 05 November 2007, Presiden
Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono meresmikan kredit bagi UMKM
dengan pola penjaminan dengan nama Kredit Usaha Rakyat (KUR). Peluncuran
tersebut merupakan tindak lanjut dari ditandatanganinya Nota Kesepahaman
Bersama (MoU) pada tanggal 09 Oktober 2007 tentang Penjaminan
Kredit/Pembiayaan kepada UMKM dan Koperasi antara Pemerintah (Menteri
Negara Koperasi dan UKM, Menteri Keuangan, Menteri Pertanian, Menteri
Kehutanan, Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Perindustrian, Perusahaan
Penjamin (Perum Sarana Pengembangan Usaha dan PT Asuransi Kredit
Indonesia) dan Perbankan (Bank BRI, Bank Mandiri, Bank BNI, Bank BTN,
Bank Bukopin, dan Bank Syariah Mandiri). KUR ini didukung oleh Kementrian
Negara BUMN, Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian serta Bank
Indonesia (http://www.smecda.com/kajian/files/...pdf
Landasan Operasional KUR (Retnadi, 2008) adalah Inpres No. 6 tanggal
08 Juni 2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan
Teknis, Perbankan, dan Perusahaan Penjaminan yang ditandatangani pada tanggal
09 Oktober 2007. Pihak yang terkait terdiri atas: Unsur Pemerintah (6 Menteri),
Unsur Perbankan (6 Bank), dan Perusahaan Penjamin Kredit dengan fungsinya
masing-masing. Untuk jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1.1. Pihak-pihak yang Terlibat dalam KUR serta Fungsinya
Para Pihak Fungsi
Pemerintah (6 Menteri)
Departemen Keuangan a. Membantu dan mendukung pelaksanaan
pemberian kredit/pembiayaan berikut
penjaminan kredit/pembiayaannya kepada
UMKM dan Koperasi.
b. Mempersiapkan UMKM dan Koperasi yang
melakukan usaha produktif yang bersifat
individu, kelompok, kemitraan dan/atau cluster
untuk dapat dibiayai dengan kredit/pembiayaan.
c. Menetapkan kebijakan dan prioritas bidang usaha
yang akan menerima kredit/pembiayaan.
d. Melakukan pembinaan dan pendampingan
selama masa kredit/pembiayaan.
e. Memfasilitasi hubungan antara UMKM dan
Koperasi dengan pihak lainnya seperti
perusahaan inti/off taker yang memberikan
kontribusi dan dukungan kelancaran usaha. Departemen Pertanian
Bank BRI, Bank Mandiri,
BNI, Bank BTN, Bukopin,
Bank Syariah Mandiri
Melakukan penilaian kelayakan usaha dan
memutuskan pemberian kredit/pembiayaan sesuai
ketentuan yang berlaku.
PT Askrindo dan Perum
Sarana Pengembangan
Usaha
Memberikan persetujuan penjaminan atas
kredit/pembiayaan yang diberikan perbankan sesuai
ketentuan asuransi.
Ada beberapa peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan
hukum Kredit Usaha Rakyat (KUR), yaitu:
(http://komite-kur.com/landasan_hukum.asp
a. Peraturan Presiden nomor 2 tahun 2008 tentang Lembaga Penjaminan, ).
b. Inpres No. 6 tahun 2007 tanggal 08 Maret 2007 tentang Kebijakan Percepatan
Sektor Riil dan Pemberdayaan UMKM guna meningkatkan pertumbuhan
ekonomi Indonesia,
c. MoU antara Departemen Teknis, Perbankan, dan Perusahaan Penjaminan yang
ditandatangani pada tanggal 09 Oktober 2007,
d. Addendum I MoU Departemen Teknis, Perbankan, dan Perusahaan
Penjaminan yang ditandatangani pada tanggal 14 Februari 2008,
e. Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian nomor 5 tahun 2008
tentang Komite kebijakan Penjaminan Kredit/Pembiayaan bagi UMKM,
f. Perjanjian Kerja Sama antara Bank Pelaksana dengan Lembaga Penjaminan,
g. Standar Operasional dan Prosedur Pelaksanaan KUR,
h. Addendum II MoU Departemen Teknis, Perbankan, dan Perusahaan
Penjaminan yang ditandatangani pada tanggal 12 Januari 2010,
i. Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor:
KEP-07/M.EKON/01/2010 Tentang Penambahan Bank Pelaksana Kredit Usaha
Rakyat,
j. Keputusan Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan,
Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian Nomor:
KEP-01/D.I.M.EKON/01/2010 tentang Standar Operasional dan Prosedur
Pelaksanaan Kredit Usaha Rakyat.
Selain itu, di dalam implementasi KUR, perbankan dan pihak perusahaan
penjaminan mendasarkan pada Perjanjian Kerja Sama (PKS) yang mereka
sepakati. Skim Kredit Usaha Rakyat (KUR) adalah Kredit Modal Kerja (KMK)
dan/atau Kredit Investasi (KI) dengan plafon kredit sampai dengan Rp 500 juta
yang diberikan kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dan
koperasi yang memiliki usaha produktif yang akan mendapat penjaminan dari
Perusahaan Penjamin. UMKM harus merupakan usaha produktif yang layak
(feasible), namun belum bankable. KUR mensyaratkan bahwa agunan pokok
kredit adalah proyek yang dibiayai. Namun karena agunan tambahan yang
dimiliki oleh UMKM pada umumnya kurang, maka sebagian di-cover dengan
program penjaminan. Besarnya coverage penjaminan maksimal 70% dari plafon
kredit. Sumber dana KUR sepenuhnya berasal dari dana komersial Bank
(http://www.smecda.com/kajian/files/Lap_Akhir_Kajian_Damp_KUR/3_Bab_2.p
1.6.3.3. Tahap-tahap Pengajuan dan Pemberian Kredit Usaha Rakyat
Adapun tahap-tahap dalam mengajukan permohonan KUR terhadap Bank
Rakyat Indonesia (BRI) antara lain adalah:
1. Calon Debitur Mengajukan Permohonan secara Tertulis kepada Pihak BRI
Calon debitur KUR datang ke kantor BRI terdekat, kemudian dengan
dibantu oleh Customer Service calon debitur KUR mengisi formulir pendaftaran
atau formulir pengajuan permohonan KUR yang sudah disediakan pihak bank,
kemudian ditandatangani oleh pemohon. Calon debitur KUR diharuskan
memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan dalam hal pengajuan permohonan
KUR. KUR diperkenalkan sebagai kredit yang mudah didapat, maka syarat-syarat
yang ditetapkan pun sangat sederhana. Syarat-syarat yang perlu disertakan adalah
bukti identitas diri berupa fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP), fotokopi Kartu
Keluarga (KK), dan Surat Keterangan Usaha.
2. Tahap Analisis Kredit/Tahap Pemeriksaan
Berdasarkan arahan Bank Indonesia sebagaimana termuat dalam SK
Direksi bank Indonesia No. 27/162/KEP/DIR tanggal 31 Maret 1995, setiap
permohonan kredit yang telah memenuhi syarat harus dianalisis secara tertulis
dengan prinsip sebagai berikut:
a. Bentuk, format, dan kedalaman analisis kredit ditetapkan oleh bank yang
disesuaikan dengan jumlah dan jenis kredit;
b. Analisis kredit harus menggambarkan konsep hubungan total permohonan
kredit. Ini berarti bahwa persetujuan pemberian kredit tidak boleh berdasarkan
rekening kredit dari pemohon, namun harus didasarkan atas dasar penilaian
seluruh kredit dari pemohon kredit yang telah diberikan dan/atau akan
diberikan secara bersama-sama oleh bank;
c. Analisis kredit harus dibuat secara lengkap, akurat, dan objektif yang
sekurang-kurangnya meliputi menggambarkan semua informasi yang berkaitan dengan
usaha dan data pemohon termasuk hasil penelitian pada daftar kredit macet;
penilaian kelayakan jumlah permohonan kredit dengan kegiatan usaha yang
akan dibiayai, dengan sasaran menghindari kemungkinan terjadinya praktek
mark up yang dapat merugikan bank; menyajikan penilaian yang objektif dan
tidak dipengaruhi oleh pihak-pihak yang berkepentingan dengan permohonan
kredit.
d. Analisis kredit sekurang-kurangnya harus mencakup penilaian tentang prinsip
5C dan penilaian terhadap sumber pelunasan kredit yang dititikberatkan pada
hasil usaha yang dilakukan pemohon serta menyediakan aspek yuridis
perkreditan dengan tujuan untuk melindungi bank atas risiko yang mungkin
timbul;
e. Dalam penilaian kredit sindikasi harus dinilai pula bank yang bertindak sebagai
bank induk.
Bagaimanapun arahan di atas, tetap terbuka peluang bagi bank-bank untuk
mengatur kebijakan kreditnya sesuai dengan kondisi dan kebutuhan bank itu
sendiri namun tetap berpedoman pada arahan Bank Indonesia.
3. Tahap Pemberian Putusan Kredit
Tahap ini, calon debitur akan memperoleh keputusan kredit yang berisi
yang diajukannya. Keputusan persetujuan permohonan kredit berupa
mengabulkan sebagian atau seluruh permohonan kredit dari calon debitur. Pihak
bank akan memberitahukan kepada calon debitur untuk mengonfirmasi kembali
beberapa hari menurut beberapa hari yang telah ditentukan oleh pihak bank
setelah pengajuan permohonan kredit.
Kemudian kepala bank wajib meneliti dan memastikan bahwa
dokumen-dokumen yang berkaitan atau yang mendukung pemberian keputusan kredit masih
lengkap, sah, dan berkekuatan hukum. Setiap pejabat yang terlibat dalam
kebijakan persetujuan kredit harus mampu memastikan hal-hal berikut (Firdaus,
2003: 51):
a. Setiap kredit yang diberikan telah sesuai dengan prinsip perkreditan yang sehat
dan ketentuan perbankan lainnya.
b. Pemberian kredit telah sesuai dan didasarkan pada analisis kredit yang jujur,
objektif, cermat, dan seksama, serta independen.
c. Adanya keyakinan bahwa kredit akan mampu dilunasi.
4. Tahap Pencairan Kredit/Akad Kredit
Setiap proses pencairan kredit harus terjamin asas aman, terarah, dan
produktif dan dilaksanakan apabila syarat yang ditetapkan dalam perjanjian kredit
telah dipenuhi oleh pemohon kredit (Firdaus, 2003: 52). Setelah semua
persyaratan terpenuhi dan pemberian kredit diikat oleh perjanjian kredit maka
debitur dapat mengambil dana pinjaman yang telah dimohonkan.
Tahap akad kredit pencairan meliputi beberapa tahap yaitu tahap persiapan
pembayaran pencairan kredit. Adapun penjelasan mengenai langkah-langkah pada
tahap akad kredit adalah:
1) Persiapan Pencairan
Setelah Surat Keterangan Permohonan Pinjam (SKPP) diputus, Customer
Service mencatatnya pada register dan segera mempersiapkan pencairan sebagai
berikut:
a. Memberitahukan pada calon debitur bahwa permohonan KUR telah mendapat
persetujuan atau putusan dan kepastian tanggal pencairannya.
b. Menyiapkan Surat Pengakuan Hutang
c. Mengisi kuitansi pencairan KUR
2) Penandatanganan Perjanjian KUR
Berkas atau kelengkapan pencairan di sini adalah Surat Pengakuan
Hutang, sebelum penandatanganan berkas pencairan Kredit Usaha Rakyat,
Customer Service harus memastikan bahwa dokumen-dokumen yang
berhubungan dengan pencairan kredit Usaha Rakyat telah ditandatangani oleh
debitur sebagai bukti persetujuan debitur. Setelah itu, Customer Service meminta
debitur untuk membaca dan memahami Surat Pengakuan Hutang (SPH) dan
menandatangani SPH tersebut selanjutnya diserahkan pada kepala bank untuk
diperiksa. Untuk menjaga keamanan dan melaksanakan prinsip kehati-hatian,
maka Customer Service mencocokkan tanda tangan dengan tanda tangan debitur
pada waktu pendaftaran, kemudian menyerahkan semua berkas kepada kepala
3) Fiat Bayar
Kepala bank akan memeriksa berkas tentang kebenaran dan kelengkapan
pengisian berkas Kredit Usaha Rakyat untuk dicocokkan dengan syarat yang
disebutkan dalam putusan kredit, setelah yakin maka kepala bank akan
membubuhkan tanda tangan sebagai persetujuan fiat bayar. Setelah selesai,
kuitansi diserahkan pada teller dan berkas diserahkan pada Customer Service.
4) Pembayaran Pencairan KUR tanpa Jaminan
Pembayaran pencairan Kredit Usaha Rakyat kepada debitur dilakukan oleh
teller berdasarkan kuitansi yang diterima dari kepala bank dengan terlebih dahulu
meneliti keabsahan kuitansi.
Apabila terjadi keterlambatan pencairan dana Kredit Usaha Rakyat,
disebabkan oleh banyaknya peminat yang hendak menjadi calon debitur Kredit
Usaha Rakyat, mengingat jumlah tenaga yang menangani Kredit Usaha Rakyat
tidak sebanding dengan jumlah peminat Kredit Usaha Rakyat. Lamanya proses
pencairan dana disebabkan pula oleh penerapan asas kehati-hatian dalam
menyalurkan dana dan tetap berpegang teguh pada lima prinsip dalam penilaian
kondisi nasabah atau sering disebut dengan “The Five of Credit Analysis”
(Supramono, 1995: 33-34). Lima prinsip penilaian tersebut antara lain:
1. Character adalah keadaan watak atau sifat dari debitur, baik dalam
kehidupan pribadi maupun dalam lingkungan usaha. Kegunaan dari
penilaian terhadap aspek character ini adalah untuk mengetahui sejauh
mana kemauan dan itikad baik debitur untuk memenuhi kewajibannya
sesuai dengan perjanjian yang telah ditetapkan. Character ini merupakan
hutangnya, namun kalau tidak mempunyai itikad baik tentu akan
menimbulkan kesulitan pada bank di kemudian hari (Triandaru dan
Budisantoso, 2006: 114-115). Alat untuk memperoleh gambaran tentang
character dari calon nasabah dapat diperoleh melalui upaya:
a. Meneliti riwayat hidup nasabah,
b. Meneliti reputasi calon debitur tersebut di lingkungan usahanya,
c. Melakukan bank to bank information, mencari informasi dari bank ke
bank lain tentang calon debitur,
d. Mencari informasi kepada asosiasi-asosiasi usaha di mana calon debitur
berada,
e. Mencari informasi apakah calon debitur suka berjudi,
f. Mencari informasi apakah calon debitur suka berfoya-foya.
2. Capacity adalah kemampuan calon debitur dalam menjalankan usahanya
guna memperoleh laba yang diharapkan. Penilaian ini berfungsi untuk
mengukur kemampuan calon debitur dalam mengembalikan hutangnya
secara tepat waktu, dari usaha yang diperolehnya. Pengukuran capacity
dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan sebagai berikut:
a. Pendekatan historis, yaitu menilai kemampuan yang telah lampau,
apakah menunjukkan perkembangan dari waktu ke waktu.
b. Pendekatan finansial, yaitu menilai latar belakang pendidikan para
pengurus. Hal ini sangat penting untuk perusahaan-perusahaan yang
menghendaki keahlian teknologi tinggi dan yang memerlukan
c. Pendekatan yuridis, yaitu secara yuridis apakah calon debitur mempunyai
kapasitas untuk mewakili badan usaha yang diwakilinya untuk
mengadakan perjanjian kredit dengan bank.
d. Pendekatan manajerial, yaitu menilai sejauh mana kemampuan dan
keterampilan nasabah melaksanakan fungsi-fungsi manajemen dalam
memimpin usaha.
e. Pendekatan teknis, yaitu untuk menilai sejauh mana kemampuan calon
nasabah dalam mengelola faktor-faktor produksi seperti tenaga kerja,
sumber bahan baku, mesin-mesin, administrasi dan keuangan, hubungan
industri dan kemampuan merebut pasar.
3. Capital adalah jumlah modal sendiri yang dimiliki oleh calon debitur.
Kemampuan modal sendiri diperlukan bank sebagai alat indikator
kesungguhan dan tanggung jawab debitur dalam menjalankan usahanya
karena ikut menanggung risiko dalam kegagalan usaha. “Biasanya jika
jumlah modal sendiri (modal netto) cukup besar, usaha tersebut akan kuat
dalam menghadapi persaingan dari usaha-usaha sejenis” (Firdaus, 2003:
85).
4. Collateral adalah barang-barang yang diserahkan debitur sebagai agunan
terhadap kredit yang diterimanya. Penilaian terhadap agunan ini meliputi
jenis jaminan, lokasi, bukti kepemilikan dan status hukumnya, untuk
menghindari terjadinya pemalsuan bukti kepemilikan, maka sebelum
dilakukan pengikatan harus diteliti mengenai status yuridisnya bukti
pemilikan dan orang yang menjaminkan. Hakikatnya, bentuk collateral
non-material seperti jaminan pribadi, letter of Guarantee, rekomendasi.
Penilaian ini dapat dilihat dari dua segi berikut:
a. Segi ekonomis, yaitu nilai ekonomis dari barang-barang yang akan
diagunkan.
b. Segi yuridis, yaitu apakah agunan tersebut memenuhi syarat-syarat
yuridis untuk dipakai sebagai agunan.
5. Condition of economy yaitu situasi dan kondisi politik, sosial, ekonomi,
budaya yang mempengaruhi usaha calon debitur di kemudian hari.
Penelitian mengenai hal-hal seperti peraturan-peraturan pemerintah, situasi
politik, dan perekonomian politik perlu diadakan untuk mendapat gambaran
mengenai hal-hal tersebut.
Kelima prinsip di atas yang paling perlu mendapatkan perhatian account
officer adalah character, karena apabila prinsip ini tidak terpenuhi, prinsip lainnya
tidak berarti, atau dengan kata lain permohonannya harus ditolak.
1.6.4. Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM)
1.6.4.1. Pengertian Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM)
Ada beberapa pengertian Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM)
menurut para ahli atau pihak yang langsung berhubungan dengan UMKM, antara
lain:
A.Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008
UMKM memiliki kriteria sebagai berikut:
1. Usaha Mikro, yaitu usaha produktif milik orang perorangan atau badan
a. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
b. Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga
ratus juta rupiah).
2. Usaha Kecil, yaitu usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri yang
dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan
anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau
menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah
atau usaha besar yang memenuhi kriteria yakni:
a. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
b. Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 300.000.000,00 (tiga
ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 2.500.000.000,00
(dua miliar lima ratus juta rupiah).
3. Usaha Menengah, yaitu usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang
dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan
anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau
menjadi bagian langsung maupun tidak langsung dengan usaha kecil atau
usaha besar yang memenuhi kriteria:
a. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh
b. Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 2.500.000.000,00 (dua
miliar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp
50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
B.Menurut Badan Pusat Statistik (BPS)
Badan Pusat Statistik (BPS) memberikan definisi UMKM berdasarkan
kuantitas tenaga kerja. Usaha kecil merupakan usaha yang memiliki jumlah
tenaga kerja lima orang sampai sembilan belas orang, sedangkan usaha
menengah merupakan usaha yang memiliki jumlah tenaga kerja dua puluh
orang sampai 99 orang.
C.Menurut Kementrian Keuangan
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 316/KMK 016/1994
Tanggal 27 Juni 1994 bahwa Usaha Kecil sebagai perorangan/badan usaha
yang telah melakukan kegiatan/usaha yang mempunyai penjualan/omzet per
tahun setinggi-tingginya Rp 600.000.000,00 atau aset setinggi-tingginya Rp
600.000.000,00 (di luar tanah dan bangunan yang ditempati). Contohnya
Firma, CV, PT, dan Koperasi yakni dalam bentuk badan usaha. Sedangkan
contoh dalam bentuk perorangan antara lain pengrajin, industri rumah tangga,
peternak, nelayan, pedagang barang dan jasa yang lainnya.
1.6.4.2. Kelemahan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) walaupun dalam
pelaksanaannya sangat dibutuhkan karena akan menciptakan dunia usaha baru,
tetapi pada kenyataannya, UMKM masih memiliki banyak kelemahan, seperti