• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemanfaatan Fungi Aspergillus flavus, Aspergillus tereus, dan Trichoderma harzianum untuk Meningkatkan Pertumbuhan Bruguiera gymnorrhiza

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pemanfaatan Fungi Aspergillus flavus, Aspergillus tereus, dan Trichoderma harzianum untuk Meningkatkan Pertumbuhan Bruguiera gymnorrhiza"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

PEMANFAATAN FUNGI Aspergillus flavus, Aspergillus terreus, DAN Trichoderma harzianum UNTUK MENINGKATKAN PERTUMBUHAN

BIBIT Bruguiera gymnorrhiza

SKRIPSI

Oleh:

M. LUTHFI DHARMAWAN 111201056

Budidaya Hutan

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Penelitian : Pemanfaatan Fungi Aspergillus flavus, Aspergillus tereus, dan Trichoderma harzianum untuk Meningkatkan Pertumbuhan Bruguiera gymnorrhiza

Nama : M. Luthfi Dharmawan

NIM : 111201056

Program studi : Kehutanan

Disetujui Oleh Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Yunasfi, M.Si Mohammad Basyuni, S.Hut.,M.Si.,Ph.D

Ketua Anggota

Mengetahui

(3)

ABSTRAK

M. LUTHFI DHARMAWAN: Pemanfaatan Fungi Aspergillus flavus, Aspergillus tereus, dan Trichoderma harzianum untuk Meningkatkan Pertumbuhan Bruguiera gymnorrhiza. Dibimbing oleh YUNASFI dan MOHAMMAD BASYUNI.

Kondisi lahan mangrove yang semakin berkurang diakibatkan oleh degradasi dan konversi lahan mangrove untuk fungsi lainnya. Oleh karena itu dibutuhkan rehabilitasi pada lahan mangrove yang telah rusak. Penelitian ini bertujuan untuk menguji pada skala lapangan kemampuan berbagai jenis fungi kemudian membandingkan kemampuan jenis fungi dalam meningkatkan pertumbuhan mangrove dan menetapkan jenis fungi yang mempunyai kemampuan yang besar dalam meningkatkan pertumbuhan mangrove. Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Nelayan Indah, Medan, Sumatera Utara dan di Laboratorium Bioteknologi Hutan, Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara yang dilaksanakan pada bulan Agustus sampai Desember 2014. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 5 ulangan sehingga diperoleh 20 unit percobaan. Hasil penelitian menunjukkan respon bibit Bruguiera gymnorrhiza yang diberi perlakuan aplikasi fungi Aspergillus flavus, Aspergillus terreus, dan Trichoderma harzianum berpengaruh terhadap pertumbuhan bibit. Pemberian fungi T. harzianum memberikan hasil terbaik dibandingkan fungi lain terhadap seluruh parameter pengamatan dengan tinggi rata-rata 10,45 cm, diameter rata-rata 0,56 cm, luas daun rat-rata 104,87 cm2, dan bobot kering total 2,65 g. Dari seluruh parameter pengamatan yang diberi perlakuan aplikasi fungi hanya pertumbuhan tinggi dan bobot kering total yang memberi pengaruh nyata terhadap bibit B. gymnorrhiza.

(4)

ABSTRACT

M. LUTHFI DHARMAWAN: Utilization of Fungi Aspergillus flavus, Aspergillus tereus, and Trichoderma harzianum to Increase Growth of Bruguiera gymnorrhiza. Under academic supervision by YUNASFI and MOHAMMAD BASYUNI.

Condition of mangrove area has been decreasing due to the degradation and conversion of mangrove for other land use. Therefore, it is necessary for rehabilitation on mangrove land. This study aimed to test the ability of various types fungi on a field scale then compare the ability of fungi to increase the growth of mangroves and to establish a type of fungi that have a greater ability to promote the growth of mangroves. This research was conducted in the Village of Nelayan Indah, Medan, North Sumatra and in Forest Biotechnology Laboratory, Department of Forestry, Faculty of Agriculture, University of North Sumatra from August to December 2014. This study used a completely randomized design (CRD) with 4 treatments and 5 replicates in order to obtain 20 units experiment. The results showed a response Bruguiera gymnorrhiza seedlings treated with the fungi Aspergillus flavus applications, Aspergillus terreus, and Trichoderma harzianum effect on seedling growth. T. harzianum showed the best results compared to other fungi on all parameters of observation with an average height of 10,45 cm, an average diameter of 0.56 cm, average leaf area rat 104,87 cm2, and the total dry weight of 2, 65 g. Of all parameters observed fungal applications only affected on height growth and total dry weight significantly on B. gymnorrhiza seedlings.

(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Medan, 4 Mei 1994 dari pasangan Bapak Syaiful Bahri dan Ibu Ratna Murnila, SE. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara dengan adik bernama Nadya Sayra dan M. Vikri Noval. Penulis menempuh pendidikan formal di SD Swasta Melati Medan tahun 2005, SMP Swasta Pertiwi Medan tahun 2008, dan SMA Dharmawangsa Medan tahun 2011. Tahun 2011 penulis diterima di Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara melalui jalur ujian tertulis SNMPTN. Penulis juga menerima beasiswa National Champion Scholarship (NCS) Tanoto Foundation tahun 2014 dan menjadi asisten praktikum Klimatologi Hutan.

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dan perlindungan-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pemanfaatan Fungi Aspergillus flavus, Aspergillus tereus, dan Trichoderma harzianum untuk Meningkatkan Pertumbuhan Bruguiera gymnorrhiza.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada Kedua orang tua, ayahanda Syaiful Bahri dan ibunda Ratna Murnila, SE, kedua adik saya Nadya Sayra dan M. Vikri Noval yang telah menjadi motivasi dan mendukung penulis baik secara moril dan materil. Bapak Dr. Ir. Yunasfi, Msi sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Mohammad Basyuni, S.Hut.,M.Si.,Ph.D sebagai Anggota Komisi Pembimbing dalam menyelesaikan skripsi ini. Teman-teman Tim Mangrove (Darmanto Ambarita, Devita Mala Sari, Monalia Hutahuruk, Indah Sihombing, Lestari Marbun, Rachel Nababan dan Ade Khana Saputri) yang telah membantu dan bekerja sama selama melakukan penelitian. Sarina yang telah membantu dan memotivasi penulis dalam melakukan penelitian dan menyelesaikan skripsi. Teman-teman seperjuangan di Kehutanan USU Stambuk 2011 yang telah memberi dukungan kepada penulis Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang turut membantu penulis secara langsung maupun tidak langsung dalam menyelesaikan penelitian ini.

Medan, April 2015

(7)

DAFTAR ISI

Hal.

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

Rehabilitasi Mangrove ... 10

Deskripsi Bruguiera gymnorrhiza ... 11

Fungi ... 11

METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu ... 13

Alat dan Bahan ... 13

Kondisi Umum Lokasi Penelitian ... 13

Prosedur Penelitian... 14

Pembuatan PDA ... 14

Peremajaan fungi ... 14

Pembuatan media tanam dan penanaman ... 14

Aplikasi fungi ... 15

Parameter yang diamati ... 15

Rancangan percobaan... 16

(8)

Berat kering total ... 30

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ... 34 Saran ... 34 DAFTAR PUSTAKA

(9)

DAFTAR TABEL

No Hal.

1. Luas dan Penyebaran Lahan Bervegetasi Mangrove di Indonesia ... 8

2. Hasil Pengamatan Bibit B. gymnorrhiza 12 Minggu Setelah Tanam ... 18

3. Analisis Sidik Ragam Pengaruh Pemberian Berbagai Jenis Fungi Terhadap Pertumbuhan Tinggi Bibit B. gymnorrhiza ... 20

4. Uji Beda Nyata Terkecil Terhadap Pertumbuhan Tinggi Bibit

B. Gymnorrhiza ... 21

5. Analisis Sidik Ragam Pengaruh Pemberian Berbagai Jenis Fungi Terhadap Pertumbuhan Diameter Bibit B. gymnorrhiza ... 22

6. Analisis Sidik Ragam Pengaruh Pemberian Berbagai Jenis Fungi Terhadap Luas Daun Bibit B. gymnorrhiza ... 23

7. Analisis Sidik Ragam Pengaruh Pemberian Berbagai Jenis Fungi Terhadap Bobot Kering Total Bibit B. gymnorrhiza ... 25

8. Uji Beda Nyata Terkecil Terhadap Pertumbuhan Tinggi Bibit

B. gymnorrhiza ... 25

(10)

DAFTAR GAMBAR

No Hal.

1. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 4

2. Aplikasi Fungi Ke Bibit B. Gymnorrhiza ... 15

3. Kondisi Bibit B. Gymnorrhiza (A) Sebelum Diberi Aplikasi Fungi, Dan (B) Akhir Pengukuran Parameter Pertumbuhan Tinggi Dan Diameter ... 18

4. Kondisi Bibit B. Gymnorrhiza (A) Sebelum Diberi Aplikasi Fungi, Dan (B) Akhir Pengukuran Parameter Pertumbuhan Tinggi Dan Diameter ... 19

5. Pertambahan Tinggi Bibit B. Gymnorrhiza ... 20

6. Pertambahan Diameter Bibit B. Gymnorrhiza ... 22

7. Luas Permukaan Daun Bibit B. Gymnorrhiza ... 23

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

No Hal.

1. Data Pengukuran Tinggi Bibit B. Gymnorrhiza ... 37

2. Data Pengukuran Diameter Bibit B. Gymnorrhiza ... 38

3. Data Pengukuran Luas Daun Bibit B. Gymnorrhiza ... 39

4. Data Pengukuran Bobot Kering Total (BKT) Bibit B. Gymnorrhiza ... 39

(12)

ABSTRAK

M. LUTHFI DHARMAWAN: Pemanfaatan Fungi Aspergillus flavus, Aspergillus tereus, dan Trichoderma harzianum untuk Meningkatkan Pertumbuhan Bruguiera gymnorrhiza. Dibimbing oleh YUNASFI dan MOHAMMAD BASYUNI.

Kondisi lahan mangrove yang semakin berkurang diakibatkan oleh degradasi dan konversi lahan mangrove untuk fungsi lainnya. Oleh karena itu dibutuhkan rehabilitasi pada lahan mangrove yang telah rusak. Penelitian ini bertujuan untuk menguji pada skala lapangan kemampuan berbagai jenis fungi kemudian membandingkan kemampuan jenis fungi dalam meningkatkan pertumbuhan mangrove dan menetapkan jenis fungi yang mempunyai kemampuan yang besar dalam meningkatkan pertumbuhan mangrove. Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Nelayan Indah, Medan, Sumatera Utara dan di Laboratorium Bioteknologi Hutan, Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara yang dilaksanakan pada bulan Agustus sampai Desember 2014. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 5 ulangan sehingga diperoleh 20 unit percobaan. Hasil penelitian menunjukkan respon bibit Bruguiera gymnorrhiza yang diberi perlakuan aplikasi fungi Aspergillus flavus, Aspergillus terreus, dan Trichoderma harzianum berpengaruh terhadap pertumbuhan bibit. Pemberian fungi T. harzianum memberikan hasil terbaik dibandingkan fungi lain terhadap seluruh parameter pengamatan dengan tinggi rata-rata 10,45 cm, diameter rata-rata 0,56 cm, luas daun rat-rata 104,87 cm2, dan bobot kering total 2,65 g. Dari seluruh parameter pengamatan yang diberi perlakuan aplikasi fungi hanya pertumbuhan tinggi dan bobot kering total yang memberi pengaruh nyata terhadap bibit B. gymnorrhiza.

(13)

ABSTRACT

M. LUTHFI DHARMAWAN: Utilization of Fungi Aspergillus flavus, Aspergillus tereus, and Trichoderma harzianum to Increase Growth of Bruguiera gymnorrhiza. Under academic supervision by YUNASFI and MOHAMMAD BASYUNI.

Condition of mangrove area has been decreasing due to the degradation and conversion of mangrove for other land use. Therefore, it is necessary for rehabilitation on mangrove land. This study aimed to test the ability of various types fungi on a field scale then compare the ability of fungi to increase the growth of mangroves and to establish a type of fungi that have a greater ability to promote the growth of mangroves. This research was conducted in the Village of Nelayan Indah, Medan, North Sumatra and in Forest Biotechnology Laboratory, Department of Forestry, Faculty of Agriculture, University of North Sumatra from August to December 2014. This study used a completely randomized design (CRD) with 4 treatments and 5 replicates in order to obtain 20 units experiment. The results showed a response Bruguiera gymnorrhiza seedlings treated with the fungi Aspergillus flavus applications, Aspergillus terreus, and Trichoderma harzianum effect on seedling growth. T. harzianum showed the best results compared to other fungi on all parameters of observation with an average height of 10,45 cm, an average diameter of 0.56 cm, average leaf area rat 104,87 cm2, and the total dry weight of 2, 65 g. Of all parameters observed fungal applications only affected on height growth and total dry weight significantly on B. gymnorrhiza seedlings.

(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Mangrove adalah salah satu ekosistem penting selain terumbu karang dan padang lamun. Mangrove memiliki manfaat ekologi dan ekonomi. Dari aspek ekologi, mangrove berfungsi sebagai pelindung alami pantai dari abrasi, mempercepat sedimentasi, mengendalikan intrusi laut, dan melindungi daerah yang berada di belakang mangrove dari gelombang tinggi dan angin kencang, tempat memijah, mencari makan, serta berlindungnya ikan, udang, kepiting, dan biota air lainnya. Manfaat ekonomi mangrove adalah sebagai bahan makanan, minuman, obat-obatan, pewarna alami, dan obyek ekowisata (Welly, dkk., 2010).

Ekosistem mangrove dikenal sebagai ekosistem hutan yang mampu bertahan hidup dan beradaptasi pada lingkungan yang ekstrim, namun keberadaannya rentan terhadap perubahan lingkungan. Perubahan lingkungan yang disebabkan oleh tekanan ekologis yang berasal dari alam dan manusia. Pemanfaatan mangrove seperti konversi lahan menjadi kawasan pemukiman, pertambakan, pariwisata, pencemaran, dan penebangan hutan secara besar-besaran adalah bentuk tekanan ekologis yang berasal dari manusia (Pratiwi, 2009).

(15)

Pemanfaatan wilayah pesisir yang semakin meningkat messkipun memberikan dampak positif dalam perekonomian dengan meningkatkan taraf hidup dan lapangan kerja bagi masyarakat sekitar pantai, juga memberikan dampak negatif terkait aspek ekologi ekosistem mangrove jika dalam pemanfaatan yang dilakukan tidak ramah lingkungan dan tidak terkendali. Oleh karena itu, kegiatan rehabilitasi hutan mangrove yang sudah rusak kondisinya perlu dilakukan untuk mengembalikan dan memulihkan kawasan yang rusak agar dapt kembali berfungsi dengan baik sebagai perlindungan, pelestarian, dan fungsi produksinya (Pramudji, 2001).

Rehabilitasi mangrove dapat dilakukan dengan memberikan perlakuan terhadap mangrove untuk mempercepat pertumbuhan. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan perlakuan alami menggunakan fungi untuk menggantikan bahan kimia yang selama ini sering digunakan. Fungi dapat mendekomposisi serasah dan bahan organik yang ada. Hal ini dapat mempermudah mangrove menyerap serasah atau bahan organik yang belum terdekomposisi di permukaan tanah. Penggunaan fungi pada mangrove dapat membantu mempercepat pertumbuhan mangrove sekaligus mengurangi emisi dan kerusakan tanah yang diakibatkan oleh bahan-bahan kimia yang biasa digunakan sehingga dapat membantu pertumbuhan mangrove dengan menggunakan bahan yang lebih ramah lingkungan dalam upaya rehabilitasi yang lebih baik.

(16)

hutan mangrove yang direhabilitasi, maka dapat digunakan jenis B. gymnorrhiza yang juga merupakan jenis yang lebih mudah tumbuh dan propagulnya ada setiap tahun.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji pada skala lapangan kemampuan berbagai jenis fungi yang ada kemudian membandingkan kemampuan jenis fungi dalam meningkatkan pertumbuhan mangrove dan menetapkan jenis fungi yang mempunyai kemampuan yang besar dalam meningkatkan pertumbuhan mangrove.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini berguna untuk memberikan informasi jenis fungi yang dapat membantu mempercepat pertumbuhan mangrove dalam upaya rehabilitasi mangrove.

Hipotesa Penelitian

Pemberian fungi Trichoderma harzianum memberi pengaruh nyata terhadap pertumbuhan bibit mangrove Bruguiera gymnorrhiza.

Kerangka Pemikiran

(17)

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian

HUTAN MANGROVE

Kerusakan Lahan Mangrove (Konversi, Degradasi, Pengambilan

Kaya, Pencemaran Industri, Pertambangan)

Dekomposisi serasah, peningkatan unsur hara

Pemanfaatan Fungi Rehabilitasi Mangrove

Peningkatan pertumbuhan bibit mangrove B.

(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Hutan Mangrove

Kata “mangrove” dipakai sebagai pengganti istilah kata bakau untuk

menghindari salah pengertian dengan hutan yang melulu terdiri atas Rhizophora spp.. Dengan demikian mangrove merupakan sekelompok tumbuhan

yang berbeda satu dengan yang lainnya, tetapi mempunyai persamaan terhadap morfologi dan fisiologi terhadap habitat yang dipengaruhi oleh pasang surut (Soeroyo, 1992).

Hutan mangrove merupakan salah satu bentuk ekosistem hutan yang unik dan khas, terdapat di daerah pasang surut di wilayah pesisir, pantai, dan atau pulau-pulau kecil, dan merupakan potensi sumberdaya alam yang sangat potensial. Hutan mangrove memiliki nilai ekonomis dan ekologis yang tinggi, tetapi sangat rentan terhadap kerusakan apabila kurang bijaksana dalam mempertahankan, melestarian dan pengelolaannya (Waryono, 2008).

Hutan mangrove merupakan formasi hutan yang tumbuh dan berkembang pada daerah landai di muara sungai, dan pesisir pantai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Oleh karena kawasan hutan mangrove secara rutin digenangi oleh pasang air laut, maka lingkungan (tanah dan air) hutan mangrove bersifat salin dan tanahnya jenuh air. Vegetasi yang hidup di lingkungan salin, baik lingkungan tersebut kering maupun basah, disebut dengan halopita (halophytic) (Onrizal, 2005).

(19)

siklus unsur hara. Namun luas hutan mangrove telah mengalami penurunan sampai 30–50% dalam setengah abad terakhir ini karena pembangunan daerah pesisir, perluasan pembangunan tambak dan penebangan yang berlebihan. Besarnya emisi karbon akibat hilangnya mangrove masih belum diketahui dengan jelas, sebagian karena kurangnya data berskala besar tentang jumlah karbon yang

tersimpan di dalam ekosistem ini, khususnya di bawah permukaan (Donato, dkk., 2012).

Sebenarnya, di dalam wilayah laut dan pesisir tersebut terkandung sejumlah potensi sumberdaya yang besar dan beragam. Salah satu sumberdaya tersebut dapat diperbarui (renewable resources), seperti ikan, udang, moluska, karang mutiara, kepiting, rumput laut, hutan mangrove dan hewan karang yang keberadaan dan kelestarianya tergantung dari pelestarian habitatnya. Selain hal tersebut juga berguna dalam jasa-jasa lingkungan (environmental service), seperti tempat-tempat (habitat) yang indah dan menyejukkan untuk potensi peristiwa dan rekreasi, media transportasi. Dari semua itu, maka potensi kelautan dan pesisir mempunyai nilai ekonomi yang tinggi bagi semua elemen masyarakat, khususnya masyarakat pesisir (Haryanto, 2008).

Ekosistem Mangrove

(20)

berpasir. Daerahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun yang hanya tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove. Wilayahnya juga menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat, baik dari muara suangai ataupun rembesan. Biasanya terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat, sehingga keberadaan terumbu karang atau pulau sangat mempengaruhi habitatnya. Hutan bakau hanya terdapat di pantai yang berkekuatan ombaknya terpecah oleh penghalang berupa pasir ataupun terumbu karang. Sehingga hutan mangrove banyak ditemukan di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria delta dan daerah pantai yang terlindung (Haryanto, 2008).

Ekosistem hutan mangrove umumnya tumbuh dan berasosiasi dengan ekosistem lainnya, misalnya dengan padang lamun (seagrass), rumput laut (seaweed) dan terumbu karang (coral reef), sehingga membentuk suatu ekosistem yang lebih luas, lebih komplek dan sangat unik. Pada hakekatnya, ekosistem hutan mangrove tersebut banyak mendukung terhadap sistem kehidupan berbagai macam biota dan manusia yang hidup di sekitarnya. Kawasan ini oleh banyak peneliti dianggap sebagai ekosistem yang memiliki produktivitas tinggi, dan mempunyai potensi untuk dikembangkan, tetapi sangat rawan apabila cara penanganannya mengabaikan faktor-faktor pembatas dan interkasi antar sistem sumberdaya yang ada dalam satu kesatuan tatanan lingkungan (Pramudji, 2001).

(21)

dari separoh karbon laut ke sedimen dasar laut. Keseluruhan tumbuhan mangrove, lamun, dan rawa payau dapat mengikat 235-450 juta ton karbon per tahun, setara

hampir setengah dari emisi karbon lewat transportasi di seluruh dunia (Nontji, 2010 dalam Ghufran, 2012).

Luas dan Penyebaran Mangrove

Data hasil pemetaan Pusat Survey Sumber Daya Alam Laut (PSSDAL)-BAKOSURTANAL dengan menganalisis data citra Landsat ETM (akumulasi data citra tahun 2006-2009, 190 scenes), mengestimasi luas mangrove di Indonesia adalah 3.244.018,46 ha (Hartini, dkk., 2010). Kementerian Kehutanan tahun 2007 juga mengeluarkan data luas hutan mangrove Indonesia, adapun luas hutan mangrove Indonesia berdasarkan Kementerian Kehutanan adalah 7.758.410,595 ha (Direktur Bina Rehabilitasi Hutan dan Lahan Kementerian Kehutanan, 2009 dalam Hartini, dkk., 2010), tetapi hampir 70% nya rusak (belum diketahui kategori rusaknya seperti apa). Kedua instansi tersebut juga mengeluarkan data luas Mangrove per propinsi di 33 provinsi di Indonesia. luas-luas mangrove di 33 provinsi dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1.Luas dan penyebaran lahan bervegetasi mangrove di Indonesia

No Provinsi Area Mangrove

Bakosurtanal 2009 RLPS-MOF 2007

1 Nanggroe Aceh Darussalam 22.950,321 422.703

2 Sumatera Utara 50.369,793 364.581,150

3 Bengkulu 2.321,870 0

4 Jambi 12.528,323 52.566,880

5 Riau 206.292,642 261.285,327

6 Kepulauan Riau 54.681,915 178.417,549

7 Sumatera Barat 3.002,689 61.534

8 Bangka Belitung 64.567,396 273.692,820

9 Sumatera Selatan 149.707,431 1.693.112,110

10 Lampung 10.533,676 866.149

11 DKI Jakarta 500,675 259,930

(22)

Tabel 1. Lanjutan

No Provinsi Area Mangrove

Bakosurtanal 2009 RLPS-MOF 2007

13 Jawa Barat 7.932,953 13.883,195

14 Jawa Tengah 4.857,939 50.690

15 Jawa Timur 18.253,871 272.230,3

16 D.I Yogyakarta 0 0

17 Bali 1.925,046 2.215,5

18 Nusa Tenggara Barat 11.921,179 18.356,880

19 Nusa Tenggara Timur 20.678,450 40.640,850

20 Kalimantan Barat 149.344,189 342.600,120

21 Kalimantan Tengah 68.132,451 30.497,710

22 Kalimantan Selatan 56.552,064 116.824

23 Kalimantan Timur 364.254,989 883.379

24 Sulawesi Utara 7.348,676 32.384,49

25 Gorontalo 12.315,465 32.934,620

26 Sulawesi Tengah 67.320,130 29.621,560

27 Sulawesi Selatan 12.821,497 28.978,300

28 Sulawesi Tenggara 44.030,338 74.348,820

29 Sulawesi Barat 3.182,201 3.000

30 Maluku Utara 39.659,729 43.887

31 Maluku Utara 139.090,920 128.035

32,33 Papua dan Papua Barat 1.634.003,454 1.438.421

Total 3.244.018,460 7.758.410,595

Sumber: Pusat Survey Sumber Daya Alam Laut (PSSDAL)-Bakosurtanal (2009) dan Kementerian Kehutanan (Direktur Bina Rehabilitasi Hutan dan Lahan Kementerian Kehutanan, 2009 dalam Hartini, dkk, 2010).

Fungsi Hutan Mangrove

(23)

dengan adanya hutan mangrove telah terjadi reduksi tinggi gelombang sebesar 0,7340 m dan perubahan energi gelombang sebesar (E) 19635,26 joule (Pratikto, 2002).

Fungsi hutan mangrove secara ekologis diantaranya sebagai tempat mencari makan (feeding ground), tempat memijah (spawning ground), dan tempat berkembang biak (nursery ground) berbagai jenis ikan, udang, kerang dan biota laut lainnya, tempat bersarang berbagai jenis satwa liar terutama burung dan reptil. Bagi beberapa jenis burung, vegetasi mangrove dimanfaatkan sebagai tempat istirahat, tidur bahkan bersarang. Selain itu, mangrove juga bermanfaat bagi beberapa jenis burung migran sebagai lokasi antara (stop over area) dan tempat mencari makan, karena ekosistem mangrove merupakan ekosistem yang kaya sehingga dapat menjamin ketersediaan pakan selama musim migrasi (Howes, dkk, 2003).

Rehabilitasi Mangrove

(24)

timbunan pasir laut, tapak berkirikil/berkarang dan tapak dengan genangan air yang dalam (Kusmana dan Samsuri, 2009).

Deskripsi Bruguiera gymnorrhiza Kingdom : Plantae (Tumbuhan)

Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil) Ordo : Myrtales

Famili

Genus

Spesies : Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk.

Bruguiera gymnorrhiza merupakan anggota pohon dari keluarga Rhizophoraceae. B. gymnorrhiza umumnya dijumpai sepanjang margin pedalaman rawa bakau, dan kadang-kadang di sepanjang pantai. B. gymnorrhiza tersebar secara luas di selatan tropis Samudera Hindia melalui Malaysia dan Australia tropis dan ke Pasifik sejauh timur seperti Tonga dan Samoa (Karimulla dan Kumar, 2011).

Fungi

Fungi adalah mikroorganisme yang tidak memiliki klorofil, berbentuk hifa/sel tunggal eukariotik, berdinding sel dari kritin atau selulosa, bereproduksi secara seksual dan aseksual. Fungi dimasukkan ke dalam kingdom tersendiri sebab cara mendapatkan makanannya berbeda dengan mikroorganisme yang lainnya, yaitu melalui absorbsi (Sutedjo, dkk., 1991).

(25)

biomassa mikrobial. Fungi membantu mengikat agregat tanah dan mendekomposisi nutrien dalam bentuk senyawa organik (Waluyo, 2009).

Menurut Ayunasari (2009) terdapat sebanyak 6 spesies fungi pada serasah

daun mangrove yaitu 4 jenis fungi Aspergillus sp., 1 jenis fungi Curvularia sp.,

dan 1 jenis Penicillium sp. Keenam fungi tersebut diasumsikan sebagai

dekomposer awal yang telah terdapat pada serasah daun mangrove sebelum jatuh

ke lantai hutan. Namun setelah jatuh ke lantai hutan dan melakukan dekomposisi,

akan terdapat banyak fungi yang berasosiasi dengan keenam jenis fungi yang

sudah ada untuk melakukan proses dekomposisi serasah.

Trichoderma merupakan salah satu fungi yang dapat dijadikan agen

biokontrol karena bersifat antagonis bagi fungi lainnya, terutama yang bersifat

patogen. Aktivitas antagonis yang dimaksud dapat meliputi persaingan,

parasitisme, predasi, atau pembentukan toksin seperti antibiotik. Untuk keperluan

bioteknologi, agen biokontrol ini dapat diisolasi dari Trichoderma dan digunakan

untuk menangani masalah kerusakan tanaman akibat patogen. Beberapa penyakit

tanaman sudah dapat dikendalikan dengan menggunakan fungi Trichoderma.

Trichoderma sp. Menghasilkan enzim kitinase yang dapat membunuh patogen

sehingga fungi ini sangat cocok digunakan dalam mengelola lahan bekas

(26)

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Nelayan Indah, Medan, Sumatera Utara. Fungi diremajakan di Laboratorium Bioteknologi Hutan, Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai Desember 2014.

Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cawan Petri, tabung reaksi, spatula, gelas ukur, timbangan analitik, oven, kalifer, penggaris, autoklaf, label kertas, cangkul, kamera digital, alumunium foil, gunting, sarung tangan, sprayer, polibag, spidol permanen, plastik clingwrap,dan lampu bunsen.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah propagul B. gymnorrhiza, akuades, kentang, dextrose, agar, spritus, alkohol 70%, antibiotik,

isolat jenis-jenis fungi yang diperoleh dari penelitian sebelumnya A. flavus, A. tereus, T. harzianum.

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Desa Nelayan Indah berada di kecamatan Medan Labuhan, dengan luas daerah 77,3 hektar. Batas-batas wilayah desa ini adalah sebagai berikut :

a. Sebelah utara berbatasan dengan Sei Deli atau Kelurahan Belawan Bahari b. Sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Sei Mati

c. Sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Pekan Labuhan d. Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang

(27)

meter di atas permukaan laut, dengan curah hujan rata-rata 1132,7 mm/tahun dan suhu rata-rata harian 21-310 C dan kelembaban rata-rata harian 60-95%. Jenis tanah di kecamatan ini umumnya alluvial dan tanah podsolik merah kuning. Prosedur Penelitian

Pembuatan PDA

Pembuatan Media Potato Dextrose Agar (PDA), kentang dikupas dan ditimbang sebanyak 200 g, kemudian diiris tipis-tipis. Kentang direbus dengan akuades 1 L selama 15-20 menit, kemudian disaring dengan kain. Gula 20 g dan 20 g agar dimasukkan ke dalam filtrat hasil rebusan kentang, selanjutnya dimasak sampai mendidih dan diaduk sampai tidak terdapat endapan. Dimasukkan antibiotik setelah suhunya normal. Selanjutnya media disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121o C dengan tekanan 15 psi selama 15 menit.

Peremajaan Fungi

Isolat fungi dari penelitian sebelumnya diambil dengan ukuran 1x1 cm menggunakan spatula. Dipindahkan ke dalam media PDA yang baru, selanjutnya diinkubasi selama 14 hari pada suhu ruangan.

Pembuatan Media Tanam dan Penanaman

Media tanam yang digunakan dalam penelitian ini adalah lumpur dari bawah tegakan B. gymnorrhiza di Kelurahan Nelayan Indah. Wadah tanam yang digunakan adalah polibag dengan ukuran 20 cm.

(28)

Aplikasi Fungi

Isolat fungi yang digunakan adalah A. flavus, A. tereus, dan T. harzianum Jenis-jenis fungi tersebut diaplikasikan dalam bentuk suspensi fungi. Fungi yang tumbuh di media PDA diambil 1 x 1 cm, selanjutnya fungi ini dimasukkan ke dalam air steril 10 ml pada tabung reaksi. Fungi dalam tabung reaksi dikocok sampai fungi terlepas dari agar. Selanjutnya suspensi fungi tersebut dituang ke dalam polibag atau media tanam bibit. Cara aplikasi fungi dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Aplikasi Fungi ke bibit tanaman B. gymnorrhiza Parameter yang Diamati

a. Tinggi semai (cm)

Pengukuran tinggi semai dilakukan sekali dua minggu selama 3 bulan. Alat ukur yang digunakan adalah penggaris. Pengukuran pertama dilakukan pada batang awal munculnya daun sampai pangkal daun paling ujung, demikian dengan pengukuran selanjutnya sehingga data yang diperoleh lebih akurat.

Potongan fungi Potongan fungi dimasukkan ke

(29)

b. Diameter semai (cm)

Diameter batang diukur dengan menggunakan kalifer. Untuk mendapatkan pengukuran yang lebih akurat, diameter batang diukur dari batang dimana daun pertama muncul.

c. Luas daun

Pada saat pengamatan dihitung semua jumlah daun dari semai. Perhitungan luas daun dilaksanakan pada pengamatan terakhir. Daun diletakkan diatas selebar kertas putih yang telah diberi garis lurus sepanjang 10 cm sebagai parameter ukuran luas daun kemudian diambil foto daun tersebut yang selanjutnya dihitung dengan menggunakan software image J.

d. Bobot kering tajuk

Dianalisis setelah data terakhir diambil. Daun dan akar dari setiap perlakuan dan kontrol masing masing dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 70 0C sampai berat konstan. Kemudian daun dan akar tersebut ditimbang dengan menggunakan timbangan analitik.

Rancangan percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap ( RAL ) karena kondisi lingkungan yang homogen dan faktor perlakuannya hanya satu yaitu pengaruh aplikasi fungi. Terdapat empat jenis fungi yang diaplikasikan dengan lima kali ulangan.

���= �+��+���

Keterangan:

���= respon pertumbuhan tanaman terhadap perlakuan ke-i ulangan ke-j

(30)

�� = taraf perlakuan

��� = pengaruh galat perlakuan ke-i ulangan ke-j

i = Kontrol, A. flavus, Penicillium sp, A. tereus, dan T. harzianum j = 1, 2, 3, 4, 5

(31)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Parameter pengamatan yang dilakukan baik pertambahan tinggi, diameter, jumlah dan luas daun, serta bobot kering total pada bibit pada setiap perlakuan. Hasil pengukuran dari semua parameter pengamatan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil Pengamatan Bibit B. gymnorrhiza 12 Minggu Setelah Tanam

Parameter Pengamatan Perlakuan Satuan

Kontrol A. flavus T.harzianum A. tereus

Tinggi rata-rata 8,280 8,300 9,060 8,980 cm

Diameter rata-rata 0,203 0,204 0,210 0,174 cm

Luas daun 71,850 67,610 104,870 71,650 cm2

Berat kering total 1,350 1,840 2,650 1,620 g

Setelah diukur pada parameter pengukuran tinggi dan diameter selama 12 minggu, bibit-bibit yang ada dipersiapkan untuk diukur pada parameter pengukuran yang lain, yaitu pengukuran luas daun dan berat kering total. Kondisi bibit dapat dilihat pada Gambar 2 dan Gambar 3.

Gambar 3. Kondisi bibit B. gymnorrhiza (a) sebelum diberi aplikasi fungi, dan (b) akhir pengukuran parameter pertumbuhan tinggi dan diameter

(32)

Gambar 4. Kondisi bibit B. gymnorrhiza setelah 12 minggu pengukuran dan dikeluarkan dari polibag dengan perlakuan (a) A. flavus, (b) T. harzianum, (c) A. terreus, dan (d) Kontrol.

Gambar 3. menunjukkan kondisi bibit-bibit B. gymnorrhiza sebelum aplikasi fungi dan sesudah diberi aplikasi fungi dan akhir dari pengamatan semua parameter pengamatan. Gambar 4 menunjukkan kondisi bibit setelah dikeluarkan dari polibag dan persiapan untuk pengukuran luas daun dan bobot kering total. 1. Pertumbuhan tinggi bibit B. gymnorrhiza

Dari pengukuran pertambahan tinggi bibit yang dilakukan selama 12 minggu, diperoleh tinggi bibit B. gymnorrhiza pada Lampiran 1. Bibit yang diberi perlakuan aplikasi jenis-jenis fungi menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan bibit yang tidak diaplikasikan fungi (bibit kontrol). Hal ini dapat dilihat dari pertambahan tinggi bibit rata-rata, dimana bibit dengan pertambahan tinggi yang terbesar adalah bibit B. gymnorrhiza yang diberi aplikasi fungi T. harzianum dengan pertambahan tinggi rata-rata 9,06 cm. Untuk bibit B. gymnorrhiza dengan pertambahan tinggi paling rendah adalah bibit kontrol

dengan pertambahan tinggi rata-rata 8,28 cm. Pertambahan tinggi bibit B. gymnorrhiza setiap minggu dapat dilihat dalam bentuk grafik pada Gambar 5.

(33)

Gambar 5. Pertambahan Tinggi Bibit B. gymnorrhiza

Dari hasil pengukuran tinggi rata-rata bibit B. gymnorrhiza, dapat diketahui pengaruh perlakuan pemberian berbagai jenis fungi terhadap pertumbuhan tinggi bibit B. gymnorrhiza melalui analisis sidik ragam dari rancangan acak lengkap (RAL) yang dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Analisis sidik ragam pengaruh pemberian berbagai jenis fungi terhadap pertumbuhan tinggi bibit B. gymnorrhiza

Sumber

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa perlakuan pemberian berbagai jenis fungi yang berbeda memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi bibit B. gymnorrhiza. Ini ditunjukkan dari nilai F.hitung yang lebih besar dari F.tabel pada analisis sidik ragam yang dilakukan. Untuk mengetahui perbedaan pengaruh pada setiap perlakuan maka dilakukan uji Beda Nyata Terkecil yang dicantumkan pada Tabel 4.

(34)

Tabel 4. Uji Beda Nyata Terkecil terhadap pertumbuhan tinggi bibit B. gymnorrhiza

Perlakuan Tinggi rata-rata

Kontrol 10,11 a

A. flavus 13,76 b

T. harzianum 13,88 b

A. terreus 13,08 b

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Beda Nyata Terkecil pada taraf 5%

Dari Tabel 4. terlihat bahwa hasil uji Beda Nyata Terkecil bibit kontrol berbeda nyata dengan bibit yang diberi perlakuan fungi. Namun bibit yang diberi perlakuan fungi tidak berbeda nyata satu sama lain. Sehingga dari ketiga fungi tersebut dapat diberikan karena memiliki pengaruh yang sama terhadap pertumbuhan tinggi bibit.

2. Pertumbuhan diameter rata-rata bibit B. gymnorrhiza

(35)

Gambar 6. Pertambahan Diameter Bibit B. gymnorrhiza

Untuk mengetahui pengaruh pemberian berbagai jenis fungi terhadap pertumbuhan diameter bibit B. gymnorrhiza dilakukan analisis sidik ragam yang dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Analisis sidik ragam pengaruh pemberian berbagai jenis fungi terhadap pertumbuhan diameter bibit B. gymnorrhiza

Sumber

(36)

3. Luas daun rata-rata bibit B. gymnorrhiza

Parameter pengamatan selain pertambahan tinggi dan diameter juga diukur

luas daun bibit. Hasil pengukuran luas daun pada setiap ulangan bibit B. gymnorrhiza dapat dilihat di Lampiran 3. Luas daun terbesar dimiliki oleh bibit

dengan aplikasi fungi T. harzianum dengan luas 104,87 cm2. Bibit B. gymnorrhiza dengan aplikasi fungi A. flavus memiliki luas daun terkecil dengan luas 67,61 cm2. Hal ini dapat dilihat dari grafik pada Gambar 7.

Gambar 7. Luas Permukaan Daun Bibit B. gymnorrhiza

Untuk mengetahui pengaruh pemberian berbagai jenis fungi terhadap luas daun bibit B. gymnorrhiza dilakukan analisis sidik ragam dari rancangan acak lengkap (RAL) yang dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Analisis sidik ragam pengaruh pemberian berbagai jenis fungi terhadap luas daun bibit B. gymnorrhiza

Sumber

Kontrol A. Flavus T. Harzianum A. Tereus

(37)

Dapat dilihat pada Tabel 6. perlakuan pemberian berbagai jenis fungi yang berbeda pada bibit B. gymnorrhiza. Jumlah F. Hit yang lebih kecil dari F. Tabel menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan pada bibit tersebut tidak berpengaruh nyata terhadap luas daun rata-rata bibit B. gymnorrhiza. Maka tidak perlu dilakukan uji lanjutan terhadap hasil dari analisis sidik ragam pada luas daun.

4. Berat kering total bibit B. gymnorrhiza

Pengukuran terakhir adalah berat kering total bibit. Pengukuran ini dilakukn dengan mengukur berat kering dari tajuk dan akar bibit. Hasil pengukuran bibit dapat dilihat pada Lampiran 4. Setelah pengukuran pertumbuhan tinggi, diameter, dan luas permukaan daun, diukur juga berat kering total bibit B. gymnorrhiza. Bobot kering total yang tertinggi adalah bibit dengan aplikasi fungi T. Harzianum dengan bobot sebesar 2,65 g. Sedangkan bobot kering total yang terendah adalah bibit tanpa perlakuan dengan bobot sebesar 1,35 g. Grafik pada Gambar 8 menunjukkan perbedaan bobot kering total pada setiap perlakuan.

Gambar 8. Bobot Kering Total Bibit B. gymnorrhiza 1,346

Kontrol A. Flavus T. Harzianum A. Tereus

(38)

Dari pengukuran bobot kering total, kemudian dilakukan analisis sidik ragam untuk melihat pengaruh dari pemberian berbagai jenis fungi terhadap bobot kering total yang didapatkan dari bibit B. gymnorrhiza. Analisis sidik ragam tersebut dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Analisis sidik ragam pengaruh pemberian berbagai jenis fungi terhadap bobot kering total bibit B. gymnorrhiza

Sumber Keragaman Jumlah

Kuadrat (JK) db

Dari Tabel 7 dapat dilihat bahwa nilai F. hitung lebih besar dari F. tabel. Hal ini menunjukkan pemberian berbagai jenis fungi berpengaruh nyata terhadap bobot kering total bibit B. gymnorrhiza. Untuk mengetahui perbedaan pengaruh setiap perlakuan terhadap bobot kering total maka dilakukan uji lanjutan Beda Nyata Terkecil. Hasil uji lanjutan dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Uji Beda Nyata Terkecil terhadap pertumbuhan tinggi bibit B. gymnorrhiza

Perlakuan Bobot Kering Total

Kontrol 1,35 a

A. flavus 1,84 ab

T. harzianum 2,65 b

A. terreus 1,62 ab

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Beda Nyata Terkecil pada taraf 5%

(39)

Pembahasan Tinggi bibit

Hasil pengukuran tinggi bibit B. gymnorrhiza menunjukkan bahwa pemberian perlakuan aplikasi berbagai jenis fungi mempengaruhi pertumbuhan tinggi bibit. Dari data yang diperoleh pada pengukuran tinggi, bibit yang tidak diberi perlakuan aplikasi fungi (bibit kontrol) memiliki tinggi paling rendah yaitu 8,28 cm. Hal ini disebabkan oleh kondisi lingkungan tempat persemaian terutama kondisi tanah dan air yang sudah tercemar oleh logam-logam berat dari limbah industri dan kegiatan masyarakat lainnya serta tingkat salinitas air yang tinggi sehingga mempengaruhi pertumbuhan bibit. Sesuai pernyataan Nastia (2014) bahwa tingkat salinitas di Desa Nelayan yang cukup tinggi yaitu sebesar 21,1 ppt. Kandungan logam berat seperti Timbal (Pb) di Desa Nelayan didapat dari limbah Pb yang berasal dari kendaraan, pertambangan, industri dan kegiatan lainnya yang ada di Desa Nelayan.

(40)

Perlakuan dengan pemberian fungi T. harzianum menunjukkan rataan pertambahan tinggi yang terbesar yaitu 9,28 cm. Bibit dengan aplikasi fungi ini menunjukkan pertumbuhan yang signifikan. Meskipun dengan kondisi lingkungan yang cukup rusak namun bibit tersebut mampu tumbuh lebih baik dari bibit dengan atau tanpa perlakuan aplikasi fungi. Herlina (2009) mengatakan bahwa biakan jamur T. harzianum yang diberikan ke areal pertanaman akan berlaku sebagai biodekomposer yang dapat mendekomposisi limbah organik seperti rontokan dedaunan dan ranting tua menjadi kompos yang bermutu sehingga memberikan pengaruh positif terhadap perakaran tanaman, pertumbuhan tanaman, dan hasil produksi tanaman. Ini sesuai dikarenakan fungi T. harzianum mampu mendekomposisikan dengan baik bahan-bahan organik yang ada disekitar bibit sehingga dapat diserap dengan baik oleh bibit B. gymnorrhiza.

Diameter bibit

Pada pengukuran diameter bibit B. gymnorrhiza diperoleh hasil pertambahan diameter bibit terkecil adalah bibit dengan perlakuan pemberian fungi A. flavus yang memiliki pertambahan diameter rataan sebesar 0, 17 cm. Sedangkan pertambahan diameter bibit terbesar diperoleh dari bibit dengan perlakuan aplikasi fungi T. harzianum dengan pertambahan diameter rataan sebesar 0,21 cm.

(41)

laju pertumbuhan sel-sel baru tanaman juga akan semakin meningkat sehingga biomassa tanaman juga meningkat. Dengan biomassa meningkat maka dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman sehingga pertumbuhan diameter tanaman juga berjalan dengan baik.

Affandi (2001) menyatakan bahwa penggunaan T. harzianum juga dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman. Ini disebabkan T. harzianum memiliki kemampuan untuk mendegradasi senyawa-senyawa yang sulit terdegradasi seperti senyawa lignosellulosa. Hal ini yang memberikan dampak positif bagi bibit B. gymnorrhiza dalam membantu pertumbuhan diameter bibit menjadi lebih baik dibandingkan dengan perlakuan lainnya.

Namun hal yang sebaliknya terjadi pada bibit dengan perlakuan A. terreus yang memiliki diameter rataan terendah dibandingkan perlakuan lain. Hal ini disebabkan oleh fungi A. terreus selain mempunyai kemampuan membantu dalam penyerapan hara juga memiliki hal negatif yang dapat menganggu pertumbuhan tanaman. Menurut Handajani dan Purwoko (2008) dalam Budiarti dkk (2013) A. terreus dan A. niger merupakan jamur yang mampu memproduksi mikotoksin. A. terreus menghasilkan beberapa mikotoksin, yaitu aflatoksin, patulin, dan sitrinin. A. terreus dan A. niger merupakan jamur yang dapat menimbulkan aspergillosis.

Luas daun

(42)

yang ada. Jumlah daun yang dimiliki bibit dengan perlakuan pemberian fungi A. flavus juga lebih sedikit dibandingkan dengan perlakuan yang lain yaitu hanya berjumlah 23 helai. Sedangkan bibit perlakuan pemberian fungi T. harzianum, A. terreus dan kontrol berturut-turut memiliki jumlah daun sebanyak 28, 25, dan 27 helai. Data luas daun dari masing-masing perlakuan bibit T. harzianum dapat dilihat pada Lampiran 3.

Fungi A. flavus dan A. terreus hanya berfungsi sebagai pelarut fosfat dan hanya sebagai dekomposer bahan organik. Fungi yang diberikan berfungsi sebagai pupuk hayati yang berperan dalam mempercepat penyerapan unsur hara pada tanaman. Seperti fungi Aspergillus sp. yang dapat berfungsi sebagai mikroba pelarut fosfat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Handayani (2011) bahwa Aspergillus sp dan Penicillium sp memiliki potensi sebagai pelarut fosfat. Sehingga fungi Aspergillus sp tidak dapat mencegah atau mengurangi serangan hama yang terjadi pada bibit B. gymnorrhiza.

(43)

Bibit dengan perlakuan fungi T. harzianum juga memiliki pertumbuhan akar lebih baik dan daun lebih lebar dimana dapat mempermudah proses fotosintesis dan metabolisme tumbuhan. Menurut Suwahyono (2004) yang menyatakan bahwa pemberian T. harzianum mampu meningkatkan jumlah akar dan daun menjadi lebar. Ini disebabkan oleh diduga bahwa fungi T. harzianum mampu menyediakan unsur hara yang lebih tinggi dan mencukupi bahan untuk fotosintesis, sehingga pertumbuhan serta pembentukan sel dan organ seperti daun juga lebih tinggi.

Bobot kering total

Penggunaan berbagai jenis fungi yang berbeda juga mempengaruhi bobot kering bibit. Dari hasil pengukuran bobot kering total tanaman yang paling rendah terdapat pada bibit kontrol dengan bobot kering total sebesar 1,346 g. Sedangkan bobot kering total bibit B. gymnorrhiza dengan perlakuan aplikasi fungi T. harzianum menunjukkan hasil yang sangat memuaskan dan juga paling besar dibandingkan dengan bibit dengan pemberian aplikasi fungi yang lain. Bibit tersebut memiliki bobot kering total sebesar 2,648 g. Berat kering total seluruh perlakuan bibit T. harzianum dapat dilihat pada Lampiran 4.

(44)

organik yang dibutuhkan tanaman juga dapat membantu pertumbuhan akar menjadi lebih baik sehingga proses penyerapan hara dan air berjalan baik yang berakibat juga terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman akan lebih baik.

Unsur P (fosfor) sangat dibutuhkan tanaman agar pertumbuhannya menjadi optimal. Menurut Wati (2009) pertumbuhan tanaman dapat optimal jika tanaman mendapatkan atau mengandung P yang cukup. Namun apabila keadaan P tidak tersedia maka tanaman akan sulit untuk menyerapnya. Fosfor relatif tidak mudah tercuci, tetapi karena pengaruh lingkungan P tersedia berubah menjadi tidak tersedia (Elfiati, 2005). Sehingga dengan adanya pemberian fungi dapat membantu mendekomposisi bahan organik dan juga menyediakan unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman.

Diantara perlakuan pemberian berbagai jenis fungi pada bibit B. gymnorriza, bibit dengan perlakuan fungi T.harzianum yang menunjukkan

pertumbuhan paling baik dibandingkan dengan bibit yang diberi perlakuan fungi A. flavus atau A. terreus. Bibit dengan perlakuan fungi T. harzianum memiliki pertambahan tinggi, diameter, luas daun dan bobot kering yang paling tinggi. Serangan hama dan penyakit pada bibit T. harzianum juga lebih sedikit dibandingkan bibit lainnya. Ini membuktikan bahwa fungi T. harzianum mampu membantu ketahanan bibit terhadap serangan hama dan penyakit yang ada sehingga dapat mempertahankan bahkan meningkatkan pertumbuhan bibit tersebut menjadi lebih baik.

(45)

berpengaruh nyata terhadap beberapa parameter pengukuran yaitu pertumbuhan tinggi dan bobot kering total pada bibit. Dari semua pengukuran dapat dilihat korelasi atau hubungan antara dua variabel pengukuran yang terdapat pada Tabel 9.

Tabel 9. Korelasi antar perlakuan

Parameter Pengukuran Tinggi Diameter Luas Daun BKT

Tinggi 1

Diameter 0,52 1

Luas Daun 0,34 0,38 1

BKT 0,52 0,42 0,82 1

Keterangan: 0.00-0.199 : Sangat rendah 0.20-0.399 : Rendah 0.40-0.599 : Cukup 0.60-0.799 : Kuat 0.80-1.000 : Sangat kuat

(46)

Tabel 10. Skor Presentase Penilaian Keberhasilan Setiap Perlakuan

Parameter Pengukuran Perlakuan

Kontrol A. flavus T. harzianum A. terreus

Keterangan: 0 = skor menunjukkan peringkat ke 4 1 = skor menunjukkan peringkat ke 3 2 = skor menunjukkan peringkat ke 2 3 = skor menunjukkan peringkat ke 1

(47)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Pemberian aplikasi berbagai jenis fungi T. harzianum pada bibit B. gymnorrhiza menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan

dengan bibit dengan perlakuan lainnya.

2. Pemberian perlakuan terhadap bibit B. gymnorrhiza berpengaruh nyata hanya pada pertambahan tinggi dan bobot kering total.

Saran

(48)

DAFTAR PUSTAKA

Ayunasari, W. 2009. Diversitas dan Visualisasi Karakter Fungi Dekomposer Serasah Daun Avicennia marina Pada Berbagai Tingkat Salinitas. Skripsi Departemen Biologi, Fakultas MIPA, USU, Medan.

Budiarti, S. W., H. Purwaningsih, dan Suwarti. 2013. Kontaminasi Fungi Aspergillus sp Pada Biji Jagung Di Tempat Penyimpanan Dengan Kadar Air Yang Berbeda. Seminar Nasional Serealia.

Donato, D. C., J. B. Kauffman, D. Murdiyarso, S. Kurnianto, M. Stidham, dan M. Kanninen. 2012. Mangrove adalah salah satu hutan terkaya karbon di kawasan tropis. Brief CIFOR 12:1-12.

Elfiati, D. 2005. Peran Mikroba Pelarut Posfat terhadap Pertumbuhan Tanaman. Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Medan.

Ghufran H. K. M. 2012. Ekosistem Mangrove: Potensi, Fungsi, dan Pengelolaan. Rineka Cipta. Jakarta.

Giri. C., E. Ochieng., L. L. Tieszen., Z. Zhu., A. Singh., T. Loveland., J. Masek and N. Duke. 2011. Status and distribution of mangrove forest of the world using earth observation satellite data. Global Ecology and Biogeograhy 20:157.

Goenadi, D. H., R. Saraswati, N. N. Naganro, dan J. A. S. Adiningsih. 1995. Nutrient solu-bilizing and aggregate-stabilizing microbes isolated from selected humic tropical soil. Menara Perkebunan 63(2): 60-66.

Handayani, D. 2011. Potensi Aspergillus dan Penicillium Asal Serasah Dipterocarp Sebagai Endosimbion Akar Pelarut Fosfat. IPB. Bogor.

Hartini, S., G. B. Saputro, M. Yulianto, Suprajaka. 2010. Assessing the Used of Remotely Sensed Data for Mapping Mangroves Indonesia. Selected Topics in Power Systems and Remote Sensing. In 6th WSEAS International Conference on Remote Sensing (Remote ’10), Iwate Prefectural University, Japan. October 4-6, 2010; pp. 210-215.

Haryanto, R. 2008. Rehabilitasi hutan mangrove: Pelestarian ekosistem pesisir pantai dan pemberdayaan masyarakat pesisir. Karsa 14:150-158.

(49)

Herlina, L. 2010. Penggunaan Kompos Aktif Trichoderma harzianum Dalam Meningkatkan Pertumbuhan Tanaman Cabai. Fakultas MIPA Universitas Negeri Semarang. Semarang.

Howes, J., D. Bakewell, & Y.R. Noor. 2003. Panduan Studi Burung Pantai, Wetlands International-Indonesia Programme. Bogor.

Hutahean, E. E., C. Kusmana, dan H. R. Dewi. 1999. Studi Kemampuan Tumbuh Anakan Mangrove Jenis Rhizophora mucronata, Bruguiera gymnorrhiza dan Avicennia marina Pada Berbagai tingkat Salinitas. Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol V 1:83.

Karimulla, S., B. P. Kumar. 2011. Anti diabetic and Anti hyperlipidemic activity of bark of Bruguiera gymnorrhiza on streptozotocin induced diabetic rats. Asian Journal of Pharmaceutical Science and Technology 1:4-7.

Kusmana, C dan Samsuri. 2009. Rehabilitasi Mangrove Pada Tapak-Tapak Yang Khusus. IPB. Bogor.

Masri. 2003. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Partisipasi Keluarga Dalam Pemeliharaan Lingkungan di Kelurahan Perumahan Nelayan Indah Kecamatan Medan Labuhan Kota Medan. Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.

Nastia, P. 2014. Akumulasi Logam Berat Tembaga (Cu) dan Timbal (Pb) Pada Pohon Mangrove Avicennia marina di Desa Nelayan dan Jaring Halus Sumatera Utara. Skripsi. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Noor, Y. R., M. Khazali., dan I. N. N. Suryadiputra. 2006. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. PHKA/WI-IP. Bogor.

Novianty, R, S. Sastrawibawa, dan D. J. Prihadi. 2011. Identifikasi Kerusakan dan Upaya Rehabilitasi Ekosistem Mangrove di Pantai Utara Kabupaten Subang. Universitas Padjajaran. Bandung.

Onrizal. 2005. Adaptasi Tumbuhan Mangrove Pada Lingkungan Salin dan Jenuh Air. USU-Repository. Medan.

Pramudji. 2001. Upaya Pengelolaan Rehabilitasi dan konservasi pada lahan mangrove yang kritis kondisinya. Oseana 36:1-8.

Pratikto, W. 2002. Perencanaan perlindungan pantai alami untuk mengurangi resiko terhadap bahaya tsunami. Makalah disampaikan dalam lokakarya nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Jakarta, 6-7 Agustus 2002. Kementerian Perikanan Republik Indonesia.

(50)

Soeroyo, 1992. Sifat, Fungsi, dan Peranan Hutan Mangrove. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi-LIPI. Jakarta.

Sutedjo, M. M., A. G. Kartasapoetra, Rd. S. Sastroatmodjo. 1991. Mikrobiologi Tanah. Rineka Cipta. Jakarta.

Suwahyono. 2004. Trichoderma harzianum Indegeneous Untuk Pengendalian Hayati. Fakultas Biologi UGM dalam internet akses tanggal 24 Mei 2012. Tjandrawati, T. 2003. Isolasi dan Karakteristik sebagai Kitinase Trichoderma

viride. TNJ 63. Jurnal Natural Indonesia.

Waluyo, L. 2009. Mikrobiologi Lingkungan. UMM Press. Malang.

Waryono, T. 2008. Restorasi Ekologi Hutan Mangrove (Studi Kasus DKI Jakarta). Kumpulan Makalah Periode 1987-2008.

Wati, S. K. 2009. Pengaruh Fungi Pelarut Fosfat Asal Tanah Paku Haji dan Pupuk P Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kedelai. (Glycine max (L.) Merr) Pada Tanah Masam. Skripsi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta.

(51)

Lampiran 1. Data pengukuran tinggi bibit B. gymnorrhiza

Perlakuan Ulangan Hari Ke - Pertambahan Tinggi 0 15 30 45 60 75 90

Rata-rata Pertumbuhan tinggi bibit setiap 2 minggu sekali

Perlakuan Hari Ke-

(52)

Lampiran 2. Data Pengukuran Diameter Bibit B. gymnorrhiza

Perlakuan Ulangan Hari Ke- Pertambahan diameter 0 15 30 45 60 75 90

Rata-rata pertumbuhan diameter bibit setiap 2 minggu sekali Perlakuan Pengukuran Ke-

0 15 30 45 60 75 90 Kontrol 0,353 0,416 0,44 0,473 0,514 0,5376 0,5564

A. flavus 0,406 0,454 0,499 0,547 0,571 0,593 0,61

T. harzianum 0,436 0,487 0,517 0,577 0,601 0,628 0,646

(53)

Lampiran 3. Data Pengukuran Luas Daun Bibit B. gymnorrhiza

Perlakuan Ulangan

1 2 3 4 5

Kontrol 65.169 53.591 32.284 130.628 77.571

A. flavus 73.019 56.881 95.913 40.227 72.020

T. harzianum 131.883 83.565 131.475 91.300 86.140

A. terreus 83.047 49.931 29.880 72.562 122.822

Lampiran 4. Data Pengukuran Bobot Kering Total (BKT) Bibit B. gymnorrhiza

Bagian Ulangan Perlakuan

(54)

Lampiran 5. Dokumentasi Penelitian

Kondisi Lahan Mangrove Di Desa Nelayan Indah

Penanaman Bibit B. gymnorrhiza

(55)

Aplikasi Fungi, Pemberian Label Nama, dan Penyusunan Bibit B. gymnorrhiza di Persemaian

Pengukuran Tinggi dan Diameter Bibit B. gymnorrhiza

(56)

Kondisi Daun Yang Akan di ukur Luasnya dan Kondisi Akar Bibit B. gymnorrhiza

Pengukuran Bobot Kering Total Bibit B. gymnorrhiza

Gambar

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian
Tabel 1. Luas dan penyebaran lahan bervegetasi mangrove di Indonesia
Tabel 1. Lanjutan
Gambar 2.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya tkngan kehati-hatian, kompetensi dan ketekunan, serta mempunyai kewajiban untuk

Kedua adalah Staff User hak akses ini digunakan untuk mengakses halaman pengelolaan transaksi dan perubahan informasi status barang pelanggan, hak akses staff user

[r]

Faktor lain yang mempengaruhi kemandirian adalah jenis kelamin, hal ini sesuai dengan data umum, lebih dominan adalah perempuan maka dapat dikatakan bahwa lansia

(3) Problematika kepedulian sosial anak-anak Sanggar Belajar Margosari, Sidorejo, Salatiga di lingkungan masyarakat yaitu: masih ada anak yang sesuka dirinya sendiri

Wanita yang sudah menikah ( PUS) dan yang sudah memeiliki anak yang belum menggunakan KB atau alat kontrasepsi di Desa Bera Dolu Sumba Barat NTT yang memiliki

Untuk menjawab tantangan baru dalam pelaksanaan program RBTK, telah disusun 20 inisiatif baru program RBTK dengan strategic outcomes “Terjaganya kesinambungan fiskal melalui

vitro. Ibu ini menghendaki hanya satu bayi saja, sebab itu ia menggugat dokternya karena hidup yang salah dan menuntut sang dokter membayar biaya membesarkan keempat anak lain yang