• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi IJEPA di Indonesia dalam bi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Implementasi IJEPA di Indonesia dalam bi"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

IMPLEMENTASI INDONESIA-JAPAN ECONOMIC PARTNERSHIP AGREEMENT (IJEPA) DI INDONESIA DALAM BIDANG OTOMOTIF

(Kasus: Toyota di Indonesia)

Oleh: Sulfitri Hs Mudrieq, S.ip, MA

Hubungan Internasional, Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Tadulako

Abstrak

Sejak pemerintahana Indonesia mulai Orde Lama hingga pemerintahan Era Reformasi Susilo bambang Yudhoyono, kebijakan mengenai industri otomotif dalam negeri Indonesia mengalami ketidakkonsistenan. Bahkan Industri otomotif Indonesia pernah mengalami proteksi akibat pelaporan Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang yang menganggap Indonesia kurang terbuka dengan Negara lain. Setelah pergantian pemerintahan Orde Lama ke Orde Baru, industi dalam negeri mulai terbuka. Namun kebijakan mengenai industri otomotif masih saja belum konsisten. Selanjutnya dalam pembahasan penelitian ini menggunakan metode kualitatif, guna mengetahui sejauh mana perkembangan implementasi Indonesia-Japan Economic Partnership Agreemenet (IJEPA) di Indonesia dalam bidang otomotif.

Kata kunci: kerja sama, kebijakan industri, IJEPA

Abstract

Otomotif industry policy in Indonesia has been in-consisten since Indonesia Government begins an old system reformation period by Susilo Bambang Yudhoyono (SBY’s) governance. Though Indonesia’s otomotif industry has been protecting due to of USA, Europa, and Japan’s report that see Indonesia does not open to other countries. After the commutation of government from an old government (Orde Lama) into a new government (Orde Baru), otomotif industry in Indonesia has been opened. But, otomotif industry policy in Indonesia

Key words: partnership, industry policy, IJEPA

Pendahuluan

Hingga tahun 2013 hubungan diplomatik antara Indonesia dan Jepang sudah terjalin selama 55 tahun. Hubungan diplomatik ini berbentuk bantuan dan kerjasama termasuk partnership. Partnership atau kemitraan merupakan jalinan kerjasama yang dilakukan oleh individu, kelompok, atau perusahaan, atau negara sebagai aktor. Kemitraan ini berwujud bantuan berupa materi dan non materi, termasuk juga bantuan melalui Official Development Assistance (ODA). Selanjutnya, salah satu kemitraan baru yang dijalankan Indonesia dan Jepang adalah Indonesia Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA).

Kehadiran IJEPA semakin menguatkan hubungan diplomatik antara Indonesia dan Jepang yang telah disepakati sejak tahun 1958. Kemitraan ini dilakukan dalam sebuah perjanjian kerjasama yang ditandatangani Presiden ke-6 Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe pada tahun 2007.

(2)

dari Orde Lama ke Orde Baru yang mempengaruhi ketidakkonsistenan kebijakan industri otomotif. Oleh karena itu, kedua negara melakukan negosiasi dengan mengharapkan hasil kerjasama yang berdampak positif bagi keduanya khususnya Indonesia.

Negosiasi antara Indonesia dan Jepang kemudian ditindak lanjuti dengan framework Agreement yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia berdasarkan peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2008 tentang pengesahan Agreement Between The Republic of Indonesia and Japan for Economic Partnership -IJEPA. Melalui Framework Agreement ini telah menyepakati dua macam skema penurunan tarif bea masuk dalam rangka IJEPA, antara lain: (1) skema tarif prefensi umum, skema ini telah menyepakati sekitar 35 persen pos tarif bea masuk Indonesia akan diturunkan menjadi 0 persen, sedangkan Jepang menurunkan sekitar 80 persen pos tarifnya. (2) Skema Tarif User Spesific Duty Freee Scheme (USDFS). USDFS adalah skema pemberian penetapan tarif bea masuk 0 persen atas impor bahan baku dari Jepang yang digunakan dalam kegiatan proses produksi oleh industri-industri tertentu yang telah disepakati termasuk yang bergerak di bidang kendaraan angkut bermotor dan komponen-komponennya. Sebagai kompensasi dari kemitraan yang terbuka ini, Jepang memberikan bantuan dalam kerjasama ekonomi jangka panjang yang terangkum dalam skema Manufacturing Industri Development Center-MIDEC.1

Program dari skema MIDEC ini adalah bantuan teknis dari Jepang untuk capacity building yang meliputi otomotif, welding, elektronik, tekstil, makan, dan minuman, baja, export dan import promotion, dan small & medium enterprises.2 Akan tetapi melalui MIDEC yang juga merupakan implmenetasi dari pelaksanaan IJEPA bagi Indonesia belum berjalan dengan baik. Hal ini dapat dilihat pada Agreement Between The Government of Japan and The Government of The Republic of Indonesia Pursuant To Article 13 Of The Agreement Between Japan And The Republic of Indonesia For An Economic Partnership, yang telah disetujui pada Chapter 7 Cooperation, Section 1 Cooperation In The Field Of Manufacturing Industries Article 23 And Article 24:

Article 23, Basic Principles: Pursuant to chapter 13 of the basic agreement, the parties, recognizing the fundamental role of manufacturing industries in enhancing the dynamism and the competitiveness of the national economies of their respective countries, shall cooperate in promoting the development of manufacturing industries of both countries”, dan

“Article 24, Areas and forms of Cooperation Pursuant to Article 135 of The Basic Agreement:

(a) The areas of cooperation under this section may include: (i) strengthening of competitiveness of manufacturing industries including, interalia, management, technology, research and development activities, and industrial standard; (ii) human resource development related to manufacturing industries; and (iii) improvement of manufacturing industry infrastructure; and

(b) The forms of cooperation under this section may include; (i) promoting join researches; (ii) encouraging and facilitating visits and ecchanges of experts, and exchange of knowledge and tecknology; (iii) promoting capacity building; (iv) promoting the holding of seminars, dialogue and workshops; and (v) other forms to be mutually agreed upon by the parties.”

1Badan Kebijakan Fiskal-Departemen Keuangan. Pres Release Penerbitan PMK-PMK Tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Dalam Rangka Implementasi Persetujuan Antara Republik Indonesia dan Jepang Mengenai Suatu Kemitraan Ekonomi. (Jakarta:2008)

(3)

Dari perjanjian yang ada pada article tersebut masih ada beberapa hal yang belum diterapkan dengan baik sehingga menyebabkan implementasi IJEPA di Indonesia belum berjalan efekif. Diantaranya adalah daya saing industri manufaktur Indonesia masih lemah, serta pertukaran pengetahuan dan teknologi yang dilakukan oleh pihak Jepang belum sepenuhnya berjalan. Selain itu, penguasaan pasar perusahaan multinasional (PMA) Toyota dari Jepang semakin menguatkan implementasi IJEPA. Tulisan ini akan membahas sejauh mana IJEPA bagi industri otomotif Indonesia dan Toyota, serta bagaimana pengaruh Toyota melalui IJEPA bagi industri otomotif dalam negeri, dan apa saja yang menjadi kendala pelaksanaan IJEPA dari perspektif Indonesia.

Metodologi Penelitian

Pembahasan pada tulisan ini menggunakan metode kualitatif dengan menggambarkan atau memaparkan bagaimana implementasi Indonesia-Japan economic partnership agreement (IJEPA) di Indonesia dalam bidang otomotif dengan mengangkat kasus Toyota sebagai salah satu mitra kerjasama yang ada di Indonesia.

Untuk pembahasan lebih lanjut, dalam pembahasan tulisan ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari berbagai literatur baik elektronik maupun tinjauan pustaka. Selain itu, berbagai dokumen resmi pemerintah yang diperoleh langsung dan yang diperoleh melalui sumber elektronik. Hal ini tentunya diharapkan dapat mendukung tulisan ini. Untuk memperdalam tulisan ini, juga menggunakan data primer berupa wawancara langsung dengan pihak Kementrian Perindustrian, dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi yang ada di Jakarta.

Pembahasan Kerjasama IJEPA

Sebelum kerjasama bilateral Indonesia dan Jepang dituangkan ke dalam suatu ikatan perjanjian yang diberi nama Indonesian Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA). Kedua negara ini jauh sebelumnya telah membina hubungan baik. Hal ini ditandai dengan pembayaran perampasan perang oleh Jepang dan beberapa bantuan termasuk ODA-Official Development Assistance yang diberikan kepada Indonesia. Hal tersebut merupakan salah satu wujud kepedulian Jepang terhadap negara bekas jajahannya. Selain itu, adanya paradigma liberalisasi yang intinya keterbukaan menjadikan perdagangan bebas sebagai salah satu jalan berkompetisi mulai merambah negara-negara yang ada di dunia.

Berkompotisi dalam perdagangan bebas, Indonesia dan Jepang bukanlah tandingan yang setara. Dari segi kemajuan yang dimiliki kedua negara ini jauh berbeda. Jepang merupakan negara yang lebih unggul dari sektor ekonomi dengan ditunjang oleh kemajuan industrinya, namun terbatas dalam hal sumber daya alam (SDA). Sebaliknya, Indonesia yang negara berkembang masih dalam tahap pembelajaran, namun memiliki SDA yang tidak dimiliki oleh Jepang. Hingga saat ini, Jepang memiliki ketergantungan energi terhadap Indonesia. Segala keterbatasan dan ketergantungan yang dimiliki oleh kedua negara inilah menjadi landasan terbentuknya kerjasama bilateral IJEPA. Bermula dari negosiasi panjang, menginspirasi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membentuk kerjasama baru dengan Jepang pada pertemuan APEC di Chili (November 2004). Pertemuan ini juga dihadiri Junichiro Koizumi yang waktu itu menjabat sebagai Perdana Menteri (PM) Jepang.

(4)

Pelaksanaan kerjasama IJEPA pada dasarnya tidak terlepas dari tiga pilar utama sebagai landasan dalam kerjasama ini. Ketiga pilar tersebut antara lain; liberalization (pembukaan akses pasar), facilitation (pasar yang dipermudah) dengan adanya kepastian hukum, dan cooperation (kerjasama dan peningkatan khususnya bagi Indonesia) agar memiliki kemampuan bersaing.

Selain ketiga pilar tersebut, IJEPA juga mencakup sebanyak 13 sektor industi yang menjadi fokus untuk menunjang investasi Jepang di Indonesia, yaitu: pengerjaan logam, pencetakan alat mesin, promosi ekspor dan investasi, usaha kecil dan menengah, komponen otomotif, elektronik, baja, tekstil, petrokimia/oleokimia, logam non besi, serta makanan dan minuman.3 Keseluruhan sektor tersebut diharapkan mampu berkontribusi bagi pembangunan dan sebagai langkah mewujudkan terciptanya daya saing bangsa di bidang industi.

Bagi Indonesia, implementasi IJEPA kedepannya agar menerapkan beberapa strategi yang dianggap penting, antara lain:4

1. Sebagai sektor penggerak (driver activities)

Kedua negara telah menyepakati behwa sektor otomotif, elektrikal dan elektronik, dan alat berat merupakan sektor penggerak utama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi masing-masing negara.

2. Program kesejahteraan (prosperity program)

Ditujukan pada peningkatan daya beli masyarakat Indonesia melalui pembukaan akses pasar Jepang yang lebih luas bagi produk-produk unggulan Indonesia, peningkatan ekspor ke manca negara, peningkatan kapasitas daya saing industi manufaktur, dan harapan Indonesia untuk menjadi production base, menghasilkan produk manufaktur yang memiliki nilai tambah sehingga bisa diekspor dengan harga kompetitif.

3. Menjadi pusat pengembangan industi manufaktur

Diharapkan industri manufaktur sebagai motor pembangunan kapasitas industri guna peningkatan daya saing.

Dari ketiga strategi tersebut, pemerintah diharapkan mampu membuat kebijakan dan lebih pandai dalam mengambil keputusan yang tidak hanya menguntungkan pihak Jepang saja. Tetapi manfaat dari keuntungan juga dapat dirasakan bagi Indonesia.

IJEPA Bagi Industri Otomotif Indonesia dan Toyota

Perubahan dalam tatanan perdagangan internasional menuntut adanya liberalisasi dan mengharuskan setiap negara memiliki kemampuan bernegosiasi dalam perundingan. Adanya paradigma pembangunan dari tradisional ke modern dan ketidakseimbangan posisi tawar sering kali berpihak pada negara maju. Untuk mengantisipasi posisi tawar yang tidak berpihak pada negara berkembang disiasati dengan partnership. Inilah yang dilakukan antara Indonesia dan Jepang melalui IJEPA.

Sebagai negara maju dan berhasil di bidang otomotif, Jepang memiliki arti penting bagi negara lain termasuk negara-negara Barat yang lebih dulu maju. Kehadiran Jepang dengan kemampuan industri menjadikannya perwakilan negara-negara di Asia. Sementara kehadiran Jepang sendiri bagi Indonesia selain mitra investasi dan kerjasama, juga pemberi bantuan. Dari Partnership yang terjalin ini diharapkan dapat membantu bertambahnya investasi bagi Indonesia. Dimana PMA seperti Toyota di Indonesia

3 Achdiyat Atmawinata, Drajat Irianto, dkk, Kedalaman Struktur Industri yang Mempunyai Daya Saing di Pasar Global, “Kajian Capacity Building Industri Manufaktur Melalui

Implementasi MIDEC IJEPA”, dalam

(5)

menanamkan investasinya melalui pengembangan industri otomotif, yang kemudian produksi mobil dari tahun ketahun terus bertambah dan inilah yang terjadi di Indonesia.

Partnership Toyota ini dimulai dengan join venture perusahaan. Dengan awal perbandingan kepemilikan saham sebanyak 51 persen dipegang oleh Toyota Astra Motor (TAM) dan 49 persen oleh Toyota Motor Corporation (TMC) asal Jepang. Kepemilikan saham ini kemudian berubah setelah kesuksesan yang dialami menjadi 95 persen dipegang TMC dan 5 persennya lagi dipegang oleh Astra Motor khususnya dalam manufacturing. Kemudian dari marger kedua perusahaan ini terbentuklah TMMIN (Toyota Motor Manufacturing Indonesia) yang berpusat di Jakarta, dengan membawahi masing-masing bidang termasuk casting, maching, stamping, assembly di daerah yang berbeda di Indonesia.

Seiring perkembangan Toyota, Indonesia juga mengalami perubahan dari yang hanya sebatas importir dan distributor merek Toyota kini menjadi dealer penjualan. Perubahan ini tentu didukung oleh kondisi pasar di Indonesia yang memberi peluang terhadap berkembangnya perusahaan tersebut. Tidak tanggung-tanggung Toyota yang mengalami perubahan pesat mampu mendirikan lima dealer di area yang berbeda di Indonesia. Kelima dealer yang dimiliki Toyota adalah Auto 2000, PT New Ratna Motor, NV Hadji Kalla, PT Hasrat Abadi, dan PT Agung Automall. Ke lima dealer ini tersebar ke beberapa daerah yang ada di Indonesia.

Sebelum Indonesia mengalami krisis pada tahun 1997, Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang baik. Maka wajar saja Indonesia menjadi pasar terbesar di kawasan Asia Tenggara terlebih bagi produksi Jepang. Namun setelah krisis melanda, Indonesia sangat terpuruk ditambah infrastruktur yang kurang mendukung. Kondisi ini kemudian menjadi pertimbangan bagi perusahaan luar untuk berinvestasi di Indonesia. Akan tetapi perusahaan Jepang tidak serta merta menarik asetnya melainkan mereka tetap saja berinvestasi tentunya dengan berbagai resiko yang siap dihadapi. Selain itu, berupaya untuk tetap mendapat peluang pasar khususnya di Indonesia.

Saat ini, dominasi industri otomotif Toyota tidak terlepas dari kebijakan pemerintah Indonesia sendiri. Keinginan memperbaiki dan meningkatkan pembangunan melalui kemajuan industri menjadi landasan bagi Indonesia untuk lebih memperhatikan kepentingan nasional. Hal ini terkait pada kebijakan pemerintah dalam mengupayakan peningkatan penggunaan komponen lokal. Namun disayangkan bahwa kebijakan industri otomotif Indonesia selama ini tidak konsisten. Kebijakan yang telah ada sering kali mengalami perubahan akibat pergantian rezim pemerintah Indonesia.

Perubahan in dapat dilihat dari kebijakan pemerintah yang pertama mengenai industri otomotif adalah Sk-21/KPTS/74 mengenai impor masuk mobil dalam bentuk utuh (completely built up) menjadi impor dalam bentuk terurai (compeletely knock down). Kemudian tindak lanjut kebijakan ini adalah kebijakan pemerintah dengan Sk-307/M/8/76 untuk mewujudkan industri otomotif Indonesia. Lagi-lagi kebijakan mengenai industri otomotif tidak berjalan efektif. Pada tahun 1996 pemerintah kembali menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 tahun 1996 tentang pembangunan industri mobil nasional. Inpres tersebut menyatakan bahwa Mobil Nasional (Mobnas) adalah mobil yang menggunakan merek yang diciptakan sendiri, perusahaan produsennya 100 persen dimiliki orang Indonesia, proses produksinya dilakukan di wilayah Indonesia, dan mampu memenuhi persyaratan tentang kandungan lokal sebesar 20 persen pada tahun pertama, 40 persen pada tahun kedua, 60 persen pada tahun ketiga.5

Dengan hadirnya Inpres 1996 yang mengharapkan lahirnya mobil produksi nasional, pemerintah juga menggalakkan industri subtitusi impor guna menarik investasi asing sebagai salah satu bentuk

5Augustina Kurniasih, “Industri Otomotif”, dalam

(6)

kepentingan ekonomi-politik bagi petumbuhan pembangunan Indonesia. Pentingnya industri otomotif dari segi ekonomi adalah pemberdayaan komponen lokal sehingga mampu menambah devisa bagi negara. Dari segi politik, tidak terlepas dari persaingan menguasai pasar baik di dalam maupun luar negeri. Bangkitnya Indonesia untuk memperbaiki industri otomotifnya diharapkan mampu menuju pada perbaikan pertumbuhan industri otomotif seperti yang dilakukan oleh Korea Selatan, Taiwan dan Jepang sendiri.

Perbaikan dan berbagai perubahan berusaha dilakukan, Indonesia yang dulunya hanya sebagai negera distributor mulai merubah paradigma mengenai industri otomotif. Terbukti dengan kemampuan Indonesia yang mulai memperoduksi dan terus mengupayakan penambahan penggunaan komponen lokal pada bidang otomotif. Disisi lain, walau kemampuan Indonesia dalam industri otomotif melalui kerjasama IJEPA masih dirasa belum berjalan efektif sesuai dengan harapan kerjasama IJEPA. Ditambah lagi implementasi dari kesepaktan IJEPA sepertinya lebih menguntungkan pihak Jepang.

Pengaruh Toyota Melalui IJEPA Bagi Industri Otomotif dalam negeri

Kesuksesan Toyota melalui partnership antara Indonesia dan Jepang tidak terlepas dari kebijakan pemerintah yang membuka akses pasarnya bagi perusahaan-perusahaan luar khususnya bagi PMA asal Jepang. Masuknya Toyota yang dibekali modal besar serta dukungan teknologi yang cukup maju serta merta memberi arti penting bagi proses belajar dalam penerapan teknologi bagi Indonesia yang mulai membangun industri otomotifnya.

Kembalinya industri otomitif Indonesia dari proteksi oleh Amerika, Eropa, dan Jepang pada saat ini telah memiliki prospek yang lebih baik dari sebelumnya. Dapat dilihat dari adanya kesempatan bagi Indonesia yang tidak lagi hanya sebatas distributor. Harapan menjadikan industri otomotif sebagai salah satu dalam memperbaiki perekonomian bangsa, haruslah didukung oleh kebjakan industri otomotif yang tidak terlepas dari kepentingan ekonomi dan politik. Kedua kepentingan ini harus sejalan dengan kebijakan pemerintah yang ada, guna melindungi industri dalam negeri. Termasuk pengutamaan komponen lokal Indonesia bagi industri otomotif.

Diterapkannya penggunaan komponen lokal oleh Toyota semakin memberi peluang bagi industri tersebut. Indonesia juga kembali belajar menumbuhkan industri otomotif dengan menerapkan transfer teknologi yang dimiliki Toyota. Transfer teknologi ini dikenal dengan nama Toyota production system atau lean production system atau system produksi just in time. Sistem ini memproduksi mobil berdasarkan pesasan produsen, dengan proses yang cepat dan fleksibel, memberikan apa yang diinginkan pelanggan tepat waktu dengan mengurangi resiko pemborosan waktu, dengan kualitas tertinggi dan biaya yang terjangkau.6 Maka wajar saja jika Jepang yang telah berhasil menjadi tempat pembelajaran bagi Indonesia.

Dalam proses pembelajaran menjadi negara industri, Indonesia harus konsisten tidak hanya dari segi kebijakan. Akan tetapi haruslah ditunjang oleh kemauan dan kemampuan SDM yang dimiliki. Sebagai negara industri, Jepang bukanlah suatu negara yang ketika itu langsung berhasil. Melainkan kemauan SDM serta tanggung jawab pemerintah pada persoalan yang dihadapi. Pelajaran yang dapat dilihat pada bencana banjir yang melanda Thailand pada 2012 lalu. Perusahaan Toyota yang ada di Thailand mengalami kehancuran, pemerintah Jepang tidak tinggal diam melainkan membatu proses pemulihan aktifitas Toyota hingga akhirnya kembali berproduksi.

(7)

Selanjutnya, dengan terlaksananya IJEPA terhadap perusahaan pemegang merek Toyota di Indonesia tentunya memiliki pengaruh bagi industri dalam negeri. Namun ini semua tidak terlepas dari pengaruh negatif dan pengaruh positif sebagai konsekuensi dalam menjalankan IJEPA.

a. Pengaruh Negatif

Setiap bentuk kerjasama yang dilakukan tidak selamaya berjalan sesuai dengan harapan yang diinginkan. Masuknya perusahaan ini dengan berbagai fasilitas ditunjang dengan kemajuan yang dimiliki akan lebih jauh melangkah ke depan. Hal ini akan menyebabkan industri dalam negeri kurang memiliki kepercayaan diri dengan kenyataan yang dihadapi. “Toyota lebih mapan dan mampu menguasai pasar dalam negeri.”7 ditambahkan lagi “bahwa aliran investasi yang masuk ke Indonesia muaranya juga akan kembali ke negara asal pemilik perusahaan, dan Indonesia hanya sebagai tempat aktifitas berproduksi. Ibaratnya hanya memindahkan toko atau perusahaan dari Jepang ke Indonesia.”8 Kondisi yang dapat kita lihat bahwa Toyota memperoleh akses pasar yang lebih luas sementara industri otomotif dalam negeri belum cukup mampu menarik perhatian khususnya konsumen dalam negeri. Timbulnya kecendrungan untuk lebih memilih kendaraan Toyota dari masyarakat Indonesia sendiri menyebabkan dominasi perusahaan tersebut semakin kuat.

Kecendrungan negatif lainnya yang ditimbulkan dari partnership IJEPA melalui PMA industri otomotif Toyota adalah kesempatan yang lebih terbuka bagi PMA. PMA yang ada memperoleh kebijakan dan perhatian lebih dari pemerintah terkait pengembangan industri, dikarenakan modal besar yang dimilikinya. Sementara industri dalam negeri terkendala oleh dana dan kurang sehingga mendapat perhatian dari pemerintah Indonesia. Namun dari pengaruh yang dianggap kurang menguntungkan dengan adanya kemitraan Toyota bagi industri otomotif dalam negeri, juga memiliki sisi postif yang dapat dilihat sebagai keuntungan. Salah satu keuntungan yang dapat dilihat adalah penyerapan tenaga kerja.

b. Pengaruh positif

Sebagai pengaruh positif partnership Toyota di Indonesia, industri dalam negeri mulai belajar bagaimana proses produksi yang baik. Walau masih terlihat ada perbedaan antara Indonesia dan Jepang yang masing-masing memiliki orientasi pasar. Hal lain bahwa masuknya Toyota memberi arti penting tersendiri bagi industri dalam negeri dimana terjadi proses transfer teknologi walaupun belum sepenuhnya dilakukan oleh pihak Jepang.

Toyota dengan target yang mengarah kepada market oriented juga menjadi tolok ukur bagi industri otomotif dalam negeri untuk terus berkiprah. Dengan target Toyota tersebut diharapkan adanya hasil industri otomotif yang lebih baik, ditunjang dengan perekonomian yang mendukung, dan pelaksanaan kebijakan yang konsisten. Kemudian diadopsikan dalam industri otomotif Indonesia.9 Tambahnya lagi, Indonesia sebagai host country melalui pemerintah yang ada memiliki hak untuk mengatur dan menentukan langakah-langkah terhadap perusahaan luar negeri termasuk perusahaan Jepang. Target Toyota tidak hanya sebatas market orientad tetapi mempromosikan tempat didirikannya industri otomotif oleh perusahaan Toyota di Indonesia. Sehingga Indonesia memiliki arti penting dalam perdagangan internasional.10

7 I Nyoman Jujur selaku staf kementrian riset dan teknologi devisi material Engineer di gedung badan Pengkajian dan Penerapan teknologi (BPPT), Jakarta, 17 Oktober 2011 8 Ibid.

9 Keisuke Nakamura, Zaafri A.Husodi dan , dan Ujuan M. Hadiwijoyi, “Management Comparasion and Localization,” (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001), hlm. 139.

(8)

Masih dalam kerangka pengaruh positif partnership Toyota terhadap industri dalam negeri. Industri otomotif Indonesia mendapat respon masyarakat. Respon ini dapat dilihat dari berbagai riset yang dilakukan beberapa Universitas dan kerjasama dari asosiasi industri otomotif termasuk Asia Nusa. Riset yang dijalankan tersebut tidak lain untuk mengembangkan hingga mewujudkan kendaraan yang diproduksi sendiri, mulai dari perencanaan, desain, bahan dasar, hingga membentuk kendaraan layak pakai terus dilakukan.

Hasilnyapun tidak mengecewakan, pada 2012 lalu terciptalah mobil buatan dalam negeri dengan nama ESEMKA hasil kerja siswa sekolah menengah kejuruan di Solo. Hasil produksi anak bangsa ini serta merta memberi respon yang cukup menggembirakan bagi Indonesia. Lebih dari itu, berbagai pendapat khususnya dari kalangan pejabat mengajukan agar kelak para petinggi negara di Indonesia menggunakan mobil tersebut sebagai mobil dinas.

Dalam semangat memajukan industri otomotif dalam negeri, menjadikan partnership Indonesia-Jepang melalui perusahaan Toyota sebagai salah satu PMA mendapat dukungan untuk berkembang lebih maju lagi. Dengan asumsi bahwa semakin berproduksinya Toyota dapat memberi kesempatan kerja, dan industri-industri manufaktur dalam negeri lainnya memiliki peluang yang juga lebih besar untuk tetap diberdayakan.

Pada level masyarakat, harapan kedepannya tidak terlepas dari kebijakan pemerintah. yang mengatur mengenai industri otomotif diharapkan lebih fleksibel. Namun tidak terlepas untuk tetap memperhatikan kepentingan dalam negeri. Tidak bisa dipungkiri bahwa terkadang jelas terlihat kebijakan pemerintah lebih berpihak pada PMA dalam menguasai pasar. Dengan kata lain, siapa yang mampu melihat peluang pasar melalui inovasi secara berkesinambungan akan menguasai pasar baik domestik maupun internasional.

Kemampuan berinovasi ini tercermin pada Toyota dengan tetap melaksanakan kewajiban sebagai PMA terhadap kebijakan industri otomotif yang telah ditetapkan pemerintah Indonesia sebelumnya. Perusahaan Toyota hingga kini telah menggunakan kandungan lokal sekitar 70 persen pada produksi kendaraan Kijang Inova dan Avanza. Ini membuktikan bahwa paradigma yang telah ada sebelumnya menyangkut upaya dalam penggunaan kandungan lokal mulai terpenuhi. Pengupayaan terhadap penguasaan teknologipun harus terus ditingkatkan guna menjadikan Indonesia sebagai basis industri otomotif yang lebih baik lagi.

Didasari atas pertimbangan bahwa Indonesia sebagai negara kepulauan dan letaknya yang strategis di antara negara-negara lainnya yang berada di Asia. Ditambah lagi melimpahnya SDA yang dimiliki Indonesia menjadikan optimisme bagi Indonesia yang kelak mampu menjadi basis industri di kawasan Asia Pasifik. Hingga kini, meskipun kemampuan industri otomotif Indonesia yang menjadi hasil karya anak bangsa belum mampu bermain di level internasional, paling tidak dengan kehadiran Toyota di Indonesia mampu menjadikannya sebagai negara yang berbasis industri, sehingga negara-negara lain ikut mempertimbangkan Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki kompetensi.

Kendala Pelaksanaan IJEPA dari Perspektif Indonesia a. Bargaining Position Indonesia yang Lemah

(9)

kendaraan di pasaran. Namun demikian, apa yang dimiliki Indonesia dari segi letak dan polpulasi penduduk, belum bisa menjadikannya sebagai negara yang bisa bertindak sendiri atas keinginannya. Termasuk kerjasama melalui IJEPA.

Sebelum terbentuknya IJEPA, hubungan Indonesia-Jepang yang mulai membaik ditandai oleh tawaran bantuan pemerintah Jepang kepada Indonesia. Pemerintah Jepang berniat membayar kerugian yang dialami Indonesia atas penjajahan yang telah dilakukannya. Jepang kemudian memberikan beberapa bantuan termasuk Official Development Assistance-ODA. Yang dimulai sejak tahun 1967. Negara tersebut memandang Indonesia sebagai negara penting secara politis dan ekonomi.11 Bagi Indonesia sendiri, ODA merupakan pinjaman lunak dengan bunga 2 persen dan grace period 10 tahun dengan masa jatuh tempo selama 30 tahun. Sementara ODA yang diberikan kepada Indonesia meliputi 3 komponen, yaitu dalam bentuk pinjaman, hibah, dan bantuan kerjasama teknik. Termasuk bantuan terhadap korban bencana alam di Indonesia. Melalui ODA ini, paling tidak meringankan beban bagi pemerintahan Indonesia sehingga bisa memperbaiki pertumbuhan ekonominya. Akan tetapi, bantuan tersebut secara tidak langsung menekan sehingga menjadikan posisi Indonesia dalam berbagai negosiasi menjadi lemah, sehingga tidak jarang negosiasi kerjasama lebih didominasi oleh Jepang. Terbukti pada negosiasi kerjasama IJEPA yang lebih berpihak pada Jepang.

Melalui berbagai bantuan kepada Indonesia inilah menjadikan bargaining position yang dimiliki Indonesia menjadi lemah. Kenyataan lain dapat dilihat pada perusahaan Toyota, bahwa PMA ini memberikan bantuan materi dan non materi bagi keberlangsungan pembangunan di Indonesia. Bantuan materi salah satunya disalurkan melalui dana pendidikan berupa beasiswa. Sementara bantuan non materi yang diberikan pihak Toyota berupa bantuan alat-alat teknis.

Kendala lain yang menjadikan bargaining position Inonesia dalam pelaksanaan IJEPA menjadi lemah khususnya dalam bidang otomotif adalah masih rendahnya penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Dalam implementasinya, Indonesia memiliki landasan kuat mengenai pendayagunaan IPTEK. Bahwa pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk memajukan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.12

Dalam upaya mengantisipasi bargaining position Indonesia yang lemah tersebut, melalui kerjasama IJEPA kemudian melahirkan organisasi Manufacturing Industry Development Center (MIDEC). MIDEC ini bertujuan untuk meningkatkan daya saing industri dalam negeri untuk menghadapi pasar bebas. Penerapan MIDEC ini dapat dilihat dari frame work agreement yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia berdasarkan peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2008 tentang pengesahan Agreement Between The Republic Of Indonesia An Japan For An Economic Partnership-IJEPA, yang tertuang dalam article 23 dan 24 yang telah dijelaskan sebelumnya. Namun, Indonesia lagi-lagi belum bisa sepenuhnya mengikuti aturan main yang ditetapkan dalam perjanjian tersebut.

b. Gejolak Politik dan Ketidakkonsistenan Kebijakan Industri Otomotif Indonesia

Pada tahun 1970-an Indonesia berhasil keluar sebagai penghasil mobil tingkat pertama di Asia Tenggara dan peringkat ketujuh belas di dunia. Keberhasilan ini akibat dari kemampuan dalam merakit mobil impor yang didatangkan ke Indonesia. Padahal tahun sebelumnya saat pemberlakuan proteksi oleh pemerintah Orla, Indonesia memiliki peringkat terendah di ASEAN. Sebagai peringkat pertama di Asia Tenggara

11 Abdul Irsan, “Politik Domestik Global dan Regional”, (Makassar: Hasanuddin University press, 2005), hlm.174.

(10)

berarti Indonesia melalui liberalisasi yang dijalankan pemerintah Orba lebih menguntungkan. Bahkan melalui industri otomotif pertumbuhan perekonomian Indonesia menjadi lebih baik. Atas keberhasilan Industri otomotif dalam perakitan, departemen perindustrian akhirnya memberlakukan kebijakan Industri Subtitusi Impor (ISI).13

Kebijakan Orde Baru melalui ISI lebih mengutamakan dilakukannya produksi dalam negeri terhadap produk yang tadinya diimpor. Hal ini diharapkan dapat membantu pertumbuhan pembangunan melalui kemandirian industri dalam negeri. Namun pada tahun 1999 masalah mengenai industri otomotif mencuat lagi, dimana pertentangan mengenai kebijakan terhadap industri otomotif, baik menyangkut perlindungan industri otomotif dalam negeri, serta masuknya perusahaan yang menginginkan pengembangan industri otomotifnya di Indonesia menjadi masalah bagi pembangunan Indonesia. Masalah ini kemudian memicu diberlakukannya deregulasi otomotif pada bulan Juni. Diberlakukannya deregulasi era kepemimpinan Soeharto adalah pencanaan Mobnas “Teknoligi Industri Mobil Rakyat” yang merupakan singkatan dari Timor mulai terwujud.

Berbagai polemikpun bermunculan antara pro dan kontra akan keberadaan kendaraan yang dianggap mobnas tersebut. Bagi yang kontra terhadap keberadaan Timor sebagai mobnas melihatnya sebagai kendaraan yang diimpor secara utuh (Completely Built Up/CBU) ke Indonesia sehingga belum layak dikatakan sebagai mobnas Indonesia. Sementara bagi yang pro terhadap Timor melihat dari harganya yang murah karena tidak dikenakan pajak kendaraan dengan tujuan dapat dijangkau oleh masyarakat Indonesia. Sejak itu nama Timor melekat sebagai salah satu mobnas yang sempat beroperasi di Indonesia. Berdasarkan laporan dari Kementrian perindustrian mengenai histori otomotif di Indonesia, bahwa sejak saat itu, pemasok mobil ke pasar dalam negeri bertambah dengan bermunculnya importir yang memasarkan produk kendaraannya.14

Anggapan kendaraan Timor sebagai mobnas pernah dialami oleh Kijang Toyota. Hal ini dikeranakan segala perakitan kendaraan Kijang tersebut dilakukan di Indonesia. Padahal untuk dikategorikan sebagai mobnas dalam negeri selain dirakit di Indonesia, penggunaan kandungan lokal juga harus dilakukan secara bertahap hingga mencapai sekitar 60 persen bahkan lebih. Keharusan inilah yang nantinya mengindikasikan sebagai salah satu prasyarat untuk menjadikan industri otomotif sebagai hasil karya dalam negeri.

Prasyarat tersebut semakin diperkuat melalui aturan pemerintah mengenai produksi dalam negeri. Bahwa untuk menjalankan Inpres No. 2 tahun 1996 yang menjadikan kendaraan sebagai Mobnas. Kendaraan tersebut harus dibuat di dalam negeri yang pemberian namanya juga dari dalam negeri. Sementara pemenuhan kandungan lokal dilakukan secara bertahap mulai dari 20 persen pada tahun pertama hingga mengalami peningkatan.15 Dengan melihat prasyarat diatas, maka keputusan Timor menjadi Mobnas belumlah pantas, sehingga kendaraan tersebut tidak bertahan lama, juga diakibatkan oleh gejolak politik yang melengserkan Soeharto pada tahun 1997. Persoalan ini berimbas pada ketidakstabilan kondisi perekonomian ditambah lagi dengan ketidakkonsistenan pemerintah dalam mengeluarkan berbagai kebijakan.

Ketidakkonsistenan kebijakan industri otomotif juga berakibat pada pertimbangan oleh para investor untuk berinvestasi di Indonesia, dengan anggapan tidak adanya kepastian perlindungan hukum

13 Ian Chalmers, “Konglomerasi: Negara dan Modal dalam Industri otomotif Indonesia, (Jakarta: Pt. Gramedia Pustaka Utama,1996), hlm.1.

14 Wawancara I Nyoman Jujur selaku staf kementrian Riset dan Teknologi, Jakarta, pada tanggal 17 dan 19 Oktober 2011,

(11)

terhadap mereka. Atas ketidakpastian dan berbagai gejolak politik yang dihadapi Indonesia khususnya setelah krisis 1997 serta-merta menjadi kendala bagi pelaksanaan IJEPA kedepannya.

c. Infrastruktur Indonesia yang Kurang Mendukung

Melalui kerjasama IJEPA ini, kendala lain yang menyebabkan tidak efektifnya pelaksnaan IJEPA bagi Indonesia juga dapat dilihat dari segi infrastruktur Indonesia yang kurang mendukung. Infrastruktur yang dimaksud ini terdiri dari dua komponen, yaitu komponen fisik (jalan, transportasi, jaringan telekomunikasi, dan sebagainya) dan komponen sistem (sistem transportasi, sistem telekomunikasi, perbankan, dan sebagainya).16 Industri-industri yang canggih lebih tergantung pada infrastruktur yang maju dan sukses.17 Untuk itu, kemajuan terhadap infrastruktur bagi Indonesia sangat penting dalam menjalankan kerjasama IJEPA.

Hingga saat ini walau pemerintah telah berusaha memperbaiki infrastruktur yang ada di Indonesia. Namun kenyataannya masih sering ditemui fasilitas umum yang mengalami kerusakan termasuk jalan yang menjadi akses penting bagi transaksi kerjasama. Bagi negara seperti Jepang sangat memperhatikan prasarana jalannya karena prasarana tersebur merupakan akses penting untuk melakukan hubungan perdangangan. Sementara Indonesia sendiri memiliki sarana jalan yang memprihatinkan. Melihat kembali kebelakang, Indonesia mengalami jatuh bangun dalam pengalamannya menjadi negara merdeka. Akibatnya kurang menguntungkan bagi kesinambungan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Hal ini terlihat dalam pembangunan infrastruktur yang pelaksanaannya dipengaruhi pasang surut kinerja ekonomi dan agenda pembangunan ekonomi pemerintah. Pada Repelita I hingga V (1969-1988), sekitar 55 persen dari pengeluaran untuk infrastruktur transportasi dialokasikan bagi perluasan dan pemeliharaan jalan. Namun, sejak krisis, anggaran menurun drastis, dari 22 persen anggaran pembangunan pada APBN 1993 menjadi hanya 11 persen pada APBN 2000.18

Ditambahkan lagi bahwa infrastruktur nontrasnportasi, komparasi dengan negara-negara bekembang lain juga memperlihatkan betapa Indonesia sudah tertinggal. World Competitiveness Report menunjukkan Indonesia yang satu dekade lalu kondisi infrastrukturnya masih lebih baik dibandingkan Thailand, Taiwan, China, dan Sri Lanka. Akan tetapi pada tahun 2002 sudah tersalip oleh semua negara tersebut dalam hal kualitas infratruktur.19 Melihat kondisi ini, untuk bisa pulih dan mengejar ketertinggalan, Indonesia sangat tergantung pada modal swasta.

Dengan demikian, atas segala kekurangan yang dimiliki, Indonesia membutuhkan kerjasama yang saling mendukung antar berbagai pihak. Baik dukungan dari dalam negeri maupun dengan Jepang sebagai pihak luar. Hal ini akan memberi arti penting demi mendukung keberlangsungan industri otomotif dalam negeri.

Penutup

Simpulan dan saran

Meski dipandang belum berjalan efektif khususnya bagi Indonesia, IJEPA tetap terlaksana. Kerjasama ini didasari atas keinginan pemerintah Indonesia untuk tetap memperbaiki industri dalam negerinya. Selain itu, kerjasama bilateral ini menjadi acuan dalam menghadapi pasar bebas kedepannya. Sebagai wujud dari

16 Jajat Kristanto, “Manajemen Pemasaran Internasional Sebuah PendekatanStrategi”, (Jakarta: Erlangga, 2011), hlm.118.

17 Ibid.

18

Samhadi, Sri Hartati, “Infrastruktur Tergerogoti Usia” dalam Proses Pelapukan,

(Jakarta:Kompas, 2006), hlm. 75&80.

(12)

pelaksanaan kerjasama ini, IJEPA juga membentuk MIDEC yang disepakati oleh Jepang dan Indonesia sebagai program dalam menumbuhkan capacity building dalam bidang industri termasuk otomotif. Namun implementasi IJEPA mengenai industri otomotif di Indonesia dianggap tidak efektif terlaksana dikarenakan berbagai kendala. Tiga diantara kendala tersebut adalah bargaining position, tidak sebandingnya penguasaan IPTEK antara Indonesia dan Jepang serta infrastruktur Indonesia yang kurang mendukung.

Bila diperhatikan dari beberapa kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan IJEPA tersebut, tidak menjadi penghalang dalam menjalin partnership antara Indonesia dan Jepang. Hubungan kedua negara yang melahirkan IJEPA, pastinya dengan alasan bahwa setiap negara di dunia mengharapkan kemajuan pada sektor pertumbuhan dan kemajuan pembangunan. Terlebih bagi Indonesia yang masih tergolong sebagai negara berkembang tentunya mengharapkan pembangunan kearah yang lebih baik dari masa sebelumnya. Maka dari itu, implementasi IJEPA dalam bidang industri otomotif dirasa masih belum efektif bagi Indonesia sendiri. Akan tetapi partnership ini perlu dipertimbangkan dari segi ekonomi dan politik. Dari segi ekonomi, dengan adanya IJEPA bertujuan untuk meningkatkan nilai jual produksi otomotif yang merupakan salah satu poin dari beberapa rencana kerjasama Indonesia-Jepang.

Sementara dari segi politik, melalui IJEPA ini diharapkan kerjasama yang baik untuk menghadapi tantangan pasar bebas yang semakin terbuka sekaligus sebagai jembatan dalam menghadapi berbagai persoalan yang muncul akibat liberalisasi perdaganagan bebas. Tidak hanya itu, bagi Indonesia, sektor industri otomotif perlu diperhatikan guna penyerapan tenaga kerja. Dalam hal ini, tidak terlepas pada kekonsistenan kebijakan pemerintah untuk melindungi dan mendukung industri otomotif, sehingga dapat membantu terwujudnya kemandirian industri otomotif Indonesia melalui transfer teknologi khusunya yang dilakukan oleh Toyota.

Daftar Pustaka

Chalmers, Ian. 1996. Konglomerasi: Negara dan Modal dalam Industri otomotif Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Irsan, Abdul. 2005. Politik Domestik Global dan Regional. Makassar: Hasanuddin University press. Liker, K. Jeffrey. 2005. The Toyota Way. Jakarta: Erlangga.

Kristanto, Jajat. 2011. Manajemen Pemasaran Internasional Sebuah Pendekatan Strategi. Jakarta: Erlangga.

Nakamura, K., Zaafri A. Husodi dan, Ujuan M. Hadiwijoyi. 2001. Management Comparasion and Localization. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Samhadi, Sri Hartati. 2006. “Infrastruktur Tergerogoti Usia” dalam Proses Pelapukan. Jakarta: Kompas. “Pres Release Penerbitan PMK-PMK Tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Dalam Rangka Implementasi

Persetujuan Antara Republik Indonesia dan Jepang Mengenai Suatu Kemitraan Ekonomi,” dieselenggarakan oleh Badan Kebijakan Fiskal-Departemen Keuangan. Jakarta,----2008.

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia pasal 31 ayat 5 tahun 1945.

(13)

Atmawinata A., Drajat Irianto, dkk, Kedalaman Struktur Industri yang Mempunyai Daya Saing di Pasar Global, “Kajian Capacity Building Industri Manufaktur Melalui Implementasi MIDEC IJEPA,” dalam http://www.kemenperin.go.id/IND/publikasi/Ijepa/struktur.pdf, (31 Oktober 2011), jam 04.30.

Augustina Kurniasih, “Industri Otomotif”, dalam

www.research.mercubuana.ac.id/...indutri_otomotif_Indonesia, (27 Desember 2011), jam 16.00.

Wawancara

Jujur, I Nyoman. Selaku Staf Kementrian Riset dan Teknologi Devisi Material Engineer di gedung badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Jakarta. 17 Oktober 2011.

Referensi

Dokumen terkait

■ MAIS INFORMAÇÕES SOBRE RECURSOS GRÁFICOS E CALCULADORAS A melhor fonte de informação sobre seu recurso gráfi co é o manual do mesmo, por isso suge- rimos que o leitor o

bahwa fraksi serni polar ekstrak etanol kulit batang sirsak tidak berpotensi sitotoksik terhadap sel kanker payudara T47D. hasil analisis kromatografi

Dalam Peraturan Pemerintah ini ditentukan, bahwa yang berwenang membuat penilaian pelaksanaan pekerjaan Pegawai Negeri Sipil adalah pejabat Penilai, yaitu atasan langsung dari

Apeksifikasi dan bleaching intra koronal disertai pasak dan restorasi resin komposit adalah perawatan yang baik yang dapat dilakukan pada gigi insisivus sentralis

PENGARUH INTELEGENSI DAN REMEDIAL TEACHING TERHADAP PRESTASI BELAJAR MATA PELAJARAN FIQH SISWA KELAS VI. MADRASAH IBTIDAIYAH SE-KECAMATAN GANDUSARI

Suplemen makanan hanya dapat diproduksi oleh industri farmasi atau industri obat tradisional atau industri pangan yang telah memenuhi persyaratan Cara Pembuatan yang Baik..

Salah satu permasalahan yang terjadi dalam pembelajaran matematika adalah rendahnya kemampuan koneksi matematis (KKM) siswa SMP sebagai hasil dari proses pembelajaran. KKM

Menurut McClelland (Wijono, 2012) terdapat tiga dimensi motivasi yakni: a) Motif kekuasaan (memberikan peran penting dalam meningkatkan sebuah organisasi). Motif kekuasaan