• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makalah sosial budaya pendudukan jepang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Makalah sosial budaya pendudukan jepang"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

KEADAAN SOSIAL DAN BUDAYA SEBELUM DAN

SESUDAH RESTORASI MEIJI

Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Sejarah Peradaban Timur

Disusun oleh:

Alija Ijet Begovic (NIM. 11)

Fais Ramadhan (NIM. 1305686)

Rika Aryani (NIM.1300780)

Syifa Yunita Baharia (NIM. 1307125)

Nurizkiah Sawitri S. (NIM. 1301229)

DEPARTEMEN STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

BANDUNG

(2)

KATA PENGANTAR

uji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmatnya dan perkenan-Nya kami dapat menyelesaikan makalah mengenai Perundingan Renville. Tugas ini disusun dengan maksud untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Sejarah Revolusi Nasional Indonesia.

P

Kami berharap tugas ini dapat bermanfaat, khususnya bagi kami, dan umumnya bagi teman-teman. Semoga dengan adanya tugas dari makalah ini dapat menambah wawasan mengenai Perundingan Renville.

Tidak lupa juga kami ucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam penyusunan makalah ini, khususnya kepada dosen pembimbing observasi ini.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran serta kritik yang membangun sangat penyusun harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi penyusun dan umumnya bagi semua pihak yang membaca makalah ini.

Bandung, Juli 2015

Penulis

(3)

KATA PENGANTAR... ii

DAFTAR ISI... iii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Rumusan Masalah... 1

1.3 Tujuan Penyusunan Laporan... 1

BAB II PEMBAHASAN 2.1 Keadaan Sosial Jepang Sebelum Restorasi Meiji... 2

2.2 Keadaan Budaya Jepang Sebelum Restorasi Meiji... 3

2.3 Keadaan Sosial Jepang Sesudah Restorasi Meiji………...13

2.4 Keadaan Budaya Jepang Sesudah Restorasi Jepang………14

BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan... 23

3.2 Saran... 23

(4)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sepanjang sejarah, kekaisaran Jepang beberapa kali mengalami masa pasang surut. Dua periode penting tersebut adalah masa Kaisar Meiji (1868-1912) dan Kaisar Hirohito (1926-1989). Pada zaman Meiji, Jepang melakukan reformasi yang kemudian dikenal dengan Restorasi Meiji. Restorasi Meiji dikenal juga dengan sebutan Meiji Ishin, Revolusi, atau Pembaruan, adalah rangkaian kejadian yang menyebabkan perubahan pada struktur politik dan sosial Jepang. Restorasi Meiji terjadi pada tahun 1866 sampai 1869, tiga tahun yang mencakup akhir zaman Edo dan awal zaman Meiji. Sebelum 1853 Jepang betul–betul merupakan negara yang sangat tertutup dan diperintah dengan cara yang sangat feodalistik. Akibat dari restorasi meiji ini sangat berdampak dalam system sosial budayanya juga berubah dari sebelum restorasi dengan sesudah restorasi meiji.

Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut mengenai bagaimana sosial dan budaya jepang pada masa sebelum hingga sesudah restorasi meiji.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat disimpulkan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana Keadaan Sosial Jepang Sebelum Restorasi Meiji ? 2. Bagaimana Keadaan Budaya Jepang Sebelum Restorasi Meiji ?. 3. Bagaimana Keadaan Sosial Jepang Sesudah Restorasi Meiji? 4. Bagaimana Keadaan Budaya Jepang Sesudah Restorasi Meiji?

5. Bagaimana Analisis Perbedaan Dari Masa Sebelum dan Sesudah Restorasi Meiji?

(5)

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penyusunan dari penulisan laporan ini ialah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui bagiamana Keadaan Sosial Jepang Sebelum Restorasi Meiji 2. Untuk mengetahui Keadaan Budaya Jepang Sebelum Restorasi Meiji

3. Untuk Mengetahui Keadaan Sosial Jepang Sesudah Restorasi Meiji

4. Untuk mengetahui Bagaimana Keadaan Budaya Jepang Sesudah Restorasi Meiji

5. Untuk mengetahui Bagaimana Analisis Perbedaan Dari Masa Sebelum dan Sesudah Restorasi Meiji

(6)

PEMBAHASAN

2.1 Keadaan Sosial Jepang Sebelum Restorasi Meiji

Rakyat Jepang pada masa kekuasaan Tokugawa tersebar dalam strata sosial-ekonomi atas, menengah dan bawah. Dalam perspektif psikososial dan keberagaman status sosial-ekonomi, mereka memiliki kebutuhan-kebutuhan psikologis dan norma sosial serta prioritas dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang relatif berbeda.

Bagi kelompok masyarakat yang hidupnya berhasil dan masuk dalam kategori strata sosial ekonomi menengah-atas, menata dan mengelola hidup secara tertib, teratur bahkan estetis (indah) sudah menjadi kebutuhan pokok atau primer. Bagi mereka hidup dengan beragam persoalannya tidak dapat lagi diatasi dengan cara- cara naluriah atau instingtif. Mereka sudah memaksimalkan peran logika atau rasio. Kemampuan akal pikir dimanfaatkan untuk memandu dan memecahkan persoalan hidup. Hidup harus tertib dan tertib harus operasional atau terukur, demikian juga arti teratur bahkan indah juga harus dedefinisikan secara operasional, yakni dihitung, diuji dan dibuktikan secara empiris. Dan ukuran utama keberhasilan dalam memandu dan memecahkan persoalan hidup adalah bersifat kuantitatif dan material. Dengan kata lain, kemajuan atau progres dan keuntungan fisik, material dan empiris menjadi parameter utama keberhasilan hidup.

(7)

mendorong mereka menyerahkan hidup pada garis nasib, sehingga akal pikir tidak dapat berperan maksimal atau kurang fungsional.

Ada jurang pemisah cukup besar antara orang kaya dengan orang miskin. Secara psikososial-ekonomi mereka terpisahkan. Masing-masing memiliki sikap, pola pikir, pola perilaku, orientasi kebutuhan hidup dan parameter keberhasilan hidup yang berbeda. Dalam konteks modernitas dengan kridonya efisiensi, efektifitas, daya guna dan kemajuan ekonomi maka orang kaya sudah pasti menjadi kelompok yang sangat representatif untuk mewakili kekuasaan pada masa Tokugawa. Status dan peran mereka ada pada level pembuat kebijakan. Sebagai pembuat dan penentu kebijakan, maka cara pandang orang kaya yang termanifestasikan dalam beragam peraturan sudah pasti akan diarahkan dan diprioritaskan untuk mendukung dan mempertahankan kepentingan-kepentingan mereka. Sementara kaum miskin hanya tinggal di pinggir menyaksikan dan menerima dirinya digusur sesewaktu demi ketertiban dan keindahan yang dipersepsikan pengambil keputusan yang jelas-jelas beda statusnya dengan mereka.

berdasarkan kajian di atas, pada masa kekuasaan Shogunat Tokugawa, ditinjau dari aspek sosial, masyarakat Jepang dapat dibagi berdasarkan suatu sistem kelas yang turun-temurun. Kerangka utamanya adalah berdasarkan pada sistem nilai yang berlaku, yaitu prestise yang berhubungan secara langsung dengan kekuasaan yang menjadi sarana untuk menentukan status sosial seseorang atau kelompok, bukan kekayaan (Bellah, 1992:35). Berdasarkan struktur kekuasaan yang ada di Jepang, maka hirarki kemasyarakatan di Jepang dapat dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok penguasa, sedangkan kelompok kedua adalah rakyat biasa. Kelompok penguasa masih dapat dibagi menjadi beberapa tingkatan seperti susunan piramidal.

(8)

tidak berpengaruh dalam bidang politik dan ekonomi. Hal ini disebabkan kekuasaan politik dipegang oleh shogun dan juga oleh kelompok buke (kelompok bangsawan militer). Tenno hanya bertugas dalam hal-hal yang bersifat seremonial dan yang berkaitan dengan aspek religius atau ritual yang berkaitan dengan kepercayaan Shintoisme (Dasuki, 1963a).

Posisi kedua di bawah Tenno dan kuge adalah kelompok buke yang terdiri dari shogun, para daimyo dan keluarganya. Namun para daimyo adalah penguasa daerah, sedangkan shogun Tokugawa adalah penguasa dalam bidang politik, sosial dan ekonomi di pusat kerajaan. Kelompok ini memegang kekuasaan pemerintahan sejak tahun 1600, yaitu ketika Perang Sekigara berakhir dengan kemenangan keluarga Tokugawa Ieyashu yang kemudian menjadi shogun pertama dari keluarga Tokugawa. Pusat pemerintahan Shogun Tokugawa adalah di Yedo yang sekarang bernama Tokyo (Latourette, 1957a : 235-236).

Posisi ketiga dari struktur kekuasaan di Jepang ditempati oleh para daimyo sebagai penguasa daerah. Oleh Shogunat Tokugawa mereka diberi wewenang untuk membantu kelancaran pemerintahan pusat di Yedo. Kelompok ini diberi wilayah kekuasaan dan juga apanage yang disebut dengan Han. Para daimyo diberi hak otonomi yang luas oleh Shogunat Tokugawa. Hak-hak tersebut antara lain meliputi hak memilih para pembantu pemerintahan daerah, hak menentukan besarnya pajak, hak untuk memiliki kekuatan tentara sendiri, serta hak-hak untuk menentukan kebijakan politik lainnya (Hackett, 1972:13-14).

Kelompok daimyo juga masih dibagi menjadi tiga strata, yaitu daimyo shimpan, daimyo fudai dan daimyo tozama (Hane, 1972:23). Daimyo shimpan adalah daimyo yang berasal dari keturunan langsung atau mempunyai hubungan langsung dengan keluarga Tokugawa. Sedangkan daimyo fudai adalah daimyo bawahan yang setia kepada keluarga Tokugawa, terutama sewaktu terjadinya Perang Sekigara. Dengan kata lain, daimyo fudai ikut secara langsung membantu shogun Tokugawa dalam merebut kekuasaan. Kemudian untuk daimyo tozama adalah daimyo bekas

(9)

karena belum dapat dipercaya sepenuhnya oleh Shogun, maka berbagai pembatasan dikenakan kepada mereka antara lain tidak boleh menghadap Tenno secara langsung; menduduki jabatan-jabatan penting di Yedo; memiliki kekayaan yang berlebih-lebihan (Beasley, 1990:4).

Struktur paling bawah dalam hirarki kekuasaan feodal Jepang adalah kelompok samurai atau bushi. Kelompok ini secara tradisi merupakan anggota prajurit atau pasukan perang. Namun pada masa kekuasaan Shogunat Tokugawa, mereka merangkap manjadi birokrat. Kehidupan kelompok ini sangat tergantung pada upah atau gaji yang diberikan oleh tuan mereka, yaitu para daimyo atau shogun. Para daimyo di Jepang jumlahnya sekitar 450.000 (Waltz, 1950: 214-215). Dalam pandangan masyarakat Jepang, terutama pada masa kekuasaan shogunat Tokugawa, kelas samurai merupakan kelas elit yang eksklusif. Kemana pun mereka pergi, selalu menyandang pedang panjang. Kehidupan kelas samuari sangat diwarnai oleh ajaran Bushido (Jalan Kesatria). Penekanan kesetiaan kepada tuannya menjadikan kematian bukan sesuatu yang menakutkan, apalagi kalau membela sesuatu yang benar. Mereka rela mati demi kesetiaan dengan cara harakiri atau seppuku (Bellah, 1992:121-134).

Kelas kedua dalam struktur sosial masyarakat Jepang adalah rakyat biasa. Berdasarkan mata pencahariannya, kelas rakyat ini dapat distratifikasikan menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama adalah petani ( Nomin ), merupakan kelompok terbesar dan tingkatannya langsung berada di bawah golongan Bushi. Mereka hidup dari mengolah tanah yang secara hukum adalah milik Tenno yang dipinjamkan kepada para daimyo. Dengan demikian pada musim panen, para petani harus menyerahkan sebagian dari hasil panen kepada para daimyo yang kemudian menyerahkan sebagian lagi kepada Tenno (Waltz, 1950:215). Dalam sistem feodal yang dikembangkan pada masa Tokugawa, petani menjadi tumpuan utama, karena kehidupan para bakufu sangat tergantung pada produksi pertanian (Hane, 1972:31-32). Para petani harus menjamin hidup golongan kuge, buke dan samurai.

(10)

mengenal sistem uang. Beras juga menjadi standar kekayaan. Status seorang daimyo diukur dalam batas penilaian pemilikan dan tingkat penghasil beras di wilayah kekuasaannya (Storry, 1963 : 73)

Kelompok kedua dalam kelas masyarakat biasa adalah golongan pekerja atau pengrajin ( Shokuin ). Kelompok ini adalah strata di bawah petani, karena mereka juga bekerja secara langsung untuk golongan penguasa ( bakufu ). Mereka tinggal di pusat pemerintahan di Yedo. Oleh sebab itu, kelompok pengrajin merupakan kelompok rakyat biasa yang paling dekat dengan kelompok penguasa (Bellah, 1992:35; Waltz, 1950:215).

Golongan di bawah pengrajin adalah golongan pedagang (Waltz, 1950:215). Pada

awalnya mereka dipandang sebagai pihak yang tidak pernah menyumbangkan jasa kepada bakufu dan dianggap kurang produktif. Pekerjaan pedagang dianggap pekerjaan yang hina, karena hanya mencari keuntungan pribadi saja. Meskipun secara sosial golongan pedagang dianggap rendah, namun dalam aspek ekonomi kelompok ini merupakan kelompok yang paling makmur di antara kelompok- kelompok yang lain. Bahkan pada abad XVIII sampai abad XIX kelompok ini ada yang melebihi kekayaan para daimyo. Hal ini mendorong kedudukan golongan ini dalam strata sosial masyarakat naik dengan cepat (Hane, 1972:31-32; Bellah, 1992:36).

Dari golongan-golongan yang ada di dalam masyarakat Jepang, terdapat suatu golongan yang tidak termasuk ke dalam salah satu dari golongan atau kelas di atas. Golongan ini disebut dengan Senmin yang berarti tidak boleh disentuh. Mereka adalah lapisan yang mempunyai pekerjaan-pekerjaan yang paling kotor. Golongan Senmin dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu hinin atau pengemis dan eta atau jagal, penyamak kulit. Senmin adalah golongan masyarakat yang disamakan dengan kelas binatang (Dasuki, 1963a).

(11)

prestise kekuasaan. Sebab kekuasaan yang menentukan status sosial seseorang, bukannya kekayaan seseorang (Bellah, 1992:35).

Dari struktur masyarakat tersebut di atas, terlihat bahwa tanpa adanya suatu dorongan yang mampu memunculkan suatu perubahan, terutama dalam sektor perekonomian, maka tidak akan terjadi suatu mobilitas sosial suatu golongan, terutama mobilitas ke atas. Namun, struktur masyarakat Jepang era Tokugawa tersebut justru mengalami suatu perubahan yang didorong oleh perubahan dalam sektor perekonomian, terutama melalui perdagangan. Hal inilah yang kelak akan mendorong mobilitas sosial golongan pedagang ke status sosial yang lebih tinggi.

2.2 Keadaan Budaya Jepang Sebelum Restorasi Meiji

Sistem budaya yang terdapat di Jepang adalah sistem budaya yang telah mengakar dari ratusan tahun. Hal ini dikarenakan Jepang yang melakukan isolasi diri pada masa pemerintahan Tokugawa. Hal ini dilakukan agar tidak adanya pengaruh negatif yang disebarkan oleh bangsa Barat. Kebijakan tersebut dinamakan sakoku. Salah satu dampak negatif yang dikhawatirkan adalah masuknya ajaran katolik. Apabila masyarakat Jepang masuk pada ajaran tersebut maka ditakutkan adanya sebuah pemberontakan karena masyarakat akan lebih patuh terhadap gereja dibandingkan dengan kaisar.

Bahkan ketika masa Tokugawa ini, perkembangan budaya Jepang cukup pesat. Hal ini karena adanya isolasi Jepang dari dunia luar. Sehingga tidak adanya pengaruh luar yang masuk ke dalam tatanan kehidupan masyarakat Jepang terutama dalam kebudayaannya. Di samping itu, seni-seni yang dibawa dari Cina dapat berkembang lebih sempurna di Jepang, yaitu pemeliharaan kebun miniature (miniature gardening), mengatur bunga (miniature flower) dan upacara minum teh (tea ceremony) (Agung, 2012 hlm. 99). Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa seni-seni yang dibawa oleh Jepang dari Cina sejak ratusan tahun yang lalu dapat berkembang pada masa tersebut. Adapun budaya lain yang berkembang di Jepang pada masa itu adalah sastra, sajak, kabuki (drama tradisional Jepang), seppuku (harakiri), serta pakaian kimono. Namun budaya yang akan dijelaskan di dalam makalah ini hanyalah upacara minum teh dan seppuku.

(12)

Upacara minum teh adalah suatu seni yang dilakukan sebagai simbol ramah ketamahan di Jepang. Adapun Setsuo Uenoda (dalam Lan, 1962 hlm. 163) menyatakan bahwa upacara teh terutama suatu permainan yang halus untuk orang-orang yang tertarik oleh art of living (seni kehidupan). Jadi dapat disimpulkan bahwa orang jepang yang melakukan chanoyu adalah seseorang yang menerapkan seni dalam hidupnya. Dimana mereka mengidealkan antara alam dengan seni seperti dalam pembuatan teh itu sendiri.

Budaya ini pada mulanya berasal dari Cina. Padahal di negara asalnya, teh ini adalah suatu minuman rakyat. Dimana minuman ini digunakan sebagai jamuan bagi tamu. Berbeda dengan di Jepang, teh memiliki kedudukan tersendiri dalam arti keagamaan. Teh dalam hal ini disebut sebagai suatu agama seni kehidupan. Dinilai dari suasana artistik yang tercium dari harumnya dan tidak dapat dilukiskan. Bagi orang Budhis, mereka menggunakan teh untuk menentang rasa kantuk ketika mereka bersemedi.

Chanayo berkembang di Jepang mulai abad 15 dan dibawa oleh sekte Zen Budhis. Awalnya minum teh dari sebuah mangkuk ini hanya dilakukan oleh para paderi yang berkumpul dihadapan patung Bodhidarma sebagai suatu kewajiban yang kudus. Namun pada abad 15 kebiasaan tersebut dijadikan sebagai upacara minum teh.

Awalnya sekitar tahun 450 M, chanayo hanya disukai oleh kaum elit Jepang. Pada perayaannya, mereka menggunakan peralatan yang mewah bahkan berhiaskan emas dan perak. Sehingga dengan peralatan yang mewah ini, rakyat biasa tidak dapat melakukan upacara tersebut. Sampai akhirnya pada tahun 1521-1591, ada seorang ahli upacara teh bernama Sen-no-Rikyu menciptakan gaya baru dalam upacara teh ini. Hal ini dilakukannya agar upacara ini tidak hanya dinimati para elit saja melainkan rakyat biasapun dapat melakukan upacara teh ini. Gaya baru upacara teh ini bernama wabi-cha (upacara teh wabi).

Salah seorang ningrat feodal bernama Kobori Enshu, melukiskan upacara teh secara filosofi sebagai berikut.

(13)

Pernyataan tersebut memiliki arti bahwa dalam upacara teh tidak diharuskan dilakukan secara luar biasa. Chanoyu dapat dilakukan dengan barang-barang seadanya baik yang sudah lama ataupun baru. Dalam hal ini diharapkan bahwa masyarakat Jepang mampu menilai suatu barang buka dari mahal atau tidaknya barang tersebut ataukah lama tau baru barang tersebut. Hal yang terpenting dalam hal ini, barang tersebut memiliki nilai keindahan dan artistik. Jamuan teh ini dapat dijamukan kepada sahabat. Jadi sajikan teh ini dengan kejujuran dan keramah-tamahan yang dirasakan. Dalam suasana itulah kita dapat melakukan upacara teh.

b. Seppuku (Harakiri)

Seppuku secara etimologis terdiri dari dua kata yaitu setsu dan fuku. Dalam keseharian pengucapan biasanya yaitu hara dan kiru. Istilah setsu atau hara berarti perut sedangkan fuku atau kiru yang berarti memotong atau menyobek. Jadi dapat disimpulkan bahwa seppuku berarti memotong perut atau menyobek perut. Adapun secara terminologi pengertian dari seppuku menurut Webster’s Encyclopedic (dalam Batubara, 2008) bahwa seppuku

Ceremony suicide by ripping open the abdomen with a dagger of knife: formerly practiced in Japan by member of warrior class when disgraced or sentence to death.

Upacara bunuh diri dengan cara merobek perut dengan belati atau pisau: lazim dipraktekkan oleh anggota dari kelas samurai saat merasa aib atau sebagai hukuman mati.

Inazo Nitobe (dalam Batubara, 2008) menyatakan bahwa seppuku adalah sebuah institusi bunuh diri yang legal yang dilakukan ksatria Jepang untuk menebus dosanya, meminta maaf atas kesalahannya, menghindarkan aib dan menyelamatkan klannya dari aib juga untuk membuktikan keikhlasan dan ketulusannya. Seppuku ini salah satu kode etik dari semangat bushido yang dianut oleh para samurai Jepang.

(14)

Pada saat itu, seppuku disempurnakan. Dalam pelaksanaannya dengan melakukan upacara yang baku dengan samurai yang bersalah dengan menggunakan pakaian berwarna putih yang dampingi oleh kaishakunin. Dialah yang mengatur cepat tidaknya kematian. Seppuku menggunakan pisau berukuran 30-60 cm dan dilakukan dari arah kiri ke kanan dibagian perut sekitar 6 cm di bawah pusar. kemudian dipenggal kepalanya dengan menggunakan samurai oleh kashakunin.

Seppuku dilatarbelakangi dengan berbagai motivasi seorang samurai dalam melakukannya. Sehingga dibaginya bebagai macam seppuku, diantaranya adalah sebagai berikut.

a) Junshi, dilatarbelakangi kesetiaan terhadap tuannya

b) Kanshi, dilatarbelakangi bentuk protes atau nasihat dan peringatan kepada tuannya yang melakukan kesalahan.

c) Sukotsu-shi, dilatarbelakangi dengan menebus kesalahan yang dibuatnya. d) Munen-bara, dilatarbelakangi dengan kemarahan.

e) Jigai, dilakukan oleh seorang wanita karena untuk menutupi aibnya atau demi orang yang dicintainya.

Pelaksanaan seppuku pada masa tokugawa memiliki aturan sendiri karena seppuku dijadikan hukuman resmi negara. Hal tersebut tergambarkan dari tingkatan hukuman yang diberlakukan terhadap para samurai, yaitu:

a) Hissoku, adalah hukuman yang diberlakukan untuk pengasingan untuk bertobat. Dimana hukuman ini terdiri dari merendahkan diri, berperilaku kaku dan menahan diri.

b) Heimon, adalah tahanan rumah selama ada yang selama 50 hari ataupun 100 hari tergantung pada keputusan pemerintah.

c) Chikkyo, adalah hukuman pengasingan baik pengasingan dalam kamar, pengasingan sementara ataupun pengasingan sampai mati

d) Kai-eki, pencabutan status secara permanen dari klannya. e) Seppuku

(15)

2.3 Keadaan Sosial Jepang Sesudah Restorasi Meiji

Bersamaan dengan cita-cita dari Restorasi Meiji, pengaruh barat perlahan mulai mempengaruhi tatanan hidup dari rakyat Jepang. Karena kuatnya dorongan dari Restorasi Meiji menyebabkan banyaknya penyerapan dari budaya barat yang disesuaikan dengan budaya Jepang. Perubahan kehidupan masyarakat Jepang terlihat pada masyarakat yang berada di kota, mereka sudah menyerap budaya Eropa, itu terlihat dari kostum yang mereka pakai. Jika pada zaman Bakufu pakaian orang Jepang hanya terdiri dari dua potong berbeda dengan zaman sekarang dimana orang Jepang mulai mengganti pakaiannya dengan kostum barat yang dianggap lebih praktis. Saking meluasnya kostum budaya barat hingga merambat ke pakaian serdadu-serdadu Jepang, karena sejak akhir zaman Bakufu para serdadu itu sudah sering mengadakan latihan dan memerlukan pakaian yang praktis. Karena begitu meluasnya pakaian barat dalam kalangan masyarakat, pegawai pemerintah maupun kaisar pada zaman Meiji mulai memakai pakaian Eropa. Melihat keadaan tersebut, pemerintah akhirnya menetapkan Undang-Undang bahwa pakaian seragam dan pakaian resmi harus menggunakan kostum ala Eropa.

Jika diperhatikan, orang Jepang sangat serius dan teliti dalam memperkenalkan tata krama dan moral pada anak didik dalam mempraktekan perilaku sosial yang baik. Misalnya saja cara membungkuk dan duduk yang benar. Perilaku itu kemudian melembaga seperti yang jelas terlihat dalam Chanoyu (upacara minum teh). Pada hakekatnya Chanoyu ialah mengajarkan orang untuk bersikap sopan, saling menghormati dam terkendali sesuai tata krama sehingga tercipta suatu ketenangan dan rasa kebersamaan. Rasa kebersamaan inilah yang dianggap sangat penting dalam masayarakat Jepang. Akibatnya meraka akan terkotak-kotak dalam kelompok yang tetntu saja memiliki kepentingan, ciri khas dan aturan tersendiri.

(16)

samurai kemudian diadopsi oleh Jepang Modern dan diterapkan di berbagai aspek kehidupan. Sikap berani termasuk berani berkorban dengan ditambah loyalitas menjadikan Jepang mampu mengatasi ketertinggalannya dari Barat. Tidak sedikit masyarakat, termasuk pekerja Jepang mengorbankan segalanya termasuk juga keluarganya demi perusahaan. Sebagai akibatnya, peranan ayah sebagai kepala keluarga menjadi berkurang dan pendidikan anak dilakukan oleh ibu (kyoiku mama) sehingga ayah menjadi kurang dihargai akibat jarang di rumah dan kurang berkomunikasi dengan anaknya. Hubungan perusahaan dan para pekerja lebih seperti hubungan keluarga daripada seperti hubungan budak dan majikan. Perusahaan ini menuntut kesetiaan yang serupa dengan para samurai di masa lampau. Nilai-nilai Zen dari samurai dikenal baik oleh pekerja ini. Mereka dituntut untuk mau berkorban dan loyal terhadap perusahaan mereka.

Para pekerja Jepang yang bekerja di perusahaan-perusahaan baik swasta maupun negeri dituntut untuk memiliki sikap loyalty atau kesetiaan yang besar pada perusahaan. Sebagaimana sifat samurai, para pekerja Jepang haruslah memiliki sifat berani dan bertanggung jawab terhadap tugas maupun mandat yang diembannya.

Negara Jepang dikenal dengan bangsa yang maju, cara Jepang untuk maju ialah menciptakan alat-alat yang berguna untuk kehidupan manusia. Jepang dikenal di dunia industri sebagai bangsa tukang tiru (imitator) yang pandai. Meskipun disebut demikian, orang Jepang nampaknya tidak merasa hina. Mereka meniru Barat dalam ilmu dan teknologinya demi mengejar ketertinggalan mereka. Walaupun asal alat tersebut dari negara lain, namun Jepang memiliki cara lain agar alat tersebut lebih baik mutunya dan memiliki nilai jual yang tinggi pula. Bisa dikatakan bahwa Jepang menjiplak produk maupun alat yang dibuat negara lain, namun Jepang tidak lah menjiplak semuanya. Jepang hanya memodifikasi kekurangan alat maupun produk tersebut supaya lebih unggul dan memiliki nilai jual yang tinggi. Oleh karena itu, setiap alat atau produk buatan Jepang laku di pasar dunia.

2.4 Keadaan Budaya Jepang Sesudah Restorasi Meiji

(17)

dan status macam apapun dapat mengikuti pendidikan. Selain itu, pemerintah Meiji pun mengirimkan banyak mahasiswa ke negara-negara Eropa dan Amerika dan mengundang banyak ahli teknik dari negara-negara Barat. Kebudayaan Barat yang maju pun diadopsi oleh pemerintah. Di bidang kehidupan sehari-hari, diberlakukan kalender Solar Gregorian agama Kristen akhirnya diakui karena adanya kritik-kritik dari luar negeri. Teknik cetak berkembang sehingga koran yang menyebarluaskan politik dan humaniora banyak diterbitkan. Kebudayaan di kota-kota besar yang merupakan salah satu kebudayaan yang menghasilkan kombinasi seni cetak balok kayu, teater Kabuki, novel, mode pakaian, dan perpustakaan, kebanyakan terikat dengan Geisha atau perempuan yang hadir setiap kota tempat hiburan. Di Ginza, Tokyo, dibangun bangunan-bangunan bergaya Barat yang menggunakan batu bata merah dan jalan-jalan raya dinyalakan lampu-lampu gas yang menerangi jalan.

Memotong rambut kuncir menjadi pendek dan memakai pakaian ala Barat telah menjadi gaya hidup baru, di samping itu, daging sapi yang biasanya tidak dimakan akhirnya mereka makan dan mulai pada waktu itu banyak dijumpai restoran sukiyaki. Gaya hidup baru mencakup bidang ilmu pengetahuan, pendidikan, sandang, pangan, papan, dan lainnya adalah kebudayaan Barat yang baru yang semaki lama semakin diterima masyarakat dan disebut istilah Bunmei Kaika (masa peradaban dan pencerahan).

(18)

memang bermaksud mengontrol pertunjukan kabuki. Pemerintah Meiji bercita-cita menciptakan pertunjukan teater yang pantas dan bisa dinikmati kalangan menengah dan kalangan atas suatu "masyarakat yang bermoral". Salah satu hasil gerakan pembaruan kabuki adalah dibukanya gedung Kabuki-za sebagai tempat pementasan kabuki. Selain itu, pembaruan juga melahirkan genre baru teater kabuki yang disebut Shimpa.

Dalam langkah modernisasi dengan adanya Restorasi Meiji, Jepang pun turut memodernisasi bidang kesusastraan, dimulai dari tulisan Shobochi Shoyo berjudul Shosetsu Shinzui pada tahun 1885. Dalam Shoyo diungkapkan bahwa karya sastra bukanlah alat politik maupun moral, tapi merupakan seni yang memiliki makna sendiri, yang mengutamakan keindahan hidup dan realisme. Salah satu penulis novel yang terkenal pada masa itu adalah Futabatei Shimei yang menjadi pelopor dalam novel modern. Salah satu novel modernnya adalah Ukigumo, yang ditulis dalam bahasa kolokial (percakapan). Sampai saat ini, karya klasik seperti Goshunotoi karya Kodarohan dan Konjikiyasha karya Ozaki koyo masih banyak dibaca kalangan luas. Pada masa-masa itu bermunculan karya sastra yang dipublikasikan oleh Higuchi Ichiyo seperti Takekurabe, Nigorie, jusanya,dan lainnya. Karya-karya yang ditulis dengan gaya bahasa yang sangat indah itu menceritakan tentang seorang wanita yang harus menghadapi kesulitan di tengah masyarakat yang terikat oleh adat istiadat dan moral yang kuno. Tapi karya itu secara realistis masih bernapaskan puisi.

(19)

berjudul Yoakemae. Sastra naturalisme merupakan gerakan modernisasi di bidang kesusastraan. Karya sastra Tayama Katai yang berjudul Futon memiliki pengaruh besar terhadap gerakan tersebut. Dalam perkembangan kesusatraan natiralisme tersebut, khususnya sejak pertengahan zaman Meiji hingga awal zaman Taisho, orang-orang yang berperan adalah Mori Ogai, Natsume Soseki, Ishikawa Takubaku.

Berbicara mengenai kebudayaan Jepang tidak lepas dari adanya buaya geisha. Salah satu budaya Jepang yang berkembang pada zaman keshogunan Tokugawa adalah geisha. Geisha, yang dikenal juga dengan istilah geigi atau geiko, adalah sebutan para penghibur tradisional wanita. Mereka menghibur dengan cara bernyanyi, menari, berbincang-bincang, bermain game, dan meladeni para tamu di rumah-rumah makan tradisional tertentu, (Kondansha, 1983:446).

Sejarah geisha dimulai dari awal pemerintahan Tokugawa, di mana Jepang memasuki masa damai dan tidak begitu disibukkan lagi dengan masalah-masalah perang. Seorang calon geisha harus menjalani pelatihan seni yang berat selagi usia dini. Berlatih seni tari, yang menjadi kunci kesuksesan seorang geisha, karena geisha papan atas umumnya adalah penari.

Mulai dari akhir Zaman Edo sampai sekarang ini, geisha telah mempunyai hubungan yang erat dengan dunia politik. Para samurai dari luar provinsi yang merupakan pendukung Restorasi Meiji pada tahun 1868 menemukan bahwa rumah-rumah minum teh di Kyoto merupakan tempat yang sangat mendukung bagi pertemuan-pertemuan mereka. Di sana mereka dapat membicarakan rencana-rencana politik yang disamarkan dengan kegiatan pesta-pesta dan bersenang-senang yang bertujuan untuk memperkecil kecurigaan pemerintah keshogunan terhadpa kegiatan mereka (Dalby, 2006:64).

(20)

Akibatnya rahasia-rahasia politik para tamu tidak sampai bocor kepada lawan politiknya. Kendati demikian, demi keamanan rahasia politik, para lawan politik mereka tidak mempergunakan geisha yang sama (Kondansha, 1983:15).

Geisha juga harus berperilaku lemah lembut, sopan, dan memikat hati. Seorang geisha papan atas dituntut untuk pintar dalam berbicara dan tidak membuat satu kesalahan pun saat menjamu tamu. Kedisplinan menjadi modal yang penting bagi seorang geisha. Ritual upacara minum teh yang menjadi budaya klasik Jepang juga harus dikuasai oleh seorang geisha. Geisha berpenampilan sangat menarik untuk membuat para pelanggannya tertarik melihatnya.

Geisha mengenakan kimono, berhias wajah dengan make up tebal berwarna putih dan menggunkan lipstik berwarna merah tebal, serta rambutnya sanggul dengan menggunakan sanggul yang besar. Alas kaki yang dikenakan geisha yaitu sendal yang terbuat dari kayu atau bakiak yang tinggi kimono yang dikenakan tidak menyentuh tanah (agar tidak kotor). Geisha di jepang harus pandai juga menari, pandai memainkan alat musik tradisional khas Jepang yaitu Shamisen, serta harus pinter dan berpengetahuan luas. Geisha harus berbicara sopan dan berprilaku ramah dan lemah lembut.

Jenjang menjadi seorang geisha, yang pertama adalah maiko diterjemahkan sebagai “anak-anak yang menari” (mai= tarian/menari, ko=anak), tetapi juga disebut sebagai “anak perempuan uang menari”. Seorang maiko adalah geisha, murid yang harus melalui suatu periode pelatihan yang umumnya memakan waktu 5 tahun, di mana dia belajar berbagai gei (seni), seperti menari, menyanyi, dan bermain musik, sebelum dia menjadi seorang geisha. Tahapan yang kedua adalah geiko, Seorang maiko menjadi geiko pada umur 20 – 21 tahun, atau ketika dia sudah dinilai cukup dewasa. Waktu pengabdian seorang geiko pada okiya mulai dari shikomi-san berkisar antara 5-6 tahun.

(21)

tiga), kodaiko (drum kecil yang dimainkan menggunakan stik kayu), hingga mempelajari bahasa Inggris.

Sekarang ini jumlah geisha di Jepang semakin menurun drastis. Kalau pada tahun 1920-an jumlah geisha di Jepang mencapai 80 ribu orang, sekarang ini jumlahnya kurang dari 10 ribu orang. Disamping pengaruh masuknya budaya Barat, penyebab lainnya adalah berkurangnya orang yang tertarik menjadi geisha karena harus mengikuti proses pelatihan yang memakan waktu lama dan detail. Selain itu mahalnya harga sewa geisha membuat orang-orang memilih alternatif hiburan lain pada pesta mereka. Walau sudah langka, para geisha modern masih bisa ditemukan di distrik geisha Kyoto dan Tokyo.

(22)

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Restorasi Meiji yang terjadi di Jepang telah mengubah Jepang menjadi negara yang modern dan imperialis. Jepang yang tadinya merupakan masyarakat yang kolot dan terisolir secara drastis berubah menjadi masyarakat modern yang setaraf dengan masyarakat di Eropa Barat. Upaya-upaya yang dilakukan Kaisar Meiji terbilang sangat efektif dan efisiaen. Hal ini ditunjukan dengan kemajuan-kemajuan yang dicapai.

(23)

Dalam pembaruan-pembaruan yang dilakukan, Jepang membuat suatu catatan penting yang dapat dijadikan pelajaran bagi kita semua. Hal yang menarik dari Restorasi Meiji adalah bahwa antara unsur-unsur baru dan unsur-unsur tradisional semuanya berjalan secara bersama-sama. Jadi bisa kita katakan meskipun Jepang mengalami perubahan di berbagai bidang dan sektor. Nilai-nilai tradisi leluhurnya tetap terjaga dengan baik hingga sekarang. Ini memberikan pelajaran bagi kita bahwa modernisasi bukan berarti merubah pola hidup dan tradisi lama leluhur yang positif dengan budaya barat.

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku :

Agung, L. (2012). “Sejarah Asia Timur I”. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Lan, N.J. (1962). “Djepang Sepandjang masa”. Jakarta: Penerbit PT. Kinta.

Dalby, Liza. 2005. “Geisha”. London: Vintage

1983. Kondansha Encyclopedia Of Japan. Tokyo Japan: Kondhansa

Pyle, Kenneth B.(1988). Generasi Baru Zaman Meiji : Pergolakan Mencari Identitas Nasional (1885-1895). Jakarta : PT Gramedia.

Rosidi, Ajip.(1981). Mengenal Jepang. Jakarta Pusat: PT Dunia Pustaka Jaya.

Sakamoto, Taro.(1980). Jepang Dulu dan Sekarang. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.

Bellah, R.N. 1992. Religi Tokugawa. Akar-akar Budaya Jepang . Jakarta : Karti Sarana dan Gramedia Pustaka Sarana.

(24)

Hackett, R.F. 1972. Nishi Amane - A Tokugawa Meiji Bureucrat . Dalam John A. Harrison (ed.) Japan . Tucson, Arizona: The University of Arizona Press.

Hane, M. 1986. Modern Japan. A Historical Survey . Boulder, Colorado : Westview Press.

Latourette, K.S. 1957a. A Short History of the Far East . New York: The Macmillan Company.

Storry, R. A. 1963. A History of Japan . London : Penguins Books

Beasley, W.G. 1990. The Rise of Modern Japan . New York : St. Martin's Press.

Sumber Online :

Jiwapraja, Dea. 2012. Zaman Meiji (1867-1912). [Online]. Tersedia di:

http://www.kompasiana.com/deajiwapraja/zamanmeiji186719125518cd42a333119911b65923

(diakses pada 16 Agustus 2015)

Anonim. 2013. Geisha Bukan Hanya Sekedar Penghibur. [Online]. Tersedia di :

http://www.japanindocuteculture.com/2013/10/geisha-bukan-hanya-sekedar-psk-atau.html

(diakses pada 16 Agustus 2015)

Batubara, Y.A. (2008). Seppuku: Telaah Regiositas dalam Bunuh Diri ala Jepang. [Online]. Tersedia di: http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2718/1/100592-YASSER%20ATMANEGARA%20BATUBARA-FUH.PDF. Diakses pada tanggal 14 Agustus 2015.

Elqorni, A.K. (2012). Kebudayaan Seppuku “Harakiri” di Jepang. [Online]. Tersedia di:

https://indoculture.wordpress.com/2012/11/10/kebudayaan-seppuku-harakiri-di-jepang/. Diakses pada tanggal 14 Agustus 2015.

Referensi

Dokumen terkait

on aggressive behaviour at maturity. Full-fed commercial laying strain LA males were used as a control. The behaviour of individual males, nine from each treatment group, towards

representation of the features and processes which convey the property’s significance; a clear identification of value and proper conservation area is needed. suffers from

diadaptasiolehWahyu (2015) danRyff Psychological Well Being Scale yang diadaptasiolehAbdillah (2016).Data yang diperolehdianalisisdenganteknikkorelasi

penyebaran, akses dan pengunaan, dan dilanjutkan dengan penciptaan kembali pengetahuan, dan seterusnya), (b) Menjadi mitra bagi pengguna, (c) Melayani individu atau kelompok sebagai

Lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa konsumen antara konsumen dan pelaku usaha jika mengingat Pasal 1 Angka (11) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Air limbah pabrik pembuatan makanan kecil coklat batangan yang berasal dari proses pencucian alat cetakan diketahui banyak mengandung gula, protein dan lemak atau minyak.

Android adalah sebuah sistem operasi open source yang mempunyai banyak API Library untuk membuat aplikasi berbasis mobile dengan tampilan yang menarik dan berfungsi

81 A tahun 2013 lampiran IV, dijelaskan bahwa proses pembelajaran dikembangkan atas prinsip pembelajaran siswa aktif melalui kegiatan mengamati (melihat,