• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menemukan Jouissance dalam Bahasa Peremp

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Menemukan Jouissance dalam Bahasa Peremp"

Copied!
4
0
0

Teks penuh

(1)

Menemukan Jouissance dalam Bahasa Perempuan

1

Maulida Raviola

“Ketika perempuan mengeksplorasi area tubuhnya yang beragam, perempuan akan belajar untuk memikirkan pemikiran, untuk menggunakan kata-kata, dan melakukan tindakan yang cukup kuat untuk menggantikan (pemikiran, kata-kata, dan tindakan) falus.” (Tong, 2004: 298)

Dalam perspektif feminisme pascamodern, perempuan senantiasa berada dalam posisi tersubordinasi karena hidup dalam dan menggunakan bahasa yang diciptakan oleh laki-laki. Bahasa ini tidak hanya menciptakan keterbatasan bagi perempuan untuk bertutur, tetapi juga menjadi satu-satunya referensi bagi perempuan dalam mendefinisi diri. Karenanya, selama perempuan terbelenggu dalam bahasa laki-laki, selama itulah perempuan akan selalu menjadi yang Lain, the Other. Dan pada akhirnya bagi mereka hanya ada dua pilihan: bergumam atau sama sekali bungkam.

Karenanya, para feminis pascamodern seperti Helene Cixous, Luce Irigaray, dan Julia Kristeva sama-sama mengangkat permasalahan mengenai kemungkinan terciptanya “bahasa perempuan”: bahasa yang memungkinkan bagi perempuan untuk mengungkapkan pengalaman, perasaan, dan pengetahuannya dengan kata-kata yang tidak bersifat parasit dan menempel pada pemikiran falogosentris. Seperti Helene Cixous, misalnya, yang enggan menggunakan istilah seperti “feminis” dan “lesbian” karena kata-kata tersebut memiliki konotasi atas sesuatu yang merupakan

Dalam upaya membentuk bahasa perempuan inilah kemudian isu seksualitas dalam tulisan perempuan menjadi penting. Setidaknya begitulah yang dikemukakan oleh Cixous, bahwa dalam upaya menciptakan bahasa perempuan, seksualitas feminin dan tubuh perempuan adalah sumber dari tulisan perempuan. Tulisan perempuan inilah yang mampu mendorong perempuan untuk memindahkan posisi dirinya ke dalam kata-kata. Tulisan ini pun tidak hanya sebuah gaya tulisan, tetapi juga membuka kemungkinan untuk perubahan, ruang yang dapat berfungsi sebagai garda bagi pemikiran subversif, serta menjadi gerakan pendahulu dari transformasi standar sosial dan budaya.

Meski demikian, adakah kemungkinan untuk menciptakan bahasa perempuan dengan menggunakan kata-kata dari bahasa laki-laki, serta dalam posisi yang berada di tengah-tengah kebudayaan yang patriarki? Akankah upaya tersebut sia-sia karena para penulis perempuan tetap saja terbelenggu dalam suatu sistem representasi maskulin?

1 Tulisan ini merupakan salah satu bahan diskusi pada peluncuran novel Ayu Utami, Manjali dan

(2)

Tuduhan seperti ini, setidaknya, telah sering ditujukan kepada karya-karya penulis perempuan kontemporer, tidak terkecuali Ayu Utami. Karya-karya penulis perempuan kerap dianggap sebagai karya yang terlalu mengumbar seksualitas perempuan dan mencari sensasi.

Hal ini diutarakan Manneke Budiman (dalam Rahman, 2007: 128), yang menyebutkan bahwa senantiasa terjadi pro dan kontra di seputar vulgaritas penggambaran seks serta eksploitasi murahan terhadap seksualitas perempuan dalam karya penulis-penulis perempuan kontemporer seperti Ayu Utami, Dinar Rahayu, maupun Djenar Maesa Ayu. Budiman pun lebih lanjut menyertakan pendapat Medy Loekito bahwa bacaan “tak sehat” (yaitu karya-karya penulis perempuan tersebut) hanya akan mengarah pada “degradasi moral”, dan Sunaryono Basuki yang menyatakan kecurigaannya bahwa penulis yang terpukau dengan isu seks boleh jadi dalam kehidupan nyatanya tak sungguh-sungguh mengalami kelainan seksual, sehingga karya-karya mereka lebih banyak dimotivasi oleh hasrat untuk membuat sensasi alih-alih sebagai ungkapan pengalaman yang nyata. (Rahman, 2007: 130).

Ada sebuah pesimisme dalam tanggapan-tanggapan tersebut. Tuduhan bahwa tema seksualitas diangkat oleh perempuan untuk mencari sensasi pun pada akhirnya membuat kita lantas bertanya: mungkinkah bahasa perempuan diciptakan selama penulis perempuan tetap menggunakan bahasa laki-laki?

Mungkinkah bahasa perempuan dibentuk melalui karya-karya penulis perempuan, tidak terkecuali dalam Manjali dan Cakrabirawa?

Mencari Jouissance Melalui Marja

“Gadis sembilan belas tahun biasanya bergairah karena menjadi obyek, bukan karena menjadi subyek.” (Manjali dan Cakrabirawa, hal. 4)

Jacques Derrida, meski kerap disalahkan oleh para feminis pascamodern karena kecenderungannya untuk memistifikasi dan meromantisir perempuan, mengemukakan adanya kemungkinan bagi terciptanya bahasa perempuan. Bahasa perempuan ini bukanlah sebuah bahasa yang lain sama sekali dengan bahasa yang telah ada, melainkan bahasa yang bebas dari tiga aspek yang membelenggu dalam bahasa patriarki, yaitu logosentrisme, falosentrisme, dan dualisme.

(3)

Menurut Cixous, hampir semuanya dapat ditulis oleh perempuan tentang femininitas: tentang seksualitasnya yang kompleks dan tidak ajeg, tentang keterangsangan yang tiba-tiba dari bagian tubuh yang kecil, yang merupakan bagian dari area luas tubuh perempuan, tentang petualangan, perjalanan, penyeberangan, kebergegasan, kebangkitan kesadaran yang tiba-tiba dan terus menerus, tentang penemuan zona yang malu-malu, dan pada saat yang sama, terus terang (Tong, 2004: 296). Hal inilah yang kita temukan secara gamblang melalui tokoh Marja. Melalui Marja, kita temukan perempuan muda yang, pada saat yang sama, memiliki kekuasaan sekaligus ketakkuasaan atas tubuhnya, mengalami petualangan, perjalanan, dan penyeberangan dalam aspek seksualitasnya, serta mengungkapkan diri dan hasrat secara malu-malu sekaligus terus terang.

Dalam pengungkapan diri melalui seksualitas inilah, Marja memiliki otonomi atas dirinya dan senantiasa berganti-ganti menjadi subyek maupun obyek. Namun satu hal penting yang dapat kita pahami mengenai perempuan, melalui Marja, adalah kesadaran dan kehendak diri perempuan untuk menjadikan dirinya sendiri sebagai obyek. Marja menjadi obyek bukan karena ia menyadari posisinya yang berada di bawah laki-laki. Marja menjadikan dirinya sebagai obyek dengan kuasa penuh atas dirinya sebagai subyek. Marja adalah diri yang tunggal dan plural—dan hal ini tak dapat kita pahami kecuali dalam teks yang ditulis oleh perempuan.

Pengungkapan bahasa secara personal melalui karakter Marja pun memungkinkan perempuan sebagai pembaca untuk menemukan apa yang disebut Jacques Lacan dengan jouissance—tingkat kenikmatan seksual yang feminin. Meski jouissance tidak dapat dipikirkan ataupun dituturkan dalam bahasa laki-laki karena ia secara total terepresi dalam tatanan simbolik, ia mencari bahasa nonfalik yang dapat memikirkan dan menuturkannya. Pencarian akan jouissance inilah yang akan mendorong karya-pemenjaraannya dan menghancurkan sekaligus tatanan simbolik dan pendukung utamanya, patriarki (Tong, 2004: 290).

Menuju Bahasa Perempuan

Karya sastra perempuan, yang ditulis oleh perempuan dan berisi tentang kisah perempuan, senantiasa akan menjadi bagian terpenting dalam proses pembentukan bahasa perempuan. Tidak hanya bagaimana perempuan bertutur dan menemukenali dirinya melalui tulisan, tetapi juga menciptakan suatu tatanan simbolik baru yang khas perempuan.

(4)

laki-laki, perempuan sebagai penulis mencoba menuturkan jouissance yang hanya dapat dipahami oleh sesama perempuan. Proses ini menjadi amat penting, karena tema seksualitas adalah salah satu aspek penting dalam menumbuhkan kesadaran atas otonomi diri perempuan, hingga akhirnya jouissance tersebut dapat terbahasakan.

Referensi

Dokumen terkait

Kelvin ± Planck menyatakan hukum kedua termodinamika dengan ungkapan Kelvin ± Planck menyatakan hukum kedua termodinamika dengan ungkapan   bahwa, ³Tidak mungkin

Mereka hanya mengetahui bahwa si Bungsu sudah mati ditebas Saburo dan anak buahnya sekitar dua tahun yang lalu!. Apakah si Bungsu menyangka bahwa kebocoran rahasia

Önerilen malzemelerden bazıları kıvrılmış Kevlar -49 içeren PMA veya PEA gibi esnek polimerler, PHEMA içerisine heliks yapıda PET fiberlerinden oluşan malzemelerin yeterli

Penyimpangan dalam perkembangan kanak-kanak itu misalnya kesulitan untuk memusatkan perhatian seperti yang dialami merupakan karakteristik gangguan

from the reaction rate determination. Figure 1, showed that the activities of AchE still in increased by substrate concentration increasing. The temperature increasing during

Namun dalam pembuatan suatu karya animasi juga bisa digunakan beberapa aplikasi lainnya, oleh karena itu penulis memperkenalkan aplikasi Scratch pada

Menurut Moleong (2000: 3), penelitian kualiatif menghasilkan data deskriptif yaitu berupa kata-kata atau lisan dari subyek yang diamati menggunakan pendekatan yang

PENERAPAN MODEL REALISTIC MATHEMATICS EDUCATION UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS II SEKOLAH DASAR PADA MATA PELAJARAN MATEMATIKA Universitas Pendidikan Indonesia