• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBELAJARAN PELAYANAN TRADISIONAL VS KR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PEMBELAJARAN PELAYANAN TRADISIONAL VS KR"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBELAJARAN-PELAYANAN TRADISIONAL VS KRITIS: KAJIAN LITERATUR UNTUK MEMBEDAKAN DUA MODEL*

Tania D. Mitchell Universitas Stanford

ABSTRAK

Ada literatur yang berkembang yang menganjurkan pendekatan “kritis” terhadap pembelajaran berbasis pengabdian masyarakat dengan tujuan keadilan sosial secara eksplisit. Orientasi perubahan sosial, yang berupaya untuk membagi kembali kekuasaan dan pengembangan hubungan autentik yang paling sering dikutip dalam literatur sebagai titik tolak dari Pembelajaran-Pelayanan tradisional. Tinjauan literatur ini menyingkapkan unsur-unsur pembeda ini.

Segmen yang berkembang dari literatur Pembelajaran-Pelayanan (service-learning) dalam pendidikan tinggi mengasumsikan bahwa pengabdian masyarakat yang terkait dengan pembelajaran kelas secara inheren terkait dengan masalah keadilan sosial (Delve, Mintz, & Stewart, 1990; Jacoby, 1996; Rosenberger, 2000; Wade, 2000; 2001; Warren, 1998). Selain itu, ada beberapa literatur yang mengemukakan bahwa pendekatan Pembelajaran-Pelayanan (service learning) tradisional itu saja tidak cukup (Brown, 2001; Butin, 2005; Cipolle, 2004; Marullo, 1999; Robinson 2000a, 2000b; Walker, 2000). Literatur ini menganjurkan pendekatan “kritis” untuk pembelajaran berbasis pengabdian masyarakat dengan tujuan eksplisit menuju keadilan sosial.

Mengacu pada literatur Pembelajaran-Pelayanan (service learning), saya menyingkapkan unsur-unsur yang membedakan pedagogi Pembelajaran-Pelayanan (service learning) kritis. Dalam meninjau literatur, saya tertantang oleh debat tak tertulis yang tampaknya membagi Pembelajaran-Pelayanan (service learning) menjadi dua kubu―pendekatan nasional yang menekankan pengabdian tanpa memperhatikan sistem ketidaksetaraan dan pendekatan kritis yang tiada ampun dalam usahanya membongkar struktur ketidakadilan. Tiga elemen yang paling sering dikutip dalam literatur sebagai titik

*

(2)

tolak pada kedua pendekatan ini bekerja untuk membagi kembali kekuasaan di antara semua peserta dalam hubungan Pembelajaran-Pelayanan (service learning), mengembangkan hubungan autentik di kelas dan di masyarakat, dan bekerja dari perspektif perubahan sosial. Saya ingin memahami dan menjelaskan perbedaan dalam pendekatan ini dan seperti apa dalam praktiknya. Bagaimana kurikulum, pengalaman, dan hasil dari mata kuliah Pembelajaran-Pelayanan kritis bisa berbeda dari mata kuliah Pembelajaran-Pelayanan tradisional?

Pendekatan kritis membayangkan kembali peran anggota masyarakat, mahasiswa, dan staf dosen dalam pengalaman Pembelajaran-Pelayanan (service learning). Tujuannya, pada akhirnya, adalah untuk mendekonstruksi sistem kekuasaan sehingga kebutuhan akan pengabdian dan ketidaksetaraan untuk menciptakan dan mempertahankannya akan diketahui. Artikel ini menggunakan perspektif dari berbagai literatur untuk mengungkap dan menjelaskan makna pandangan Pembelajaran-Pelayanan kritis. Dalam membahas tiga elemen pembeda masing-masing dari pendekatan Pembelajaran-Pelayanan kritis, saya memeriksa komponen kelas dan masyarakat.

Pembelajaran-Pelayanan Tradisional vs. Kritis

(3)

terkait dengan tujuan pembelajaran dan refleksi terus-menerus tentang pengalaman tersebut (Jacoby, 1996). Belajar dalam Pembelajaran-Pelayanan yang dihasilkan dari hubungan antara mahasiswa dengan pengalaman masyarakat dan tema mata kuliah mereka (Zivi, 1997). Melalui pengabdian masyarakat mereka, mahasiswa menjadi peserta didik aktif, membawa serta keterampilan dan informasi dari kerja masyarakat dan memadukannya dengan teori dan kurikulum kelas untuk menghasilkan pengetahuan baru. Selain itu, pembelajaran kelas mahasiswa menginformasikan pengabdian mereka dalam masyarakat.

Penelitian menggagas program Pembelajaran-Pelayanan (service learning) tradisional karena sifat transformatifnya―yang menjadikan mahasiswa yang lebih toleran, altruistik, dan sadar budaya; yang memiliki kepemimpinan dan keterampilan komunikasi yang lebih kuat; dan mereka yang (walaupun sedikit) mendapatkan rata-rata Indeks Prestasi yang lebih tinggi dan memiliki kemampuan berpikir kritis yang lebih kuat daripada rekan-rekan mereka yang bukan Pembelajaran-Pelayanan (Astin & Sax, 1998; Densmore, 2000; Eyler & Giles, 1999; Kezar, 2002; Markus, Howard, & King, 1993). Karena sebagian besar bukti ini, Pembelajaran-Pelayanan telah muncul di kampus perguruan tinggi dan universitas sebagai praktik yang efektif untuk meningkatkan pembelajaran dan pengembangan mahasiswa.

Tetapi beberapa penulis menegaskan bahwa, “menunjukkan bahwa semua bentuk pengabdian

masyarakat sama-sama mengembangkan etika kepedulian, membangun identitas dewasa, dan meningkatkan pemahaman kita tentang komunitas itu semua menyesatkan” (Neururer & Rhoads, 1998, hal. 329).

(4)

Ginwright & Cammarota, 2002; Levinson, 1990; McBride, Brav, Menon, & Sherraden, 2006; Pompa, 2002; Sleeter, 2000). Pompa (2002) menjelaskan keberatannya:

Kecuali difasilitasi dengan perhatian dan kesadaran penuh, “pengabdian” tanpa disadari pun bisa menjadi sebuah latihan dalam patronisasi. Dalam sebuah masyarakat yang penuh dengan struktur hierarkis dan filosofi patriarkat, potensi bahaya Pembelajaran-Pelayanan adalah menjadi upaya keras untuk menjauhkan diri (hal. 68)

Robinson (2000a) setuju, dengan berani menyatakan bahwa Pembelajaran-Pelayanan (service learning) sebagai praktik depolitisasi menjadi “sistem kesejahteraan yang dimuliakan” (hal 607). Tanpa pengamalan kepedulian dan kesadaran, memperhitungkan akar penyebab masalah sosial, dan melibatkan mahasiswa dalam berbagai tindakan dan inisiatif dalam menangani akar penyebabnya, Pembelajaran-Pelayanan (service learning) mungkin tidak berdampak melebihi niat baik mahasiswa. Bahkan, pengalaman Pembelajaran-Pelayanan (service learning) yang tidak memperhatikan berbagai isu dan masalah tersebut mungkin melibatkan mahasiswa dalam komunitas sedemikian rupa sehingga melestarikan ketidaksetaraan dan memperkuat dikotomi “kita-mereka”. Lebih lanjut, interpretasi Pembelajaran-Pelayanan (ironisnya) berfungsi untuk memobilisasi dan meningkatkan mahasiswa yang mempunyai hak istimewa agar berpartisipasi dan menganut sistem hak istimewa (Brown, 2001), melestarikan struktur sosial yang tidak adil (Roschelle, Turpin, & Elias, 2000), dan dapat bertindak untuk “menormalkan dan membudayakan kecenderungan radikal” dari komunitas pendukung, mahasiswa, dan diri kita sendiri (Robinson, 2000b, hal.146). Ginwright dan Cammarota (2002) mengkritik pembelajaran pelayanan, menganjurkan pendekatan keadilan sosial sebagai gantinya:

(5)

sosial memberikan penekanan pada pemecahan masalah masyarakat melalui berpikir kritis yang menimbulkan pertanyaan tentang akar kesenjangan sosial. Misalnya, pendekatan belajar mengabdi bisa mendorong remaja untuk berpartisipasi dalam aktivitas pelayanan yang menyajikan makanan bagi tunawisma, sementara kesadaran sosial mendorong anak muda untuk memeriksa dan memengaruhi keputusan politik dan ekonomi yang memungkinkan para tunawisma mendapat tempat pertama. Tercermin dalam contoh ini adalah pemahaman kritis tentang bagaimana sistem dan institusi menyokong para tunawisma. Melalui analisis komunitas mereka, kaum muda mengembangkan perasaan mendalam tentang bagaimana institusi bisa lebih baik melayani komunitas mereka sendiri dan memulai strategi untuk membuat lembaga ini responsif terhadap kebutuhan mereka (halaman 90)

Meskipun saya setuju dengan Neururer dan Rhoads (1998), adalah hal yang menyesatkan bila mengemukakan bahwa semua pengalaman Pembelajaran-Pelayanan (service learning) mendorong jenis analisis kritis yang disinggung oleh Ginwright dan Cammarota, saya percaya bahwa sama-sama menyesatkan bila menyatakan bahwa tidak ada kelas atau program Pembelajaran-Pelayanan yang mendorong analisis mendalam atau pendekatan terhadap pemecahan masalah masyarakat yang disebut Ginwright dan Cammarota kesadaran sosial. Di bidang pembelajaran pelayanan, pendekatan yang diberi label sebagai “belajar mengabdi” dan “kesadaran sosial” oleh Ginwright dan Cammarota mungkin terjadi diberi label sebagai Pembelajaran-Pelayanan tradisional dan kritis.

(6)

keadilan sosial. Tujuan eksplisit terhadap keadilan sosial menantang persepsi tradisional tentang pengabdian “sebagai pemenuhan kebutuhan individu tetapi biasanya bukan sebagai tindakan politis yang dimaksudkan untuk mengubah ketimpangan struktural” (Rosenberger, hal 29). Sebuah penelitian baru-baru ini oleh Wang dan Rodgers (2006) menunjukkan bahwa pendekatan keadilan sosial terhadap Pembelajaran-Pelayanan menghasilkan pemikiran yang lebih kompleks dan keterampilan penalaran daripada mata kuliah Pembelajaran-Pelayanan tradisional. Pendekatan kritis mencakup sifat politis dari pengabdian dan mengupayakan keadilan sosial lebih dari sekadar pandangan tradisional tentang kewarganegaraan. Orientasi pedagogis progresif ini mengharuskan pendidik untuk berfokus pada tanggung jawab sosial dan berbagai masalah komunitas yang kritis. Maka kemudian, Pembelajaran-Pelayanan menjadi “instrumen pemecahan masalah dari reformasi sosial dan politik” (Fenwick, 2001, halaman 6).

Program Pembelajaran-Pelayanan kritis mendorong mahasiswa untuk memandang diri mereka sebagai agen perubahan sosial dan menggunakan pengalaman pengabdian untuk menghadapi dan menanggapi ketidakadilan dalam masyarakat. Rahima Wade (2000) menyatakan perspektif ini “pengabdian untuk standar ideal” yang bertentangan dengan

“pengabdian kepada individu” (halaman 97). Boyle Baise (2007) memberinya label

“pengabdian untuk kesadaran kritis.” Marullo (1999) menganggap Pembelajaran-Pelayanan

sebagai pedagogi revolusioner karena potensinya terhadap perubahan sosial. Pembelajaran pelayanan, dia menyatakan:

(7)

sistemik. Pembelajaran-Pelayanan juga bersifat revolusioner sampai batas tertentu yang menciptakan kemitraan untuk perubahan antara para aktor masyarakat dan universitas. Begitu sumber masalah sosial terlihat berada dalam sistem politik dan sosial yang begitu boros memberi imbalan pada segelintir orang dengan mengorbankan banyak orang, jelas bahwa sistem semacam itu membutuhkan perubahan. Langkah selanjutnya menganjurkan perubahan dan membantu mahasiswa untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan guna menjadi agen perubahan, sehingga potensi revolusioner menjadi nyata. Dalam hal ini, Pembelajaran-Pelayanan memberi kesempatan untuk melembagakan aktivisme yang berkomitmen terhadap keadilan sosial pada kampus perguruan tinggi (hal. 22)

(8)

Orientasi Perubahan Sosial

Pengembangan mahasiswa dan perubahan masyarakat sering dipandang saling eksklusif. Interpretasi Pembelajaran-Pelayanan tradisional cenderung menekankan mahasiswa dengan berfokus pada pengalaman “pra-professional” (memandang pengabdian seperti magang atau praktikum), dan pengembangan pribadi atau sosial mahasiswa (kebanyakan sikap terhadap kepemimpinan, altruisme, dan kadangkala pikiran atau perasaan tentang orang-orang yang mengabdi dalam masyarakat). “Jarang sekali mahasiswa dalam program Pembelajaran-Pelayanan mempertimbangkan apakah beberapa ketidakadilan telah menciptakan kebutuhan akan pengabdian pada posisi pertama” (Wade, 2001, hal 1). Beberapa program yang mungkin lebih menekankan pada perubahan sosial dapat digolongkan atau disingkirkan sebagai aktivisme, atau dianggap tidak pantas atau terlalu politis untuk pembelajaran kelas. Wade mengemukakan kepraktisan Pembelajaran-Pelayanan tradisional (pengabdian kepada individu) versus Pembelajaran-Pelayanan kritis (pengabdian untuk standar ideal) dapat menjelaskan keunggulan program Pembelajaran-Pelayanan yang menekankan hasil mahasiswa daripada perubahan masyarakat:

Secara umum, pengabdian untuk standar ideal lebih menarik bagi saya karena potensi kekuatan terhadap efek perubahan pada lebih banyak orang. Namun, dalam praktiknya, pengabdian kepada individu lebih mudah diakses dan lebih mudah untuk difasilitasi dengan kelompok mahasiswa tertentu dalam waktu singkat (misalnya, satu semester). (hal. 98)

(9)

Jenis pendekatan Pembelajaran-Pelayanan ini membutuhkan “penekanan berbagai isu identitas dan perbedaan sebagai cara untuk menolong mahasiswa untuk mengubah pandangan pribadi dan dunia luar mereka dan mempersiapkan mahasiswa dengan berbagai ide dan keterampilan baru yang bisa membantu mereka mengerti dan bekerja melintasi berbagai

perbedaan” (Chesler & Vasques Scalera, 2000, hal. 19). Chesler (1995), Eby (1998),

Ginwright dan Cammarota (2002), dan Robinson (2000a; 2000b) semuanya mengingatkan bahwa jenis program pengabdian ini, meskipun bermanfaat bagi mahasiswa dalam peran pengabdian dan menyediakan layanan yang sangat dibutuhkan dalam masyarakat, namun tidak mengarah pada transformasi apa pun dalam masyarakat dan tentu saja tidak memasuki potensi revolusioner yang Marullo (1999) bayangkan. Mark Chesler (1995) menjelaskan:

(10)

Gambar 1.

Pembelajaran-Pelayanan Tradisional vs. Kritis

Pembelajaran-Pelayanan Tradisional

Pembelajaran-Pelayanan Kritis

Meskipun perubahan individu dan pengembangan mahasiswa adalah hasil yang diinginkan dari Pembelajaran-Pelayanan tradisional dan kritis, pedagogi Pembelajaran-Pelayanan kritis menyeimbangkan hasil mahasiswa dengan penekanan pada perubahan sosial. Ini memerlukan pemikiran ulang jenis kegiatan pengabdian yang melibatkan mahasiswa, serta mengorganisasi proyek dan tugas yang menantang mahasiswa untuk menyelidiki dan memahami akar

(11)

penyebab masalah sosial dan serangkaian tindakan yang diperlukan untuk menghadapi dan mengubah struktur yang mempertahankan masalah itu.

Berbagai upaya perubahan sosial “[menunjukkan] ketidaksetaraan dan tantangan sosial mendasar yang sangat besar dengan menciptakan struktur dan kondisi yang meningkatkan persamaan, otonomi, kerjasama, dan keberlanjutan” (Langseth & Troppe, 1997, hal 37). Para praktisi pembelajaran berbasis pengabdian yang ingin bergerak ke arah Pembelajaran-Pelayanan secara kritis harus menemukan cara untuk mengorganisasi proyek dan pekerjaan masyarakat yang memungkinkan para peserta Pembelajaran-Pelayanan untuk menganalisis pekerjaan mereka secara kritis dalam masyarakat. Para pendidik yang menggunakan pedagogi pembelajaran berbasis pengabdian secara kritis harus mendukung mahasiswa dalam memahami konsekuensi pengabdian di samping berbagai kemungkinan―bagaimana cara pengabdian bisa membuat perbedaan serta bagaimana cara itu bisa mengabadikan sistem ketidaksetaraan. O'Grady (2000) mengingatkan kita,

“Menanggapi kebutuhan individu manusia itu penting, namun jika kebijakan sosial yang

menciptakan kebutuhan ini juga tidak dipahami dan diatasi, maka siklus ketergantungan tetap

ada” (hal 13).

(12)

“pembalut luka” dan menuju tindakan yang diarahkan pada pemberantasan siklus

ketergantungan dan penindasan (Levinson, 1990; O'Grady, 2000; Walker, 2000).

Pedagogi Pembelajaran-Pelayanan secara kritis mendorong kesadaran kritis, yang membantu mahasiswa menggabungkan tindakan dan refleksi di kelas dan masyarakat untuk memeriksa, baik preseden historis dari masalah sosial yang ditangani di penempatan tugas pengabdian mereka dan dampak tindakan/non-tindakan pribadi mereka dalam mengurus dan mengubah masalah tersebut. Analisis ini membantu mahasiswa menghubungkan kehidupan mereka sendiri dengan kehidupan orang-orang yang bekerja sama dengan mereka dalam pengalaman pengabdian mereka. Selanjutnya, pendekatan Pembelajaran-Pelayanan kritis membantu mahasiswa mengetahui sifat institusional dan sistemik dari penindasan. Dinamika aksi/refleksi dari pedagogi Pembelajaran-Pelayanan kritis mendorong kontemplasi terhadap kontribusi pribadi maupun institusi terhadap masalah sosial dan tindakan yang dapat menjurus pada perubahan sosial (Marullo, 1999; Rice & Pollack, 2000). Praksis ini menyoroti sifat politis pedagogi yang bertujuan untuk menangani dan berkontribusi untuk membongkar ketimpangan struktural.

Pengabdian masyarakat yang dipandang sebagai bagian dari dinamika aksi/refleksi yang berkontribusi pada perubahan sosial itu cukup berbahaya karena menumbuhkan keinginan untuk mengubah struktur sosial dan ekonomi masyarakat kita. Ini bersifat politis karena mempersoalkan bagaimana kekuatan didistribusikan serta hubungan antara kekuatan dan ekonomi. (Rhoads, 1997, hal. 201)

(13)

(halaman 19). Melalui pendekatan Pembelajaran-Pelayanan yang kritis, mahasiswa dapat memandang ke depan dan mempertimbangkan jenis pekerjaan, di luar usaha pengabdian yang sudah ada, yang mungkin memperbaiki atau mengubah berbagai masalah sosial dan mengarah pada perubahan yang berkelanjutan (Wade, 2001).

Komponen Masyarakat

“Kami mengabaikan berbagai aktivitas yang mengatasi akar permasalahan struktural,”

Robinson (2000b, hal.145) memperingatkan. Pekerjaan pengabdian yang memerlukan partisipasi sebagian besar peserta didik pembelajaran pelayanan―misalnya, les privat, dapur umum, program pengayaan setelah sekolah―diciptakan untuk kepentingan para mahasiswa,

yang mempertimbangkan “keterampilan, jadwal, minat, dan agenda belajar mahasiswa dalam

pembelajaran berbasis pengabdian daripada memenuhi kebutuhan masyarakat sesungguhnya” (Eby, 1998, hal. 4). Dengan cara ini, kebutuhan akan pembelajaran berbasis pengabdian sering diutamakan mahasiswa daripada isu dan permasalahan masyarakat, dan tugas pengabdian yang dilaksanakan kurang transformatif.

(14)

tradisional ketika lukisan selesai, para tunawisma diberi makan, atau anak telah menyelesaikan proyek seni. Pengabdian yang berorientasi pada perubahan sosial membutuhkan waktu. Keadilan sosial tidak akan pernah tercapai dalam satu semester atau beberapa sistem juga tidak akan terbongkar dalam dua sampai empat jam setiap minggu sebagai tipikal komitmen dari banyak model Pembelajaran-Pelayanan tradisional.

Forbes dkk. (1999) cukup jelas tentang tujuan yang mereka kehendaki melalui pendekatan Pembelajaran-Pelayanan kritis:

Kami ingin... memberdayakan mahasiswa agar mereka memandang diri mereka sendiri sebagai alat yang mampu bertindak bersama orang lain untuk membangun koalisi, menumbuhkan kesadaran masyarakat, dan menciptakan perubahan sosial. Tujuan kami adalah menghindari jebakan safari budaya, namun mendiskusikan dan menunjukkan perangkat yang akan diperlukan mahasiswa untuk meraih tujuan yang mereka tetapkan dalam parameter yang terlibat dari beragam kehidupan dan persoalan mereka sendiri. Paling tidak, tujuan ini harus mengurangi sikap kasihan yang sering kali timbul dari volunterisme tradisional. (hal 167)

(15)

pendekatan Pembelajaran-Pelayanan dengan tujuan keadilan sosial. Khususnya, anggapan bahwa “sumber daya masyarakat harus dikembangkan dan diperluas sebagai prioritas tertinggi (lebih diutamakan daripada pengayaan atau keuntungan yang dialami oleh para volunter) menyatakan pengalaman pengabdian dengan orientasi perubahan sosial (Marullo & Edwards, 2000, hal 907).

Komponen Kelas

Pedagogi Pembelajaran-Pelayanan yang kritis meminta mahasiswa menggunakan apa yang terjadi di kelas―bacaan, diskusi, tugas menulis dan kegiatan lainnya―untuk merenungkan pengabdian mereka dalam konteks masalah sosial yang lebih besar. “Visi tersebut sesuai dengan bentuk pembebasan pedagogi di Indonesia dengan tujuan pendidikan adalah untuk menantang mahasiswa agar memiliki pengetahuan akan kekuatan sosial, politik, dan ekonomi yang telah membentuk kehidupan mereka dan kehidupan orang lain”(Rhoads, 1998, hal. 41).

(16)

Diskusi tentang apakah bahasa “kebutuhan” masyarakat menyiratkan kekurangan

masyarakat dan menciptakan struktur ketidaksetaraan tidak yang dapat dihindari dalam pedagogi Pembelajaran-Pelayanan secara kritis. Mengetahui berbagai kebutuhan, masalah, dan/atau isu masyarakat belum tentu menunjukkan defisit atau kekurangan, melainkan persoalan, masalah, dan sumber daya yang bisa diatasi melalui hubungan pembelajaran pelayanan. Masalah bahasa ini merupakan sebuah tantangan ang dibahas dalam literatur ini namun tidak terselesaikan. Misalnya, meskipun Brown (2001) menantang bahwa merumuskan masalah masyarakat sebagai kebutuhan “menunjukkan bahwa ini adalah kesalahan atau kekurangan masyarakat itu sendiri yang telah menciptakan kebutuhan untuk ditangani” (hal. 15), dia terus mengimbau penetapan kebutuhan masyarakat di seluruh monograf ini. Kita perlu merekonstruksi “kebutuhan” sebagai istilah yang memicu masalah struktural dan sistemik tanpa menyalahkan individu masyarakat. Pedagogi Pembelajaran-Pelayanan yang kritis mempertimbangkan perubahan sosial dengan menghindari mitos kekurangan sekaligus mengakui bagaimana sistem ketidaksetaraan berfungsi dalam masyarakat kita. Kita harus membantu mahasiswa memahami bahwa pengajaran dan sumber belajar yang tidak memadai, kurangnya perumahan yang terjangkau, memperbaiki undang-undang yang secara tidak adil melakukan kriminalisasi pada para tunawisma, tidak adanya tempat penitipan anak yang dapat diakses dan tersedia, dan distribusi sumber daya pemerintah yang tidak adil (misalnya, kepolisian, pengumpulan sampah, ruang hijau publik, di antara banyak lainnya) adalah kebutuhan masyarakat yang mendesak dan tidak ada salahnya atau tidak perlu malu mengakuinya sedemikian adanya.

(17)

memicu suara atau pengalaman yang tidak didengar atau disadari dalam pengabdian, menimbulkan berbagai pertanyaan dan mengilhami dialog yang bisa mengarah pada pemahaman yang lebih dalam. Bacaan dan konsep tercakup dalam mata kuliah Pembelajaran-Pelayanan secara kritis tentu saja harus memperhatikan isu keadilan sosial dan konsep hak istimewa dan penindasan.

Pengabdian itu sendiri, adalah konsep yang dipenuhi dengan isu identitas dan hak istimewa yang harus diperdalam agar mahasiswa menjadi efektif dalam tugas pelayanan mereka. Program Pembelajaran-Pelayanan kritis memang dirancang dalam orientasi perubahan sosial dan tujuannya menuju masyarakat yang lebih adil dan peduli; bagian dari kesengajaan itu ditunjukkan dalam konsep yang melaluinya mahasiswa dapat terlibat dalam diskusi kelas, bacaan, dan tugas menulis.

Beberapa pengalaman capstone (pencapaian puncak, titik, elemen, atau peristiwa) bisa menarik fokus pada perubahan sosial melalui pengalaman pembelajaran pelayanan. Pengalaman ini bisa berupa proyek penelitian terbaik yang membantu mahasiswa menganalisis, mengusulkan, dan menerapkan strategi untuk menangani urusan masyarakat. Pengalaman capstone paling efektif apabila pengabdian mahasiswa melibatkan kolaborasi dengan anggota masyarakat dan menanggapi masalah masyarakat yang teridentifikasi. Dari beberapa kesalahan dan kesuksesan, mahasiswa mulai memahami proses perubahan masyarakat (Mitchell, 2007).

(18)

isu-isu masyarakat kita yang lebih komprehensif (Téllez, 2000). Pedagogi Pembelajaran-Pelayanan yang kritis bergerak lebih dari sekadar melakukan pelayanan sehubungan dengan muatan akademis mata kuliah yang menantang mahasiswa untuk mengutarakan visi mereka sendiri untuk masyarakat yang lebih adil serta menyelidiki dan merenungkan berbagai tindakan yang mendorong masyarakat menuju visi tersebut.

Upaya Membagi Kembali Kekuasaan

Program Pembelajaran-Pelayanan tradisional jarang mengakui perbedaan kekuasaan yang melekat pada pengalaman pembelajaran pelayanan. Lori Pompa (2002) membahas berbagai isu kekuasaan mendasar dalam pendekatan Pembelajaran-Pelayanan tradisional:

Jika saya “berbuat untuk” Anda, “melayani” Anda, “memberi kepada” Anda―yang menciptakan sebuah hubungan yang di dalamnya saya mempunyai sumber daya, kemampuan, kekuasaan, dan Anda adalah tujuan penerimaan. Hubungan ini bisa saja―meskipun dengan maksud baik―ironisnya melemahkan penerimanya, yang memberi kekuasaan lebih besar kepada si pemberinya. Tanpa maksud apa pun, proses ini menjawab paradigma “sudah-belum” yang mendasari banyak masalah sosial. (halaman 68)

(19)

pelayanan tempat mereka bekerja. “Pelayanan, karena menyangkut pengalaman ketimpangan sosial dan perlintasan batas yang mendukung dan mengembangkannya, memudahkan perenungan dunia alternatif; pada utopia, bukan realitas praktis, namun sebagai visi yang mendorong perubahan sosial” (Taylor, 2002, hal. 53). Sementara beberapa praktisi menunjuk pada “menghadapi perbedaan” sebagai aspek dari pengalaman Pembelajaran-Pelayanan yang mengarah pada perkembangan dan perubahan yang diinginkan (Kahne & Westheimer, 1996; Rhoads, 1997), kita harus berhati-hati dalam meminta mahasiswa agar terlibat dalam beberapa pengalaman ini tanpa menantang struktur yang tidak adil yang menciptakan perbedaan. Cynthia Rosenberger (2000) berpendapat, “perkembangan pembelajaran berbasis pengabdian kritis, yang bertujuan untuk berkontribusi terhadap terciptanya masyarakat yang adil dan merata, yang menuntut agar kita sangat sadar akan berbagai isu kekuasaan dan hak istimewa dalam hubungan pembelajaran berbasis pengabdian” (halaman 34).

Cara program Pembelajaran-Pelayanan itu terstruktur secara tradisional, Cooks dkk. (2004) berpendapat, mengarah pada gambaran masyarakat yang dibangun secara sosial yang membutuhkan perbaikan, sementara mahasiswa dipersenjatai dan dipersiapkan untuk

“memperbaiki” kesalahan. Cukup dengan memilih lembaga mana yang akan "dilayani" serta

(20)

sama, sementara pendidikan keadilan sosial mengakui bahwa beberapa kelompok sosial di masyarakat kita memiliki akses yang lebih besar kepada kekuasaan sosial” (hal. 136). Sering kali, “perbedaan” yang dialami di tempat pengabdian dihapuskan menjadi masalah keragaman. Tindakan ini berfungsi untuk mensosialisasikan dan memperkuat dikotomi “kita” dan “mereka,” mengembangkan hierarki yang berusaha dibatalkan dalam Pembelajaran-Pelayanan kritis.

Butin (2003) memperkenalkan “perspektif post-strukturalis” dari

Pembelajaran-Pelayanan sebagai cara untuk menyelidiki kolusi kita dengan sistem ketidakadilan dan memandang Pembelajaran-Pelayanan sebagai “tempat konstruksi, dekonstruksi, dan rekonstruksi identitas” (hal. 1684). “Secara khusus,” tulisnya, “perspektif poststrukturalis menyatakan bahwa dalam memposisikan diri kita sebagai pendidik yang memberi kembali kepada masyarakat, tentu saja kita terlibat dalam hubungan kekuasaan asimetris dan statis” (hal. 1684). Pedagogi Pembelajaran-Pelayanan kritis menyebutkan akses diferensial ke kekuasaan yang dialami oleh mahasiswa, dosen, dan anggota masyarakat, dan mendorong analisis, dialog, dan diskusi mengenai dinamika kekuasaan itu. Tanpa memperhitungkan akses ke kekuatan sosial dan peran kekuasaan (atau kurangnya kekuasaan) dalam menentukan siapa yang menerima pelayanan serta pelayanan apa saja yang tersedia, potensi penggunaan Pembelajaran-Pelayanan sebagai pedagogi yang membawa masyarakat lebih dekat ke keadilan akan hilang.

(21)

(2000) tampaknya tidak yakin apakah para praktisi Pembelajaran-Pelayanan siap menghadapi tantangan ini saat dia bertanya:

Apakah pembelajaran berbasis pengabdian rela berpartisipasi dalam penyingkapan dan problematisasi realitas masyarakat kita saat ini dan merespons terhadap kesulitan, berbagai masalah kompleks ketidakadilan, penindasan, dan dominasi? Apakah pembelajaran berbasis pengabdian rela menjadikan orang-orang yang kurang mampu sebagai subjek dan bukan objek? (hal. 32)

Hayes dan Cuban (1997) memperkenalkan “pedagogi batasan” sebagai sarana untuk membantu individu untuk berpikir lebih mendalam tentang hubungan kekuasaan dan pengalaman mereka dengan hak istimewa dan penindasan. “Perlintasan batas berfungsi sebagai metafora tentang bagaimana orang bisa mendapatkan perspektif yang lebih kritis dalam bentuk dominasi yang melekat dalam sejarah, pengetahuan, dan praktik mereka sendiri, dan belajar menghargai bentuk alternatif pengetahuan” (Hayes & Cuban, hal. 75).

(22)

Komponen Masyarakat

Pembelajaran-Pelayanan sangat diimbau karena kecenderungannya mengutamakan kebutuhan mahasiswa melebihi kebutuhan anggota masyarakat (Brown, 2001; Eby, 1998). Pengalaman Pembelajaran-Pelayanan kritis mencari keuntungan bersama untuk semua pihak dalam pengalaman ini. Ward dan Wolf-Wendel (2000) mengajak kita untuk memandang Pembelajaran-Pelayanan sebagai “fokus pada kita” (hal. 769, penekanan ditambahkan), mengetahui bahwa berbagai masalah yang ditangani melalui Pembelajaran-Pelayanan memengaruhi kita semua sebagai sebuah komunitas.

Dalam mengembangkan pengalaman pembelajaran pelayanan, para pemangku kepentingan mempertimbangkan hubungan pelengkap antara aktivitas pelayanan, muatan kuliah, kebutuhan masyarakat, dan hasil belajar mahasiswa. Untuk menangani distribusi dari (dan upaya untuk pembagian ulang) kekuasaan, pengalaman Pembelajaran-Pelayanan kritis memberdayakan warga masyarakat “untuk melakukan sebanyak mungkin upaya selama

sumber daya masih memungkinkan” (Marullo & Edwards, 2000, hal. 907). Pengalaman

(23)

mungkin tidak cukup untuk membongkar hierarki yang bersifat menindas yang menentukan dikotomi pelayan-dilayani, tetapi dapat memberikan cukup tantangan pada hubungan pelayanan biasa yang memudahkan diri kita sendiri, mahasiswa kita, dan anggota masyarakat untuk mempersoalkan distribusi kekuasaan

Komponen Kelas

Di kelas, pengalaman Pembelajaran-Pelayanan kritis mempertimbangkan pengetahuan dari anggota masyarakat, kurikulum, dan mahasiswa itu sendiri. “Pembelajaran-Pelayanan menantang gagasan statis kita tentang belajar mengajar, menyingkirkan klaim kita pada label

„mahasiswa‟ dan „dosen‟, serta menunjukkan dan mengeksplorasi keterkaitan antara

kekuasaan, pengetahuan, dan identitas” (Butin, 2005, hlm. vii-viii). Melalui pengalaman kelas, mempertanyakan distribusi kekuasaan dapat difasilitasi melalui bacaan, penulisan reflektif, aktivitas terkait dengan pengalaman, dan kelas diskusi. Pengalaman ini menerima bahwa pengetahuan dan pemahaman dikembangkan dalam banyak cara yang berbeda.

(24)

Melintasi batas pengetahuan, dan masuk ke “daerah perbatasan” (borderland) dengan pola-pola pikiran, hubungan, dan identitas yang ada menuai pertanyaan dan disandingkan dengan cara alternatif pengetahuan dan keberadaan, memberikan kesempatan untuk rekonstruksi oposisi dan kreatif dari diri sendiri, pengetahuan, dan budaya... (hal. 75)

Bagaimana hubungan kekuasaan dihasilkan dan dikembangkan harus terus diamati dan dikritik, dengan kesadaran yang diarahkan pada konfigurasi ulang hubungan kekuasaan untuk membalikkan arus (dan diharapkan) hierarki dalam praktik pengabdian tradisional. Mengetahui pengetahuan dari (dan dalam) masyarakat dengan menjamin masukan masyarakat yang tercermin dalam kurikulum itu merupakan hal yang penting (Brown, 2001; Cipolle, 2004). Hal ini bisa dilakukan dengan membawa anggota masyarakat ke dalam kelas Pembelajaran-Pelayanan melalui pengembangan kurikulum atau peran mengajar, melibatkan anggota staf pengajar dalam pengalaman pengabdian bersama mahasiswa, atau

“memutarbalikkan” struktur Pembelajaran-Pelayanan dengan mengadakan kelas di

masyarakat.

(25)

dibahas di kelas. Tindakan ini dapat membantu mendefinisikan ulang makna pengajar dan peserta didik (Schultz, 2006). Menciptakan sebuah lingkungan “tanpa dosen” tempat para mahasiswa dan/atau anggota masyarakat berpartisipasi dalam refleksi tanpa tekanan atau pengaruh kehadiran anggota staf pengajar juga bisa menggeser dinamika kekuasaan dan meningkatkan pertanyaan tentang pengetahuan, kekuasaan, dan identitas (Addes & Keene, 2006).

Marullo dan Edwards (2000) mengemukakan bahwa anggota masyarakat harus mendapatkan keuntungan dari pengembangan keterampilan (“pemecahan masalah, pemikiran kritis, pengetahuan organisasi, dan keterampilan komunikasi”) yang diberikan kepada banyak mahasiswa dalam program Pembelajaran-Pelayanan (hal. 907). Bukankah pedagogi Pembelajaran-Pelayanan kritis sebaiknya tidak (dan tidak bisa) sepenuhnya menggabungkan anggota masyarakat ke dalam pengalaman pembelajaran pelayanan? Distribusi kekuasaan dalam dinamika ini dapat dipertanyakan dan dikonfigurasi ulang sebagaimana setiap peserta dalam hubungan Pembelajaran-Pelayanan memandang diri mereka sebagai bagian dari masyarakat yang mengupayakan perubahan, seperti halnya mahasiswa di kelas berusaha membangun keterampilan untuk pengembangan masyarakat, dan sebagai pembawa pengetahuan―pengajar―dengan ide, pengalaman dan perspektif yang valid dan berpengaruh kuat untuk dibagikan.

Mengembangkan Hubungan Otentik

(26)

Rosenberger (2000) mencatat, “sebagian besar literatur pembelajaran berbasis pengabdian

memiliki komitmen untuk membangun hubungan timbal balik dan membiarkan anggota masyarakat mengidentifikasi kebutuhannya. Namun, yang hilang adalah pendekatan untuk menciptakan hubungan semacam itu” (hal. 37). Fokus pada pengembangan hubungan yang autentik, hubungan berdasarkan koneksi, adalah elemen penting dari pedagogi Pembelajaran-Pelayanan kritis. Dalam tuntutan Pembelajaran-Pembelajaran-Pelayanan kritis ini kita mengenali perbedaan dalam hubungan pengabdian, tetapi seperti Collins (2000) mengingatkan kita, “kebanyakan hubungan yang melintasi perbedaan benar-benar berakar pada hubungan dominasi dan subordinasi, kami memiliki jauh lebih sedikit pengalaman yang berhubungan dengan orang-orang berbeda tetapi sama” (hal. 459). Namun, kita harus belajar memandang perbedaan kita sebagai “kategori koneksi,” tempat untuk menganalisis kekuasaan, membangun persatuan dan mengembangkan empati (Collins, 2000).

Hubungan berdasarkan koneksi mengenali dan mengatasi perbedaan. Koneksi menantang biner (dua bagian) diri sendiri―orang lain dan menekankan timbal balik dan saling ketergantungan. Tujuan bersama dan saling pengertian menciptakan kebersamaan, respek, dan kepercayaan yang mengarah pada kemurnian. Timbal balik dalam pengalaman pembelajaran berbasis pengabdian berusaha menciptakan lingkungan tempat semua orang belajar dari dan mengajar satu sama lain (Kendall, 1990). Ini menekankan hubungan kolaboratif dan berusaha melibatkan semua pihak secara setara dalam penciptaan pengalaman Pembelajaran-Pelayanan (Rhoads, 1997).

“Dalam kebanyakan situasi pembelajaran pelayanan, hubungan jelas berdasarkan

(27)

Pembelajaran-Pelayanan secara eksplisit berteori tentang hubungan yang kompleks antara dan di tengah pelayan dan yang dilayani, satu kelompok cenderung menjadi bawahan bagi yang lain” (hal. 18).

Pengalaman Pembelajaran-Pelayanan secara kritis harus memberi perhatian khusus pada bagaimana hubungan berkembang dan dipelihara dalam pengalaman pengabdian. Tantangannya adalah menciptakan hubungan yang tidak mengabaikan realitas ketimpangan sosial dalam masyarakat kita ataupun mencoba secara berlebihan menyamaratakan semua orang dalam pengalaman Pembelajaran-Pelayanan (Bickford & Reynolds, 2002). Varlotta (1997b) memperingatkan:

(28)

membantu mereka "mengetahui" bagaimana rasanya menjadi tunawisma, dilecehkan, dll. (hal. 80)

Mahasiswa tidak dapat memasuki pengalaman Pembelajaran-Pelayanan dengan pemahaman keliru bahwa mereka “mirip seperti” masyarakat yang dilayani. Dalam berteori tentang hubungan kompleks, mahasiswa harus bisa menyebutkan bagaimana mereka sama seperti dan tidak seperti individu yang mereka tangani di tempat pelayanan, dan selanjutnya, bagaimana kesamaan dan perbedaan tersebut memengaruhi interaksi mereka di wilayah pelayanan dan (seharusnya peluang pertemuan ini terjadi) jauh dari lokasi pelayanan. Namun, ini bukan berarti bahwa mahasiswa tidak dapat membangun hubungan yang autentik dan efektif dengan anggota masyarakat berdasarkan koneksi. Seperti Varlotta (1997b) menyatakan, para peserta Pembelajaran-Pelayanan mungkin memang memiliki sesuatu yang sama dengan “orang -orang yang dilayani.” Mahasiswa dalam pengalaman Pembelajaran-Pelayanan mungkin menggunakan kesamaan tersebut untuk menjalin hubungan dengan anggota masyarakat, dan dari waktu ke waktu, melalui pengalaman berbagi hidup, hubungan autentik bisa berkembang.

Beberapa praktisi Pembelajaran-Pelayanan memandang keterlibatan dialogis sangat penting bagi pengembangan hubungan autentik dengan anggota masyarakat (Jones & Hill, 2001; Levinson, 1990; Pompa, 2002). Pompa melihat keterlibatan dialogis sebagai pertukaran verbal dan pengalaman “bersama-sama.” Levinson menjelaskan:

(29)

besar dari mahasiswa mereka daripada sekadar memenuhi jumlah jam yang dibutuhkan. (hal 69, penekanan dalam orisinil)

Arahan dari Levinson (1990) ini semakin memperjelas unsur-unsur yang saling terkait dalam pedagogi Pembelajaran-Pelayanan kritis. Hubungan autentik menuntut perhatian terhadap perubahan sosial dan pemahaman akar penyebab masalah sosial. Hubungan autentik juga menuntut analisis kekuasaan dan konfigurasi ulang kekuasaan dalam hubungan pelayanan. Taylor (2002) dan Varlotta (1997b) juga mungkin berpendapat bahwa hubungan autentik menuntut metafora baru untuk pengabdian, yang menggantikan konsep kami tentang pelayanan dengan konsep masyarakat di mana semua orang mengerti dan menganut keterkaitan dan saling ketergantungan. Remen (2000) menyatakan sependapat dengan pendekatan ini saat mendefinisikan pelayanan sebagai “milik.” Dia memandang pelayanan sebagai “hubungan antara yang setara," atau “hubungan antara orang-orang yang mendatangkan sumber daya penuh dari gabungan kemanusiaan mereka dan membagikannya dengan murah hati” (hal. 198). Pedagogi Pembelajaran-Pelayanan kritis mengimbau agar setiap orang melakukan pendekatan hubungan dengan keasliannya. Dalam proses ini, kita akan mengembangkan agenda bersama, mengakui hubungan kekuasaan yang tersirat dalam interaksi kita, dan mengenali kompleksitas identitas―pemahaman bahwa hubungan kita dalam konteks Pembelajaran-Pelayanan semakin rumit karena harapan masyarakat.1

Komponen Masyarakat

(30)

pada berbagai elemen anggota masyarakat (misalnya, mahasiswa yang bekerja di fasilitas komputer untuk program pelatihan kerja). Di waktu yang sama, mahasiswa tersebut diharapkan untuk melakukan observasi dan menganalisis serta memahami kekuatan sistemik dan institusional yang membuat pelayanan mereka diperlukan di masyarakat saat ini. Di sisi lain, anggota masyarakat, mungkin diminta untuk berpindah antara peran mahasiswa dan dosen, pengawas, dan orang yang membutuhkan. Sebagai mahasiswa, anggota masyarakat mungkin saja adalah orang yang belajar tentang komputer dari peserta Pembelajaran-Pelayanan dalam program pelatihan kerja, dan sebagai orang yang membutuhkan, anggota masyarakat itu mungkin juga menjadi (atau merasa) diharapkan dapat menunjukkan rasa syukur dan apresiasi terhadap layanan yang diberikan. Sebagai pengawas, anggota masyarakat mungkin berada dalam posisi memberikan arahan kepada peserta pembelajaran pelayanan, memberitahu individu (atau beberapa individu) ke mana harus pergi, apa yang harus dilakukan, dan bagaimana cara melakukan tugas tertentu. Sebagai pengawas, anggota masyarakat kadang diminta memberikan orientasi dan pelatihan kerja, verifikasi jam kerja, dan bertemu dengan mahasiswa untuk memberikan umpan balik dan menilai pelayanan mahasiswa. Akhirnya, sebagai dosen, terkadang kita meminta anggota masyarakat menjadi yang paling rentan. Pengalaman Pembelajaran-Pelayanan meminta anggota masyarakat untuk mengajar kita (dan/atau mahasiswa kita) apa artinya berada dalam keadaan khusus mereka (baik itu tunawisma, “berisiko”, lansia, atau buta huruf).

Persiapan untuk pengalaman pengabdian dan beragam peran mahasiswa dan anggota masyarakat yang ditantang untuk memenuhinya harus jelas disampaikan dalam pedagogi layanan kritis. Semua peserta harus diberitahu dan bersedia untuk terlibat dalam hubungan pelayanan ini jika keasliannya harus dikembangkan. Susan Cipolle (2004) memperingatkan

bahwa “mahasiswa sering kali tidak siap untuk pengalaman pembelajaran pelayanan” dan

(31)

yang dilayani sebagai faktor ketidaksiapan mahasiswa (hal. 20). Dalam pengalaman saya, mahasiswa yang terlibat dalam pembelajaran pelayanan, entah itu tidak memiliki kesempatan ataupun mengambil waktu untuk mengeksplorasi masyarakat sekitar kampus perguruan tinggi atau universitas. Hal ini penting untuk memberi kesempatan bagi mahasiswa, memberi mereka peluang untuk belajar dan memahami masyarakat tempat mereka akan bekerja. Tetapi, kurangnya pengetahuan ini juga berlaku untuk area pelayanan. Lembaga pelayanan sering kali tidak siap untuk Pembelajaran-Pelayanan dengan harapan yang tidak jelas pada pelayanan dan waktu mahasiswa, dengan pemahaman yang terbatas tentang apakah Pembelajaran-Pelayanan itu, dan (kadang) tanpa pemahaman akurat tentang sejarah, pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman mahasiswa yang datang untuk melayani. Kami melakukan tindakan merugikan kepada mahasiswa dan lembaga pelayanan dengan meminta mahasiswa untuk menunjukkan layanan dengan sedikit bahkan tanpa informasi tentang misi dan pekerjaan agen itu. Kami melakukan tindakan merugikan kepada mitra masyarakat dengan tidak mempersiapkan mereka baik-baik untuk hubungan Pembelajaran-Pelayanan ini. Karena mengembangkan hubungan yang autentik adalah tujuan yang diinginkan dari pedagogi Pembelajaran-Pelayanan kritis, maka persiapan yang tepat untuk hubungan itu sangatlah penting.

Petunjuk Levinson (1990) untuk keterlibatan di luar jam pelayanan berarti kesempatan bagi para pemangku kepentingan dalam hubungan Pembelajaran-Pelayanan untuk berinteraksi di luar tugas pelayanan adalah hal yang penting. Pertemuan formal dan informal antara mahasiswa, dosen, dan anggota masyarakat menawarkan berbagai kemungkinan untuk dialog dan membangun koalisi.

(32)

dan mengevaluasi kemitraan. Strand, Marullo, Cutforth, Stoecker, & Donohue (2003) menekankan bahwa semua anggota dalam kolaborasi kampus-komunitas “berjuang untuk menjadi pembicara yang efektif dan pendengar yang baik” (hal. 55). Mereka menyarankan untuk menghindari jargon akademik dan bahasa populer, bersama-sama mengembangkan aturan dasar, dan berupaya memastikan para pemangku kepentingan memiliki suara yang sama “termasuk orang-orang yang, karena usia atau status sosialnya, tidak biasa sama-sama berkontribusi pada diskusi atau didengar “sebagai strategi untuk komunikasi yang efektif (Strand dkk., hal 55).

(33)

pelayanan atau dalam mengembangkan gairah atau minat yang mengarah pada pilihan karier atau keterlibatan seumur hidup dalam pelayanan.

Lembaga ini juga mendapatkan keuntungan dari keterlibatan pelayanan berkelanjutan. Berbagai program dan proyek mendapatkan keuntungan dari kepemimpinan yang berpengalaman. Mahasiswa Pembelajaran-Pelayanan baru dapat dilatih dan diorientasikan oleh sesama mahasiswa, sehingga menghemat waktu dan sumber daya mitra masyarakat. Konstituen lembaga masyarakat melihat wajah yang sudah akrab berulang kali yang bisa membuatnya lebih mudah dan nyaman saat mahasiswa baru dimasukan ke peran pelayanan. Sukarelawan berpengalaman juga mudah beralih ke peran staf lembaga masyarakat. Seiring hubungan berkembang, keterampilan dipelajari, dan komitmen terhadap pekerjaan jelas terbukti, mahasiswa menjadi sumber daya berharga bagi lembaga tersebut.

(34)

Kampus dan masyarakat bisa berbuat lebih banyak, melalui kemitraan yang berkembang dan autentik dengan membangun kepercayaan dan berbagi agenda, dalam melaksanakan program, kebijakan, dan intervensi yang menangani akar permasalahan, mentransformasi masyarakat, dan mengarah pada perubahan yang berkelanjutan.

Komponen Kelas

Dalam kelas Pembelajaran-Pelayanan kritis, mengembangkan hubungan dosen dan mahasiswa yang autentik memberikan sebuah model keterlibatan dalam masyarakat. Hal ini dicapai dengan komitmen untuk berdialog, mengembangkan kesadaran diri, refleksi kritis, dan membangun solidaritas.

Autentisitas (kemurnian) dalam hubungan tergantung pada dialog dan koneksi. Pertukaran mahasiswa dan dosen yang berkelanjutan dan bermakna diperlukan untuk terlibat

“dalam analisis kritis dunia” (Cipolle, 2004, hal. 22) yang terhubung ke sejarah pribadi,

beberapa perspektif, dan materi sosiologis dan historis (Zúñiga, 1998). Dialog mencakup kesempatan untuk interaksi formal dan informal, menghormati percakapan selama istirahat dan sebelum serta sesudah kelas sebagai ruang efektif untuk membangun hubungan (Cranton, 2006). Percakapan panjang “tentang materi kuliah sedemikian rupa sehingga membangun pemahaman bersama dan bertambah tentang berbagai gagasan atau topik” adalah unsur pedagogi asli (Newmann, Marks, & Gamoran, 1996, hlm. 289). Zúñiga menganjurkan perpaduan isi dan proses―fasilitas yang menangani pengetahuan disipliner dan hasil perilaku

secara strategis―untuk memulai dan mempertahankan dialog dosen-mahasiswa yang

bermakna.

(35)

istimewa dan penindasan sangat penting untuk terlibat secara efektif dan autentik. Aktivitas eksperiensial, latihan simulasi, dan refleksi pribadi dapat mempermudah eksplorasi kesadaran diri (Cranton; Zúñiga, 1998). Cranton mengemukakan latihan autobiografi yang membebaskan para peserta untuk mengembangkan narasi yang dibagikan dengan orang lain. Partisipasi fasilitator dan/atau instruktur dalam latihan kesadaran diri ini terutama sangat penting karena hubungan autentik harus dipupuk di antara semua peserta di kelas (Cranton; Glatthorn, 1975).

Refleksi kritis sangat penting bagi pembelajaran transformatif dan praktik Pembelajaran-Pelayanan (Cranton, 2006; Jacoby, 1996), dan dapat berkontribusi pada hubungan autentik di kelas. Terlibat dalam refleksi kritis perlu mempertanyakan asumsi dan nilai, dan memperhatikan dampak dan implikasi dari kerja masyarakat kita. Meskipun jurnal sering digunakan untuk mendorong refleksi kritis, Popok (2007) melangkah lebih jauh, merekomendasikan agar mahasiswa membagikan tulisan mereka di hadapan audiensi untuk menerima dan menanggapi umpan balik. Pertukaran ini mengembangkan autentisitas melalui kerentanan dan membangun kepercayaan. Latihan ini juga menciptakan ruang untuk menantang mahasiswa, menggali gagasan mereka, dan mengintegrasikan perspektif baru ke dalam pemikiran mereka. Konsep Glatthorn (1975) tentang pertumbuhan sebagai proses penemuan jati diri sangat penting untuk refleksi kritis. Kelas harus dirancang untuk menciptakan ruang bagi mahasiswa untuk mengetahui pendapat dan komitmen mereka terhadap berbagai persoalan yang diangkat melalui pengalaman Pembelajaran-Pelayanan kritis.

(36)

(2005) mengungkapkan kebutuhan akan solidaritas sebagai hasil pembelajaran pelayanan.

“Kebutuhan ini berkembang dalam diri mahasiswa, bukan hanya kesiapan emosional, tetapi

juga kesiapan kognitif/imajinatif” untuk terlibat dalam tindakan di masa mendatang demi perubahan sosial (Sheffield, hal. 49). Walker (2000) menetapkan rencana tindakan di akhir mata kuliah Pembelajaran-Pelayanan untuk membangun kesiapan ini pada diri mahasiswa. Mahasiswa mengembangkan kampanye pembelaan berdasarkan pengalaman pelayanan dan penelitian mereka dan kemudian mampu mengetahui cara bertindak sendiri dan melibatkan orang lain dalam pekerjaan itu. Ungkapan solidaritas merupakan dimensi autentisitas yang menunjukkan bahwa kita akan terus bekerja demi perubahan sosial dan keadilan sosial setelah pengalaman Pembelajaran-Pelayanan berakhir. Ini adalah pengakuan bahwa berbagai masalah sosial dan ketimpangan struktural yang menciptakan dan mempertahankan masalah itu menjadi milik kita semua dan mengharuskan kita semua untuk berubah.

Rhoads (1997) berpendapat, Pembelajaran-Pelayanan (service-learning) yaitu sebuah pengalaman “yang membawa mahasiswa menuju hubungan langsung dan signifikan dengan orang lain, dan dengan demikian menantang mahasiswa untuk mempertimbangkan berbagai hal yang signifikan tentang diri sendiri, seperti aturan untuk menjalani hidup” (hlm. 36). Pengalaman Pembelajaran-Pelayanan kritis yang dipadukan dengan hubungan autentik, menantang mahasiswa untuk menghadapi stereotip dan generalisasi serta mengarah pada pengembangan diri yang lebih peduli (Rhoads). Melalui hubungan ini, para praktisi berharap agar mahasiswa merasa terdorong untuk melakukan tindakan lebih lanjut pada isu-isu yang mereka hadapi dalam pengalaman pelayanan. Selain itu, Bickford dan Reynolds (2002) mengingatkan kita, “Menghindari pertemuan yang dangkal dimulai dengan pengakuan, yang sudah ada di antara para pendukung Pembelajaran-Pelayanan bahwa satu tugas, satu semester

saja tidak cukup” (hal. 234). Hubungan yang autentik bergantung pada komitmen satu sama

(37)

Kesimpulan

Dalam ulasan tentang pedagogi Pembelajaran-Pelayanan kritis ini, saya telah menunjukkan bahwa orientasi perubahan sosial, upaya membagi kembali kekuasaan, dan mengembangkan hubungan autentik adalah elemen yang paling banyak dikutip dalam literatur untuk membedakan model Pembelajaran-Pelayanan praktik dan tradisi. Pompa (2002) meringkas pendekatan Pembelajaran-Pelayanan kritis “menjadi berhati-hati dan mampu mengkritik sistem sosial, memotivasi peserta untuk menganalisis apa yang mereka alami, serta menginspirasi mereka untuk mengambil tindakan dan membuat perubahan” (hal 75). Marullo (1999) memprediksi bahwa pedagogi pembelajaran-pelayanan kritis akan menghasilkan para aktivis dan pemimpin masa depan yang berkomitmen untuk keadilan sosial. Para pendukung Pembelajaran-Pelayanan kritis melihat potensi untuk mengubah generasi dan akhirnya masyarakat melalui pengalaman Pembelajaran-Pelayanan yang dilaksanakan secara hati-hati.

(38)

Catatan

Terima kasih banyak kepada para editor dan pengulas jurnal ini atas umpan balik mereka yang menyeluruh dan mendalam.

1

Saya berterima kasih kepada Dr. Seth Pollack karena telah membantu saya berpikir melalui dimensi autentisitas yang sangat penting dalam membangun hubungan pada pedagogi Pembelajaran-Pelayanan kritis.

Penulis

Gambar

Gambar 1.

Referensi

Dokumen terkait

Pada skala peringkat terperinci skala 5 titik atau 7 titik dengan titik panduan atau jangkar, sesuai keperluan, disediakan untuk tiap item dan responden menyatakan

Berdasarkan latar belakang tersebut penulis ingin melakukan penelitian dengan judul penelitian “Pengaruh Keputusan Investasi, Kebijakan Dividen, Dan Kebijakan Hutang

Metode yang digunakan adalah menghitung Garis Kemiskinan (GK), yang terdiri dari dua komponen yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non- Makanan

Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh, dan mengetahui bagaimana “Dinamika penyesuaian diri terhadap program rotasi kerja (rolling system ) pada karyawan

Pada penelitian ini secara rata-rata burner pertama adalah yang paling efisien dibanding burner yang lainnya dalam hal penggunaan konsumsi LPG.Pada penelitian ini suhu rata-rata

Baik itu melalui sejumlah website (Pemkab, SKPD, Badan Publik, Media Center, dan web PPID sendiri), juga diterapkan dalam bentuk memberi kesempatan secara luas melalui desk

Hubungan Self-Efficacy dengan Prestasi Bahasa Inggris di Kelas Conversation (Penelitian pada Kursus Bahasa Inggris ILP).. Unika Atma Jaya,