• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRATEGI PROBLEM FOCUSED COPING ORANG TU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "STRATEGI PROBLEM FOCUSED COPING ORANG TU"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

PROSIDING KONFERENSI NASIONAL

ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK TAHUN 2016: Indonesia

Menuju SDGs

Editor:

Dr. Agussani, M.AP., Dr. Azamris Chanra, M.AP., Rudianto, S.Sos.,M.Si., Abrar Adhani, S.Sos., M.I.Kom., Ribut Pribadi, S.Sos., M.I.Kom., Arifin Saleh, S.Sos., MSP., Nalil

Khairiah, S.IP., M.Pd., Siti Hajar, S.Sos., MSP.

Desain Sampul: Waroeng Potret art design, Publishing & Printing

Hak cipta dilindungi Undang-undang.

Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun, baik secara elektronis maupun mekanis, termasuk memfotocopy, merekam atau dengan sistem penyimpanan lainnya, tanpa izin tertulis dari penulis.

All right reserved

Cetakan Pertama: Pebruari 2016

Diterbitkan oleh UMSU PRESS

Jl. Kapten Mukhtar Basri No. 3 Medan, 20238 Telp. 061-6638296, Fax. 061-6638296

Email: umsupress@gmail.com http://umsupress.com

(3)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh.

Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Allah Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan hidayah yang telah diberikan kepada kita semua sehingga buku prosiding Konferensi Nasional Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dalam rangka Milad ke-44 FISIP UMSU ini dapat terselesaikan .

Agenda tujuan pembangunan milenium yang terangkum dalam Millenium Development Goals (MDGs) sudah berakhir. Selama lima belas tahun –sejak September tahun 2000 sampai 2015 –sebanyak 189 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa menjalankan program tersebut dengan target utamanya adalah tercapainya kesejahteraan rakyat dan pembangunan masyarakat pada tahun 2015.

Tapi, masih banyak target yang belum tercapai dalam MDGs tersebut. Untuk keberlanjutan program tersebut, kini MDGs sudah digantikan denga model pembangunan global berbasiskan Sustainable Development Goals (SDGs).

Model pembangunan global sudah dibahas sejak tahun 2012 lalu pada KTT Rio+20 yang menghasilkan dokumen “The Future We Want”. Pada dokumen inilah SDGs dicantumkan beserta arahan tentang pentingnya tiga dimensi pembangunan berkelanjutan yaitu; Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan Hidup yang harus bersinergi dalam pembangunan global ke depan.

Berdasarkan dokumen tersebut, SDGs harus memenuhi empat prinsip yaitu; Pertama; tidak melemahkan komitmen internasional terhadap pencapaian MDGs. Kedua; mempertimbangkan kondisi, kapasitas dan prioritas masing-masing negara. Ketiga; Fokus pada pencapaian ketiga dimensi pembangunan berkelanjutan (pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan perlindungan lingkungan). Terakhir koheren dan terintegritas dengan pembangunan pasca 2015.

Indonesia sebagai negara besar yang terus berpacu dalam melaksanakan pembangunan di berbagai bidang berkepentingan dan berkewajiban dalam menyukseskan SDGs ini. Untuk menyongsong dan menghadapi SDGs ini tentu dibutuhkan persiapan yang melibatkan banyak pihak, termasuk salah satunya lembaga perguruan tinggi.

Dalam rangka itu, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (FISIP UMSU) menggagas dan melaksanakan Konferensi Nasional dengan thema “Indonesia Menuju SDGs”. Kegiatan yang menjadi rangkaian perayaan Milad FISIP UMSU ke-44 ini dimaksudkan untuk mendapatkan beragam pemikiran terkait pembangunan di bidang ilmu sosial dan ilmu politik yang kaitannya untuk menyongsong dan menghadapi SDGs.

Oleh karena itu, dalam kesempatan ini perkenankan kami mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ketua Komisi VIII DPR-RI, selaku keynote speaker kegiatan Konferensi Nasional Ilmu Sosial dan Ilmu Politik tahun 2016.

(4)

3. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara selaku penanggungjawab kegiatan Konferensi Nasional Ilmu Sosial dan Ilmu Politik tahun 2016.

4. Pengurus IAPA, IPPSI, ASPIKOM dan APIK PTM atas sumbangsih saran dan pemikirannya.

5. Bapak/Ibu pembicara pada kegiatan Konferensi Nasional Ilmu Sosial dan Ilmu Politik tahun 2016.

6. Bapak/Ibu peserta pemaparan hasil penelitian pada Konferensi Nasional Ilmu Sosial dan Ilmu Politik tahun 2016.

7. Bapak/Ibu panitia Konferensi Nasional yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pemikirannya demi suksesnya kegiatan ini.

Semoga buku prosiding ini dapat memberi kemanfaatan bagi kita semua, untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan. Di samping itu, diharapkan juga dapat menjadi referensi bagi upaya membangun bangsa dan negara Indonesia menuju SDGs. Mohon maaf jika ada hal-hal yang kurang berkenan. Saran dan kritik yang membangun tetap kami tunggu demi kesempurnaan buku prosiding ini.

Billahii Fii Sabilil Haq, Fastabiqul Khairat

Wassalammu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh

Tim Editor Ketua,

(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i ...

KATA SAMBUTAN DEKAN FISIP UMSU ... iii DAFTAR ISI ... iv

PEMBANGUNAN DESA TERPADU (MENYONGSONG PELAKSANAAN UU NO.6 TAHUN 2014 TENTANG DESA DI KABUPATEN SIDOARJO) ... 1 ...

Achmad Sjafi‟i dan Ni Made Ida Pratiwi

STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA MAKANAN KHAS BOGOR BERBASIS MASYARAKAT ... 16 Agustina Multi Purnomo

PERENCANAAN PEMBANGUNAN RESPONSIF GENDER ... 31 ...

Aji Ratna Kusuma

IMPLEMENTASI E-GOVERNMENT DALAM PELAYANAN PUBLIK (STUDI DI DISDUK CAPIL KOTA SAMARINDA) ... 52 Bambang Irawan

PERANAN PEMIMPIN PARTISIPATIF TERHADAP PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PADA KELOMPOK POSDAYA RUKUN MULYO ... 67 Betty Gama

OPTIMALISASI IMPLEMENTASI PROGRAM PERHUTANI DALAM PENGELOLAAN

HUTAN LINDUNG DI KABUPATEN WONOSOBO 81

Darmanto

IMPLEMENTASI MANAJEMEN PENGETAHUAN DALAM PENGELOLAAN ORGANISASI NIRLABA UNTUK MELAKUKAN KEGIATAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (Studi Pada Lembaga Amil Zakat Al Azhar Peduli Umat) 96 Irwa. R. Zarkasi

KOMITMEN PEMERINTAH KOTA LHOKSEUMAWE DALAM PENGEMBANGAN

POTENSI WISATA BERBASIS KEARIFAN LOKAL 108

(6)

REKONSTRUKSI KEBIJAKAN PEKERJA SEKTOR INFORMAL DI KOTA GORONTALO (Kajian Penyebab Mendasar dan Kebijakan Terhadap Pekerja Anak di Pasar Sentral Kota Gorontalo) ... 1171 Ismet Sulila

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KESEJAHTERAAN PEKERJA DALAM PELAKSANAAN SISTEM OUTSOURCING ... 1186 Fithriatus Shalihah

PENGEMBAGAN KEARIFAN LOKAL SEBAGAI MODEL DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN DI PASAR TRADISIONAL ... 1205 Farid Aulia

ANALISIS DESKRIPTIF PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL (PEL) DAN KAITANNYA DENGAN PENGEMBANGAN WILAYAH BERKELANJUTAN

... 1217 Mohammad Yusri

STRATEGI PROBLEM FOCUSED COPING ORANG TUA DALAM MENGHADAPI ANAK AUTISME. (Studi Kasus Pada Orang Tua Anak Autisme di Yayasan Pendidikan Anak Cacat Medan) ... 1234 Mujahiddin

(7)

STRATEGI PROBLEM FOCUSED COPING ORANG TUA DALAM

MENGHADAPI ANAK AUTISME.

(Studi Kasus Pada Orang Tua Anak Autisme Di Yayasan Pendidikan Anak

Cacat Medan)

seperti Inggris, Amerika Serikat dan Singapura juga terkena dampak peningkatan syndrome autis ini.. Di Indonesia pada tahun 2000 yang lalu diperkirakan terdapat kurang lebih 6.900 anak penyandang autis. Angka ini terus meningkat pada tahun 2015. Pada tahun ini pada tahun tahun 2015 diperkirakan 2,4 juta penduduk Indonesia telah mengidap autism dengan 112.000 diantaranya diprediksi diderita oleh anak-anak. Tidak mudah bagi setiap orang tua untuk dapat menerima kenyataan jika anak mereka mengidap autisme. Banyak orang tua pasti akan mengalami kebingungan, shock dan stress serta tidak jarang malah menimbulkan konflik di dalam keluarga yang terkadang berujung pada peceraian. Untuk dapat menjalankan fungsi tersebut dan membantu kesembuhan anak dari syndrome autisme maka orang tua harus dapat melakukan penyesuaian diri atau beradaptasi dengan masalah dan takanan yang mereka hadapi. Konsep untuk memecahkan permasalahan ini disebut dengan coping. Metode penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan informan yang berasal dari orang tua anak autisme yang bersekolah di Yayasan Pendidikan Anak Cacat (YPAC) Medan. Adapun teknik pengumpulan data menggunakan wawancara mendalam dan FDG dengan teknik analisis data menggunakan pendekatan kualitatif model interaktif sebagaimana yang diajukan oleh Miles dan Huberman yang terdiri atas tiga hal utama yaitu: Reduksi data, Penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah terdapat tiga langkah orang tua dalam melakukan coping. Pertama, mengurangi sumber stress yang dihasilkan dari perilaku anak dengan cara menasehati anak dan mengikut sertakan anak dalam aktivitas rumah tangga. Langkah kedua dengan melakukan aktivitas yang dapat mengurangi stress dengan cara mengunjungi tempat-tempat hiburan atau tempat pengajian. Langkah ketiga, mencari dukungan sosial dengan cara meminta nasihat kepada suami, orang tua dan orang-orang yang dianggap dekat dengan pribadi orang tua anak dengan kebutuhan autisme.

Kata kunci: autisme, orang tua dan PFC PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

(8)

memperkirakan, hingga akhir tahun lalu, pengidap autism mencapai 35 juta orang. (Tempo, 19 April 2015:21). Beberapa negara maju seperti Inggris, Amerika Serikat dan Singapura bahkan mengalami persoalan yang serius terkait perkembangan angka autism.

Di Inggiris misalnya, sekitar 695 ribu dari 63 juta orang mengidap autism. Jika dirata-ratakan maka 1 dari 100 orang di Inggris mengidap autism. Namun yang menarik, 15 persen dari penderita autism tersebut dapat bekerja di tengah masyarakat. Hampir sama dengan Inggris, Singapura yang dianggap sebagai negara maju di kawasan Asia Tenggara juga mengalami kasus yang serupa. Di mana 1 dari 100 orang di Singapura kini mengidap autism. Atau bisa dikatakan 50.000 orang dari total 5 juta penduduk di Singapura mengidap spectrum ini. Angka pengidap autism yang lebih tinggi juga terjadi di Amerika Serikat. Terdapat 3,5 juta orang Amerika Serikat yang mengidap autism. Dari 3,5 juta tersebut 30 ribu di antaranya adalah anak-anak. Data tersebut menunjukkan bahwa 1 dari 68 anak di Amerika Serikat mengidap autism saat lahir. (Tempo, 19 April 2015:21).

Perkembangan sinderom autism tidak hanya terjadi di negara-negara maju tersebut tetapi juga terjadi di negara berkembang seperti Indonesia. Pada tahun 2000 yang lalu diperkirakan terdapat kurang lebih 6.900 anak penyandang autis di Indonesia. Pada tahun yang sama Dr. Melly Budhiman seorang psikiater anak dan Ketua Yayasan Autis Indonesia, mengatakan bila sepuluh tahun yang lalu jumlah penyandang autis diperkirakan satu per 5.000 anak, saat ini meningkat menjadi satu per 500 anak. (http://kesos.unpad.ac.id/?p=552). Sedangkan Dr. Widodo pada tahun 2006, menyatakan bahwa diperkirakan jumlah anak autis di Indonesia dapat mencapai 150 - 200 ribu orang. Perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 2,6 - 4 : 1, namun anak perempuan yang terkena akan menunjukkan gejala yang lebih berat (http://www.ychicenter.org/index.). Kini, pada tahun tahun 2015 diperkirakan 2,4 juta penduduk Indonesia telah mengidap autism dengan 112.000 diantaranya diprediksi diderita oleh anak-anak. (Tempo, 19 April 2015:21).

(9)

masyarakat sebagai individu tidak otomatis merupakan masalah sosial. Masalah individu tersebut dapat menjadi masalah sosial jika kemudian berkembang menjadi isu sosial. Kini, perkembangan pengidap autism yang terus berkembang menjadikan autisme sebagai isu sosial di tengah masyarakat. Apalagi sampai saat ini pengetahuaan masyarakat –khususnya keluarga yang memiliki anak autisme –terkait persoalan anak autisme masih sangat minim. Tidak banyak orang tua yang mengetahui gejala awal anak mengidap autisme serta tidak banyak juga yang mengatahui tetang bagaimana cara penyembuhannya. Pengetahuan yang minim ini kemudian membuat masa depan anak autisme menjadi tidak pasti. Tercatat, saat ini diperkirakan 80% anak autisme menjadi penganguran pada saat usia 19-23 tahun.

Autis merupakan gangguan perkembangan yang mempengaruhi proses akuisisi keterampilan individu manusia dalam area; interaksi sosial, komunikasi dan imaginasi. Bila anak-anak „tipikal‟ mempelajari keterampilan tersebut secara natural, individu dengan autis memerlukan pengajaran yang eksplisit pada area-area tersebut. Gejala autis dapat sangat ringan (mild), sedang (moderate) hingga parah (severe) sehingga masyarakat mungkin tidak menyadari seluruh keberadaannya. Parah atau ringannya ganguan autis kemudian diparalelkan dengan keberfungsiannya sehingga sering dikatakan bahwa: anak dengan autis yang menunjukkan tingkat intelegensi dan kognitif rendah; tidak berbicara (nonverbal), menunjukkan perilaku menyakiti diri sendiri, serta sangat terbatasnya minat dan rutinitas yang dilakukan maka para penyandang dikategorikan sebagai low functioning. Sementara anak autis yang menunjukkan fungsi kognitif dan intelegensi yang baik; dapat menggunakan bahasa dan bicaranya serta menunjukkan kemampuan mengikuti rutinitas yang umum, dikatakan sebagai high functioning.

(10)

autisme. Padahal orang tua dalam hal ini keluarga memiliki fungsi yang nyata bagi kehidupan anak-anak di dalamnya, termasuk anak autis. William J. Goode sebagaimana dikutip oleh Soelaeman (2011:115) menyatakan fungsi keluarga meliputi; pengaturan seksual, reproduksi, sosialisasi, pemeliharaan, penetapan anak dalam masyarakat, pemuasaan kebutuhan sosial dan control sosial.

Fungsi pemeliharaan, fungsi penetapan anak dalam masyarkat dan fungsi pemuasan kebutuhan sosial adalah tiga fungsi utama yang harusnya dapat dimainkan oleh orang tua dalam membantu keberhasilan perkembangan anak autis yang mengalami masalah pada bidang komunikasi, interaksi dan imaginasi. Untuk dapat menjalankan ketiga fungsi tersebut dan membantu kesembuhan anak dari syndrome autisme maka orang tua harus dapat melakukan penyesuaian diri atau beradaptasi dengan masalah dan takanan yang mereka hadapi. Konsep untuk memecahkan permasalahan ini disebut dengan coping. Pengertian coping hampir sama dengan penyesuaian (adjustment). Hanya saja perbedaannya, penyesuaian mengandung pengartian yang lebih luas jika dibanidngkan dengan coping, yaitu semua reaksi terhadap tuntutan baik yang berasal dari lingkungan maupun yang berasal dari dalam diri seseorang. Sedangkan coping dikhususkan pada bagaimana seseorang mengatasi tuntutan yang menekan. (Rustiana dalam Wardani, 2009:28).

Terdapat empat tujuan dari coping yaitu; mempertahankan keseimbangan emosi, mempertahankan selfimage yang positif, mengurangi takanan lingkungan atau menyesuaikan diri terhadap kajian negatif dan tetap melanjutkan hubungan yang memuaskan dengan orang lain. (Taylor, Hapsari dkk, Wardani, 2009:29). Berbagai strategi coping dengan pendekatan kognitif dan behavioral (perilaku) telah banyak ditawarkan oleh para pakar untuk mengatasi stress. Lazarus & Folkman dalam Nevid (2003) mengelompokkan prilaku coping menjadi dua bentuk atau strategi, yaitu;

1. Problem Focused Coping (PFC) yaitu strategi yang digunakan untuk mengatasi situasi yang

menimbulkan stress. Strategi ini digunakan individu untuk memecahkan masalah yang dihadapi dengan cara mempelajari keterampilan baru. Strategi ini cenderung digunakan individu bila dirinya yakin akan dapat merubah situasi. (Cohen dalam el-Hakim; 2014:290). 2. Emotion Focused Coping (EFC) yaitu strategi untuk mengatasi emosi negative yang

(11)

oleh stressor (sumber steres), tanpa berusaha untuk mengubah suatu situasi yang menjadi sumber sters secara langsung.

Kemampuan orang tua melakukan coping –baik dalam bentuk PFC dan EFC –akan menentukan bagaimana sikap dan perilaku orang tua dalam menghadapi anak autisme. Namun pada penelitian ini, strategi coping yang akan dilihat hanya berfokus pada strategi coping dengan model Problem Focused Coping (PFC). Pemilihan model PFC ini di latar belakangi oleh keinginan untuk melihat bagaimana strategi yang digunakan oleh orang tua dalam mengatasi situasi stress yang ditimbulkan dari perilaku dan sikap anak autisme dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini penting untuk dilihat, sebab keberhasilan orang tua dalam mengatasi situasi yang menimbulkan stress dapat sangat berguna untuk membantu perkembang anak autisme pada masa-masa perawatan atau perobatan. Atas dasar hal tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan topic; Model Strategi Problem Focused Coping Orang Tua Dalam Menghadapi Anak Autisme. Studi Kasus Pada Orang Tua Anak Autisme di Yayasan Pendidikan Anak Cacat (YPAC) Medan.

B. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian merupakan sasaran utama yang ingin dicapai oleh seorang peneliti melalui kegiatan penelitian. Tanpa tujuan, kegiatan yang ingin dilaksanakan tidak akan mempunyai arah yang jelas. Maka berdasarkan rumusan malaha di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaiaman model strategi problem focused coping orang tua dalam menghadapi anak autisme.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Autisme

Pemakaian istilah autis kepada penderita diperkenalkan pertama kali oleh Leo Kenner, seorang psikiater dari Harvard (Kenner, Austistic Disturbance of Affective Contact) pada tahun 1943, berdasarkan pengamatan terhadap 11 penderita yang menunjukkan gejala kesulitan berhubungan dengan orang lain, mengisolasi diri, prilaku yang tidak biasa, dan cara berkomunikasi yang aneh (Huzaemah, 2010:2).

(12)

Komunikasi dan Interaksi

sosial

bermain, bahasa, perilaku, gangguan perasaan dan emosi, interaksi sosial, perasaan sosial, gangguan dalam perasaan sensoris, serta terbatasnya dan tingkah laku yang berulang-ulang (Huzaemah, 2010:5).

Gangguan dalam bidang interaksi sosial meliputi gangguan menolak atau menghindar untuk bertatap muka. Tidak menoleh bila dipanggil, sehingga sering diduga tuli. Merasa tidak senang atau menolak dipeluk. Bila menginginkan sesuatu ia akan menarik tangan orang yang terdekat dan berharap orang tersebut mau melakukan sesuatu untuknya. Ketika bermain ia selalu menjauh bila didekati (Huzaemah, 2010:9).

Gambar 1: Adanya saling keterikatan tiga gangguan pada anak autistik. Sumber: Yuwono (2009:27)

Gambar di atas menunjukan adanya saling keterikatan antara ketiga aspek. Jika prilaku bermasalah maka dua aspek interaksi sosial dan komunikasi dan bahasa akan mengalami kesulitan dalam berkembang. Sebaliknya jika kemampuan komunikasi dan bahasa anak tidak berkembang, maka anak akan kesulitan dalam mengembangkan prilaku dan interaksi sosial yang bermakna. Demikian pula jika anak memiliki kesulitan dalam berinteraksi sosial. Implikasi terhadap penanganannya atas pemahaman ini adalah penanganan yang bersifat intergrate (keterpaduan) karena sifat masalah anak autistik yang tidak dikotomis (Yuwono, 2009:27).

2. Penyebab Autis

Pandangan tentang terjadinya autisme sampai sekarang masih menjadi perdebatan yang panjang diantara para pakar autisme. Meskipun secara umum ada kesepakatan di dalam lapangan yang membuktikan adanya keragaman tingkat penyebabnya. Pertama; termasuk bersifat genetik

(13)

metabolik, dan gangguan syaraf pusat, infeksi pada masa hamil (rumbella), gangguan pencernaan hingga kerancuan logam berat. Kedua; Selain faktor-faktor di atas, ada juga dugaan bahwa anak dengan autisme disebabkan oleh faktor dari lingkungan misalnya pada saat vaccinations. Hal ini terjadi berdasarkan laporan yang diberikan oleh pihak orang tua yang mengatakan anaknya mengalami perubahan yang kurang menguntungkan setelah diberikan vacctinations. Mereka mengaku bahwa cirri-ciri anak dengan autisme muncul setelah anak mereka diberikan vacctinations, tetapi ada juga beberapa orang tua yang mengatakan anaknya tetap nampak

“normal” perkembangannya walaupun sudah diberikan vacctinations (Yuwono 2009:32).

Ketiga; Dugaan lain yang muncul dari penyebab autisme adalah prilaku ibu pada masa hamil yang sering mengkonsumsi seefood di mana jenis makanan ini banyak mengandung mercury yang sangat tinggi karena adanya pencemaran air laut akibat dari industri-industri yang membuang limbahnya ke laut. Selain itu pada masa hamil ibu juga mengalami kekurangan mineral yang penting seperti zinc, magnesium, iodine, lithium, and potassium. Pasticides dan racun yang berasal dari lingkungan lainnya dan masih banyak faktor-faktor dari lingkungan yang belum diketahui dengan pasti (Yuwono, 2009:33).

Hal ini diperparah lagi ketika anak dengan autisme terus dibiarakan dengan keasikan terhadap dirinya sendiri, seperti beby sister/orang tua yang tidak memberikan perhatian kepada anak, dengan mengajaknya bermain ataupun berbicara. Maka sindrom autisme yang sudah ada akan dapat berkembang dengan cepat pada prilaku anak. Sehingga orang tua kembali lagi diharapkan mampu menditeksi masalah anak sejak usia dini agar dapat mempermudahkan dalam mengatasi masalah yang muncul.

3. Perilaku Anak Autis

(14)

4. Jenis Problem Focused Coping (PFC)

Menurut Bishop jenis-jenis problem-focused coping adalah: pertama, Active coping (koping aktif), yaitu mengambil langkah aktif untuk memindahkan atau menghilangkan sumber stress atau mengurangi akibatnya. Kedua, Planning (perencanaan), yaitu berusaha membuat rencana atau tindakan yang harus dilakukan dalam menghadapi masalah serta memikirkan tentang bagaimana mengatasi sumber stress. Ketiga, Suppression of comnpeting activities (penekanan pada aktivitas utama), yaitu usaha individu untuk membatasi ruang gerak atau mengesampingkan aktivitas lain yang tidak berhubungan dengan masalah, untuk menghadapi sumber stress atau tantangan maupun ancaman yang sedang di hadapi. Keempat, Restrain coping (penguasaan diri), yaitu berusaha mengontrol atau mengendalikan tindakan sampai menunggu kesempatan yang tepat untuk bertindak. Kelima, Seeking social support for instrumental reasons (mencari dukungan sosial), yaitu berusaha mencari nasehat, bantuan. (el-Hakim, 2014:293). Sementara itu Sarafino mengatakan bahwa jenis-jenis problem-focused coping yaitu: Pertama, Planful problem-solving, yaitu menganalisis situasis untuk mencapai solusi atas permasalahan

dan kemudian mengambil tindakan langsung untuk mengatasi masalah. Kedua, Confrontative coping, yaitu usaha yang dilakukan untuk menghadapi masalah secara tenang, rasional dan

mengarah pada penyelesaian masalah. Ketiga, Seeking social-support, yaitu mencoba untuk memperoleh informasi atau dukungan emosional. (el-Hakim, 2014:293).

Berbeda dengan kedua ahli di atas, Lazarus & Folkman dalam Wardani (2009) membagi jenis problem focus coping ke dalam tiga bentuk strategi yaitu; pertama; Exercised Caution (Cautiousness) yaitu individu berpikir dan mempertimbangkan beberapa alternatif pemecahan

masalah yang tersedia, meminta pendapat orang lain, berhati-hati dalam memutuskan masalah serta mengevaluasi strategi yang pernah dilakukan sebelumnya. Kedua; Instrumental Action, yaitu tindakan individu yang diarahkan pada penyelesaian masalah secara langsung, serta menyusun langkah yang akan dilakukannya. Ketiga Negotiation (Negosiasi) yaitu merupakan beberapa usaha oleh seseorang yang ditujukan kepada orang lain yang terlibat atau merupakan penyebab masalahnya untuk ikut menyelesaikan masalah.

(15)

(fokus) respon sedangkan sebagian besar hanya mendasarkan pada bentuk respon dalam pengklasifikasian tersebut

Dari beberapa penjelasan di atas, maka strategi problem focus coping yang akan dipakai pada penelitian ini dapat dirumuskan kedalam beberapa tahap. Tahap-tahap tersebut adalah sebagai berikut; pertama, active coping yaitu bentuk langkah pertama yang dilakukan oleh orang tua untuk memindahkan atau menghilangkan sumber stress. Bentuk langkah aktif tersebut adalah membuat perencanaan. Perencanaan atau planning merupakan tahap kedua yang akan dilalui. Tahap ini adalah tahap di mana orang tua membuat rencana atau tindakan yang harus dilakukan dalam menghadapi masalah serta memikirkan tentang bagaimana mengatasi sumber stress yang ada. Tahap ketiga Instrumental Action adalah menjalankan perencanaan yang meliputi; restrain coping (penguasaan diri), Suppression of comnpeting activities (penekanan pada aktivitas

utama), dan Confrontative coping (pengatasan masalah dengan tenang). Dan Tahap keempat adalah Seeking social support for instrumental reasons yaitu tahap untuk mencari dukungan sosial yang meliputi; mencari informasi, meminta nasehat dan negosiasi.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu berusaha mengungkapkan kajian, tentang model strategi problem focused coping orang tua dalam menghadapi anak autisme. Hal ini seperti dikemukakan oleh Bogdan dan Taylor (dalam Kaylan: 2012) bahwa metode penelitian kualitatif adalah sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata, catatan-catatan yang berhubungan dengan makna, nilai serta pengertian.

A. Subjek Penelitian

Istilah lain yang digunakan untuk menyebut subjek penelitian adalah informant dan key informant. Hal ini mengacu pada apa yang dituliskan oleh Idrus (2009) tentang karakteristik

penelitian kualitatif. Dalam menentukan informant, asumsi yang dikedepankan adalah bahwa seorang informant adalah seseorang yang dianggap paling tahu tentang dirinya dan tentang objek penelitian yang akan diteliti oleh si peneliti. Sehingga peneliti dapat menggali objek yang diteliti pada informannya (Idrus, 2009).

(16)

dijelaskan oleh Sugiyono (2010), purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan tertentu ini, misalnya orang tersebut yang dianggap paling tahu tentang apa yang kita harapkan, atau mungkin dia sebagai penguasa sehingga akan memudahkan peneliti menjelajahi objek/situasi sosial yang diteliti.

B. Teknik Pengumpulan Data

Data dalam penelitian ini dikumpulkan dengan dua cara yaitu: pertama, data skunder dikumpulkan dari berbagai buku-buku, jurnal, laporan penelitian dan blog. Kedua, data primer dikumpulkan melalui wawancara mendalam.

C. Teknik Analisis Data

Data yang telah dikumpulkan akan dianalisis dengan pendekatan kualitatif model interaktif sebagaimana yang diajukan oleh Miles dan Huberman, yang terdiri dari tiga hal utama yaitu: Reduksi data, Penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi, sebagai suatu hal yang jalin-menjalin pada saat sebelum, selama, dan sesudah pengumpulan data dalam bentuk yang sejajar, untuk membangun wawasan umum yang disebut analisis (Idrus, 2009).

HASIL TEMUAN DAN PEMBAHASAN

Tidak mudah bagi orang tua untuk mengetahui apakah anaknya menderita autisme atau tidak. Hal ini dikarenakan minimnya pengetahuan dan informasi yang diperoleh orang tua tentang gejala autisme. Keganjilan pertumbuhan anak dalam bidang interkasi sosial, perilaku dan komunikasi (berbahasa) yang dinilai sangat lambat membuat orang tua harus membawa anak mereka untuk diperiksa ke dokter atau psikolog. Meski telah diperiksa oleh dokter atau psikolog dan dinyatakan anak menderita autisme tidak banyak juga orang tua yang sangup untuk menerima hasil tes tersebut. Bahkan terkadang orang tua malah tidak percaya dengan diagnosa yang diberikan oleh dokter atau psikolog.

(17)

tidak percaya dan kerena sampai usia empat tahun Rifki tidak mengalami perubahan apapun, Eva baru percaya dan mulai mengikutkan Rifki terapi untuk anak autisme.

Tidak hanya Eva yang mengalami hal tersebut, Nur Hayani Lubis, Ibu dari Arif juga mengalami hal yang sama. Bahkan Nur sendiri mengaku bahwa dirinya mulai mengetahui Arif menderita autisme pada usia lima tahun. Awalnya, menurut Nur, Arif hanya didiagnosis dokter sebagai anak yang hiperaktif dan disarankan untuk sekolah di SLB namun saran dokter tersebut tidak diikuti oleh Nur. Nur menjelaskan, Arif mulai mengikuti program terapi dan di sekolah di YPAC setelah umur 10 tahun. Dampak yang dirasakan oleh Nur kemudian adalah proses penyebuhan Arif semakin terasa berat sebab Arif telah melawati masa keemasan atau golden age.

Kondisi yang diderita oleh Arif dan Rifki ini tentunya membuat kedua orang tua mereka mengalami stress. Eva mencerita dirinya sempat shok dan mengurung diri di kamar karena mengetahui anaknya Rifki menderita syndrome autisme. Sedangkan Nur Hayani mengakui dirinya sempat stress dan jatuh sakit ketika mengetahui anaknya Arif menderita syndrome autis. Stress tersebut menurutnya muncul karena rasa sedih ketika melihat banyak anak lain normal sedangkan anaknya sendiri mengalami syndrome autisme.

Begitupun, untuk dapat mengurangi rasa stress yang muncul dari perilaku anak mereka yang menderita syndrome autisme, kedua orang tua ini melakukan berbagai strategi untuk dapat mengontrol, menguasai dan mencegah stress yang selalu hadir setiap saat. Strategi itu kemudian kita sebut dengan istilah problem focused coping. Ada beberapa strategi problem focused coping yang dilakukan oleh kedua orang tua ini untuk dapat mengkontrol, menguasai dan mencegah stress yaitu:

1. Mengurangi sumber stress yang dihasilkan dari perilaku anak.

(18)

Nur, perilaku hiperaktif Arif bisa berkurang, meski setelah kegiatan itu usai perliku hiperaktif Arif kembali berlangsung.

Berbeda dengan Nur, Eva orang tua dari Rifki mengaku hanya bisa pasrah setiap kali melihat perilaku hiperaktif anaknya berlangsung. Sikap pasrah itu dilakukan dengan cara istifar dan berdoa di dalam hati. Dengan cara seperti ini Eva merasa tekanan stressnya berkurang. Selain sikap pasrah, Eva juga sering menasehati Rifki agar tidak bandal dan lasak. Pada Prinsipnya, Eva tidak ingin untuk menyalahkan Rifki sebab baginya Rifki tidak mengetahui apa-apa. Yang terpenting menurutnya adalah peranan aktif ia dan suaminya untuk mendidik Rifki.

2. Aktivitas Yang Dilakukan Untuk Mengurangi Stress

Beberapa aktivitas yang dilakukan oleh Eva untuk mengurangi stress yang muncul dari perilaku Rifki adalah pergi ketempat hiburan bersama ibu-ibu lainya yang juga memiliki anak dengan disabilitas. Tempat hiburan yang biasa dikunjungi oleh Eva bersama teman-temannya adalah mall dan tempat karoke keluarga. Selain pergi ketempat hiburan, Eva mengakui sering pergi ke pengajian untuk mendengarkan ceramah agama dari ustad. Sekali-kali Eva juga berkonsultasi dan bertukar pikiran dengan ustad yang ada. Hal ini dilakukan Eva untuk dapat menambah semangat dan motivasi bagi dirinya untuk tetap bisa sabar dalam menghadapi perilaku Rifki.

Berbeda dengan Eva, Nur orang tua Arif mengatakan aktivitas yang dilakukannya untuk dapat mengurangi stress adalah mengikuti saran yang diberikan oleh guru Arif dengan tetap memberikan pelatihan kepada Arif di rumah. Misalnya melatih Arif untuk memasukkan guli ke dalam botol dan mengajarinya untuk mengancing bajunya sendiri. Hal ini dilakukan untuk melatih konsentrasi Arif dan mengurangi tindakan hiperaktifnya. Selain itu, Nur juga menceritakan untuk mengurangi stress yang muncul, ia juga menyempatkan pergi ke tempat-tempat hiburan seperti mall. Namun, selama pergi ke mall, Nur tetap membawa Arif untuk ikut bersamanya. Tidak jarang ia malah membawa Arif untuk bermain di arena permainan yang ada di mall seperti tempat mandi bola dan lain sebagainya. Bagi Nur, melihat Arif gembira adalah satu kebahagiaan yang dapat mengurangi stress yang ada pada dirinya.

(19)

3. Usaha Mencari Dukungan Sosial

Selain melakukan aktivitas yang bersifat menghibur diri, kedua ibu dari Arif dan Rifki ini juga mencari dukungan sosial agar tetap dapat sabar dan tabah menghadapi perilaku dari anak-anak mereka. Dukungan sosial tersebut biasanya datang dari keluarga inti seperti suami dan keluarga batih seperti ayah, ibu, dan saudara kandung. Bentuk dukungan sosial yang didapatkan biasanya berupa nasehat dan anjuran-anjuran untuk tetap bisa sabar.

Pemberian nasehat tersebut menurut Nur sangat berpengaruh terhadap penurunan beban stress yang sedang ia hadapi. Bahkan menurutnya, hampir setiap saat ia meminta nasehat dari suami dan orang tuanya. Tidak berbeda jauh dengan Nur, hal senada juga disampaikan oleh Eva. Eva mengakui bahwa nasihat dari orang tuanya, mertua dan suami menjadi penting untuk menambah semangatnya membesarkan Rifki. Selain meminta saran dari keluarga, Eva juga sering berkonsultasi dengan ustad yang ada dipengajiannya. Hal ini dilakukan Eva karena merasa percaya kepada orang-orang tersebut.

Dari uraian di atas tampak bagaimana strategi problem focused coping yang dilakukan kedua orang tua tersebut dalam menghadapi anak mereka yang mengalami syndrome autisme dengan tipikal hiperaktif. Strategi yang dilakukan tersebut setidaknya dapat mengurangi tingkat stress yang mereka alami. Meski-pun pada kenyataannya rasa stress itu tetap ada selama anak mereka belum benar-benar sembuh dari syndrome atusime.

SIMPULAN

(20)

DAFTAR PUSTAKA

Desi Sulistyo Wardani. (2009). Strategi Coping Orang Tua Menghadapi Anak Autis. Indigenous; Jurnal Ilmiah Berkala Psikologi Vol. 11, No. 1, Mei 2009 : 26-35.

El-Hakim, Luqman. (2014). Fenomena Pacaran Dunia Remaja; Fakta, Data Masalah dan Solusi. Pekan Baru: Zanafa Publishing.

Firdaus, K. 2004. Distress dan Perilaku Koping pada Perawat RSU. Skripsi. Surakarta: Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Hapsari, RA., Karyani,U., Taufik. (2002). Perjuangan Hidup Pengungsi Kerusuhan Etnis (Studi Kasus tentang Perilaku Coping pada Pengungsi di Madura). Indegenous Jurnal Ilmiah Berkala Psikologi. Vol 6. No: 2. 122-129.

Huzaemah, (2010), Kenali Autis Sejak Dini, Pustaka Populer Obor, Jakarta.

Indirawati, Emma. (2006). Hubungan Antara Kematangan Beragama Dengan Kecenderungan Strategi Coping. Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 2, Desember 2006 Idrus, Muhammad. (2009). Metode Penelitian Ilmu Sosial; Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif.

(Edisi Kedua). Jakarta: Penerbit Erlangga.

Kaelan, M.S, (2012). Metode Penelitian Kualitatif Interdisipliner bidang Sosial, Budaya, Filsafat, Seni, Agama dan Humaniora. Yogyakarta: Penerbit Paradigma.

Lestari, Dwi Winda. (2014). Penerimaan Diri Dan Strategi Coping Pada Remaja Korban Perceraian Orang Tua. eJournal Psikologi, 2014, 2 (1): 1-13. fisip-unmul.org

Majalah Tempo, 19 April 2015. Hlm 21.

Nevid, Jeffrey S., Spencer A. Rathus, Beverly Greene. (2003) Psikologi Abnormal. Ed. Kelima. Jilid 1. Jakarta: PT Glora Aksara pratama.

Soelaeman, M. Munandar. (2011). Ilmu Sosial Dasar; Teori dan Konsep Ilmu Sosial. Bandung: Reflika Aditama.

Soetomo. (2008). Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Penerbit

Alfabeta.

Sulistiadi, Ricky dkk. (2007). Stres Dan Coping Stres Pedagang Pasar Tanah Abang Lama Terhadap Kebijakan Pemerintah Dalam Perelokasian Pasar. HUMANITAS, Vol.4 No.2 Agustus 2007. Jakarta: Universitas Gunadarma.

Yuwono Joko, (2009), Memahami Anak Autistik Kajian Teoritik dan Empirik, Alfabeta, Bandung.

(21)

Gambar

Gambar 1:  Adanya saling keterikatan tiga gangguan pada anak autistik. Sumber: Yuwono (2009:27)

Referensi

Dokumen terkait

The exploitations are done to mislead the hearers or to get good political bargaining position and to obey the quantity maxim and politeness principle. The exploitations are also

Identitas merek adalah variabel yag berpengaruh terhadap keputusan pembelian sehingga batik sari kenongo harus lebih gencar melakukan promosi atau membuka outlet di

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat tingkat ekonomi dengan angka kejadian TB paru BTA positif.. Persamaan penelitian tersebut

menerima informasi yang dicari tentang fakta dan keadaan yang ada pada tanggal akuisisi atau mempelajari bahwa informasi lebih tidak dapat diperoleh.  Periode pengukuran tidak

4) Catatan akuntansi yang digunakan dalam sistem pengadaan kendaraan dinas dengan mekanisme pelelangan di Kabupaten Karanganyar antara lain register SPP-LS,

LOKASI SD NEGERI MARGOYASAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA Alamat : Jalan Taman Siswa No. Memperoleh bantuan tenaga, ilmu dan pemikiran dalam rangka penyiapan generasi muda

Imam Basuki 32 Nanang Suryana 33 Amran Nangasan 34 Azwir Arifin 35 Kornat Rumapea 36 Kukuh Prio Sembodo 37 Prio Kusdianto 38 Arya Bagiastra 39 Rarindra Mulia. 40 I Dewa Putu

[r]