STUDI DESKRIPTIF STRATEGI COPING ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK TUNAGRAHITA
Theresia Prajna Paramita
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui strategi coping stress para orang tua yang memiliki anak tunagrahita.Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian deskriptif. Subjek dalam penelitian ini adalah semua orang tua yang memiliki anak tunagrahita bersekolah di SLB Negeri Jembrana sebanyak 44 orang.Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah metode survei dengan menggunakan Skala Strategi Coping yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwaStrategi coping orang tua yang memiliki anak tunagrahita berdasarkan problem focused coping diperoleh 29 subjek (65,9%) dan emotion focused coping diperoleh 15 subjek (34,1%). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan strategi problem focused coping pada orang tua yang memiliki anak tunagrahita lebih tinggi daripada strategi emotion focused coping.
DESCRIPTIVE STUDY OF COPING STRATEGIES PARENTS WHO HAVE CHILDREN WITH MENTAL RETARDATION
Theresia Prajna Paramita
ABSTRACT
This study aims to determine the stress coping strategies of parents who have children with mental retardation. This study was included in the descriptive study. Subjects in this study were all parents who have children with mental retardation attending Jembrana extraordinary school many as 44 people. The sampling technique used in this research is purposive sampling. Data collection method in this research is the survey method using a Scale Coping Strategies that have been tested for validity and reliability. Data analysis technique used is descriptive technique. The results showed that the coping strategies of parents who have children with mental retardation based problem focused coping obtained 29 subjects (65.9%) and emotion focused coping was obtained 15 subjects (34.1%). Results of this study indicate that the use of problem focused coping strategies to parents who have children with mental retardation higher than emotion focused coping strategies.
STUDI DESKRIPTIF STRATEGI COPING
ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK TUNAGRAHITA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi)
Program Studi Ilmu Psikologi
Oleh:
Theresia Prajna Paramita NIM : 089114004
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI, JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
iv
Tuhan adalah kekuatanku dan perisaiku; kepada-Nya hatiku
percaya.
Aku tertolong sebab itu beria-ria hatiku,
dan dengan nyanyianku aku bersyukur kepada-Nya
(Mazmur 28:7)
Karya ini kupersembahkan untuk;
Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria atas segala kuasa dan berkatNya
Bapak dan Ibu yang selalu mendoakan dan mendukung setiap langkah hidupku;
vi
STUDI DESKRIPTIF STRATEGI COPING ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK TUNAGRAHITA
Theresia Prajna Paramita
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui strategi coping stress para orang tua yang memiliki anak tunagrahita. Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian deskriptif. Subjek dalam penelitian ini adalah semua orang tua yang memiliki anak tunagrahita bersekolah di SLB Negeri Jembrana sebanyak 44 orang. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah metode survei dengan menggunakan Skala Strategi Coping yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Strategi coping orang tua yang memiliki anak tunagrahita berdasarkan problem focused coping diperoleh 29 subjek (65,9%) dan emotion focused coping diperoleh 15 subjek (34,1%). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan strategi problem focused coping pada orang tua yang memiliki anak tunagrahita lebih tinggi daripada strategi emotion focused coping.
vii
DESCRIPTIVE STUDY OF COPING STRATEGIES PARENTS WHO HAVE CHILDREN WITH MENTAL RETARDATION
Theresia Prajna Paramita
ABSTRACT
This study aims to determine the stress coping strategies of parents who have children with mental retardation. This study was included in the descriptive study. Subjects in this study were all parents who have children with mental retardation attending Jembrana extraordinary school many as 44 people. The sampling technique used in this research is purposive sampling. Data collection method in this research is the survey method using a Scale Coping Strategies that have been tested for validity and reliability. Data analysis technique used is descriptive technique. The results showed that the coping strategies of parents who have children with mental retardation based problem focused coping obtained 29 subjects (65.9%) and emotion focused coping was obtained 15 subjects (34.1%). Results of this study indicate that the use of problem focused coping strategies to parents who have children with mental retardation higher than emotion focused coping strategies.
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis limpahkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, yang
telah memberikan berkat dan kekuatan selama proses pengerjaan skripsi, sehingga
dapat diselesaikan dengan baik. Selain berkat melimpah yang selalu
diberikanNya, karya ini tentunya tidak lepas dari dukungan dan bantuan banyak
pihak. Seluruh karya ini mewakili ucapan terimakasih penulis yang teramat dalam
kepada:
1. Bapak Dr. Tarsisius Priyo Widiyanto, M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma
2. Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi, yang telah membimbing, mengarahkan, menyediakan waktu dan banyak memberi
masukan berharga dari awal hingga akhir penulisan skripsi ini
3. Alm. Ibu Dr. Christina Siwi Handayani sebagai pembimbing akademik, terimakasih atas waktu, tenaga, emosi dan semangat berjuang yang
diluangkan dan dibagikan kepada saya sehingga penulis merasa pantang
menyerah.
4. Segenap Dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, yang dengan kebijaksanaannya membagikan ilmu mereka kepada saya.
5. Seluruh staff dan karyawan Fakultas Psikologi, Mas Gandung, Ibu Nanik, Mas Doni, Mas Muji dan Pak Gie.
6. Para orang tua dari anak-anak tunagrahita yang bersedia meluangkan waktu menjadi subjek dalam penelitian ini
7. Bapak dan Ibu yang selalu mendoakan dan mendukung melalui kasih sayang yang kalian berikan
8. Adik Widya dan Kakak-kakak sepupu tercinta beserta pasangan masing-masing, terimakasih atas motivasi melalui ejekan kalian dan terimakasih
x
9. Seluruh keluarga dan kerabat yang ikut mendukung dan mendoakan, semoga dengan selesainya karya ini kalian merasa lega dan bangga padaku.
10. Austin Nealey, thank you being a good big brother for me
11. Alexander Lukas Songgo Wening, terimakasih karena setia menemaniku dan membuat hari-hari menjadi berwarna
12. Teman-teman Psikologi 2008 kelas A atas segala kisah dan perjuangan yang kita lalui bersama
13. Para Romo yang selalu mendoakan dan rajin menanyakan perkembangan kuliahku. Terimakasih Romo Agus, Romo Deny, dan Romo Yomi, Romo
Frans, dan Romo yang paling ku kasihi sejak aku kecil, Romo Yoseph.
14. Sahabat-sahabat yang rela meluangkan waktu menghibur dan membantu mengusir jenuhku, Inem, Kokom, Ayuk Ian + Acel. Terimakasih masih mau
menggila bersamaku.
15. Rina, Meili, Tiwi, Irina Tasya, Nopai, Henri, terimakasih atas bantuan dan pencerahan selama aku menyelesaikan skripsi
16. Oshin, teman seperjuangan di detik terakhir. Terimakasih atas kebersamaan kita dan semangat berjuang serta cerita-cerita yang seru disela-sela
perjuangan.
17. Nona dan Melinda, terimakasih atas dukungan dari kalian. I am nothing without you guys
18. Pratama Hardi Ifanto, terimakasih atas dukungan dan doa yang sempat diberikan untukku.
19. Anak-anak kos; Yuyun, Rintan, Mega, dan Maya. Terimakasih atas kegilaan kalian selama dikosan, sebagai hiburan disela jenuhku dan kebersamaan kita
yang tidak terlupakan.
20. Hilda, Ika, Inggar, Vitri, Sandhy, Tinus, Momon, Datia terimakasih atas dukungan kalian melalui bbm dan whatsapp. Walaupun kita jauh, kita tetap
dekat di hati. I love you, guys
xi
Penulis menyadari bahwa karya ini masih belum sempurna. Segala
kekurangan, ketidaktelitian, dan kekeliruan karya ini menjadi tanggung jawab
penulis. Dengan rendah hati, penulis menerima saran dan kritik.
Yogyakarta, 21 Mei 2015
Theresia Prajna Paramita
xii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……….. i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING……….. ii
HALAMAN PENGESAHAN……….. iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ……….. iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………. v
ABSTRAK……….. vi
ABSTRACT………. vii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS……… viii
KATA PENGANTAR……… ix
DAFTAR ISI……….. xii
DAFTAR TABEL……….. xv
BAB I PENDAHULUAN………. 1
A. Latar Belakang ……….. 1
B. Rumusan Masalah ………. 8
C. Tujuan Penelitian ……… 8
D. Manfaat Penelitian ………. 8
1. Manfaat Teoritis ……….. 8
2. Manfaat Praktis ……… 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA……… 10
xiii
1. Pengertian Anak Tunagrahita ………... 10
2. Klasifikasi Anak Tunagrahita ………... 12
3. Etiologi Anak Tunagrahita ………... 14
4. Perkembangan Fisik Anak Tunagrahita ………... 14
5. Perkembangan Kognitif Anak Tunagrahita ……….. 15
6. Kemampuan Bahasa dan Bicara Anak Tunagrahita ………. 16
7. Penyesuaian Sosial Anak Tunagrahita ……….. 17
B. Orang Tua dengan Anak Berkebutuhan Khusus ……….. 18
C. Strategi Coping ………. 22
1. Pengertian Coping ………. 22
2. Strategi Coping ……….. 23
3. Bentuk Coping ……….. 24
D. Dinamika Strategi Coping Orang Tua yang Memiliki Anak Tunagrahita ……….. 30
E. Pertanyaan Penelitian ……… 33
SKEMA STRATEGI COPING ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK TUNAGRAHITA……….. 34
BAB III METODOLOGI PENELITIAN……... 35
A. Jenis Penelitian ………. 35
B. Identifikasi Variabel Penelitian ……… 35
C. Definisi Operasional Variabel Penelitian ………. 35
D. Subjek Penelitian ……….. 36
E. Metode Pengumpulan Data ……….. 36
1. Metode Pengumpulan Data ………... 36
2. Skoring ……….. 37
F. Validitas, Reliabilitas, dan Analisis Item ………. 38
1. Validitas ………. 38
2. Reliabilitas ………. 39
xiv
G. Metode Analisis Data ……… 41
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……… 43
A. Orientasi Kancah Penelitian ………. 43
B. Persiapan Penelitian ……….. 43
C. Pelaksanaan Penelitian ……….. 44
D. Deskripsi Subjek Penelitian ……….. 44
E. Deskripsi Hasil Penelitian ………. 46
1. Data Mean Strategi Coping ……… 46
2. Persentasi Penggunaan Strategi Coping ………. 48
F. Pembahasan ………... 48
1. Penggunaan Strategi Coping ……….. 49
a. Penggunaan Problem Focused Coping ………... 49
b. Penggunaan Emotion Focused Coping ……… 49
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………. 51
A. Kesimpulan ………... 51
B. Saran ………. 51
1. Bagi Orang Tua yang Memiliki Anak Tunagrahita ………... 51
2. Berkaitan dengan Kelanjutan Penelitian ……… 52
DAFTAR PUSTAKA………. 53
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Blueprint Skala Strategi Coping ……… 37
Tabel 2 Skor Skala Strategi Coping ……… 37
Tabel 3 Blueprint Skala Strategi Coping Setelah Uji Coba ……… 41
Tabel 4 Deskripsi Data Subjek Berdasarkan Usia ……….. 45
Tabel 5 Deskripsi Data Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin ……… 45
Tabel 6 Deskripsi Data Mean Strategi Coping ……… 46
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak merupakan bagian dari keluarga, dan keluarga memberi
kesempatan bagi anak untuk belajar tingkah laku yang penting untuk
perkembangan yang cukup baik dalam kehidupan bersama (Haditono, dalam
Damayanti 1992). Kehadiran seorang anak memberikan arti bagi para orang
tua untuk berjuang hidup. Namun anak yang lahir di dunia tidak semua lahir
dengan sempurna dan mampu berkembang secara normal. Beberapa dari
mereka yang lahir mengalami hambatan, gangguan, kelambatan, atau
memiliki faktor risiko sehingga untuk mencapai perkembangan optimal
diperlukan penangan atau intervensi khusus. Anak yang tidak mengalami
perkembangan normal dikenal sebagai anak berkebutuhan khusus. Anak
berkebutuhan khusus adalah anak-anak yang mengalami penyimpangan,
kelainan atau ketunaan dalam segi fisik, mental, emosi dan sosial, atau dari
gabungan dari hal-hal tersebut sedemikian rupa sehingga mereka
memerlukan pelayanan pendidikan yang khusus yang disesuaikan dengan
penyimpangan, kelainan, atau ketunaan mereka (Sumekar, 2009). Menurut
Heward dan Orlansky (1992), anak berkebutuhan khusus adalah anak-anak
yang memiliki atribut fisik dan/atau kemampuan belajar yang berbeda dari
anak normal, baik diatas atau dibawah, sehingga membutuhkan program
Salah satu kategori anak berkebutuhan khusus adalah anak
tunagrahita. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (1993)
mendefinisikan tunagrahita adalah suatu keadaan perkembangan mental
yang terhenti atau tidak lengkap, terutama ditandai oleh keterampilan
selama masa perkembangan, sehingga berpengaruh pada tingkat inteligensi
yaitu kemampuan kognitif, bahasa, motorik dan sosial. Pendapat lain
mengenai tunagrahita adalah istilah yang digunakan untuk menyebut anak
yang mempunyai kemampuan intelektual dibawah rata-rata. Anak
tunagrahita atau dikenal juga dengan istilah terbelakang mental karena
keterbatasan kecerdasannya mengakibatkan dirinya sukar untuk mengikuti
program pendidikan disekolah biasa secara klasikal, oleh karena itu anak
terbelakang mental membutuhkan layanan pendidikan secara khusus yakni
disesuaikan dengan kemampuan anak tersebut (Somantri,2006).
Pada penelitian ini, peneliti fokus pada anak tunagrahita, karena anak
tunagrahita lebih menimbulkan resiko yang berat bagi orang tua. Somantri
(2006) mengatakan bahwa orang yang paling banyak menanggung beban
akibat ketunagrahitaan adalah orang tua dan keluarga anak tersebut, oleh
sebab itu dikatakan bahwa penanganan anak tunagrahita merupakan risiko
psikiatri keluarga. Oleh karena itu, orang tua dengan anak tunagrahita ini
memiliki tanggung jawab tersendiri dalam mendidik dan mengasuh.
Dari penjelasan diatas, anak berkebutuhan khusus tunagrahita
memiliki hambatan atau keterbatasan dalam inteligensi, keterbatasan sosial,
tunagrahita ini juga sebagai sumber stress bagi para orang tua. Perubahan
yang dialami oleh anggota keluarga dengan tunagrahita terutama dalam hal
pemenuhan kebutuhan sehari-hari merupakan suatu kondisi yang perlu
dipahami dan mendapat perhatian dari lingkungan dalam hal ini keluarga
karena dengan perubahan yang dihadapinya mereka perlu penyesuaian diri
(Friedman,1998).
Berbagai hal mengenai tanggung jawab tersebut dapat menjadi beban
bagi orang tua karena mereka memiliki pekerjaan ekstra yang melampaui
apa yang seharusnya bisa mereka lakukan. Hadirnya tanggung jawab yang
lebih kompleks membuat orang tua anak berkebutuhan khusus mengalami
masalah lebih besar daripada orang tua dengan anak normal, sehingga
menimbulkan stress pada orang tua. Peterson dan Hawley (dalam Witt,
2005) menyatakan bahwa menjadi orang tua sudah merupakan situasi yang
menimbulkan stress, terlebih orang tua dengan anak berkebutuhan khusus.
Hal ini dapat membuat orang tua mengalami stress yang berlebihan. Stress
tidak terlepas dari kehidupan, maka dari itu harus dilakukan upaya
penyesuaian diri atau adaptasi.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Triana dan Andriany (2010)
menunjukkan bahwa orang tua yang memiliki anak tunagrahita menghadapi
beberapa masalah yang menjadi sumber stress atau stressor. Masalah yang
dihadapi yaitu pengorbanan waktu, finansial, kesulitan menegakkan
kedisiplinan, stigma masyarakat, pertumbuhan anak yang lambat dan
oleh keluarga dengan anak tunagrahita tentu menimbulkan stress sehingga
harus diimbangi dengan mekanisme coping tersendiri agar orang tua dapat
mengatasi beban dan stress yang dihadapi.
Upaya adaptasi terhadap stress adalah strategi coping stress
(White,1974 dalam Sussman & Stenmetz, 1988). Kata coping sendiri
berasal dari kata cope yang dapat diartikan sebagai menghadapi, melawan,
ataupun mengatasi, walaupun demikian belum ada istilah dalam bahasa
Indonesia yang tepat untuk mewakili istilah ini. Pengertian coping hampir
sama dengan penyesuaian (adjustment). Perbedaannya, penyesuaian
mengandung pengertian yang lebih luas jika dibandingkan dengan coping,
yaitu semua reaksi terhadap tuntutan baik yang berasal dari lingkungan
maupun yang berasal dari dalam diri seseorang. Sedangkan coping
dikhususkan pada bagaimana seseorang mengatasi tuntutan yang menekan
(Rustiana,2003).
Folkman (dalam Yenjeli, 2007) mengartikan strategi coping sebagai
perubahan pemikiran dan perilaku yang digunakan oleh seseorang yang
dalam menghadapi tekanan dari luar maupun dalam yang disebabkan oleh
transaksi antara seseorang dengan lingkungannya yang dinilai sebagai
stressor. Coping ini nantinya akan terdiri dari upaya-upaya yang dilakukan untuk mengurangi keberadaan stressor.
Menurut Taylor (dalam Hapsari dkk, 2002) terdapat empat tujuan
selfimage yang positif, mengurangi tekanan lingkungan atau menyesuaikan diri terhadap kajian negatif, dan tetap melanjutkan hubungan yang
memuaskan dengan orang lain. Menurut Lazarus dan Folkman (dalam
Rustiana,2003) coping terdiri atas strategi yang bersifat kognitif dan
behavioral. Strategi tersebut adalah Problem Focused Coping dan Emotion
Focused Coping. Problem Focused Coping adalah strategi dengan cara menyelesaikan masalah yang dihadapi, sehingga individu segera terbebas
dari masalahnya tersebut, sedangkan Emotion Focused Coping adalah
strategi untuk meredakan emosi individu yang ditimbulkan oleh stressor
(sumber stress), tanpa berusaha untuk mengubah suatu situasi yang menjadi
sumber stress secara langsung. Problem Focused Coping mempunyai 3
bentuk strategi coping yaitu Exercised Caution (Cautiouness), Instrumental
Action, dan Negotiation, sedangkan Emotion Focused Coping mempunyai 4 bentuk strategi coping yaitu Escapism (Menghindar), Minimization
(Pengabaian), Self Blame (Menyalahkan diri), dan Seeking Meaning
(Berdoa).
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Wardani (2009) mengenai
strategi coping orang tua menghadapi anak autis. Hasil yang diperoleh
dibagi menjadi tiga bagian yaitu strategi coping yang digunakan oleh orang
tua, bentuk coping yang digunakan oleh orang tua, dan dampak yang
muncul setelah dilakukan coping. Strategi coping yang digunakan sebagian
besar orang tua menggunakan strategi Problem Focused Coping. Bentuk
muncul setelah dilakukan coping yaitu dampak positif dan negatif. Dalam
penelitian yang dilakukan oleh Venesia (2012) mengenai gambaran stress
dan coping pada ibu yang memiliki anak penyandang Down Syndrome.
Hasil penelitian ini adalah sebagian besar ibu memiliki tingkat stress yang
rendah dan menggunakan Problem Focused Coping. Dalam penelitian ini,
analisa penelitian mengaitkan tingkat stress dan coping stress dengan
pekerjaan subjek.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu pada
subjek penelitian. Subjek dalam penelitian ini adalah seluruh kriteria yang
mencakup anak tunagrahita. Anak tunagrahita memiliki beberapa kriteria
seperti down syndrome, autis, dan anak dengan inteligensi yang sangat
rendah. Penelitian sebelumnya hanya menggunakan salah satu kriteria dari
anak tunagrahita tersebut. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa orang tua
yang memiliki anak tunagrahita menghadapi beberapa masalah yang
menjadi sumber stress. Pengorbanan waktu dan finansial, stigma
masyarakat, pertumbuhan anak yang lambat, dan kecemasan orang tua akan
masa depan anak adalah beberapa masalah yang dihadapi oleh orang tua
dengan anak tunagrahita (Triana & Adriany, 2010). Berdasarkan hasil
wawancara yang dilakukan peneliti menunjukkan bahwa orang tua yang
memiliki anak tunagrahita merasa cemas akan masa depan anak mereka
yang tunagrahita sehingga menimbulkan stress. Oleh karena itu, penelitian
ini ingin mengetahui persentase dari penggunaan setiap aspek strategi
Pentingnya melakukan penelitian mengenai strategi coping adalah
agar hasil penelitian mengenai strategi coping ini menjadi gambaran bagi
para orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus tunagrahita. Hasil
penelitian ini juga sebagai masukan mengenai strategi coping stress bagi
keluarga yang memiliki anak tunagrahita agar bisa memberi dukungan
sosial terhadap mereka yang memiliki anak berkebutuhan khusus
tunagrahita.
Wawancara singkat dengan para orang tua yang sedang menunggu
anak-anak mereka di SLB Negeri Kabupaten Jembrana menunjukkan bahwa
kecemasan yang paling dirasakan oleh para orang tua yaitu kecemasan
mengenai masa depan anak-anak mereka. Banyak dari mereka khawatir
anak mereka terlalu bergantung pada orang lain sehingga kemandirian dan
rasa percaya diri mereka menjadi berkurang. Orang tua juga tidak berani
melepas anak mereka tanpa melakukan pengawasan secara intensif.
Beberapa ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus berjenis kelamin
perempuan mengaku stress memikirkan anak mereka jika saatnya beranjak
remaja dan mengalami pubertas. Sebagian mengaku stress mengenai
pekerjaan dan pernikahan anak mereka. Dan orang tua lain mengalami
stress mengenai pendidikan anak mereka dan perkembangan dalam belajar.
Berdasarkan uraian sebelumnya, banyak orang tua memiliki
kecemasan terhadap anak mereka yang merupakan anak tunagrahita.
Kecemasan ini membuat orang tua menjadi stress, karena mereka khawatir
orang lain, kurang disiplin, dan kurang mampu mengekspresikan apa yang
diinginkan. Untuk mengatasi stress yang dihadapi, maka perlu dilakukan
mekanisme coping. Dengan mekanisme coping, orang tua akan lebih mudah
merawat dan mendidik anak mereka yang merupakan anak tunagrahita.
Berdasarkan hal tersebut, peneliti ingin melihat bagaimana strategi coping
stress yang dilakukan para orang tua untuk mengatasi tingkat stress dalam mendidik anak berkebutuhan khusus tunagrahita. Selain itu, sejauh ini
belum ada penelitian sebelumnya yang meneliti strategi coping orang tua
yang memiliki anak tunagrahita.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana strategi coping stress yang dilakukan para orang tua yang
memiliki anak tunagrahita?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui strategi coping stress para orang
tua yang memiliki anak tunagrahita
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu,
khususnya Psikologi Anak Luar Biasa dengan cara memberi data yang
telah teruji secara empiris tentang strategi coping stress orang tua yang
memiliki anak tunagrahita. Penelitian ini juga diharapkan bermanfaat
strategi coping yang dilakukan oleh para orang tua. Demikian pula
dapat menjadi referensi bagi peneliti-peneliti selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
Hasil dari penelitian ini bisa menjadi gambaran mengenai strategi
coping stress para orang tua yang memiliki anak tunagrahita. Selain itu hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan bagi keluarga yang memiliki
anak tunagrahita untuk menjadi masukan mengenai strategi coping
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Anak Tunagrahita
1. Pengertian Anak Tunagrahita
Salah satu bentuk anak berkebutuhan khusus adalah anak
tunagrahita. Abdurrahman mengemukakan pengertian tunagrahita
yang dikutip oleh Maria J. Wantah, yaitu: secara harfiah kata tuna
adalah merugi, sedangkan grahita adalah pikiran. Dengan demikian
ciri utama dari anak tunagrahita adalah lemah dalam berfikir dan
bernalar mengakibatkan kemampuan belajar, dan adaptasi sosial
berada dibawah rata-rata.
Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (1993)
mendefinisikan tunagrahita adalah suatu keadaan perkembangan
mental yang terhenti atau tidak lengkap, terutama ditandai oleh
hendaya ketrampilan selama masa perkembangan, sehingga
berpengaruh pada tingkat inteligensi yaitu kemampuan kognitif,
bahasa, motorik dan sosial.
Pendapat lain mengenai tunagrahita adalah istilah yang
digunakan untuk menyebut anak yang mempunyai kemampuan
intelektual dibawah rata-rata. Dalam kepustakaan bahasa asing
digunakan istilah-istilah mental retardation, mentally retarded, mental
anak yang kecerdasannya jauh dibawah rata-rata dan ditandai oleh
keterbatasan inteligensi dan ketidakcakapan dalam interaksi sosial.
Anak tunagrahita atau dikenal juga dengan istilah terbelakang mental
karena keterbatasan kecerdasannya mengakibatkan dirinya sukar
untuk mengikuti program pendidikan disekolah biasa secara klasikal,
oleh karena itu anak terbelakang mental membutuhkan layanan
pendidikan secara khusus yakni disesuaikan dengan kemampuan anak
tersebut (Somantri,2006).
Pengertian tunagrahita yang dikembangkan oleh AAMD
(American Association of Mental Deficiency) yaitu keterbelakangan
mental menunjukkan fungsi intelektual di bawah rata-rata secara jelas
dengan disertai ketidakmampuan dalam penyesuaian perilaku dan
terjadi pada masa perkembangan (Kauffman dan Hallahan,dalam
Soemantri 2006). Tunagrahita menurut pengertian diatas dapat
disimpulkan sebagai gangguan fungsi intelektual secara keseluruhan
dengan IQ 70 atau lebih rendah, yang mempengaruhi tingkat
kecerdasan atau aspek kognitif, motorik, dan fungsi bahasa serta
terganggunya perilaku adaptif yaitu kemampuan beradaptasi dengan
lingkungan.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa anak
tunagrahita merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan anak-anak yang memiliki kemampuan dibawah
diperlukan pendidikan khusus bagi mereka yang memiliki ketunaan
ini agar mampu berkembang secara optimal sesuai dengan
kemampuannya.
2. Klasifikasi Anak Tunagrahita
Pengelompokan pada umumnya didasarkan pada taraf
inteligensinya, yang terdiri dari keterbelakangan ringan, sedang, dan
berat. Pengelompokan seperti ini sebenarnya bersifat artificial karena
ketiganya tidak dibatasi oleh garis demarkasi yang tajam. Gradasi dari
satu level ke level berikutnya bersifat continuum (Somantri,2006).
Klasifikasi anak tunagrahita dibagi menjadi 3 yaitu tunagrahita ringan,
tunagrahita sedang, dan tunagrahita berat.
a. Tunagrahita Ringan
Tunagrahita ringan disebut juga moron atau debil. Kelompok
ini memiliki IQ antara 52-68 menurut Binet, sedangkan menurut
Skala Weschler (WISC) memiliki IQ 55-69. Anak tunagrahita
ringan masih mampu membaca, menulis, dan berhitung
sederhana. Mereka juga dapat dididik menjadi tenaga kerja
semi-skilled seperti pekerja laundry, pertanian, peternakan, pekerjaan rumah tangga, dan lain-lain. Namun, anak tunagrahita ringan
tidak mampu melakukan penyesuaian sosial secara independen.
Mereka tidak mengalami gangguan fisik, sehingga tampak seperti
anak normal. Oleh karena itu, agak sukar membedakan secara
b. Tunagrahita Sedang
Anak tunagrahita sedang disebut juga imbesil. Kelompok ini
memiliki IQ 51-36 pada Skala Binet dan 54-40 menurut Skala
Weschler (WISC). Mereka dapat dididik mengurus diri sendiri,
melindungi diri sendiri dari bahaya seperti menghindari
kebakaran, berjalan di jalan raya, berlindung dari hujan, dan
lain-lain. Namun, anak tunagrahita sedang sangat sulit bahkan tidak
dapat belajar secara akademik seperti belajar menulis, membaca,
dan berhitung walaupun masih dapat menulis secara sosial,
misalnya menulis nama atau alamt rumah. Dalam kehidupan
sehari-hari, anak tunagrahita sedang membutuhkan pengawasan
yang terus-menerus.
c. Tunagrahita Berat
Kelompok anak tunagrahita berat sering disebut idiot.
Kelompok ini dapat dibedakan lagi antara anak tunagrahita berat
dan sangat berat. Tunagrahita berat (severe) memiliki IQ antara
32-20 menurut Skala Binet dan antara 39-25 menurut Skala
Weschler (WISC). Tunagrahita sangat berat (profound) memiliki
IQ dibawah 19 menurut Skala Binet dan IQ dibawah 24 menurut
Skala Weschler (WISC). Anak tunagrahita berat memerlukan
bantuan perawatan secara total dalam hal berpakaian, mandi,
makan, dan lain-lain. Bahkan mereka memerlukan perlindungan
3. Etiologi Anak Tunagrahita
Menelaah sebab terjadinya ketunagrahitaan pada seseorang
menurut kurun waktu terjadinya, yaitu dibawa sejak lahir (faktor
endogen) dan faktor dari luar seperti penyakit atau keadaan lainnya
(faktor eksogen). Kirk (dalam Efendi,2006) berpendapat bahwa
ketunagrahitaan karena faktor endogen, yaitu faktor
ketidaksempurnaan psikobiologis dalam memindahkan gen
(Hereditary transmission of psycho-biological insufficiency). Sedangkan faktor eksogen, yaitu faktor yang terjadi akibat perubahan
patologis dari perkembangan normal.
Dari sisi pertumbuhan dan perkembangan, penyebab
ketunagrahitaan menurut Devenport (dalam Efendi, 2006) dapat
dirinci melalui jenjang berikut: (a) kelainan atau ketunaan yang timbul
pada benih plasma, (b) kelainan atau ketunaan yang dihasilkan selama
penyuburan telur, (c) kelainan atau ketunaan yang dikaitkan dengan
implantasi, (d) kelainan atau ketunaan yang timbul dalam embrio, (e)
kelainan atau ketunaan yang timbul dari luka saat kelahiran, (f)
kelainan atau ketunaan yang timbul dalam janin, dan (g) kelainan atau
ketunaan yang timbul pada masa bayi atau masa kanak-kanak.
4. Perkembangan Fisik Anak Tunagrahita
Fungsi-fungsi perkembangan anak tunagrahita ada yang
tertinggal jauh oleh anak normal. Ada pula yang sama atau hampir
hampir menyamai anak normal ialah fungsi perkembangan jasmani
dan motorik. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Umardjani (dalam
Somantri, 2006) menunjukkan bahwa tingkat kesegaran jasmani anak
terbelakang mental atau anak tunagrahita yang memiliki MA 2 tahun
sampai dengan 12 tahun ada dalam kategori kurang sekali. Sedang
anak normal pada umur yang sama ada dalam kategori kurang.
Dengan demikian tingkat kesegaran jasmani anak tunagrahita
setingkat lebih rendah dibandingkan dengan anak normal pada umur
yang sama.
Ketrampilan gerak fungsional memberikan dasar-dasar
ketrampilan yang diperlukan untuk socio-leisure, daily living, dan
vocational tasks, ketrampilan gerak fundamental sangat penting untuk meningkatkan kualitas hidup anak tunagrahita. Anak normal dapat
belajar ketrampilan gerak-gerak fundamental secara instingtif pada
saat bermain, sementara anak tunagrahita perlu dilatih secara khusus
(Efendi, 2006).
5. Perkembangan Kognitif Anak Tunagrahita
Fungsi kognitif adalah kemampuan seseorang untuk mengenal
atau memperoleh pengetahuan. Menurut Mussen, Conger, dan Ragan
(dalam Efendi, 2006) kognitif dalam prosesnya melalui beberapa
tahapan: (1) persepsi, (2) ingatan, (3) pengembangan ide, (4)
penilaian, (5) penalaran. Pada anak tunagrahita, gangguan fungsi
tersebut. Dalam berbagai studi diketahui bahwa ketidakmampuan anak
tunagrahita meraih prestasi yang lebih baik dan sejajar dengan anak
normal, karena kesetiaan ingatan anak tunagrahita sangat lemah
disbanding dengan anak normal. Maka jika anak tunagrahita diberi
instruksi, mereka cenderung tidak melalui proses analisis kognitif
seperti yang di jelaskan.
Inhelder (dalam Efendi,2006) dalam penelitiannya menemukan:
(1) penyandang tunagrahita berat perkembangan kognitifnya
terhambat pada tingkat perkembangan sensorimotorik, (2) pada
penyandang tunagrahita ringan perkembangan kognitifnya terhenti
pada perkembangan operasional konkret. Keterlambatan
perkembangan kognitif pada anak tunagrahita menjadi masalah besar
bagi anak tunagrahita ketika meniti tugas perkembangannya.
6. Kemampuan Bahasa dan Bicara Anak Tunagrahita
Eisenson dan Ogilvie (dalam Efendi, 2006) pernah meneliti
untuk mencari hubungan antara tingkat kecerdasan dengan
kemampuan bahasa dan bicara. Hasilnya dapat dibuktikan bahwa
antara tingkat kecerdasan dengan kematangan bahasa dan bicara
mempunyai hubungan yang positif. Namun bagi anak tunagrahita,
dalam kemampuan bahasa dan bicara menemui banyak hambatan.
Seringkali stimulasi verbal maupun nonverbal dari lingkungannya
gagal ditransfer dengan baik oleh anak tunagrahita. Bahkan, hal-hal
baik, akibatnya peristiwa kebahasaan yang lazim terjadi disekitarnya
menimbulkan keanehan bagi dirinya.
Pada anak tunagrahita agak berat (mampu latih), kegagalan
melakukan apersepsi terhadap suatu peristiwa bahasa, kerapkali
diikuti gangguan artikulasi bicara. Penyertaan kelainan sekunder ini,
maka hal-hal yang tampak pada anak tunagrahita mampu latih dalam
berkomunikasi, disamping struktur kalimat yang disampaikannya
cenderung tidak teratur (aphasia conceptual), juga dalam pengucapannya seringkali terjadi omisi (pengurangan kata) maupun
distorsi (kekacauan dalam pengucapan).
7. Penyesuaian Sosial Anak Tunagrahita
Tahapan perkembangan sosial anak tunagrahita selalu
mengalami kendala sehingga seringkali tampak sikap dam perilaku
anak tunagrahita berada dibawah usia kalendernya, dan ketika usia 5-6
tahun mereka belum mencapai kematangan untuk belajar di sekolah
(Bratanata, dalam Efendi 2006). Beberapa studi menunjukkan bahwa
terlambatnya sosialisasi anak tunagrahita ada hubungannya dengan
taraf kecerdasannya yang sangat rendah. Kelancaran seseorang untuk
mencapai tugas perkembangan sosialnya, merupakan modal dasar
yang sangat berarti untuk melakukan penyesuaian sosial secara baik.
Oleh sebab itu, terganggunya perkembangan anak dalam salah satu
fase atau keseluruhan fase perkembangan sosial sebagaimana yang
melakukan penyesuaian sosial yang akurat tanpa intervensi
orang-orang di sekitarnya secara terus menerus.
Sebagai makhluk individu dan sosial, anak tunagrahita
mempunyai hasrat untuk memenuhi segala kebutuhan sebagaimana
layaknya anak normal lainnya, tetapi upaya anak tunagrahita lebih
sering mengalami kegagalan atau hambatan yang berarti. Akibatnya,
anak tunagrahita mudah frustasi, dari perasaan frustasi tersebut pada
gilirannya akan muncul perilaku menyimpang sebagai reaksi dari
mekanisme pertahanan diri, dan sebagai wujud penyesuaian sosial
yang salah (maladjusted). Perlakuan orang lain yang kurang wajar
terhadap anak tunagrahita, atau lemahnya konsistensi anak tunagrahita
terhadap tujuan, menjadi salah satu penyebab anak tungrahita mudah
dipengaruhi (suggestible) untuk berbuat hal-hal yang jelek. Demikian
juga rendahnya tingkat kematangan emosi dan kesukaran anak
tunagrahita untuk memahami aturan atau norma yang ada di
lingkungannya, merupakan unsure-unsur yang dapat menyuburkan
tumbuhnya penyimpangan perilaku bagi anak tunagrahita
(Efendi,2006).
B. Orang Tua dengan Anak Berkebutuhan Khusus
Menurut Hill & Aldous (dalam Craig,1986), menjadi orang tua berarti
memperoleh peran dan tanggung jawab baru, yaitu sebagai seorang ayah
dan seorang ibu. Kewajiban sebagai orang tua secara umum diungkapkan
untuk memelihara, melindungi, dan mengarahkan anak dalam
berkembang. Mereka juga berkewajiban memberikan kehangatan,
membangun hubungan emosional dengan anak, dan menyediakan
kesempatan untuk perkembangan kompetensi dan jati diri anak. Martin &
Colbert, (1997) juga mengungkapkan peran orang tua dimana mereka
bertanggung jawab membantu anak dalam menyelesaikan tugas-tugas
perkembangan pada setiap tahap perkembangan yang dilalui. Peran dan
tanggung jawab yang dipikul orang tua akan lebih besar apabila anak yang
dilahirkan dalam keadaan cacat (Heward,1996).
Heward dkk (1979, dalam Heward,1996) menyebutkan bahwa orang
tua yang memiliki anak cacat (disability) atau menyandang penyakit kronis
menghadapi banyak tantangan dalam menjalani perannya sebagai orang
tua. Orang tua anak berkebutuhan khusus yang lebih besar
mengkhawatirkan berbagai masalah dengan hubungan peer, baik karena
kurangnya ketrampilan sosial ataupun karena penolakan anak lain yang
menganggap anaknya berbeda (Miozio, 1983, dalam Martin &
Colbert,1997). Orang tua dengan anak berkebutuhan khusus memiliki
tanggung jawab tersendiri dibandingkan orang tua yang memiliki anak
Heward dkk (1979, dalam Heward, 1996) dan Mangunsong dkk
(1998), mengungkapkan beberapa peran orang tua yang memiliki anak
dengan kebutuhan khusus yang telah dirangkum sebagai berikut:
1. Sebagai orang tua
Dapat menyesuaikan diri sebagai orang tua dari anak yang
menyandang kecacatan, membantu mensosialisasikan si anak,
memperhatikan hubungan saudara-saudara dari anak-anak cacat,
merencanakan masa depan dan perwalian. Selain itu, orang tua juga
berperan sebagai konselor dalam menghadapi perubahan emosi,
perasaan, dan sikap anak yang sedang berkembang. Perhatian yang
diberikan orang tua dapat mengembangkan kepribadian dan sebagai
pengenalan anak tentang dirinya.
2. Sebagai guru
Anak yang cacat biasanya tidak dapat belajar suatu keahlian yang
penting dengan sewajarnya atau secara mandiri seperti anak-anak
normal. Dengan demikian, orang tua merupakan guru pertama bagi
anak dalam mempelajari keahlian tertentu
3. Berhubungan dengan komunitas dan institusi-institusi
Bagi orang tua yang memiliki anak cacat, keterlibatan dalam proses
pendidikan anak merupakan suatu keharusan. Selain itu orang tua juga
perlu memperoleh pengetahuan khusus dan mempelajari
keahlian-keahlian khusus yang berhubungan dengan kebutuhan anaknya
4. Mengambil keputusan
Pilihan tentang alternative pemecahan masalah yang ditempuh
sehubungan dengan masalah kecacatan anak sepenuhnya adalah hak
dan tanggung jawab orang tua.
5. Sebagai penasehat/advokasi
Kesanggupan orang tua untuk bertanggung jawab sebagai pendukung
dan pembela kepentingan anaknya yang cacat.
6. Mengasuh dan mendidik anak lainnya
Orang tua harus menyadari pengaruh buruk keberadaan anak cacat
terhadap anaknya yang normal sedini mungkin dan mencari solusi
terhadap masalah tersebut.
7. Mempertahankan hubungan suami-istri
Memiliki anak cacat biasanya menghadirkan ketegangan dalam
hubungan suami-istri. Ketegangan dapat terjadi dari perbedaan
mengenai siapa yang bersalah atas kondisi anak, perselisihan
mengenai harapan terhadap perilaku anak, dan banyaknya waktu,
uang, energy yang dihabiskan untuk anak yang cacat.
Berbagai hal mengenai tanggung jawab tersebut dapat menjadi beban
bagi orang tua karena mereka memiliki pekerjaan ekstra yang melampaui
apa yang seharusnya bisa mereka lakukan. Peterson dan Hawley (dalam
Witt, 2005) menyatakan bahwa menjadi orang tua sudah merupakan situasi
yang menimbulkan stress, terlebih orang tua dengan anak berkebutuhan
berlebihan. Stress tidak terlepas dari kehidupan, maka dari itu harus
dilakukan upaya penyesuaian diri atau adaptasi dengan cara memilih
strategi coping yang tepat.
C. Strategi Coping
1. Pengertian Coping
Kata coping sendiri berasal dari kata cope yang dapat diartikan
sebagai menghadapi, melawan, ataupun mengatasi, walaupun
demikian belum ada istilah dalam bahasa Indonesia yang tepat untuk
mewakili istilah ini. Pengertian coping hampir sama dengan
penyesuaian (adjustment). Perbedaannya, penyesuaian mengandung
pengertian yang lebih luas jika dibandingkan dengan coping, yaitu
semua reaksi terhadap tuntutan baik yang berasal dari lingkungan
maupun yang berasal dari dalam diri seseorang. Sedangkan coping
dikhususkan pada bagaimana seseorang mengatasi tuntutan yang
menekan (Rustiana,2003).
Pearlin dan Schooler (1978) mendefinisikan coping sebagain
tanggapan terhadap ketegangan hidup yang berfungsi untuk
mencegah, menghindari, atau mengendalikan gangguan emosi.
Coping yang cukup baik ditandai dengan kemampuan seseorang untuk dapat tetap berdiri sendiri dalam menghadapi krisis hidup dan
mengendalikan stress yang muncul dari masa krisis tersebut.
Pendapat lain mengenai pengertian coping adalah proses dimana
tuntutan dan sumber daya (Sarafino dan Smith, 2011). Menurut
Colman (2003) coping adalah proses dimana seseorang mencoba
untuk mengatur perbedaan yang diterima antara demands dan
resources yang dinilai dalam suatu keadaan yang stressful.
Menurut Taylor (dalam Hapsari dkk, 2002) terdapat empat tujuan
coping, yaitu mempertahankan keseimbangan emosi, mempertahankan selfimage yang positif, mengurangi tekanan
lingkungan atau menyesuaikan diri terhadap kajian negative, dan tetap
melanjutkan hubungan yang memuaskan dengan orang lain.
Jadi dapat disimpulkan bahwa coping adalah segala usaha individu
untuk melakukan adaptasi atau penyesuaian diri dalam menghadapi
situasi yang relatif sulit dan tidak menyenangkan demi
mempertahankan keseimbangan emosi dan mengurangi tekanan
lingkungan dan konflik yang dihadapi.
2. Strategi Coping
Menurut MacArthur & MacArthur (dalam Auniyah, 2014) strategi
coping adalah upaya-upaya khusus, baik behavioral maupun psikologis, yang digunakan orang untuk menguasai, mentoleransi,
mengurangi, atau meminimalkan dampak kejadian yang menimbulkan
stress. Gowan et al. (dalam Auniyah, 2014)) mendefinisikan strategi
coping sebagai upaya yang dilakukan oleh individu untuk mengelola tuntutan eksternal dan internal yang dihasilkan dari sumber stress.
strategi coping adalah strategi yang digunakan individu untuk
melakukan penyesuaian antara sumber-sumber yang dimilikinya
dengan tuntutan yang dibebankan lingkungan kepadanya.
Secara spesifik, sumber-sumber yang memfasilitasi coping itu
mencakup sumber-sumber personal (yaitu karakteristik pribadi yang
relative stabil seperti self-esteem atau keterampilan sosial) dan
sumber-sumber lingkungan seperti dukungan sosial dan keluarga atau
sumber financial (Harrington & Mcdermott, 1993). Friedman (1998)
mengatakan bahwa strategi coping merupakan perilaku atau proses
untuk adaptasi dalam menghadapi tekanan atau ancaman.
Jadi dapat disimpulkan bahwa strategi coping adalah segala usaha
individu untuk mengatur tuntutan lingkungan dan konflik yang
muncul, mengurangi ketidaksesuaian/kesenjangan persepsi antara
tuntutan situasi yang menekan dengan kemampuan individu dalam
memenuhi tuntutan tersebut.
3. Bentuk Coping
Menurut Lazarus dan Folkman (dalam Sarafino, 2006) secara
umum membedakan bentuk dan fungsi coping dalam dua klasifikasi
yaitu :
a. Problem Focused Coping (PFC) adalah merupakan bentuk coping yang lebih diarahkan kepada upaya untuk mengurangi tuntutan
dari situasi yang penuh tekanan. Artinya coping yang muncul
dengan mempelajari cara-cara ketrampilan yang baru. Individu
cenderung menggunakan strategi ini ketika mereka percaya
bahwa tuntutan dari situasi dapat diubah. Strategi ini melibatkan
usaha untuk melakukan sesuatu hal terhadap kondisi stress yang
mengancam individu (Taylor,2009).
b. Emotion Focused Coping (EFC) merupakan bentuk coping yang diarahkan untuk mengatur respon emosional terhadap situasi yang
menekan. individu dapat mengatur respon emosionalnya dengan
pendekatan behavioral dan kognitif. Melalui pendekatan
behavioral, individu melakukan aktivitas yang dapat mengalihkan
perhatiannya dari masalah yang sedang dihadapi. Sedangkan
pendekatan kognitif melibatkan bagaimana individu berpikir
tentang situasi yang menekan. Dalam pendekatan kognitif,
individu melakukan redefine terhadap situasi yang menekan
seperti membuat perbandingan dengan individu lain yang
mengalami situasi lebih buruk, dan melihat sesuatu yang baik
Pendapat diatas sejalan dengan Skinner (dalam Sarafino,2006)
yang mengemukakan pengklasifikasian bentuk coping sebagai berikut:
1) Perilaku coping yang berorientasi pada masalah (Problem Focused Coping)
a) Planfull Problem Solving
Individu memikirkan dan mempertimbangkan secara
matang beberapa alternative pemecahan masalah yang
mungkin dilakukan, meminta pendapat dan pandangan dari
orang lain tentang masalah yang dihadapi, bersikap hati-hati
sebelum memutuskan sesuatu dan mengevaluasi strategi
yang pernah dilakukan.
b) Direct Action
Meliputi tindakan yang ditujukan untuk menyelesaikan
masalah secara langsung serta menyusun secara lengkap apa
yang diperlukan.
c) Assistance Seeking
Individu mencari dukungan dan menggunakan bantuan dari
orang lain berupa nasihat maupun tindakan didalam
menghadapi masalahnya.
d) Information Seeking
Individu mencari informasi dari orang lain yang dapat
2) Perilaku coping yang berorientasi pada emosi (Emotional Focused Coping)
a) Avoidance
Individu menghindari masalah yang ada dengan cara
berkhayal atau membayangkan seandainya ia berada pada
situasi yang menyenangkan.
b) Denial
Individu menolak masalah yang ada dengan menganggap
seolah-olah masalah individu tidak ada, artinya individu
tersebut mengabaikan masalah yang dihadapinya.
c) Self-criticism
Keadaan individu yang larut dalam permasalahan dan
menyalahkan diri sendiri atas kejadian atau masalah yang
dialaminya.
d) Possitive Reappraisal
Individu melihat sisi positif dari masalah yang dialami
dalam kehidupannya dengan mencari arti atau keuntungan
Suatu studi yang dilakukan oleh Folkman dkk (Taylor,2006)
menunjukkan beberapa variasi usaha dari kedua strategi terdahulu,
yaitu Problem Focused Coping dan Emotion Focused Coping. Hasil
studi tersebut menunjukkan beberapa usaha koping yang muncul
adalah :
1) Problem Focused Coping
a) Confrontative Coping
Usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap sumber
tekanan dengan cara yang agresif, tingkat kemarahan yang
tinggi, dan pengambilan resiko.
b) Seeking Social Support
Usaha untuk mendapatkan kenyamanan emosional dan
bantuan informasi dari orang lain.
c) Planful Problem Solving
Usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap menekan
dengan cara yang hati-hati, bertahap, dan analitis.
2) Emotion Focused Coping
a) Escape
Usaha yang dilakukan individu untuk menghindari masalah
dengan berkhayal atau membayangkan hasil yang terjadi dan
ia berada pada situasi yang lebih baik dari yang dialami
sekarang. Atau dapat pula beralih pada hal lain seperti makan,
b) Seeking Social Emotional Support
Upaya untuk mencoba memperoleh dukungan secara
emosional maupun sosial dari orang lain.
c) Self Control
Usaha untuk mengatur perasaan diri sendiri atau tindakan
dalam hubungannya untuk menyelesaikan masalah
d) Distancing
Usaha kognitif untuk melepaskan diri dari masalah atau
membuat harapan positif.
e) Positive Reappraisal
Usaha mecari makna positif dari permasalahan dengan
terfokus pada pengembangan diri, biasanya juga melibatkan
hal-hal yang bersifat religius.
f) Accepting Responsibility
Usaha untuk menyadari tanggung jawab diri sendiri dalam
permasalahan yang dihadapinya dengan mencoba
menerimanya untuk membuat semuanya menjadi lebih baik.
Melalui uraian diatas dapat disimpulkan bahwa klasifikasi strategi
coping terdiri dari dua bentuk yaitu Problem Focused Coping dan Emotion Focused Coping. Problem Focused Coping memiliki konsep yang mengatasi stress yang dihadapi dengan berpusat pada masalah dan segera
mencari penyelesaiannya. Sedangkan untuk Emotion Focused Coping
menunda untuk segera mengatasi stress yang dihadapi. Strategi Coping
yang sebaiknya digunakan adalah Problem Focused Coping, hal ini
dikarenakan penyelesaian masalah dilakukan tertuju langsung pada
masalah yang dihadapi dan bertindak secara langsung melalui perencanaan
strategi yang tertata rapi.
Klasifikasi yang dikelompokkan oleh para ahli pada dasarnya
memiliki makna yang sama mengenai kedua jenis strategi ini yaitu strategi
coping yang berorientasi pada masalah dan strategi coping yang berorientasi pada emosi. Sehingga penelitian ini dilakukan untuk melihat
strategi coping manakah yang digunakan oleh orang tua yang memiliki
anak tunagrahita dengan menggunakan teori yang dikemukakan oleh
Skinner (dalam Sarafino, 2006).
D. Dinamika Strategi Coping Orang Tua Yang Memiliki Anak Tunagrahita
Anak berkebutuhan khusus adalah anak-anak yang mengalami
penyimpangan, kelainan atau ketunaan dalam segi fisik, mental, emosi dan
sosial, atau dari gabungan dari hal-hal tersebut sedemikian rupa sehingga
mereka memerlukan pelayanan pendidikan yang khusus yang disesuaikan
dengan penyimpangan, kelainan, atau ketunaan mereka (Ganda Sumekar,
2009). Salah satu bentuk berkebutuhan khusus adalah anak tunagrahita,
Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (1993)
mendefinisikan tunagrahita adalah suatu keadaan perkembangan mental
ketrampilan selama masa perkembangan, sehingga berpengaruh pada
tingkat inteligensi yaitu kemampuan kognitif, bahasa, motorik dan sosial.
Somantri (2006) mengatakan bahwa orang yang paling banyak
menanggung beban akibat ketunagrahitaan adalah orang tua dan keluarga
anak tersebut, oleh sebab itu dikatakan bahwa penanganan anak
tunagrahita merupakan resiko psikiatri keluarga. Anak tunagrahita yang
memiliki hambatan dalam inteligensi, keterbatasan sosial, dan keterbatasan
fungsi mental menjadi tugas tambahan bagi orang tua agar anak mereka
yang merupakan anak tunagrahita dapat berkembang secara optimal.
Orang tua dengan anak tunagrahita akan memiliki tanggung jawab yang
lebih besar sehingga di perlukan adaptasi terhadap keadaan yang dialami
oleh orang tua.
Penelitian yang dilakukan oleh Triana dan Andriany (2010)
menyimpulkan bahwa orang tua yang memiliki anak tunagrahita
menghadapi beberapa masalah yang menjadi sumber stress atau stressor.
Masalah yang dihadapi yaitu pengorbanan waktu, keuangan, kesulitan
menegakkan kedisiplinan, stigma masyarakat, pertumbuhan anak yang
lambat dan kecemasan orang tua akan masa depan anak. Semua masalah
yang dihadapi oleh keluarga dengan anak tunagrahita tentu menimbulkan
stress sehingga harus diimbangi dengan mekanisme coping tersendiri agar
orang tua dapat mengatasi beban dan stress yang dihadapi.
Melalui hasil penelitian diatas, memiliki anak tunagrahita
Orang tua perlu melakukan adaptasi atas semua masalah yang dihadapi
dan keadaan yang dialami anak mereka. Usaha adaptasi terhadap stress ini
adalah dengan melakukan strategi coping stress (White, 1974 dalam
Sussman & Stenmetz, 1998). White (1974) dalam Sussman dan Steinmetz
(1988) mendefinisikan koping sebagai suatu hal yang merujuk pada
adaptasi individu terhadap kondisi yang relative sulit dan tidak
menyenangkan.
Menurut Lazarus dan Folkman (dalam Rustiana,2003) coping terdiri
atas strategi yang bersifat kognitif dan behavioral. Strategi tersebut adalah
Problem Focused Coping, yaitu strategi dengan cara menyelesaikan masalah yang dihadapi sehingga individu segera terbebas dari masalah
tersebut, dan Emotion Focused Coping, yaitu strategi untuk meredakan
emosi individu yang ditimbulkan oleh stressor (sumber stress), tanpa
berusaha untuk mengubah suatu situasi yang menjadi sumber stress secara
langsung.
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Wardani (2009) mengenai
strategi coping orang tua menghadapi anak autis menunjukkan bahwa
sebagian besar orang tua menggunakan Problem Focused Coping. Subjek
dalam penelitian tersebut menggunakan Problem Focused Coping karena
subjek dalam penelitian tersebut tidak putus asa dan berusaha mencari
penyelesaian seperti mencari informasi terapi bagi anak autis dan mencari
sekolah yang tepat untuk anak autis. Begitu juga penelitian yang dilakukan
memiliki anak penyandang Down Syndrome menunjukkan bahwa sebagian
besar ibu memiliki tingkat stress yang rendah dan menggunakan Problem
Focused Coping.
Melihat keterbatasan yang dialami oleh anak tunagrahita cukup
menimbulkan stress bagi orang tua sehingga orang tua mengalami
perubahan dalam mendidik dan mengasuh anak mereka yang merupakan
anak tunagrahita. Friedman (1998) menyatakan bahwa perubahan yang
dialami oleh anggota keluarga dengan tunagrahita terutama dalam hal
pemenuhan kebutuhan sehari-hari merupakan suatu kondisi yang perlu
dipahami dan mendapat perhatian dari lingkungan dalam hal ini keluarga
karena dengan perubahan yang dihadapinya mereka perlu penyesuaian
diri. Penyesuaian diri ini dilakukan dengan melakukan strategi coping
yang bersifat kognitif dan behavioral.
E. Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan dalam penelitian ini adalah strategi coping apakah yang
SKEMA STRATEGI COPING ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK TUNAGRAHITA
Stres orang tua mengasuh anak tunagrahita
Strategi Coping
Problem Focused Coping
Emotion Focused Coping
Planfull Problem Solving
Direct Action
Assistance Seeking
Information Seeking
Avoidance
Denial
Self-criticsm
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
deskriptif, yaitu suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu
objek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa
pada masa sekarang (Nazir,2003).
B. Identifikasi Variabel Penelitian
Penelitian ini menggunakan satu variable tunggal, yaitu Strategi coping
orang tua yang memiliki anak tunagrahita
C. Definisi Operasinonal Variabel Penelitian
Strategi coping adalah segala usaha individu untuk mengatur tuntutan
lingkungan dan konflik yang muncul, mengurangi ketidaksesuaian/
kesenjangan persepsi antara tuntutan situasi yang menekan dengan
kemampuan individu dalam memenuhi tuntutan tersebut.
Klasifikasi strategi coping terdiri dari dua bentuk yaitu Problem Focused
Coping dan Emotion Focused Coping. Problem Focused Coping yang mengatasi stress yang dihadapi dengan berpusat pada masalah dan segera
mencari penyelesaiannya. Sedangkan untuk Emotion Focused Coping yang
mengatasi stress dengan berpusat pada emosi dan menunda untuk segera
mengatasi stress yang dihadapi.
Strategi coping orang tua yang memiliki anak tunagrahita diukur dengan
Focused Coping berarti subjek memiliki kecenderungan yang tinggi menggunakan Problem Focused Coping dalam menghadapi anak tunagrahita.
Demikian halnya semakin tinggi skor subjek untuk Emotional Focused
Coping maka subjek memiliki kecenderungan tinggi menggunakan Emotional Focused Coping dalam menghadapi anak tunagrahita.
D. Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah semua orang tua yang memiliki anak
tunagrahita bersekolah di SLB Negeri Jembrana. Teknik pengambilan sampel
yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling yaitu teknik
penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2008).
E. Metode Pengumpulan Data 1. Metode Pengumpulan Data
Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian
ini adalah survey dengan penyebaran skala yang diisi oleh subjek. Skala
ini bertujuan untuk melihat bentuk strategi coping yang digunakan oleh
para orang tua yang memiliki anak tunagrahita. Skala ini merupakan
skala baru yang disusun oleh peneliti sendiri. Komponen dalam skala ini
menggunakan pendapat dari Skinner (dalam Sarafino, 2006) yang dibagi
dalam dua bentuk yaitu Problem Focused Coping terdiri dari Planfull
Tabel 1
Blueprint Skala Strategi Coping
No Aspek Indikator Favorable Unfavorable Jumlah
Subjek yang memiliki nilai skor yang tinggi pada item-item yang
mengungkap problem focused coping memiliki arti bahwa subjek
tersebut cenderung memiliki perilaku coping yang berorientasi pada
masalah dalam menghadapi anak tunagrahita. Demikian pula, jika subjek
memiliki nilai skor yang tinggi pada item-item yang mengungkapkan
emotional focused coping memiliki arti bahwa subjek tersebut cenderung memiliki perilaku coping yang berorientasi pada emosi dalam
menghadapi anak tunagrahita.
F. Validitas, Reliabilitas, dan Analisis Item 1. Validitas
Validitas pada alat ukur dalam penelitian ini menggunakan
validitas isi. Kountur (2003), menyebutkan bahwa validitas isi
menyangkut tingkat kebenaran suatu instrument dalam mengukur isi dari
area yang hendak diukur. Selain itu, pengujian validitas isi dalam
penelitian ini dilakukan untuk menilai sejauh mana item-item sudah
mencakup dan mewakili atribut yang akan diukur.
Untuk mengukur validitas dari skala strategi coping, maka
dilakukan dengan cara meminta pendapat ahli atau professional
judgement, dalam hal ini adalah dosen pembimbing. Professional judgement tersebut digunakan untuk menentukan apakah item dari skala telah dapat mengukur aspek-aspek dari strategi coping. Setelah melalui
2. Reliabilitas
Pengujian reliabilitas dalam penelitian ini menggunakan
pendekatan konsistensi internal (internal consistency) dengan sekali tes
melalui teknik α Cronbach. Pendekatan ini bertujuan untuk melihat
konsistensi antar item dalam skala. Prosedur pendekatan ini hanya satu
kali dan pengenaan tes hanya pada sekelompok individu sebagai subjek,
karena itu pendekatan ini mempunyai nilai praktis dan efisiensi yang
tinggi (Azwar, 1997). Suatu instrumen alat ukur dikatakan reliable dan
bisa diproses pada tahap selanjutnya jika nilai Cronbach Alpha > 0,7
(Sekaran, 2006). Jika instrument alat ukur memiliki nilai Cronbach
Alpha < 0,7 maka alat ukur tersebut tidak reliable. Untuk mempermudah perhitungan uji validitas dan reliabilitas, maka digunakan perangkat
lunak computer (software) program Microsoft Windows Excel dan SPSS
(Statistical Product and Service Solution) versi 16.0 for windows.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka skala strategi coping telah
memenuhi syarat sebagai alat ukur yang dapat diandalkan karena
memiliki koefisien reliabilitas sekitar 0,90. Kemudian, item-item pada
indikator Problem Focused Coping dan Emotion Focused Coping, yang
menjadi alat ukur penelitian yang dilakukan oleh penulis, merupakan
item yang dapat dipercaya karena memiliki koefisien reliabilitas Alpha
3. Analisis Item
Analisis item ini dilaksanakan dengan cara menguji coba item-item
yang ada pada sekelompok subjek yang memiliki karakteristik yang sama
dengan subjek penelitian sehingga didapatkan data empiris. Item-item
pada skala akan dianalisis dan kemudian akan digugurkan jika ternyata
mempunyai koefisien korelasi item atau indeks daya beda item (rix ) yang
terhitung rendah. Item-item tersebut tidak digunakan karena tidak mampu
untuk membedakan subjek yang mendapat nilai tinggi serta rendah pada
alat ukur. Idealnya, besaran dari rix mendekati angka + 1,00, namun hal
tersebut merupakan hal yang tidak memungkinkan (Gregory, 2007).
Adapun kriteria item yang dinyatakan dapat diterima, jika koefisien
korelasinya positif dan sama dengan atau lebih besar dari 0,30 (rix≥ 0,30)
(Azwar, 2010).
Berdasarkan data uji coba didapatkan 10 item yang koefisien
korelasinya < 0,30 sehingga item tersebut dinyatakan gugur. Sebanyak 4
item yang mengungkapkan Problem Focused Coping dinyatakan gugur
sedangkan pada Emotion Focused Coping didapatkan 6 item yang gugur.
Tabel 3
Blueprint Skala Strategi Coping
Setelah Uji Coba
No Variabel Indikator Favorable Unfavorable Jumlah
1 Problem
Metode analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah metode
statistik deskriptif, yakni metode yang memberi gambaran mengenai suatu
gejala (Partino dan Idrus, 2009). Dalam statistika deskriptif, peneliti
mengelola data agar dapat disajikan ke dalam bentuk-bentuk yang lebih
berguna, sehingga dapat lebih mudah dipahami (Subagyo, 2003).
Dalam metode statistik deskriptif, data penelitian disusun secara lebih
teratur ke dalam distribusi frekuensi. Data-data tersebut juga dikenai
Rata-rata (Mean), Standar Deviasi (SD), Median, serta Modus.
Kemudian agar data yang telah di hitung tersebut dapat dipahami
dengan lebih cepat, maka penyajian data dapat dilakukan dengan
membuat diagram maupun tabel-tabel mengenai hasil perhitungan data