Kota di Atas Zona Gempa
Oleh : Sabar Ardiansyah
Stasiun Geofisika Kepahiang-Bengkulu e-mail : sabar.ardiansyah@bmkg.go.id
Masih hangat dalam ingatan kita, dipenghujung tahun 2014 lalu sesar lokal Segmen
Musi di Kabupaten Kepahiang-Bengkulu kembali “menggeliat” dengan terjadinya gempa bumi
merusak pada tanggal 28 Oktober 2014. Patut disyukuti gempa bumi dengan kekuatan M = 3,6
ini tidak menyebabkan korban jiwa. Namun, akibat gempa bumi ini setidaknya 12 rumah warga
mengalami kerusakan ringan, satu masjid dan gereja juga mengalami kerusakan ringan. Gempa
bumi ini sangat dekat dengan pusat kota Kepahiang, terletak pada koordinat 3,64 lintang selatan
102,58 bujur timur, tepatnya berjarak satu km pada arah barat daya pusat Kota Kepahiang.
Dari data sejarah kegempaan membuktikan bahwa posisi kita sangat dekat dengan zona
gempa bumi darat yang kita sebut dengan patahan atau sesar. Patahan lokal yang ada di Propinsi
Bengkulu setidaknya ada tiga segmen sebagai “pembangkit” gempa bumi darat. Tiga sesar lokal
ini adalah sesar lokal Segmen Musi di Kabupaten Kepahiang, Segmen Manna di Kabupaten
Bengkulu Selatan, dan Segmen Ketahun di Kabupaten Bengkulu Utara. Tiga sesar lokal ini
merupakan sesar aktif yang dapat dibuktikan dengan data rekaman gempa yang ada di Stasiun
Geofisika Kepahiang maupun sejarah gempa bumi merusak yang pernah terjadi pada lokasi
patahan ini. Misalnya saja gempa bumi yang terjadi pada tahun 1942. Gempa bumi ini akibat
aktivitas sesar lokal Segmen Ketahun. Kerusakan terbesar meliputi wilayah dari Desa Tes
sampai Muaraaman. Di Desa Tes gempa bumi ini menyebabkan 90% rumah penduduk
roboh/hancur. Kerusakan juga terjadi di Muaraaman, berkisar 25% rumah penduduk roboh
akibat gempa utama. Patahan lokal Segmen Ketahun kembali menunjukkan eksistensinya pada
tahun 1952 dengan terjadinya gempa bumi besar. Kerusakan yang diakibatkan gempa pada
tahun 1952 juga tidak kalah hebatnya dengan gempa pada tahun 1942, hampir 75% rumah
penduduk di Desa Tes hancur/roboh dan tidak kurang dari 15% kerusakan juga terjadi di daerah
Muaraaman.
Patahan lokal Segmen Musi di Kabupaten Kepahiang juga pernah mencatat sejarah
memilukan pada tanggal 15 Desember 1979 dengan terjadinya gempa bumi merusak. Akibat
gempa bumi berkekuatan M = 6,0 ini, tidak kurang dari 3.600 bangunan rusak berat dan ringan
lebih berjarak 8 km dari pusat kota Kepahiang. Gempa bumi merusak lainnya yang pernah
terjadi di wilayah Kabupaten Kepahiang adalah gempa bumi pada tanggal 15 Mei 1997 dengan
kekuatan M = 5,0 yang mengakibatkan setidaknya 65 bangunan rusak berat dan ringan. Sejarah
gempa besar ini sudah cukup mengingatkan kembali bahwa keberadaan kita sangat dekat
dengan zona gempa bumi darat.
Zona gempa bumi darat atau patahan lokal yang ada di Bengkulu keberadaanya sangat
dekat pemukiman warga bahkan pusat perkotaan. Tentu tidaklah berlebihan jika dikatakan
bahwa beberapa wilayah kota yang ada di daerah Bengkulu berdiri di atas zona gempa bumi
darat. Segmen Musi misalnya, memanjang dari Kabupaten Rejang Lebong, melewati Kota
Kepahiang hingga sampai ke Desa Ulu Musi Sumatera Selatan. Pusat perkantoran Kabupaeten
Kepahiang juga berdiri di atas zona ini. Begitu juga Segmen Manna yang memanjang dari
Manna-Bengkulu Selatan hingga melewati Kota Pagaralam-Sumatera Selatan. Tidak terkecuali
Segmen Ketahun, memanjang mulai melalewati Ketahun, Tes hingga Muaraaman.. Tiga
segmen patahan lokal ini memiliki panjang yang bervariasi. Segmen Musi memiliki panjang
berkisar 70 km, , Segmen Manna memiliki panjang berkisar 85 km, dan Segmen Ketahun
berkisar 85 km.
Sebagaimana kita ketahui bahwa gempa bumi memiliki karakteristik yang terjadi secara
berulang pada kawasan yang sama. Artinya, jika suatu daerah pernah terjadi gempa bumi, maka
berpeluang terjadi kembali pada waktu tertentu. Perulangan terjadinya gempa bumi ini yang kita
kenal sebagai periode ulang. Berdasarkan hasil analisa secara statistik, periode ulang gempa
bumi kekuatan M ≥ 5,0 di kawasan ini setiap 19 tahun sekali. Artinya jika di kawasan Segmen
Musi-Kepahiang pernah terjadi gempa bumi M=5,0 pada tahun 1997, maka berpeluang terjadi
kembali pada tahun 2016. Walau masih dalam hitungan statistik, tetapi setidaknya kita patut
senantiasa meningkatkan kewaspadaan terhadap ancaman gempa bumi yang setiap saat
mengintai kita.
Dapat kita bayangkan jika gempa bumi darat berkekuatan M≥5,0 dengan kedalaman
dangkal dan lokasi sangat dekat dengan pusat kota terjadi di salah satu kawasan patahan lokal
Bengkulu. Dimana kondisi saat ini yang jauh berbeda seperti tahun 1997, gedung-gedung
bertingkat sudah cukup banyak, jumlah penduduk semakin bertambah. Artinya, potensi
Upaya Pengurangan Risiko
Kita harus menyadari bahwa kita sudah terlanjur “menumpang” hidup di kawasan seismik
aktif. Sesungguhnya, gempa bumi bukanlah ancaman bagi masyarakat sekitanya. Namun,
dampak sekunder dari gempa bumi itulah yang bisa menyebabkan kerugian, kerusakan, bahkan
korban jiwa. Dampak sekunder gempa bumi antara lain tanah longsor, tertimpah reruntuhan
bangunan, kebakaran, ledakan gas, dll.
Mengenali lingkungan sekitar menjadi kunci utama dalam upaya mengurangi risiko saat
terjadi gempa bumi. Upaya yang dapat dilakukan antara lain mengatur pintu keluar seefektif
mungkin sebagai jalur evakuasi, mengatur tata letak furniture dalam rumah agar tidak
membahayakan atau menghalangi jalan keluar ketika terjadi gempa bumi. Jika memungkinkan
lengkapi rumah kita dengan peralatan keselamatan (tabung pemadam kebakaran, kotak P3K,
senter, radio, dll).
Memperhatikan kondisi bangunan seperti kekuatan pondasi, struktur kerangka serta
dinding dan atap bangunan yang kuat dengan memperhatikan faktor amplifikasi dan percepatan
tanah setempat adalah salah satu usaha yang dapat diambil dalam upaya mengurangi risiko
kerusakan bangunan saat terjadi gempa bumi. Ancaman tanah longsor saat adanya getaran
gempa bumi juga perlu diperhatikan oleh penduduk yang bertempat tinggal di sekitar tebing
atau lereng yang curam. Penelitian menunjukkan bahwa pada wilayah yang miring atau curam
dapat terjadi longsoran dangkal, longsoran dalam, dan runtuhnya bebatuan yang disebabkan
oleh getaran gempa bumi.
Pemerintah daerah hendaknya melakukan pemetaan (mikrozonasi) secara menyeluruh
wilayah-wilayah yang memiliki potensi kerusakan parah saat terjadi gempa bumi. Pemetaan
ini bisa menjadi rekomendasi untuk tidak mendirikan bangunan pada wilayah-wilayah yang
memilki potensi kerusakan parah saat terjadi gempa bumi. Sebagai alternatif penggantinya,
wilayah ini mungkin hanya direkomendasikan sebagai lahan produktif seperti berladang dan
bercocok tanam.
Penerapan SNI 03-1726-2002 untuk konstruksi bangunan (building code) tahan
gempa bumi juga harus dilakukan. Pendirian gedung fasilitas umum tahan gempa sangat
penting diperhatikan oleh pemerintah mengingat padatnya mobilitas aktivitas yang terjadi
Melakukan kegiatan sosialisasi secara rutin kepada seluruh lapisan masyarakat
tentang potensi bahaya gempa bumi dan upaya-upaya menghadapinya saat gepabumi terjadi
mungkin harus dijadikan salah satu agenda tetap dalam rangka mitigasi bencana gempa bumi.
Sosialisasi bisa kepada pelajar mulai tingkat taman kanak-kanak (TK) hingga sekolah
mengengah atas (SMA), kantor-kantor pemerintahan juga bisa dijadikan sasaran sosialisasi,
serta masyarakat umum mulai dari tingkat RT dan RW. Dengan demikian, diharapkan semua
lapisan masyarakat memilki pengetahuan dan pemahaman yang sama akan adanya potensi
bahaya gempa bumi di wilayah sekitar serta upaya-upaya yang dilakukan untuk penguragan
risiko terhadap bencana ini.
Melakukan kegiatan simulasi gempa bumi kuat di lingkungan gedung bertingkat juga
merupakan salah satu upaya melatih kesiapsiagaan sebelum menghadapi gempa bumi yang
sesungguhnya. Selain melatih kesiapsiagaan serta seberapa besar kepedulian kita terhadap
lingkungan dan fasilitas kantor, kegiatan simulasi gempa bumi kuat juga bisa menjadi salah
satu tolak ukur seberapa besar kapasitas dan fasilitas yang kita miliki. Kondisi gedung
bertingkat tidaklah sama dengan gedung satu lantai, sehingga gedung bertingkat memerlukan
jalur evakuasi yang tertata rapih dan dikuasai oleh penghuni gedung serta mudah dipahami