• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelibatan Masyarakat Dalam terhadap Kebijakan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pelibatan Masyarakat Dalam terhadap Kebijakan"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Pelibatan Masyarakat Dalam Kebijakan Publik

24 April 2009

ulax Hukum dan Kebijakan 1 Komentar

Wali Kota Metro Lukman Hakim dalam tulisannya di Lampung Post berjudul Anggaran untuk Rakyat memaparkan salah satu program “unggulan” untuk daerahnya. Menurutnya, anggaran yang dibiayai melalui pos bantuan APBD Kota Metro, menekankan pentingnya keterlibatan seluruh lapisan masyarakat dalam pelaksanaan Program Pemberdayaan Masyarakat (PPM). Alasannya, pemberdayaan masyarakat tidak akan bisa terwujud hanya dengan cara pemberian bantuan dana semata, lebih daripada itu, implementasi program pemberdayaan masyarakat ini juga dipandang sebagai sarana atau proses pembelajaran, baik bagi aparatur maupun masyarakat agar lebih mampu menangani persoalan-persoalan yang terjadi di daerahnya.

Tak pelak lagi, pelibatan masyarakat pada penentuan dan implementasi kebijakan publik, termasuk dalam Program Pemberdayaan Masyarakat (PPM), menjadi suatu keniscayaan. Pengertian ini oleh Carter (1977), dimaksudkan sebagai suatu kebijakan yang melibatkan masyarakat umum, dikenal sebagai partisipasi atau peran serta masyarakat, yakni suatu proses interaksi dua arah yang berlangsung terus-menerus untuk meningkatkan

pengertian masyarakat secara penuh atas suatu proses kegiatan, di mana masalah-masalah dan kebutuhan masyarakat dianalisis oleh lembaga yang berwenang, dan dalam pada itu akan terjadi feed forward information (komunikasi dari pemerintah kepada masyarakat tentang suatu kebijakan) dan feedback information (komunikasi dari masyarakat ke pemerintah atas kebijakan itu).

Secara lebih khusus, pelibatan warga masyarakat dalam penentuan kebijakan publik sesungguhnya merupakan suatu cara untuk membahas incentive material yang mereka butuhkan. Dengan perkataan lain, keterlibatan warga masyarakat dalam proses

perencanaan dan implementasi kegiatan-kegiatan yang merupakan kebijakan publik merupakan insentif moral sebagai “paspor” mereka untuk memengaruhi lingkup makro yang lebih tinggi, yakni tempat dibuatnya keputusan-keputusan yang sangat menentukan bagi keberlangsungan hidup mereka di kemudian hari.

Di samping itu, upaya pelibatan masyarakat dalam berbagai kegiatan yang merupakan kebijakan publik, sebetulnya juga sudah memasuki ranah politik. Dari sudut pandang ilmu politik, pertanyaan pokok yang biasanya diajukan dalam melihat sebuah kebijakan adalah, siapa yang membuat dan siapa yang diuntungkan dari implementasi kebijakan itu; dan apakah dalam proses penentuan kebijakan itu telah melibatkan sebanyak mungkin kalangan masyarakat. Kenyataan menunjukkan, masih banyak program-program

pembangunan yang selama ini dijalankan, dianggap sebagai masalah teknis administratif belaka.

(2)

masyarakat dalam proses perencanaan dan penetapan kebijakan-kebijakan publik menjadi sangat lemah.

Secara teoretis, keterlibatan masyarakat dalam proses penetapan dan implementasi kebijakan publik bisa dilakukan melalui dua model, yaitu model konsultatif dan model kemitraan. Dalam model yang pertama (konsultatif), yang terjadi adalah, anggota masyarakat didengar pendapatnya dan berhak untuk diberitahu, sedangkan keputusan terakhir tetap berada di tangan pejabat pembuat kebijakan tersebut, sedangkan partisipasi masyarakat dalam model yang kedua (kemitraan), pejabat pembuat keputusan dan

anggota-anggota masyarakat merupakan mitra yang relatif sejajar kedudukannya. Mereka bersama-sama membahas masalah, mencari alternatif pemecahan masalah, dan

membahas keputusan.

Pentingnya pelibatan anggota masyarakat dalam setiap perencanaan dan implementasi kebijakan publik, termasuk dalam kegiatan PPM, disebabkan karena beberapa alasan, antara lain adalah sebagai berikut: (1) masyarakat yang potensial dikorbankan atau terkorbankan oleh suatu kegiatan pembangunan memiliki hak untuk diajak bicara (right to be consulted); (2) merupakan strategi untuk mendapatkan dukungan masyarakat (public support) bila masyarakat merasa memiliki akses terhadap pengambilan keputusan dan kepedulian masyarakat kepada tiap tingkatan pengambilan keputusan; (3) sebagai alat untuk mendapatkan masukan berupa informasi dalam proses pengambilan keputusan, sehingga pandangan dan preferensi dari masyarakat tersebut menjadi masukan yang bernilai guna mewujudkan keputusan yang responsif; (4) sebagai suatu cara untuk mengurangi atau meredakan konflik melalui usaha pencapaian konsensus dari pendapat-pendapat yang ada. Sebab, bertukar pikiran dengan warga masyarakat biasanya akan dapat meningkatkan pengertian dan toleransi serta mengurangi rasa ketidakpercayaan (misstrust) dan kerancuan (biasses); (5) sebagai upaya untuk “mengobati” masalah-masalah psikologis yang terjadi di kalangan masyarakat seperti halnya perasaan

ketidakberdayaan (sense of powerlessness), tidak percaya diri, dan perasaan bahwa diri mereka bukan merupakan komponen penting dalam masyarakat.

Siswanto (2001), tujuan utama pelibatan anggota masyarakat dari sejak tahap awal perencanaan sebuah kebijakan adalah untuk menghasilkan masukan dan persepsi yang berguna dari warga negara dan warga masyarakat yang berkepentingan (public interest) dalam rangka meningkatkan kualitas pengambilan keputusan. Karena dengan melibatkan warga masyarakat yang potensial terkena dampak kegiatan–termasuk

kelompok-kelompok kepentingan (interest groups) yang ada–para pengambil keputusan akan dapat menangkap pandangan, kebutuhan, dan pengharapan dari warga masyarakat dan

kelompok-kelompok kepentingan tersebut serta menuangkannya ke dalam sebuah konsep kegiatan yang memang benar-benar dibutuhkan.

(3)

Dari sudut pandang yang lain, dalam konteks pembangunan yang berwawasan lingkungan, seluruh perizinan dan persetujuan dari suatu kegiatan pembangunan juga harus didasarkan pada perencanaan tata ruang. Mengapa? Hal ini disebabkan karena perencanaan tata ruang memberikan informasi tentang kegiatan-kegiatan tertentu yang memenuhi ambang batas daya dukung lingkungan. Sehubungan dengan itu, paling tidak dalam konteks penataan ruang ini ada dua jenis kebutuhan yang mendasari keterlibatan anggota masyarakat, yaitu:

1.Kebutuhan fungsi kontrol.

Di dalam proses penerapan maupun perubahan tata ruang, seringkali berjalan tanpa dilandasi pertimbangan-pertimbangan maupun arahan pembangunan yang berwawasan lingkungan. Seringkali kepentingan ekonomi jangka pendek yang ditentukan oleh kelompok elite, secara dominan mewarnai penetapan tata ruang. Untuk mencegah penyimpangan seperti ini, keterlibatan masyarakat dapat didayagunakan untuk

menjalankan peran kontrol (watchdog). Prasyarat untuk menjalankan peran watchdog yang efektif adalah: (a) akses masyarakat yang luas terhadap informasi tata ruang; (b)

kesadaran masyarakat yang tinggi tentang pentingnya berpartisipasi; dan (c) kemampuan memahami objek permasalahan.

2. Kebutuhan Informasi dan Data Sosial

Keterlibatan masyarakat dalam perencanaan dan penentuan kebijakan publik menjadi penting dalam kerangka menjadikan sebuah kebijakan sebagai hal yang responsif (responsive planning). Sebuah perencanaan yang responsif menurut Mc Connel (1981) adalah proses pengambilan keputusan tentang sebuah perencanaan yang tanggap pada preferensi serta kebutuhan dari masyarakat yang potensial terkena dampak apabila sebuah kebijakan publik diimplementasikan.

Dalam situasi di mana perencanaan sebuah kebijakan publik sepenuhnya merupakan produk dari biroksasi (planner) ataupun penyelenggara negara, maka produk yang demikian biasanya sarat dengan pertimbangan-pertimbangan serta kriteria teknis

(technical), ilmiah (scientific), dan ekonomis (economics) ketimbang pertimbangan sosial dan preferensi masyarakat serta etika berdemokrasi. Oleh karena itu, untuk mencegah sense of technicism dan sense of elitism dari sebuah perencanaan kegiatan publik, maka keterlibatan masyarakat menjadi sesuatu yang sangat dibutuhkan dan penting.

Namun demikian, dari awal juga perlu disadari bahwa semangat pelibatan anggota masyarakat tidak selalu membawa dampak positif, atau setidaknya bisa menghambat pelaksanaan suatu program pembangunan. Biasanya masyarakat justru kebingungan terhadap isu yang telah ditelaah.

(4)

ada dalam masyarakat. Di samping itu, para penentu kebijakan acapkali juga kesulitan menentukan siapa wakil dari masyarakat yang akan mewakili kepentingan mereka.

http://ulax.wordpress.com/2009/04/24/pelibatan-masyarakat-dalam-kebijakan-publik/

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK

Tinggalkan sebuah balasan

Implementasi kebijakan merupakan tahapan yang sangat penting dalam keseluruhan struktur kebijakan. Tahap ini menentukan apakah kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah benar-benar aplikabel di lapangan dan berhasil menghasilkan output dan outcomes seperti direncanakan. Untuk dapat mewujudkan output dan outcomes yang ditetapkan, maka kebijakan publik perlu untuk diimplementasian tanpa diimplementasikan maka kebijakan tersebut hanya akan menjadi catatan-catatan elit sebagaimana dipertegas oleh Udoji (dalam Agustino, 2006) yang mengatakan bahwa pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting bahkan mungkin jauh lebih penting daripada pembuatan kebijakan. kebijakan-kebijakan hanya akan sekedar berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak diimplementasikan.

Sejalan dengan pendapat Udoji, George Edward III (dalam Winarno, 2008) berpandangan bahwa implementasi adalah krusial bagi administrasi publik dan kebijakan publik. Implementasi merupakan tahap kebijakan antara pembentukan program dan konsekwensi kebijakan bagi masyarakat yang dipengaruhinya. Apabila suatu program tidak tepat atau tidak bisa mengurangi masalah yang merupakan sasaran kebijakan, maka program itu mungkin akan mengalami kegagalan sekalipun program itu diimplementasikan dengan baik, sedangkan suatu program yang cemerlang mungkin juga akan menghadapi kegagalan bila program tersebut kurang diimplementasikan dengan baik. Beranjak dari pandangan tersebut, dapat diperoleh gambaran bahwa implementasi suatu program mempunyai peran penting dan menentukan dalam menanggulangi masalah yang merupakan sasaran kebijakan.

(5)

definitif. Dalam kamus Webster (wahab, 2008) pengertian implementasi dirumuskan secara pendek, dimana “to implementation” (mengimplementasikan) berarti “to provide means for carrying out (menyediakan sarana untuk melakukan sesuatu); to give practical effect to” (menimbulakan dampak/ akibat terhadap sesuatu). Beranjak dari rumusan implementasi tersebut dapat diperoleh gambaran bahwa “to implementation (mengimplementasikan) berkaitan dengan suatu aktifitas yang terlaksana melalui penyediaan sarana (misalnya: undang-undang, peraturan pemerintah, pedoman pelaksanaan, sumber daya dan lain-lain) sehingga dari aktifitas tersebuat akan menimbulkan dampak/ akibat terhadap sesuatu.

Tidak jauh berbeda dari pandangan tersebut, Mazmanian dan Sebastier (dalam Wahab, 2008) merumuskan implementasi kebijakan sebagai:

“Memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijakan, yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah dilaksanakannya pedoman–pedoman kebijakan negara, yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat-akibat/ dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian”.

Dari rumusan implementasi sebagaimana dikemukakan dalam Kamus Webster serta Mazmanian dan Sebatier diatas, maka implementasi dapat dimaknai sebagai pelaksanaan kegiatan/aktifitas mengacu pada pedoman-pedoman yang telah disiapkan sehingga dari kegiatan/aktifitas yang dilaksanakan tersebut dapat memberikan akibat/ dampak bagi masyarakat. Dari pemaknaan tersebut, inti dari implementasi terletak pada pelaksanaan aktifitas/kegiatan mengacu pada pedoman yang telah disiapkan. Pelaksanaa aktifitas/kegiatan tersebut perlu dilaksanakan dengan baik mengacu pada ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan sehingga kebijakan dapat memberikan kontribusi dalam menanggulagi masalah yang menjadi sasaran program

Pemahaman mengenai implementasi juga dikemukakan oleh Van Horn dan Van Meter (dalam Wahab, 2008) yang merumuskan implementasi sebagai:

“Those actions by public or private individuals (or groups) that are directed at the achievement of objectives set forth in prior policy decisions”(Tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu/ pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan).

Sementara itu, Lester dan Stewart (2000:104) mendefinisikan implementasi sebagai:

(6)

(Tahap penyelenggaran kebijakan segera setelah ditetapkan menjadi undang-undang. Dalam pandangan luas implementasi diartikan sebagai pengadministrasian undang-undang kedalam berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan teknik-teknik yang bekerja secara bersama-sama untuk mencapai tujuan dan dampak yang ingin diupayakan oleh kebijakan tersebut).

Pada akhirnya, berbicara mengenai implementasi menjadi belum lengkap tanpa membahas mengenai model-model implementasi dari suatu kebijakan. Menurut Parson (dalam Putra,2003) secara garis besar model implementasi kebijakan dapat dibagi menjadi empat yaitu:

1. Model Analisis Kegagalan.

Model ini dapat dipahami dari definisi implementasi yang dikemukakan sebagai berikut: implementasi sebagai proses interaksi penyusunan tujuan dengan tindakan (Pressman dan Wildavsky, 1973); implementasi sebagai politik adaptasi saling menguntungkan (McLaughlin, 1975); dan implementasi sebagai bentuk permainan (Bardach,1977) (Putra,2003).

2. Model Rasional (Top-Down).

Model ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi faktor-faktor mana yang membuat implementasi sukses. Pemahaman terhadap model ini dikemukakan oleh beberapa ahli kebijakan sebagaimana dikemukakan diantaranya oleh Van Meter dan Van Horn (1975) yang memakai pandangan bahwa implementasi perlu mempertimbangkan isi atau tipe kebijakan; Hood (1976) memandang implementasi sebagai administrasi yang sempurna; Gun (1978) memandang beberapa syarat untuk mengimplementasikan kebijakan secara sempurna; Grindle (1980) lebih memandang implementasi sebagai proses politik dan Administrasi. Sedangkan, Sebatier dan Mazmanian (1979) melihat implementasi dari kerangka analisisnya. Posisi model top-down yang diambil oleh Sabatier dan Mazmanian terpusat pada hubungan antara keputusan-keputusan dengan pencapaiannya, formulasi dengan implementasinya, dan potensi hirarki dengan batas-batasnya, serta kesungguhan implementers untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam kebijakan tersebut. Model implementasi yang dikemukakan oleh Sebatier dan Mazmanian pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan model pendekatan top-down sebagaimana dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn (1975); Hood (1976); Gun (1978); dan Grindle (1980) dalam hal perhatian terhadap kebijakan dan lingkungan kebijakan. Hanya saja pemikiran Sebatier dan Mazmanian menganggap bahwa suatu implementasi akan efektif apabila birokrasi pelaksananya mematuhi apa yang telah digariskan oleh peraturan (petunjuk pelaksanaan maupun petunjuk teknis) (Putra,2003). Dengan demikian, dapat dipahami jika model implementasi sebagaimana dikemukakan oleh Sebatier dan Mazmanian lebih difokuskan pada kesesuaian antara apa yang ditetapkan/ digariskan/diatur dengan pelaksanaan program tersebut.

(7)

Model ini merupakan kritikan terhadap model pendekatan top-down terkait dengan pentingnya faktor-faktor lain dan interaksi organisasi. Misalnya implementasi harus memperhatikan interaksi antara pemerintah dengan warga negara (Lipsky,1971). Implementasi dalam konteks model ini dapat dipahami dari beberapa definisi diantaranya: implementasi sebagai proses yang disusun melalui konflik dan tawar menawar (Wetherley dan Lipsky, 1977); implementasi harus memakai multiple frameworks (Elmor, 1978,1979); implementasi harus dianalisis dalam institusional structures (Hjern et al,1978); implementasi kebijakan merupakan proses alur (Smith,1973) (Putra,2003). Menurut Putra (2003:90) model proses atau alur yang dikemukakan oleh Smith ini melihat proses kebijakan dari perspektif perubahan sosial dan politik, dimana kebijakan yang dibuat oleh pemerintah bertujuan untuk mengadakan perbaikan atau perubahan dalam masyarakat sebagai kelompok sasaran. Dengan demikian, dapat dipahami jika model implementasi sebagaimana dikemukakan oleh Smith lebih memberikan fokus pada perubahan secara sosial dan politik yang dirasakan oleh kelompok sasaran tersebut.

4. Model Teori-Teori Hasil Sintesis (Hybrid Theories)

Model ini dapat dipahami dari definisi implementasi yang dikemukakan sebagai berikut: implementasi sebagai evolusi (Majone dan Wildavsky,1984); implementasi sebagai pembelajaran (Browne dan Wildavsky,1984); implementasi sebagai policy action continuum (Lewis dan Flynn,1978,1979: Barret dan Fudge,1981); implementasi sebagai sirkuler leadership (Nakamura dan Smallwood,1980); implementasi sebagai hubungan inter-organisasi (Hjern dan Porter,1981); implementasi dan tipe-tipe kebijakan (Ripley dan Franklin, 1982); implementasi sebagai hubungan antarorganisasi (Toole dan Montjoy,1984); implementasi sebagai teori kontingensi (Alexander,1985); implementasi sebagai analisis kasus (Pressman dan Wildavsky,1973; Bullock dan M. Lamb,1986); implementasi sebagai bagan subsistem kebijakan (Sabatier,1986); dan implementasi sebagai manajemen sektor publik (Hughes,1994).

Dari berbagai pendapat mengenai implementasi diatas, pada akhirnya dapat ditarik kesimpulan bahwa implementasi merupakan proses melaksanakan keputusan yang dihasilkan dari pernyataan kebijakan (policy statement) kedalam aksi kebijakan (policy action). Implementasi dimaksudkan untuk memahami apa yang senyatanya terjadi setelah suatu kebijakan dirumuskan dan berlaku merujuk pada kegiatan-kegiatan yang dijalankan oleh berbagai aktor yang mengikuti arahan tertentu untuk mencapai tujuan dan hasil yang diharapkan.

Sumber :

Agustino, Leo. 2006. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta.

(8)

Putra, Fadilah.2003. Paradigma Kritis Dalam Studi Kebijakan Publik:Perubahan dan Inovasi Kebijakan Publik Dalam Ruang Partisipasi Masyarakat Dalam Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Wahab, Solichin Abdul. 2008. Analisis Kebijaksanaan; Dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Sinar Grafika.

Winarno, Budi. 2008. Kebijakan Publik: Teori & Proses. Yogyakarta: Media Pressindo.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari program ini tidak lain ialah untk membantu masyarakat di kawasan daerah aliran sungai siak yaitu RW02 dan sekitarnya dalam memenuhi kebutuhan air bersih

Hasil uji hipotesis yang telah dilakukan terhadap data yang diperoleh dalam penelitian, maka ditemukan adanya efek utama penggunaan model pembelajaran yang

Untuk mendukung kegiatan pemasaran pada perusahaan rokok Djitoe diperlukan adanya penyaluran barang dari produsen kepada konsumen. Bahkan produk tersebut akan lebih

(3) Kewenangan klinis khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diberikan kepada setiap tenaga keperawatan berdasarkan area kerja/penugasan yang ditetapkan

Umbi-umbian adalah bahan nabati yang diperoleh dari dalam tanah, misalnya ubi kayu, ubi jalar, kentang, garut, kunyit, gadung, bawang, kencur, jahe, kimpul, talas, gembili,

Berdasarkan analisis didapatkan bahwa penggabungan stasiun kerja I dengan stasiun kerja II menjadi satu satsiun kerja mampu mengurangi jumlah antrian produk yang tidak

Walaupun banyak orang menilai si ibu tersebut pelit tetapi, menurut Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Prof Dr Aliyah Rasyid Baswedan, pendidikan seperti itulah yang akan

[r]