Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Analisis Rantai Nilai Industri Kreatif Produk
Batik Tulis (Studi Kasus : Desa Wisata Batik
Jarum, Bayat)
Rizky Saraswati(1), Eko Liquiddanu(2) , Fakhrina Fahma(3) (1), (2), (3)
Program Studi Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret Jl. Ir Sutami 36A Surakarta, 57126, Indonesia
(1)
saraswatirizky@gmail.com,(2)liquiddanu@gmail.com,(3)fakhrina09@gmail.com
ABSTRAK
Sebagai salah satu industri kecil yang berada di wilayah Ja wa Tengah, Kabupaten Klaten memiliki beragam industri. Salah satu industri kecil yang mengalami perkembangan adalah industri batik. Sentra industri batik kabupaten Klaten yang terkenal adalah desa Jarum, Bayat. Batik sendiri telah diakui oleh masyarakat internasional sebagai wa risan budaya dunia da ri Indonesia oleh UNESCO pada tanggal 20 Oktober 2009. Batik sebagai salah satu potensi industri kreatif kecamatan Bayat pun memba wa pengaruh signifikan terhadap perekonomian terlebih setelah batik dia kui dunia internasional. Namun usaha batik tulis Bayat masih dikerjakan seca ra mandiri da n konvensional, menyebabkan batik Bayat tidak da pat berkembang secara optimal. Oleh karena itu agar mampu menyusun analisis solusi untuk memberikan keunggulan bersaing perlu dilakukan analisis rantai nilai untuk mengidentifikasi aktivitas yang memiliki nila i tambah ekonomi tertinggi. Maka dilakukan penelitian dengan metode kualitatif pendekatan studi kasus. Dengan populasi penelitian meliputi semua pihak yang terlibat dalam rantai nilai. Dihasilkan profit margin terbesar pada aktivitas inbound logistic dan nilai tambah terbesar baik untuk kain batik tulis wa rna alam dan sintetis adalah proses penjualan kepada konsumen.
Kata kunci— Rantai nilai, batik tulis, desa jarum, bayat
I. PENDAHULUAN
Sebagai salah satu pusat industri kecil yang berada di wilayah Jawa Tengah, Kabupaten Klaten memiliki beragam industri. Hal ini dibuktikan dengan data Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan UMKM Kabupaten Klaten tahun 2014 terdapat 32.920 unit industri kecil dengan jumlah tenaga kerja sebesar 135.845 (BPS Klaten, 2014). Salah satu industri kecil yang mengalami perkembangan adalah industri batik.
Sentra industri batik kabupaten Klaten yang terkenal adalah di desa Jarum, kecamatan Bayat. Batik sendiri telah diakui oleh masyarakat internasional sebagai warisan budaya dunia yang berasal dari Indonesia oleh UNESCO pada tanggal 20 Oktober 2009. Batik sebagai salah satu potensi industri kreatif kecamatan Bayat pun membawa pengaruh signifikan terhadap perekonomian terlebih setelah batik diakui oleh dunia internasional. Hal ini didukung oleh pihak pemerintah, disebutkan dalam penelitian Ishack (2004) rencana pembangunan pada tingkat kecamatan di kabupaten Klaten tahun 2009 lebih difokuskan terhadap program kualitas hidup berbasis usaha mikro, dengan sasaran penguatan sektor industri mikro paling utama adalah Bayat. Namun perkembangan IKM saat ini mengalami penurunan daya saing di pasar internasional.
Menurut global competitiveness report (world economic forum) indeks daya saing Indonesia
cenderung terus menurun selama tiga tahun terakhir. Pada tahun 2014 Indonesia berada pada posisi 34 dan turun tiga peringkat menjadi 37 pada tahun 2015. Sedangkan pada tahun 2016 Indonesia berada diposisi 41 dari total 144 negara. Indonesia masih kalah jauh dibandingkan negara lainnya di Asia Tenggara yang berdaya saing tinggi seperti Thailand (32), Malaysia (18) dan Singapura (2).
nilai (value chain) yang efektif. Porter (1985) dan Kaplinsky dan Morris (2003) menjelaskan
rantai nilai yang efektif adalah kunci keunggulan kompetitif (competitive advantage) yang
mampu menghasilkan nilai tambah (value added) bagi industri. Begitu strategisnya peran
industri batik, untuk itu diperlukan upaya memberikan keunggulan bersaing dengan industri lainnya dalam hal ini desa Jarum, kecamatan Bayat meliputi aspek keterampilan manusia, sumber daya alam, lingkungan, dan budaya terkait industri batik diharap mampu menarik investor untuk berinvestasi. Era persaingan yang semakin tinggi menuntut seluruh pihak terkait industri batik di desa Jarum, kecamatan Bayat bertindak dan berinovasi agar industri tersebut tetap unggul dan mempertahankan eksistensinya. Kota Solo sebagai wilayah pemasaran dan pemasok kebutuhan utama batik Bayat, pun mendukung hal ini seperti tertuang dalam Peraturan Daerah Kota Surakarta nomor 1 tahun 2012 mengenai rencana pembangunan menengah daerah kota Surakarta tahun 2011-2031. Menurut pasal 6 ayat 2b peraturan daerah
kota Surakarta menyebutkan bahwa pemerintah daerah menjalin kerjasama dengan daerah
otonom kawasan andalan SUBOSUKAWONOSRATEN (Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen, dan Klaten) untuk memantapkan pelayanan dan pengembangan kota.
Upaya yang dilakukan pemerintah kota Solo ini dirasa tepat. Akibat tingginya permintaan batik tulis kota Solo yang tidak dapat terpenuhi, maka wilayah sekitar kota Solo yaitu Klaten mampu menjadi solusi untuk memenuhi permintaan yang ada. Dipilih batik Bayat dikarenakan batik ini terkenal memiliki kehalusan dan proses pewarnaan yang sempurna. Selain itu batik Bayat memiliki corak dominan warna sogan atau kecoklatan yang identik dengan warna batik keraton Kasunanan Surakarta dan cenderung mengikuti selera pasar yang berkembang di wilayah Solo.
Dengan mempertimbangkan latar belakang diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui rantai nilai terkait berbagai aktivitas dalam industri batik Bayat agar mampu menyusun analisis solusi untuk memberikan keunggulan bersaing bagi industri batik Bayat dan para pelakunya berdasarkan aktivitas yang menimulkan nilai tambah.
II. METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus yang berlokasi di desa wisata batik Jarum,Bayat. Dengan populasi penelitian meliputi semua pihak yang terlibat dalam rantai aktivitas primer dan pendukung proses produksi batik terdiri dari para pengrajin,
pemasok bahan baku, dan konsumen yang terdiri atas wholesaler, retailer, dan pelanggan.
Dilakukan kegiatan observasi dan wawancara dengan kuesioner terbuka guna mengumpulkan informasi terkait berbagai aktivitas yang terdiri dari tiga tahap. Tahapan pertama adalah menguraikan aktivitas inti dan pelengkap rantai nilai pada industri batik tulis Bayat. Analisis rantai nilai mampu memberikan informasi mengenai seluruh siklus produksi dan para pelaku yang berkaitan hingga hubungan pasar akhir. Tahapan kedua, menghitung nilai tambah para pelaku dalam tiap aktivitasnya. Dilakukan analisis terhadap aliran produksi tiap pelaku dan nilai tambah dengan mencari selisih antara harga jual dan biaya produksi yang dikeluarkan. Dihasilkan model rantai nilai porter untuk mempermudah pemahaman mengenai nilai tambah yang terjadi.
Tahap terakhir berupa pemetaan rantai nilai dari hasil analisis yang telah dilakukan. Pemetaan ini terdiri atas empat tahapan kreasi, produksi, distribusi dan komersialisasi akan memberikan kemudahan bagi para pelaku yang bersinggungan dengan industri batik diantarnya pengrajin, tenaga kerja, konsumen, UMKM, dan perguruan tinggi untul mengembangkan industri batik Bayat.
1. Konsep Rantai Nilai
Menurut Departemen Perdagangan Republik Indonesia dalam buku “ Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2025” (2008: 81) Rantai nilai yang dimaksudkan adalah suatu proses penciptaan nilai mulai dari input hingga output dari pengolahan sumber dayanya. Rantai nilai terkait industri kreatif akan mengutamakan desain dalam tiap prosesnya dengan daya cipta dan
kreatifitas yang dihasilkan individunya. Dengan pemetaan rantai nilai, stakeholder lebih mudah
faktor dalam pengembangannya yaitu kreasi, produksi, distribusi dan komersialiasi.
Menurut Porter (1985) konsep rantai nilai memberikan kerangka terhadap organisasi dalam mengelola pertimbangan substansial dalam mengalokasikan sumber dayanya, menciptakan pembeda dan efektifas pengaturan biaya. Porter, mengajukan suatu model rantai nilai seperti pada gambar 1 sebagai alat untuk mengidentifikasi berbagai cara untuk menghasilkan nilai tambah
yang terdiri dari aktifitas-aktifitas nilai dan keuntungan (margin), aktifitas nilai dibagi menjadi 5
aktifitas utama (primary activities) yang terdiri dari inbound logistik, operasi,outbound
logistik,penjualan dan pemasaran, serta service. Dan 4 aktifitas pendukung (support activities)
yang terdiri dari pengadaan pengembangan teknologi, manajemen sumber daya alam, dan infrastruktur perusahaan.
Gambar 1 Model Rantai nilai Porter
2. Analisis Rantai Nilai
Agar industri mampu bertahan dalam persaingan usaha yang selalu berubah, perlu dilakukan antisipasi dalam menghadapi hal-hal yang berpotensi merugikan agar mampu memperoleh keunggulan bersaing. Maka diperlukan analisis rantai nilai sebagai analisis aktivitas dilakukan meliputi proses pengadaan, penyimpanan, penggunaan, sampai di tangan konsumen yang mampu memberikan nilai tambah bagi seluruh pelaku yang terlibat (Machfoedz, 2004)
Menurut Widarsono (2009) terdapat tiga tahapan dalam analisis rantai nilai yaitu :
1.Mengidentifikasi aktifitas rantai nilai
2.Mengidentifikasi biaya (cost driver) yang ditimbulkan pada setiap aktivitas nilai
3.Mengembangkan keunggulan kompetitif
a.Mengidentifikasi keunggulan kompetitif atau diferensiasi.
b.Mengidentifikasi peluang akan nilai tambah.
c.Mengidentifikasi peluang untuk mengurangi biaya.
3. Nilai Tambah
Konsep rantai nilai (value chain) berbeda dengan konsep nilai tambah (value added). Menurut
Tarigan (2004) nilai tambah suatu produk merupakan nilai hasil produk dikurangi dengan biaya
antara yang terdiri dari biaya bahan baku dan bahan penolong. Konsep nilai tambah (value added)
menekankan pada nilai yang ditambahkan selama proses sebagai biaya antara. Menurut Makki dkk (2001), apabila komponen biaya antara yang ditimbulkan nilainya semakin besar, maka nilai tambah produk tersebut akan semakin kecil dan begitu pula sebaliknya.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Identifikasi Aktivitas Para Pelaku Rantai Nilai Batik Tulis Bayat
Aliran informasi pemesanan dimulai dari konsumen melakukan pemesanan dengan datang langsung ke lokasi pengrajin atau memesan melalui telepon, selanjutnya pengrajin akan
melakukan pembelian bahan baku dan peralatan yang dibutuhkan kepada pemasok (supplier).
Setelah mendapatkan kebutuhan pengrajin akan membagikan pekerjaan tersebut kepada pekerja untuk diproses. Juru nyoret akan memperbanyak motif batik yang akan dikerjakan, apabila telah selesai maka kain yang telah digambar akan diberikan kepada juru batik untuk di canting selama beberapa hari. Batik yang telah selesai di canting akan diberikan warna oleh juru warna sesuai warna yang diinginkan.
konsumen. Namun,terkadang pengrajin mengolah kain batik tulis tersebut menjadi produk lainnya. Untuk itu pengrajin melakukan pemesanan kepada konveksi untuk melakukan proses penjahitan. Setelah produk selesai dijahit maka konveksi akan menyetorkan produk tersebut kepada pengrajin untuk dijual kepada konsumen. Selain melakukan order kepada konveksi terkadang pengrajin pun melakukan order ke sesama pengrajin Bayat untuk melakukan pewarnaan kain khusunya teknik pewarnaan alam dan saling menitipkan kain hasil produksinya.
Aliran informasi pemesanan dan proses produksi batik tulis di desa Jarum, Bayat ditampilkan pada gambar 2 dibawah ini.
Gambar 2 Aliran informasi rantai nilai industri batik tulis Bayat
B. Aktivitas Nilai Tambah Produksi Batik Tulis Bayat
Berdasarkan hasil perhitungan yang telah dilakukan pada Tabel 1 diketahui untuk memproduksi kain batik tulis warna alam dibutuhkan biaya sekitar Rp 105.916 dengan biaya pendukung lainnya sekitar Rp 29.833. Sehingga total biaya yang dibutuhkan sebesar Rp 135.750 dengan harga jual rata-rata sebesar Rp 400.000. Sedangkan biaya yang dibutuhkan untuk memproduksi kain batik tulis warna sintetis dibutuhkan biaya sekitar 102.750 dengan biaya pendukung lainnya sekitar Rp 29.833. Sehingga total biaya yang dibutuhkan sebesar Rp 132.583 dengan harga jual rata-rata sebesar Rp 350.000.
Maka diperoleh nilai tambah untuk kain batik tulis warna alam dan sintetis sebesar 66,06 % dan 62,12% untuk penjualan kepada pelanggan perseorangan. Diperoleh pula 61,93% dan
57,68% untuk penjualan kepada retailer dan wholesaler.
Tabel 1 Nilai Tambah Produksi Batik Tulis di Desa Jarum, Bayat
No Jenis biaya Biaya
Pewarna (tiap kebutuhan dapat digunakan bersama untuk 60 kain)
1,04% juru warna (per hari 10 kain)
Rp 3.000
C. Analisis Rantai Nilai Batik Tulis Bayat
Berdasarkan gambar dibawah ini diketahui bahwa nilai tambah terbesar terdapat pada operasi dan outbond logistic sebesar Rp 60.000. Hal ini dikarenakan biaya tenaga kerja pengrajin Bayat baik juru nyoret, juru batik, dan juru warna cukup tinggi sebanding dengan kemampuan dan keterampilan tenaga kerja dalam menghasilkan produk. Selanjutnya nilai tambah terbesar kedua
ditempati oleh inbound logistic sebesar Rp 51.917 karena harga bahan baku yang cukup tinggi
dan hanya tersedia di luar wilayah Klaten yaitu di kota Solo dapat dilihat pada Gambar 3. Dan yang terakhir adalah penjualan dan pemasaran serta servis sebesar Rp 20.000 karena proses pemeliharaan peralatan masih yang dilakukan sederhana dan tidak rutin serta penjualan dan pemasaran dilakukan secara tradisional sehingga pengrajin tidak memerlukan biaya yang tinggi.
Gambar 3 Contoh gambar grafik dengan warna kontras
D. Pemetaan Rantai Nilai Batik Tulis Bayat
Setelah didapatkan hasil analisis rantai nilai maka digambarkan model pembentukan nilai industri batik Bayat sebagai salah satu industri kreatif. Pada industri kreatif, proses penciptaan nilai dalam hal ini industri batik bersinggungan dengan pengembangan desain dalam menciptakan produknya. Untuk menyusun pemetaan rantai nilai ini didapatkan data pendukung melalui
observasi dan metode wawancara in depth dengan para pelaku.
Gambar 4 Pemetaan rantai nilai industri kreatif batik tulis Bayat
IV. PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut ini.
1. Didapatkan aliran informasi dan pemesanan terkait aktivitas dalam rantai nilai industri
batik Bayat mulai dari proses pengadaan bahan baku, proses produksi, hingga proses penjualan dan pemasaran kepada konsumen akhir.
2. Didapatkan hasil biaya total untuk memproduksi kain batik tulis warna alam dibutuhkan
biaya sekitar Rp 135.750 dengan harga jual rata-rata sebesar Rp 400.00. Sedangkan biaya total yang dibutuhkan untuk memproduksi kain batik tulis warna sintetis Rp 132.583 dengan harga jual rata-rata sebesar Rp 350.000.
Maka diperoleh nilai tambah untuk kain batik tulis warna alam sebesar 66,06 % untuk
penjualan kepada pelanggan perseorangan dan 61,93% untuk penjualan kepada retailer
dan wholesaler. Dan nilai tambah untuk kain batik tulis warna sintetis sebesar 62,12% untuk penjualan kepada pelanggan perseorangan dan 57,68% untuk penjualan kepada
retailer dan wholesaler.
3. Didapatkan hasil dari analisis rantai nilai bahwa profit margin yang dihasilkan sebesar
Rp 135.750 per potong kain dengan ukuran 2m. Profit margin yang dihasilkan dari produk batik tulis dapat ditingkatkan dengan cara meningkatkan kinerja para pengrajin batik
dengan mempertimbangkan aktivitas inbound logistic, operasi, penjualan dan pemasaran,
serta outbound logistic. Pada aktivitas outbound logistic dan operasi perlu
dipertimbangkan mengenai biaya tenaga kerja. Pada aktivitas inbound logistic perlu
dipertimbangkan proses pengadaan bahan baku untuk kain mori dan pewarna. Pada aktivitas penjualan dan pemasaran serta servis harus mempertimbangkan proses pemasaran produk batik tulis.
4.
Didapatkan model pembentukan nilai industri batik tulis Bayat melalui pemetaan terdiriDAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Kabupaten Klaten, 2014, Perusahaan Industri dan Tenaga Kerja Menurut Kelompok Usaha Di Kabupaten Klaten Tahun 2014. https://klatenkab.bps.go.id/, Diakses Pada 26 Juni 2017.
Departemen Perdagangan Republik Indonesia, 2008, Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2025: Rencana Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2009-2015.
Dinas perindustrian dan perdagangan Koperasi dan UMKM, 2014, Kabupaten Klaten Ishack, 2004, Profil Sukses Sektor Industri di Kla ten, Usahawan, XVI/IV,
hlm.11-29.
Kaplinsky, R., Memedovic, O., Morris, M. L. & Readman, J. 2003. The Global Wood Furniture Value Chain: What Prospects for Upgrading by Developing Countries, Vienna, United Nations Industrial Development Organization.
Machfoedz, Mas’ud, 2004, Perubahan Peran Akuntan Manajemen, Media Akutan Manajemen, Meida Akuntansi No 38/Maret.
Makki, M. F. dkk, 2001, Nilai Tambah Agroindustri pada Sistem Agribisnis Kedelai di Kalimantan Selatan, Dalam jurnal Agro Ekonomika. Vol. VI. No. 1. Juli 2001.
Mangifera, L, 2015, Analisis Rantai Nilai (Value Chain) Pada Produk Batik Tulis di Surakarta, Jurnal Manajemen dan Bisnis BENEFIT, 19 (1), p 24-33
Nurmiansyah, 2011, Analisis Rantai Nilai (Value Chain) Industri Pa kaian Jadi di Indonesia, Tesis tidak dipublikasikan, Jogjakarta : Universitas Gadjah Mada.
Peraturan Daerah Kota Surakarta No 1 tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Surakarta Tahun 2011-2031
Porter, E. M. 1985. Competitive Advantage-Creating and Sustaining Superior Performance, New York : Free Press.
Tarigan, R, 2004, Ekonomi Regional, Bumi Angkasa, Jakarta. UNESCO. Indonesia Batik : UNESCO, 2009
Widarsono, Agus, 2009, Strategic Value Chain Analysis (Analisis Stratejik Rantai Nilai : Suatu Pendekatan Manajemen Biaya.