• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBIJAKAN FORMULASI PENEGAKAN HUKUM PIDA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KEBIJAKAN FORMULASI PENEGAKAN HUKUM PIDA"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

KEBIJAKAN FORMULASI PENEGAKAN HUKUM PIDANA SERTA HAK ASASI MANUSIA PADA PEMANFAATAN LINGKUNGAN DAN SUMBER

DAYA ALAM OLEH PERUSAHAAN MULTINASIONALOleh : Benny Sumardiana, S.H., M.H.

(Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang) ABSTRAK

Modernisasi dan Pembangunan telah membawa banyak bencana bagi lingkungan hidup dan kemanusiaan, dalam hal ini, lingkungan hidup ditafsirkan secara konvensional. Lingkungan hidup dianggap sebagai obyek. Perspektif ini memandang dan menempatkan lingkungan hidup sebagai obyek yang berkonotasi komoditi dan dapat dieksploitasi untuk semata menunjang pembangunan. Lingkungan Hidup sebagai sebuah sistem tentu tunduk pada sebuah sistem hukum alam yang ditakdirkannya. Sistem tersebut dapat berlangsung dengan seimbang jika kualitas komponen di dalamnya tetap berjalan stabil. Sebagai sebuah sistem kehidupan, maka lingkungan hidup merupakan sebuah kehidupan yang terdiri dari kehidupan masa lalu, kehidupan masa kini, dan kehidupan masa yang akan datang.

Esensi lingkungan hidup merupakan kehidupan yang melingkupi tata dan nilai-nilai kehidupan yang ada di dalamnnya. Tata dan nilai yang menjaga keberlanjutan lingkungan hidup dan sumberdaya alam dan keadilan sosial bagi kehidupan manusia atas Hak Atas Lingkungan serta Sumber Daya Alam saat ini dan generasi yang akan datang. Demikian pula yang perlu dipertegas adalah Lingkungan hidup harus dipandang dan diperlakukan sebagai subyek, dikelola untuk kehidupan berkelanjutan bukan semata -mata untuk pertumbuhan pembangunan.

Atas nama ’pembangunan’ dan ’perdagangan bebas’, pemerintah dan perusahaan- perusahan transnasional, secara terus-menerus menyerobot tanah, air, hutan, dan mineral. Semua ini mendorong pelanggaran hak asasi manusia dan lingkungan, seperti penyabotan atas tanah, penggusuran, polusi juga pengrusakan sumberdaya alam, dan hal-hal buruk lainnya. Ketidakteraturan yang dilahirkan tersebut menyebabkan pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam menjadi tidak ramah pada lapisan masyarakat tertentu yang juga melahirkan pelanggaran terhadap hak atas sumber daya alam yang juga dimiliki oleh tiap individu di Indonesia. Diperlukan sebuah formulasi khusus yang dapat mengatur secara tegas sehingga nantinya eksploitasi pada lingkungan dan sumber daya alam dapat ramah pada semua lapisan khususnya generasi di masa mendatang.

Kata kunci : Sumber Daya Alam, kebijakan formulasi, Eksploitasi, lingkungan, Perusahaan Multinasional

Artikel ini telah di publish dan disajikan dalam Seminar Nasional Bertema “Kesiapan Sistem Hukum

Sumber Daya Alam Indonesia Dalam Menghadapi Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”, yang

(2)

Pendahuluan

Negara Indonesia memiliki Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah. Kekayaan yang

terkandung didalamnya dapat mencukupi semua kebutuhan masyarakat. Indonesia yang

berada di garis katulistiwa wilayahnya membentang dari Sabang sampai Merauke, ada

belasan ribu pulau yang dihubungkan dengan lautan luas, membentang pula pegunungan,

perbukitan dengan tingkat kesuburan tanahnya yang tinggi. Dalam sejarahnya masyarakat

Indonesia memang menggantungkan hidupnya kepada alam, pada kehidupan masyarakat

tradisionalnya mereka membagi pekerjaan sebagai petani dan nelayan menyesuaikan

tempat mereka tinggal, terlihat betapa pentingnya Sumber Daya Alam (SDA) bagi

masyarakat Indonesia.

Pada umumnya, sumber daya alam berdasarkan sifatnya dapat digolongkan menjadi SDA

yang dapat diperbaharui dan SDA tak dapat diperbaharui. SDA yang dapat diperbaharui

adalah kekayaan alam yang dapat terus ada selama penggunaannya tidak dieksploitasi

berlebihan. Tumbuhan, hewan, mikroorganisme, sinar matahari, angin, dan air adalah

beberapa contoh SDA terbaharukan. Walaupun jumlahnya sangat berlimpah di alam,

penggunannya harus tetap dibatasi dan dijaga untuk dapat terus berkelanjutan. SDA tak

dapat diperbaharui adalah SDA yang jumlahnya terbatas karena penggunaanya lebih

cepat daripada proses pembentukannya dan apabila digunakan secara terus-menerus akan

habis.

Berjalannya perekonomian modern yang mulai dianut masyarakat Indonesia menuntut

masyarakat untuk meninggalkan pola pikir perekonomian tradisional yang hanya

mengambil dari alam apa yang dibutuhkan saja. Kini dengan dianutnya pola

perekonomian modern maka pola pikir tersebut bergeser, saat ini masyarakat selain

mengambil apa yang dibutuhkan dari alam, masyarakat juga dituntut untuk menyimpan

juga menjual apa yang dibutuhkan pasar dari alam, hal tersebut menuntut eksploitasi dan

eksplorasi berlebih pada alam Indonesia.

Permasalahan yang kemudian muncul adalah eksplorasi untuk kebutuhan pasar tidak

dapat dilaksanakan dengan cara tradisional karenanya pemegang modal memegang peran

besar dalam pelaksanaan eksploitasi untuk pemenuhan kebutuhan pasar ini. Kebutuhan

(3)

kecenderungannya selalu meningkat, hal ini menyebabkan seringnya terjadi eksploitasi

tanpa mempertimbangan kelestarian alam khusus yang dilakukan oleh perusahaan besar

pemilik modal.

Efek yang ditimbulkan dalam eksploitasi tanpa mempertimbangkan kelestarian

lingkungan ini adalah tentunya kerusakan alam yang berdampak besar bagi masa depan,

kemudian kerusakan yang dimunculkan akan menyebabkan kesulitan bagi masyarakat

yang masih menggunakan cara tradisional dalam mengeksplorasi dan mengeksploitasi

sumberdaya alam yang ada di Indonesia, dan hal tersebut merugikan hak asasi manusia

yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia yang pada dasarnya paling berhak atas kekayaan

yang ada di alam Indonesia.

Hak Asasi Manusia Dalam Eksploitas Dan Ekspolrasi Sumber Daya Alam Juga Lingkungan Indonesia

Lingkungan hidup adalah ruang yang ditempati oleh manusia bersama makhluk hidup

lainnya. Manusia dan makhluk hidup lainnya tentu tidak berdiri sendiri dalam proses

kehidupan, saling berinteraksi, dan membutuhkan satu sama lainnya. Kehidupan yang

ditandai dengan interaksi dan saling ketergantungan secara teratur merupakan tatanan

ekosistem yang di dalamnya mengandung esensi penting lingkungan hidup sebagai satu

kesatuan yang tidak dapat dibicarakan secara parsial. Lingkungan hidup harus dipandang

secara holistik dan mempunyai sistem yang teratur serta diletakkannya semua unsur di

dalamnya secara setara.

Eksplorasi dan eksploitasi alam secara besar-besaran telah membawa banyak bencana

bagi lingkungan hidup dan kemanusiaan, dalam hal ini, lingkungan hidup ditafsirkan

secara konvensional. Lingkungan hidup dianggap sebagai obyek. Perspektif ini

memandang dan menempatkan lingkungan hidup sebagai obyek yang berkonotasi

komoditi dan dapat dieksploitasi untuk semata menunjang pembangunan. Skala

pragmatisme serta pendekatan dan tujuan yang didominasi oleh metodologi positivisme

atas esensi lingkungan hidup telah menjadi racun bagi skala kerusakan dan dampak

bawaan lingkungan hidup. Sementara, pemanfaatan lingkungan serta sumber daya alam

(4)

Indonesia.

Dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia pada Amandemen ke-2 UUD 1945, Pasal 28H ayat (1) menyebutkan: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Dalam pasal 28 H ayat 1 ini, dalam tafsir-nya, hak hidup layak dan bersih tidak hanya merujuk pada fisik lingkungan hidup, lebih dari itu,

hak hidup layak dan bersih merupakan esensi dan eksistensi manusia untuk dijamin agar

terpenuhinya hak hidup manusia.

African Charter on Human and Peoples Rights dalam Pasal 21, ayat (1) menyatakan: “Semua rakyat dapat secara bebas mengatur segala kekayaan dan sumber daya mereka. Hak ini dilaksanakan atas kepentingan eksklusif bangsa. Tidak dibenarkan suatu bangsa merampas upaya penghidupannya sendiri.”

Jika mengacu pada rumusan “semua rakyat” yang disebutkan dalam piagam tersebut, maka Hak masayarakat atas pemanfaatan lingkungan dan sumber daya alam dapat

dikatakan pula sebagai hak kolektif bangsa. Kata yang ditegaskan oleh piagam tersebut

mengandung dua hal penting dalam pemahaman hukum lingkungan hidup dan ekologi

iternasional, yaitu lingkungan hidup sebagai bagian wilayah suatu negara (under national

juridiction) serta lingkungan hidup sebagai suatu keseluruhan bangsa (Nation global environmental).

Sedangkan, dalam rumpun hak ekonomi, sosial, dan budaya, justifikasi internasional

menyangkut interaksi hak atas lingkungan dapat ditafsirkan menjadi HAM antara lain

dapat dilihat dalam: Pasal 1 ayat (2), Kovenan Internasional Hak-hak ekonomi, sosial,

dan budaya:

“Semua rakyat dapat secara bebas mengatur segala kekayaan dan sumber daya mereka sendiri, tanpa mengurangi kewajiban-kewajiban yang mungkin timbul dari kerjasama ekonomi internasional atas dasar prinsip keuntungan bersama serta hukum internasional. Tidak dibenarkan suatu bangsa merampas upaya penghidupan rakyatnya sendiri.”

(5)

negara, inter, dan antar-generasi, kaya dan miskin, penguasa dan yang dikuasai, pemilik

modal dan buruh, tuan tanah dan buruh tanah, akan menjadi masalah bagi keamanan

manusia (human security) di masa-masa yang akan datang tentunya juga melanggar hak

asasi manusia generasi mendatang dalam pemenuhan kebutuhan yang bersumber dari

alam.

Eksploitasi dan eksplorasi oleh Perusahaan-perusahaan global yang didukung oleh

negara-negara maju dan kaya, seperti WTO (Organisasi Perdagangan Dunia). Kartel

utang, terutama IMF dan Bank Dunia. Atau perusahaan-perusahaan global raksasa,

seperti TNCs dan MNCs, selama ini adalah merupakan mesin utama pengeksploitasi

kekayaan yang dihisap dari tempat-tempat strategis di Indonesia. Kini, kekuasaan

perusahaan Global tersebut telah menyingkirkan masyarakat asli Indonesia sendiri yg

masih menggunakan cara tradisional.

Proses ekspoitasi dan eksplorasi kekayaan alam di Indonesia ini satu sisi merupakan

bentuk pemenuhan kebutuhan masyarakat indonesia secara tradisional dan penghisapan

serta pemiskinan di sisi lainnya, bukan terjadi secara alamiah tetapi berdasarkan suatu

rancangan kebijakan politik-ekonomi yang kini kita kenal sebagai Neo-liberalisme dan

Globalisasi Kapitalis, yang berkembang secara massif dan mengakar berdasarkan

rekayasa modal.

Karena itu, bukan menjadi hal yang luar biasa bila kita berkunjung ke pelosok-pelosok

penjuru Tanah Air, dengan gampang kita akan bertemu dengan sejumlah masyarakat

Petani, masyarakat adat, nelayan yang mengakui, bahwa mereka telah hidup di bawah

garis kemiskinan karena mereka memang dimiskinkan. Atas nama pembangunan dan

kebutuhan ekonomi global, tanah dan sumber kehidupan mereka harus dirampas untuk

kepentingan perkebunan besar, pertambangan, industri kehutanan dan perkayuan,

bendungan besar, bahkan kawasan Konservasi alam.

Sistem Sosial Masyarakat Sebagai Faktor Pendukung Ketidakteraturan Pengelolaan SDA

Pada dasarnya masyarakat Indonesia secara tradisional menggunakan proses pengelolaan

sumber daya alam yang baik. Sebut saja dalam bidang perkebunan khusus untuk pohon

(6)

sampai tiga bibit pohon jati sebagai pengganti yang dipanen. Tidak hanya itu nelayan di

Indonesia juga melakukan hal yang sama dalam pengelolaan lingkungan alam, banyak

diantara mereka melakukan pembatasan eksploitasi terhadap ikan-ikan dilaut dengan

tidak menggunakan cara-cara yang salah seperti pukat harimau, bom ikan, bahkan

nelayan tradisional juga membatasi pengambilan ikan hanya untuk memenuhi kebutuhan

hidup sehari-hari.

Pergeseran pengelolaan Sumberdaya Alam secara tradisional bergeser ketika

perekonomian modern mulai masuk dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat mulai

mengeksploitasi sumberdaya Alam untuk kebutuhan pasar tidak lagi untuk kebutuhan

kesehariannya. Ditambah dengan kebutuhan pasar global menyebabkan eksploitasi yang

dilakukan masyarakan terhadap alam pun belum bisa mencukupi, hal inilah yang

kemudian menyebabkan perusahaan besar yang didukung modal besar dan peralatan

modern akhirnya ikut masuk dan mengeksploitasi kekayaan alam. Eksploitasi yang

terjadi pada akhirnya tidak lagi memperhatikan alam dan lingkungan sekitarnya karena

yang menjadi pertimbangan utama adalah kekayaan keuntungan secara materiil.

Seperti yang terjadi dibeberapa daerah di Indonesia sebut saja Masyarakat adat Amugme

dan Komoro Papua: Operasi pertambangan emas dan tembaga di wilayah ini berlangsung

lama dengan skala eksploitasi besar. Menyebabkan musnahnya ekologi wilayah setempat

di antaranya pencemaran sungai dan danau, hilangnya hutan dan keragaman hayati di

dalamnya, hujan asam, pengaruh terhadap kesuburan tanah. Hal lain juga menyebabkan

hilangnya keragaman budaya masyarakat setempat karena musnahnya ekosistem

masyarakat adat dan konflik horizontal di samping mengikutsertakan pelanggaran HAM

yang melibatkan militerisme.

Masyarakat adat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah: Proyek lahan gambut 1.400.000

ha, menyebabkan musnahnya ekosistem di wilayah tersebut, seperti hutan dan kualitas air

serta spesies endemik lainnya. Proyek ini telah menyebabkan masyarakat kehilangan

sumber penghidupan di samping juga menyebabkan hancurnya relasi dan sistem sosial

budaya masyarakat adat. Proyek ini juga ditemukan dan dilakukan dengan sejumlah

pola-pola intimidasi serta tindakan pelanggaran HAM.

(7)

memindahkan ribuan kepala keluarga (KK) dan menenggelamkan puluhan ribu hektare

(ha) areal perkampungan dan wilayah-wilayah produksi masyarakat. Proyek DAM ini

telah menyebabkan musnahnya ekosistem wilayah setempat karena perkampungan atau

kampung-kampung tradisional tersebut beserta sumberdaya alamnya, seperti hutan,

perkebunan, dan spesies di dalamnya, telah berubah menjadi waduk. Di samping itu,

menurut pengakuan masyarakat, proyek ini dilakukan dengan berbagai pola kekerasan

yang melibatkan aparat keamanan yang menyebabkan terjadinya sejumlah pelanggaran

HAM. Bahkan, proyek ini telah merubah habitat alami menjadi habitat buatan.

Masyarakat Dayak Kalimantan Barat: Proyek perkebunan sawit yang telah merubah

sistem pola-pola pertanian heterogen menjadi pola pertanian yang monokultur.

Perkebunan Kelapa sawit ini, juga menyebabkan hancurnya sistem sosial budaya serta

musnahnya sumber kehidupan, seperti hutan, kebun, sungai yang tercemar serta spesias

lokal yang menjadi penunjang ekonomi. Bahkan, karena perkebunan kelapa sawit ini,

setiap musim kemarau sering terjadi hama belalang yang menyerang kebun-kebun rakyat

juga tanah-tanah masyarakat yang dulunya subur saat ini mengalami vertilitas.

Masyarakat Adat Dayak Punan Kalimantan Timur: Tim Operasi HPH mencapai 20.000

ha, proyek ini menyebabkan terjadinya kerusakan ekologis, seperti hutan, tanah, dan

spesies endemik. Dampak lain, seperti banjir, krisis air bahkan pemukiman dan

perkebunan masyarakat digusur. Lebih parah lagi, operasi HPH ini menyebabkan

terjadinya tindak pelanggaran HAM, di antaranya intimidasi dan penangkapan

masyarakat secara sewenang-wenang.

Masyarakat Adat Kajang Bulukumba Sulawesi Selatan: Proyek perkebunan coklat di

wilayah ini dimulai sejak zaman kolonial hingga saat ini. Pembangunan proyek

perkebunan tersebut, telah menyebabkan terjadinya perampasan tanah rakyat serta

pembabatan hutan masyarakat adat. Proyek ini juga menyebabkan terjadinya

pelanggaran HAM, seperti pembunuhan, penangkapan, penembakan, dan sejumlah

intimidasi massal oleh aparat keamanan.

Masyarakat Adat Talang Mamak dan Pelalawan Industri dan Pabrik Pengelolaan Pulp

and Paper, melakukan Konversi hutan alam menjadi perkebunan kayu yang

(8)

banjir di wilayah hilir. Dampak lain adalah limbah, pemiskinan masyarakat karena

konversi dan perampasan lahan yang menyebabkan masyarakat tidak dapat lagi

memanfaatkan lahannya secara normal, juga terjadi sejumlah praktek pelanggaran HAM

atas masyarakat lokal (Diolah dari Data WALHI).

Padahal, esensi lingkungan hidup merupakan kehidupan yang melingkupi tata dan

nilai-nilai kehidupan yang ada di dalamnnya. Tata dan nilai-nilai yang menjaga keberlanjutan

lingkungan hidup dan sumberdaya alam dan keadilan sosial bagi kehidupan manusia atas

Hak Atas Lingkungan saat ini dan generasi yang akan datang. Demikian pula yang perlu

dipertegas adalah Lingkungan hidup harus dipandang dan diperlakukan sebagai subyek,

dikelola untuk kehidupan berkelanjutan bukan semata-mata untuk pertumbuhan

pembangunan.

Lingkungan Hidup sebagai sebuah system yang tentunya tunduk pula pada sebuah sistem

hukum alam yang ditakdirkannya. Sistem tersebut dapat berlangsung dengan seimbang

jika kualitas komponen di dalamnya tetap berjalan stabil. Sebagai sebuah sistem

kehidupan, maka lingkungan hidup merupakan sebuah kehidupan yang terdiri dari

kehidupan masa lalu, kehidupan masa kini, dan kehidupan masa yang akan datang. Itulah

esensi dari sumber-sumber kehidupan.

Dokumen draft prinsip deklarasi HAM dan Lingkungan Hidup pernah diajukan oleh Zohra Ksentini ke Sidang Umum PBB pada tahun 1994, dengan jelas menunjukkan

bahwa potensi kerusakan lingkungan yang permanen telah memberikan dampak pada

menurunnya kualitas hidup manusia yang paling mendasar, karena itu pengrusakan

lingkungan hidup sangat berhubungan erat dengan pelanggaran HAM.

Dalam draft tersebut, ditegaskan bahwa semua manusia mempunyai hak untuk merasa aman dan sehat secara ekologis, di mana lingkungannya dapat menunjang kebutuhan

generasi saat ini tanpa mengorbankan hak atas generasi yang akan datang. Hak-hak yang

dimaksud dalam draft prinsip Deklarasi tersebut antara lain:

1. Bebas dari polusi, degradasi lingkungan, dan aktivitas yang dapat mempengaruhi

lingkungan atau mengancam jiwa, kesehatan atau pembangunan yang

berkelanjutan.

(9)

untuk dapat menjaga keutuhan keanekaragaman hayati dan ekosistem.

3. Memperoleh standard kesehatan yang tinggi.

4. Memperoleh makanan, minuman, dan lingkungan yang sehat dan aman.

5. Perumahan yang memadai, dan kondisi hidup yang aman, sehat dan tertata baik,

secara ekologis.

6. Akses ekologi terhadap alam dan konservasi dan penggunaan yang berkelanjutan

dari alam dan sumber dayanya.

7. Hak untuk menikmati kehidupan tradisional dan subsistensi terhadap indigenous peoples. Tanpa sebuah lingkungan hidup yang layak dan bersih, hak-hak manusia lainnya menjadi tak dapat dicapai atau tak ada artinya. Dukungan ini didasarkan

atas kesaling-tergantungan mendasar antara hak asasi manusia dan perlindungan

lingkungan hidup.

Masyarakat harus bisa melepaskan diri dari jeratan perekonomian global yang

mendorong terjadinya eksploitasi yang tidak mempertimbangkan kondisi alam untuk

diwariskan pada generasi masa depan. Pola pemikiran yang terjebak pada perekonomian

modern menjadi begitu sederhana, masyarakat akan berpikiran bahwa apa yang sudah

terlanjur terjadi maka harus diteruskan walaupun justru akan menambah dampak yang

buruk dalam kondisi alam. Masyarakat justru harus berpikir kearah sebaliknya dengan

menentang dan kembali kepada konsep tradisional dalam memanfaatkan alam yang justru

sesuai dengan filosofi hidup masyarakat Indonesia. Dengan begitu Hak Asasi Manusia

generasi masa depan bangsa Indonesia atas pemanfaatan Sumber Daya Alam tetap

terjamin.

Kebijakan Formulasi pada penegakan Hukum Pidana dan Hak Asasi Manusia dalam Pengelolaan Lingkungan Dan Sumber Daya Alam Oleh Perusahaan Multinasional

Permasalahan Perusahaan Multinasional sebagai subjek hukum pidana tidak lepas dari

aspek hukum perdata. Dalam hukum perdata orang perseorangan bukanlah satu-satunya

subjek hukum. Hal ini disebabkan masih ada subjek hukum lain yang memiliki hak dan

(10)

ini berbeda dengan KUHP yang hanya mengenal orang perseorangan sebagai subjek

hukum.

Seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan manusia, korporasi juga

berkembang menjadi lebih kompleks. Korporasi tidak lagi seperti dulu yang masih

menggunakan sistem yang sederhana. Berbagai sistem dan metode dalam menjalankan

korporasi terus dikembangkan dalam rangka untuk mendapatkan keuntungan yang

sebesar-besarnya.

Dewasa ini korporasi yang masuk dalam kategori perusahaan raksasa atau perusahaan

multinasional sudah banyak berkembang di berbagai negara. Mereka tidak hanya

membangun imperium di negara asal, tetapi juga di negara-negara lain terutama negara

berkembang seperti Indonesia dalam rangka mendapatkan keuntungan yang lebih besar.

Pada tahun 1978, dua perusahaan terbesar di Amerika Serikat yaitu General Motor dan

Exxon masing-masing sudah memiliki nilai penjualan melebihi 60 miliar dollar, suatu

jumlah yang jauh melebihi total pendapatan dari negara bagian Amerika Serikat yang

manapun dan kebanyakan negara di dunia.(Sutan Remi Sjahdeini, 2006:2) Data tersebut

menunjukkan betapa besar kekuatan modal korporasi yang bertaraf multinasional pada

saat itu.

KUHP yang berlaku saat ini belum mengatur mengenai pertanggungjawaban pidana

perusahaan dalam arti belum mengenal perushaan sebagai subjek tindak pidana, namun

beberapa undang-undang khusus di luar KUHP telah mengenal perusahaan sebagai

subjek tindak pidana selain orang. Beberapa perundang-undangan di luar KUHP yang

telah mengatur korporasi sebagai subjek tindak pidana antara lain, Undang-Undang

Darurat No. 17 tahun 1951 Tentang Penimbunan Barang yang merupakan

undang-undang positif pertama yang menggunakan prinsip bahwa korporasi dapat menjadi pelaku

tindak pidana.

Pada saat ini, peran perusahaan multinasional sudah sedemikian luasnya. Hampir seluruh

aspek kehidupan masyarakat melibatkan perusahaan multinasional di dalamnya. Dapat

dilihat bahwa perusahaan multinasional bergerak di berbagai bidang seperti industri

pertanian, perbankan, hiburan dan sebagainya yang melibatkan perputaran uang yang

(11)

multinasional saat ini menjadi sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Tujuan

perusahaan multinasional untuk terus meningkatkan keuntungan yang diperolehnya

mengakibatkan sering terjadinya tindakan pelanggaran hukum, bahkan memunculkan

korban yang menderita kerugian. Walaupun demikian, banyak perusahaan multinasional

yang lolos dari kejaran hukum sehingga tindakan perusahaan multinasional yang

bertentangan dengan hukum tersebut semakin meluas dan sulit dikontrol, termasuk dalam

mengksploitasi kekayaan alam Indonesia.

Pemanfaatan Sumber Daya Alam oleh perusahaan multinasional telah menyebabkan

kerusakan Lingkungan hidup di Indonesia, semakin hari semakin memprihatinkan.

Bahkan, telah membahayakan hidup dan kehidupan setiap makhluk hidup di dalam dan

sekitarnya. Termasuk kehidupan generasi di masa datang. Tulisan ini dikemukakan

untuk menambah pandangan dan pengamatan terhadap situasi kerusakan lingkungan

hidup, pada dua dasawarsa terakhir, di mana telah menimbulkan pencemaran, kerusakan

ekosistem, kelangkaan sumberdaya alam, dan bencana alam dan penulis menilai ini

sebagai bentuk atas pelanggaran HAM terutama bagi generasi masa mendatang yang juga

berhak menikmati apa yang saat ini ada di alam.

Kerusakan lingkungan hidup telah memberi efek yang menyengsarakan bagi kehidupan.

34% dari angka kemiskinan, 85% dari korban bencana alam, 3,5 juta hektar hutan yang

musnah serta sejumlah kekerasan dan konflik horisontal yang juga diakibatkan oleh

sengketa lingkungan hidup, telah menyebabkan 60% dari mereka menjadi pengungsi

pembangunan. Bahkan, dalam pengungsian tersebut, tidak jarang dari mereka berhadapan

dengan masalah baru menyebabkan menurunnya kualitas hidup mereka.

Krisis lingkungan sudah merambah pada krisis kedaulatan dan keadilan, dalam hal ini,

terhadap rakyat kecil telah terjadi proses penghilangan identitas hidup (etnocide).

Demikian pula, telah terjadi defisit narasi ketimpangan distribusi manfaat dari

sumber-sumber penghidupan bagi rakyat.

Selain disebabkan oleh perusahaan multinasioanal penyebab banyaknya persoalan dan

kerusakan lingkungan hidup di Indonesia juga didukung pada peraturan yang justru

dilahirkan oleh pemerintah sendiri yang seperti membuka keran eksploitasi oleh

(12)

• Lahirnnya Kebijakan-kebijakan, seperti UU Perkebunan, UU SDA, UU

Perikanan, Perpu 1/2004, kelahirannya karena kepentingan politik serta

didominasi oleh semangat liberalisasi dan privatisasi;

• Kebijakan yang dijalankan masih tumpang tindih dan bersifat egosentrisme,

karena tidak adanya prinsip pengelolaan yang berkesinambungan serta sikap yang

mengingkari TAP MPR No.IX/2001 tentang Reforma Agraria dan Pengelolaan

Sumber Daya Alam;

• Kriminalisasi atas kebebasan berekspresi bagi masyarakat korban yang menuntut

hak-hak keadilan sosial dan ekologi.

• Keterlibatan aparat militer dalam bisnis Sumberdaya Alam.

Banyak orang berpandangan pesimistik melihat sejumlah kebijakan yang telah

disahkan oleh parlemen periode 1999-2004. Paling tidak, ada tiga peraturan dan

perundang-undangan yang akan menambah parahnya kerusakan lingkungan hidup

di Indonesia, yaitu Perpu No 1/ 2004 pengganti undang-undang tentang

pertambangan di hutan lindung, UU No 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air

serta UU perkebunan.

Walaupun telah diakomodir di sejumlah undang-undang, jaminan atas pengelolaan

Sumber Daya Alam yang ramah akan Lingkungan, sepertinya hingga hari ini masih

belum maksimal. Karena, nyatanya konflik-konflik berbasis pengelolaan sumber daya

alam kerap kali terjadi. Penerapan berbagai kebijakan di bidang lingkungan hidup,

banyak yang ditemukan menyimpang atau tumpang tindih di antara ketentuan yang

berlaku. Karenanya memang diperlukan formulasi yang tepat dalam menegakkan hukum

atas perusahaan multinasional yang mengelola tanpa memperhatikan keberlangsungan

alam di masa depan.

Selanjutnya dalam Barda Nawawi Arief (2008:25) tataran sistem kebijakan hukum

pidana, tahap merumuskan atau memformulasikan suatu perundang-undangan hukum

pidana adalah tahap yang paling strategis, karena tahap formulasi adalah penegakan

hukum secara abstrak, karena kesalahan pada tahap ini akan berakibat fatal pada tahap

penegakan hukum selanjutnya yaitu penegakan hukum secara nyata (in concreto).

Penegakan hukum pengelolaan lingkungan hidup saat ini masih sulit dilakukan oleh

(13)

(Sutrisno, 2011:444-464). Upaya penegakan hukum lingkungan hidup melalui hukum

pidana adalah bagaimana tiga permasalahan pokok dalam hukum pidana ini dituangkan

dalam undang-undang yang sedikit banyak mempunyai peran untuk melakukan rekayasa

sosial (social ngeneering) (Nyoman Serikat Putra Jaya, 2005:253), yaitu yang meliputi

perumusan tindak pidana (criminal act), pertanggungjawaban pidana, dan sanksi

(sanction) baik pidana maupun tata-tertib. Sesuai dengan tujuan yang tidak hanya sebagai

alat ketertiban, hukum lingkungan mengandung pula tujuan pembaharuan masyarakat

(social engineering). Hukum sebagai alat rekayasa sosial sangat penting dalam hukum

lingkungan.(Helmi, 2011:93-103)

Kita harus menyadari bahwa eksploitasi sumber daya alam secara berlebih-lebihan tanpa

memperhatikan aspek peran dan fungsi alam ini terhadap lingkungan dapat

mendatangkan berbagai macam bencana alam seperti tanah longsor, banjir, kabut asap,

pemanasan global yang sangat merugikan masyarakat itulah mengapa begitu penting

adanya formulasi kebijakan hukum pidana dalam mencegah kerusakan yang lebih besar

dimasa depan.

Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan saran penal merupakan penal policy atau penal-law enforcement policy, menurut Barda Nawawi Arief (2001:75) fungsionalisasi/ operasionalisasinya dilakukan melalui beberapa tahap:

1. tahap formulasi (kebijakan legislatif);

2. tahap aplikasi (kebijakan yudikatif);

3. tahap eksekusi (kebijakan administratif).

Tahap pertama yaitu tahap formulasi merupakan tahap paling strategis dari upaya

penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sarana penal. Strategis dikarenakan

pada tahap inilah ditetapkan pedoman-pedoman bagi pelaksanaan tahap-tahap

selanjutnya, yaitu tahap aplikasi dan eksekusi. Dengan kata lain, kesalahan dalam

membuat suatu formulasi peraturan perundang-undangan maka akan berdampak negatif

bagi operasionalisasi dari aplikasi dan eksekusi peraturan tersebut. Tahap formulasi juga

disebut penegakan hukum in abstracto oleh badan legislatif sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan untuk membuat kebijakan formulasi.

Kebijakan formulasi adalah kebijakan dalam merumuskan sesuatu dalam suatu bentuk

(14)

adalah : “suatu perencanaan atau program dari pembuat undang-undang mengenai apa yang akan dilakukan dalam menghadapi problema tertentu dan cara bagaimana

melakukan atau melaksanakan sesuatu yang telah direncanakan atau diprogramkan itu”.

Formulasi pertanggungjawaban pidana pada perusahaan tentu saja tidak cukup hanya

dengan menyebutkan perusahaan sebagai subjek tindak pidana saja, melainkan juga harus

menentukan aturan mengenai sistem pidana dan pemidanaannya, sehingga diperlukan

sebuah upaya reorientasi dan reformulasi pertanggungjawaban pidana terhadap korban

kejahatan perusahaan multinasional di masa yang akan datang.

Reorientasi dan reformulasi pertanggungjawaban pidana terhadap korban kejahatan

perusahaan/korporasi antara lain meliputi ketentuan mengenai :

1. ketentuan mengenai kapan suatu tindak pidana dapat dikatakan sebagai tindak

pidana yang dilakukan oleh korporasi;

2. siapa yang dapat dituntut dan dijatuhi pidana atas kejahatan yang dilakukan

korporasi;

3. jenis-jenis sanksi yang sesuai dengan subjek tindak pidana berupa korporasi yang

berorientasi pada pemberian ganti kerugian kepada korban.

Formulasi mengenai ketentuan tersebut harus diatur secara tegas untuk meminimalisir

kemungkinan korporasi melepaskan diri dari tanggungjawab atas kejahatan yang

dilakukannya. Mustahil memberikan pemenuhan ganti kerugian yang diderita oleh

korban oleh korporasi, apabila korporasi yang dimaksud tidak dapat dijerat, dituntut, dan

dijatuhi pidana berdasarkan peraturan perundangundangan yang ada.

Tahap kedua yaitu tahap aplikasi, dalam pelaksanaannya antara masyarakat serta aparatur hukum harus memiliki komitmen bersama dalam melawan kejahatan oleh perusahaan

multinasional yang melakukan pengelolaan Sumber Daya Alam secara tidak

bertanggungjawab. Masyarakat tidak lagi dapat terbawa arus pada pengelolaan yang

dapat merusak alam, meskipun perusakan itu telah dilakukan atau diawali oleh

perusahaan besar. Masyarakat justru harus menjadi tembok terakhir pelindung Alam

Indonesia, karena bagaimanapun nantinya mereka pula lah yang akan menikmati alam

sebagai Hak-nya.

Diluar itu semua aparaturpun menjadi perhatian secara khusus, tindak pidana yang

(15)

gratifikasi, penyelewengan kekuasaan yang berujung pada pemberian izin eksploitasi dan

eksplorasi secara mudah kepada perusaan multinasional. Kekhawatiran itu dimunculkan

karena memang kita tahu bahwa perusahaan multinasional tersebut memiliki modal yang

sangat besar sehingga dapat melakukan apapun dengan modal tersebut.

Tahap ketiga atau tahap eksekusi, dalam tahap ini pemerintah dituntut untuk tegas dala

melaksanakan peraturan yang telah diformulasikan. Karena bagaimanapun sebagai

Negara hukum kita harus memiliki keberanian dalam menegakkan peraturan. Beberapa

waktu ini keputusan yang dibuat pemerintah dengan menenggelamkan kapal-kapal

perusahaan asing yang melakukan eksploitasi tanpa izin dan tentunya tanpa

memperhatikan kelestarian alam mendapatkan dukungan yang positif dari masyarakat.

Sikap ini diharapkan dapat terus dipertahankan oleh pemerintah, karena keberanian itu

lah yang akan mempertahankan kekayaan alam untuk generasi masa depan bangsa

Indonesia.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Penulisan makalah ini didasari karena pentingnya memperjuangkan Hak Asasi Manusia

atas kekayaan Alam Indonesia. Begitu pun rekomendasi yang disampaikan dalam

makalah ini, merupakan masukan untuk ditindaklanjuti dalam bentuk yang lebih

kongkret.

Beberapa tahun terakhir, kelemahan dalam mengembangkan wacana pelestarian

kekayaan alam danlingkungan hidup disekitarnya, menyebabkan terjadinya dominasi

wacana yang terstruktur melalui institusi negara maupun supra state structures, misalnya,

institusi keuangan intenasional, yang secara signifikan telah menyuarakan kepentingan

perusahaan-perusahaan multinasional.

Pengelolaan kekayaan sumber daya alam dan lingkungan hidup untuk kehidupan

kenyataannya lebih didominasi oleh kepentingan mendapatkan keuntungan dan

meletakkan kepentingan publik dan generasi mendatang dalam urutan terakhir. Wacana

dan praktek pertumbuhan dan pembangunan, sekalipun telah dibungkus dengan berbagai

konsep yang partisipatif dan karitatif dari perusahaan telah memicu sejumlah kasus

lingkungan di level masyarakat dalam dua dekade belakangan ini, karena tidak

(16)

dan lingkungan rakyat. Untuk itu:

1. Hak Asasi Manusia dalam menikmati kekayaan Sumber Daya Alam Indonesia

penting dimasukan sebagai prisip di dalam semua kebijakan dan

perundang-undang di tingkat internasional, regional, dan nasional, yang terkait dengan

pengelolaan lingkungan hidup dan sumberdaya alam, sebagaimana pula dapat

terimplementasikan sampai pada tahap pelaksanaan.

2. Pemerintah harus membuat visi dalam bentuk cetak biru pengelolaan kekayaan

alam dan lingkungan hidup sebagai pijakan praksis dalam pengimplementasian

pembangunan lingkungan hidup yang dapat diakses oleh rakyat.

3. Perlunya formulasi kebijakan hukum pidana pada mekanisme yang tersedia dalam

hukum nasional agar dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin dalam rangka

penegakan hak atas kekayaan alam di negara ini. Pada saat yang bersamaan, perlu

terus-menerus diupayakan terobosan hukum yang menjamin terciptanya keadilan

ekologi dan keberlanjutan kehidupan.

4. Gagasan dan gerakan yang mendesakkan agar para penjahat lingkungan

dikategorikan sebagai pelaku kejahatan HAM, baik di tingkat nasional, regional

maupun internasional perlu diperkuat.

5. Perlu diperjuangkan dan diupayakan pengesahan deklarasi HAM dan Lingkungan

hidup, seperti yang pernah diajukan pada tahun 1994 di PBB, agar menjadi norma

(17)

DAFTAR PUSTAKA

Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan

Pidana Penjara (Disertasi), UNDIP, Semarang, 1994, hal. 63

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 75

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam

Penanggulangan Kejahatan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hlm 25 Barda Nawawi Arief, Tindak Pidana Mayantara Perkembangan Kajian Cyber Crime di

Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, hal. 90

Helmi, “Hukum Lingkungan dalam Negara Hukum Kesejahteraan Untuk Mewujudkan

Pembangunan Berkelanjutan”, Inovatif; Jurnal Ilmu Hukum, Vol 4. No. 5 Tahun 2011, hlm. 93-103

Nyoman Serikat Putra Jaya, 2005, Kapita Selekta Hukum Pidana, Semarang: Badan

Penerbit UNDIP, hlm. 253,

Sutan Remi Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafiti Pers, Jakarta,

2006, hal. 2

Referensi

Dokumen terkait

Pamerdi Giri Wiloso, M.Si, Phd, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi Satya Wacana Salatiga, sekaligus dosen pembimbing utama, yang dengan penuh apresiasi dan

Walaupun begitu, karena komitmen bisa dilihat dan digunakan sebagai wakil dari loyalitas yang diartikan sebagai komitmen terhadap merek tertentu dan karena hubungan positif

Fungsi yang valid berupa sederetan huruf alfabet mulai dari a sampai z, bisa berupa huruf kapital atau nonkapital, panjang huruf sama setiap sukunya, dalam sebuah suku

Sesuai dengan hasil penelitian dan pembahasan tersebut, diperoleh pengembangan Bahan Ajar dengan PBL dapat dikembangkan dengan model pengembangan 4-D dan memiliki

Ekstraksi minyak kelapa sawit dilakukan dengan beberapa tahap yaitu sebagai berikut: Labu alas bulat untuk sokletasi sebagai penampung minyak sawit hasil ekstrak

Modus merupakan nilai yang paling sering muncul atau frekuensinya terbesar. Ada beberapa data yang tidak memiliki modus yang tunggal, tapi memiliki dua atau tiga nilai modus. Pada

Selain itu masyarakat dusun Sungai Utik menganggap hutan berpengaruh terhadap kesejahteraan dan kelangsungan hidup mereka karena dari hutan adat masyarakat

Temuan yang menarik dari pengolahan data antara variabel Persepsi Nilai dengan Kepuasan adalah tidak ada pengaruh yang signifikan diantara kedua variabel tersebut karena