• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT DAN JAMINAN FIDUSIA A. Perjanjian Kredit 1. Pengertian Perjanjian Kredit - Tanggung Jawab Debitur Terhadap Musnahnya Benda Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit Bank

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT DAN JAMINAN FIDUSIA A. Perjanjian Kredit 1. Pengertian Perjanjian Kredit - Tanggung Jawab Debitur Terhadap Musnahnya Benda Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit Bank"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT DAN

JAMINAN FIDUSIA

A. Perjanjian Kredit

1. Pengertian Perjanjian Kredit

Dalam sistem hukum Indonesia yang menganut sistem Eropa Kontinental

(Civil Law Legal System), istilah kontrak dikenal dengan Perjanjian

(Overrenkomst). Menurut Pasal 1313 BW (KUH Perdata), “Perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.13

Pengertian perjanjian sebagaimana diatur Pasal 1313 BW (KUH Perdata) tersebut dalam pandangan para sarjana mengandung kelemahan. Ketidak-sempurnaan dan tidak lengkap. Sehubungan dengan hal tersebut Mariam Darus Badrulzaman mengungkapkan :

Para Sarjana Hukum Perdata umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat dalam ketentuan BW di atas adalah tidak lengkap dan pula terlalu luas. Tidak lengkap, karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Definisi itu terlalu luas, karena dapat mencakup hal-hal yang mengenai janji kawin, yaitu perbuatan di lapangan hukum keluarga yang menimbulkan perjanjian juga, namun istimewa sifatnya karena dikuasai oleh ketentuanketentuan tersendiri sehingga Buku III BW (KUH Perdata) secara langsung tidak berlaku terhadapnya. Juga mencakup perbuatan melawan hukum, sedangkan terhadap perbuatan melawan hukum ini tidak ada unsur persetujuannya.14

13

Rai Widjaja, I G A, Dikutip dari Black Law Dictionary, Merancang Suatu Kontrak, Teori dan Praktek, (Jakarta : Mega Poin, 2003), hal. 8.

14

(2)

Menurut Abdulkadir Muhammad, kelemahan-kelemahan ketentuan Pasal 1313 BW (KUH Perdata) adalah sebagai berikut :15

a. Hanya menyangkut satu pihak. Jika dilihat rumusan ”satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata Kerja ”mengikatkan” mempunyai sifat hanya datang dari satu pihak saja. Seharusnya rumusannya itu harus saling mengikatkan diri sehingga ada consensus para pihak.

b. Kata ”Perbuatan” termasuk tindakan melaksanakan pekerjaan tanpa kuasa (Zaakwaneming) yang tidak mengandung konsensus antara para pihak. Seharusnya digunakan kata ”persetujuan”.

c. Pengertian ”perjanjian” dalam pasal tersebut mempunyai arti yang terlalu luas karena dapat juga mencakup kelangsungan perkawinan, janji kawin yang diatur dalam hukum keluarga. Padahal ”perjanjian” yang dimaksud oleh buku III hanya perjanjian yang bersifat kebendaan.

d. Perumusan pasal tersebut tidak menyebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga tidak jelas untuk apa para pihak mengadakan perjanjian itu.

Mengingat adanya kelemahan-kelemahan dari ketentuan Pasal 1313 BW (KUH Perdata), maka untuk memahami pengertian perjanjian, maka dipandang penting untuk mengetengahkan pengertian perjanjian yang dikemukakan oleh para sarjana. Pandangan sarjana dimaksud dapat dijadikan scbagai pembanding dan bahan analisis dalam memahami perjanjian secara lebih mendetail dan lengkap.

Menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan Hukum Kekayaan.16 Sedangkan Prof. R. Soebekti, merumuskan perjanjian ini adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.17

15

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung) Alumni, 1982) hal. 78.[

Pendapat ini perlu mendapat perhatian dan penegasan, sebab tidak semua peristiwa itu akan menimbulkan adanya perjanjian, tetapi hanya peristiwa hukum

16Ibid

.

17

(3)

yang dapat menimbulkan perjanjian. R. Setiawan berpendapat perjanjian adalah suatu perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.18

Hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Dua pihak itu sepakat untuk menentukan peraturan atau kaidah atau hak dan kewajiban, yang mengikatkan mereka untuk ditaati dan dijalankan, kesepakatan itu adalah untuk menimbulkan akibat hukum, menimbulkan hak dan kewajiban dan kalau kesepakatan itu dilanggar maka ada akibat hukumnya, si pelanggar dapat dikenakan akibat hukum atau sanksi.

Selanjutnya Sudikno Mertokusumo menyatakan :

19

Berdasarkan pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa perjanjian adalah peristiwa hukum yang telah disepakati oleh para pihak dalam rangka melaksanakan suatu hal dalam lapangan hukum kekayaan yang telah diatur menurut hukum. Perjanjian itu merupakan peristiwa yang menimbulkan suatu hubungan hukum di antara para pihak yang terlibat di dalamnya atau dikenal dengan perikatan (Verbintenis).

Di dalam menyalurkan kredit kepada masyarakat, bank akan menuangkan dalam suatu perjanjian yang namanya perjanjian kredit. Sebelum memahami tentang perjanjian kredit, perlu diketahui terlebih dahulu apa itu kredit. Secara etimologi perkataan kredit berasal dari bahasa latin “Credere” yang berarti

18

R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung : Bina Cipta,1979) hal. 5.

19

(4)

kepercayaan, sehingga berpijak dari arti kata tersebut. Dapat dikatakan bahwa pengertian dasar dari pemberian kredit adalah kepercayaan.20

Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Pasal 1 butir 11, kredit adalah:

”Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.

Dengan demikian, kredit bank adalah merupakan kredit yang diberikan bank kepada nasabahnya berdasarkan kepercayaan dengan menyerahkan sejumlah uang tertentu kepada debiturnya, untuk dipergunakan sesuai dengan tujuannya, dalam jangka waktu tertentu, dan dengan imbalan berupa bunga. Istilah perjanjian kredit berasal dari bahasa Inggris, yaitu contract credit. Dalam hukum Inggris, perjanjian kredit bank termasuk loan of money.21

Istilah perjanjian kredit ditemukan dalam instruksi pemerintah dan berbagai surat edaran, antara lain:

1. Instruksi Presidium Kabinet Nomor 15/EKA/10/96, yang berisi instruksi kepada bank bahwa dalam memberikan kredit bentuk apapun, bank-bank wajib mempergunakan ”akad perjanjian kredit”;

2. Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit I Nomor 2/539/UPK/Pemb/1996; dan

20

Bambang Sunggono, Pengantar Hukum Perbankan, (Jakarta : Mandar Maju, 1995) hal. 127.

21

(5)

3. Surat Edaran Bank Negara Indonesia Nomor 2/643/Pemb/1996 tentang Pedoman Kebijaksanaan di Bidang Perkreditan.

Dalam ketentuan itu tidak kita temukan pengertian perjanjian kredit. Namun, dalam Pasal 1 angka 3 Rancangan Undang-Undang tentang Perkreditan Perbankan, telah ditentukan pengertian perjanjian kredit. Perjanjian kredit adalah: ”Persetujuan dan atau kesepakatan yang dibuat bersama antara kreditur dan debitur atas sejumlah kredit dengan kondisi yang telah diperjanjikan, hal mana pihak debitur wajib untuk mengembalikan kredit yang telah diterima dalam jangka waktu tertentu disertai bunga dan biaya-biaya yang disepakati”.

Unsur-unsur yang terkandung dalam perjanjian kredit adalah : 1. Adanya persetujuan dan/atau kesepakatan;

2. Dibuat bersama antara kreditur dan debitur; 3. Adanya kewajiban debitur.

Kewajiban debitur adalah:

1. Mengembalikan kredit yang telah diterimanya; 2. Membayar bunga; dan

3. Biaya-biaya lainnya.

Para ahli juga memberikan pengertian perjanjian kredit. Sutarno mengartikan perjanjian kredit adalah:

”Perjanjian pokok atau perjanjian induk yang mengatur hak dan kewajiban antara kreditur dan debitur”.22

Definisi ini terlalu singkat karena hanya difokuskan pada hak dan kewajiban antara kreditur dan debitur, padahal dalam perjanjian kredit itu sendiri

22

(6)

yang paling prinsip adalah kesepakatan para pihak. Definisi lain dikemukakan Sutan Remy Syahdeini. Sutan Remy Syahdeini mengartikan perjanjian kredit adalah:

”Perjanjian bank sebagai kreditur dengan nasabah sebagai debitur mengenai penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu yang mewajibkan nasabah debitur untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan”. 23

Definisi yang dikemukakan oleh Sutan Remy Syahdeini terlalu luas karena tidak hanya mengemukakan tentang hak dan kewajiban kreditur dan debitur, namun juga mengemukakan tentang ciri-ciri perjanjian kredit. Karena adanya kelemahan dari kedua definisi di atas, maka perlu dilengkapi dan disempurnakan. Menurut H. Salim HS yang diartikan dengan perjanjian kredit adalah:

”Perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur, di mana kreditur berkewajiban untuk memberikan uang atau kredit kepada debitur, dan debitur berkewajiban untuk membayar pokok dan bunga, serta biaya-biaya lainnya sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati antara keduanya”.24

Perjanjian kredit merupakan dasar kewenangan bank untuk dapat mengendalikan penggunaan kredit oleh nasabah. Yang menyangkut pemberian kreditnya, bank sangat berkepentingan dengan hal-hal yang menyangkut hak-hak bank dan kewajiban-kewajiban nasabah, baik pada saat sebelum kredit diberikan, selama kredit diberikan, dan setelah kredit jatuh tempo. Di dalam perjanjian kredit kepentingan-kepentingan bank yang demikian itu tetap terjaga. Namun meskipun

23

Sutan Remy Syahdeini, Op. Cit, hal. 14.

24

(7)

demikian, diharapkan hak-hak dan kepentingan nasabah sebagai pihak penerima kredit seyogyanya juga harus diberikan perhatian, dalam konteks perjanjian kredit dimaksud.

2. Sifat Perjanjian Kredit

Berbicara tentang sifat perjanjian kredit ada berbagai pendapat dari para sarjana dengan mengkaitkannya dengan ketentuan Pasal 1754 BW. Pasal 1754 BW menentukan sebagai berikut :

“Perjanjian pinjam rnengganti adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah ketentuan barang-barang yang menghabis karena pemakaian. dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula”.

Selanjutnya dalam Pasal 1765 BW disebutkan, bahwa diperbolehkan memperjanjikan, bunga atau peminjaman uang atau lain barang yang menghabis karena pemakaian. Dari pengertian ini, terlihat bahwa unsur-unsur pinjam-meminjam adalah :

1. Adanva persetujuan antara peminjam dengan yang memberi pinjaman; 2. Adanya suatu jumlah barang tertentu habis karena memberi pinjaman; 3. Pihak yang menerima pinjaman akan mengganti barang yang sama; 4. Pinjaman wajib membayar bunga bila diperjanjikan.25

Para ahli mencoba untuk memberikan tafsiran terhadap Pasal 1754 KUH Perdata dan dikaitkan dengan perjanjian kredit bank. Hal ini disebabkan karena di

25

(8)

dalam KUH Perdata sendiri tidak kita temukan istilah perjanjian kredit. Bahkan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 sendiri tidak mengenal istilah perjanjian kredit, yang ada hanya pengertian kredit. Dalam penjelasan Rancangan Undang-Undang Perkreditan Perbankan ditegaskan bahwa perjanjian bersifat konsensual dan riil, berbeda dengan perjanjian pinjam-meminjam sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang hanya bersifat riil. Marhainis Abdul Hay menyatakan sebagai berikut:

“Ketentuan Pasal 1754 KUH Perdata tentang perjanjian pinjam mengganti, mempunyai pengertian yang identik dengan perjanjian kredit bank.”26

Subekti berpendapat bahwa dalam bentuk apapun juga pemberian kredit itu diberikan atau diadakan. dalam semuanya itu pada hakekatnya yang terjadi adalah suatu perjanjian pinjam meminjam sebagaimana diatur oleh BW, Pasal 1754 sampai dengan Pasal 1769.

27

Begitu pula menurut Muhammad Djumhana, bahwa perjanjian kredit menurut Hukum Perdata Indonesia adalah salah satu dari bentuk perjanjian pinjam meminjam seperti diatur Pasal 1754 BW.28

Dari rumusan yang terdapat di dalam Undang-Undang Perbankan mengenai perjanjian kredit, dapat disimpuikan bahwa dasar perjanjian

Dengan demikian, pembuatan suatu perjanjian kredit dapat mendasarkan kepada ketentuan-ketentuan yang ada pada BW maupun atas dasar kesepakatan para pihak. Hal yang sama dikemukakan pula oleh Madam Darus Badrulzaman :

26

Marhainis Abdul Hay, Hukum Perbankan di Indonesia, (Jakarta : Pradnya Paramitha, 1975) hal. 67.

27

R. Subekti, Jaminan-jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia,Bandung :Alumni, 1978 (selanjutnva disebut Subekti II), hal. 13.

28

(9)

kredit adalah perjanjian pinjam-meminjam di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1754.29

Perjanjian pinjam-meminjam ini juga mengandung makna yang luas yaitu objeknya adalah benda yang menghabis jika verbruiklening termasuk di dalamnya uang. Berdasarkan perjanjian pinjam-meminjam ini, pihak penerima pinjaman menjadi pemilik yang dipinjam dan kemudian harus dikembalikan dengan jenis yang sama kepada pihak yang meminjamkan.

Karenanya perjanjian kredit ini merupakan perjanjian yang bersifat riil, yaitu bahwa terjadinya perjanjian kredit ditentukan oleh “penyerahan” uang oleh bank kepada nasabah.30

Djuhaendah Hasan berpendapat lain, yaitu bahwa perjanjian kredit tidak tepat dikuasai oleh ketentuan Bab XIII Buku III KUHPerdata, sebab antara perjanjian pinjam-meminjam dengan perjanjian kredit terdapat beberapa perbedaan. Perbedaan antara perjanjian pinjam-meminjam dengan perjanjian kredit terletak pada beberapa hal, antara lain:

a. Perjanjian kredit selalu bertujuan dan tujuan tersebut biasanya berkaitan dengan program pembangunan, biasanya dalam pemberian kredit sudah ditentukan tujuan penggunaan uang yang akan diterima, sedangkan dalam perjanjian pinjam-meminjam tidak ada ketentuan tersebut dan debitur dapat menggunakan uangnya secara bebas.

29

Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Baku (Standar) Perkembangannya Di Indonesia (Pidato Pengukuhan Guru Besar), Bandung : Alumni, 1981, (selanjutya disebut Mariam Darus Badrulzaman II), hal. 110-111.

(10)

b. Dalam perjanjian kredit sudah ditentukan bahwa pemberi kredit adalah bank atau lembaga pembiayaan (lihat ketentuan Pasal 1 ayat (12) UU Nomor 7 Tahun 1992) dan tidak dimungkinkan diberikan oleh individu, sedangkan dalam perjanjian pinjam-meminjam pemberian pinjaman dapat oleh individu. c. Pengaturan yang berlaku bagi perjanjian kredit berbeda dengan perjanjian

pinjam-meminjam. Bagi perjanjian pinjam-meminjam berlaku ketentuan umum dari Buku III dan Bab XIII Buku III KUHPerdata. Sedangkan bagi perjanjian kredit akan berlaku ketentuan dalam UUD 1945, ketentuan bidang ekonomi dalam GBHN, ketentuan umum KUHPerdata, UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Paket Kebijaksanaan Pemerintah Dalam Bidang Ekonomi terutama bidang Perbankan, Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI), dan sebagainya.

d. Pada perjanjian kredit telah ditentukan bahwa pengembalian uang pinjaman itu harus disertai bunga, imbalan, atau pembagian hasil, sedangkan dalam perjanjian pinjam-meminjam hanya berupa bunga saja dan bunga inipun baru ada apabila diperjanjikan.

(11)

Apapun yang merupakan pendapat dari para sarjana tentang sifat dari perjanjian kredit, namun tetap tidak bisa dilepaskan bahwa akar dari perjanjian kredit itu adalah perjanjian pinjam-meminjam. Seperti dirumuskan oleh Undang-Undang Perbankan tentang pengertian “kredit”, adalah; “. . ., berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminiam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.31

Memahami sifat perjanjian kredit berbagai peraturan perlu ditelaah, seperti BW, Undang-Undang Perbankan dan ketentuan-ketentuan lainnya. Seperti disampaikan oleh Edy Putra Tje'Aman, untuk mengetahui sifat perjanjian kredit bank, tidak cukup hanya melihat KUH Perdata (BW dan Undang-Undang Perbankan saja, tetapi juga harus memperhatikan ketentuanketentuan yang berlaku/dipakai dalam praktek perbankan.32

3. Bentuk Perjanjian Kredit

Menurut hukum, perjanjian kredit dapat dibuat secara lisan atau tertulis, yang penting memenuhi syarat-syarat Pasal 1320 KUHPerdata. Namun dari sudut pembuktian perjanjian secara lisan sulit untuk dijadikan sebagai alat bukti, karena hakekat pembuatan perjanjian adalah sebagai alat bukti bagi para pihak yang membuatnya. Dalam dunia modern yang komplek ini perjanjian lisan tentu sudah tidak dapat disarankan untuk digunakan meskipun secara teori diperbolehkan, karena lisan sulit dijadikan sebagai alat pembuktian bila terjadi masalah di

31

Djuhaendah Hasan, Op. Cit, hal. 174.

32

(12)

kemudian hari. Untuk itu setiap transaksi apapun seyogyanya dibuat tertulis yang digunakan sebagai alat bukti, termasuk perjanjian kredit.

Dasar hukum perjanjian kredit secara tertulis dapat mengacu pada Pasal 1 ayat (11) UU No. 10 tahun 1998 tentang perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan. Dalam pasal itu terdapat kata-kata : Penyediaan uang atau tagihan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara Bank dengan pihak lain. Kalimat tersebut menunjukkan bahwa pemberian kredit harus dibuat perjanjian. Meskipun dalam pasal itu tidak ada penekanan perjanjian kredit harus dibuat secara tertulis namun menurut pendapat Sutarno dalam organisasi bisnis modern dan mapan maka untuk kepentingan administrasi yang rapi dan teratur dan demi kepentingan pembuktian sehingga pembuatan bukti tertulis dari suatu perbuatan hukum menjadi suatu keharusan, maka kesepakatan perjanjian kredit harus tertulis.33

Dasar hukum lain yang mengharuskan perjanjian kredit harus tertulis adalah instruksi Presidium Kabinet No. 15/EK/IN/10/1966 tanggal 10 Oktober 1966. Dalam instruksi tersebut ditegaskan “Dilarang melakukan pemberian kredit tanpa adanya perjanjian kredit yang jelas antara Bank dengan Debitur atau antara Bank Sentral dan Bank-Bank lainnya. Surat Bank Indonesia yang ditujukan kepada segenap Bank Devisa No. 03/1093/UPK/KPD tanggal 29 Desember 1970, khususnya butir 4 yang berbunyi untuk pemberian kredit harus dibuat surat perjanjian kredit. Dengan keputusan-keputusan tersebut, maka pemberian kredit oleh Bank kepada nasabah harus diiniat secara tertulis. Perjanjian kredit

33

(13)

merupakan ikatan atau bukti tertulis antara bank dengan debitur, sehingga harus disusun dan dibuat sedemikian rupa agar setiap orang mudah untuk mengetahui bahwa perjanjian yang dibuat itu merupakan perjanjian kredit. Dalam praktek perbankan ada 2 (dua) bentuk perjanjian kredit, yaitu :

1. Perjanjian kredit yang dibuat di bawah tangan

Yang dimaksud dengan perjanjian kredit di bawah tangan adalah perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang hanya dibuat di antara mereka (bank dan nasabah), tanpa Notaris.34

Perjanjian kredit yang dibuat di bawah tangan dinamakan akta di bawah tangan, artinya perjanjian yang disiapkan dan dibuat sendiri oleh Bank kemudian ditawarkan kepada Debitur untuk disepakati. Untuk mempermudah dan mempercepat kerja Bank, biasanya Bank sudah menyiapkan formulir perjanjian dalam bentuk standard (standaardform) yang isi, syarat-syarat dan ketentuannya disiapkan terlebih dahulu secara lengkap. Bentuk perjanjian kredit yang dibuat sendiri oleh Bank tersebut termasuk jenis Akta Di Bawah Tangan. Dalam rangka penandatanganan perjanjian kredit, formulir perjanjian kredit yang isinya sudah disiapkan Bank kemudian disodorkan kepada setiap calon-calon Debitur untuk diketahui dan dipahami mengenai syarat-syarat dan ketentuan pemberian kredit tersebut. Syarat-syarat dan ketentuan dalam formulir perjanjian kredit tidak pernah diperbincangkan atau dirundingkan atau dinegosiasikan dengan calon Debitur. Calon Debitur mau atau tidak mau dengan terpaksa atau sukarela harus menerima semua persyaratan yang

34

(14)

tercantum dalam formulir perjanjian kredit. Seandainya calon Debitur melakukan protes atau tidak setuju terhadap pasal-pasal tertentu yang tercantum dalam formulir perjanjian kredit maka Kreditur tidak akan menerima protes tersebut karena isi perjanjian memang sudah disiapkan dalam bentuk cetakan oleh lembaga Bank itu sehingga bagi petugas Bank pun tidak bisa menanggapi usulan calon Debitur. Calon Debitur menyetujui atau menyepakati isi perjanjian kredit karena calon Debitur dalam posisi yang sangat membutuhkan kredit (posisi lemah) sehingga apapun persyaratan yang tercantum dalam formulir perjanjian kredit calon Debitur dapat menyetujui.

Perjanjian kredit bank yang hanya dibuat secara di bawah tangan dalam beberapa hal mengandung kelemahan. Adapun kelemahannya adalah :

a. Bahwa apabila suatu saat nanti terjadi wanprestasi oleh debitur, yang pada akhirnya akan diambil tindakan hukum melalui proses peradilan, maka apabila debitur yang bersangkutan menyangkali atau memungkiri tanda tangannya, akan berakibat mentahnya kekuatan hukum perjanjian kredit yang telah dibuat tersebut. Dalam Pasal 1877 KUH Perdata disebutkan bahwa jika seorang memungkiri tulisan atau tanda tangannya, hakim harus memerintahkan supaya kebenaran dari tulisan atau tanda tangan tersebut diperiksa di muka pengadilan.

b. Bahwa oleh karena perjanjian ini dibuat hanya oleh para pihak, dimana formulirnya telah disediakan oleh bank (form standar/baku), maka bukan tidak mungkin terdapat kekurangan data-data yang seharusnya dilengkapi untuk suatu kepentingan pengikatan kredit/pemberian bank garansi. Bahkan, bukan tidak mungkin, atas dasar pelayanan, penandatanganan perjanjian dilakukan walaupun formulir perjanjian masih dalam bentuk blangko/kosong.

(15)

bank yang selama ini banyak dipraktekkan kalangan perbankan, perlu untuk ditinjau kembali, terutama bila melihat sisi-sisi kelemahannya tersebut.35

2. Perjanjian kredit yang dibuat dengan Akta Otentik (Akta Notaris) Yang dimaksud dengan perjanjian kredit Notaris, adalah perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris.

Perjanjian kredit yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris yang dinamakan akta otentik atau akta notariil. Yang menyiapkan dan membuat perjanjian ini adalah seorang Notaris namun dalam praktek semua syarat dan ketentuan perjanjian kredit disiapkan oleh Bank kemudian diberikan kepada Notaris untuk dirumuskan dalam akta notariil. Memang Notaris dalam membuat perjanjian hanyalah merumuskan apa yang diinginkan para pihak dalam bentuk akta notariil atau akta otentik.36

Perjanjian kredit yang dibuat dalam bentuk akta notariil atau akta otentik biasanya untuk pemberian kredit dalam jumlah yang besar dengan jangka waktu menengah atau panjang, seperti kredit investasi, kredit modal kerja. kredit sindikasi (kredit yang diberikan lebih dari satu Kreditur atau lebih dari satu Bank). Antara perjanjian kredit yang dibuat dengan Akta di bawah tangan dengan perjanjian kredit dengan akta otentik sudah barang tentu ada perbedaannya. Bila dilihat dari segi pembuktiannya, antara akta di bawah tangan dengan akta otentik memang berbeda. Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian sempurna, artinya akta otentik itu dianggap sah dan benar tanpa perlu membuktikan atau menyelidiki keabsahan tanda tangan pihak-pihak tersebut.

35Ibid

36

(16)

Apabila suatu akta otentik diajukan sebagai alat bukti didepan Hakim, kemudian pihak lawan membantah akta otentik tersebut, maka pihak pembantah yang harus membuktikan kebenaran/bantahannya. Sebaliknya, jika tanda tangan pada akta di bawah tangan itu dipungkiri oleh pihak yang telah membubuhkan tanda tangan, maka pihak yang mengajukan akta di bawah tangah itu harus berusaha mencari alat-alat bukti lain yang membenarkan bahwa tanda tangan tadi dibubuhkan oleh pihak yang memungkiri.

4. Lahirnya Perjanjian Kredit

Dalam praktek perbankan terdapat prinsip commanditer ingsverbod, yaitu : “adanya larangan bagi bank bahwa dengan adanya pemberian kredit, bank ikut menanggung resiko dari usaha nasabah”.37

Dengan adanya prinsip atau asas tersebut di atas, menunjukkan pada kita bahwa di dalam perjanjian kredit akan selalu terkait dengan adanya perjanjian jaminan. Dalam praktek, penandatanganan perjanjian jaminan dilakukan bersamaan pada saat penandatanganan perjanjian kreditnya. Adanya perjanjian jaminan tersebut adalah karena adanya perjanjian kredit. Hal ini sesuai dengan sifat accessoir dari perjanjian jaminan. Di samping terkaitnya perjanjian jaminan di dalam perjanjian kredit, juga tidak akan terlepas dari kewajiban membayar bunga kredit.

Hal tersebut sesuai dengan asas tiada kredit tanpa jaminan.

37

(17)

Di dalam praktek perbankan, bahwa dengan ditandatanganinya perjanjian kredit tidak berarti akan disertai dengan realisasi kredit atau pencairan kredit.38

Jadi pada saat dilakukannya penandatanganan perjanjian kredit, perjanjian kredit belum lahir. Apabila perjanjian kredit telah lahir pada saat dilakukannya penandatanganan perjanjian kredit, sedangkan pihak pemohon belum menerima kreditnya, maka hal ini adalah suatu kejanggalan, suatu ketidakadilan yang nyata. Sebab bila perjanjian kredit telah lahir pada saat dilakukannya penandatanganan perjanjian kredit, berarti perjanjian jaminannya pun telah lahir. Sedangkan pada saat itu pemohon belum menerima kreditnya, yang berarti pula belum mempunyai hutang. Hal ini adalah bertentangan dengan sifat accessoir dari perjanjian jaminan.

Pemohon (calon nasabah) tidak akan dapat melakukan penarikan kredit, bila tidak ada pernyataan dari bank bahwa pemohon sudah boleh menarik kreditnya.

Demikian pula halnya bila dikaitkan dengan kewajiban membayar bunga kredit. Bagaimana mungkin pemohon atau calon nasabah diwajibkan membayar bunga apabila ia sendiri belum menerima kreditnya.

5. Hapusnya Perjanjian Kredit

Pasal 1319 BW (KUH Perdata) menetapkan semua perjanjian baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu tunduk pada peraturan-peraturan umum yang termuat di dalam bab kedua BW (KUH Perdata). Ini berarti perjanjian kredit yang merupakan perjanjian yang tidak

38

(18)

dikenal di dalam KUH Perdata, juga harus tunduk pada ketentuan-ketentuan umum yang termuat di dalam Buku III KUH perdata.

Karenanya Pasal 1381 BW (KUH Perdata) yang mengatur cara hapusnya perikatan dapat diberlakukan pula pada perjanjian kredit bank. Dari sepuluh cara yang disebutkan pada Pasal 1381 tadi, umumnya perjanjian kredit bank harus hapus atau berakhir karena hal-hal di bawah ini:

1. Pembayaran

Pembayaran (lunas) ini merupakan pemenuhan prestasi dari debitur, baik pembayaran utang pokok, bunga, denda maupun biaya-biaya lainnya yang wajib dibayar lunas oleh debitur. Pembayaran lunas ini, baik karena jatuh tempo kreditnya atau karena diharuskannya debitur melunasi kreditnya secara seketika dan sekaligus (opelbaarheid clause).

2. Subrograsi (subrogatie)

(19)

3. Pembaharuan utang (novasi)

Pembaruan utang terjadi dengan jalan mengganti utang lama dengan utang baru, debitur lama dengan debitur baru dan kreditur lama dengan kreditur baru. Dalam hal ini, bila utang lama diganti dengan utang baru terjadilah penggantian objek perjanjian yang disebut “novasi subjektif”. Di sini utang lama lenyap, dalam hal terjadi penggantian orangnya (subjeknya), maka jika diganti debiturnya, pembaruan ini disebut “novasi subjektif pasif”. Jika yang diganti itu krediturnya, pembaruan ini disebut “novasi subjektif aktif”. Dalam hal ini utang lama lenyap.

Pada umumnya pembaruan utang yang terjadi di dalam dunia perbankan adalah denggan mengganti atau memperbarui perjanjian kredit bank yang ada. Dalam hal ini yang diganti adalah perjanjian kredit banknya dengan perjanjian kredit bank yang baru. Dengan terjadinya penggantian atau pembaruan perjanjian kredit, otomatis perjanjian kredit bank yang lama berakhir atau tidak berlaku.

Pasal 1413 BW (KUH Perdata) menyebutkan tiga cara untuk melakukan novasi, yaitu :

1. dengan membuat suatu perikatan utang baru yang mengganti perikatan utang lama yang dihapuskan karenanya;

2. dengan cara expromissie, yakni mengganti debitur lama dengan debitur baru 3. mengganti debitur lama dengan debitur baru sebagai akibat suatu perjanjian

baru yang diadakan;

(20)

Kompensasi adalah perjumpaan dua utang yang berupa benda-benda yang ditentukan menurut jenis (generieke ziken) yang dipunyai oleh dua orang atau pihak secara timbal balik, dimana masing-masing pihak berkedudukan baik sebagai kreditur maupun debitur terhadap orang lain, sampai jumlah terkecil yang ada di antara kedua utang tersebut.39

Dasar kompensasi ini disebutkan dalam Pasal 1425 BW (KUH Perdata). Dikatakan jika dua orang saling berhutang satu pada yang lain, maka terjadilah antara mereka suatu perjumpaan utang-piutang, dengan mana utang-utang antara kedua orang tersebut dihapuskan.

Kondisi demikian itu dijalankan oleh bank dengan cara mengkompensasikan barang jaminan debitur dengan utangnya kepada bank, sebesar jumlah jaminan tersebut yang diambil alih tersebut.

B. Jaminan Fidusia

1. Pengertian dan Latar Belakang Lahirnya Jaminan Fidusia

Sebelum kita membahas lebih jauh tentang pengertian jaminan fidusia hendaknya kita memahami pengertian jaminan. Dalam rangka pembangunan ekonomi diperlukan tersedianya dana, yang salah satunya adalah dalam bentuk kredit yang diberikan oleh lembaga perbankan.40

39

Rachmadi Usman, Op. Cit, hal. 279-280.

Dana yang berupa kredit itu diperlukan oleh debitur guna kepentingan pengembangan usaha atau keperluan lainnya. Penyaluran kredit kepada pelaku usaha selaku debitur sarat dengan resiko

40

(21)

kemacetan. Oleh karena itu, bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat di antaranya :

1. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit tanpa surat perjanjian tertulis; 2. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit kepada usaha yang sejak semula

telah diperhitungkan kurang sehat dan akan membawa kerugian;

3. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit untuk pembelian saham dan modal kerja dalam rangka kegiatan jual beli saham, atau;

4. Memberikan kredit melampaui batas maksimum pemberian kredit (legal lending limit).41

Mengingat hal-hal tersebut di atas, maka bank dalam memberikan kreditnya wajib memperoleh keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melaksanakan kewajibannya. Setelah kredit diberikan, bank juga wajib melakukan peninjauan ke lapangan dan pengikatan terhadap jaminan yang diserahkan oleh debitur sehingga jaminan yang diterima dapat memenuhi persyaratan dan kctcntuan yang berlaku. Untuk memperoleh keyakinan terhadap kemampuan dan kesanggupan debitur maka bank melakukan penilaian yang dikenal dengan the five c's of credit (5C) antara lain Character; Capital; Capacity; Collateral; Condition of economy.

Berbagai aspek penilaian yang dilakukan bank tidak selalu dapat mencerminkan kinerja nasabah debitur di masa yang akan datang, maka pihak bank perlu berjaga-jaga terhadap resiko yang terburuk dari pelepasan kredit. Antisipasi terhadap kemungkinan macetnya pemenuhan kewajiban oleh nasabah

41

(22)

adalah kewajiban penyerahan jaminan sebelum dana diberikan kepada nasabah. Jaminan merupakan salah satu upaya untuk mengantisipasi risiko yang mungkin timbul dalam tenggang waktu antara pelepasan dan pelunasan kredit. Namun dalam Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan tidak disebutkan lagi secara tegas mengenai kewajiban tersedianya jaminan atas kredit yang dimohonkan oleh debitur, seperti yang diatur dalam Undang-Undang Perbankan yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967.

Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 menyebutkan : “Bank Umum tidak memberi kredit tanpa jaminan kepada siapapun juga”. Dalam kalimat tersebut tersirat bahwa siapapun yang ingin memperoleh kredit bank harus menyerahkan jaminan kepada bank. Terdapat perubahan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yaitu Pasal 8 yang menyebutkan bahwa ”Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad baik dan kemampuan serta kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya sesuai dengan yang diperjanjikan”.

Sebenarnya dalam literatur hukum tidak dikenal istilah hukum jaminan, sebab kata recht dalam rangkaiannya sebagai zakerheidsrechten berarti ”hak”, sehingga zakerheidsrechten berarti hak-hak jaminan.42

42

J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Bandung : Citra Aditya Bakti,2002 (selanjutnya disebut J. Satrio I), hal. 154.

(23)

jaminan tagihan kreditur atas hutang debitur.43 Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, ketentuan umum tentang jaminan diletakkan dalam pasal 1131 sampai dengan pasal 1138. Dalam pasal-pasal tersebut diatur prinsip tanggung jawab seorang debitur terhadap hutang-hutangnya dan juga kedudukan semua kreditur atas tagihan yang dipunyai olehnya terhadap debiturnya.44

Dalam Pasal 2 ayat (1) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/69/KEP/DIR tanggal 28 Februari 1991 tentang Jaminan Pemberian Kredit, bahwa yang dimaksud dengan jaminan adalah suatu keyakinan bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan. Sutarno menyatakan, jaminan adalah segala sesuatu yang mempunyai nilai mudah untuk diuangkan yang diikat dengan janji sebagai jaminan untuk pembayaran dari utang debitur berdasarkan perjanjian kredit yang dibuat oleh kreditur dan debitur.45 Selanjutnya Pasal 1 ayat (23) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan juga menyebutkan agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Hal penting dalam penyerahan agunan ini adalah keabsahan secara yuridis di perjanjian pengikatan agunan. Pihak bank harus yakin bahwa agunan atau jaminan yang telah diserahkan telah berdasarkan perjanjian yang sah secara yuridis. 46

43

J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1996) (selanjutnya disebut J. Satrio II), hal. 4.

44

J. Satrio I, Op. Cit.

45

Sutarno, Op. Cit, hal. 142.

46

(24)

Kredit yang didukung dengan jaminan disebut secured loans, dengan menggunakan jaminan dalam penyaluran kredit dapat meyakinkan bank akan kemampuan debitur dalam pengembalian utangnya, sedangkan kredit yang tidak didukung dengan jaminan disebut unsecured loans, pemberian kredit ini yaitu dengan mempertimbangkan bonafiditas dan prospek usaha debitur. Kredit tanpa adanya jaminan sangat membahayakan posisi bank, mengingat jika nasabah mengalami kemacetan pembayaran maka akan sulit menutupi kerugian terhadap kredit yang disalurkan. Dengan adanya harta debitur yang dijadikan jaminan atas utangnya dapat menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan.47

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa jaminan sebagai sarana perlindungan bagi keamanan kreditur yaitu memberikan kepastian akan pelunasan utang debitur sesuai dengan perjanjian kredit. Jaminan dapat menutupi segala resiko terhadap kemungkinan macetnya suatu kredit baik yang ada unsur kesengajaan atau tidak. Oleh karena itu, selain benda yang menjadi objek jaminan kredit diikat dengan asuransi tertentu, penilaian jaminan kredit haruslah teliti jangan sampai terjadi sengketa, palsu, dan sebagainya.

Istilah Fidusia berasal dari kata ”fides” yang berarti kepercayaan.48

47

Hartono Hadisoeprapto, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, Yogyakarta :Liberty, hal. 50.

Hubungan hukum yang terjadi antara kreditur dengan debitur merupakan hubungan hukum yang berdasarkan atas kepercayaan. Istilah fidusia sudah lama dikenal dalam bahasa Indonesia dan merupakan istilah resmi dalam dunia hukum

48

(25)

di Indonesia.4974 Undang-Undang Fidusia Nomor 42 Tahun 1999 juga menggunakan istilah ”fidusia”. Namun terkadang, untuk fidusia ini juga dikenal dengan istilah ”Penyerahan Hak Milik Secara Kepercayaan”. Dalam terminologi Belandanya sering disebut dengan Fiduciare Eigendom Overdracht, sedangkan dalam bahasa Inggrisnya sering disebut dengan istilah Fiduciary Transfer of Ownership.50

Jaminan fidusia ini lahir karena adanya kebutuhan dalam praktek untuk menjaminkan barang bergerak tetapi tanpa penyerahan barang secara fisik. Mengingat lembaga gadai mensyaratkan adanya penyerahan benda maka dicarikanlah jalan untuk dapat menjaminkan barang bergerak tanpa penyerahan fisik barang tersebut. Akhirnya muncullah suatu rekayasa untuk memenuhi kepentingan dalam praktek tersebut yaitu dengan jalan pemberian jaminan fidusia. Jaminan fidusia ini akhirnya diterima dalam praktek dan diakui oleh yurisprudensi, baik di Belanda maupun di Indonesia.51 Rekayasa hukum tersebut dilakukan lewat bentuk globalnya yang disebut dengan "Constitutum Posessorium" (penyerahan kepemilikan benda tanpa menyerahkan fisik benda sama sekali). Agar sahnya peralihan hak dalam kontruksi hukum tentang fidusia ini, haruslah memenuhi syarat-syarat antara lain :52

a. terdapat perjanjian yang bersifat zakelijk

b. adanya titel untuk suatu peralihan hak

49

Munir Fuady, Jaminan Fidusia, Bandung : Citra Aditya Bakti,2003 (selanjutnya disebut Munir Fuady II), hal. 3.

50Ibid 51Ibid

.

52

(26)

c. adanya kewenangan untuk menguasai benda dari orang yang menyerahkan benda

d. cara tertentu untuk penyerahan yaitu dengan cara constitutum posessorium

bagi benda bergerak yang berwujud, atau dengan cessie untuk hutang piutang. Berkaitan dengan Fidusia dan Jaminan Fidusia, dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia memberikan pengertian mengenai masing-masing tersebut:

Pasal 1 butir 1:

Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.

Pasal 1 butir 2 :

Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditur lainnya.

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka unsur-unsur fidusia dalam upaya pemberian hak jaminan kepada kreditur dengan tujuan :

1. Sebagai agunan

(27)

apabila dilihat lebih jauh terhadap konstruksi jaminan fidusia akan membingungkan dan dapat menimbulkan salah tafsir apabila dikaitkan dengan unsur dari pengertian fidusia tentang ”pengalihan hak milik” yang sering ditafsirkan bahwa penerima jaminan fidusia semestinya menjadi pemilik atas benda yang bersangkutan. Apabila ditinjau lebih jauh riwayat sebenarnya merupakan penyelundupan atas ketentuan gadai yang diatur pada Pasal 1152 ayat (1) KUH Perdata untuk membedakan dari gadai berdasarkan kebutuhan praktek hukum jaminan. Karena hukum merupakan suatu sistem yang tidak memungkinkan untuk adanya pertentangan sehingga digunakan istilah pengalihan hak milik untuk membedakan dengan gadai.

2. Untuk kepentingan pelunasan tertentu

(28)

3. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lain dari pelunasan atau kewajiban debitur (pemberi jaminan fidusia). Unsur ini menunjukkan bahwa kreditur penerima fidusia akan mempunyai posisi lebih baik di depan hukum dalam penagihan, demikian pula apabila terjadi eksekusi terhadap benda jaminan fidusia, maka kedudukannya lebih diutamakan atau didahulukan daripada kreditur lainnya dalam mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi dari benda jaminan fidusia. Hal demikian dinamakan hak preferen.

Dalam perkembangannya di zaman Romawi, ada dua bentuk jaminan fidusia yaitu fiducia cum amino dan fiducia cum creditore. Keduanya timbul dari perjanjian yang disebut pactum fiduciae yang kemudian diikuti dengan penyerahan hak.53 Fiducia cum amino contracta yang artinya janji kepercayaan yang dibuat dengan teman. Lembaga ini sering digunakan dalam hal seorang pemilik suatu benda harus mengadakan perjalanan keluar kota dan sehubungan dengan itu menitipkan kepemilikan benda tersebut kepada teman dengan janji bahwa teman akan mengembalikan benda tersebut jika pemiliknya sudah kembali dari perjalanannya. Dalam fiducia cum amino contracta ini kewenangan diserahkan kepada pihak pcnerima akan tetapi kepentingan tetap ada pada pihak pemberi.54

Fiducia cum creditore contracta berarti janji kepercayaan yang dibuat dengan debitur, bahwa debitur akan mengalihkan suatu benda kepada kreditur sebagai suatu jaminan utang dengan kesepakatan bahwa kreditur akan

53

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Loc. Cit.

54

(29)

mengalihkan kembali benda jaminan tersebut apabila utang debitur sudah dibayar lunas, karena debitur bertindak dengan kepercayaan, hubungan seperti ini dinamakan hubungan yang didasarkan atas fides atau hubungan fiduciair.55

Timbulnya fiducia cum creditore ini disebabkan adanya suatu kebutuhan akan hukum jaminan yang belum diatur oleh konstruksi hukum. Dengan fiducia cum creditore ini maka kewenangan yang dimiliki kreditur akan lebih besar yaitu sebagai pemilik atas barang yang dialihkan sebagai jaminan. Debitur percaya bahwa kreditur tidak akan menyalahgunakan wewenang yang diberikan itu. Kekuatannya hanya terbatas pada kepercayaan dan secara moral saja dan bukan kekuatan hukum. Debitur tidak akan dapat berbuat apa-apa jika kreditur tidak mau mengembalikan hak milik atas barang yang diserahkan sebagai jaminan itu. Hal ini merupakan kelemahan fidusia pada bentuk awalnya jika dibandingkan dengan sistem hukum jaminan yang kita kenal sekarang.56

55

J. Satrio II, Op. Cit, hal 166.

Karena kelemahan itu maka ketika gadai dan hipotek berkembang sebagai hak-hak jaminan serta adanya hukum tertulis yang mengaturnya, akhirnya fidusia hilang dari Hukum Romawi. Ketika negara-negara Eropa Kontinental seperti Perancis dan Belanda mengadopsi hukum Romawi, dalam hukum Romawi lembaga fidusia sudah lenyap sehingga dalam Burgerlijk Wetboek (BW) tidak dikenal lembaga fidusia, yang diatur hanya hipotek (hak tanggungan) dan pand (gadai). Baru kemudian terasa lagi kebutuhan dalam praktek hukum di negeri Belanda sehingga lembaga fidusia dimunculkan lagi dalam praktek dan diakui oleh yurisprudensi. Lahirnya lembaga fidusia di negeri Belanda tidak terlepas dari kebutuhan dan keadaan perekonomian pada saat

56

(30)

itu. Pada abad 19, di negeri Belanda terjadi kemerosotan hasil panen, sehingga perusahaan pertanian sangat membutuhkan modal. Lembaga hipotik tidak dapat diandalkan saat itu karena petani memiliki tanah yang sangat terbatas, apalagi lembaga gadai, para petani tidak dapat menyerahkan barang-barang pertanian yang justru sangat dibutuhkan untuk proses produksi pertaniannya. Hal yang sama juga berlaku untuk wilayah Hindia Belanda (Indonesia) saat itu. Dengan keadaan seperti itu, di negeri Belanda saat itu ada usaha-usaha untuk menanggulangi masalah tersebut antara lain dengan jalan memformulasi pinjaman dalam bentuk bank-bank koperasi. Di Indonesia (Hindia Belanda) saat itu ditanggulangi dengan cara mengintrodusir jaminan hutang dalam bentuk “ikatan panen” (oogstverband).

Oogstverband adalah suatu jaminan untuk pinjaman uang, yang diberikan atas panen yang akan diperoleh dari suatu perkebunan (teh, kopi, dan sebagainya) berdasarkan Koninklijk Besluit tanggal 24 Januari 1886 (Stbl. 1886-57).57 Dari pengertian oogstverband, ada 3 (tiga) hal yang cukup penting harus diketahui yaitu pertama, oogstverband sebagai lembaga jaminan memiliki karakter kebendaan (zakenlijke caracter) berarti lembaga oogstverband mempunyai sifat-sifat kebendaan antara lain haknya dapat dipertahankan terhadap siapapun juga, hak mengikuti bendanya ditangan siapapun benda itu berada dan mudah dieksekusi; kedua, objek oogstverband adalah hasil-hasil pertanian yang belum dipetik beserta perusahaan serta peralatan yang dipakai untuk mengolah hasil pertanian; ketiga, hakikat oogstverband.58

57Ibid

Atas satu panenan hanya dapat berlaku satu oogstverband, apabila ada beberapa maka yang berlaku hanya yang pertama

58

(31)

diletakkannya sedangkan yang kemudian dapat berlaku apabila yang pertama telah hapus sebagai suatu jaminan (accesoir) tentunya oogstverband ini hapus kalau utangnya telah dibayar. Menurut R. Soebekti, kelemahan dari lembaga ini adalah bahwa Oogstverband hapus apabila hasil panen yang dijadikan jaminan musnah.59

Bentuk jaminan “ikatan panen atau bank-bank koperasi” di dalam pratek dirasakan tidak memadai sehingga yang terjadi saat itu adalah perkembangan kebutuhan perekonomian lebih cepat dibandingkan perkembangan hukum perkreditan dan jaminan. Di samping itu hukum positif saat itu tidak mengatur mengenai jaminan utang terhadap benda bergerak (gadai) tanpa penyerahan barangnya.

Keberadaan fidusia di Indonesia diakui oleh yurisprudensi berdasarkan keputusan Hooggerechtsh of (HGH) tanggal 18 Agustus 1932, kasusnya sebagai berikut : Pedro Clignett meminjam uang dari Bataafsche Petroeum Maatschappij (BPM) dengan jaminan hak milik atas sebuah mobil secara kepercayaan. Clignett tetap menguasai mobil itu atas dasar perjanjian pinjam pakai yang akan berakhir jika Clignett lalai membayar utangnya dan mobil tersebut akan diambil oleh BPM. Ketika Clignett benar-benar lalai, BPM menuntut penyerahan mobil dari Clignett, namun ditolaknya dengan alasan bahwa perjanjian yang dibuat itu tidak sah. Menurut Clignett, jaminan yang ada adalah gadai, tetapi karena barang gadai tetap berada dalam penguasaan debitur maka gadai tersebut tidak sah. Dalam putusannya HGH menolak alasan Clignett karena perjanjian yang dibuat bukanlah

59

(32)

gadai melainkan fidusia yang telah diakui oleh Hoge Raad dalam Bier Brouwerij Arrest. Clignett diwajibkan menyerahkan jaminan tersebut kepada BPM.60

Setelah putusan BPM tersebut, baik Mahkamah Agung zaman Hindia Belanda (HGH) maupun Mahkamah Agung (pengadilan tingkat bawahan) di zaman kemerdekaan telah pula memberikan beberapa putusan yang antara lain menyimpulkan :

1. Lembaga fidusia hanya diperuntukkan terhadap benda bergerak (Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya tanggal 22 Maret 1951)

2. Membenarkan pengikatan fidusia sepanjang mengenai percetakan dan gedung perkantoran (Putusan Mahkamah Agung No. 372/K/Sip/1970 tanggal 1 September 1971)

3. Menegaskan bahwa kreditur pemilik fidusia (atas besi beton dan semen) bukanlah pemilik yang sebenarnya tetapi hanya sebagai pemegang jaminan hutang saja, sehingga jika hutang tidak dibayar, pihak kreditur tidak dapat langsung memiliki (mendaku) benda tersebut (Putusan Mahkamah Agung No. 1500/K/Sip/1978 tanggal 2 Februari 1980).

Walaupun sudah diputuskan bahwa objek jaminan fidusia berupa benda bergerak, namun dalam praktek untuk benda-benda tidak bergerak juga digunakan sebagai jaminan fidusia. Apalagi dengan berlakunya Undang-undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960, perbedaan benda bergerak dengan benda tidak bergerak menjadi kabur karena dalam UUPA tersebut menggunakan pembedaan berdasarkan tanah dan bukan tanah. Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 42

60

(33)

Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, maka yang menjadi objek jaminan fidusia menjadi jelas.

2. Dasar Hukum Jaminan Fidusia

Perkembangan dan penggunaan fidusia semakin meluas, terutama setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. Selain benda bergerak, fidusia dapat pula dibebankan di atas tanah-tanah yang tidak dapat dijaminkan melalui hipotik, seperti hak pakai dan hak sewa. Mengenai hak pakai secara tegas Undang-Undang Pokok Agraria tidak mengaturnya walaupun memiliki nilai ekonomis yang tinggi untuk dijadikan sebagai jaminan hutang.61

Seminar Nasional tentang Fidusia, menurut para ahli hukum mempermasalahkan apakah persoalan fidusia dibiarkan hidup dalam bentuk hukum tidak tertulis atau cukup hanya diatur dalam yurisprudensi atau dikukuhkan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun. Pengertian fidusia yang tercantum dalam Pasal 1 angka 8 membawa perubahan yuridis yang cukup berarti dalam perkembangan jaminan fidusia. Selanjutnya Pasal 12 dengan tegas mengatur bahwa satuan rumah susun dapat dijaminkan dengan ikatan fidusia, kalau tanah milik bersama di atas mana rumah susun itu berdiri berstatus Hak Pakai Milik Negara. Pengakuan fidusia juga diikuti oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Pemukiman dan Perumahan mengatur pemilikan rumah sebagai objek jaminan fidusia berdasarkan asas pemisahan horisontal terlepas dari hak atas tanahnya. Pengaturan jaminan fidusia

61

(34)

secara parsial dalam kedua Undang-Undang tersebut dirasakan kurang memadai dan belum sempurna untuk menjawab tantangan perkembangan hukum masyarakat khususnya dalam lalu lintas perkreditan. Memperhatikan keadaan seperti itu, maka kemudian diterbitkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

(35)

Dengan diundangkannya undang-undang jaminan fidusia memberikan kepastian hukum mengenai pemberian kredit dengan jaminan benda bergerak yang masih dalam penguasaan debitur atau pemberi fidusia. Undang-Undang tentang jaminan fidusia tersebut sangat lama ditunggu masyarakat perbankan bertujuan memberikan ketentuan hukum yang jelas dan lengkap mengenai lembaga jaminan fidusia sehingga dapat membantu dunia usaha untuk mendapatkan dana dari perbankan dengan jaminan benda bergerak yang masih dikuasai debitur. Menjamin kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan (kreditur dan debitur) dalam menyediakan pendanaan dengan jaminan fidusia.

Dalam suatu Undang-Undang, kepastian hukum meliputi dua hal, yakni : pertama, kepastian perumusan norma dan prinsip hukum yang tidak bertentangan satu dengan yang lainnya baik dari pasal-pasal Undang-Undang itu secara keseluruhan maupun kaitannya dengan pasal-pasal lainnya yang berada di luar Undang-Undang tersebut. Kedua, kepastian dalam melaksanakan norma-norma dan prinsip-prinsip hukum undang-undang tersebut. Jika perumusan norma dan prinsip hukum itu sudah memiliki kepastian hukum tetapi hanya berlaku secara yuridis saja dalam arti hanya demi Undang-Undang semata-mata, berarti kepastian hukum itu tidak pernah menyentuh kepada masyarakatnya. Dengan perkataan lain, peraturan hukum yang demikian disebut dengan norma hukum yang mati (doodregel) atau hanya sebagai penghias yuridis dalam kehidupan manusia.62

62

(36)

3. Subjek dan Objek Jaminan Fidusia

Chaidir Ali berpendapat bahwa yang dimaksud dengan subyek hukum adalah manusia yang berkepribadian hukum (legal personality) dan segala sesuatu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan masyarakat yang oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban.63 Dapat pula dikatakan bahwa subyek hukum adalah pendukung atau pembawa hak dan kewajiban artinya subyek hukum itu mempunyai hak-hak dan kewajiban dalam perbuatan hukum yang dilakukan.64

Pasal 1 butir 2 Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 Tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan menyatakan : Jadi pendukung atau pembawa hak dan kewajiban adalah manusia atau orang. Subyek hukum dalam jaminan fidusia adalah para pihak yang terlibat dalam pembuatan perjanjian atau akta jaminan fidusia. Dalam jaminan fidusia, ada pihak yang dikatakan sebagai penerima fidusia (kreditur/bank) dan pihak pemberi fidusia (debitur).

”Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.65

Dalam pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Jaminan Fidusia Nomor 42 Tahun 1999 menyebutkan bahwa pemberi fidusia (debitur) adalah orang perorangan atau korporasi pemilik Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia, sedangkan dalam pasal 1 ayat (6) menyebutkan, penerima fidusia (kreditur/ bank) adalah orang perorangan atau korporasi yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin

63

Chaidir Ali, Badan Hukum, (Bandung : Alumni, 1976) hal. 12

64

Sutarno, Op. Cit, hal. 9.

65

(37)

dengan Jaminan Fidusia. Untuk membuktikan bahwa benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia milik sah pemberi fidusia, maka harus dilihat bukti-bukti kepemilikan benda-benda jaminan tersebut. Penerima fidusia memiliki hak untuk mendapatkan pelunasan utang yang diambil dari nilai objek fidusia dengan cara menjual oleh kreditur sendiri ataupun melalui pelelangan umum.

Objek jaminan fidusia adalah benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan atau hipotek sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Pada awalnya yaitu zaman Romawi, objek fidusia adalah meliputi baik benda bergerak maupun tidak bergerak. Pemisahan mulai diadakan setelah mulai dikenal gadai dan hipotek. Di zaman Belanda, objek fidusia dipersamakan dengan gadai karena pada waktu itu fidusia dianggap sebagai jalan keluar untuk menghindari larangan dalam gadai. Sementara itu di kalangan Mahkamah Agung berpendapat bahwa jaminan fidusia hanya diperuntukkan terhadap benda bergerak. Mengingat dalam UUPA, pembedaan atas benda bergerak dan benda tidak bergerak dengan menggunakan tanah dan bukan tanah, bangunan-bangunan yang terletak di atas tanah tidak dapat dijaminkan terlepas dari tanahnya.

(38)

yaitu mengacu pada beberapa pasal dari Undang-Undang tersebut antara lain Pasal 1 ayat 4, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 20. Benda-benda yang menjadi objek jaminan fidusia adalah:

1. Benda tersebut harus dapat dimiliki dan dialihkan secara hukum. 2. Dapat atas benda berwujud.

3. Dapat juga atas benda tidak berwujud, termasuk piutang. 4. Benda bergerak

5. Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikat dengan hak tanggungan. 6. Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikatkan dengan hipotik.

7. Baik atas benda yang sudah ada maupun terhadap benda yang akan diperoleh kemudian. Dalam hal benda yang akan diperoleh kemudian, tidak diperlukan suatu akta pembebanan fidusia tersendiri.

8. Dapat atas satu satuan atau jenis benda

9. Dapat juga atas lebih dari satu jenis atau satuan benda. 10.Termasuk hasil dari benda yang telah menjadi objek fidusia.

11.Termasuk juga hasil klaim asuransi dari benda yang menjadi objek jaminan fidusia

12.Benda persediaan (inventory, stock perdagangan) dapat juga menjadi objek jaminan fidusia.

(39)

irama pembelian dan penjualan dari benda tersebut. Fidusia terhadap benda persediaan ini diakui oleh pengadilan di Inggris sejak tahun 1870 dalam kasus Re Panama, New Zealand and Australian Royal Mail Co.66

Sifat mengambang dari floating charges ini berubah menjadi spesifik jika terjadi suatu tindakan yang disebut dengan kristalisasi yaitu terjadi keadaan-keadaan sebagai berikut:

1. pengumuman pemberesan dalam likuidasi suatu perusahaan

2. jika terjadi wanprestasi atas surat berharga yang dijamin dengan floting charges

3. jika diangkat receiver (kurator) oleh pengadilan

4. Sifat-Sifat Jaminan Fidusia

Jaminan Fidusia sebagai hak kebendaan yang sekarang ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia mempunyai sifat-sifat sebagai berikut :

a. Jaminan Fidusia mempunyai sifat accessoir

Jaminan Fidusia bersifat accessoir artinya jaminan fidusia bukan hak yang berdiri sendiri tetapi lahirnya keberadaannya atau hapusnya tergantung perjanjian pokoknya. Yang dimaksud perjanjian pokok adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi prestasi. Perjanjian pokok misalnya perjanjian kredit atau perjanjian utang atau perjanjian lainnya yang menimbulkan kewajiban para pihak untuk memberikan sesuatu, berbuat

66

(40)

sesuatu dan tidak berbuat sesuatu yang dapat dinilai dengan uang. Sifat

accessoir dari jaminan fidusia berdasarkan pada Pasal 4 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia mengatur bahwa jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan dan suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi prestasi. Sedangkan Pasal 25 juga menegaskan bahwa Jaminan Fidusia hapus karena hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia.

b. Jaminan Fidusia mempunyai sifat droit de suite

Jaminan fidusia memiliki sifat Droit De Suite ini mengikuti sifat droit de suite, seperti Hak Tanggungan karena prinsip droit de suite merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan Indonesia dalam kaitannya dengan hak mutlak atas kebendaan. Jaminan fidusia yang memiliki sifat droit de suite

artinya penerima jaminan fidusia atau kreditur mempunyai hak mengikuti benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam tangan siapapun benda berada. Namun, sifat ini dikecualikan untuk obyek jaminan fidusia yang berbentuk benda persediaan (inventory). Obyek Jaminan Fidusia yang berbentuk benda persediaan tersebut merupakan barang-barang dari hasil produksi industri yang memang untuk diperdagangkan. Sifat droit de suite

dapat dicontohkan benda obyek jaminan fidusia berupa bus-bus atau truck

(41)

pemilik benda tersebut tidak menghilangkan hak kreditur untuk mengeksekusi benda jaminan (obyek fidusia) itu.67

c. Jaminan Fidusia memberikan hak preferent

Kreditur sebagai penerima fidusia memiliki hak yang didahulukan (preferent)

terhadap kreditur lainnya artinya jika debitur cidera janji atau lalai membayar hutangnya, maka kreditur penerima fidusia mempunyai hak untuk menjual atau mengeksekusi benda jaminan fidusia dan kreditur mendapat hak didahulukan untuk mendapatkan pelunasan hutang dari hasil eksekusi benda jaminan fidusia tersebut.

d. Jaminan Fidusia untuk menjamin utang yang telah ada atau akan ada. Fungsi jaminan fidusia ialah untuk menjamin pelunasan suatu utang yang besarnya telah diperjanjikan dalam perjanjian pokok yaitu perjanjian kredit atau perjanjian utang. Utang yang dijamin pelunasannya dengan fidusia harus memenuhi syarat sesuai Pasal 7 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, yaitu :

1. Utang yang telah ada artinya besarnya utang yang ditentukan dalam perjanjian kredit atau perjanjian lainnya. Besarnya utang yang ada dalam perjanjian kredit merupakan jumlah utang maksimum atau disebut plafond

kredit. Sering terjadi jumlah plafond kredit yang tercantum dalam perjanjian kredit tidak seluruhnya ditarik oleh debitur sehingga jumlah utang yang sebenarnya tidak sama dengan jumlah plafond dalam perjanjian kredit. Oleh karena itu besarnya utang telah ada, dapat

67

(42)

menggunakan bukti tambahan berupa rekening koran atau bukti lainnya yang dikeluarkan bank. Rekening koran yang diterbitkan bank inilah merupakan bukti besarnya jumlah utang riil yang ada yang dijamin pelunasannya dengan jaminan fidusia.

2. Utang yang akan timbul dikemudian hari yang telah diperjanjikan dalam jumlah tertentu. Utang yang akan timbul di kemudian hari atau yang akan ada ini misalnya utang yang timbul dari pembayaran yang akan dilakukan oleh kreditur untuk kepentingan debitur dalam rangka pelaksanaan garansi bank. Utang ini merupakan utang yang akan ada karena terjadinya di masa akan datang tetapi jumlahnya utang sudah bisa ditentukan sesuai komitmen kreditur untuk membayar bank garansi akibat debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada penerima bank garansi (pihak yang dijamin).

3. Utang yang pada saat eksekusi dapat ditentukan jumlahnya berdasarkan perjanjian kredit yang menimbulkan kekayaan memenuhi suatu prestasi. Pada saat eksekusi terhadap jaminan fidusia, kreditur akan menentukan jumlah utang riil debitur berdasarkan perjanjian kredit atau rekening koran yang meliputi penarikan hutang pokok, bunga, denda keterlambatan dan biaya-biaya lainnya yang dikeluarkan kreditur. Berdasarkan bukti-bukti tersebut jumlah utang dapat ditentukan pada saat kreditur akan mengajukan eksekusi.

(43)
(44)

f. Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial. Kreditur sebagai penerima fidusia mempunyai hak untuk mengeksekusi benda jaminan bila debitur cidera janji. Hak untuk mengajukan eksekusi tersebut berdasarkan Pasal 15 ayat 3 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang mengatur apabila debitur cidera janji, kreditur sebagai penerima fidusia mempunyai hak untuk menjual benda yang menjadi obyek jaminan fidusia atas kekuasaan sendiri. Hak untuk menjual obyek jaminan fidusia atas kekuasaan sendiri merupakan perwujudan dari sertifikat jaminan fidusia yang mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 15 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang artinya menegaskan Sertifikat Jaminan Fidusia yang dicantumkan kata-kata ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dengan sifat eksekutorial ini jika debitur cidera janji maka kreditur sebagai penerima fidusia dapat melakukan penjualan benda jaminan secara langsung dengan bantuan Kantor Lelang atau tidak dengan bantuan Kantor Lelang dan tidak perlu meminta fiat dari pengadilan. Hak kreditur untuk menjual sendiri benda jaminan dinamakan

Parate Eksekusi.

(45)

cara mengidentifikasi benda jaminan tersebut, dijelaskan mengenai surat bukti kepemilikannya dalam Akta Jaminan Fidusia. Sifat publisitas adalah berupa pendaftaran Akta Jaminan Fidusia yang merupakan akta pembebanan benda yang dibebani Jaminan Fidusia. Pendaftaran Akta Jaminan Fidusia dilakukan di Kantor Pendaftaran Fidusia tempat dimana Pemberi Fidusia berkedudukan. Untuk benda-benda yang dibebani Jaminan Fidusia tetapi berada di luar wilayah Negara Republik Indonesia tetap didaftarkan di kantor Pendaftaran Fidusia di Indonesia dimana pemberi fidusia berkedudukan. Dengan dilaksanakan pendaftaran benda yang dibebani jaminan fidusia di Kantor Pen daftaran Fidusia, maka masyarakat dapat mengetahui bahwa suatu benda telah dibebani Jaminan Fidusia sehingga masyarakat akan berhati-hati untuk melakukan transaksi atas benda tersebut dan sekaligus memberikan jaminan kepastian terhadap kreditur lainnya mengenai benda yang telah dibebani jaminan fidusia. Pendaftaran benda yang telah dibebani jaminan fidusia ini untuk memenuhi asas publisitas seperti tercantum pada Pasal 11 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang mengatur bahwa benda yang dibebani dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan.

(46)

sewenang-wenang kreditur. Seandainya debitur setuju mencantumkan janji bahwa benda yang menjadi obyek fidusia akan menjadi milik debitur jika debitur cidera janji maka oleh undang-undang janji semacam itu batal demi hukum. Batal hukum artinya sejak semula dianggap tidak pernah ada sehingga tidak perlu dilaksanakan (vide Pasal 33 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia).

Sifat-sifat atau karakteristik dari jaminan fidusia sebagaimana diuraikan di atas sesuai atau selaras dengan azaz-azas yang ada dalam lembaga jaminan. Menurut Mariam Darus Badrulzaman, bahwa peraturan perundang-undangan Indonesia mengatur tentang azas-azas jaminan yang garis besarnya sebagai berikut :

1) Benda yang menjadi obyek jaminan adalah benda bergerak maupun benda tidak bergerak.

2) Mempunyai sifat hak kebendaan (real right) sebagaimana diatur dalam Pasal 528 BW. Sifat dari pada hak kebendaan itu sendiri, yaitu :

a. Absolut, yaitu dapat dipertahankan pada setiap orang.

b. Droit de suite,yaitu hak kebendaan mengikuti benda pada siapapun dia berada.

(47)

4) Adanya hak preferent yaitu hak yang didahulukan pemenuhannya dari piutang lainnya (Pasal 1133, 1134 dan 1198 BW)68

5. Tata Cara Pembebanan Jaminan Fidusia

Pembebanan atau pengikatan jaminan fidusia melalui beberapa tahapan sesuai dengan peraturan yang berlaku yang dimaksud dengan tahapan-tahapan pengikatan atau pembebanan fidusia adalah rangkaian perbuatan hukum dari dibuatnya perjanjian pokok yang berupa perjanjian kredit atau perjanjian utang, pembuatan akta jaminan fidusia sampai dilakukan pendaftaran di Kantor Pendaftaran fidusia sampai mendapatkan sertifikat jaminan fidusia. Adapun tahap-tahap pengikatan (pembebanan) jaminan fidusia sebagaimana dimaksud adalah sebagai berikut :

a. Tahap Pertama (Pembuatan Perjanjian Pokok)

Tahap pertama didahului dengan dibuatnya perjanjian pokok yang berupa perjanjian kredit atau perjanjian utang. Perjanjian pokok yang berupa perjanjian kredit dapat dibuat dengan akta di bawah tangan artinya dibuat oleh Kreditur dan Debitur sendiri atau akta otentik artinya dibuat oleh dan di hadapan Notaris. Didahuluinya pembuatan perjanjian pokok yang berupa perjanjian kredit ini sesuai sifat accessoir dari Jaminan Fidusia yang artinya pembebanan Jaminan Fidusia merupakan ikutan dari perjanjian pokok. Pasal 4 Undang-Undang Fidusia menegaskan Jaminan Fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para

68

(48)

pihak untuk memenuhi suatu prestasi. Perjanjian jaminan sebagai perjanjian ikutan (tambahan) dimaksudkan untuk mendukung secara khusus perjanjian terdahulu yaitu perjanjian pokok (perjanjian kredit) yang telah disepakati dan yang hanya memiliki sifat relatif.

Menurut Mochamad Isnaeni:

Pada umumnya diakui bahwa segala sesuatu yang memperoleh dukungan akan menjadi lebih kokoh ketimbang saat sebelumnya ketika tidak ada pendukungnya. Begitu pula kalau perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok bermula sekedar memiliki sifat relative, sehingga krediturnya hanya berposisi sebagai kreditur konkuren, kalau kemudian didukung oleh perjanjian jaminan (tambahan) yang bersifat kebendaan, mengakibatkan kreditur yang bersangkutan berubah posisi menjadi kreditur preferen dengan hak-hak yang lebih istimewa.69

b. Tahap Kedua (Pembuatan Akta Jaminan Fidusia)

Tahap kedua berupa pembebanan benda dengan jaminan Fidusia yang ditandai dengan pembuatan Akta Jaminan Fidusia ditandatangani Kreditur sebagai penerima Fidusia dan pemberi Fidusia (debitur atau pemilik benda tetapi bukan debitur). Dalam Akta Jaminan Fidusia selain dicantumkan hari dan tanggal pembuatan juga dicantumkan mengenai waktu atau jam pembuatan akta tersebut. Bentuk Akta Jaminan Fidusia adalah akta otentik yang dibuat oleh dan dihadapan Notaris. Pengikatan atau pembebanan fidusia dilakukan dengan menggunakan instrument yang disebut “Akta Jaminan Fidusia”. Akta jaminan fidusia ini haruslah dibuat dengan akta Notaris (Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 42 Tahun 1999).

69

(49)

Sejalan dengan ketentuan yang mengatur Hipotik dan Hak Tanggungan, maka Akta Jaminan Fidusia harus dibuat oleh dan di hadapan pejabat yang berwenang, yaitu Notaris.70 Pasal 1870 KUH Perdata menyatakan bahwa Akta Notaris merupakan akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya di antara para pihak beserta para ahli warisnya atau para pengganti haknya. Itulah sebabnya mengapa Undang-Undang Fidusia (Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999) menetapkan perjanjian Fidusia harus dibuat dengan Akta Notaris.71

Menurut Ratnawati W. Prasadja, alasan Undang-Undang menetapkan bentuk perjanjian pembebanan jaminan fidusia dengan akta notaris adalah : Pertama, akta notaris adalah akta otentik, sehingga memiliki kekuatan pembuktian sempurna; Kedua, obyek jaminan fidusia umumnya adalah benda bergerak; Ketiga, Undang-Undang melarang adanya fidusia ulang.72

Kewajiban pembebanan jaminan fidusia dengan akta notaris, adalah merupakan norma yang bersifat memaksa (dwingenrecht). Sudah tentu apabila dibuat hanya dengan akta di bawah tangan, perjanjian jaminan fidusia itu tidak memiliki eksistensi dan konsekuensinya tidak dapat didaftarkan untuk memenuhi azas publisitas sebagaimana dikehendaki oleh Undang-Undang. Secara teoritis fungsi akta adalah untuk kesempurnaan perbuatan hukum (formalitas causa)73

70

Gunawan Widjaya dan Achmad Yani, OP. Cit, hal. 135.

, dan akta notaris mempunyai kekuatan pembuktian lahir sesuai azas “acta publica

71Ibid

, hal. 36.

72

Tan Kamelo, Op. Cit, hal. 131.

73

(50)

proban seseipsa”. Bila dibandingkan dengan akta di bawah tangan tidak mempunyai kekuatan pembuktian lahir karena tanda tangan pada akta di bawah tangan masih dapat dipungkiri oleh para pihak. Dengan demikian, akta notaries mempunyai kekuatan hukum dan kepastian hukum yang lebih besar dan sempurna dibandingkan akta di bawah tangan.74

Akta jaminan fidusia sebagaimana dimaksud, haruslah berisikan sekurang-kurangnya hal-hal sebagai berikut :

(a) Identitas pihak pembeli fidusia, berupa : - Nama lengkap,

- Agama,

- Tempat tinggal atau tempat kedudukan, - Tempat lahir,

- Tanggal lahir, - Jenis kelamin, - Status perkawinan, - Pekerjaan.

(b) Identitas pihak penerima fidusia, yakni tentang data seperti tersebut di atas.

(c) Haruslah dicantumkan hari, tanggal dan jam pembuatan akta fidusia. (d) Data perjanjian pokok yang dijamin dengan fidusia.

(e) Uraian mengenai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia, yakni tentang identifikasi benda tersebut, dan surat bukti kepemilikannya.

74

Referensi

Dokumen terkait

(2) Tanggung jawab debitur terhadap benda jaminan fidusia yang musnah dalam suatu perjanjian kredit bank menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan

Walaupun tidak mendapat perlindungan hukum dari Undang-undang Jaminan Fidusia, yang mana dengan tidak didaftarkannya jaminan fidusia ke kantor pendaftaran fidusia

TANGGUNG JAWAB PEMBERI FIDUSIAIDEBITUR DALAM PERJANJIAN JAMINAN FIDUSIA ATAS MUSNAHNYA OBYEK FIDUSIA DI TANGAN.. DEBITUR KARENA OVERMACHT (Analisis Putusan MA Nomor :

NIM 11/311622/HK/18626, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Adapun pokok permasalahannya, yaitu bagaimana implementasi asas publisitas dalam pendaftaran jaminan

fidusia dalam suatu perjanjian kredit dan peran notaris dalam pembuatan akta. pemberian

akibat hukum atas musnahnya benda bergerak sebagai jaminan fidusia terkait perjanjian kredit pada Bank Nagari Cabang Pasar Raya Padang dan kendala- kendala dalam penyelesaian

Penulisan Hukum ini bertujuan mengkaji isu hukum untuk mengetahui pemberian kredit oleh perbankan dengan menggunakan fidusia sebagai lembaga jaminan kredit

Dengan demikian dapat dikatakan dalam suatu perjanjian kredit bank dengan jaminan fidusia apabila terjadi peristiwa musnahnya benda jaminan fidusia yang diakibatkan oleh kesengajaan