• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KETENTUAN HUKUM DAN PELAKSANAAN PROSES PENYIDIKAN TERHADAP NOTARIS SEBAGAI SAKSI DAN TERSANGKA DALAM TINDAK PIDANA A. Ketentuan Hukum Proses Penyidikan Terhadap Notaris Sebagai Saksi dan Tersangka Dalam Tindak Pidana - Proses Penyidikan Di Kepolisi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II KETENTUAN HUKUM DAN PELAKSANAAN PROSES PENYIDIKAN TERHADAP NOTARIS SEBAGAI SAKSI DAN TERSANGKA DALAM TINDAK PIDANA A. Ketentuan Hukum Proses Penyidikan Terhadap Notaris Sebagai Saksi dan Tersangka Dalam Tindak Pidana - Proses Penyidikan Di Kepolisi"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KETENTUAN HUKUM DAN PELAKSANAAN PROSES PENYIDIKAN TERHADAP NOTARIS SEBAGAI SAKSI DAN TERSANGKA DALAM

TINDAK PIDANA

A. Ketentuan Hukum Proses Penyidikan Terhadap Notaris Sebagai Saksi dan Tersangka Dalam Tindak Pidana

Awal dari rangkaian peradilan pidana adalah tindakan penyidikan dan penyidikan untuk mencari jawaban atas pertanyaan, apakah benar telah terjadi peristiwa pidana. Penyidikan harus dilakukan dengan cara mengumpulkan bahan keterangan, keterangan saksi-saksi, dan alat bukti yang diperlukan yang terukur dan terkait dengan kepentingan hukum atau peraturan hukum pidana, yaitu tentang hakikat peristiwa pidana.46

Pengaturan mengenai penyidikan terdapat dalam Pasal 1 angka 1 KUHAP yang merumuskan pengertian penyidik. Dan dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyatakan defenisi yang sama mengenai penyidik. Dinyatakan bahwa penyidik adalah pejabat polisi Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.

Kemudian pada Pasal 1 angka 2 KUHAP mengatur bahwa yang dimaksud dengan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Berbeda dengan definisi yang dinyatakan dalam Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, yang dimaksud dengan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan

(2)

menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Menurut Henny Mono dalam bukunya, penyidikan adalah sebuah proses awal dari serangkaian tindakan aparat hukum dalam upayanya membuktikan bahwa telah terjadi tindakan yang dilakukan oleh tersangka. Dengan demikian tentu saja bahan-bahan yang akan ditanyakan kepada tersangka selalu mengarah kepada upaya yang bersifat menekan. Mengingat siapapun yang menjadi tersangka akan cenderung mungkir. Oleh karena itu pertanyaan yang diajukan penyidik penuh dengan strategi dan taktik.47

Pengangkatan seorang penyidik ditinjau dari segi instansi maupun kepangkatan diatur dalam Pasal 6 KUHAP. Ketentuan Pasal 6 tentang yang berhak diangkat sebagai penyidik adalah:

1. Pejabat Penyidik Polri. Salah satu instansi yang berwenang melakukan penyidikan pejabat polisi negara. KUHAP telah meletakkan fungsi penyidikan kepada instansi kepolisian. Pejabat kepolisian harus memenuhi syarat kepangkatan yang diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 tentang Pelaksanaan Hukum Acara Pidana serta diselaraskan dengan kedudukan dan kepangkatan penuntut umum sebagaimana diatur dalam KUHAP.

2. Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Penyidik pegawai negeri sipil diatur dalam Pasal 6 ayat 1 huruf b KUHAP, yaitu pegawai negeri sipil yang mempunyai fungsi dan wewenang sebagai penyidik. Pada dasarnya wewenang yang mereka miliki bersumber pada ketentuan undang-undang pidana khusus yang telah menetapkan sendiri pemberian wewenang penyidikan pada salah satu pasal. Hal tersebut sesuai dengan wewenang yang dimaksud dalam Pasal 7 ayat 2 KUHAP, yang dinyatakan sebagai berikut: “Penyidik adalah pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 1 huruf b KUHAP yang memiliki wewenang berdasarkan undang-undang dan dalam pelaksanaannya tugasnya berada dibawah koordinasi dan pengawasan Polisi Republik Indonesia.”

Pasal 7 ayat 1 KUHAP mengatur tentang wewenang yang dimiliki penyidik, yakni:

1. Menerima laporan atau pengaduan tentang adanya tindak pidana; 2. Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian.

47 Henny Mono, Praktik Berperkara Pidana, (Malang : Banyumedia Publishing, 2007),

(3)

3. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;

4. Melakukan penangkapan, penahanan, pengeledahan dan penyitaan surat; 5. Mengambil sidik jari dan memotret seorang;

6. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; 7. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan

pemeriksaan perkara;

8. Mengadakan penghentian penyidikan;

9. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, pada pasal 16 dinyatakan bahwa dalam rangka menyelenggarakan tugas di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk :

(a) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;

(b) Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian Perkara untuk kepentingan penyidikan;

(c) Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan;

(d) Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memriksa tanda pengenal diri;

(e) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

(f) Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; (g) Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan

pemeriksaan perkara;

(h) Mengadakan penghentian penyidikan;

(i) Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;

(j) Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi dalam keadaan mendesak untuk melaksanakan cegah dan tangkal terhadap orang yang disangka melakukan tindak pidana;

(k) Memberikan petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum;

(l) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Bagian-bagian hukum acara pidana yang menyangkut penyidikan adalah sebagai berikut:

1. Ketentuan tentang alat-alat penyidik.

2. Ketentuan tentang diketahui terjadinya delik. 3. Pemeriksaan di tempat kejadian.

4. Pemanggilan tersangka atau terdakwa. 5. Penahanan sementara.

6. Penggeledahan.

(4)

8. Berita acara (penggeledahan, interogasi, dan pemeriksaan di tempat). 9. Penyitaan.

10. Penyampingan perkara.

11. Pelimpahan perkara kepada penuntut umum dan pengembaliannya kepada penyidik untuk disempurnakan.48

Tahapan proses pemeriksaan dalam KUHAP, yakni:

1. Pemeriksaan pendahuluan. Pemeriksaan yang dilakukan untuk pertama kalinya oleh polisi baik sebagai penyelidik maupun penyidik, apabila ada dugaan hukum pidana dilanggar, yakni: penyelidikan, penyidikan, penangkapan dan penahanan. Alasn untuk melakukan penahanan terhadap tersangka menurut Pasal 21 (1) KUHP adalah tersangka atau terdakwa dikhawatirkan melarikan diri, tersangka atau terdakwa dikhawatirkan akan merusak atau menghilangkan barang bukti dan tersangka atau terdakwa dikhawatirkan akan melakukan lagi tindak pidana.

2. Pengeledahan, yakni tindakan penyidik memeriksa suatu tempat tertutup atau badan seseorang, untuk mendapatkan bukti-bukti yang berhubungan dengan suatu tindak pidana.

3. Penyitaan, yakni tindakan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat yang berwenang untuk menguasai sementara waktu barang-barang baik yang merupakan milik terdakwa atau tersangka ataupun bukan, tetapi berasal dari atau ada hubungan dengan suatu tindak pidana dan berguna untuk pembuktian.

(5)

4. Pemeriksaan dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan perkara, maka penyidik dapat melakukan pemeriksaan saksi. Saksi yang diperiksa pada tingkat penyidikan memberikan keterangannya tanpa disumpah terlebih dahulu.49

Dalam pemeriksaan terhadap seorang notaris yang dilaporkan telah melakukan perbuatan pidana diatur dalam Pasal 66 UUJN. Namun pemanggilan tersebut lebih rinci diatut dalam Peraturan menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor: M.03.HT.03.10 Tahun 2007 tentang Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris. Prosedur pemanggilan tersebut diatur dalam BAB IV Pasal 14 mengenai Syarat dan Tata Cara Pemanggilan Notaris, yang menyatakan: (1) Penyidik, Penuntut Umum atau Hakim untuk kepentingan proses peradilan

dapat memanggil notaris sebagai saksi, tersangka atau terdakwa dengan mengajukan permohonan tertulis kepada Majelis Pengawas Daerah.

(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tembusannya disampaikan kepada notaris.

(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat alasan pemanggilan notaris sebagai saksi, tersangka atau terdakwa.

Pemanggilan tersebut tidak serta merta akan langsung diberikan persetujuan pemanggilan oleh Majelis Pengawas Daerah (MPD). MPD akan mempelajari pemanggilan tersebut dan melakukan pemeriksaan terhadap notaris yang bersangkutan. Apabila ternyata dalam pemeriksaan ditemukan kesalahan prosedur pembuatan akta, maka MPD akan memberikan persetujuan pemanggilan kepada kepolisian terhadap notaris tersebut. Dan apabila dalam pemeriksaan tidak ditemukan adanya penyimpangan prosedur pembuatan akta, maka MPD mempunyai kewenangan untuk tidak memberikan persetujuan pemanggilan terhadap notaris tersebut. Persetujuan akan diberikan melalui surat balasan resmi secara tertulis.50

Pasal 15 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tersebut dikatakan bahwa MPD akan memberikan persetujuan pemanggilan notaris apabila ada dugaan tindak pidana berkaitan dengan minuta akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol notaris dalam penyimpanan notaris atau belum gugur hak menuntut berdasarkan ketentuan-ketentuan tentang daluwarsa dalam peraturan perundang-undangan di bidang pidana.

49 Wawancara dengan AKP Amri, Kanit Tindak Pidana Tertentu, Kepolisian Resor Kota

Medan, pada tanggal 21 April 2012.

(6)

Pemanggilan yang dilakukan penyidik dianggap sah dan sempurna maka harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

1. Penyidik menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar diterimanya panggilan dan bila tidak datang maka penyidik dapat memanggil sekali lagi untuk menghadap penyidik sebagaimana diatur dalam pasal 112 KUHAP;

2. Apabila tersangka dan saksi bertempat tinggal di luar daerah hukum penyidik, maka pemeriksaan dapat dilakukan di tempat tinggal tersangka atau saksi sebagaimana diatur dalam pasal 119 KUHAP;

3. Pemanggilan dilaksanakan paling lambat 3 hari sebelumnya sebagaimana diatur dalam pasal 227 KUHAP.

Ketentuan pasal 16 ayat 1 huruf 1 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (selanjutnya akan disebut dengan UU Kepolisian Negara RI) memberikan wewenang kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku penyidik untuk mengadakan tindakan yang bertanggung jawab menurut hukum. Ketentuan pasal 6 ayat 2 UU Kepolisian Negara Republik Indonesia mengatur bahwa dimaksud dengan tindakan bertanggung jawab menurut hukum adalah:

1. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum

2. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan

3. Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatan penyidik 4. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa

5. Menghormati hak asasi manusia

(7)

akan dimintai keterangan, antara lain: saksi dan tersangka. Dimaksud dengan saksi perkara pidana yang berkaitan dengan aspek formal akta notaris, pihak penyidik, penuntut umum dan hakim akan memasukkan notaris telah melakukan tindakan hukum:

1. Membuat surat palsu/yang dipalsukan dan menggunakan surat palsu/yang dipalsukan (Pasal 263 ayat (1), (2) KUHP).

2. Melakukan pemalsuan (Pasal 264 KUHP).

3. Menyuruh mencantumkan keterangan palsu dalam akta otentik (Pasal 266 KUHP).

4. Melakukan, menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan (Pasal 55 jo Pasal 263 ayat (1) dan (2) atau 264 atau 266 KUHP).

5. Membantu membuat surat palsu/yang dipalsukan (Pasal 56 ayat (1) dan (2) jo Pasal 263 ayat (1) dan (2) atau 264 atau 266 KUHP).51

Pemeriksaan terhadap notaris selaku tersangka atau terdakwa harus didasarkan kepada tata cara pembuatan akta notaris, yaitu:

1. Melakukan pengenalan terhadap penghadap, berdasarkan identitasnya yang diperlihatkan kepada notaris.

2. Menanyakan, kemudian mendengarkan dan mencermati keinginan atau kehendak para pihak tersebut (tanya jawab).

3. Memeriksa bukti surat yang berkaitan dengan keinginan atau kehendak para pihak tersebut.

4. Memberikan saran dan membuat kerangka akta untuk memenuhi keinginan atau kehendak para pihak tersebut.

5. Memenuhi segala teknik administratif pembuatan akta notaris, seperti pembacaan, penandatanganan, memberikan salinan, dan pemberkasan untuk minuta.

6. Melakukan kewajiban lain yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas jabatan notaris.52

Prosedur pemeriksaan/penyidikan merupakan administrasi yang harus ditempuh untuk melakukan suatu kegiatan pemeriksaan dalam rangkaian tindakan

(8)

Kepolisian, sehingga pemeriksaan yang dilakukan memenuhi syarat yuridis dan administratif. Adapun prosedur penyidikan meliputi :

a. Prosedur umum berdasarkan KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana);

b. Prosedur khusus berdasarkan Undang-undang yang mengaturnya.”53 Adapun tata cara pelaksanaannya sebagai berikut :

a. Penyidik mengajukan surat kepada Majelis Pengawas Daerah dengan menyebutkan untuk keperluan apa, apakah untuk mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; ataukah keperluan memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan Minuta Akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris. b. Dalam permohonan dijelaskan dengan singkat perkara apa, siapa

tersangkanya.

c. Setelah mendapat persetujuan maka Penyidik dapat melakukan tindakan Kepolisian sebagaimana disebutkan angka 1 di atas.

Dasar hukum pemanggilan terhadap Notaris tertuang dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris Pasal 66, yaitu :

(1) Untuk kepentingan proses peradilan, Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang :

53 Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan¸(Bandung :

(9)

a. Mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; dan

b. Memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.

(2) Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau surat-surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dibuat berita acara penyerahan.

Dari ketentuan yang tercantum ini dapat dimengerti bahwa :

a. Penyidik, Penuntut Umum, maupun Hakim hanya diperkenankan untuk mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris, maupun memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanannya, sepanjang untuk kepentingan proses peradilan dan telah memperoleh persetujuan Majelis Pengawas Daerah;

b. Penyidik, Penuntut Umum maupun Hakim tidak dibenarkan mengambil Minuta Akta dan/atau surat-surat asli yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris;

(10)

Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris tidak memerlukan persetujuan dari Majelis Pengawas Daerah;

d. Dalam pengertian Notaris yang tercantum dalam Pasal 66 ini termasuk didalamnya Pejabat Sementara Notaris, Notaris Pengganti, dan Notaris Pengganti Khusus, baik masih sedang menjalankan tugas jabatannya maupun telah berhenti;

e. Atas pengambilan fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat sebagaimana terurai di atas dibuat berita acara penyerahan, hanya saja Undang-undang ini maupun penjelasannya tidak memberikan penjelasan tentang siapa yang berkewajiban membuat dan menandatangani berita acara tersebut.

Mengingat dalam Pasal 66 UUJN tidak dijelaskan dalam status apa saja notaris dapat dipanggil oleh Penyidik, Penuntut Umum atau Hakim, maka timbul persoalan “apakah persetujuan pemanggilan Notaris yang dimaksud dalam pasal 66 ini hanya sebatas dalam kedudukan sebagai saksi, baik dalam perkara perdata, pidana maupun tata usaha/administrasi negara ataukah termasuk juga didalamnya sebagai tersangka dalam perkara pidana maupun sebagai tergugat atau turut tergugat dalam perkara perdata?”.54

Dalam hubungannya dengan pertanyaan ini, Majelis Pengawas Pusat dalam suratnya tanggal 12 Agustus 2005, nomor C-MPPN.03.10-15 berpendapat/menegaskan bahwa: “dalam hal pemanggilan Notaris sebagai

54 Kongres XX Ikatan Notaris Indonesia, Pembekalan dan Penyegaran Pengetahuan,

(11)

tersangka, maka sebelum persetujuan pemeriksaan diberikan, Majelis Pengawas Daerah terlebih dahulu mendengar keterangan dari Notaris yang bersangkutan, Dewan Kehormatan Profesi, dan Penyidik atau Penuntut Umum”, sedangkan dalam hal pengambilan fotokopi Minuta Akta maupun dalam hal pemanggilan sebagai saksi dinyatakan bahwa “sebelum persetujuan pengambilan dan/atau pemeriksaan diberikan, Majelis Pengawas Daerah terlebih dahulu mendengar keterangan dari Notaris yang bersangkutan”.

Berkaitan dengan pendapat Majelis Pengawas Pusat sebagaimana yang terurai di atas, dapat dimengerti bahwa :

a. Baik dalam status sebagai saksi maupun tersangka sehubungan dengan akta yang dibuat oleh atau dihadapannya maupun dengan Protokol Notaris dalam penyimpanannya, pemanggilan Notaris memerlukan persetujuan terlebih dahulu dari Majelis Pengawas Daerah;

(12)

Latar belakang pemikiran dari Majelis Pengawas Pusat yang berpendirian bahwa pemberian persetujuan atas pemanggilan Notaris sebagai tersangka tetap diperlukan sesungguhnya mudah dipahami oleh orang-orang atau pihak-pihak yang mengerti secara baik dan benar tentang kedudukan dan fungsi Notaris serta akta yang dibuat oleh atau dihadapannya, mengingat :

a. Keberadaan dan pelaksanaan tugas jabatan Notaris adalah terutama dalam rangka pembuatan alat bukti yang berupa akta autentik atas perbuatan, perjanjian dan ketetapan dalam lapangan hukum perdata yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan atau yang dikehendaki oleh para pihak;

b. Dalam pelaksanaan tugas jabatannya untuk membuat akta autentik, pada pokoknya Notaris hanya mengkonstatir atau merelatir kenyataan yang terjadi dihadapannya yang berupa perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang dikehendaki oleh pihak-pihak yang berkepentingan;

(13)

Nomor: M.39.PW.07.10 Tahun 2004 Bagian Ketiga tentang Tugas Majelis Pengawas.55

Ketentuan Pasal 66 Undang-undang Jabatan Notaris dapat ditafsirkan tidak hanya berlaku dalam peradilan pidana saja. Dalam peradilan perdata pun pasal tersebut dapat dipergunakan sebagaimana telah dikemukakan di atas. Proses peradilan yang dilakukan oleh Hakim sebagaimana dimaksud Pasal 66 ayat (1) Undang-undang Jabatan Notaris tidak hanya dalam lingkup pidana saja, tetapi juga dalam lingkup perdata. Oleh karena itu dalam proses perdata berdasarkan Pasal 66 ayat (1) UUJN, Hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah (MPD) berwenang untuk :

a. Mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; dan

b. Memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.

Sehubungan belum adanya peraturan pelaksanaan dari Pasal 66 Undang-undang Jabatan Notaris khususnya dalam proses beracara perdata jelas merupakan tantangan bagi Majelis Pengawas Daerah (MPD) selaku pengawas yang salah satu kewajibannya adalah melindungi masyarakat atas pelaksanaan jabatan Notaris. Dalam hal ini Majelis Pengawas Daerah (MPD) tidak bisa menolak untuk memproses permohonan persetujuan tersebut dengan alasan belum ada peraturan pelaksananya. Penolakan tersebut jelas akan sangat merugikan masyarakat, karena

(14)

adanya persetujuan dari Majelis Pengawas Daerah (MPD) sebagaimana dimaksud Pasal 66 Undang-undang Jabatan Notaris sangat dibutuhkan dalam proses peradilan.

Oleh karena itu Majelis Pengawas Daerah (MPD) harus bijaksana dalam arti dengan mengingat salah satu tugas kewajibannya adalah melindungi masyarakat, maka seharusnya Majelis Pengawas Daerah (MPD) menerima permohonan tersebut untuk diproses dengan memperhatikan asas-asas yang ada pada kenotariatan.

Apabila ada permintaan untuk mengambil fotokopi Minuta Akta guna proses peradilan ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh Majelis Pengawas Daerah, yaitu :

a. Apabila objek persengketaan yang sedang dalam proses peradilan perdata tersebut pada materi atau substansi akta, maka Majelis Pengawas Daerah (MPD) sebelum mengijinkan harus meneliti terlebih dahulu, yaitu apakah sudah pernah dikeluarkan salinan akta dari Minuta Akta tersebut. Apabila atas Minuta Akta tersebut sudah pernah dikeluarkan salinannya, maka Majelis Pengawas Daerah (MPD) tidak perlu untuk menyetujui permintaan mengambil fotokopi Minuta Akta. Alasannya karena salinan akta pada dasarnya sebagaimana telah diuraikan di atas sama isinya dengan Minuta Akta.

b. Apabila permintaan untuk mengambil fotokopi Minuta Akta disebabkan adanya keraguan mengenai salinan akta yang ada, maka sudah seharusnya Majelis Pengawas Daerah (MPD) mengijinkannya. Keraguan yang dimaksudkan disini adalah keraguan apakah salinan akta isinya sama dengan Minuta Akta, padahal isi salinan akta seharusnya sama persis dengan isi Minuta Akta.56

Pasal 66 ayat (1) Undang-undang Jabatan Notaris disamping memberi wewenang untuk mengambil fotokopi Minuta Akta dengan seijin Majelis

(15)

Pengawas Daerah (MPD), juga memberi wewenang untuk memanggil Notaris dalam pemeriksaan sehubungan dengan akta yang dibuatnya (Pasal 66 ayat (1) huruf b). Pasal tersebut dapat ditafsirkan bahwa pemanggilan Notaris tersebut dapat dimaksudkan memanggil Notaris sebagai saksi yang terkait dengan aktanya, atau sebagai salah satu subjek yang diperiksa.

Dalam hal pemanggilan Notaris dimaksudkan sebagai saksi atas akta yang dibuatnya, Majelis Pengawas Daerah (MPD) sebelum memberikan ijin harus melihat terlebih dahulu sifat dari akta yang akan dimintakan keterangan dari Notaris pembuat akta itu, yaitu apabila akta tersebut bersifat :

a. Verbaal acte atau ambtelijke acte dapat disebut juga sebagai akta kesaksian dari Notaris selaku Pejabat Umum. Sebagai suatu akta yang merupakan suatu kesaksian dari Notaris, maka Notaris bertanggung jawab sepenuhnya atas isi akta tersebut. Isi verbaal acte kadang belum mampu memberikan gambaran atas suatu peristiwa hukum yang dialami, dilihat atau disaksikan oleh Notaris pembuat akta tersebut. Di samping itu, isi verbaal actedapat juga tidak bisa dimengerti maksudnya, sehingga masih diperlukan keterangan tambahan. Dalam hal demikian hanya Notaris pembuatverbaal acte tersebut yang dapat memberikan keterangan tambahan yang diperlukan. Oleh karena itu, apabila ada permintaaan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 66 Undang-undang Jabatan Notaris terkait dengan verbaal acte, maka sudah selayaknyalah apabila Majelis Pengawas Daerah (MPD) memberikan persetujuannya.

b. Partij acteatau akta penghadap, dalampartij acteNotaris hanya menuangkan saja apa yang dikehendaki para pihak selaku pengadap ke dalam akta autentik. Dengan perkataan lain bahwa dalam partij acte Notaris hanya merumuskan kemauan para pihak dan selanjutnya menuangkannya ke dalam akta. Notaris dalampartij actepertanggungjawabannya hanya sebatas pada awal dan akhir akta sedangkan isi akta merupakan tanggung jawab sepenuhnya dari para pihak dalam akta.57

(16)

Dalam partij acte para pihak tidak bisa melepaskan tanggung jawabnya terhadap isi akta dengan alasan bahwa yang merumuskan kemauan para pihak adalah Notaris dan selanjutnya Notaris pula yang menuangkannya pada akta, bukan para pihak. Sebelum penandatanganan akta oleh para pihak, saksi-saksi dan Notaris, akta tersebut dibacakan terlebih dahulu oleh Notaris dihadapan mereka. Pembacaan akta oleh Notaris sebelum penandatanganan adalah kewajiban yang harus dilakukan pada peresmian akta (verlijden). Pembacaan akta dapat disimpan yaitu akta tidak dibacakan apabila dikehendaki oleh para pihak bahwa akta tersebut tidak perlu dibacakan. Hal tersebut dijelaskan pada penutup akta bahwa akta ini tidak dibacakan atas kehendak para pihak dan para pihak menyatakan sudah mengetahui isi akta.

Adanya pembacaan akta atau tidak dibacakan atas kehendak para pihak dilanjutkan dengan penandatanganan akta, menunjukkan bahwa para pihak menyetujui rumusan kehendaknya yang telah dibuat oleh Notaris dan selanjutnya dituangkan dalam akta. Dengan demikian pertanggungjawaban akta khususnya pada isi akta ada pada para pihak (penghadap).

Berkaitan pemanggilan Notaris untuk diminta keterangan sehubungan dengan akta yang dibuatnya khususnya partij acte. Majelis Pengawas Daerah (MPD) selaku institusi pemberi persetujuan pemanggilan harus memperhatikan hal-hal tersebut di atas yang antara lain dapat dirinci sebagai berikut :

(17)

ada salinan aktanya. Majelis Pengawas Daerah dalam hal demikian tidak perlu memberi persetujuan pemanggilan Notaris untuk memberi keterangan tentang materi/isi akta, karena sudah ada salinan aktanya. Kesaksian yang akan diberikan oleh Notaris tidak berbeda dengan apa yang ada pada isi salinan akta. Salinan akta sudah menunjukkan dengan nyata tentang perbuatan hukum para pihak yang dapat berupa kesepakatan atau perjanjian, dan akta autentik termasuk salinannya mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna (Pasal 1870 Kitab Undang-undang Hukum Perdata). Kecuali apabila akta tersebut memuat hal-hal yang memerlukan kesaksian ahli, maka Notaris dipanggil tidak dimaksudkan untuk menjelaskan perbuatan hukum yang tertuang dalam akta akan tetapi diminta penjelasannya sebagai ahli yaitu sebagai saksi ahli. Dalam hal demikian Majelis Pengawas Daerah (MPD) memberi persetujuan pemanggilan Notaris sebagai saksi ahli.

2. Apabila persengketaan tersebut terkait dengan bagian akta yang menjadi tanggung jawab dari Notaris selaku pembuat akta, yaitu bagian awal akta atau akhir/penutup akta termasuk peresmian akta. Maka sudah layak Majelis Pengawas Daerah (MPD) menyetujui pemanggilan Notaris untuk menjelaskan hal itu.

(18)

langsung atas gugatan yang diajukan kepadanya, selanjutnya penilaiannya diserahkan kepada Hakim yang memeriksanya. Persetujuan tersebut juga dimaksudkan sebagai bentuk pertanggungjawaban dari Notaris dalam pelaksanaan jabatannya dan Notaris tidak kebal hukum.58

Untuk menghindari adanya pendapat atau setidak-tidaknya kesan dari masyarakat awam mengenai Notaris yang berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 66 Undang-undang tentang Jabatan Notaris maupun dalam peraturan pelaksanaannya seakan-akan memperoleh perlakuan istimewa dihadapan hukum, maka :

a. Anggota Majelis Pengawas harus dipilih dari orang-orang yang profesional, artinya menguasai tentang hal ikhwal yang berkenaan dan/atau berhubungan dengan tugas jabatannya serta integritas moralnya tidak boleh diragukan; b. Dalam pelaksanaan tugasnya harus benar-benar objektif dan sesuai dengan

hukum yang berlaku;

c. Mampu menentukan skala prioritas secara tepat atas pelaksanaan tugas dan kewajiban yang dihadapi.59

(19)

Sepanjang tahun 2008 sampai dengan tahun 2011 pemanggilan notaris yang dilakukan penyidikan sebagai saksi atau tersangka terkait dengan tindak pidana yang diatur dalam KUH Pidana, yakni menyangkut:

1. Pasal 263 yakni pemalsuan surat. Notaris memalsukan surat tanda bukti setoran BPHTB (Bea Perolehan Hak Atas Tanah).

2. Pasal 264 yakni pemalsuan surat yang dilakukan pada akta otentik. 3. Pasal 266 yakni pemberian keterangan palsu dalam suatu akta otentik. 4. Pasal 322 yakni membuka rahasia.

Beberapa hal penyebab terjadinya tindak pidana yang didapati pada penelitian ini, yakni antara lain:

1. Dikarenakan kedekatan secara pribadi, notaris menerima pembuatan akta tanpa melihat Kartu Tanda Penduduk asli para pihak, hal ini dapat mengaburkan tanda tangan atau foto pemilik Kartu Tanda Penduduk tersebut. 2. Notaris menerima draft dari salah satu pihak, sehingga pada posisi ini jelas

notaris tidak pada posisi yang seimbang atau notaris berpihak.

3. Notaris kurang melakukan pengawasan atau tidak memberitahukan kewajiban yang harus diemban pegawai, sehingga pegawai tanpa sengaja atau dengan sengaja melakukan kecerobohan-kecerobohan yang berakibat fatal terhadap notaris itu sendiri.

(20)

1. Notaris berhak mengetahui dan memastikan pemanggilan sebagai saksi atau tersangka sudah mendapat izin dari MPD.

2. Pada saat menghadiri panggilan tersebut notaris memperlengkapi diri dengan membawa identitas diri serta surat-surat legalitas sebagai notaris.

3. Bila sudah mengetahui hal ikhwal pemanggilan, bawa foto copy berkas-berkas yang terkait kasus yang tertera dalam surat panggilan kepolisian. 4. Dalam proses pemeriksaan sebaiknya notaris didampingi penasehat hukum

untuk antisipasi adanya oknum pemeriksa yang tidak objektif, sehingga apabila terjadi penyimpangan dalam proses pemeriksaan si pemeriksa dapat juga dituntut sesuai ketentuan yang berlaku.

5. Hadiri undangan panggilan tepat waktu sesuai jadwal yang tertera di surat panggilan.

6. Dalam memberikan jawaban tentang pertanyaan yang diajukan penyidik kiranya didengar dan dicermati serta dicerna baik-baik baru kemudian memberikan jawaban agar tidak terjebak oleh pertanyaan dari penyidik, penyidik selalu memakai sebutan yang terkesan memaksa agar notaris dapat diarahkan dan terkesan pemeriksa tidak objektif.

7. Sebelum menandatangai Berita Acara Pemeriksaan notaris harus melakukan pembacaan ulang secara cermat agar terhindar dari jawaban-jawaban yang mungkin dari oknum penyidik.

(21)

9. Ketika pemeriksaan penutup ada pertanyaan hal yang ingin ditanyakan, maka notaris boleh mengajukan agar proses pemanggilan tidak berulang-ulang. 10. Bila memungkinkan ketika dimintai keterangan, notaris yang diambil

keterangannya dapat mencatat contact person penyidik untuk mempercepat komunikasi dalam proses penyidikan dan tidak harus hadir dikantor penyidik untuk efisiensi waktu notaris yang dimintai keterangan tersebut.

B. Pengawasan Terhadap Notaris dalam Melaksanakan Tugas dan Wewenangnya

Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, pengawasan dilakukan oleh Pengadilan Negeri setempat. Dalam Pasal 67 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, pengawasan dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pelaksanaan pengawasan oleh Menteri dilakukan dengan membentuk Majelis Pengawas yang terdiri dari Majelis Pengawas Pusat, Majelis Pengawas Wilayah dan Majelis Pengawas Daerah. Keanggotaan Majelis Pengawas tersebut berjumlah 9 (sembilan) orang yang terdiri atas unsur :

a. Pemerintah sebanyak 3 orang; b. Organisasi notaris sebanyak 3 orang; c. Ahli/akademisi sebanyak 3 orang.

(22)

mengenai pengawasan berlaku pula bagi Notaris Pengganti, Notaris Pengganti Khusus dan Pejabat Sementara Notaris. Majelis Pengawas terdiri dari Majelis Pengawas Daerah, Pengawas Wilayah dan Majelis Pengawas Pusat. Majelis Pengawas Daerah dibentuk di Kabupaten/Kota, Majelis Pengawas Wilayah dibentuk dan berkedudukan di ibukota Provinsi, dan Majelis Pengawas Pusat dibentuk dan berkedudukan di ibukota Negara. Keanggotaan Majelis Pengawas Daerah, Majelis Pengawas Wilayah dan Majelis pengawas Pusat terdiri dari 3 unsur yakni unsur pemerintah, unsur organisasi notaris dan unsur ahli/akademisi. Masa jabatan Majelis Pengawas tersebut adalah 3 tahun. Kewenangan Majelis Pengawas Daerah diatur dalam Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yakni :

a. Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran kode etik notaris atau pelanggaran pelaksanaan jabatan notaris;

b. Melakukan pemeriksaan, terhadap Protokol Notaris secara berkala 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau setiap waktu yang dianggap perlu;

c. Memberikan izin cuti untuk waktu sampai dengan 6 (enam) bulan;

(23)

e. Menentukan tempat penyimpanan Protokol Notaris yang pada saat serah terima Protokol Notaris telah berumur 25 (dua puluh lima) tahun atau lebih;

f. Menunjuk Notaris yang akan bertindak sebagai pemegang sementara Protokol Notaris yang diangkat sebagai pejabat negara;

g. Menerima laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran ketentuan dalam undang-undang ini;

h. Membuat dan menyampaikan laporan kepada Majelis Pengawas Wilayah. Majelis Pengawas Daerah mempunyai kewajiban seperti yang tertera dalam Pasal 71 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yaitu :

a. Mencatat pada buku daftar yang termasuk dalam Protokol Notaris dengan menyebutkan tanggal pemeriksaan, jumlah akta serta jumlah surat di bawah tangan yang disahkan dan yang dibuat sejak tanggal pemeriksaan terakhir; b. Membuat berita acara pemeriksaan dan menyampaikannya kepada Majelis

pengawas Wilayah setempat, dengan tembusan kepada Notaris yang bersangkutan, Organisasi Notaris, dan Majelis Pengawas Pusat;

c. Merahasiakan isi akta dan hasil pemeriksaan;

(24)

e. Memeriksa laporan masyarakat terhadap notaris dan menyampaikan hasil pemeriksaan tersebut kepada Majelis Pengawas Wilayah dalam waktu 30 (tiga puluh) hari, dengan tembusan kepada pihak yang melaporkan, notaris yang bersangkutan, Majelis Pengawas Pusat, dan organisasi notaris;

f. Menyampaikan permohonan banding terhadap keputusan penolakan cuti. Kewenangan Majelis Pengawas Wilayah diatur pada Pasal 73 ayat (1), yakni: Majelis Pengawas Daerah mempunyai kewajiban seperti yang tertera dalam Pasal 71 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yaitu : a. Mencatat pada buku daftar yang termasuk dalam Protokol Notaris dengan

menyebutkan tanggal pemeriksaan, jumlah akta serta jumlah surat di bawah tangan yang disahkan dan yang dibuat sejak tanggal pemeriksaan terakhir; b. Membuat berita acara pemeriksaan dan menyampaikannya kepada Majelis

pengawas Wilayah setempat, dengan tembusan kepada Notaris yang bersangkutan, Organisasi Notaris, dan Majelis Pengawas Pusat;

c. Merahasiakan isi akta dan hasil pemeriksaan;

d. Menerima salinan yang telah disahkan dari daftar akta dan daftar lain dari notaris dan merahasiakannya;

(25)

puluh) hari, dengan tembusan kepada pihak yang melaporkan, notaris yang bersangkutan, Majelis Pengawas Pusat, dan organisasi notaris;

f. Menyampaikan permohonan banding terhadap keputusan penolakan cuti. Kewenangan Majelis Pengawas Wilayah diatur pada Pasal 73 ayat (1), yakni: Sesuai dengan Pasal 77 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Majelis Pengawas Pusat berwenang :

a. Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambi keputusan dalam tingkat banding terhadap penjatuhan sanksi dan penolakan cuti;

b. Memanggil notaris terlapor untuk dilakukan pemeriksaan; c. Menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara;

d. Mengusulkan pemberian sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat kepada Menteri.

(26)

Cara Pemeriksaan dan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. M.02.PR.08.10 Tahun 2004.

Berdasarkan ketentuan tersebut dapat dikemukakan beberapa hal sebagai berikut:

1) Dalam melakukan pemeriksaan terhadap notaris, ketua Majelis Pengawas membentuk Majelis Pengawas Daerah, Majelis Pengawas Wilayah, Majelis Pengawas Pusat dari masing-masing unsur yang terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 2 (dua) orang anggota Majelis Pemeriksa;

2) Majelis Pemeriksa Wilayah dan Majelis Pemeriksa Pusat berwenang memeriksa dan memutus laporan yang diterima. Majelis Pemeriksa dibantu oleh 1 (satu) orang sekretaris. Pembentukan Majelis Pemeriksa dilakukan paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah laporan diterima. Majelis Pemeriksa wajib menolak untuk memeriksa notaris yang mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan darah dalam garis lurus ke atas ke bawah tanpa pembatasan derajat, dan garis lurus ke samping sampai dengan derajat ketiga dengan notaris. Dalam hal Majelis Pemeriksa mempunyai hubungan seperti tersebut di atas maka ketua Majelis Pengawas menunjuk Penggantinya.

(27)

yang dapat dipertanggungjawabkan. Laporan tentang adanya pelanggaran kode etik notaris atau pelanggaran pelaksanaan jabatan notaris, disampaikan kepada Majelis Pengawas Daerah. Laporan masyarakat tersebut disampaikan kepada Majelis Pengawas Wilayah. Dalam hal laporan sebagaimana tersebut di atas disampaikan kepada Majelis Pengawas Wilayah, maka Majelis Pengawas Wilayah meneruskan kepada Majelis Pengawas Daerah yang berwenang. Dalam hal laporan tersebut disampaikan kepada Majelis Pengawas Pusat, maka Majelis Pengawas Pusat meneruskan kepada Majelis Pengawas Daerah yang berwenang.

(28)

maka Majelis Pemeriksa menyatakan laporan gugur dan tidak dapat diajukan lagi.

5) Pemeriksaan oleh Majelis Pemeriksa tertutup untuk umum. Pemeriksaan dimulai dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kalender setelah laporan diterima. Majelis Pemeriksa Daerah harus sudah menyelesaikan pemeriksaan dan menyampaikan hasil pemeriksaan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender, terhitung sejak laporan diterima. Hasil pemeriksaan dituangkan dalam berita acara pemeriksaan, yang ditandatangani oleh ketua dan sekretaris. Surat pengantar pengiriman berita acara pemeriksaan yang dikirimkan kepada Majelis Pengawas Wilayah ditembuskan kepada pelapor, terlapor, Majelis Pengawas Pusat dan Pengurus Daerah Ikatan Notaris Indonesia (I.N.I).

(29)

pembinaan dan pengawasan kepada Notaris, dalam menjalankan jabatan profesinya sebagai pejabat umum, yang senantiasa meningkatkan profesionalisme dan kualitas kerjanya, sehingga dapat memberikan jaminan kepastian dan perlindungan hukum bagi penerima jasa Notaris dan masyarakat luas.

Dalam Keputusan Menteri tersebut dinyatakan bahwa Majelis Pengawas Daerah mempunyai tugas-tugas sebagai berikut:

1) Melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 dan 71 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, dan Pasal 13 ayat (2), Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16 dan Pasal 17 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor: M.02.PR.08.10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota, Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja dan Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas Notaris;

2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada butir (1), Majelis Pengawas Daerah berwenang:

a. Menyampaikan kepada Majelis Pengawas Wilayah tanggapan berkenaan atas putusan penolakan cuti;

(30)

c. Mencatat ijin cuti yang diberikan dalam sertifikat cuti;

d. Menandatangani dan memberi paraf Buku Daftar Akta dan Buku Khusus yang dipergunakan untuk mengesahkan tanda tangan surat di bawah tangan dan untuk membukukan surat di bawah tangan;

e. Menerima dan menatausahakan Berita Acara Penyerahan Protokol; f. Menyampaikan kepada Majelis Pengawas Wilayah :

- Laporan berkala tiap 6 (enam) bulan sekali atau pada bulan Juli dan Januari

- Laporan insidentil setiap 15 (lima belas) hari setelah pemberian ijin cuti notaris

Majelis Pengawas Daerah mempunyai organ-organ yang akan melaksanakan fungsi pengawasan yang terdiri dari Ketua, Wakil Ketua dan Sekretaris Majelis Pengawas dan masing-masing mempunyai tugas. Menurut Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor: M.39-PW.07.10 Tahun 2004, Majelis Pengawas Wilayah mempunyai tugas:

(31)

Susunan Organisasi, Tata Kerja dan Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas Notaris;

2. Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada butir (1), Majelis Pengawas Wilayah berwenang :

a. Mengusulkan kepada Majelis Pengawas Pusat pemberian pemberhentian dengan normal;

b. Memeriksa dan memutus keberatan atas putusan penolakan cuti oleh Majelis Pengawas Daerah. Yang dimaksud dengan ‘keberatan' adalah banding sebagaimana disebut dalam Pasal 31 ayat (3) dan Pasal 71 huruf f Undang-Undang No. 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris;

c. Mencatat ijin cuti yang diberikan dalam sertifikat cuti;

d. Melaporkan kepada instansi yang berwenang adanya dugaan unsur pidana yang diberitahukan oleh Majelis Pengawas Daerah. Atas laporan tersebut, setelah dilakukan pemeriksaan oleh Majelis Pemeriksa Wilayah hasilnya disampaikan kepada Majelis Pengawas Wilayah;

e. Menyampaikan laporan kepada Majelis Pengawas Pusat yaitu:

(32)

(2) Laporan insidentil paling lambat 15 (lima belas) hari setelah putusan Majelis Pemeriksa.

C. Pelaksanaan Proses Penyidikan Terhadap Notaris Sebagai Saksi dan Tersangka Dalam Tindak Pidana

Dalam UUJN diatur bahwa ketika Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya terbukti melakukan pelanggaran, maka Notaris dapat dikenai atau dijatuhi sanksi, berupa sanksi perdata, administrasi, dan kode etik jabatan Notaris. Sanksi-sanksi tersebut telah diatur sedemikian rupa, baik dalam PJN maupun sekarang dalam UUJN dan Kode Etik Jabatan Notaris, yang tidak mengatur adanya sanksi pidana terhadap Notaris. Dalam praktik ditemukan kenyataan bahwa suatu tindakan hukum atau pelanggaran yang dilakukan Notaris sebenarnya dapat dijatuhi sanksi administrasi atau perdata atau kode etik jabatan Notaris, tapi kemudian ditarik atau dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana yang dilakukan oleh Notaris.

Pengkualifikasian tersebut berkaitan dengan aspek-aspek seperti: a. Kepastian hari, tanggal, bulan, tahun dan waktu menghadap;

b. Pihak (siapa-orang) yang menghadap Notaris; c. Tanda tangan yang menghadap;

d. Salinan akta tidak sesuai dengan minuta akta; e. Salinan akta ada, tanpa dibuat minuta akta; dan

f. Minuta akta tidak ditandatangani secara lengkap, tapi salinan akta dikeluarkan.60

(33)

Aspek-aspek tersebut jika terbukti dilanggar oleh Notaris, maka kepada Notaris yang bersangkutan dapat dijatuhi sanksi perdata atau administratif, atau aspek-aspek tersebut merupakan batasan-batasan yang jika dapat dibuktikan dapat dijadikan dasar untuk menjatuhkan sanksi administratif dan sanksi perdata terhadap Notaris. Namun ternyata di sisi yang lain batasan-batasan seperti itu ditempuh atau diselesaikan secara pidana atau dijadikan dasar untuk memidanakan Notaris yaitu dengan dasar Notaris telah membuat surat palsu atau memalsukan akta dengan kualifikasi sebagai suatu tindak pidana yang dilakukan oleh Notaris.

(34)

membuatkan akta yang dimaksud berdasarkan alat bukti atau keterangan atau pernyataan para pihak yang dinyatakan atau diterangkan atau diperlihatkan kepada atau dihadapan Notaris.

(35)

penyidikan lebih lanjut, lebih baik meminta pendapat mereka yang mengetahui dengan pasti mengenai hal tersebut, yaitu dari organisasi jabatan Notaris.

Selanjutnya, Notaris merumuskannya secara lahiriah, formil dan materil dalam bentuk akta Notaris dengan tetap berpijak pada aturan hukum atau tatacara atau prosedur pembuatan akta dan aturan hukum yang berkaitan dengan tindakan hukum yang bersangkutan yang dituangkan dalam akta. Peran Notaris dalam hal ini juga untuk memberikan nasihat hukum yang sesuai dengan permasalahan yang ada. Apapun nasihat hukum yang diberikan kepada para pihak dan kemudian dituangkan kedalam akta yang bersangkutan tetap sebagai keinginan atau keterangan para pihak yang bersangkutan, tidak dan bukan sebagai keterangan atau pernyataan Notaris.61

Memidanakan Notaris berdasarkan aspek-aspek tersebut tanpa melakukan penelitian atau pembuktian yang mendalam dengan mencari unsur kesalahan atau kesengajaan dari Notaris merupakan suatu tindakan tanpa dasar hukum yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, sebagai contoh:

1. Notaris dituduh dengan kualifikasi membuat secara palsu atau memalsukan sepucuk surat yang seolah-olah surat tersebut adalah surat yang asli dan dipalsukan (Pasal 263 ayat (1) KUHP, seperti yang dinyatakan sebagai berikut:

(36)
(37)

demikian harus dibedakan antara surat dan akta. Surat berarti surat pada umumnya yang dibuat untuk dipergunakan sebagai alat bukti atau untuk tujuan tertentu sesuai dengan keinginan atau maksud pembuatnya, yang tidak terikat pada aturan tertentu, dan akta (akta otentik) dibuat dengan maksud sebagai alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, dibuat dihadapan pejabat yang berwenang untuk membuatnya dan terikat pada bentuk yang sudah ditentukan. Dengan demikian pengertian surat dalam pasal 263 ayat (1) KUHP tidak mutatis mutandis sebagai akta otentik, sehingga tidak tepat jika akta Notaris diberikan perlakuan sebagai suatu surat pada umumnya.

(38)

memasukkan atau mencantumkan keterangan palsu ke dalam akta Notaris. Secara materil kepalsuan atas hal tersebut merupakan tanggungjawab para pihak yang bersangkutan.

Selama ini, karena hal-hal seperti tersebut di atas telah menempatkan Notaris dalam posisi sebagai terpidana, menunjukkan ada pihak-pihak yang tidak mengerti apa dan bagaimana serta kedudukan Notaris dalam sistem hukum nasional. Menempatkan Notaris sebagai terpidana (sebelum jadi terpidana sebagai tersangka dan terdakwa) atau memidanakan Notaris menunjukkan bahwa pihak-pihak lain di luar Notaris, seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan atau praktisi hukum lainnya menunjukkan kekurangpahaman terhadap dunia Notaris.62

Penjatuhan hukuman pidana terhadap Notaris tidak serta merta akta yang bersangkutan menjadi batal demi hukum. Suatu hal yang tidak tepat secara hukum jika ada putusan pengadilan pidana dengan amar putusan membatalkan akta Notaris dengan alasan Notaris terbukti melakukan suatu tindak pidana pemalsuan. Dengan demikian untuk menempatkan Notaris sebagai terpidana, atas akta yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris yang bersangkutan, maka tindakan hukum yang harus dilakukan adalah membatalkan akta yang bersangkutan melalui gugatan.

(39)

Dengan demikian apabila akta Notaris dibatalkan berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, maka dengan dasar putusan tersebut Notaris dapat digugat dengan perbuatan melawan hukum. Hubungan Notaris dan para penghadap dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum karena:

1. Notaris tidak berwenang membuat akta yang bersangkutan;

2. Tidak mampunya Notaris yang bersangkutan dalam membuat akta; 3. Akta Notaris cacat dalam bentuknya.63

Penjatuhan sanksi perdata, administratif, dan pidana mempunyai sasaran, sifat, dan prosedur yang berbeda. Sanksi administratif dan sanksi perdata bersifat reparatoir atau korektif, artinya untuk memperbaiki suatu keadaan agar tidak dilakukan olagi oleh yang bersangkutan ataupun oleh Notaris yang lain. Regresif berarti segala sesuatunya dikembalikan kepada suatu keadaan-ketika sebelum terjadinya pelanggaran. Dalam aturan hukum tertentu, di samping dijatuhi sanksi administratif, juga dapat dijatuhi sanksi pidana (secara kumulatif) yang bersifat condemnatoir (punitif) atau menghukum, dalam kaitan ini UUJN tidak mengatur

(40)

sanksi pidana untuk Notaris yang melanggar UUJN. Jika terjadi hal seperti itu maka terhadap Notaris tunduk kepada tindak pidana umum.64

Prosedur penjatuhan sanksi administratif dilakukan secara langsung oleh instansi yang diberi wewenang untuk menjatuhkan sanksi tersebut, dan sanksi perdata berdasarkan pada putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan tetap yang amar putusannya menghukum Notaris untuk membayar biaya, ganti rugi, dan bunga kepada penggugat, dan prosedur sanksi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang amar putusannya menghukum Notaris untuk menjalani pidana tertentu. Penjatuhan sanksi administratif dan sanksi perdata ditujukan sebagai koreksi atau reparatif dan regresi atas perbuatan Notaris.

(41)

Tabel 1

DATA PEMANGGILAN NOTARIS/PPAT SEBAGAI SAKSI ATAU TERSANGKA TAHUN 2008 – 2011 DI UNIT RESUM POLRESTA MEDAN

No. Tahun Pemanggilan Sebagai Saksi

Pemanggilan Sebagai Tersangka

1 2008 10 1

2 2009 1 5

3 2010 1 1

4 2011 0 1

Jumlah 12 8

Tahapan proses pemeriksaan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, yakni:

1. Pemeriksaan pendahuluan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk pertama kalinya oleh polisi baik sebagai penyelidik maupun penyidik, apabila ada dugaan hukum pidana dilanggar, terdiri dari:

a. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyelidikan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang.

(42)

c. Penangkapan adalah suatu tindakan dari penyidik, berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan atau peradilan. Perintah penangkapan hanya dapat dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras telah melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup (Pasal 17 KUHP) bukti permulaan berarti bukti-bukti awal sebagai dasar untuk menduga adanya tindak pidana.

d. Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya. Alasan untuk melakukan penahanan terhadap tersangka atau terdakwa menurut Pasal 12 (1) KUHP adalah :

1) Tersangka atau Terdakwa dikhawatirkan melarikan diri;

2) Tersangka atau Terdakwa dikhawatirkan akan merusak atau menghilangkan barang bukti; dan

3) Tersangka atau Terdakwa dikhawatirkan akan melakukan lagi tindak pidana;

Jenis-jenis penahanan, yakni:

(43)

c. Penahanan Kota;

e. Penggeledahan adalah tindakan penyidik memeriksa suatu tempat tertutup atau badan seseorang, untuk mendapatkan bukti-bukti yang berhubungan dengan suatu tindak pidana;

f. Penyitaan adalah suatu cara yang dilakukan oleh pejabat-pejabat yang berwenang untuk menguasai sementara waktu barang-barang baik yang merupakan milik terdakwa atau tersangka ataupun bukan, tetapi berasal dari atau ada hubungannya dengan suatu tindak pidana dan berguna untuk pembuktian;

g. Pemeriksaan dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan perkara, maka penyidik dapat melakukan pemeriksaan saksi. Saksi yang diperiksa pada tingkat penyidikan memberikan keterangannya tanpa disumpah terlebih dahulu;

h. Pasal 30, Surat Keputusan Kapolri nomor 12 Tahun 2009 tentang Proses Penanganan Perkara oleh penyidik dalam hal rencana penyidikan yang menyatakan sebelum melaksanakan kegiatan penyidikan, penyidik wajib menyiapkan administrasi penyidikan pada tahap awal meliputi:

(44)

Pembuatan tata naskah sebagaimana dimaksud di atas sekurang-kurangnya meliputi:

a. Laporan polisi;

b. LHP (Laporan Hasil Penyidikan) bila terjadi penyidikan; c. Surat perintah penyidikan;

d. SPDP (Surat Permulaan Dimulai Penyidikan); e. Rencana penyidikan;

f. Gambar skema pokok perkara;

g. Matriks untuk daftar kronologis penindakan.

Penyiapan rencana penyidikan sebagaimana dimaksud di atas meliputi: a. Rencana kegiatan;

b. Rencana kebutuhan;

c. Target pencapaian kegiatan, d. Skala prioritas penindakan;

e. Target penyelesaian perkara.

(45)

a. Pemeriksaan adalah berupa pemeriksaan alat-alat bukti dipersidangan yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa;

b. Penuntutan adalah tindak Penuntut Umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwewenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputuskan oleh Hakim di Sidang Pengadilan.65

SKEMA PEMERIKSAAN/PEMANGGILAN

65 Wawancara dengan AKP Amri, Kanit Tindak Pidana Tertentu, Kepolisian Resor Kota

Medan, pada tanggal 21 April 2012.

Pelapor Sentral Pelayanan (Proses Penyidikan PengaduanPenyidik/Penyidik Pembantu

Kepolisian Terpadu

(46)

SKEMA PROSES PENYIDIKAN KEPOLISIAN

Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya dibawah pengawasan Majelis Pengawas, sehingga apabila notaris dipanggil baik sebagai saksi maupun tersangka harus mendapat persetujuan dari Majelis Pengawas. Penyidik terlebih dahulu memohon persetujuan pemeriksaan notaris baik sebagai saksi dan tersangka kepada Majelis Pengawas Daerah Kota Medan, dan setelah mendapat persetujuan tersebut barulah penyidik memanggil notaris yang telah disetujui Majelis Pengawas untuk diperiksa dan dimintai keterangannya sebagai saksi atau

Majelis Pengawas Daerah. Tembusan ke notaris yang

bersangkutan Penyidik/Penyidik Pembantu

Disetujui Tidak Disetujui (Beserta

AlasanDari MPD)

(47)

tersangka.66Majelis Pengawas Daerah dapat menerima atau menolak permohonan dari Kepolisian baik sebagai saksi maupun tersangka disertai dengan alasannya. Dan apabila alasan dari Majelis Pengawas Daerah tidak dapat diterima oleh Kepolisian demi penegakan hukum maka Kepolisian dapat melayangkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

(48)

BAB III

PENERAPAN ASAS KERAHASIAAN YANG DITERAPKAN NOTARIS TERHADAP AKTA YANG DIBUATNYA DALAM KAITANNYA DENGAN

PROSES PENYIDIKAN

A. Pengaturan Perundang-Undangan Hak Ingkar Dalam Hubungannya Asas Kerahasiaan Notaris

Istilah hak ingkar merupakan terjemahan dari verschoningsrecht yang

artinya adalah hak untuk dibebaskan dari memberi keterangan sebagai saksi

dalam suatu perkara perdata maupu perkara pidana. Hak ini merupakan

pengecualian dari prinsip umum bahwa setiap orang yang dipanggil menjadi saksi

wajib memberikan kesaksian.

Asser mengungkapkan bahwa kepada mereka yang disebutkan dalam

Pasal 1909 KUH Perdata diberikan hak ingkar oleh undang-undanga, bukan untuk

kepentingan mereka sendiri, akan tetapi adalah untuk kepentingan masyarakat

umum. Hak ingkar itu hanya berlaku untuk hal-hal yang disampaikan dengan

pengetahuan kepada orang yang mempunyai kewajiban untuk merahasiakan

dalam kedudukannya tersebut.67

Hak ingkar adalah hak untuk menolak memberikan kesaksian, atau hak

untuk mundur dari kesaksian. Di dalam hak ingkar notaris tersebut terkandung

kewajiban untuk tidak berbicara (verschoninghsplicht) sehingga notaris tidak

Gambar

Tabel 1DATA PEMANGGILAN NOTARIS/PPAT SEBAGAI SAKSI ATAU

Referensi

Dokumen terkait

Nya penulis dapat menyelesaikan Laporan Akhir dengan judul “ Perangkat Lunak Bascom (Basic Compiler) Pemisah Warna pada Buah Melinjo dengan Sistem Smartphone ”. Adapun

Indikator pertumbuhan yang diamati dalam penelitian ini adalah pertambahan diameter batang dan tinggi tanaman jarak pagar dengan 2 faktor perlakuan yaitu umur

Telah dipertahankan Dewan Penguji Tugas Akhir Program Diploma III Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta dan

Proyek  ini  merupakan  sistem  informasi  distribusi  sepeda  motor  yang  dapat  membantu  bagian  distribusi  dalam  mempermuda  mengakses  informasi  yang 

Oleh karena itulah, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menge- tahui perbedaan hasil kualitas hidup antara berbagai metode manajemen nyeri pada pasien nyeri

berpedoman pada kurikulum 2013 dan dikembangkan sesuai dengan konsisi lingkungan sekolah masing-masing, Perencanaan pembelajaran matmatika disusun sebagai pedoman

Teknik yang digunakan adalah untuk menganalisis pengaruh kinerja keuangan terhadap nilai perusahaan dengan good corporate governance sebagai variabel pemoderasi dapat

Gerakan menyentuhkan bola kaki ke depan, kanan atau kiri dengan sedikit menekuk lutut tumpu, berat badan berada pada kaki tumpu. Sentuhkan bola kaki kanan ke depan