BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Kawasan Pengembangan Pariwisata Nasional
Pariwisata merupakan kegiatan perjalanan untuk rekreasi dengan mengunjungi tempat-tempat wisata seperti gunung, pantai, perkotaan, dan lain-lain. Propinsi Sumatera Utara yang mempunyai ragam icon pariwisata dalam hal pengembangan Objek-objek Wisata di Propinsi Sumatera Utara yang terdiri dari Alam (nature), Budaya (culture) dan Objek Wisata lainnya seperti Kuliner, Kesehatan, Pendidikan, Religi, Agro dan Bisnis. Terdapat kebijaksanaan untuk tahun 2012 yaitu Normalisasi terhadap program-program yang telah dicanangkan, Koordinasi dengan Pemerintah Kabupaten/Kota, serta Kerjasama dengan stakeholder untuk mewujudkan citra pariwisata Propinsi Sumut sebagai Daerah Budaya dan Tujuan Wisata Andalan, sesuai visi dan misi Dinas Budpar Propinsi Sumatera Utara.
Adapun Program-program Pariwisata yang digariskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Propinsi Sumatera Utara Tahun 2009-2013, yaitu Pengembangan pemasaran pariwisata, pengembangan destinasi pariwisata, Pengembangan kemitraan, Pengembangan Nilai Budaya, Pengelolaan Kekayaan Budaya, Pengelolaan Keragaman Budaya dan Pengembangan kerjasama pengelolaan kekayaan budaya.
222 kawasan (digolongkan berdasarkan Propinsi). Dan untuk KPPN wilayah Propinsi Sumatera Utara sudah dibagi menjadi 7 yaitu :
1. Nias Barat 2. Teluk Dalam 3. Medan Kota
4. Tangkahan – Leuser 5. Bukit Lawang 6. Toba
7. Sibolga
Dan untuk pengembangan pariwisata wilayah Propinsi Sumatera Utara tersebut, dalam penulisan skripsi ini, penulis menentukan beberapa hal yang menjadi kriteria untuk menentukan urutan prioritas KPPN di wilayah Propinsi Sumatera Utara.
a. Dana
Pembiayaan kegiatan-kegiatan program pengembangan Pariwisata berupa, Pembangunan Objek Wisata, Promosi dsb.
b. Manfaat Program Pengembangan Pariwisata
Manfaat dari sebuah program pengembangan pariwisata adalah dapat meningkatkan pelayanan bagi masyarakat luas, pembangunan ekonomi yang berujung pada meningkatnya daya saing suatu daerah.
c. Masa Pengerjaan dari Program Pengembangan Pariwisata
Lamanya waktu yang diperlukan dalam tahapan pelaksanaan sebuah program pengembangan pariwisata. Masa pengerjaan ini berpengaruh langsung terhadap dana program pengembangan pariwisata. Semakin lama masa pengerjaan maka dana yang diperlukan semakin banyak pula.
d. Target dari Program Pengembangan Pariwisata
2.2 Analytical Hierarchy Process (AHP)
Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) dekembangkan oleh Prof. Thomas Lorie Saaty dari Wharton Business School di awal tahun 1970, yang digunakan untuk mencari rangking atau urutan prioritas dari berbagai alternatif dalam pemecahan suatu permasalahan. Dalam kehidupan sehari-hari, seseorang senantiasa dihadapkan untuk melakukan pilihan dari berbagai alternatif. Disini diperlukan penentuan prioritas dan uji konsistensi terhadap pilihan-pilihan yang telah dilakukan. Dalam situasi yang kompleks, pengambilan keputusan tidak dipengaruhi oleh satu faktor saja melainkan multifaktor dan mencakup berbagai jenjang maupun kepentingan.
Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) merupakan salah satu metode pengambilan keputusan yang menggunakan faktor-faktor logika, intuisi, pengalaman, pengetahuan, emosi, dan rasa untuk dioptimalisasikan dalam suatu proses yang sistematis.
Pada perkembangannya, AHP dapat memecahkan masalah kompleks atau tidak berkerangka dengan aspek atau criteria yang cukup banyak. Kompleksitas ini disebabkan oleh struktur masalah yang belum jelas, ketidakpastian terjadinya atau bahkan tidak ada sama sekali data statistik yang akurat. Adakalanya timbul masalah keputusan yang dirasakan dan diamati perlu diambil secepatnya, tetapi variasinya rumit sehingga datanya tidak mungkin dapat dicatat secara numerik, hanya secara kualitatif saja yang dapat diukur, yaitu berdasarkan persepsi, pengalaman, dan intuisi. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa model-model lainnya ikut dipertimbangkan pada saat proses pengambilan keputusan dengan pendekatan AHP, khususnya dalam memahami para pengambil keputusan individual pada saat proses penerapan pendekatan ini.
AHP mempunyai landasan aksiomatik yang terdiri dari :
1. Resiprocal Comparison, yang mengandung arti bahwa matriks perbandingan
2. Homogenity, yang mengandung arti kesamaan dalam melakukan perbandingan. Misalnya, tidak dimungkinkan membandingkan jeruk dengan bola tenis dalam hal rasa, akan tetapi lebih relevan jika membandingkan dalam hal berat.
3. Dependence, yang berarti setiap level mempunyai kaitan (complete hierarchy)
walaupun mungkin saja terjadi hubungan yang tidak sempurna (incomplete
hierarchy).
4. Expectation, yang berarti menonjolkon penilaian yang bersifat ekspektasi dan
preferensi dari pengambilan keputusan. Penilaian dapat merupakan data kuantitatif maupun yang bersifat kualitatif.
2.2.1 Prinsip Dasar AHP
Dalam menyelesaikan persoalan dengan metode AHP ada beberapa prinsip dasar yang harus dipahami antara lain :
1. Decomposition
Pengertian decomposition adalah memecahkan atau membagi problema yang utuh menjadi unsur-unsurnya ke dalam bentuk hirarki proses pengambilan keputusan, dimana setiap unsur atau elemen saling berhubungan. Untuk mendapatkan hasil yang akurat, pemecahan dilakukan terhadap unsur-unsur sampai tidak mungkin dilakukan pemecahan lebih lanjut, sehingga didapatkan beberapa tingkatan dari persoalan yang hendak dipecahkan. Struktur hirarki keputusan tersebut dapat dikategorikan sebagai complete atau incomplete. Suatu hirarki keputusan disebut complete jika semua elemen pada suatu tingkat memiliki hubungan terhadap semua elemen yang ada pada tingkat berikutnya, sementara hirarki keputusan
incomplete kebalikan dari hirarki yang complete. Bentuk struktur dekomposisi
yakni :
Tingkat pertama : Tujuan keputusan (Goal) Tingkat kedua : Kriteria-kriteria
Gambar 2.1 Struktur Hirarki
2. Comparative Judgement
Comparative Judgement dilakukan dengan penilaian tentang kepentingan relatif
dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkatan diatasnya. Penilaian ini merupakan inti dari AHP karena akan berpengaruh terhadap urutan prioritas dari elemen-elemennya. Hasilnya dari penilaian ini lebih mudah disajikan dalam bentuk matriks pairwise comparisons yaitu matriks perbandingan berpasangan memuat tingkat preferensi beberapa alternatif untuk tiap kriteria. Skala preferensi yang digunakan yaitu skala 1 yang menunjukkan tingkat yang paling rendah (equal importance) sampai dengan skala 9 yang menunjukkan tingkatan yang paling tinggi (extreme importance).
Tujuan
Kriteria I Kriteria II Kriteria III Kriteria N
2 M
1 1 2 M
1 2 M 1 2 M
3. Synthesis of Priority
Synthesis of Priority dilakukan dengan menggunakan eigen vector method untuk
mendapatkan bobot relatif bagi unsur-unsur pengambilan keputusan.
4. Logical Consistency
Konsistensi memiliki dua makna. Pertama adalah bahwa obyek-obyek yang serupa dapat dikelompokkan sesuai dengan keseragaman dan relevansinya. Kedua adalah tingkat hubungan antara obyek-obyek yang didasarkan pada kriteria tertentu.
Tabel 2.1 Skala Saaty (Mulyono,2004)
Tingkat Kepentingan Definisi
1 Sama pentingnya dibanding yang lain 3 Moderat pentingnya dibanding yang lain 5 Kuat pentingnya dibanding yang lain 7 Sangat kuat pentingnya dibanding yang lain 9 Ekstrim pentingnya dibanding yang lain 2, 4, 6, 8 Nilai diantara dua pilihan yang berdekatan
2.2.2 Penghitungan Bobot Elemen dalam Metode AHP
Pada dasarnya formulasi pada model AHP dilakukan dengan menggunakan suatu matriks. Misalnya dalam suatu subsistem operasi terdapat elemen operasi
maka hasil perbandingan secara berpasangan elemen-elemen operasi
Tabel 2.2 Matriks Perbandingan Berpasangan
Contoh matriks yang diperlihatkan dalam tabel 2.2 adalah sebuah matriks A berukuran ( ) merupakan matriks perbandingan berpasangan. Dan diasumsikan terdapat elemen yaitu yang akan dinilai secara perbandingan. Nilai
(judgement) perbandingan secara berpasangan antara ( ) dapat direpresentasikan
seperti matriks pada tabel 2.2.
( )
maka akan diperoleh hubungan persamaan berikut :
( ) (2.2)
Maka akan diperoleh :
∑ ( ) ; (2.3)
∑ ; (2.4)
Persamaan (2.4) dalam bentuk matriks menjadi :
(2.5)
Dalam teori matriks, diketahui bahwa merupakan eigen vector dari matriks dengan eigen value . Bila ditulis secara lengkap maka persamaan tersebut akan menjadi seperti berikut :
(
Variabel pada persamaan diatas dapat digantikan secara umum dengan sebuah
Karena matriks adalah suatu matriks yang resiprokal dengan nilai
unutk
bernilai nol kecuali satu yang bernilai sama dengan . Bila matriks adalah matriks yang tidak konsisten, variasi kecil atas akan membuat nilai eigen value terbesar,
dapat dicari dengn persamaan berikut :
(2.9)
Nilai vektor bobot dapat dicari dengan mensubstitusikan nilai ke dalam persamaan tersebut. Dalam prakteknya, konsistensi tidak mungkin didapat. Nilai akan menyimpang dari rasio dan dengan demikian persamaan di atas
tidak dapat dipenuhi. Deviasi maksimum dari merupakan suatu parameter
Consistency Index (CI) sebagai berikut :
Nilai tidak akan berarti bila tidak terdapat acuan untuk menyatakan apakah
Thomas L. Saaty berpendapat bahwa suatu matriks yang dihasilkan dari perbandingan yang dilakukan secara acak tersebut didapat pula nilai Consistency
Index yang disebut dengan Random Index (RI). Untuk mengukur seluruh konsistensi
penilaian dalam AHP digunakan Consistency Ratio (CR) yang dirumuskan sebagai berikut :
( )
Indeks konsisten matriks random dengan skala (1-9) beserta kebalikannya disebut sebagai indeks random (Random Index). Berdasarkan perhitungan Thomas L. Saaty dengan menggunakan 500 sampel diperoleh nilai rata-rata indeks random (RI) untuk setiap ordo matriks tertentu sebagai berikut :
Tabel 2.3 Index Random (RI) Ordo
Matriks RI
Ordo
Matriks RI
Ordo
Matriks RI
1 0 6 1,24 11 1,51
2 0 7 1,32 12 1,48
3 0,58 8 1,41 13 1,56
4 0,9 9 1,45 14 1,57
5 1,12 10 1,49 15 1,59
2.3 Teori Himpunan Fuzzy
Teori himpunan fuzzy diperkenalkan oleh Lofti A. Zadeh pada tahun 1965. Teori himpunan fuzzy merupakan kerangka matematis yang digunakan untuk merepresentasikan ketidakpastian, ketidakjelasan, ketidaktepatan, kekurangan informasi, dan kebenaran parsial (Tettamanzi, 2001 dalam Kusumadewi et al, 2006, hal : 1).
himpunan dinilai dalam hal biner menurut kondisi bivalen-elemen baik termasuk atau tidak termasuk dalam himpunan. Sebaliknya, teori himpunan fuzzy memungkinkan penilaian bertahap dari keanggotaan elemen dalam himpunan, ini digambarkan dengan bantuan sebuah fungsi keanggotaan yang dinilai dalam unit nyata interval [ ].
2.3.1 Himpunan Klasik (Crisp)
Dalam teori himpunan fuzzy, himpunan dikatakan crisp jika sebarang anggota-anggota yang ada pada himpunan tersebut dikenakan fungsi yang akan bernilai 1 yakni jika maka fungsi . Namun jika , maka nilai fungsi yang dikenakan pada adalah 0. Nilai fungsi yang dikenakan pada sebarang anggota himpunan dikatakan sebagai nilai keanggotaan. Jadi pada himpunan klasik (crisp), hanya mempunyai 2 nilai keanggotaan yaitu 0 atau 1. Tetapi pada himpunan fuzzy, nilai keanggotaan dari anggota-anggotanya tidak hanya 0 dan 1 saja. Tapi berada pada interval tertutup [ ]. Dengan kata lain himpunan dikatakan fuzzy selama fungsi
.
Himpunan Fuzzy didasarkan pada gagasan untuk memperluas jangkauan fungsi karakteristik sedemikian hingga fungsi tersebut akan mencakup bilangan real pada interval [ ]. Nilai keanggotaannya menunjukkan bahwa suatu item dalam semesta pembicaraan tidak hanya berada pada 0 atau 1, namun juga nilai yang terletak diantaranya. Dengan kata lain, nilai kebenaran suatu item tidak hanya bernilai benar atau salah. Nilai 0 menunjukkan salah, nilai 1 menunjukkan benar, dan masih ada nilai-nilai yang terletak antara benar dan salah.
2.3.2 Himpunan Kabur
keanggotaan dan nilai fungsi itu disebut derajat keanggotaan suatu unsur dalam himpunan itu, yang selanjutnya disebut himpunan kabur (Susilo, 2006, hal : 50).
Zadeh memodifikasi teori himpunan dimana setiap anggotanya memiliki derajat keanggotaan yang bernilai kontinu antara 0 dan 1. Himpunan kabur didasarkan pada gagasan untuk memperluas jangkauan fungsi karakteristik sedemikian hingga fungsi tersebut akan mencakup bilangan real pada interval [ ]. Menurut Zimmermann (1991) dalam Kusumadewi et al (2006, hal : 5) secara matematis himpunan kabur ̃ dalam himpunan semesta adalah suatu himpunan pasangan berurutan :
̃ {( ̃( ))| }
Dimana ̃ adalah derajat keanggotaan dari , yang merupakan suatu pemetaan dari himpunan semesta ke selang tertutup [ ].
2.3.3 Fungsi Keanggotaan
Fungsi Keanggotaan adalah suatu kurva yang menunjukkan pemetaan titik-titik input data ke dalam nilai/derajat keanggotaannya yang memiliki interval antara 0 sampai 1. Salah satu cara untuk mendapatkan nilai keanggotaan adalah dengan melalui pendekatan fungsi.
Ada beberapa fungsi yang dapat digunakan yaitu : a. Representasi Linear
Pada representasi linier, pemetaan input ke derajat keanggotaannya digambarkan sebagai suatu garis lurus. Bentuk ini paling sederhana dan menjadi pilihan yang baik untuk mendekati suatu konsep yang kurang jelas. Keadaan linier himpunan
fuzzy terdiri dari dua keadaan linier naik dan linier turun. Pada linier naik, kenaikan
[ ] {
derajat keanggotaan 1
[ ]
0 a domain b
Gambar 2.2 Representasi Linear Naik
Sedangkan linier turun, garis lurus dimulai dari nilai domain dengan derajat keanggotaan tertinggi pada sisi kiri, kemudian bergerak menurun ke nilai domain yang memiliki derajat keanggotaan lebih rendah dengan fungsi keanggotaan.
[ ] {
derajat
keanggotaan 1 [ ]
0
a domain b Gambar 2.3 Representasi Linear Turun
b. Fungsi Keanggotaan Segitiga
[ ]
Kurva trapesium pada dasarnya seperti bentuk segitiga, hanya saja ada beberapa titik yang memiliki nilai keanggotaan satu. Adapun persamaan untuk kurva trapesium ini adalah:
mengatasi faktor ketidakpresisian yang dialami oleh pengambil keputusan ketika harus memberikan nilai yang pasti dalam matriks perbandingan berpasangan. Oleh karena itu, untuk mengatasi kelemahan AHP yang ada maka dikembangkan suatu metode yang disebut Fuzzy AHP. Metode fuzzy AHP merupakan penggabungan antara metode AHP dengan pendekatan fuzzy.
Pada metode fuzzy AHP digunakan Triangular Fuzzy Number (TFN). TFN digunakan untuk menggambarkan variabel-variabel linguistik secara pasti. TFN disimbolkan dengan ̃ ( ), dimana dan adalah nilai terendah, adalah nilai tengah, adalah nilai teratas. Tabel berikut memperlihatkan TFN yang digunakan untuk keperluan dalam matriks perbandingan berpasangan (pairwise
comparison).
̃ ( ) ( )
2.4.1 Langkah-Langkah Fuzzy AHP
Langkah-langkah dalam fuzzy AHP (Chang, 1996) :
a. Definisikan nilai fuzzy synthetic extent untuk i-objek seperti persamaan berikut :
∑ ̃ [∑ ∑
̃ fuzzy dari nilai pada matriks perbandingan berpasangan
Untuk mendapatkan ∑ , maka dilakukan operasi penjumlahan fuzzy dari
nilai pada matriks perbandingan berpasangan seperti yang dapat dilihat pada persamaan berikut :
Kemudian dilakukan penjumlahan terhadap sehingga dapat dilihat
persamaan berikut :
[∑ ∑ ̃
]
(∑
∑ ∑ ) ( )
b. Andaikan terdapat 2 bilangan fuzzy yaitu ̃ ( ) dan ̃ ( ),
maka tingkat keyakinan dari ̃ ( ) ̃ ( ) didefinisikan sebagai berikut :
( ̃ ̃ ) [ ( ̃ ( ) ̃ ( ))] ( )
Apabila ̃ dan ̃ bilangan fuzzy konveks maka diperoleh ketentuan sebagai berikut :
( ̃ ̃ )
( ̃ ̃ ) ( ) ( )
Tingkat keyakinan dari bilangan fuzzy dapat diperoeh dengan persamaan:
( ̃ ̃ ) { ( )
( ) ( )
( )
Perbandingan 2 bilangan fuzzy dapat digunakan sebagai berikut :
̃ ̃
1
( ̃ ̃ )
0
d
merupakan ordinat titik perpotongan tertinggi antara ̃ dan ̃ , dan untuk
membandingkan ̃ ( ) dan ̃ ( ) kita memerlukan
nilai-nilai dari ( ̃ ̃ ) dan ( ̃ ̃ ).
c. Tingkat kemungkinan untuk sebuah bilangan fuzzy konveks lebih baik
dibandingkan dari bilangan fuzzy konveks ̃( ) dapat didefinisikan sebagai berikut :
( ̃ ̃ ̃ ̃ ) [( ̃ ̃ ) ( ̃ ̃ ) ( ̃ ̃ )]
( ̃ ̃) ( )
Diasumsikan bahwa :
( ) ( ) ( )
Maka vektor bobot didefinisikan sebagai berikut :
( ( ) ( ) ( )) ( )
d. Menormalisasi vektor bobot pada persamaan (2.23) menjadi :
( ( ) ( ) ( )) ( )