2.1.1 Definisi Pengetahuan
Notoatmodjo (2007) mengatakan pengetahuan merupakan hasil dari tahu,
dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek
tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindera manusia, yakni indera
penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan
manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif
merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang
(over behavior).
2.1.2 Manfaat Pengetahuan
Pengetahuan diperlukan manusia untuk memecahkan setiap persoalan yang
muncul sepanjang kehidupan manusia dalam mencapai tujuan hidup yaitu
kebahagiaan, keadaan makmur, tenteram, damai dan sejahterabaik pada taraf
individual maupun sosial. Pengetahuan juga dapat membuat manusia memiliki
kemampuan untuk mempertahankan dan mengembangkan hidupnya sesuai
dengan hal yang baik (Suhartono, 2005). Pengetahuan akan membuat seseorang
mampu menemukan kepastian tentang suatu hal dan apa yang dipikirkan di dalam
2.1.3 Tingkatan Pengetahuan
Notoatmodjo (2007) mengatakan ada enam tingkatan pengetahuan didalam
domain kognitif yang meliputi:
a. Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai mengingat kembali (recall) suatu materi yang telah
dipelajari sebelumnya terhadap suatu spesifik dari seluruh badan yang
dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.
b. Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara
benar objek yang diketahui dan dapat menginterpretasi materi tersebut secara
benar.
c. Aplikasi (Aplication)
Aplikasi adalah kemampuan untuk mengungkapkan materi yang telah
dipelajari pada situasi dan kondisi yang nyata.
d. Analisis (Analysis)
Kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam
komponen-komponen tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut.
e. Sintesis (Sintesis)
Kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian didalam
suatu bentuk keseluruhan yang baru.
f. Evaluasi (Evaluation)
Kemampuan untuk melakukan justifikasi atau objek penilaian terhadap
suatu materi atau objek.
Notoatmodjo (2003) mengatakan pengetahuan dipengaruhi oleh beberapa
faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi:
1) Pendidikan adalah suatu proses belajar yang berarti terjadi proses
pertumbuhan, perkembangan, atau perubahan kearah yang lebih dewasa, lebih
baik dan lebih matang pada diri individu, kelompok serta masyarakat.
Pendidikan berpengaruh terhadap perkembangan pribadi, bahwa pada umumnya
pendidikan itu mempertinggi taraf intelegensi individu.
2) Persepsi mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan
tindakan yang diambil.
3) Motivasi merupakan dorongan, keinginan dan tenaga penggerak yang
berasal dari dalam diri seseorang untuk melakukan sesuatu dengan
mengeyampingkankan hal-hal yang dianggap kurang bermanfaat. Dalam
mencapai tujuan dan munculnya motivasi memerlukan rangsangan dari dalam
individu (biasanya timbul dari perilaku yang dapat memenuhi kebutuhan sehingga
menjadi puas) maupun dari luar (merupakan pengaruh dari orang
lain/lingkungan). Motivasi murni adalah motivasi yang betul-betul disadari akan
pentingnya suatu perilaku dan dirasakan satu kebutuhan.
4) Pengalaman adalah sesuatu yang dirasakan (diketahui, dikerjakan), juga
merupakan kesadaran akan sesuatu hal yang tertangkap oleh indra manusia.
Pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman yang berdasarkan kenyataan yang
pasti dan pengalaman yang berulang-ulang dapat menyebabkan terbentuknya
pengetahuan. Pengalaman masa lalu dan aspirasinya untuk masa yang akan datang
Faktor eksternal yang mempengaruhi pengetahuan antara lain lingkungan,
sosial ekonomi,kebudayaan dan informasi. Lingkungan sebagai faktor yang
berpengaruh bagi pengembangan sikap dan perilaku individu. Sosial ekonomi,
penghasilan, sering dilihat untuk menilai hubungan antara tingkat penghasilan
dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Kebudayaan adalah perilaku normal,
kebiasaan, nilai, penggunaan sumber-sumber nilai di dalam suatu masyarakat akan
menghasilkan suatu pola hidup. Informasi keterangan, pemberitahuan yang dapat
menimbulkan kesadaran dan mempengaruhi perilaku.
2.2 Bullying
2.2.1 Konsep Bullying
Olweus (dalam Krahe, 2005) mendefenisikan bullying adalah perilaku tidak
menyenangkan seseorang atau lebih kepada korban bullying yang dilakukan secara berulang-ulang dan terjadi dari waktu ke waktu. Selain itu bullying juga
melibatkan kekuatan dan kekuasaan yang tidak seimbang, sehingga korbannya
berada dalam keadaan tidak mampu mempertahankan diri secara efektif untuk
melawan tindakan negatif yang diterima korban (Krahe, 2005). Nansel dkk.
(dalam Santrock, 2007) mengatakan bullying didefenisikan sebagai perilaku
verbal dan fisik yang dimaksudkan untuk mengganggu seseorang yang lebih
lemah. Perilaku yang dapat dianggap sebagai bullying, haruslah tindakan yang
agresif dan termasuk pada:
a) Kekuatan yang tidak seimbang
Anak yang mem-bully menggunakan kekuasaan/ kehebatan mereka,
popularitas untuk mengontrol atau merugikan orang lain. Ketimpangan kekuasaan
dapat berubah sepanjang waktu dan dalam situasi yang berbeda, bahkan sekalipun
mereka termasuk dalam orang yang sama.
b) Pengulangan
Kebiasaan bullying biasanya terjadi lebih dari satu kali atau berpotensi
terjadi berulang kali.
2.2.2 Jenis-Jenis Bullying
Totten dan Quigley (2005) mengatakan bullying terjadi ketika seseorang mendapat serangan yang berulang, setiap waktu oleh satu orang atau lebih yang
menyalahgunakan kekuatannya. Ada banyak cara untuk mem-bully orang lain. Ada empat jenis utama dari bullying, yaitu:
1. Fisik bullying
Fisik bullying termasuk dalam tindakan yang dapat dilihat karena terjadi
sentuhan fisik seperti memukul, mendorong, mencubit, menendang,
meludah, merusak atau mencuri benda milik orang lain.
2. Verbal bullying
Verbal bullying adalah tindakan dengan mengatakan hal-hal jelek seperti
memanggil orang lain dengan julukan yang jelek, mengejek, membentak,
memaki, menghina atau mengancam seseorang.
3. Sosial bullying
Sosial bullying menunjukkan pada merusak hubungan sosial orang lain seperti mengeluarkan orang lain dari grup/ kelompok, menyebarkan gosip
lain untuk tidak berteman dengan orang tertentu atau merusak hubungan
orang lain.
4. Elektronik bullying/ cyberbullying
Elektronik bullying sekarang lebih dikenal dengan sebutan cyberbullying yaitu dengan menggunakan perkembangan teknologi yang ada dewasa ini
seperti menggunakan computer, e-mail, telefon, handphone atau SMS untuk: mengancam atau melukai perasaan seseorang, mempermalukan
atau membuat seseorang terlihat buruk, menyebarkan gosip atau membuka
rahasia tentang seseorang.
2.2.3 Faktor Penyebab Bullying a. Keluarga
Keluarga merupakan lingkungan terdekat anak, sehingga masalah seperti
ketidak harmonisan di rumah tangga berpengaruh terhadap prilaku bullying yang
di lakukan oleh anak sehingga anak yang sering melihat ibu dan ayahnya
bertengkar atau tidak harmonis dapat berbuat semaunya termasuk berlaku kasar
pada temannya atau orang lain (Nazly, 2014).
b. Teman Sebaya
Salah satu agen sosialisasi terpenting dalam kehidupan anak usia sekolah
adalah kelompok teman sebaya. Identifikasi dan asosiasi kelompok teman sebaya
merupakan hal yang penting untuk sosialisasi anak. Hubungan dengan teman
sebaya yang buruk dan kurangnya identifikasi kelompok dapat memperbesar
kemungkinan anak bersifat mengganggu. Sifat pengganggu terjadi jika satu atau
lebih anak mengakibatkan penganiayaan fisik, verbal atau emosional pada anak
c. Karakter Anak
Karakter anak yang agresif dapat menjadi faktor penyebab terjadinya bullying. Perilaku agresif pada anak, baik secara fisikal maupun verbal dan juga pendendam
inilah yang sering memicu anak melakukan bullying. Anak yang ingin populer, anak yang tiba-tiba sering berbuat onar atau selalu mencari kesalahan orang lain
dengan memusuhi temannya atau orang lain umumnya termasuk dalam kategori
ini. (Astuti ,2008).
2.2.4 Dampak Bullying
Dalam kasus-kasus bullying, sejalan dengan perlakuan negatif yang
berlangsung terus menerus, paparan terhadap kekerasan secara berkelanjutan
memiliki efek yang sangat negatif, seperti munculnya problem kecemasan, stres,
dan mengalami penurunan kemampuan belajar dikarenakan ia mengalami
kesulitan konsentrasi dan penurunan dalam memorinya sehingga prestasi anak
secara akademis akan menurun secara signifikan (Cauce, dkk, 2003 dalam
Luthar,2006)
Sebagai dampak jangka panjang, terkadang korban bullying mengalami
depresi yang ekstrim sehingga mempertimbangkan atau bahkan melakukan bunuh
diri. Anak-anak yang mengalami bullying mungkin saja nampak mampu mengatasinya, tapi boleh jadi jadi sesungguhnya masih bergulat dengan inner
distress dalam diri mereka. Sementara orang lain melihatnya tangguh, ia sesungguhnya rentan di dalam dirinya (Luthar, 2006).
2.3 Bullying Pada Anak
Bullying banyak terjadi pada anak khususnya di sekolah. Hal ini merupakan
(Djuwita, 2006). Peran-peran tersebut adalah: Bully, Asisten Bully, Reinforcer dan
Outsider.
a) Bully, yaitu siswa yang dikategorikan sebagai pemimpin, yang berinisiatif
dan aktif terlibat dalam perilaku bullying.
b) Asisten juga terlibat aktif dalam perilaku bullying, namun ia cenderung
tergantung atau mengikuti perintah bully.
c) Reinforcer adalah mereka yang ada ketika kejadian bullying terjadi, ikut
menyaksikan, mentertawakan korban, memprovokasi bully, mengajak siswa lain untuk menonton dan sebagainya.
d) Outsider adalah orang-orang tahu bahwa hal itu terjadi, namun tidak melakukan apapun, seolah-olah tidak peduli (Djuwita, 2006).
Selain itu hal ini terjadi juga karena bully juga tidak mendapatkan konsekuensi negatif dari pihak guru/sekolah, maka dari sudut teori belajar, bully
mendapatkan reward atau penguatan dari perilakunya. Si bully akan mempersepsikan bahwa perilakunya justru mendapatkan pembenaran bahkan
memberinya identitas social yang membanggakan.
Pelaku outsider, seperti misalnya guru, murid, orang-orang yang bekerja di
sekolah, orang tua, walaupun mereka mengetahui kejadian bullying akan tetapi tidak melaporkan, tidak mencegah dan hanya membiarkan saja tradisi ini berjalan
karena merasa bahwa hal ini wajar, sebenarnya juga ikut berperan
mempertahankan suburnya bullying di sekolah-sekolah. Dengan berjalannya
waktu, pada saat korban merasa naik status sosialnya (karena naik kelas) dan telah
perputaran peran. Korban berubah menjadi bully, asisten atau reinforcer untuk
melampiaskan dendamnya (Djuwita, 2006).
2.3.1 Pengetahuan orang tua tentang bullying pada anak
Berbeda dengan keadaan anak yang mengetahui secara persis kasus-kasus
bullying di sekolah, banyak orang tua tidak mengetahui ada masalah itu di sekolah
maupun di lingkungan sekitar anak (Astuti, 2008). Thompson et.al (2003 dalam
Astuti, 2008) mengatakan kalaupun ada orang tua yang mengetahui, mereka sulit
atau tidak mau untuk terlibat, antara lain disebabkan oleh : (1) Orang tua kurang
pengetahuan (informasi) atas kejadian di sekolah. (2) Orang tua banyak
memberikan kepercayaan pada pihak sekolah dalam mengawasi anak. (3) Orang
tua tidak diajak berkomunikasi oleh anak, karena anak cenderung takut atau
enggan bicara dengan orang tua atas masalah mereka di sekolah. Menurut mereka
masalah mereka bukan urusan orang tua. (4) Orang tua cenderung
mempersepsikan bullying atau senioritas sebagai bagian dari bentuk ajaran lain di lingkungan anak.
Persepsi orang tua yang keliru pada perilaku anak dengan menganggap anak
dapat menyesuaikan diri sendiri bergaul di lingkungannya, maka terkadang orang
tua tidak terlalu peduli apa yang terjadi pada lingkungan anak. Pandangan ini
tidak seluruhnya benar, karena orang tua harus tetap peduli tentang lingkungan