• Tidak ada hasil yang ditemukan

WAKTU YANG TERPENGGAL WAKTU YANG TERPENGGAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "WAKTU YANG TERPENGGAL WAKTU YANG TERPENGGAL"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Cerita Pendek

WAKTU YANG TERPENGGAL Oleh: Suhariyadi

Komunitas Sanggar Sastra UNIROW Tuban

KULIPAT waktu dengan tidur. Bus yang kutumpangi terasa seperti siput berjalan. Jenuh mulai merayap. Novel yang sejak tadi menemaniku, huruf-hurufnya sudah mulai memburam di mata. Musik dari HP juga sudah tak menarik lagi. Penumpang di sampingku bahkan sudah semenjak tadi terlelap dalam mimpi. Sedang perjalanan ini baru sepenggalan. Masih sepenggalan lagi yang mesti kutempuh. Tidur satu-satunya cara mempercepat perjalanan.

Benar juga! Sepertinya bus baru saja meninggalkan batas kota Semarang. Kini sudah memasuki gapura masuk kota tujuan perjalananku, Tuban. Aroma pesisir mulai terasa saat melintasi gapura itu. Masih kuhafal bau amis, angin laut yang kering, dan suhu panas seakan membakar badan. Sepuluh tahun kutinggalkan aroma yang membesarkanku itu untuk merantau ke ibu kota. Tapi masih kuingat tiga warna tanah kota kelahiranku itu. Tanah pasir di sebelah utara, tanah merah di belahan tengah, dan tanah kapur di sebelah selatan. Jika dilihat dengan mata burung, daerah Tuban mirip bendera putih-merah-putih yang membentang membentuk wilayah. Tiga warna tanah itulah tempat aku hidup dan dibesarkan.

Masih belum hilang juga dari lidahku, sayur mangut dan becek menthok yang pedas dan asin. Bagaimana keringat bercucuran saat menyantapnya, sambil kedua bibir kumonyongkan dengan menyuarakan desahan karena menahan pedasnya. Dan jika sore hari, terlihat di pinggir-pinggir jalan orang-orang santai duduk melingkar, menikmati minuman toak yang menyentak. Kuingat senda gurau dan cengkerama mereka tentang apa saja mirip sebuah Konferensi Kaki Lima. Banyak hal yang mereka bicarakan; dari anggota DPR yang egois, mafia hukum, korupsi, hingga maling jemuran tewas dikeroyok massa. Tidak kalah pedasnya pembicaraan mereka itu daripada pedasnya sayur mangut dan becek menthok.

Tapi bukan untuk itu jika kali ini aku mesti kembali ke kota ini. Sepuluh tahun lalu, saat kutinggalkan kota ini, kutinggalkan pula perasaan cinta pada seorang gadis dengan sebuah janji. Janji sudah terlanjur diucapkan. Cinta sudah terlanjur membara. Betapapun jauh jarak yang mesti kutempuh, janji mesti ditepati. Betapapun telah lama waktu yang terlewati, janji tak mungkin diingkari. Apalagi menyangkut perasaan cinta pada gadis pilihan, pantang untuk dipungkiri. Inilah saatnya janji itu menjadi nyata. Sepuluh tahun bukan waktu yang pendek untuk menanti. Sepuluh tahun terlampau lama untuk mengebiri hati.

(2)

Waktu sepuluh tahun terlampau banyak untuk itu. Kesetiaan akan menjadi kesia-siaan lantaran tergerus waktu. Kekhawatiran itu semakin memuncak lantaran cibiran teman-temanku.

“Kau laki-laki konvensional di tengah kota yang penduduknya hampir semua kosmopolitan. Kau bodoh dengan mentalmu itu. Ketinggalan zaman. Hidup yang realistis saja. Apalah arti kesetiaan di tengah gemerlap citra kota Jakarta yang menawan ini? Apalagi kedudukan telah berhasil kau raih. Jaminan materi melimpah yang bisa kau dapat. Kau benar-benar bodoh meninggalkan semua itu demi gadis desa. Bagaimana kalau sebaliknya yang terjadi pada gadis itu, setelah kau terlanjur meninggalkan keberhasilanmu di sini? Sesal selalu di belakang, Bung! Waktu tak mungkin kembali lagi.” Ujar teman sekantorku penuh nada sinis. Aku mafhum terhadap isi otaknya yang materialistis itu.

“Kau materialistis. Hidup tidak sekedar meraih kebahagiaan material. Ada yang lebih dari semua itu, cinta.” Jawabku sengit, tapi dia malah tertawa menyakitkan hati.

“Apa yang kurang dari Cindy, Rani, Sisi, Kiki, dan cewek-cewek yang segudang itu yang pernah merengek-rengek mengemis cintamu. Mereka cantik, pintar, terpelajar, dan mau berkurban untuk memperoleh cintamu itu. Bahkan Cindy yang mantan puteri Indonesia itu nyaris bunuh diri karena frustasi. Apakah itu bukan cinta?”

“Bagaimana dengan perasaanku!?” Jawabku berharap temanku itu tersangkal pendapatnya.

“Perasaanmu? Mereka sangat pantas untuk kau cintai.” Katanya tegas dan aku merasa kecele atas harapanku itu.

“Bagaimana dengan perasaan gadis yang aku cintai di sana? Kesetiaanku tak mungkin bisa ditukar oleh harta dan kecantikan yang lain.” Aku masih tak mau kalah atas perdebatan ini. Aku harus menjaga kemurnian sikap dan perasaanku selama ini. Selama ini aku jaga jangan sampai terkotori oleh virus kota kosmopolitan Jakarta ini; termasuk pikiran temanku ini.

“Apakah sikapmu itu sama dengan sikap gadis yang kau cintai? Tak yakin aku! Apalagi katamu, kau sudah dua tahun ini tak saling berkirim pesan.”

“Itulah kenapa aku mesti menemuinya.” Kataku mendinginkan panasnya perbedaan di antara kami. Perdebatan ini rasanya tak akan pernah bisa usai. Bisa-bisa aku semakin tercemari pikiran kotor temanku itu.

“Kalau hanya untuk itu, kenapa mesti harus meninggalkan pekerjaan yang telah kau raih selama ini!?”

“Aku sudah memutuskan untuk kembali ke daerahku.” “Meski kau tak menemukan tambatan hatimu itu?”

“Meski aku tak menemukan gadis yang aku cintai itu.” Kataku menyudahi perdebatan itu. Temanku terlihat bersungut-sungut atas kegagalannya. Wajahnya tampak kecewa.

(3)

yang merebut tas dari tanganku. Terpaksa aku turuti pemaksaan itu. Dari atas becak aku saksikan betapa kota ini telah berubah. Alun-alun kota begitu indah, seolah berada di tengah pusaran peradaban kota. Di sebelah barat nampak bangunan masjid yang megah. Di selatan, gedung pemerintahan terasa mewah berlantai tiga. Sedang di sebelah timur, terletak pendopo kabupaten yang penuh misteri kedalamannya. Di utara, terlihat hamparan laut dan sebuah pasar kota. Sebuah tata kota dengan artefak sejarah yang dipertahankan, meski bangunan yang ada telah meninggalkan sejarah masa lalunya. Perubahan kota ini telah terjadi selama aku tinggalkan. Apakah gadisku juga sudah berubah?

Tak terasa becak yang aku tumpangi telah sampai di depan sebuah rumah. Kulihat seorang perempuan baya sedang menyapu halaman. Dia menghentikan kegiatannya saat melihat kedatanganku. Dia tergopoh-gopoh menyambut ketika dilihatnya akulah yang datang.

“Antok!?” Jeritnya pelan seolah tak percaya siapa yang datang sepagi ini. Aku salami dan kurangkul erat tubuh ibu. Kerinduan ini tak tertahankan lagi. Tak bisa aku bayangkan, bagaimana kerinduan yang sama akan terjadi saat bertemu dengan gadisku nanti. Sepuluh tahun ternyata benar-benar waktu yang lama. Kota ini telah sangat berubah. Ibu pun telah berubah; rambutnya memutih dan tubuhnya tak tegar lagi. Lantas bagaimana rupa gadisku nanti? Cepat-cepat aku hapus apa yang terlintas dalam benakku. Aku tak ingin ada perubahan sedikit pun pada gadisku; selain dia tambah cantik. Dan aku benamkan bayangan kekhawatiran itu ke atas ranjang kamarku. Aku senang saat kulihat kamarku tak berubah. Ternyata masih ada yang tak berubah. Kuharap dia juga tak berubah.

“Ibu tahu khabar Sulastri?” Pertanyaan ini sudah semenjak pagi tadi ingin kutanyakan. Tapi rasanya terlampau pagi pula untuk kusampaikan.

“Kau belum tanya khabar ibu, tapi sudah bertanya khabar Sulastri.” Jawab ibu sambil tersenyum. Nampaknya ibu sangat paham apa yang kurasakan.

“Kulihat ibu sehat-sehat saja. Bahkan tambah cantik. Semakin tua semakin cantik.” Godaku pada ibu.

“Tak kau lihat rambut ibu yang semakin memutih?”

“Kenapa tidak disemir, Ibu. Ibu akan sepuluh tahun kembali muda.” “Kau bisa saja menyenangkan orang.”

Soal menyenangkan hari orang, akulah jagonya. Teman-teman di Jakarta mengakuinya itu. Bahkan cewek-cewek yang kukenal, merasakan nyaman berdekatan denganku. Lantas mereka jatuh cinta padaku. Bahkan ada yang hendak bunuh diri lantaran aku tak terima perasaan cintanya itu. Perasaanku telah terlanjur terbenam dalam cinta seorang gadis yang aku tinggalkan di kota ini. Tak ada yang lain. Betapapun cantik, pintar, dan modern mereka, aku tak akan bergeming sedikit pun. Benar kata temanku, aku seorang konvensional dalam soal cinta.

“Sudah banyak berubah selama kau di Jakarta.” Kata ibu mulai menceritakan apa yang telah terjadi semenjak aku merantau ke Jakarta. Kekhawatiranku tiba-tiba muncul kembali mendengar perkataannya. “Yang aku dengar, Sulastrimu itu...”

(4)

“Jangan kau potong cerita ibu. Sulastri belum menikah.” Kata ibu melanjutkan kalimatnya yang terpotong tadi. Hatiku terasa lega mendengarnya. Sulastri benar-benar setia menantiku. Ibu menatapku sambil tersenyum. Aku cukup tahu apa yang ada di balik senyum itu.

“Lalu, apanya yang telah berubah?” “Kini dia milik banyak orang.”

“Maksud Ibu?” Hatiku terasa ganjil mendengar kata: “milik banyak orang.” Sudah menjadi pelacurkah? Hanya pelacur, perempuan yang dimiliki banyak orang.

“Kau jangan berpikiran jelek,” tukas ibu seolah tahu apa yang berkecamuk di benakku. Cara ibu bercerita terlalu ambigu. Hatiku seperti diaduk-aduk.

“Aku tak sabar mendengar cara ibu bercerita!”

“Bukan cerita ibu yang salah, tapi kau yang tak sabar.”

“Baiklah. Teruskan cerita ibu, aku akan sabar mendengarnya.” Jawabku semakin tak sabar. Cerita ibu benar-benar seperti cerita sinetron yang diolor-olor.

“Sulastri sekarang menjadi seorang ledhek yang terkenal. Ia cantik, suaranya bagus, dan tubuhnya lemah gemulai, sangat menarik hati para lelaki yang menontonnya. Dia nampaknya menikmati kepopulerannya itu.”

“Ledhek?” Hatiku pun semakin ganjil mendengar kata itu. Semenjak SMP memang Sulastri pinter menyanyi dan menari. Wajahnya cantik, mirip artis Indah Dewi Pertiwi. Tapi untuk menjadi seorang ledhek, tak bisa aku bayangkan. Kenapa mesti menjadi ledhek? Kenapa tidak yang lain? Teller Bank misalkan. Bukankah seorang teller Bank mesti cantik, pinter menyanyi, dan menarik? Bukankah bank-bank kota ini gemar mengumpulkan para penyanyi untuk menjadi karyawannya? Pertanyaan demi pertanyaan bermunculan di benakku. Tak bisa aku bayangkan, bagaimana keadaan Sulastri kini. Dia mesti berubah drastis. Apakah Sulantri berubah menjadi manja, centil, dan kerling matanya itu, duh, mesti dibuat-buat untuk menarik hati setiap laki-laki.

Tidak! Tidak akan kubiarkan dia terus menjadi ledhek. Bagaimana kata orang nanti melihat istriku seorang ledhek. Ke sana-kemari dibonceng laki-laki. Pergi malam hari, pulang pagi hari. Betapa orang-orang memandangnya penuh curiga. Sementara aku, seperti tak bisa berbuat apa-apa atas profesinya itu. Belum lagi, setiap malam aku sendirian menunggu bersama sepi. Ketaksabaranku semakin membukit. Ingin aku segera menemuinya, menyampaikan ketidaksetujuanku, lantas dia rela menjadi istriku dan hanya bermanja-manja padaku.

(5)

“Mas Antok!” Jerit kecil menyentak telingaku. Seorang perempuan telah berdiri di pintu dengan wajah yang teramat kukenal; Sulastri. Kesan pertama membuat keyakinanku sedikit menebal. Sulastri memang berubah. Wajahnya itu sudah tak selugu 10 tahun lalu. Ada polesan tergores di sana. Dan aku merasakan lucu melihatnya, menutupi kerinduanku.

“Sulastri,” jawabku terasa kaku. Barangkali kalau aku melihat wajahku di cermin, betapa tampak aneh. Senyum pun terasa lucu.

Dia menggeret tanganku ke dalam rumah sebelum aku benar-benar terasa semakin lucu. Aku cepat duduk di kursi ruang tamu untuk menutupi keanehan dalam diriku. Sulastri mengikutinya di kursi depanku. Wajahnya tak sedetik pun lepas dariku, seolah dia menantangku untuk melepaskan kerinduannya. Tapi tidak. Aku menangkapnya dia semakin berani. Berbeda dengan dahulu yang malu-malu. Perubahan kedua yang kutangkap dalam diri Sulastri. Polesan dan keberanian, dua hal yang kumengerti ada pada seorang ledhek. Dulu aku bersama teman sering melihat pertunjukan sinder. Aku cukup mengerti bagaimana pertunjukan itu berlangsung.

“Kapan Mas Antok pulang?” Tanyanya sambil memainkan taplak meja bermotif bunga-bunga itu. Apakah dia juga merasakan keanehan sepertiku?

“Tadi pagi,” jawabku, terasa lucu juga. Tak ada kalimat lain yang muncul dalam benakku. Kaku.

“Bagaimana keadaan Mas Antok?”

“Baik. Kau?” Kataku sambil aku tekan kuat-kuat kekakuanku ke dalam hati yang paling dalam. Kemarin aku bayangkan pertemuan ini begitu ramai.

“Banyak hal yang sudah berubah selama Mas Antok pergi ke Jakarta.”

Aku tahu perubahan itu, kataku dalam hati. Perubahan itu yang tak bisa aku terima. Kau telah berubah menjadi lain. Kau tidak selugu dulu. Kau tidak secantik dulu. Kau tidak semalu dulu. Kau... Cepat aku hentikan perang batinku sebelum benar-benar merusak pertemuan ini.

“Apa yang Kau pikirkan, Mas?” Tanya Sulastri melihat aku diam dalam keramaian hati ini.

“Tidak. Aku sangat rindu padamu.” Spontan aku jawab sekenanya. Tak ada lagi sebenarnya kerinduan yang kemarin begitu ramai dalam benakku. Perubahan Sulastri itu sudah menghapusnya “Aku juga. Tapi...” Sulastri tak meneruskan ucapannya.

“Tetapi?” Aku mendorongnya untuk meneruskannya. “Aku tahu apa yang Mas Antok pikirkan.”

“Pikirkan apa? Bukankah baru sepuluh menit kita bertemu?”

“Sejak tadi Mas Antok terlihat termenung. Tak seramai dulu.” Kata Sulastri sambil mengalihkan tatapannya dariku. Kau juga tampak semakin mengerti orang yang kau hadapi, kataku dalam hati. Kau semakin peka. Perubahan yang lain lagi dari dirimu, Sulastri. Dan mata Sulastri tampak membasah. Wajahnya memburam.

(6)

“Aku tidak percaya itu. Ada yang lain dalam diri Mas Antok.” Katanya sambil menggigit bibirnya seolah ada sesuatu yang ditahannya. Mata Sulastri semakin mengembung. Setitik air jatuh dari relung matanya. “Aku yakin Mas Antok telah mendengar tentang aku. Dan ketermenungan Mas Antok tadi, cukup bagiku untuk memahami apa yang Mas pikirkan.”

Sulastri benar-benar semakin peka. Apakah profesinya itu menjadikan dirinya seperti itu? Aku membenarkan ucapannya itu. Cerita ibu dan melihat diri Sulastri saat ini, aku menjadi tak tenang. Aku tak ingin membohongi diriku sendiri kalau aku takut pada sesuatu yang bakal terjadi. Takut pada perubahan hubungan cinta yang sepuluh tahun aku jaga kesetiaannya. Betapa teman-teman di Jakarta telah membuktikannya. Apakah mereka juga akan membuktikan kebenaran pendapatnya tentang kesetiaan cinta itu omong kosong setelah sepuluh tahun terpisah?

“Aku tak ingin membohongimu dan membohongi diriku sendiri. Kau telah berubah.”

“Bukan semata-mata perubahan dalam diriku yang berkecamuk dalam pikiran Mas Antok. Aku yakin ada yang lain.” Jawab Sulastri mengejar pengakuanku; kejujuran perasaanku. Sekali lagi aku membenarkan ucapannya itu.

“Kau semakin pintar memahami orang.” Sergahku seolah tak kuat lagi menahan beban pikiranku ini.

“Sepuluh tahun terlalu cukup untuk menjadikan orang semakin dewasa.” Jawab Sulastri sangat ketus. Ucapannya itu telah menohokku hingga aku benar-benar tak kuat lagi menahan galau pikiran ini.

“Aku memang tak siap menghadapi perubahanmu sekarang. Cerita ibu dan penampilanmu sekarang, seolah menjadikan kepulanganku ini tak menemukan gadisku lagi.”

“Karena aku seorang ledhek?”

“Salah satunya, dan perubahan-perubahan yang lain lagi dari dirimu.”

“Mas Antok tidak menerima perubahan itu? Tidak menerima aku sebagai seorang ledhek?” Berondongan pertanyaan yang keluar dari mulut Sulastri senada kemarahan. Kutangkap gadis yang kucintai dulu teramat jauh. Tinggal bayangan yang ada dalam memoriku. Sedang gadis yang di depanku tampak bukan Sulastri lagi.

“Ya.” Jawabku pelan hampir tak terdengar. Kutatap Sulastri untuk menemukan apa reaksi atas sikapku itu.

“Ternyata bukan aku saja yang berubah. Mas Antok juga telah berubah. Dulu Mas Antok sangat bijaksana, tapi sekarang teramat jauh. Mas Antok egois!”

(7)

bawah foto itu terdapat tulisan: “Wisuda Sarjana Seni Institut Seni Surakarta, Solo, 23 Maret 1995”. Perubahan lain lagi yang baru kumengerti dalam diri Sulastri. Kutinggalkan dia saat baru dua tahun lulus SMA. Dia tak berniat untuk kuliah. Ayahnya sakit-sakitan dan tak mampu membiayainya. Setahun kemudian ayahnya meninggal. Sedang Ibunya telah meninggal terlebih dahulu. Sulastri hidup sebatang kara dan bekerja menjadi seorang guru tari sekolah dasar. Tapi kini, dia sudah menjadi seorang sarjana seni. Duh, perubahan apa lagi yang belum kutahu?

Di antara foto-foto itu, ada fotoku bersama Sulastri yang sudah mulai kabur gambarnya; sedikit kecoklat-coklatan. Kuingat foto itu dibuat sehari sebelum keberangkatanku ke Jakarta. Sulastri menangis saat itu. Sementara aku melipurnya dengan sebuah janji: Kita akan meneruskan hubungan ini hingga ke jenjang pernikahan, apapun yang terjadi. Kesetiaan adalah segala-galanya. Janji ini juga tertulis dalam foto itu.

“Kau masih ingat janjimu itu, Mas Antok?” Pelan suara Sulastri terdengar dari belakang badanku. Tak kusadari dia telah berdiri di belakang.

Aku balikkan badanku dan kulihat Sulastri tak menangis lagi. Dia tersenyum. Wajahnya tak berpolesan lagi. Wajahnya telah terguyur air ketika berlari ke dalam tadi. Rambutnya terlihat masih sedikit basah. Pakaiannya juga sudah diganti dengan blues batik gedhog. Dia sengaja merubah penampilannya. Tadi kulihat T-Shirt dan jean dikenakan hingga terlihat terlampau seksi di mataku. Polesan wajahnya terlihat mencolok. Kini, kulihat dia benar-benar Sulastri seperti sepuluh tahun lalu. Sederhana. Lembut. Malu-malu. Ternyata dia belum lupa menjadi gadis yang kucinta dulu.

“Bagaimana penampilanku, Mas?” Tanyanya sambil kedua tangannya menarik rok ke samping dan berputar seperti seorang peragawati. Aku tersenyum. Ada perasaan kecele dalam diriku, tapi aku cuma bisa menerka maknanya.

Aku pegang kedua pundaknya. Aku amati dari ujung kaki hingga rambutnya. Ketika kutarik tubuhnya hendak kupeluk, dia menolak. Semburat warna merah di wajah Sulastri. Ternyata dia masih malu-malu seperti dulu.

“Kau tak rindu padaku?” Tanyaku terasa mencair kekakuanku tadi. Aku seolah tetap seperti dulu dengan keberanian dan keramaian cinta. Seolah usiaku belum berkepala tiga seperti sekarang. Dan gadis yang malu-malu itu adalah Sulastri yang baru lulus SMA-nya.

“Maafkan aku telah membuat Mas Antok gusar.” Ujar Sulastri sambil menatapku dalam. Sedang aku tak tahu maksud perkataannya itu.

“Maksudmu?”

“Aku tahu Mas Antok akan ke sini. Ibu tadi meneleponku dan bercerita tentang ketaksabaran Mas Antok melihatku. Aku tahu Mas Antok penasaran pada apa yang telah Mas Antok dengar tentangku. Jadi aku buat penampilanku tidak seperti dulu lagi. Aku ingin mengetahui, apakah Jakarta telah merubah Mas Antok menjadi lelaki yang lain.”

(8)

“Mas Antok ternyata tak berubah. Mas Antok masih seperti dulu. Tradisional dan sederhana. Makanya aku cepat-cepat pergi ke dalam untuk merubah penampilanku seperti biasanya.”

“Jadi tadi semua hanya aktingmu?”

“Aku tak pernah berubah, Mas. Aku masih seperti dulu. Juga perasaanku.” “Lantas profesimu itu?”

“Mas Antok tidak setuju dengan profesi itu?”

“Aku belum siap menerima perubahan, bukan aku tidak setuju.” Kataku menjaga perasaan Sulastri tentang apa yang telah dia lakukan.

“Aku sudah berhenti menjadi ledhek, Mas. Sudah banyak yang lebih muda dan pintar. Aku sudah berumur 30 tahun. Sudah waktunya untuk memberi kesempatan yang muda-muda. Aku hanya ingin menjadi guru tari.”

Aku sudah tak mendengar lagi cerita Sulastri. Aku paksa memeluk tubuhnya dengan rapat. Kerinduanku tak terbendung lagi. Ternyata perasaan ini belum berubah hambar, juga hubungan ini. Sulastri membalas pelukannku dengan rapat pula. Kami seolah tak ingin berpisah lagi. Ternyata bukan profesinya itu yang membuatku sedih dan takut, tapi layaknya Malin Kundang yang kecele melihat betapa ibunya tak sama lagi dengan bayangannya saat dia pergi meninggalkannya. Malin telah melupakan satu hal, ibunya tak mungkin berubah meskipun waktu telah memenggal hubungan dia dengan ibunya itu, selain tubuh yang semakin tua. Tapi aku bukan Malin.

Referensi

Dokumen terkait

Al entablar una conversación, se mira atentamente al interlocutor para así llegar a demostrar interés en lo que nos esta comunicando.. Las gafas de sol tienden a producir una

Bale Seni Barli Kota Baru Parahyangan sebagai destinasi wisata seni yang. bermuatan edukasi dan menyenangkan dengan mengembangkan

Hipotesis yang berbunyi “ Ada hubungan yang signifikan anta ra motivasi belajar dengan prestasi belajar sosiologi siswa SMAN 3 Klaten tahun pelajaran 2012/2013”

Lokasi budidaya rumput laut yang baik adalah lokasi yang memiliki pergerakan air yang cukup yaitu 20cm-30cm/detik, tidak memiliki gelombang yang kuat, bebas

Berdasarkan hasil penelitian ini disimpulkan bahwa media pembelajaran lcd proyektor dan motivasi belajar secara bersama memiliki hubungan yang cukup signifikan

Kemudian analisis multivariat dengan regresi berganda dilakukan untuk melihat pengaruh diversifikasi terhadap kinerja perusahaan dengan prosedur Ordinary Least Square

One of the byproduct is date fruit waste (DFW). Up to 56% of date fruit weights are left as DFW after date fruit processing to produce date oil. Our in vitro preliminary study

permasalahan dalam pengajaran bahasa Jerman. 3) Mengurus surat ijin penelitian ke SMA Pasundan Cikalong Cianjur.. 7) Melakukan pretest untuk mengetahui kemampuan awal siswa.