• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan Praktek Rumput Laut docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Laporan Praktek Rumput Laut docx"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Peningkatan produksi akuakultur telah memberikan kontribusi sebesar 40.10 % dari total produksi perikanan dunia pada tahun 2011 (FAO 2013). Peningkatan produksi tersebut sejalan dengan meningkatnya pula pertumbuhan sektor budidaya laut yang semakin lama semakin pesat, yang secara tidak langsung menyebabkan akumulasi limbah dari kegiatan akuakultur di laut semakin tidak teratasi. Namun dalam perkembangan kegiatan budidaya laut di beberapa kawasan mengakibatkan kerusakan habitat ataupun ekosistem laut jika tidak dikelola dengan arif dan bijaksana. Kerusakan ini terjadi akibat dari limbah yang tidak termanfaatkan sehingga menyebabkan racun bagi organisme di sekitar budidaya. Hal ini terjadi karena kegiatan budidaya laut dilakukan secara parsial. Oleh karena itu, pengembangan budidaya laut harus dikelola secara berkelanjutan dengan menerapkan sistem integrasi (Setyowati, 2013).

Rumput laut merupakan salah satu komoditas ekonomi penting yang menjadi unggulan Indonesia. Menurut statistik FAO tahun 2010, produksi rumput laut Indonesia menempati peringkat kedua setelah Cina, dengan total produksi sebesar 3,90 juta ton atau 20,60% dari total produksi rumput laut dunia (FAO, 2013). Spesies rumput laut yang banyak dibudidayakan di perairan Indonesia adalah jenis Kappaphycus alvarezii dan Eucheuma spinosum (Atmadja et al., 2012). Hal ini disebabkan oleh teknik budidaya yang mudah dan permintaan pasar yang cukup tinggi. Sentra pengembangan budidaya rumput laut di Indonesia tersebar di beberapa provinsi di antaranya : Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, Bali, Jawa Timur, Sulawesi Tenggara, dan Nusa Tenggara Barat. Metode budidaya rumput laut yang telah berkembang saat ini dan dikenal secara umum oleh masyarakat meliputi metode lepas dasar, metode rakit apung, dan metode rawai (Parenrengi et al., 2011)

Pertumbuhan dan penyebaran rumput laut sangat tergantung dari faktor-faktor oseanografi (fisika, kimia, dan dinamika air laut), serta jenis substratnya. Rumput laut banyak dijumpai pada daerah perairan yang dangkal (intertidal dan sublitorral) dengan kondisi perairan berpasir, sedikit lumpur, atau campuran keduanya. Menurut (Wong & Cheung, 2000),

(2)

budidaya rumput laut, adalah: (1) pemilihan lokasi yang memenuhi persyaratan bagi jenis rumput laut yang akan dibudidayakan. Hal ini perlu karena ada perlakukan yang berbeda untuk tiap jenis rumput laut, (2) pemilihan atau seleksi bibit, penyediaan bibit, dan cara pembibitan yang tepat, (3) metode budidaya yang tepat, (4) pemeliharaan selama musim tanam, dan (5) metode panen dan perlakuan pascapanen yang benar.

Berdasarkan beberapa urairan diatas kita dapat mengetahui bahwa rumput laut merupakan salah satu komoditas perikanan penting di Indonesia dan sangat bagus untuk di kembangkan. Maka itu perlu dilakukan kajian tentang peran rumput laut agar dapat berkelanjutan.

1.2 Tujuan

Praktek budidaya rumput laut ini dilakukan dengan tujuan :

1. Mengetahui jenis-jenis rumput yang berada di Kawasan perairan teluk Banten terutama di Pulau Lima dan Pulau Pisang

2. Mengetahui metode budidaya dan tingkat kenaikan pertumbuhan rumput laut di Kawasan perairan teluk Banten

(3)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Eucheuma cottonii

Menurut Atmadja dkk (1996), rumput laut jenis Eucheuma cottonii merupakan salah satu rumput laut dari jenis alga merah (Rhodophyta). Rumput laut jenis ini memiliki thallus yang licin dan silindris, berwarna hijau, hijau kuning, abu-abu dan merah. Tumbuh melekat pada substrat dengan alat perekat berupa cakram.

Salah satu spesies dari divisi Rhodophyta, yaitu Eucheuma cottonii. Menurut Doty (1985), Eucheuma cottonii merupakan salah satu jenis rumput laut merah (Rhodophyceae) dan berubah nama menjadi Kappaphycus alvarezii karena karaginan yang dihasilkan termasuk fraksi kappa-karaginan. Maka jenis ini secara taksonomi disebut Kappaphycus alvarezii. Nama daerah cottonii umumnya lebih dikenal dan biasadipakai dalam dunia perdagangan nasional maupun internasional.

2.1.1. Klasifikasi Eucheuma cottonii

Klasifikasi Eucheuma cottonii menurut Doty (1985) adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae

Divisi : Rhodophyta Kelas : Rhodophyceae Ordo : Gigartinales Famili : Solieracea Genus : Eucheuma

Species : Eucheuma alvarezii

(4)

2.1.2. Morfologi dan Karakteristik Eucheuma cottonii

Dari segi morfologi, rumput laut tidak memperlihatkan adanya perbedaan antara akar, batang dan daun. Secara keseluruhan, tanaman ini mempunyai morfologi yang mirip, walaupun sebenarnya berbeda. Bentuk- bentuk tersebut sebenarnya hanyalah thallus rumput laut ada bermacam- macam, antara lain bulat seperti tabung, pipih, gepeng, bulat seperti kantong dan rambut dan sebagainya. Thalli ini ada yang tersusun uniselluler (satu sel) atau multiselluler (banyak sel). Percabangan thallus ada yang dichotomous (bercabang dua terus menerus), pectinate (berderet searah pada suatu sisi thallus utama), pinnate (bercabang dua- dua pada sepanjang thallus utama secara berselang seling), ferticillate (cabangnya berpusat melingkari aksis atau sumbu utama) dan ada juga yang sederhana, tidak bercabang. Sifat substansi thalli juga beraneka ragam, ada yang lunak seperti gellatin (gellatinous), keras diliputi atau mengandung zat kapur (calcareous), lunak seperti tulang rawan (cartilagenous) , berserabut (spongious) dan sebagainya.

Struktur anatomi thallus untuk tiap jenis rumput laut berbeda- beda, misalnya pada family yang sama antara Eucheuma spinosum dengan Eucheuma cottonii, potongan thallus yang melintang mempunyai susunan sel yang berbeda . Perbedaaan-perbedaan ini membantu dalam pengenalan berbagai jenis rumput laut baik dalam mengidentifikasi jenis, genus ataupun family.

Pigmen yang terdapat dalam thallus rumput laut dapat digunakan dalam membedakan berbagai kelas. Pigmen ini dapat menentukan warna thallus sesuai dengan pigmen yang ada pada kelas Chlorophyceae, Phaeophyceae, Rhodophyceae, dan Cyanophyceae. Perbedaan warna thalli menimbulkan adanya ciri algae yang berbeda seperti Algae hijau, algae coklat, algae merah dan algae biru. Namun dalam kenyataannya kadang-kadang kita sulit menentukan salah satu kelas hanya berdasarkan pada warna thallus yang kita ketahui, karena algae merah kadang-kadang berwarna hijau kekuning-kuningan, coklat kehitam-hitaman atau kuning kecoklata-coklatan.

Menurut Aslan (1991), keadaan warna tidak selalu tetap, kadangkadang berwarna hijau, hijau kuning, abu-abu atau merah sering terjadi hanya karena faktor lingkungan. Kejadian ini merupakan suatu proses adaptasi kromatik yaitu penyesuaian antara proporsi pigmen dengan berbagai kualitas pencahayaan.

(5)

nodulus (tonjolan-tonjolan), mempunyai duri yang lunak tumpul untuk melindungi gametangia. Percabangan bersifat alternates (berseling), tidak teraatur, serta dapat bersifat dichotamus (percabangan dua-dua) dan trichotamus (percabangan tiga-tiga). Tumbuh melekat kesubtrat dengan alat perekat berupa cakram. Cabang cabang pertama dan kedua tumbuh membentuk rumpun yang rimbun dengan cirri khusus mngarah kearah datangnya sinar matahari. Cabang cabang tersebut ada yang memanjang atau melengkung seperti tanduk.

2.1.3. Habitat Eucheuma cottonii

Menurut Wenno (2009), habitat khasnya adalah daerah yang memperoleh aliran air laut. Kondisi perairan yang sesuai untuk budidaya rumput laut Eucheuma cottonii yaitu perairan terlindung dari terpaan angin dan gelombang yang besar, kedalaman perairan 7,65 - 9,72 m, salinitas 33 -35 ppt, suhu air laut 28-30 oC, kecerahan 2,5-5,25 m, pH 6,5-7,0 dan kecepatan arus 2248 cm/detik. Umumnya Eucheuma cottonii tumbuh dengan baik di daerah pantai terumbu (reef).

Menurut Kadi (2004), Eucheuma cottoni tersebar hampir di seluruh perairan di Indonesia. Rumput laut ini biasa hidup di habitat dengan daerah rataan terumbu karang, daerah dalam tubir, dengan substrat tempatnya hidup biasanya pada karang mati, pecahan karang, pasir dengan dasar berupa karang mati.

2.1.4. Manfaat Eucheuma cottonii

Menurut Ghufran (2010), sejak berabat-abad yang lalu, rumput laut atau alga telah dimanfaatkan penduduk pesisir Indonesia sebagai bahan pangan dan obat-obatan. Saat ini, pemanfaatan rumput laut telah mengalami kemajuan yang pesat. Selain digunakan untuk pengobatan langsung, olahan rumput laut kini juga dapat dijadikan agar-agar, algin, karaginan, dan furselaran yang merupakan bahan baku penting dalam industri makanan, farmasi, kosmetik, dan lain-lain.

Pada industri makan, olahan rumput laut digunakan untuk pembuatan roti, sup, es krim, serbat, keju, puding, selai, susu, dan lain-lain. Pada industri farmasi, olahan rumput laut digunakan sebagai obat peluntur, pembungkus kapsul obat biotik, vitamin, dan lain-lain.

(6)

tekstil, industri kulit dan industri lainnya untuk pembuatan plat film, semir sepatu, kertas, serta bantalan pengalengan ikan dan daging.

Menurut Sadhori (1990), Eucheuma cottonii adalah merupakan rumput laut yang memiliki kemampuan untuk menyerap Pb dalam thallusnya. Hal ini dikarenakan pada Eucheuma cottonii terdapat karaginan yang mempunyai nilai ekonomis yang tinggi memiliki fungsi hampir sama dengan alginat yaitu dapat mengikat ion logam berat.

Menurut Winarno (1990), Eucheuma cottonii merupakan sumber penghasil karaginan untuk daerah tropis. Keraginan memiliki perana penting sebagi stabilisator (pengatur keseimbangan), thickener (bahan pengentalan), pembentuk gel, pengemulsi, dan lain-lain. Sifat ini banyak dimanfaatkan dalam industri makanan, obat-obatan, kosmetik, tekstil, cat, pasta gigi, dan industri lainnya.

Menurut Sheehan (1998), Pada bidang farmasi, Eucheuma dimanfaatkan dalam pembuatan obat-obatan, seperti adanya kandungan zat anti HIV dan anti herpes. Dapat diproses menjadi menjadi minyak nabati, yang selanjutnya diproses menjadi biodiesel. Setelah diambil minyaknya, sisa ekstraksinya yang berupa karbohidrat dapat difermentasikan menjadi alkohol, baik dalam bentuk methanol maupun ethanol.

2.2. Eucheuma spinosom

Rumput laut Eucheuma spinosum merupakan termasuk kelompok penghasil karaginan (berupa garam sodium, kalsium dan potasium dari senyawa polisakarida sulfat asam karaginat) yang disebut karaginofit. Pertama kali dipublikasikan pada tahun 1768 oleh Burman dengan nama Fucus denticulatus Burma, selanjutnya pada tahun 1847 J. Agardh memperkenalkannya dengan nama Eucheuma J. Agardh. Dalam beberapa pustaka ditemukan bahwa Eucheuma spinosum dan Eucheuma muricatum adalah nama untuk satu spesies gangang. Dalam dunia perdagangan Eucheuma spinosum lebih dikenal dari pada Eucheuma muricatum.

Euchema spinosum banyak dibudidayakan diwilayah Bantaeng dan Takalar. Akan tetapi species ini masih belum banyak diteliti bagaimana cara ekstrasi untuk menghasilkan iota keraginan maupun komposisi kimia yang dikandung iota keraginan permanen maupun dodol bahkan banyak yang dijual kering tanpa melaui pengolahan.

2.2.1. Klasifikasi Eucheuma spinosum

(7)

Kigdom : Plantae Devisi : Rhodophyta Kelas : Rhodophyceae Sub kelas : Florideae Ordo : Gigartinales Famili : Solieriaceae Genus : Eucheuma

Spesies : Eucheuma spinosum

Gambar 2. Eucheuma spinosum

2.2.2. Morfologi dan Karakteristik Eucheuma spinosum

Umumnya ciri-ciri dari Euchema sp yaitu thallus silindris, percabangan thallus berujung runcing atau tumpul, dan ditumbuhi tonjolan-tonjolan, berupa duri lunak yang tersusun berputar teratur mengelilingi cabang. Bentuk dari rumput laut ini tidak mempunyai perbedaan susunan kerangka antara akar, batang, dan daun. Keseluruhan tanaman ini merupakan batang yang dikenal sebagai talus (thallus). Thallus ada yang berbentuk bulat, silindris atau gepeng bercabang-cabang. Rumpun terbentuk oleh berbagai sistem percabangan ada yang tampak sederhana berupa filamen dan ada pula yang berupa percabangan kompleks. Jumlah setiap percabangan ada yang runcing dan ada yang tumpul. Permukaan kulit luar agak kasar, karena mempunyai gerigi dan bintik-bintik kasar.

(8)

tumbuh melekat ke substrat dengan alat perekat berupa cakram. Cabang-cabang pertama dan kedua tumbuh membentuk rumpun yang rimbun dengn ciri khusus mengarah ke arah datangnya sinar matahari. Cabang-cabang tersebut ada yang memanjang atau melengkung seperti tanduk.

2.2.3. Habitat Eucheuma spinosum

Menurut Monus et al (2007), E. spinosum membutuhkan tempat hidup (habitat) yang mempunyai persyaratan lingkungan perairan laut tertentu, untuk mendukung kelangsungan hidup dan pertumbuhannya. Perairan laut yang baik adalah berada pada kisaran hidup dan tumbuh yang dikehendaki rumput laut, sehingga apabila pertumbuhannya tinggi maka kandungan karaginannya juga akan meningkat.

Di alam, alga laut Eucheuma spinosum tumbuh melekat pada karang mati di bawah garis surut terendah. Alga ini menerima jumlah cahaya matahari yang berbeda-beda untuk berfotosintesa sesuai dengan kedalamannya. Untuk mengetahui pengaruh kedalaman terhadap laju pertumbuhan E. spinosum, telah dilakukap. percobaan pendahuluan selama dua bulan di Goba Besar II Pulau Pari, Pulau-Pulau Seribu. Percobaan dilakukan pada tiga kedalaman: 30, 60, dan 90 cm dari permukaan dengan menggunakan rak terapung. Laju pertumbuhan diukur dengan menimbang berat basahnya setiap pekan. Hasil menunjukkan bahwa laju pertumbuhan rata-rata E. spinosum pada kedaJaman 30 cm adalah 2,5%/hari, sedangkan pada kedalaman 60 dan 90 cm hanya sekitar 2,0%/hari. Di samping mempengaruhi laju pertumbuhan, tampaknya kedalaman juga berpengaruh terhadap bentuk morfologis dan warna batang alga. Pengaruh sifat-sifat kimia, fisika, dan biologi terhadap pertumbuhan E. spinosum

Eucheuma spinosum tumbuh pada tempat-tempat yang sesuai dengan persyaratan tumbuhnya, antara lain tumbuh pada perairan yang jernih, dasar perairannya berpasir atau berlumpur dan hidupnya menempel pada karang yang mati. Persyaratan hidup lainnya yaitu ada arus atau terkena gerakan air. Kadar garamnya antara 28-36 ppm. Dari beberapa persyaratan, yang terpenting adalah Eucheuma spinosum memerlukan sinar matahari untuk dapat melakukan fotosintesis.

2.2.4. Manfaat Eucheuma spinosum

(9)

mempunyai sumberdaya yang cukup besar baik yang alami maupun untuk budidaya. Rumput laut Eucheuma spinosum dapat diolah menjadi karaginan yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Karaginan ialah senyawa hidrokoloid yang merupakan senyawa polisakarida rantai panjang dan diekstraksi dari rumput laut jenis karaginofit. Karaginan banyak digunakan pada industri pangan, obat-obatan, kosmetik, tekstil, cat, pasta gigi dan industri lainnya. Karaginan memiliki peranan yang sangat penting sebagai stabilisator (pengatur keseimbangan), thickener (bahan pengental), pembentuk gel, pengemulsi.

2.3. Sargassum sp

Menurut Guiry (2007), Sargassum sp. adalah rumput laut yang tergolong dalan Divisi Phaeophyta (gangang coklat),dan dapat tumbuh hingga mencapai panjang 12 meter. Berwarna coklat kuning kehijauan, dengan struktur tubuh terbagi atas holdfast yang bersfungsi sebagai struktur basal, sebuah stipe atau batang semu dan frond berbentuk seperti daun.Warna coklat pada Sargassum muncul akibat dominansi dari pigmen fucoxanthin, klorofil a dan c, beta-karoten dan xantofil lainnya. Karbohidrat yang disimpan sebagian besar tersedia dalambentuk laminaran (polisakarida glukosa; terbentuk dari proses fotosintesis),disertai dengan pati dalam jumlah tertentu tergantung spesiesnya. Dinding selnyaterbuat dari selulosa dan asam alginat.

(10)

Suku

:

Sargassaceae

Marga

:

Sargassum

Jenis

:

Sargassum polyfolium

Gambar 3. Sargassum

2.3.2. Morfologi dan Karakteristik Sargassum sp

Menurut maharani dan Widyayanti (2010), Rumput laut jenis Sargassum umumnya merupakan tanaman perairan yang mempunyai warna coklat, berukuran relatif besar, tumbuh dan berkembang pada substrat dasar yang kuat. Bagian atas tanaman menyerupai semak yang berbentuk simetris bilateral atau radial serta dilengkapi bagian sisi pertumbuhan. Umumnya rumput laut tumbuh secara liar dan masih belum dimanfaatkan secara baik..

Rumput laut coklat memiliki pigmen yang memberikan warna coklat dan dapat menghasilkan algin atau alginat, laminarin, selulosa, fikoidin dan manitol yang komposisinya sangat tergantung pada jenis (spesies), masa perkembangan dan tempat tumbuhnya.

2.3.3. Habitat Sargassum sp

(11)

dan Turbinaria spp. ada 4 jenis yaitu Turbinaria conoides, T. conoides, T. ornata, T. murrayana dan T. deccurens. Sargassum spp. bersifat kosmopolitan, tersebar hampir diseluruh perairan Indonesia. Penyebaran Sargassum spp. di alam sangat luas terutama di daerah rataan terumbu karang di semua wilayah perairan pantai.

Sargassum tumbuh dari daerah intertidal, subtidal sampai daerah tubir dengan ombak besar dan arus deras. Karakteristik daerah untuk pertumbuhan yaitu kedalamam 0,5–10 m, suhu perairan 27,25 – 29,30 oC dan salinitas 32–33,5 ‰. Kebutuhan intensitas cahaya matahari marga Sargassum lebih tinggi dari pada marga alga merah.

Menurut Boney (1965) pertumbuhan Sargassum membutuhkan intensitas cahaya matahari berkisar 6500–7500 lux. Sargassum tumbuh berumpun dengan untaian cabang-cabang. Panjang thalli utama mencapai 1–3 m dan tiap-tiap percabangan terdapat gelembung udara berbentuk bulat yang disebut “Bladder,” berfungsi untuk menopang cabang-cabang thalli terapung ke arah permukaan air dalam mendapatkan intensitas cahaya matahari.

Menurut Tetsuro Ajisaka (2006), Spesifikasi khusus dari Sargassum cristaefolium C. Agardh yaitu mempunyai thalli bulat pada batang utama dan agak gepeng pada percabangan, permukaan halus atau licin. Percabangan dichotomous dengan daun bulat lonjong, pinggir bergerigi, tebal dan duplikasi (double edged). Vesicle melekat pada batang daun, bulat telur atau elip, bentuk bladder bulat lonjong.

2.3.4. Manfaat Sargassum

Menurut Kadi (2008), Alga Sargassum sp. atau alga cokelat merupakan salah satu genus Sargassumsp.yang termasuk dalam kelas Phaeophyceae.Sargassum sp. mengandung bahan alginat dan iodin yang bermanfaat bagi industri makanan, farmasi, kosmetik dan tekstil.

Menurut Maharani dan Widyayanti (2010) beberapa manfaat Sargassum sp yaitu :

1. Sargassum sp merupakan salah satu sumber penghasil alginat yang digunakan sebagai bahan pembuat cangkang kapsul, emulsifier dan stabilizer (Izzati, 2007).

(12)

3. Berguna untuk kosmetik, kandungan koloid alginatnya di gunakan sebagai bahan pembuat sabun, shampo dan cat rambut. (Izzati, 2007)

4. Dalam perikanan budidaya, keberadaan Sargassum sp membantu meningkatkan produksi udang windu, sehingga rumput laut jenis Sargassum sp ini di gunakan sebagai model budidaya ganda dengan udang windu. Adanya rumput laut jenis Sargassum sp di sekitar tambak udang windu dapat mengurangi jumlah bakteri patogen sehingga mampu menurunkan kemungkinan berkembangnya penyakit yang menyerang udang windu (Izzati, 2007).

5. S. Polycystum diketahui memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri Vibrio harveyi dan Micrococcus luteus (Riyanto et al., 2013).

2.4. Pemilihan dan Penanganan Bibit Rumput Laut Yang Baik

Untuk mendapatkan pertumbuhan yang optimal, bibit rumput laut yang digunakan harus berkualitas. Menurut SNI 7672:2011 bibit rumput laut yang baik ditinjau dari dua aspek adalah sebagai berikut :

a. Persyaratan Kuantitatif : 1. Umur 25 – 30 hari

2. Thallus minimal bercabang 3

3. Diameter thallus utama minimal 0,5 cm dan seragam 4. Berat per rumpun 50 gram – 100 gram

b. Persyaratan kualitatif :

1. Thallus tampak cerah dan segar

2. Bersih dari kotoran, organisme penempel dan lumut 3. Bebas dari penyakit

4. Thallus tidak luka dan patah 5. Bertunas runcing

6. Bentuk proporsional

Menurut SNI 7672:2011 untuk mendapatkan rumput laut yang berkualitas dilakukan langkah sebagi berikut :

a. Bibt diambil dari cabang ujung thallus yan muda

b. Pemotongan bibit dilakukan dengan benda tajam

(13)

d. Bibit dapat digabung maksimal 3 rumpun dalam satu ikatan

e. Bibit diambil dari bagian thallus rumput laut yang besar

Adapun cara penanganan rumput laut yang benar menurut SNI 7672 : 2011 adalah sebagai berikut :

a. Bibit tidak terkena air tawar atau hujan

b. Tidak terkena minyak

c. Tidak tetkena paparan sinar matahari secara lengsung bibit dijauhk a dar

d. Bibit bisa diganti minimal

e. Diambil dari bagian thallus rumpus laut yang besar

2.5. Pemilihan Lokasi Untuk Budidaya Rumput Laut 2.5.1. Faktor Teknis

a. Kelayakan Lokasi Buddidaya

Lokasi budidaya rumput laut yang baik adalah lokasi yang memiliki pergerakan air yang cukup yaitu 20cm-30cm/detik, tidak memiliki gelombang yang kuat, bebas dari pengaruh angin topan, bagian dasar perairan terdiri dari pasir dan bebatuan serta bebas dari lumpur, saat surut air masih memiliki kedalaman sekitar 30cm-60cm, memiliki kejernihan air sekitar 5 cm, air memiliki suhu sekitar 20°C-28°C dengan fluktuasi harian maksimal 4°C, memiliki slinitas sekitar 28 hingga 34. air memiliki pH sekitar 7 hingga 9, air terbebas dari bahan kimia, lokasi budidaya bebas dari ikan ataupun hewan air herbivora lainnya, lokasi mudah dijangkau, terdapat sumber tenaga yang cukup, serta bahan pendukung seperti benih, bambu dan lainnya mudah diperoleh.

b. Temperatur dan Sanitasi

(14)

pencemaran air laut seperti : limbah pabrik, genangan minyak, dan bahan peledak atau bahan kimia untuk penangkapan ikan.

c. Gerakan Air

Gerakan air merupakan sarana untuk mengangkut zat makanan yangdiperlukan oleh rumput laut selin itu gerakan air juga merupakan alat untuk membersihkan sedimen dan juga epiphyt pada tanaman rumput laut. Gerakan air atau kecepatan arus yang baik untuk budidaya rumput laut adalah sekitar 20-40 cm/detik.

2.5.2. Faktor Non Teknis

Di dalam melakukan budidaya rumput laut faktor non teknis juga sangat menunjang keberhasilan seperti halnya, sosial ekonomi masyarakat setempat, sarana dan prasarana transportasi dan komunikasi. Lokasi di mana terdapat petani nelayan yang hidup di bawah garis kemiskinan, kondisi ini sangat mendukung pembudidayaan rumput laut karena dapat memberikan lapangan kerja dengan tidak mengurangi persyaratan teknis budidaya rumput laut.

2.6. Metode Budidaya A. Metode Lepas Dasar

(15)

dan memiliki produksi yang rendah. Metode ini digunakan pada dasar perairan berpasir atau berlumpur pasir, sehingga memudahkan menancapkan patok / tiang pancang.

B. Metode Rakit Apung

Penanaman dengan metode ini, rakit apung yang digunakan terbuat dari bambu berukuran antara sekitar 2,5 x 2,5 meter persegi hingga 7 x 7 meter persegi bergantung pada ketersediaan bambu. agar rakit apung tidak terbawa arus maka gunakan jangkar sebagai penahanan atau juga bisa rakit diikatkan pada patok kayu yang telah ditancapkan di dasar laut .

Dalam memasang tali dan juga patok harus memperhitungkan faktor ombak, arus dan pasang surut air. Metode rakit apung ini cocok dilakukan pada lokasi budidaya yang memiliki kedalaman sekitar 60 cm. Bahan-bahan yang diperlukan untuk budidaya dengan metode ini adalah bibit, potongan bambu yang memiliki diameter sekitar 10 cm, potongan kayu penyiku yang memiliki diameter sekitar 5 cm, tali rafia, tali ris dengan diameter sekitar 4 mm dan 12 cm, serta jangkar besi, bongkah batu ataupun adukan semen pasir. Berikut adalah tahapan penanaman dengan metode ini :

a. Potongan kayu dan bambu dirangkai, kemudian ikatkan jangkar pemberat dengan tali 12 mm.

b. Thallus dengan berat sekitar 100 gram diikatkan pada tali ris dengan menggunakan tali rafia lalu diberi jarak sekitar 20 cm – 25 cm

c. Jarak antar tali ris yaitu sekitar 50 cm sedangkan panjang tali ris disesuaikan dengan panjang rait apung yang digunakan.

d. Tali ris yang telah berisi tanaman diikatkan pada rakit. Untuk titik tanam juga disesuaikan dengan ukuran rakit apung. Untuk rakit apung yang memiliki ukuran 7 Meter x 7 meter maka ditanami sekitar 500 titik tanam rumput laut.

C. Metode Lepas Dasar atau Tali Gantung

(16)

pada patok. Jarak tiap tali ris dengan tali ris utama sekitar 20 cm. Patok terbuat dari kayu dengan diameter sekitar 5 cm adan panjang sekitar 2 m. Jarak patok untuk membentangkan tali ris utama adalah sekitar 2,5 m.

2.7. Pemeliharaan Rumput Laut

Apabila terjadi kerusakan pada sarana budidaya maka harus segera diperbaiki, cek dan bersihkan kotoran yang menempel pada tanaman secara rutin. Perlu pula dilakukan pemupukan apabila budidaya dilakukan di tambak (biasanya rumput laut jenis gracilaria sp) dengan menggunkan pupuk urea, TSP dan ZA, selain itu bila budidaya dilakukan di tambak maka perlu juga dilakukan pergantian air setiap 15 hari sekali saat bulan baru dan bulan purnama.

2.8. Pemanenan Rumput Laut

Rumput laut dapat mulai dipanen setelah berumur sekitar 6 minggu- 2 bulan setelah tanam atau telah memiliki berat per ikatan sekitar 800 gram. Cara memanen rumput laut pada saat air pasang adalah dengan cara mengangkat seluruh rumput laut ke darat kemudian tali rafia pengikat dipotong. Sedangkan pada saat air surut

(17)

III.

METODOLOGI

III.1. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Praktek

Praktek penanaman rumput laut ini dilaksanakan mulai tanggal 1 Maret sampai tanggal 15 April 2018 dengan lokasi penanaman di Keramba Jaring Apung BPAPPL Serang yang tepatnya di antara Pulau Lima dan Pulau Pisang.

3.2. Alat dan Bahan 3.2.1. Alat

1. Jaring waring ukuran 30 cm x 40 cm sebanyak 15 buah

2. Kantong waring wadah tampungan rumput laut volume 1 meter x 1 meter x 1 meter

3. Gunting 1 buah

4. Jarum jahit berukuran besar 4 buah

5. Benang nilon pilin berukuran besar 1 gulung

6. Tali tambang plastik 6 meter

7. Pemberat 3 buah

8. Timbangan digital 1 buah

9. Secchidisk 1 buah

(18)

11.Termometer 1 buah

12.pH meter 1 buah

13. Penggaris 1 buah

14. Alat tulis dan buku catatan

15. Air tawar atau aquades

3.2.2. Bahan

1. Rumput Laut Eucheuma cottoni 2. Rumput Laut Eucheuma spinosum 3. Rumput Laut Sargassum

3.3. Prosedur Kerja A. Tahap Persiapan

a. Persiapan bibit

1. Menyiapkan wadah untuk mengambil rumput laut di pulau Pisang dan Pulau Lima dan ditampung di kantong tampungan

2. Menyiapkan rumput laut yang akan dijadikan bibit yang diambil dari pulau Pisang dan Pulau Lima yaitu rumput laut Eucheuma cottonii, E. Spinosum dan Sargassum

3. Menyiapkan bibit rumput laut masing – masing tiap kantong 150 gram untuk jenis Eucheuma cottonii, Eucheuma spinosum dan Sargassum

b. Persiapan tali ris, kantong, dan tali pengikat kantong

(19)

2. Menyiapkan tali pengikat kantong rumput laut ke tali ris sepanjang 20 cm sebanyak 15 buah

3. Menyiapkan kantong sebagai wadah untuk rumput laut dengan ukuran 30 cm x 40 cm sebanyak 15 buah berbentuk seperti sarung bantal

c. Persiapan pengukuran kualitas air

1. Menyiapkan alat ukur kualitas air berupa Secchidisk dan Current meter

B. Pengumpul Data

1. Mengamati kondisi sampel rumput laut per minggu 2. Mengamati pertumbuhan sampel rumput laut per minggu 3. Mengamati hama dan penyakit pada sampel rumput laut

4. Mengamati dan mengukur kualitas air perairan penanaman sampel rumput laut

3.4. Metode Kerja Penananman

3.4.1. Pembuatan Tali ris, tali ikan dan kantong penanaman

1. Menyiapkan tali ris sebanyak 3 buah dengan masing masing panjangnya 2 meter

2. Menyiapkan tali pengikat kantong ke tali ris sebanyak 15 buah dengan panjang setiap talinya kurang lebih 15 cm

3. Menyiapkan lembaran waring kemudian dipotong berukuran 80 cm x 60 cm untuk dibentu menjadi kantong seperti sarung bantal dengan ukuran 40 cm x 30 cm sebanyak 15 buah

4. Menjahit waring yang sudah di siapkan sesuai ukuran menngunakan tali dan jarum jahit berukuran besar

(20)

1. Menyiapkan alat dan bahan yang dibutuhkan untuh proses penanaman

2. Menimbang rumut laut masing masing Eucheuma cottonii, Eucheuma spinosum dan Sargassum yang masing – masing jenis sebanyak 5 buah dengan berat per buah 150 gram

3. Membersihkan rumput laut yang telah ditimbang dari kotoran, lumpur maupun hama yang menempel

4. Memasukkan rumput laut yang telah ditimbang ke dalam kantong waring yang telah disiapkan

5. Mengikat bagian kantong yang terbuka tidak kemasukan hama seperti ikan kecil dan kepiting atau rajungan

6. Mengikat kantong ke tali ris yang telah disiapkan dengan diatur jarak per kantong yaitu 20 cm, dan jarak kantong paling atas ke permukaan 0,5 meter.

7. Mengikatkan pemberat pada masing - masing tali ris

8. Mengikat tali ris yang sudah di rangkai bersama kantong ke keramba jaring apung dengan jarak antar tali ris sepanjang 1 meter

(21)

Gambar 4. Rangkaian Penanaman Rumput laut

Keterangan :

A = jarak antar tali ris 1 meter B = keramba jaring apung C = panjang tali ris 2 meter

D = jarak ikatan kantong pertama ke permukaan 0,5 meter E = jarak antar kantong 20 cm

F = kantong rumput laut G = tali ris 2 meter H = pemberat

C

D

E

F

G

(22)

3.5. Metode Kerja Pengukuran Kualitas Air 3.5.1. Pengukuran kecerahan dengan Secchidisk

1. Menyiapkan alat berupa Secchidisk

2. Memasukan Secchidisk ke dalam air sampai tidak terlihat

3. Mengangkat Secchidisk kemudian menghitung panjang tali sampai ke tempat yang tidak terlihat

4. Memasukkan Secchidisk ke dalam air sampai sedikit terlihat

5. Mengangkat Secchidisk kemudian menghitung panjangn tali sampai ke tempat yang terlihat

6. Mencatat hasil pengukuran kecerahan dan melakukan perhitungan dengan rumus

3.5.2. Pengukuran Arah dan Kecepatan Arus

1. Menyiapkan alat berupa Current meter dan stopwatch 2. Memasukkan Current meter kedalam laut

3. Menunggu sampai alat mengarah ke arah arus 4. Memegang tali dari alat hingga tali terasa kencang

5. Menghitung lamanya waktu dengan menggunakan stopwatch hingga tali berada pada keadaan kencang mengarah ke arah arus

6. Mencatat hasil penghitungan waktu 7. Mencatat arah arus laut

8. Mencatat panjang tali hingga pada keadaan kencang 9. Melakukan perhitungan dengan menggunakan rumus

3.5.3. Pengukuran Suhu

1. Menyiapkan alat pengukur suhu berupa termometer 2. Memasukkan termometer ke dalam air

3. Menunngu beberapa menit sampai angka pada alat menunjukkan hasil pengukurannya

4. Mencatat hasil pengukuran

3.5.4. Pengukuran pH

(23)

2. Mengkalibrasi alat terlebih dahulu sebelum digunakan menggunakan air tawar atau aquades

3. Memasukkan alat kedalam air laut

4. Menunngu beberapa saat sampai alat menunjukkan hasil pengukuran 5. Mencatat hasil pengukuran pH pada air laut

6. Mengkalibrasi kembali alat dengan air tawar atau aquades

3.6. Parameter Pengukuran

1. Specific Growth Rate (SGR)

Menurut Verdegem. M dan Eding. E, (2010) untuk menghitung besarnya SGR menggunakan rumus sebagai berikut ini :

SGR =

ln

Wt

ln

Wo

T

x

100

Keterangan :

SGR =Specific Growth Rate (Laju pertumbuhan spesifik, %/hari) Wt = Final Body Weight (Rata-rata bobot ikan uji akhir penelitian, g) Wo = Initial Body Weight (Rata-rata bobot ikan uji awal penelitian, g) t = Time (Lama pemeliharaan, hari)

2. Pengukuran Kecerahan

Untuk mengukur kecerahan perairan menggunakan Secchidisk dengan perhitungan rumus sebagai berikut :

N = d1 + d2 2 Keterangan :

(24)

d1 = Kedalaman secchi disk saat tiddak terlihat (meter)

d2 = Kedalaman secchi disk saat mulai tampak kembali (meter)

3. Pengukuran Arah dan Kecepatan Arus Laut

Untuk mengukur arah dan kecepatan arus laut menggunakan Current meter dengan perhitungn rumus sebagai berikut :

V =

S

t

Keterangan :

V = kecepatan (m/s)

S = Panjang tali (m)

t = waktu (s)

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pemilihan Lokasi

(25)

keramba jaring apung memenuhi syarat, karena penyediaan bibit mudah, terlindung dari ombak, didepan keramba terdapat gugusan pulau-pulau dan memilki kedalaman 8 – 15 m serta terhindar dari sumber pencemaran. Hal ini sesuai dengan pendapat Wiratmaja et al (2011), bahwa lokasi yang baik untuk budidaya rumput laut yaitu: terlindung dari hempasan ombak, adanya gugusan pulau didepan areal budidaya dan kedalam perairan 7,65 – 9,72 m, serta menurut Prihanigrum et al., (2001) menyatakan bahwa hindari lokasi yang berdekatan dengan sumber pencemaran dan SNI 8003: 2014 bahwa persyaratan lokasi budidaya salah satunya yaitu tersedia sumber air dengan kualitas dan kuantitas yang cukup untuk proses produksi.

Sedangkan menurut Sade (2006), bahwa parameter utama dalam penentuan lokasi yaitu keterlindungan dari angin dan gelombang besar. Dahuri (2003) dan Ditjenkan Budidaya (2005), bahwa parameter utama yang merupakan syarat tumbuh bagi rumput laut adalah (1) intensitas cahaya, (2) musim dan suhu, (3) salinitas, (4) pergerakan air, dan (5) zat hara. Lokasi budidaya rumput laut dapat dilihat pada gambar 5.

Gambar 5. Lokasi Budidaya Rumput Laut

4.2 Persiapan Media 4.2.1 Pembuatan Kantong

(26)

dibentuk dengan menggunakan benang dan paku. Pembuatan kantong rumput laut dapat dilihat pada gambar 6.

Gambar 6. Pembuatan Knatong Rumput Laut

4.2.2 Pemilihan Bibit

Penyediaan bibit rumput laut dapat berasal dari alam, budidaya, dan perbenihan baik secara vegetatif maupun generatif (Parenrengi et al., 2007). Bibit yang digunakan dalam praktikum rumput laut berasal dari alam yang didapat di Pulau Lima dan Pulau Pisang. Bibit yang digunakan merupakan bibit yang unggul dengan kriteria warnanya cerah, memiliki cabang yang banyak, rimbun dan berat bibit awal sekitar 100 gr untuk jenis rumput laut Eucheuma cottoni, dan 150 gr untuk rumput laut jenis Eucheuma spinosum dan Sargassum.

(27)

Gambar 7. Pemilihan Bibit Rumput Laut

4.2.3 Penanaman

Pembesaran rumput laut pada praktikum kali ini menggunakan metode kantong. Metode kantong yaitu metode budidaya rumput laut dengan menggunakan kantong jaring sebagai alat produksi. Kantong jaring tersebut diikatkan pada tali (long line) atau pada rakit. Metode ini digunakan untuk mengatasi serangan ikan dan penyu.

Penanaman rumput laut dilakukan pada pagi hari dengan terlebih dulu menimbang bibit sebanyak 100-150 gr, kemudian bibit dibersihkan menggunakan air laut dan di masukkan ke wadah pemeliharaan, wadah kemudian di jahit kembali dibagian tengah agar rumput laut tidak keluar saat pemeliharaan. Wadah terdiri dari 3 kantong dalam satu tali, panjang tali utama yaitu 2m dan jarak antar kantong 50 cm, tali 1 di tanam rumput laut jenis eucheuma cottoni, tali ke 2 yaitu rumput laut jenis eucheuma spinosum, dan tali ke 3 yaitu jenis sargassum. Jarak antar tali utama 1 ke tali utama ke 2 dan 3 yaitu 1m.

(28)

bertujuan agar tali tetap membentang kebawah. Penanaman rumput laut dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Penanaman Rumput Laut

4.3 Pemeliharaan Rumput Laut 4.3.1 Monitoring Pertumbuhan

Pertumbuhan rumput laut dilakukan dengan pada masing-masing kantong dengan cara rumput laut diambil kemudian ditiriskan, setelah itu timbang. Penimbangan dilakukan setiap 1 minggu sekali. Pertumbuhan rumput laut dapat dilihat pada Grafik.1

EC tali 1 EC tali 2 EC tali 3 ES tali 1 ES tali 2 ES tali 30 S tali 1 S tali 2 S tali 3 20

40 60 80 100 120 140 160 180 200

Pertumbuhan

Bobo t gr

(29)

Berdasarkan grafik diatas rumput laut EC (Eucheuma cottoni) 1 mengalami kenaikan 121 gr dan laju pertumbuhan hariannya 0,28% sedangkan EC (Eucheuma cottoni) 2 mengalami kenaikan 120 gr dan laju pertumbuhan harianya 0,25% dan EC (Eucheuma cottoni) 3 mengalami kenaikan 114 gr dan laju pertumbuhan hariannya 0,18%. Rumput laut ES (Eucheuma spinosum) 1 mengalami kenaikan 175 gr dan laju pertumbuhan hariannya 0,22% sedangkan EC (Eucheuma spinosum) 2 mengalami kenaikan 172 gr dan laju pertumbuhan harianya 0,19% dan EC (Eucheuma spinosum) 3 mengalami kenaikan 165 gr dan laju pertumbuhan hariannya 0,13%. Rumput laut S (Sargassum) 1 mengalami kenaikan 133 gr dan laju pertumbuhan hariannya -0,22% sedangkan S (Sargassum) 2 mengalami kenaikan 86 gr dan laju pertumbuhan harianya -0,19% dan S (Sargassum) 3 mengalami kenaikan 83 gr dan laju pertumbuhan hariannya -0,13%. Pertumbuhan rumput laut yang dipelihara memiliki laju pertumbuhan yang rendah karena menurut Anggadireja et al. (2006), bahwa suatu kegiatan budidaya rumput laut dikategorikan baik jika laju pertumbuhan hariannya rata-rata minimal 3%.

Rumput laut pada tali 1 memiliki laju pertumbuhan yang lebih baik daripada tali ke 2 dan ke 3, hal ini dikarenakan posisi rumput laut yang mendapat sinar cahaya yang cukup untuk pertumbuhannya. Supratno (2007) dan Mamang, (2008), rumput laut hanya dapat tumbuh pada perairan dengan kedalaman tertentu di mana sinar matahari dapat sampai ke dasar perairan. Agustina ( 2001) menjelaskan bahwa pertumbuhan rumput laut sangat dipengaruhi oleh salinitas atau kadar garam dan juga pembiasan cahaya yang masuk sehingga mempengaruhi suhu air laut. Semakin sesuai kondisi lingkungan perairan dengan areal yang akan dibudidayakan akan semakin baik pertumbuhannya dan juga hasil yang diperoleh (Syaputra, 2005). Sedangkan rumput laut jenis sargassum tidak bisa tumbuh dengan baik karena jenis tersebut harus mempunyai substrat untuk pertumbuhannya. Perhitungan laju pertumbuhan rumput laut dapat dilihat di Lampiran.3

4.3.2 Monitoring Kualitas Air A. Suhu

(30)

27 27.5 28 28.5 29 29.5 30 30.5

SUHU

°C

Grafik 2. Pengukuran Suhu

Pengukuran suhu dilakukan dengan menggunakan thermometer dan dilakukan pada pukul 11.00 WIB. Berdasarkan grafik pengukuran suhu selama pembesaran rumput laut, kisaran suhu sudah ideal yaitu berkisar 28-30 0C.

Hal ini sesuai dengan pendapat Anggadireja et al., (2006), bahwa suhu yang optimal adalah 26– 300C. Kemudian di perjelas oleh pendapat Prajapati (2007);

Parenrengi (2007) yang mengatakan bahwa rumput laut tumbuh baik pada kisaran suhu 27–300C. Apabila suhu kurang dari 200C akan menyebabkan kematian (Bulboa and

Paula, 2005), Thirumaran and Anantharaman, 2009), dan pada suhu sekitar 350C rumput

laut akan menguning dan mengalami kematian (Amiluddin, 2007).

B. Kecepatan Arus

(31)

40 cm/detik. Manfaat arus adalah menyuplai nutrien, melarutkan oksigen, menyebarkan plankton, dan menghilangkan lumpur, detritus dan produk eksresi biota laut (Prud’homme van Reine and Trono, 2001). Kuat maupun lemahnya arus berpengaruh dalam kegiatan budidaya rumput laut (Dahuri, 2003). Hasil pengukuran kecepatan arus di KJA dapat dilihat pada grafik.3 dibawah ini.

Grafik 3. Hasil Pengukuran Kecepatan Arus di KJA.

Dari grafik diatas, kecepatan arus tertinggi terjadi pada tanggal 8 April dengan kecepatan arusnya 8,1 cm/detik, hal ini dikarenakan saat pengukuran terjadi tingginya gelombang dan angin, sedangkan kecepatan arus terendah terjadi pada tanggal 15 April, hal ini dikarenakan tidak terdapat angin dan gelombang. Hal ini sesuai dengan pendapat Sunaryat (2004), menyatakan bahwa arus dapat disebabkan oleh arus pasang surut maupun karena angin dan ombak. Besarnya kecepatan arus yang baik biasanya ditumbuhi karang lunak dan padang lamun yang bersih dari kotoran dan miring ke satu arah.

C. Kecerahan

(32)

sebaiknya lebih dari 3 m, sedangkan. Menurut Soleh (2007), kondisi air yang jernih dengan tingkat transparansi lebih dari 1,5 meter cukup baik bagi pertumbuhan rumput laut. Hasil pengukuran kecerahan dapat dilihat pada grafik 4.

1.05 1.55 2.05 2.55 3.05 3.55 4.05 4.55 5.05

Kecerahan

m

Grafik 4. Hasil Pengukuran Kecerahan di KJA.

(33)

dan kecerahan terendah terjadi pada tanggal 18 Maret dengan nilai kecerahan 2,5 m, hal ini dikarenakan saat pengukuran kecerahan cuaca sangat mendung

D. pH (Derajat Keasaman)

4 5 6 7 8

Ph

Derajat keasaman (pH) mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap organisme perairan sehingga dipergunakan sebagai petunjuk untuk menyatakan baik buruknya suatu peairan masih tergantung pada faktor-faktor lain. pH dapat dilihat pada Grafik.5 dibawah ini.

Grafik.5 Pengukuran pH

(34)

tertentu terhadap derajat keasaman (pH), karena pH juga merupakan faktor penting dalam suatu budidaya.

4.3.3 Hama dan penyakit A. Hama

Pada saat pratikum hama yang menyerang budidaya rumput laut yaitu ikan-ikan kecil yang selalu berkeliaran di sekeliling kantong rumput laut dan kepiting rajungan kecil yang masuk di kantong. Menurut Ditjen Perikanan (2004), bahwa hama yang sering dijumpai pada budidaya rumput laut adalah ikan baron ang (siganus sp), bintang laut (protoreaster nodosus), bulu babi (diatemasetosum sp), bulu babi duri pendek (tripneustes sp), penyu hijau (chelonia mydas), dan ikan kerapu (epinephellus sp). Pencegahan hama belum dilakukan tetapi penanggulangan nya dengan cara mengambil kepiting yang masuk kedalam kantong ketika dilakukan pengukuran pertumbuhan. Hama rumput laut dapat dilihat pada Gambar.9

Gambar 9. Hama kepiting

B. Penyakit

(35)

akhirnya menjadi hancur atau rontok. Penyerangan penyakit ice-ice terjadi dalam jangka waktu yang lama (Runtuboy, 2004). Pemicu timbulnya penyakit ice-ice adalah adanya perubahan lingkungan seperti: arus, temperatur, salinitas dan kecerahan (Hurtado and Agbayani, 2000).

Menurut Yuan (1990), bahwa bakteri yang dapat diisolasi dari rumput laut dengan gejala ice-ice antara lain adalah Pseudomonas spp., Pseudoalteromonas gracilis, dan Vibrio spp. Rumput laut yang terserang penyakit ice-ice dapat dilihat pada gambar 10.

Gambar 10. Rumput laut yang terserang ice-ice

4.3.4 Panen Dan Pasca Panen A. Panen

Pada saat praktikum belum dilakukan pemanenan tetapi pemanenan rumput laut biasanya pada usia 25 – 30 hari untuk benih dan 45 hari untuk industri dan pangan (Runtuboy, 2014). Rumput laut dapat dipanen dengan dua cara yaitu secara parsial dan total. Pemanenan rumput laut secara persial dilakukan dengan cara memisahkan cabang-cabang dari tanaman induknya dan selanjutnya digunakan kembali untuk penanaman berikutnya. Sedangkan pemanenan total dengan cara mengangkat semua rumpun tanaman secara keseluruhan dan kemudian tanamn yang muda (thallus bagian ujung) dipilih kembali untuk dijadikan bibit dan bagian pangkalnya dikeringkan.

(36)

B. Pasca Panen

(37)

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan di atas maka penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut:

1. Pemeliharaan rumput laut dilakukan dengan metode kantong yang berlokasi di keramba jaring apung (KJA). Penebaran rumput laut dilakukan pada pagi hari.

2. Parameter kualitas air yang diukur selama pelaksanaan pemeliharaan rumput laut yaitu: suhu, pH, kecerahan dan kecepatan arus, dengan masing-masing kisaran suhu 28 – 30 oC, pH 7 – 8, kecerahan 2,5 – 4,7 m dan kecepatan arus 1,6 – 8,1 cm/detik.

3. Kontrol pertumbuhan dilakukan setiap 1 minggu sekali dengan menimbang seluruh rumput laut dalam kantong.

4. Hama yang menyerang rumput laut yaitu kepiting dan penyakit yang menyerang yaitu ice-ice.

5.2 Saran

1. Untuk rumput laut jenis sargassum sebaiknya tidak dibudidayakan menggunakan metode kantong karena rumput laut jenis tersebut membutuhkan substrat untuk pertumbuhannya.

Gambar

Gambar 1. Eucheuma cottonii
Gambar 2. Eucheuma spinosum
Gambar 3. Sargassum
Gambar 4. Rangkaian Penanaman Rumput laut
+7

Referensi

Dokumen terkait

 Bibit rumput laut ditebar pada lahan budidaya sesuai dengan metoda yang diterapkan  Memilih waktu.. yang tepat untuk penebaran bibit rumput

Hasil penelitian menunjukkan bahwa lembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran rumput laut terdiri dari pedagang pengumpul yang berada di lokasi budidaya rumput laut, pedagang

Hasil dari analisis yang telah dilakukan untuk lokasi budidaya rumput laut di perairan Pulau Gili Genting menunjukkan bahwa pada lokasi ini sesuai untuk budidaya ruput laut

Oleh karena itu, dapat dilakukan penelitian lebih lanjut tentang penentuan lokasi yang sesusai untuk budidaya rumput laut di Kota Batam ini agar masyarakat di

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui potensi budidaya rumput laut, jumlah produksi rumput laut, karakteristik jenis rumput laut yang

Faktor- faktor dalam budidaya rumput laut adalah pemilihan lokasi yang memenuhi persyaratan budidaya, penyediaan bibit yang baik dan cara pembibitan, metode

Budidaya rumput laut di perairan Atapupu perbatasan Indonesia Timor Leste, sangat cocok karena kondisi gelombang yang tidak terlalu besar, budidaya rumput laut di perairan atapupu

Lahirnya Budidaya Rumput Laut Usaha budidaya rumput laut merupakan salah satu usaha budidaya yang paling mudah untuk dilakukan.Dengan modal yang tidak terlalu besar, masyarakat dusun