• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERAPAN MODEL NUMBERED HEAD TOGETHER UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERBICARA SISWA KELAS VII A SMP NEGERI 8 SURAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENERAPAN MODEL NUMBERED HEAD TOGETHER UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERBICARA SISWA KELAS VII A SMP NEGERI 8 SURAKARTA"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERBICARA

SISWA KELAS VII A SMP NEGERI 8 SURAKARTA

SKRIPSI

Oleh:

DISKA MEGA VITA DAMAYANTI

K1208005

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(2)
(3)

commit to user

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta

Persetujuan Pembimbing:

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M. Pd. Drs. Edy Suryanto, M. Pd.

(4)
(5)
(6)

Diska Mega Vita Damayanti. K1208005. PENERAPAN MODEL

NUMBERED HEAD TOGETHER UNTUK MENINGKATKAN

KETERAMPILAN BERBICARA SISWA KELAS VII A SMP NEGERI 8 SURAKARTA. Skripsi. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret, Juli 2012.

Tujuan penelitian ini untuk meningkatkan: (1) kualitas proses pembelajaran berbicara dengan menerapkan model numbered head together pada siswa kelas VII A SMP Negeri 8 Surakarta dan (2) keterampilan berbicara dengan menerapkan model numbered head together pada siswa kelas VII A SMP Negeri 8 Surakarta.

Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang dilakukan di SMP Negeri 8 Surakarta. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VII A dan guru bahasa Indonesia kelas VII A SMP Negeri 8 Surakarta. Siswa kelas VII A berjumlah 32 orang yang terdiri atas 18 siswa perempuan dan 14 siswa laki-laki. Objek penelitian ini adalah pembelajaran menceritakan tokoh idola di kelas VII A SMP Negeri 8 Surakarta. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara mendalam, dan analisis dokumen. Validitas data dalam penelitian ini dikaji dengan teknik triangulasi sumber data dan triangulasi metode. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis deskripsi komparatif dan analisis interaktif. Proses penelitian dilaksanakan dalam dua siklus yang meliputi empat tahapan, yaitu: tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, tahap observasi, dan serta tahap analisis dan refleksi.

(7)

commit to user MOTTO

“Barang siapa merindukan surga maka ia akan bersegera dalam melaksanakan kebaikan, barang siapa takut akan siksa neraka maka ia akan berhenti dari

mengikuti hawa nafsunya, barang siapa meyakini datangnya kematian maka ia

tidak akan terlena dengan kesenangan duniawi, barang siapa mengetahui bahwa

dunia adalah negeri cobaan, maka semua musibah yang menimpanya akan terasa ringan” (Ali Bin Abi Thalib)

“Sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari satu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain”

(Q. S. Al Insyiraah: 6-7).

(8)

PERSEMBAHAN

Karya ini kupersembahkan kepada:

1. Ibu dan Bapakku tercinta, atas doa dan kasih sayangnya;

2. Adik-adikku tersayang Kukuh Muhammad dan Ar Rofiki

Muhammad Faizal;

3. Murobbiku yang terhormat;

4. Anggalia, Nisa, Nia, MU, Ana, Mba Endah, Agnes, Ilham dan

teman-tamanku Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2008,

serta teman-teman Pesmi Ar-Royyan, yang selalu memberikan

semangat;

5. Adik-adik AAI yang tersayang; dan

6. Adik-adikku Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia 2009 dan

2010 yang selalu memberikan semangat. Terima kasih untuk

(9)

commit to user KATA PENGANTAR

Segala puji kehadirat Allah SWT, penulis panjatkan atas segala rahmat dan

hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam

semoga senantiasa tercurahlimpahkan kepada Rasulullan SAW.

Skripsi ini disusun guna memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar

Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan, Universitas Sebelas Maret.

Tersusunnya skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh

karena itu, pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd., selaku Dekan FKIP UNS yang

telah memberikan persetujuan pengesahan skripsi ini;

2. Dr. M. Rohmadi, M. Hum., Ketua Jurusan PBS yang telah memberikan

izin untuk penulisan skripsi ini;

3. Dr. Kundharu Saddhono, M. Hum., Ketua Program Pendidikan Bahasa

dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas

Sebelas Maret Surakarta yang memberikan persetujuan juga dalam skripsi

ini;

4. Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M. Pd., selaku pembimbing I yang telah

memberikan bimbingan, arahan, dan motivasi kepada peneliti sehingga

skripsi ini dapat diselesaiakan dengan lancar;

5. Drs. Edy Suryanto, M. Pd., selaku pembimbing II yang dengan sabar

membimbing peneliti serta memberikan dorongan dan selalu meluangkan

waktu bagi peneliti sehingga menjadikan peneliti semangat

menyelesaiakan skripsi;

6. Bapak dan Ibu dosen FKIP, khususnya Program Pendidikan Bahasa dan

Sastra Indonesia yang selama ini secara tulus dan ikhlas telah memberikan

(10)

Surakarta yang telah memberikan izin kepada peneliti untuk melaksanakan

PTK di SMP Negeri 8 Surakarta;

8. Bapak Sujino, B. A, selaku guru Bahasa Indonesia kelas VII A SMP

Negeri 8 Surakarta yang telah banyak membantu dan berpartisipasi aktif

dalam proses penelitian ini;

9. Siswa-siswa kelas VII A SMP Negeri 8 Surakarta yang telah

berpartisipasi aktif sebagai subjek penelitian dan membantu pelaksanaan

penelitian ini;

10.Bapak, Ibu, dam Adik-adikku yang telah memberikan doa restu dan

motivasi dalam proses penelitian ini; dan

11.semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah

membantu peneliti dalam menyusun skripsi ini.

Peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan, maka dari

itu penulis mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun demi

kesempurnaan skripsi ini di masa yang akan datang.

Surakarta, Juli 2012

(11)

commit to user

BAB II LANDASAN TEORETIK, KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS A. Landasan Teoretik ………... 8

1. Hakikat Keterampilan Berbicara ... 8

a. Pengertian Keterampilan Berbicara ……… 8

b. Tujuan Berbicara ……… 9

c. Faktor Penunjang Keefektifan Berbicara ………... 10

d. Jenis-jenis Berbicara ………... 11

2. Hakikat Pembelajaran Berbicara di SMP ………. 15

(12)

c. Pembelajaran Keterampilan Berbicara di SMP ……….. 18

d. Kriteria Penilaian Pembelajaran Berbicara ………. 19

3. Hakikat Model Numbered Head Together (NHT) ... 25

a. Pengertian Model Pembelajaran ………. 25

b. Ciri-ciri Model Pembelajaran ………. 26

c. Pengertian Model Numbered Head Together (NHT) …………. 26

d. Kelebihan dan Kekurangan Numbered Head Together (NHT)... 28

e. Pengelolaan Kelasa dengan Model Numbered Head Together... 30

B. Penelitian yang Relevan... 31

C. Kerangka Berpikir ... 32

D. Hipotesis Tindakan ... 34

BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 35

B. Subjek Penelitian ... 36

C. Pendekatan Penelitian ... 36

D. Teknik Pengumpulan Data ... 37

E. Uji Validitas ... 38

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN A. Simpulan ………. 91

(13)

commit to user

DAFTAR PUSTAKA ……… 96

(14)

Tabel Halaman

1. Rincian Waktu dan Kegiatan Penelitian……… 35

2. Indikator Keberhasilan Penelitian……….. 40

3. Perbandingan Nilai Pembelajaran Berbicara pada Siklus I…………... 61

4. Perbandingan Nilai Pembelajaran Berbicara pada Siklus II…………. 75

(15)

commit to user

Gambar Halaman

1. Bagan Kerangka Berpikir………. 33

2. Siswa Tampak Kurang Berminat dalam Mengikuti Pembelajaran Menceritakan

Tokoh Idola……….. 48

3. Salah Satu Kelompok sedang Berdiskusi dan Bekerjasama Menyelesaikan

Tugas………. 54

4. Siswa Masih Terlihat Belum Lancar dalam Menceritakan Tokoh Idola……….. 56

5. Guru Memantau Diskusi Siswa dan Memberikan Bimbingan Kepada Siswa

yang Kesulitan………... 56

6. Siswa Tampak Kurang Bersemangat dan Kurang Antusias Ketika Mendengarkan Penjelasan Guru……… 58 7. Grafik Perbandingan Nilai Pembelajaran Berbicara Siswa………... 62

(16)

Lampiran Halaman

1. Perangkat Pembelajaran Berbicara……….. 94

2. Instrumen Penelitian Tindakan………. 95

3. Catatan Lapangan Hasil Observasi Survei Awal………. 107

4. Catatan Lapangan Hasil Wawancara……… 111

5. Nilai Praktik Berbicara Siswa pada Survei Awal………... 118

6. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Siklus I………... 119

7. Daftar Presensi dan Kelompok Siswa……….. 136

8. Catatan Lapangan Hasil Observasi Siklus I………... 138

9. Catatan Lapangan Hasil Wawancara……… 144

10. Lembar Observasi Siswa dalam Pembelajaran Praktik Berbicara Siklus I…….. 150

11. Daftar Nilai Praktik Berbicara Siswa Siklus I………. 153

12. Lembar Observasi Kinerja Guru Saat Mengajar……….. 155

13. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Siklus II……….. 159

14. Daftar Presensi dan Kelompok Siswa……….. 167

15. Catatan Lapangan Hasil Observasi Siklus II……….... 169

16. Lembar Observasi Siswa dalam Pembelajaran Praktik Berbicara Siklus II…….. 176

17. Daftar Nilai Praktik Berbicara Siswa Siklus II………. 179

18. Lembar Observasi Kinerja Guru Saat Mengajar……….. 181

19. Lembar Tugas Praktik Berbicara Siswa……… 185

(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Model pembelajaran yang digunakan seorang guru cukup berpengaruh pada

proses pembelajaran anak didik. Ketika seorang guru salah ataupun tidak tepat dalam

merancang dan menerapkan model pembelajaran maka mengakibatkan terhambatnya

proses pembelajaran. Pentingnya model pembelajaran mengharuskan seorang guru

membuat ataupun merancang metode pembelajaran sebelum melakukan aktivitas

pembelajaran.

Pembelajaran pada dasarnya merupakan upaya untuk mengarahkan siswa ke

dalam proses belajar sehingga mereka dapat memperoleh tujuan belajar sesuai

dengan yang diharapkan. Pembelajaran seharusnya memperhatikan kondisi individu

siswa karena mereka yang belajar. Selain itu, telah kita ketahui bahwa setiap siswa

memiliki kemampuan yang berbeda- beda. Masing- masing siswa memiliki keunikan

yang berbeda antara siswa yang satu dengan siswa yang lainnya. Oleh karena itu,

pembelajaran hendaknya memperhatikan perbedaan-perbedaan setiap individu.

Selama ini masih sangat jarang hal- hal seperti ini diperhatikan. Kebanyakan guru/

pendidik masih melihat kemampuan anak didiknya dari satu sudut pandang saja.

Pembelajaran bahasa Indonesia meliputi beberapa keterampilan berbahasa

(menyimak, membaca, menulis, dan berbicara). Berbicara merupakan salah satu

keterampilan berbahasa yang sangat penting dan menunjang ilmu-ilmu lainnya. Akan

tetapi, selama ini masih memiliki porsi perhatian yang tidak lebih dibandingkan

keterampilan berbahasa lain (menyimak, membaca, dan menulis).

Keterampilan berbicara siswa tidak datang dengan sendirinya, tetapi harus

terus dibina dan dikembangkan agar keterampilam berbicara yang dimiliki dapat

bersifat komunikatif dan menarik. Hal ini dapat dilaksanakan oleh guru secara aktif

(18)

teratur dan berkelanjutan. Keahlian guru dalam mengajar juga harus diikuti dengan

penggunaan strategi yang baik agar pembelajaran dapat berhasil. Hal tersebut sejalan

dengan pendapat Stephens, dkk, ( 2000:552) berikut:

However, Betsy and Eleanor started to teach the children about strategies

as well as skills and simultaneously to pay attention to not only what they wanted the

students to learn but also to what the children were learning and to how the children

were learning.

Pernyataan tersebut menegaskan jika guru menghendaki pembelajaran yang

baik, guru harus memahami metode dalam pembelajaran. Sebagaimana Kusumojanto

dan Herawati (2009:93) menjelaskan bahwa salah satu model pembelajaran

kooperatif yang dapat membantu meningkatkan kemampuan siswa dalam proses

belajar adalah Numbered Head Together (NHT), yaitu suatu pendekatan

pembelajaran yang lebih memungkinkan siswa untuk aktif dan bertanggung jawab

penuh untuk memahami materi pelajaran baik secara berkelompok maupun

individual. Hal itu merupakan salah satu cara agar terbentuk suatu pendidikan yang

berkarakter. Karena dengan model tersebut siswa dituntut untuk lebih aktif dalam

proses pembelajaran sehingga terbentuk karakter pada diri siswa dengan kecakapan

yang dimiliki.

Proses pembelajaran dengan model tersebut diharapkan dapat meningkatkan

kualitas proses belajar, salah satunya di SMP yang akan penulis teliti. Penulis akan

meneliti di SMP Negeri 8 Surakarta yang terdiri dari beberapa kelas, salah satunya

kelas VII A yang dipilih peneliti sebagai subjek penelitian. Alasan pemilihan kelas

tersebut karena memiliki keterampilan berbicara yang tergolong rendah. Hal ini

tampak dari unjuk kerja berbicara, yakni menceritakan tokoh idola yang dilakukan

siswa kelas VII A SMP Negeri 8 Surakarta. Pada umumnya hanya siswa-siswa

(19)

mencapai nilai ketuntasan minimal. Siswa masih terlihat tidak percaya diri, sulit

merangkai kalimat, masih terbata- bata dalam menceritakan tokoh idola.

Berdasarkan observasi yang dilakukan oleh peneliti, proses pembelajaran

pada materi berbicara memiliki beberapa kendala. Hal ini terjadi karena siswa

terkadang sulit diajak aktif. Guru masih belum dapat memberikan porsi yang sama

pada siswa untuk melakukan praktik berbicara secara berkelanjutan. Hanya siswa-

siswa tertentu saja yang aktif dalam proses pembelajaran. Hal ini menyebabkan para

siswa kurang antusias dalam menerima pelajaran. Indikator lain yang menunjukkan

keterampilan berbicara masih rendah adalah sebagian besar siswa masih belum

berani untuk tampil tanpa ditunjuk guru, kelancaran berbicara masih tersendat,

penggunaan bahasanya masih kurang baik dan benar serta jumlah kosa kata yang

masih terbatas.

Berdasarkan wawancara, beberapa siswa mengatakan masih kurang percaya

diri saat praktik berbicara di muka kelas dan kesulitan untuk merangkai kata-kata

yang tepat. Frekuensi latihan berbicara juga kurang. Masalah atau topik yang

dibicarakan kurang relevan dengan kehidupan sehari-hari. Faktor- faktor tersebut

mengakibatkan siswa kurang terampil berbicara dan menjadikannya kurang berpikir

kritis. Hal ini teridentifikasi dari deskripsi nilai unjuk kerja berbicara, yakni

menceritakan tokoh idola. Berdasarkan jumlah keseluruhan siswa sebanyak 32 anak,

ada 31 (97%) siswa masih belum tuntas, masih memperoleh nilai kurang dari 75.

Ada 10 (31%) siswa mendapatkan nilai 65, 15 (47%) siswa memperoleh nilai 60,1

(3,1%) siswa mendapat nilai 55, 5 (16%) siswa yang mendapat nilai 50 dan 1 (3,1%)

siswa mendapat nilai 75. Siswa yang tuntas dalam pembelajaran berbicara pada

survei awal ini ada 1 (3,1%) siswa. Dengan demikian, nilai terendah pada

pembelajaran berbicara pratindakan ini adalah 50 sebanyak 5 (16%) siswa. Nilai

(20)

siswa. Rata-rata nilai berbicara pada pembelajaran pratindakan ini adalah 58, dengan

persentase ketuntasan adalah (3,1%).

Kemampuan berbicara merupakan keterampilan penting yang harus dimiliki

oleh siswa untuk melatih berpikir kritis dan dapat menyajikan suatu pendapat,

pikiran, atau perasaan kepada seseorang atau suatu kelompok massa. Seseorang yang

mahir berbicara akan dengan mudah dapat menguasai massa dan secara tidak

langsung akan mampu memaparkan gagasannya sehingga dapat mudah diterima oleh

orang lain (Mujiyanto, dkk, 1999:37).

Tanpa penguasaan keterampilan berbicara secara baik, dampak langsung

yang dihadapi siswa adalah rendahnya nilai yang dicapai untuk praktik berbicara.

Selain itu, siswa akan mengalami hambatan pada keterampilan berbicara, yakni

sering mengalami kesulitan saat berbicara. Hal inilah yang merupakan salah satu

faktor siswa kurang mampu mengungkapkan pendapatnya secara lisan. Dari hasil

wawancara dengan guru bahasa Indonesia diperoleh keterangan bahwa hal itu terjadi

karena mereka tidak terbiasa dan merasa takut ketika harus berbicara di muka umum.

Berdasarkan uraian tersebut perlu diciptakan suatu model pembelajaran

yang dapat meningkatkan keterampilan berbicara, khususnya pada kemampuan

mengungkapkan pikiran, perasaan, informasi, dan pengalaman secara lisan. Susanto

(dalam Kusumojanto dan Herawati, 2009:93) menyatakan bahwa pembelajaran

kooperatif adalah strategi pembelajaran kelompok kecil yang digunakan untuk

meningkatkan kemampuan akademik melalui kolaborasi kelompok, memperbaiki

hubungan antarsiswa yang berbeda latar belakang dan kemampuannya,

mengembangkan keterampilan untuk memecahkan masalah melalui kelompok dan

mendorong proses demokrasi di kelas. Salah satu model pembelajaran kooperatif

adalah Numbered Head Together (NHT) yang dikembangkan oleh Spencer Kagan.

Kusumojanto dan Herawati (2009:94) menyatakan bahwa model

(21)

nomor) adalah pembentukan kelompok dan pemberian nomor pada siswa dalam

kelompok tersebut; (2) Questioning (pengajuan pertanyaan), yaitu guru mengajukan

suatu pertanyaan kepada siswa; (3) Head Together (berpikir bersama), yaitu para

siswa berpikir bersama untuk mendiskusikan jawaban serta meyakinkan bahwa

setiap orang dalam anggotanya mengetahui jawaban pertanyaan tersebut; dan (4)

Answering (pemberian jawaban). Secara tidak langsung dengan metode NHT siswa

dituntut untuk saling berbagi informasi, mendengarkan dengan cermat serta berbicara

sesuai dengan pendapat masing-masing, sehingga siswa dapat lebih aktif dalam

proses pembelajaran.

Dari uraian di atas dan kaitannya dengan penelitian ini adalah perlu

dilakukannya upaya peningkatan keterampilan berbicara siswa kelas VII A SMP

Negeri 8 Surakarta melalui penerapan pembelajaran kooperatif model Numbered

Head Together dalam bentuk penelitian tindakan kelas.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan masalah

sebagai berikut.

1. Apakah model numbered head together dapat meningkatkan kualitas proses

pembelajaran berbicara pada siswa kelas VII A SMP Negeri 8 Surakarta?

2. Apakah model numbered head together dapat meningkatkan keterampilan

berbicara pada siswa kelas VII A SMP Negeri 8 Surakarta?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk

meningkatkan:

1. Kualitas proses pembelajaran berbicara dengan menerapkan model numbered

(22)

2. Keterampilan berbicara dengan menerapkan model numbered head together

pada siswa kelas VII A SMP Negeri 8 Surakarta.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, antara lain:

1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pembelajaran

bahasa yang berkaitan dengan teori keterampilan berbicara, terutama

pembelajaran menceritakan tokoh idola dengan model pembelajaran numbered

head together.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Siswa

1) Keterampilan berbicara siswa dalam pembelajaran bahasa Indonesia,

khususnya keterampilan menceritakan tokoh idola dapat meningkat.

2) Suasana belajar lebih kondusif dan variatif sehingga pembelajaran tidak

monoton dan dapat meningkatkan hasil belajar menceritakan tokoh idola.

3) Siswa termotivasi dalam pembelajaran keterampilan beribicara.

b. Bagi Guru

1) Menjadi model praktik berbicara yang baik bagi siswanya.

2) Wawasan tentang media pembelajaran yang tepat untuk dijadikan model

dalam pembelajaran praktik berbicara bertambah.

3) Solusi terhadap kendala pelaksanaan pembelajaran Bahasa Indonesia,

khususnya terkait dengan keterampilan berbicara siswa dapat teratasi.

4) Wawasan guru tentang penelitian tindakan kelas untuk meningkatkan

ketermapilan berbicara siswa melalui penerapan model numbered head

(23)

c. Bagi Sekolah

1) Terciptanya siswa-siswa yang terampil dalam berbicara.

(24)

BAB II

LANDASAN TEORETIK, PENELITIAN YANG RELEVAN, DAN

KERANGKA BERPIKIR

A. Landasan Teoretik

1. Hakikat Keterampilan Berbicara

a. Pengertian Keterampilan Berbicara

Berkomunikasi merupakan kebutuhan pokok bagi makhluk sosial, yaitu kita

sebagai seorang manusia yang tentunya membutuhkan bahasa sebagai medianya.

Berbicara merupakan salah satu keterampilan yang sangat mendukung kegiatan

komunikasi. Berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau

kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan pikiran,

gagasan, dan perasaan (Mujiyanto, dkk, 1999:38). Dengan berbicara, seseorang

menyampaikan (mengomunikasikan) pesan kepada orang lain.

Hal senada disampaikan oleh Marwoto dan Mujiyanto (1999:1) bahwa

berbicara merupakan salah satu dari catur tunggal aktivitas berbahasa yang bersifat

ekspresif lisaniah, yang mempertemukan pembicara dengan audiens/ penyimak/

pendengar, untuk berbagai maksud dan kepentingan, baik bersifat ilmiah maupun

nonilmiah, baik searah maupun dua arah, baik melibatkan orang lain untuk juga

berbicara maupun tidak. Akhadiah (1992:153) juga berpendapat bahwa berbicara

adalah keterampilan menyampaikan pesan melalui bahasa lisan. Apabila isi pesan

dapat diketahui oleh penerima pesan maka terjadi komunikasi antara pemberi pesan

dan penerima pesan. Komunikasi itu pada akhirnya menimbulkan pengertian atau

pemahaman terhadap isi pesan bagi penerimanya.

Menurut Tarigan (1993:11), komunikasi adalah serangkaian perbuatan

komunikasi yang dipergunakan secara sistematis untuk menyelesaikan atau mencapai

(25)

tujuan utama dari kegiatan berbicara. Dengan berbicara, seseorang akan

menyampaikan (mengomunikasikan) pesan kepada orang lain. Kemampuan

berbicara menuntut pengucapan alat bicara yang baik sesuai dengan aturan ucapan

bunyi bahasa sehingga dapat didengarkan. Ketika kita berbicara dengan jelas maka

informasi yang akan kita sampaikan pun dapat tersampaikan dengan baik.

Sebagaimana para motivator yang biasanya dituntut memiliki keterampilan berbicara

yang lebih agar apa yang disampaikan dapat menggugah pendengarnya. Teknik

berbicara (berkomunikasi) yang menggugah dan mengubah adalah sebuah ilmu atau

keterampilan menyampaikan gagasan serta ide kepada orang lain sehingga

mendorong dan memotivasi orang lain untuk melakukan perubahan (Chalil,

2005:10).

Dari pengertian di atas dapat ditarik simpulan bahwa berbicara merupakan

cara untuk mengomunikasikan gagasan, pikiran, dan perasaan yang disusun serta

dikembangkan sesuai dengan kebutuhan pendengarnya.

b. Tujuan Berbicara

Tujuan utama berbicara adalah komunikasi. Mudini dan Suprijanto

(2009:4-5) menyatakan bahwa seorang pembicara dalam menyampaikan pesan kepada orang

lain pasti mempunyai tujuan, ingin mendapatkan respons atau reaksi. Tujuan atau

harapan pembicara sangat tergantung dari keinginan dan keadaan pembicara. Secara

umum, tujuan berbicara adalah sebagai berikut: (1) mendorong atau menstimulasi;

(2) meyakinkan; (3) menggerakkan; (4) menginformasikan; (5) menghibur.

Lebih lanjut lagi, Keraf (dalam Purnomo 2011:12) menyatakan bahwa

tujuan berbicara dapat dibedakan atas lima macam, yaitu: (1) mendorong,

maksudnya adalah pembicara berusaha memberi semangat; (2) meyakinkan,

maksudnya pembicara akan meyakinkan sikap, mental, intelektual kepada para

pendengar; (3) bertindak, berbuat, menggerakkan, maksudnya pembicara

(26)

menyenangkan atau mengibur, pembicara menyenangkan pendengar. Hal serupa juga

diungkapkan oleh Ochs dan Winkel (dalam Tarigan, 1993:16) bahwa tujuan

berbicara secara umum ada tiga, yaitu: (1) memberitahukan, melaporkan; (2)

menjamu, mengibur; (3) membujuk, mengajak, mendesak, dan meyakinkan.

c. Faktor Penunjang Keefektifan Berbicara

Faktor- faktor yang menentukan keefektifan berbicara, yaitu pembicara,

pendengar, dan pokok pembicaraan. Ketiga faktor ini sangat menentukan berhasil

tidaknya kegiatan berbicara. Menurut Chalil (2005:11) ada tiga macam kemampuan

berbicara, yaitu: (1) Kemampuan berbicara menggugah, berarti merupakan

kemampuan berbicara yang menggugah dan menyentuh hati, sehingga tidak hanya

menjadi konsumsi akal atau logika, tetapi mampu menembus ke relung hati

pendengarnya, menimbulkan kesan yang mendalam dan kekal dalam sanubari

pendengar; (2) Kemampuan berbicara yang mengubah adalah teknik berbicara yang

dapat menimbulkan efek perubahan bagi pendengarnya. Segala yang disampaikan

sanggup memotivasi dan mendorong orang untuk berubah, sehingga pembicaraan

menarik, antusias, dan direspons dengan baik oleh pendengar; dan (3) Berbicara dari

hati, artinya pembicaraan kita keluar dari hati yang tulus untuk menyampaikan

kebenaran.

Sementara menurut Arsjad dan Mukti (1991:17-19), faktor-faktor sebagai

penunjang keefektifan berbicara, yaitu ketepatan ucapan, penempatan tekanan, nada,

sendi, durasi sesuai, pilihan kata, ketepatan sasaran pembicaraan. Selain itu, faktor -

faktor nonkebahasaan yang menunjang keefektifan berbicara, yaitu: sikap wajar,

tenang, dan tidak kaku. Kemahiran berbicara bukan saja menghendaki penguasaan

bahasa yang baik dan lancar, tetapi di samping itu masih memerlukan prasyarat-

prasyarat lain, misalnya: keberanian, ketenangan, sikap di depan orang banyak,

sanggup memberi reaksi dengan cepat dan tepat, sanggup melontarkan gagasan-

(27)

Sementara menurut Nur (dalam Sa‟ bani, 2009: 12) setidaknya ada empat faktor yang harus dimiliki oleh seorang pembicara jika ingin berhasil dalam

berbicara, yaitu: (1) percaya diri; (2) kejelasan suara; (3) ekspresi/ gerak mimik; dan

(4) kelancaran berkomunikasi. Lebih lanjut, Arsjad dan Mukti (1991:87)

menjelaskan bahwa keefektifan berbicara ditunjang oleh dua faktor, yaitu faktor

kebahasaan dan nonkebahasaan. Faktor kebahasaan meliputi (1) ketepatan suara, (2)

penempatan tekanan nada, (3) pilihan kata (diksi), dan (4) ketepatan sasaran

pembicaraan. Adapun faktor nonkebahasaan meliputi (1) mimik, gerak badan, dan

pandangan, (3) penampilan, (4) menghargai pendapat orang lain, (5) kenyaringan

suara, (6) kelancaran, (7) penalaran, dan (8) penguasaan topik.

Menurut Wuryaningsih (2007:9), kemampuan berbicara merupakan

kemampuan yang penting dan tidak boleh diremehkan dalam pengajaran bahasa.

Oleh karena itu, guru maupun siswa harus memiliki keterampilan berbicara yang

memadai. Sehingga dapat tercipta suasana yang menyenangkan dan aktif dalam

proses pembelajaran. Proses pembelajaran berjalan secara dua arah yaitu dari guru

dan siswa. Tujuan yang semestinya dicapai adalah untuk menumbuhkan kemauan

dan kemampuan pribadi agar sanggup berbicara secara lancar dan teratur dengan

menggunakan kosa kata yang tepat sehingga hal yang dibicarakan dapat dimengerti

maksudnya oleh pendengar.

d. Jenis-jenis Berbicara

Bila kita perhatikan berbagai literatur mengenai bahasa dan pengajaran,

maka kita akan menemui berbagai jenis berbicara. Ada diskusi, ada percakapan, ada

pidato menghibur, ada ceramah, ada bertelpon, dan sebagainya. Menurut Subekti

(2011) ada beberapa hal yang bisa dijadikan landasan dalam mengklasifikasikan

berbicara. Landasan tersebut adalah: (1) situasi, (2) tujuan, (3) metode penyampaian,

(28)

dijelaskan landasan beserta dengan penjelasan butir-butir hasil pengklasifikasian

tersebut.

1) Situasi

Aktivitas berbicara yang selalu terjadi atau berlangsung dalam suasana,

situasi, dan lingkungan tertentu. Situasi dan lingkungan itu dapat bersifat formal

atau resmi. Situasi dan lingkungan mungkin pula bersifat informal atau tak

resmi. Setiap situasi menuntut keterampilan berbicara tertentu. Dalam situasi

formal permbicara dituntut berbicara secara formal. Sebaliknya dalam situasi

tidak formal, pembicara harus berbicara secara tidak formal pula.

2) Tujuan

Pada umumnya tujuan orang yang berbicara adalah untuk menghibur,

menginformasikan, menstimulasi, meyakinkan, atau menggerakkan

pendengarnya. Sejalan dengan tujuan pembicara tersebut, menurut Munawaroh (dalam Sa‟ bani, 2009:15) berbicara dapat pula diklasifikasikan menjadi lima jenis, yakni: (1) berbicara menghibur; (2) berbicara menginformasikan; (3)

berbicara menstimulasi; (4) berbicara meyakinkan; (5) berbicara menggerakkan.

3) Metode Penyampaian

Menurut Arsjad dan Mukti U. S (1991: 65), ada empat cara yang bisa

digunakan orang dalam menyampaikan pembicaraannya. Keempat acara yang

dimaksud adalah: (1) penyampaian secara mendadak/ serta-merta (impromptu);

(2) penyampaian berdasarkan catatan kecil (ekstemporan); (3) penyampaian

berdasarkan hafalan; dan (4) penyampaian berdasarkan naskah.

Berbicara mendadak terjadi karena seseorang tanpa direncanakan

sebelumnya harus berbicara di muka umum. Hal ini dapat terjadi karena tuntutan

situasi. Misalnya, karena pembicara yang telah direncanakan berhalangan tampil

maka terpaksa secara mendadak dicarikan penggantinya atau dalam suatu

(29)

pidato perpisahan, dan sebagainya. Dalam situasi seperti ini pembicara harus

menggunakan pengalamannya bagi penyusunan organisasi pembicaraannya.

Sejumlah pembicara menggunakan catatan kecil dalam kartu, biasanya

berupa butir-butir penting sebagai pedoman berbicara. Berlandaskan catatan itu

pembicara bercerita panjang lebar mengenai sesuatu hal. Cara seperti inilah yang

dimaksud dengan berbicara berlandaskan catatan kecil. Cara berbicara seperti itu

dapat berhasil apabila pembicara sudah mempersiapkan dan menguasai isi

pembicaraan secara mendalam sebelum tampil di muka umum.

Pembicara yang dalam taraf belajar mempersiapkan bahan

pembicaraannya dengan cermat dan dituliskan dengan lengkap. Bahan yang

ditulis itu dihafalkan kata demi kata, lalu tampil berbicara berdasarkan hasil

hafalannya. Cara berbicara seperti itu memang banyak kelamahannya.

Pembicara mungkin lupa akan beberapa bagian dari isi pidatonya, perhatiannya

tidak bisa diberikan kepada pendengar, kaku, dan kurang penyesuaian pada

situasi yang ada.

4) Jumlah Penyimak

Komunikasi lisan selalu melibatkan dua pihak, yakni pendengar dan

pembicara. Jumlah peserta yang berfungsi sebagai penyimak dalam komunikasi

lisan dapat bervariasi misalnya satu orang, beberapa orang (kelompok kecil), dan

banyak orang (kelompok besar). Berdasarkan jumlah penyimak itu, menurut

Muniroh (dalam Sa‟bani, 2009: 17) berbicara dapat dibagi atas tiga jenis, yaitu:

(1) berbicara antar pribadi; (2) berbicara dalam kelompok kecil; dan (3)

berbicara dalam kelompok besar.

Berbicara antar pribadi, atau berbicara empat mata, terjadi apabila dua

pribadi membicarakan, mempercakapkan, merundingkan, atau mendiskusikan

(30)

dan bebas. Suasana pembicaraan sangat tergantung kepada masalah yang

dipercakapkan, hubungan antar dua pribadi yang terlibat.

Berbicara dalam kelompok kecil terjadi apabila seorang pembicara

menghadapi sekelompok kecil pendengar, misalnya tiga sampai lima orang.

Pembicara dan pendengar dapat bertukar peran, misalnya, setelah pembicara

selesai berbicara diadakan tanya jawab atau diskusi.

Berbicara dalam kelompok besar terjadi apabila seorang pembicara

menghadapi pendengar berjumlah besar atau massa. Para pendengar dalam

berbicara jenis ketiga ini dapat homogen dan mungkin pula heterogen. Dalam

lingkungan pendidikan, misalnya, para pendengar homogen baik dalam usia

maupun dalam kemampuan.

5) Peristiwa Khusus

Dalam kehidupan sehari-hari, manusia sering manghadapi berbagai

kegiatan. Sebagian dari kegiatan itu dikategorikan sebagai peristiwa khusus,

istimewa, atau spesifik. Contoh kegiatan khusus itu adalah ulang tahun,

perpisahan, perkenalan, pemberian hadiah. Peristiwa itu dapat berlangsung di

semua tempat seperti di rumah, di kantor, di gedung pertemuan dan sebagainya.

Dalam setiap peristiwa khusus tersebut di atas dilakukan upacara tertentu berupa

sambutan atau pidato singkat seperti pidato selamat datang, selamat atas

kesuksesan, selamat jalan, selamat berkenalan dan sebagainya.

Berdasarkan peristiwa khusus itu, berbicara atau pidato dapat

digolongkan dalam enam jenis, yakni: (1) pidato presentasi; (2) pidato

penyambutan; (3) pidato perpisahan; (4) pidato jamuan (makan malam); (5)

pidato perkenalan; dan (6) pidato nominasi (mengunggulkan).

Penjelasan jenis-jenis berbicara di atas dapat dijadikan pertimbangan

pada golongan apa seseorang dapat ditempatkan berdasarkan jenisnya, sehingga

(31)

Misalnya anak-anak lebih cocok ketika pembelajaran berbicara dilakukan

dengan jenis yang mana. Hal tersebut dilakukan agar proses pembelajaran dapat

berjalan dengan baik karena dengan hal tersebut siswa akan merasa terbantu.

Karena keterampilan berbicara siswa berbeda-beda dapat sesuai dengan jenjang

pendidikan ataupun pengalaman. Keterampilan berbicara siswa SD jelas berbada

dengan keterampilan berbicara siswa SMP, keterampilan berbicara siswa SMP

jelas berbeda dengan keterampilan siswa SMA. Sehingga perlu adanya formulasi

khusus yang disesuaikan dengan jenjang pendidikan atau pengalaman siswa

berbicara di muka umum.

2. Hakikat Pembelajaran Berbicara di SMP

a. Pengertian Pembelajaran

Disebutkan (dalam UU No. 20/2003, Bab I Ayat 20) bahwa pembelajaran

adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu

lingkungan belajar. Proses pembelajaran dialami sepanjang hayat oleh seorang

manusia serta dapat berlaku di manapun dan kapanpun. Pembelajaran mempunyai

pengertian yang mirip dengan pengajaran, walaupun mempunyai konotasi yang

berbeda. Dalam konteks pendidikan, guru mengajar supaya peserta didik dapat

belajar dan menguasai isi pelajaran hingga mencapai sesuatu objektif yang

ditentukan (aspek kognitif), juga dapat mempengaruhi perubahan sikap (aspek

afektif), serta keterampilan (aspek psikomotor) seseorang peserta didik. Pengajaran

memberi kesan hanya sebagai pekerjaan satu pihak, yaitu pekerjaan guru saja.

Sedangkan pembelajaran juga menyiratkan adanya interaksi antara guru dengan

peserta didik.

Demikian besar peran guru dalam pembelajaran di sekolah, karena

komunikasi guru dan siswa merupakan praktis dan terikat dalam situasi

pengaruh-memengaruhi serta terarah kepada suatu tujuan pendidikan. Peristiwa tersebut

(32)

perubahan dan pertumbuhan fungsi-fungsi jasmaniah, watak, intelek, emosional,

religi, sosial, moral (Marno dan Idris, 2008:57).

Pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur

manusia, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling memengaruhi

untuk mencapai tujuan (Hamalik, 1995:57). Pembelajaran tidak hanya sekedar

menyampaikan pengetahuan dan membentuk keterampilan saja, namun pembelajaran

harus mampu memotivasi siswa untuk aktif, kreatif, dan inovatif, juga harus

disesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa itu sendiri.

Menurut Suyitno (2004:2) pembelajaran adalah upaya menciptakan iklim

pembelajaran dan pelayanan terhadap kemampuan, potensi, minat, bakat, dan

kebutuhan siswa yang beragam agar terjadi interaksi optimal antara guru dengan

siswa serta antara siswa dengan siswa. Hal ini sejalan dengan penjelasan sebelumnya

bahwa, pembelajaran tidak hanya sekedar menyampaikan pengetahuan. Namun,

bagaimana agar sebuah pembelajaran dapat menumbukan suasana yang hidup dalam

proses belajar.

Istilah pembelajaran sama dengan instruction atau pengajaran. Pengajaran

mempunyai arti cara (perbuatan) mengajar dan mengajarkan (Purwadarminta dalam

Mardliyah, 2011:21). Pengajaran diartikan sebagai perbuatan mengajar yang

dilakukan oleh guru, sehingga dalam hal ini tentu juga ada yang diajar atau belajar,

yaitu siswa. Sejalan dengan pendapat tersebut, Instruction atau pembelajaran adalah

suatu sistem yang bertujuan untuk membantu proses belajar siswa, yang berisi

serangkaian peristiwa yang dirancang, disusun sedemikian rupa untuk mempengaruhi

dan mendukung terjadinya proses belajar siswa yang bersifat internal. Gagne dan

Briggs (dalam Krisna: 2009)

Selain itu, Sagala (2009:164) mengungkapkan bahwa pembelajaran

merupakan proses komunikasi dua arah, mengajar dilakukan oleh pihak guru sebagai

(33)

dan pengetahuan tentang materi-materi pelajaran. Dapat disimpulkan bahwa dalam

pembelajaran tidak dapat lepas dari unsure guru sebagai pendidik dan siswa sebagai

peserta didik.

Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan

anrata pembelajaran dan pengajaran. Pembelajaran merupakan proses yang

menghasilkan perubahan tingkah laku pada siswa sehingga bukan hanya transfer

ilmu pengetahuan dari guru kepada siswa saja melainkan dari proses pembelajaran

tersebut siswa dapat mengalami perubahan tingkah laku yang semakin baik dan

dewasa, sedangkan pengajaran merupakan perpindahan pengetahuan dari guru

kepada siswa.

b. Komponen-komponen Pembelajaran

Proses pembelajaran merupakan suatu kegiatan yang melibatkan beberapa

komponen. Menurut Gino, dkk. (2000:30) komponen tersebut antara lain sebagai

berikut.

1) Siswa

Siswa adalah orang yang berperan sebagai pencari, penerima, dan pelaksana

pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.

2) Guru

Guru merupakan seseorang yang beritindak sebagai pengelola kegiatan

belajar mengajar yang mempunyai tugas utama mendidik, mengajar,

membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta

didik.

3) Tujuan

Tujuan adalah perubahan yang diinginkan terjadi pada siswa setelah

mengikuti kegiatan pembelajaran. Perubahan perilaku tersebut meliputi

(34)

4) Isi pelajaran

Isi pelajaran atau materi pelajaran adalah segala informasi berupa fakta,

prinsip, dan konsep yang diperlukan untuk mencapai tujuan pembelajaran.

5) Metode

Metode merupakan suatu strategi pembelajaran yang dilakukan oleh guru

yang meliputi seluruh kegiatan penyajian bahan pelajaran kepada siswa untuk

mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan.

6) Media

Media merupakan bahan pengajaran yang digunakan untuk menyajikan

informasi kepada siswa

7) Evaluasi

Evaluasi merupakan cara yang digunakan untuk menilai suatu proses dan

hasilnya. Evaluasi dilakukan terhadap seluruh komponen kegiatan belajar

mengajar dan sekaligus memberikan baikan setiap komponen tersebut.

c. Pembelajaran Keterampilan Berbicara di SMP

Pada prinsipnya berbicara merupakan salah satu keterampilan berbahasa

yang sangat penting. Berbicara merupakan salah satu alat komunikasi yang dilakukan

secara langssung, yaitu tidak melalui perantara tulisan. Berbicara sangat penting bagi

pendidikan karena memudahkan para siswa berpikir secara kritis. Berbicara dapat

membantu siswa untuk berani menjelaskan/ mengungkapkan ide-ide, gagasan, dan

pikiran-pikirannya secara lisan. Akan tetapi dalam realitanya masih banyak siswa

yang belum mampu berbicara dengan baik atau menarik sedangkan mereka

sebenarnya memiliki gagasan yang bagus. Oleh karena itu keterampilan berbicara

perlu diajarkan kepada siswa sejak dini karena seperti yang kita ketahui bahwa

perkembangan anak dalam berbicara terjadi secara perlahan-lahan. Dalam tahap ini

anak perlu mendapat bimbingan dalam memahami dan menguasai cara mentransfer

(35)

Anindyarini dan Sri Ningsih (2008: 17) menyebutkan bahwa berbicara

merupakan suatu keterampilan yang perlu diasah terus-menerus. Jika keterampilan

ini dapat dikuasai dan dikembangkan dengan baik, akan menjadi suatu kelebihan

yang dapat dimanfaatkan dikemudian hari.

d. Kriteria Penilaian Pembelajaran Berbicara

Tarigan (1993:26) menyebutkan bahwa ada lima faktor yang mendasari

kegiatan evaluasi berbicara, di antaranya: (1) ketepatan bunyi, seperti bunyi vokal

dan konsonan; (2) pola- pola intonasi, naik turunnya suara, seperti tekanan suku kata

yang memuaskan; (3) ketepatan ucapan pembicara yang mencerminkan bahwa tanpa

referensi internal, pembicara tetap dapat memahami bahasa yang dipergunakan; (4)

susunan yang urut mengenai kata- kata yang diucapkan pembicara; dan (5) sejauh manakah “kewajaran” dan “kelancaran” yang tercermin ketika berbicara.

Banyak kriteria penilaian yang dapat dilakukan guru untuk menilai kegiatan

berbicara siswa. Kriteria penilaian tentunya melihat situasi, kondisi, dan keperluan

guru. Penilaian dapat dilakukan secara mandiri atau kelompok. Jika perlu guru juga

dapat melibatkan siswa sebagai penilai.

Mudini dan Suprijanto (2009:24) berpendapat bahwa ada dua jenis penilaian

yang digunakan dalam pembelajaran berbicara, yaitu penilaian proses dan penilaian

hasil. Penilaian proses dilakukan selama kegiatan pembelajaran berlangsung untuk

menilai sikap siswa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran. Penilaian hasil

dilakukan berdasarkan unjuk kerja yang dilakukan siswa ketika menyajikan

kompetensi berbicara yang dituntut kurikulum atau mempresentasikan secara

individual. Penilaian proses berlangsung dengan menggunakan lembar penilaian

sikap (afektif) yang terdiri dari aspek: (1) keaktifan siswa; (2) minat dan antusiasme;

(3) berani berbicara di depan kelas sedangkan dalam penilain hasil, ada beberapa

aspek yang dinilai, yaitu (1) tekanan; (tata bahasa); (3) kelancaran; (4) pemahaman;

(36)

1) Penilaian Proses Pembelajaran Berbicara

Menurut Sudjana (2010:1) mengungkapkan bahwa penilaian proses belajar

mengajar menyangkut penilaian terhadap kegiatan guru, kegiatan siswa, pola

interaksi guru dengan siswa, serta kererlaksaan program belajar-mengajar. Lebih

lanjut, Sudjana (2010:60) mengungkapkan beberapa kriteria yang bisa digunakan

dalam menilai proses belajar-mengajar, antara lain sebagai berikut.

a. Konsistensi kegiatan belajar mengajar dengan kurikulum

Kurikulum adalah program belajar mengajar yang ditentukan sebagai acuan apa

yang harus dilaksanakan. Acuan tersebut dilakukan secara nyata dalam bentuk

dan aspek-aspek, yaitu: (1) tujuan-tujuan pengajaran; (2) bahan pengajaran yang

diberikan; (3) jenis kegiatan yang dilaksanakan; (4) cara melaksanakan setiap

jenis kegiatan; (5) peralatan yang digunakan; dan (6) penilaian yang digunakan

untuk setiap tujuan.

b. Keterlakasanaannya oleh guru

Keterlaksanaan ini dapat dilihat dalam hal: (1) mengondisikan kegiatan belajar

siswa; (2) menyiapkan alat, sumber, dan perlengkapan belajar; (3) waktu yang

disediakan untuk kegiatan belajar mengajar; (4) memberikan bantuan dan

bimbingan kepada siswa; (5) melaksanaan penilaian proses dan hasil belajar oleh

siswa; dan (6) menggeneralisasikan penilain proses dan hasil belajar mengajar

saat itu dan tindak lanjut untuk kegiatan belajar mengajar berikutnya.

c. Keterlaksanaannya oleh siswa

Keterlaksanaan oleh siswa dapat dilihat dalam hal: (1) memahami dan mengikuti

petunjuk yang diberikan oleh guru; (2) semua siswa turut serta melakukan

kegiatan belajar; (3) tugas-tugas belajar dapat diselesaikan sebagaimana

mestinya; (4) memenfaatkan semua sumber belajar yang disediakan guru; dan

(37)

d. Motivasi belajar siswa

Keberhasilan proses belajar mengajar dapat dilihat dari motivasi belajar yang

ditunjukkan oleh para siswa pada saat melaksanakan kegiatan pembelajaran.

Motivasi siswa dapat dilihat dari; (1) minat dan perhatian siswa terhadap

pelajaran; (2) semangat siswa untuk melakukan tugas-tugas belajarnya; (3)

tanggung jawab siswa dalam mengerjakan tugas-tugasnya; (4) rasa senang dan

puas dalam mengerjakan tugas yang diberikan.

e. Keaktifan para siswa dalam kegiatan belajar

keaktifan siswa dapat diliat dalam hal; (1) turut serta dalam melaksanakan tugas

belajarnya; (2) terlibat dalam masalah; (3) bertanya pada siswa lain atau guru;

(4) berusaha mencari berbagai informasi; (5) melaksanakan diskusi kelompok;

dan (6) menilai kemampuan dirinya dan hasil-hasil yang diperolehnya.

f. Interaksi guru siswa

Interaksi guru dengan siswa, yaitu; (1) tanya jawab antara guru dengan siswa

atau siswa dengan siswa; (2) bantuan yang guru berikan pada siswa ketika

mengalami kesulitan; (3) guru sebagai fasilitator belajar siswa; dan (4)

pemberian umpan balik oleh guru kepada siswa.

g. Kemampuan atau keterampilan guru mengajar

Kemampuan atau keterampilan guru mengajar, yakni; (1) menguasai bahan

materi ajar; (2) terampil berkomunikasi dengan siswa; (3) penguasaan kelas; (4)

penggunaan alat dan sumber belajar; (4) terampil mengajukan pertanyaan

kepada siswa baik lisan maupun tulisan.

h. Kualitas hasil belajar yang dicapai oleh siswa

Dalam hal ini, aspek yang dilihat antara lain; (1) perubahan pengetahuan, sikap,

dan perilaku siswa setelah menyelesaikan pengalaman belajarnya; (2) kualitas

dan kuantitas penguasaan tujuan instruksional oleh para siswa; (3) jumlah yang

(38)

harus dicapai; dan (4) hasil belajar tahan lama diingat dan dapat digunakan

sebagai dasar dalam mempelajari bahan berikutnya.

Melalui delapan kriteria yang telah disebutkan Sudjana di atas, dapat

dikerucutkan penilaian proses belajar yang dialami siswa selama proses

pembelajaran menceritakan tokoh idola. Penilaian tersebut terdiri atas; (1) keaktifan

siswa dalam kegiatan apersepsi; (2) keaktifan memerhatikan penjelasan guru saat

memberikan materi; (3) keaktifan dalam kegiatan diskusi kelompok; (4) Keberanian

siswa dalam mengungkapkan pendapat atau mempertahankan pendapat.

Berdasarkan beberapa hal di atas, dapat dibuat skala penilaian keaktifan siswa

dalam proses pembelajaran menceritakan tokoh idola dan penampilan guru ketika mengajar,

skala tersebut dapat dilihat pada lampiran. Selain itu, menurut Sudjana (2010:77) melalui

kriteria yang digunakan dalam menilai proses belajar-mengajar juga dapat dibuat

skala penilaian guru mengajar, skala tersebut dapat dilihat pada lampiran Tabel 1 dan

Tabel 2.

2) Penilaian Unjuk Kerja Keterampilan Berbicara

Nurgiyantoro (2001:276) mengemukakan bahwa untuk dapat berbicara

dalam suatu bahasa secara baik, pembicara harus menguasai lafal, struktur, dan kosa

kata yang bersangkutan. Di samping itu, diperlukan juga penguasaan masalah dan

atau gagasan yang akan disampaikan, serta kemampuan memahami bahasa lawan

bicara. Dalam situasi yang normal seseorang berbicara dengan motivasi ingin

menyampaikan suatu informasi pada orang lain, atau ingin memberikan reaksi

terhadap beberapa hal yang didengarnya. Kegiatan demikian kejelasan penuturan

tidak semata-mata ditentukan oleh ketepatan bahasa(verbal), melainkan amat dibantu

oleh unsure-unsur nonverbal seperti gerak-gerakan tertentu, ekspresi wajah, nada

suara, dan sebagainya, suatu hal yang tidak ditemui dalam kegiatan menulis.

Banyak cara yang dapat dilakukan guru dalam menilai kegiatan berbicara

(39)

masing-masing. Guru dapat melakukan penilaian secara mandiri, tetapi jika perlu guru juga

dapat melakukan penilain secara kelompok dengan melibatkan siswa sebagai penilai.

Berkaitan dengan komponen lain sebagai alat penilaian dan deskripsi

kefasihan untuk menentukan tingkat kemampuan berbicara siswa, Nurgiyantoro,

(2001: 284) memaparkan komponen tersebut terdiri dari komponen tekanan, tata

bahasa, kosa kata, kefasihan, dan pemahaman. Penilaian tiap komponen tersebut

disusun secara berskala: 1 sampai dengan 6, skor 1 berarti sangat kurang, 2 berarti

kurang, 3 berarti cukup, 4 berarti sangat cukup, 5 berarti baik, sedangkan 6 berarti

sangat baik. Adapun deskripsi kefasihan untuk masing- masing komponen tersebut

adalah sebagai berikut:

1) Tekanan

a) Ucapan sering tidak dapat dipahami.

b) Sering terjadi kesalahan yang menyulitkan pemahaman, menghendaki

untuk selalu diulang.

c) Pengaruh ucapan asing (daerah) yang memaksa orang mendengarkan

dengan teliti, salah ucap yang menyebabkan kesalahpahaman.

d) Pengaruh ucapan asing (daerah) dan kesalahan ucapan tidak

menyebabkan kesalahpahaman.

e) Tidak terjadi salah ucapan yang mencolok, mendekati ucapan standar.

f) Ucapan sudah standard.

2) Tata Bahasa

a) Penggunaan tata bahasa hampir selalu tidak tepat.

b) Adanya kesalahan dalam penggunaan pola- pola atau susunan kata atau

susunan kata pokok dan mengganggu komunikasi.

c) Sering terjadi kesalahan dalam pola atau susunan kata tertentu karena

(40)

d) Kadang-kadang terjadi kesalahan dalam penggunaan pola atau susunan

kata tertentu, tetapi tidak mengganggu komunikasi.

e) Sedikit terjadi kesalahan, tetapi bukan pada penggunaan pola atau

susunan kata.

f) Tidak lebih dari dua kesalahan penggunaan tata bahasa selama

berlangsungnya kegiatan berbicara.

3) Kosa Kata

a) Penggunaan kosa kata tidak tepat dalam berbicara.

b) Penggunaan kosa kata sangat terbatas pada keperluan dasar personal.

c) Pemilihan kosa kata sering tidak tepat dan keterbatasan penguasaannya

dan menghambat kelancaran komunikasi.

d) Penggunaan kosa kata teknis tepat dalam pembicaraan.

e) Penggunaan kosa kata teknis lebih luas dan cermat, sesuai situasi.

f) Penggunaan kosa kata teknis luas dan tepat sekali.

4) Kelancaran

a) Pembicaraan selalu berhenti dan terputus-putus, sehingga menyebebkan

pembicaraannya benar-benar tidak berlangsung.

b) Pembicaraan sangat lambat, ragu-ragu dalam berbicara.

c) Pembicaraan sering tampak ragu, kalimat tidak lengkap.

d) Pembicaraan kadang masih ragu, dan penggunaan kata

kadang-kadang tidak tepat.

e) Pembicaraan lancar dan halus, tetapi sekali-kali masih kurang lancar.

f) Pembicaraan dalam segala hal lancar dan halus.

5) Pemahaman

a) Tidak mampu memahami permasalahan yang disampaikan, sehingga

(41)

b) Sulit berbicara karena kurang memahami permasalahan.

c) Mampu memahami sebagian besar permasalahan dalam kecepatan

kurang normal, dengan banyak pengulangan.

d) Mampu memahami permasalahan yang disampaikan walaupun sering

diulang.

e) Mampu memahami permasalahan yang disampaikan walaupun

kadang-kadang diulang.

f) Mampu memahami permasalahan yang disampaikan tanpa kesulitan.

Pembobotan penilaian keterampilan berbicara sesuai dengan kriteria di

atas, dapat dilihat pada lampiran.

3. Hakikat Model Numbered Head Together (NHT)

a. Pengertian Model Pembelajaran

Dalam proses pembelajaran dikenal beberapa istilah yang mempunyai

kemiripan makna, yaitu pendekatan pembelajaran, metode pembelajaran, strategi

pembelajaran, teknik pembelajaran, dan model pembelajaran.

Model pembelajaran merupakan salah satu bagian dari keseluruhan sistem

belajar yang tidak dapat dipisahkan dari sistem lainnya. Menurut Joyce dalam

Trianto (2007:2) model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang

digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas/

pembelajaran dalam tutorial dan untuk menentukan perangkat-perangkat

pembelajaran termasuk di dalamnya: buku-buku, film, komputer, kurikulum, dan

lain-lain.

Winataputra (dalam Sugiyanto, 2008:7) mengungkapkan bahwa model

pembelajaran merupakan kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang

sistematis dalam mengorganisasikan suatu pengalaman belajar untuk mencapai

(42)

pengajar dalam membuat rencana dan melakukan kegiatan pembelajaran. Model

pembelajaran pada dasarnya merupakan bentuk pembelajaran yang tergambar dari

awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru. Lebih lanjut, Sumantri dan

Johar (2001:37) mengatakan bahwa model pembelajaran adalah kerangka konseptual

yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman

belajar untuk mencapai tujuan tertentu.

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa model

pembelajaran adalah suatu perencanaan yang sistematis yang dapat digunakan

sebagai pedoman pembelajaran dengan mengorganisasikan pengalaman belajar untuk

mencapai tujuan tertentu.

b. Ciri-ciri Model Pembelajaran

Istilah model pembelajaran memiliki makna yang lebih luas dari pada

strategi, metode, atau prosedur. Kardi dan Nur (dalam Jayantio, 2009:10)

menyatakan bahwa model-model pembelajaran mempunyai ciri-ciri khusus, antara

lain: (1) rasional teoretik logis yang disusun oleh para pengembangnya; (2) landasan

pemikiran tentang apa dan bagaimana siswa belajar dalam mencapai tujuan

pembelajaran; (3) tingkah laku mengajar yang diperlukan agar model tersebut dapat

diterapkan dengan sukses; (4) lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan

pembelajaran dapat tercapai. Ciri-ciri tersebut dapat membedakan model

pembelajaran dengan istilah-istilah lain yang hampir sama, yaitu metode

pembelajaran, strategi pembelajaran, pendekatan pembelajaran, dan masih masih

banyak yang lainnya.

c. Pengertian Model Numbered Head Together

Model numbered head together merupakan salah satu dari pembelajaran

kooperatif. Kusumojanto dan Herawati (2009:93) menyatakan bahwa pembelajaran

kooperatif atau cooperative learning membuat siswa yang bekerja dalam kelompok

(43)

Hal ini terjadi karena salah satu ciri pembelajaran kooperatif adalah setiap anak

dihargai kemampuannya. Pembelajaran kooperatif juga merupakan strategi

pembelajaran yang mengutamakan adanya kerjasama antar siswa dalam kelompok

untuk mencapai tujuan belajar. Tujuan dibentuknya kelompok kooperatif adalah

untuk memberikan kesempatan kepada siswa agar dapat terlibat secara aktif dalam

proses berpikir dan dalam kegiatan belajar. Dalam hal ini sebagian besar aktifitas

pembelajaran berpusat pada siswa, yakni memperlajari materi pelajaran serta

berdiskusi untuk memecahkan masalah.

Lie (2004:30) mengemukakan bahwa ciri atau unsur model pembelajaran

kooperatif terdiri dari lima, yaitu: (1) saling ketergantungan, (2) tanggung jawab

perseorangan, (3) tatap muka, (4) komunikasi antaranggota, dan (5) evaluasi proses

kelompok. Selain itu, menurut Lie (2002:59), model pembelajaran numbered head

together memberikan kesempatan kepada siswa untuk saling membagikan ide dan

mempertimbangkan jawaban yang paling tepat dan mendorong siswa untuk

meningkatkan semangat kerja sama.

Selain ciri-ciri di atas, Solihatin dan Raharjo (2008:9) mengemukakan

bahwa model pembelajaran kooperatif memiliki ciri-ciri: (1) untuk menuntaskan

materi belajarnya, siswa belajar dalam kelompok secara kooperatif, (2) kelompok

dibentuk dari siswa-siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang, dan rendah, (3)

jika dalam kelas terdapat siswa yang terdiri dari beberapa ras, suku, budaya, jenis

kelamin yang berbeda, maka diupayakan agar dalam tiap kelompok terdiri dari ras,

suku, budaya, jenis kelamin yang berbeda pula, dan (4) penghargaan lebih

diutamakan pada kerja kelompok dari pada perorangan.

Pembelajaran ini dikembangkan untuk mencapai tiga tujuan yaitu: (1) hasil

belajar akademik, (2) penerimaan tentang keragaman dan (3) pengembangan

keterampilan. Pembelajaran NHT mengutamakan kerja kelompok dari pada

(44)

banyak kesempatan untuk menyalurkan informasi dan meningkatkan keterampilan

berkomunikasi (Lie, 2004).

Model Pembelajaran numbered head together merupakan salah satu tipe

pembelajaran kooperatif yang menekankan pada struktur khusus yang dirancang

untuk mempengaruhi pola interaksi siswa dan memiliki tujuan untuk meningkatkan

penguasaan akademik. Tipe ini dikembangkan oleh Kagan dengan melibatkan para

siswa dalam menelaah bahan yang tercakup dalam suatu pelajaran dan mengecek

pemahaman mereka terhadap isi pelajaran tersebut, Herdian (dalam Sahrudin,

2011:432)

Tipe pembelajaran kooperatif yang dikemukakan oleh beberapa ahli, antara

lain Slavin (1985), Lazarowitz (1988) atau Sharan (1990) (dalam Widdiharto,

2004:16), salah satunya adalah pembelajaran model NHT yang dikembangkan oleh

Kagan (1993). Pada umumnya, NHT digunakan untuk melibatkan siswa dalam

penguatan pemahaman pembelajaran atau mengecek pemahaman siswa terhadap

materi pembelajaran. Model NHT merupakan tipe pembelajaran kooperatif yang

terdiri atas empat tahap yang digunakan untukmerivew fakta-fakta dan informasi

dasar yang berfungsi untuk mengatur interaksi siswa.

Model pembelajaran numbered head together dapat disimpulkan sebagai

suatu cara penyajian pelajaran dengan melakukan percobaan, mengalami dan

membuktikan sendiri sesuatu permasalahan yang dipelajari. Dengan model numbered

head together siswa diberi kesempatan untuk mengalami sendiri atau melakukan

sendiri, mengikuti suatu proses, mengamati suatu objek, menganalis, membuktikan

dan menarik kesimpulan sendiri tentang suatu objek dan keadaan suatu proses

pembelajaran mata pelajaran tertentu.

d. Kelebihan dan Kekurangan Model Numbered Head Together (NHT)

Hill (1993) (dalam Triyana, 2008) menjelaskan bahwa model NHT

(45)

meningkatkan prestasi belajar siswa, (3) mampu memperdalam pemahaman siswa,

(4) menyenangkan siswa dalam belajar, (5) mengembangkan sikap positif siswa, (6)

mengembangkan sikap kepemimpinan siswa, (7) mengembangkan rasa ingin tahu

siswa, (8) meningkatkan rasa percaya diri siswa, (9) mengembangkan rasa saling

memiliki, serta (10) mengembangkan keterampilan untuk masa depan. Kelebihan

lainnya, yaitu: (1) siswa lebih antusias dalam belajar, (2) siswa lebih kreatif, dan (3)

melatih siswa untuk saling bekerjasama.

Kekurangan model pembelajaran NHT di antaranya, yaitu: (1) perlu

persiapan yang matang, (2) pembelajaran membutuhkan waktu yang lama, (3)

pengolahan kelas susah dikondisikan, (4) membutuhkan biaya yang cukup besar.

Menurut Lundgren (dalam Ibrahim, 2007), kelebihan pada model NHT,

antara lain : (1) rasa harga diri menjadi lebih tinggi, (2) memperbaiki kehadiran, (3)

penerimaan terhadap individu menjadi lebih besar, (4) perilaku mengganggu menjadi

lebih kecil, (5) konflik antara pribadi berkurang, (6) pemahaman menjadi lebih

mendalam, (7) meningkatkan kebaikan budi, kepekaan dan toleransi, (8) hasil belajar

lebih tinggi. Banyaknya kelebihan yang dimiliki model NHT dapat penulis

simpulkan garis besar kelebihan model NHT, yaitu: (1) semua siswa menjadi siap

untuk mengikuti pembelajaran, (2) dapat melakukan diskusi dengan

sungguh-sungguh, (3) siswa yang pandai dapat mengajari siswa yang kurang pandai. Selain

kelebihan model NHT juga memiliki beberapa kelemahan seperti yang telah

dipaparkan di atas, dapat penulis simpulkan, antara lain: (1) kemungkinan nomor

yang dipanggil, dipanggil lagi oleh guru, (2) tidak semua anggota kelompok

dipanggil oleh guru dalam satu kali waktu pertemuan pembelajaran, (3) kendala

teknis, misalnya masalah tempat duduk kadang sulit atau kurang mendukung diatur

kegiatan kelompok.

Selanjutnya, siswa yang hasil belajarnya rendah, menurut Lundgren (dalam

(46)

diri siswa, memperbaiki tingkat kehadirannya dalam proses belajar mengajar, lebih

mudah menerima orang lain, mengurangi perilaku yang mengganggu, mengurangi

konflik antar pribadi, meningkatkan budi pekerti, kepekaan sosial dan toleransi,

memperoleh pemahaman yang lebih mendalam, serta hasil belajar lebih baik

e. Pengelolaan Kelas dengan Model Numbered Head Together

Menurut Suyatno (dalam Sahrudin, 2011:432), langkah-langkah

pembelajaran Numbered Head Together, yaitu : (1) mengarahkan; (2) membuat

kelompok heterogen dan tiap siswa memiliki nomor tertentu; (3) memberikan

persoalan materi bahan ajar (untuk tiap kelompok sama tapi, tiap siswa dengan

nomor sama mendapat tugas yang sama) kemudian bekerja kelompok; (4)

mempresentasikan hasil kerja kelompok dengan nomor siswa yang sama sesuai tugas

masing-masing sehingga terjadi diskusi kelas; (5) mengadakan kuis individual dan

membuat skor perkembangan tiap siswa; dan (6) mengumumkan hasil kuis dan

memberikan reward.

Menurut Arends (dalam Wiyanti, 2008: 12), langkah-langkah yang dapat

dilakukan guru dalam pelaksanaan pembelajaran Numbered Head Together adalah

sebagai berikut:

1) Penomoran (Numbering)

Guru membagi siswa dalam kelompok-kelompok dengan 3 sampai 5 anggota

dan memberi mereka nomor sehingga masing-masing siswa dalam kelompok

memiliki nomor yang berbeda 1 sampai 5.

2) Memberi Pertanyaan (Questioning)

Guru mengajukan pertanyaan pada siswa. Pertanyaan ini dapat bervariasi dalam

bentuk pertanyaan yang spesifik ataupun dalam bentuk pernyataan.

3) Berpikir Bersama (Heads Together)

Siswa berpikir bersama-sama dalam kelompok untuk menemukan jawabannya

(47)

4) Menjawab Pertanyaan (Answering)

Guru menyebutkan nomor tertentu dan siswa dari setiap kelompok yang

memiliki nomor tersebut mengangkat tangannya dan memberikan jawaban pada

seluruh anggota kelas.

Pembelajaran dengan model numbered head together dapat memotivasi

siswa agar lebih aktif dan berusaha untuk memahami materi yang di berikan oleh

guru. Hal ini dapat dilakukan dengan cara guru memberikan pertanyaan pada siswa

secara acak. Hal tersebut mengharuskan setiap siswa paham dengan materi yang

sudah diajarkan.

Harapannya dengan model pembelajaran NHT dapat tercipta suasana

koordinasi agar siswa saling mendengarkan, saling berbagi, dan saling memberi dan

menerima, sehingga melatih mereka untuk mempertanggungjawabkan hasil

belajarnya. Secara tidak langsung model ini melatih siswa untuk saling berbagi

informasi, mendengarkan dengan cermat dengan penuh perhitungan, sehingga siswa

lebih produktif dalam pembelajaran.

B. Penelitian yang Relevan

Beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini, antara lain: (1)

Saputri (2007), dalam penelitiannya yang berjudul “Eksperimentasi Pembelajaran

Kooperatif Melalui Pendekatan Struktural “Numbered Heads Together” Ditinjau dari

Aktivitas Belajar Siswa (Penelitian dilakukan terhadap siswa kelas VIII semester 1

SMP N 1 Sumpiuh, Kabupaten Banyumas Subpokok Bahasan Fungsi), Dalam

penelitian ini dikemukakan bahwa model pembelajaran NHT dapat meningkatkan

prestasi belajar siswa, khususnya prestasi belajar matematika.

Penelitian di atas memiliki relevansi pada model pembelajaran yang

digunakan walaupun objeknyanya berbeda, dengan model NHT prestasi belajar

siswa dapat meningkat dan berpengaruh positif pada proses pembelajaran siswa.

(48)

prestasi belajar siswa. (2) Wardhani (2009), dalam penelitiannya yang berjudul “Upaya Meningkatkan Keterampilan Berbicara Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah pada Siswa Kelas V SD Negeri Watuagung 2 Wonogiri”, mengemukakan bahwa pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan keterampilan berbicara

siswa, khususnya pada pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Dari uraian

tersebut dapat disimpulkan bahwa keterampilan berbicara siswa dapat meningkat

dengan menggunakan metode tertentu.

Penelitian di atas memiliki relevansi objek kajian yang sama meskipun

penggunaan metodenya berbeda. Melalui model-model yang bervariasi menjadikan

guru lebih kreatif dalam pelaksanaan pembelajaran dan menjadikan siswa semangat

dan termotivasi dalam mengikuti pelajaran.

C. Kerangka Berpikir

Kondisi awal siswa kelas VII SMP Negeri 8 Surakarta dalam pembelajaran

cenderung pasif dan kurang berminat mengikuti pelajaran bahasa Indonesia,

keterampilan berbicara tergolong rendah. Hal ini karena guru lebih banyak berfungsi

sebagai instruktur yang sangat aktif dan siswa sebagai penerima pengetahuan yang

pasif. Pembelajaran lebih banyak ceramah, mempraktikkan perintah guru tanpa ada

instruksi yang jelas dan pemberian contoh oleh guru yang tidak sesuai dengan

pengalaman siswa sendiri dalam kehidupan nyata sehingga pembelajaran kurang

bermakna yang mengakibatkan motivasi belajar siswa rendah. Hanya siswa – siswa

tertentu saja yang aktif dalam pembelajaran.

Model pembelajaran NHT diharapkan dapat meningkatkan motivasi belajar

siswa agar pembelajaran bahasa Indonesia lebih bisa dinikmati dan diterima dengan

baik oleh siswa dengan penuh semangat. Pembelajaran NHT merupakan jenis

pembelajaran kooperatif yang dirancang untuk mempengarui pola interaksi siswa dan

Gambar

Tabel                                                                                                          Halaman
Gambar                                                                                                                   Halaman
Gambar 1 berikut ini.
Gambar 1. Kerangka Berpikir Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Peneliti menyimpulkan dari hasil wawancara dengan informan, dampak yang langsung dapat dirasakan oleh l a’Dives Photo and Design adalah para konsumen yang telah merasa puas

Untuk konstruksi yang berhubungan dengan cuaca (atap)... Tabel 2.3 Perhitungan Momen

Compressed earth block walls with a wall thickness of half brick and concrete fiber layer on the outside and inside is suitable for buildings in hot climates. Wall

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh 1) faktor sosial-budaya, 2) faktor pribadi, 3) faktor psikologis secara parsial dan simultan mempengaruhi minat beli

Dari hasil pemeriksaan brusellosis menggunakan RBT, CFT dan I-ELISA terhadap 173 contoh serum sapi potong dan 62 contoh serum kambing potong yang berasal dari Jawa Timur, Jawa

Dari penelitian ini sistem informasi pariwisata diharapkan dapat membantu meningkatkan kinerja dinas pariwisata kabupaten banyumas dalam pengelolaan dan

Melakukan pengumpulan data, baik data yang diperoleh dari wawancara dengan warga Purbalingga dan sebagian pengunjung maupun dari buku – buku tentang perancangan, brand,

Kinerja karyawan sudah sesuai dengan standar kuantitas yang ditetapkan perusahaan.. 3