commit to user
MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERBICARA
SISWA KELAS VII A SMP NEGERI 8 SURAKARTA
SKRIPSI
Oleh:
DISKA MEGA VITA DAMAYANTI
K1208005
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta
Persetujuan Pembimbing:
Pembimbing I, Pembimbing II,
Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M. Pd. Drs. Edy Suryanto, M. Pd.
Diska Mega Vita Damayanti. K1208005. PENERAPAN MODEL
NUMBERED HEAD TOGETHER UNTUK MENINGKATKAN
KETERAMPILAN BERBICARA SISWA KELAS VII A SMP NEGERI 8 SURAKARTA. Skripsi. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret, Juli 2012.
Tujuan penelitian ini untuk meningkatkan: (1) kualitas proses pembelajaran berbicara dengan menerapkan model numbered head together pada siswa kelas VII A SMP Negeri 8 Surakarta dan (2) keterampilan berbicara dengan menerapkan model numbered head together pada siswa kelas VII A SMP Negeri 8 Surakarta.
Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang dilakukan di SMP Negeri 8 Surakarta. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VII A dan guru bahasa Indonesia kelas VII A SMP Negeri 8 Surakarta. Siswa kelas VII A berjumlah 32 orang yang terdiri atas 18 siswa perempuan dan 14 siswa laki-laki. Objek penelitian ini adalah pembelajaran menceritakan tokoh idola di kelas VII A SMP Negeri 8 Surakarta. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara mendalam, dan analisis dokumen. Validitas data dalam penelitian ini dikaji dengan teknik triangulasi sumber data dan triangulasi metode. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis deskripsi komparatif dan analisis interaktif. Proses penelitian dilaksanakan dalam dua siklus yang meliputi empat tahapan, yaitu: tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, tahap observasi, dan serta tahap analisis dan refleksi.
commit to user MOTTO
“Barang siapa merindukan surga maka ia akan bersegera dalam melaksanakan kebaikan, barang siapa takut akan siksa neraka maka ia akan berhenti dari
mengikuti hawa nafsunya, barang siapa meyakini datangnya kematian maka ia
tidak akan terlena dengan kesenangan duniawi, barang siapa mengetahui bahwa
dunia adalah negeri cobaan, maka semua musibah yang menimpanya akan terasa ringan” (Ali Bin Abi Thalib)
“Sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari satu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain”
(Q. S. Al Insyiraah: 6-7).
PERSEMBAHAN
Karya ini kupersembahkan kepada:
1. Ibu dan Bapakku tercinta, atas doa dan kasih sayangnya;
2. Adik-adikku tersayang Kukuh Muhammad dan Ar Rofiki
Muhammad Faizal;
3. Murobbiku yang terhormat;
4. Anggalia, Nisa, Nia, MU, Ana, Mba Endah, Agnes, Ilham dan
teman-tamanku Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2008,
serta teman-teman Pesmi Ar-Royyan, yang selalu memberikan
semangat;
5. Adik-adik AAI yang tersayang; dan
6. Adik-adikku Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia 2009 dan
2010 yang selalu memberikan semangat. Terima kasih untuk
commit to user KATA PENGANTAR
Segala puji kehadirat Allah SWT, penulis panjatkan atas segala rahmat dan
hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam
semoga senantiasa tercurahlimpahkan kepada Rasulullan SAW.
Skripsi ini disusun guna memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar
Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Sebelas Maret.
Tersusunnya skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh
karena itu, pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd., selaku Dekan FKIP UNS yang
telah memberikan persetujuan pengesahan skripsi ini;
2. Dr. M. Rohmadi, M. Hum., Ketua Jurusan PBS yang telah memberikan
izin untuk penulisan skripsi ini;
3. Dr. Kundharu Saddhono, M. Hum., Ketua Program Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Sebelas Maret Surakarta yang memberikan persetujuan juga dalam skripsi
ini;
4. Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M. Pd., selaku pembimbing I yang telah
memberikan bimbingan, arahan, dan motivasi kepada peneliti sehingga
skripsi ini dapat diselesaiakan dengan lancar;
5. Drs. Edy Suryanto, M. Pd., selaku pembimbing II yang dengan sabar
membimbing peneliti serta memberikan dorongan dan selalu meluangkan
waktu bagi peneliti sehingga menjadikan peneliti semangat
menyelesaiakan skripsi;
6. Bapak dan Ibu dosen FKIP, khususnya Program Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia yang selama ini secara tulus dan ikhlas telah memberikan
Surakarta yang telah memberikan izin kepada peneliti untuk melaksanakan
PTK di SMP Negeri 8 Surakarta;
8. Bapak Sujino, B. A, selaku guru Bahasa Indonesia kelas VII A SMP
Negeri 8 Surakarta yang telah banyak membantu dan berpartisipasi aktif
dalam proses penelitian ini;
9. Siswa-siswa kelas VII A SMP Negeri 8 Surakarta yang telah
berpartisipasi aktif sebagai subjek penelitian dan membantu pelaksanaan
penelitian ini;
10.Bapak, Ibu, dam Adik-adikku yang telah memberikan doa restu dan
motivasi dalam proses penelitian ini; dan
11.semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah
membantu peneliti dalam menyusun skripsi ini.
Peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan, maka dari
itu penulis mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun demi
kesempurnaan skripsi ini di masa yang akan datang.
Surakarta, Juli 2012
commit to user
BAB II LANDASAN TEORETIK, KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS A. Landasan Teoretik ………... 8
1. Hakikat Keterampilan Berbicara ... 8
a. Pengertian Keterampilan Berbicara ……… 8
b. Tujuan Berbicara ……… 9
c. Faktor Penunjang Keefektifan Berbicara ………... 10
d. Jenis-jenis Berbicara ………... 11
2. Hakikat Pembelajaran Berbicara di SMP ………. 15
c. Pembelajaran Keterampilan Berbicara di SMP ……….. 18
d. Kriteria Penilaian Pembelajaran Berbicara ………. 19
3. Hakikat Model Numbered Head Together (NHT) ... 25
a. Pengertian Model Pembelajaran ………. 25
b. Ciri-ciri Model Pembelajaran ………. 26
c. Pengertian Model Numbered Head Together (NHT) …………. 26
d. Kelebihan dan Kekurangan Numbered Head Together (NHT)... 28
e. Pengelolaan Kelasa dengan Model Numbered Head Together... 30
B. Penelitian yang Relevan... 31
C. Kerangka Berpikir ... 32
D. Hipotesis Tindakan ... 34
BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 35
B. Subjek Penelitian ... 36
C. Pendekatan Penelitian ... 36
D. Teknik Pengumpulan Data ... 37
E. Uji Validitas ... 38
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN A. Simpulan ………. 91
commit to user
DAFTAR PUSTAKA ……… 96
Tabel Halaman
1. Rincian Waktu dan Kegiatan Penelitian……… 35
2. Indikator Keberhasilan Penelitian……….. 40
3. Perbandingan Nilai Pembelajaran Berbicara pada Siklus I…………... 61
4. Perbandingan Nilai Pembelajaran Berbicara pada Siklus II…………. 75
commit to user
Gambar Halaman
1. Bagan Kerangka Berpikir………. 33
2. Siswa Tampak Kurang Berminat dalam Mengikuti Pembelajaran Menceritakan
Tokoh Idola……….. 48
3. Salah Satu Kelompok sedang Berdiskusi dan Bekerjasama Menyelesaikan
Tugas………. 54
4. Siswa Masih Terlihat Belum Lancar dalam Menceritakan Tokoh Idola……….. 56
5. Guru Memantau Diskusi Siswa dan Memberikan Bimbingan Kepada Siswa
yang Kesulitan………... 56
6. Siswa Tampak Kurang Bersemangat dan Kurang Antusias Ketika Mendengarkan Penjelasan Guru……… 58 7. Grafik Perbandingan Nilai Pembelajaran Berbicara Siswa………... 62
Lampiran Halaman
1. Perangkat Pembelajaran Berbicara……….. 94
2. Instrumen Penelitian Tindakan………. 95
3. Catatan Lapangan Hasil Observasi Survei Awal………. 107
4. Catatan Lapangan Hasil Wawancara……… 111
5. Nilai Praktik Berbicara Siswa pada Survei Awal………... 118
6. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Siklus I………... 119
7. Daftar Presensi dan Kelompok Siswa……….. 136
8. Catatan Lapangan Hasil Observasi Siklus I………... 138
9. Catatan Lapangan Hasil Wawancara……… 144
10. Lembar Observasi Siswa dalam Pembelajaran Praktik Berbicara Siklus I…….. 150
11. Daftar Nilai Praktik Berbicara Siswa Siklus I………. 153
12. Lembar Observasi Kinerja Guru Saat Mengajar……….. 155
13. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Siklus II……….. 159
14. Daftar Presensi dan Kelompok Siswa……….. 167
15. Catatan Lapangan Hasil Observasi Siklus II……….... 169
16. Lembar Observasi Siswa dalam Pembelajaran Praktik Berbicara Siklus II…….. 176
17. Daftar Nilai Praktik Berbicara Siswa Siklus II………. 179
18. Lembar Observasi Kinerja Guru Saat Mengajar……….. 181
19. Lembar Tugas Praktik Berbicara Siswa……… 185
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Model pembelajaran yang digunakan seorang guru cukup berpengaruh pada
proses pembelajaran anak didik. Ketika seorang guru salah ataupun tidak tepat dalam
merancang dan menerapkan model pembelajaran maka mengakibatkan terhambatnya
proses pembelajaran. Pentingnya model pembelajaran mengharuskan seorang guru
membuat ataupun merancang metode pembelajaran sebelum melakukan aktivitas
pembelajaran.
Pembelajaran pada dasarnya merupakan upaya untuk mengarahkan siswa ke
dalam proses belajar sehingga mereka dapat memperoleh tujuan belajar sesuai
dengan yang diharapkan. Pembelajaran seharusnya memperhatikan kondisi individu
siswa karena mereka yang belajar. Selain itu, telah kita ketahui bahwa setiap siswa
memiliki kemampuan yang berbeda- beda. Masing- masing siswa memiliki keunikan
yang berbeda antara siswa yang satu dengan siswa yang lainnya. Oleh karena itu,
pembelajaran hendaknya memperhatikan perbedaan-perbedaan setiap individu.
Selama ini masih sangat jarang hal- hal seperti ini diperhatikan. Kebanyakan guru/
pendidik masih melihat kemampuan anak didiknya dari satu sudut pandang saja.
Pembelajaran bahasa Indonesia meliputi beberapa keterampilan berbahasa
(menyimak, membaca, menulis, dan berbicara). Berbicara merupakan salah satu
keterampilan berbahasa yang sangat penting dan menunjang ilmu-ilmu lainnya. Akan
tetapi, selama ini masih memiliki porsi perhatian yang tidak lebih dibandingkan
keterampilan berbahasa lain (menyimak, membaca, dan menulis).
Keterampilan berbicara siswa tidak datang dengan sendirinya, tetapi harus
terus dibina dan dikembangkan agar keterampilam berbicara yang dimiliki dapat
bersifat komunikatif dan menarik. Hal ini dapat dilaksanakan oleh guru secara aktif
teratur dan berkelanjutan. Keahlian guru dalam mengajar juga harus diikuti dengan
penggunaan strategi yang baik agar pembelajaran dapat berhasil. Hal tersebut sejalan
dengan pendapat Stephens, dkk, ( 2000:552) berikut:
However, Betsy and Eleanor started to teach the children about strategies
as well as skills and simultaneously to pay attention to not only what they wanted the
students to learn but also to what the children were learning and to how the children
were learning.
Pernyataan tersebut menegaskan jika guru menghendaki pembelajaran yang
baik, guru harus memahami metode dalam pembelajaran. Sebagaimana Kusumojanto
dan Herawati (2009:93) menjelaskan bahwa salah satu model pembelajaran
kooperatif yang dapat membantu meningkatkan kemampuan siswa dalam proses
belajar adalah Numbered Head Together (NHT), yaitu suatu pendekatan
pembelajaran yang lebih memungkinkan siswa untuk aktif dan bertanggung jawab
penuh untuk memahami materi pelajaran baik secara berkelompok maupun
individual. Hal itu merupakan salah satu cara agar terbentuk suatu pendidikan yang
berkarakter. Karena dengan model tersebut siswa dituntut untuk lebih aktif dalam
proses pembelajaran sehingga terbentuk karakter pada diri siswa dengan kecakapan
yang dimiliki.
Proses pembelajaran dengan model tersebut diharapkan dapat meningkatkan
kualitas proses belajar, salah satunya di SMP yang akan penulis teliti. Penulis akan
meneliti di SMP Negeri 8 Surakarta yang terdiri dari beberapa kelas, salah satunya
kelas VII A yang dipilih peneliti sebagai subjek penelitian. Alasan pemilihan kelas
tersebut karena memiliki keterampilan berbicara yang tergolong rendah. Hal ini
tampak dari unjuk kerja berbicara, yakni menceritakan tokoh idola yang dilakukan
siswa kelas VII A SMP Negeri 8 Surakarta. Pada umumnya hanya siswa-siswa
mencapai nilai ketuntasan minimal. Siswa masih terlihat tidak percaya diri, sulit
merangkai kalimat, masih terbata- bata dalam menceritakan tokoh idola.
Berdasarkan observasi yang dilakukan oleh peneliti, proses pembelajaran
pada materi berbicara memiliki beberapa kendala. Hal ini terjadi karena siswa
terkadang sulit diajak aktif. Guru masih belum dapat memberikan porsi yang sama
pada siswa untuk melakukan praktik berbicara secara berkelanjutan. Hanya siswa-
siswa tertentu saja yang aktif dalam proses pembelajaran. Hal ini menyebabkan para
siswa kurang antusias dalam menerima pelajaran. Indikator lain yang menunjukkan
keterampilan berbicara masih rendah adalah sebagian besar siswa masih belum
berani untuk tampil tanpa ditunjuk guru, kelancaran berbicara masih tersendat,
penggunaan bahasanya masih kurang baik dan benar serta jumlah kosa kata yang
masih terbatas.
Berdasarkan wawancara, beberapa siswa mengatakan masih kurang percaya
diri saat praktik berbicara di muka kelas dan kesulitan untuk merangkai kata-kata
yang tepat. Frekuensi latihan berbicara juga kurang. Masalah atau topik yang
dibicarakan kurang relevan dengan kehidupan sehari-hari. Faktor- faktor tersebut
mengakibatkan siswa kurang terampil berbicara dan menjadikannya kurang berpikir
kritis. Hal ini teridentifikasi dari deskripsi nilai unjuk kerja berbicara, yakni
menceritakan tokoh idola. Berdasarkan jumlah keseluruhan siswa sebanyak 32 anak,
ada 31 (97%) siswa masih belum tuntas, masih memperoleh nilai kurang dari 75.
Ada 10 (31%) siswa mendapatkan nilai 65, 15 (47%) siswa memperoleh nilai 60,1
(3,1%) siswa mendapat nilai 55, 5 (16%) siswa yang mendapat nilai 50 dan 1 (3,1%)
siswa mendapat nilai 75. Siswa yang tuntas dalam pembelajaran berbicara pada
survei awal ini ada 1 (3,1%) siswa. Dengan demikian, nilai terendah pada
pembelajaran berbicara pratindakan ini adalah 50 sebanyak 5 (16%) siswa. Nilai
siswa. Rata-rata nilai berbicara pada pembelajaran pratindakan ini adalah 58, dengan
persentase ketuntasan adalah (3,1%).
Kemampuan berbicara merupakan keterampilan penting yang harus dimiliki
oleh siswa untuk melatih berpikir kritis dan dapat menyajikan suatu pendapat,
pikiran, atau perasaan kepada seseorang atau suatu kelompok massa. Seseorang yang
mahir berbicara akan dengan mudah dapat menguasai massa dan secara tidak
langsung akan mampu memaparkan gagasannya sehingga dapat mudah diterima oleh
orang lain (Mujiyanto, dkk, 1999:37).
Tanpa penguasaan keterampilan berbicara secara baik, dampak langsung
yang dihadapi siswa adalah rendahnya nilai yang dicapai untuk praktik berbicara.
Selain itu, siswa akan mengalami hambatan pada keterampilan berbicara, yakni
sering mengalami kesulitan saat berbicara. Hal inilah yang merupakan salah satu
faktor siswa kurang mampu mengungkapkan pendapatnya secara lisan. Dari hasil
wawancara dengan guru bahasa Indonesia diperoleh keterangan bahwa hal itu terjadi
karena mereka tidak terbiasa dan merasa takut ketika harus berbicara di muka umum.
Berdasarkan uraian tersebut perlu diciptakan suatu model pembelajaran
yang dapat meningkatkan keterampilan berbicara, khususnya pada kemampuan
mengungkapkan pikiran, perasaan, informasi, dan pengalaman secara lisan. Susanto
(dalam Kusumojanto dan Herawati, 2009:93) menyatakan bahwa pembelajaran
kooperatif adalah strategi pembelajaran kelompok kecil yang digunakan untuk
meningkatkan kemampuan akademik melalui kolaborasi kelompok, memperbaiki
hubungan antarsiswa yang berbeda latar belakang dan kemampuannya,
mengembangkan keterampilan untuk memecahkan masalah melalui kelompok dan
mendorong proses demokrasi di kelas. Salah satu model pembelajaran kooperatif
adalah Numbered Head Together (NHT) yang dikembangkan oleh Spencer Kagan.
Kusumojanto dan Herawati (2009:94) menyatakan bahwa model
nomor) adalah pembentukan kelompok dan pemberian nomor pada siswa dalam
kelompok tersebut; (2) Questioning (pengajuan pertanyaan), yaitu guru mengajukan
suatu pertanyaan kepada siswa; (3) Head Together (berpikir bersama), yaitu para
siswa berpikir bersama untuk mendiskusikan jawaban serta meyakinkan bahwa
setiap orang dalam anggotanya mengetahui jawaban pertanyaan tersebut; dan (4)
Answering (pemberian jawaban). Secara tidak langsung dengan metode NHT siswa
dituntut untuk saling berbagi informasi, mendengarkan dengan cermat serta berbicara
sesuai dengan pendapat masing-masing, sehingga siswa dapat lebih aktif dalam
proses pembelajaran.
Dari uraian di atas dan kaitannya dengan penelitian ini adalah perlu
dilakukannya upaya peningkatan keterampilan berbicara siswa kelas VII A SMP
Negeri 8 Surakarta melalui penerapan pembelajaran kooperatif model Numbered
Head Together dalam bentuk penelitian tindakan kelas.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut.
1. Apakah model numbered head together dapat meningkatkan kualitas proses
pembelajaran berbicara pada siswa kelas VII A SMP Negeri 8 Surakarta?
2. Apakah model numbered head together dapat meningkatkan keterampilan
berbicara pada siswa kelas VII A SMP Negeri 8 Surakarta?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk
meningkatkan:
1. Kualitas proses pembelajaran berbicara dengan menerapkan model numbered
2. Keterampilan berbicara dengan menerapkan model numbered head together
pada siswa kelas VII A SMP Negeri 8 Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, antara lain:
1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pembelajaran
bahasa yang berkaitan dengan teori keterampilan berbicara, terutama
pembelajaran menceritakan tokoh idola dengan model pembelajaran numbered
head together.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Siswa
1) Keterampilan berbicara siswa dalam pembelajaran bahasa Indonesia,
khususnya keterampilan menceritakan tokoh idola dapat meningkat.
2) Suasana belajar lebih kondusif dan variatif sehingga pembelajaran tidak
monoton dan dapat meningkatkan hasil belajar menceritakan tokoh idola.
3) Siswa termotivasi dalam pembelajaran keterampilan beribicara.
b. Bagi Guru
1) Menjadi model praktik berbicara yang baik bagi siswanya.
2) Wawasan tentang media pembelajaran yang tepat untuk dijadikan model
dalam pembelajaran praktik berbicara bertambah.
3) Solusi terhadap kendala pelaksanaan pembelajaran Bahasa Indonesia,
khususnya terkait dengan keterampilan berbicara siswa dapat teratasi.
4) Wawasan guru tentang penelitian tindakan kelas untuk meningkatkan
ketermapilan berbicara siswa melalui penerapan model numbered head
c. Bagi Sekolah
1) Terciptanya siswa-siswa yang terampil dalam berbicara.
BAB II
LANDASAN TEORETIK, PENELITIAN YANG RELEVAN, DAN
KERANGKA BERPIKIR
A. Landasan Teoretik
1. Hakikat Keterampilan Berbicara
a. Pengertian Keterampilan Berbicara
Berkomunikasi merupakan kebutuhan pokok bagi makhluk sosial, yaitu kita
sebagai seorang manusia yang tentunya membutuhkan bahasa sebagai medianya.
Berbicara merupakan salah satu keterampilan yang sangat mendukung kegiatan
komunikasi. Berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau
kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan pikiran,
gagasan, dan perasaan (Mujiyanto, dkk, 1999:38). Dengan berbicara, seseorang
menyampaikan (mengomunikasikan) pesan kepada orang lain.
Hal senada disampaikan oleh Marwoto dan Mujiyanto (1999:1) bahwa
berbicara merupakan salah satu dari catur tunggal aktivitas berbahasa yang bersifat
ekspresif lisaniah, yang mempertemukan pembicara dengan audiens/ penyimak/
pendengar, untuk berbagai maksud dan kepentingan, baik bersifat ilmiah maupun
nonilmiah, baik searah maupun dua arah, baik melibatkan orang lain untuk juga
berbicara maupun tidak. Akhadiah (1992:153) juga berpendapat bahwa berbicara
adalah keterampilan menyampaikan pesan melalui bahasa lisan. Apabila isi pesan
dapat diketahui oleh penerima pesan maka terjadi komunikasi antara pemberi pesan
dan penerima pesan. Komunikasi itu pada akhirnya menimbulkan pengertian atau
pemahaman terhadap isi pesan bagi penerimanya.
Menurut Tarigan (1993:11), komunikasi adalah serangkaian perbuatan
komunikasi yang dipergunakan secara sistematis untuk menyelesaikan atau mencapai
tujuan utama dari kegiatan berbicara. Dengan berbicara, seseorang akan
menyampaikan (mengomunikasikan) pesan kepada orang lain. Kemampuan
berbicara menuntut pengucapan alat bicara yang baik sesuai dengan aturan ucapan
bunyi bahasa sehingga dapat didengarkan. Ketika kita berbicara dengan jelas maka
informasi yang akan kita sampaikan pun dapat tersampaikan dengan baik.
Sebagaimana para motivator yang biasanya dituntut memiliki keterampilan berbicara
yang lebih agar apa yang disampaikan dapat menggugah pendengarnya. Teknik
berbicara (berkomunikasi) yang menggugah dan mengubah adalah sebuah ilmu atau
keterampilan menyampaikan gagasan serta ide kepada orang lain sehingga
mendorong dan memotivasi orang lain untuk melakukan perubahan (Chalil,
2005:10).
Dari pengertian di atas dapat ditarik simpulan bahwa berbicara merupakan
cara untuk mengomunikasikan gagasan, pikiran, dan perasaan yang disusun serta
dikembangkan sesuai dengan kebutuhan pendengarnya.
b. Tujuan Berbicara
Tujuan utama berbicara adalah komunikasi. Mudini dan Suprijanto
(2009:4-5) menyatakan bahwa seorang pembicara dalam menyampaikan pesan kepada orang
lain pasti mempunyai tujuan, ingin mendapatkan respons atau reaksi. Tujuan atau
harapan pembicara sangat tergantung dari keinginan dan keadaan pembicara. Secara
umum, tujuan berbicara adalah sebagai berikut: (1) mendorong atau menstimulasi;
(2) meyakinkan; (3) menggerakkan; (4) menginformasikan; (5) menghibur.
Lebih lanjut lagi, Keraf (dalam Purnomo 2011:12) menyatakan bahwa
tujuan berbicara dapat dibedakan atas lima macam, yaitu: (1) mendorong,
maksudnya adalah pembicara berusaha memberi semangat; (2) meyakinkan,
maksudnya pembicara akan meyakinkan sikap, mental, intelektual kepada para
pendengar; (3) bertindak, berbuat, menggerakkan, maksudnya pembicara
menyenangkan atau mengibur, pembicara menyenangkan pendengar. Hal serupa juga
diungkapkan oleh Ochs dan Winkel (dalam Tarigan, 1993:16) bahwa tujuan
berbicara secara umum ada tiga, yaitu: (1) memberitahukan, melaporkan; (2)
menjamu, mengibur; (3) membujuk, mengajak, mendesak, dan meyakinkan.
c. Faktor Penunjang Keefektifan Berbicara
Faktor- faktor yang menentukan keefektifan berbicara, yaitu pembicara,
pendengar, dan pokok pembicaraan. Ketiga faktor ini sangat menentukan berhasil
tidaknya kegiatan berbicara. Menurut Chalil (2005:11) ada tiga macam kemampuan
berbicara, yaitu: (1) Kemampuan berbicara menggugah, berarti merupakan
kemampuan berbicara yang menggugah dan menyentuh hati, sehingga tidak hanya
menjadi konsumsi akal atau logika, tetapi mampu menembus ke relung hati
pendengarnya, menimbulkan kesan yang mendalam dan kekal dalam sanubari
pendengar; (2) Kemampuan berbicara yang mengubah adalah teknik berbicara yang
dapat menimbulkan efek perubahan bagi pendengarnya. Segala yang disampaikan
sanggup memotivasi dan mendorong orang untuk berubah, sehingga pembicaraan
menarik, antusias, dan direspons dengan baik oleh pendengar; dan (3) Berbicara dari
hati, artinya pembicaraan kita keluar dari hati yang tulus untuk menyampaikan
kebenaran.
Sementara menurut Arsjad dan Mukti (1991:17-19), faktor-faktor sebagai
penunjang keefektifan berbicara, yaitu ketepatan ucapan, penempatan tekanan, nada,
sendi, durasi sesuai, pilihan kata, ketepatan sasaran pembicaraan. Selain itu, faktor -
faktor nonkebahasaan yang menunjang keefektifan berbicara, yaitu: sikap wajar,
tenang, dan tidak kaku. Kemahiran berbicara bukan saja menghendaki penguasaan
bahasa yang baik dan lancar, tetapi di samping itu masih memerlukan prasyarat-
prasyarat lain, misalnya: keberanian, ketenangan, sikap di depan orang banyak,
sanggup memberi reaksi dengan cepat dan tepat, sanggup melontarkan gagasan-
Sementara menurut Nur (dalam Sa‟ bani, 2009: 12) setidaknya ada empat faktor yang harus dimiliki oleh seorang pembicara jika ingin berhasil dalam
berbicara, yaitu: (1) percaya diri; (2) kejelasan suara; (3) ekspresi/ gerak mimik; dan
(4) kelancaran berkomunikasi. Lebih lanjut, Arsjad dan Mukti (1991:87)
menjelaskan bahwa keefektifan berbicara ditunjang oleh dua faktor, yaitu faktor
kebahasaan dan nonkebahasaan. Faktor kebahasaan meliputi (1) ketepatan suara, (2)
penempatan tekanan nada, (3) pilihan kata (diksi), dan (4) ketepatan sasaran
pembicaraan. Adapun faktor nonkebahasaan meliputi (1) mimik, gerak badan, dan
pandangan, (3) penampilan, (4) menghargai pendapat orang lain, (5) kenyaringan
suara, (6) kelancaran, (7) penalaran, dan (8) penguasaan topik.
Menurut Wuryaningsih (2007:9), kemampuan berbicara merupakan
kemampuan yang penting dan tidak boleh diremehkan dalam pengajaran bahasa.
Oleh karena itu, guru maupun siswa harus memiliki keterampilan berbicara yang
memadai. Sehingga dapat tercipta suasana yang menyenangkan dan aktif dalam
proses pembelajaran. Proses pembelajaran berjalan secara dua arah yaitu dari guru
dan siswa. Tujuan yang semestinya dicapai adalah untuk menumbuhkan kemauan
dan kemampuan pribadi agar sanggup berbicara secara lancar dan teratur dengan
menggunakan kosa kata yang tepat sehingga hal yang dibicarakan dapat dimengerti
maksudnya oleh pendengar.
d. Jenis-jenis Berbicara
Bila kita perhatikan berbagai literatur mengenai bahasa dan pengajaran,
maka kita akan menemui berbagai jenis berbicara. Ada diskusi, ada percakapan, ada
pidato menghibur, ada ceramah, ada bertelpon, dan sebagainya. Menurut Subekti
(2011) ada beberapa hal yang bisa dijadikan landasan dalam mengklasifikasikan
berbicara. Landasan tersebut adalah: (1) situasi, (2) tujuan, (3) metode penyampaian,
dijelaskan landasan beserta dengan penjelasan butir-butir hasil pengklasifikasian
tersebut.
1) Situasi
Aktivitas berbicara yang selalu terjadi atau berlangsung dalam suasana,
situasi, dan lingkungan tertentu. Situasi dan lingkungan itu dapat bersifat formal
atau resmi. Situasi dan lingkungan mungkin pula bersifat informal atau tak
resmi. Setiap situasi menuntut keterampilan berbicara tertentu. Dalam situasi
formal permbicara dituntut berbicara secara formal. Sebaliknya dalam situasi
tidak formal, pembicara harus berbicara secara tidak formal pula.
2) Tujuan
Pada umumnya tujuan orang yang berbicara adalah untuk menghibur,
menginformasikan, menstimulasi, meyakinkan, atau menggerakkan
pendengarnya. Sejalan dengan tujuan pembicara tersebut, menurut Munawaroh (dalam Sa‟ bani, 2009:15) berbicara dapat pula diklasifikasikan menjadi lima jenis, yakni: (1) berbicara menghibur; (2) berbicara menginformasikan; (3)
berbicara menstimulasi; (4) berbicara meyakinkan; (5) berbicara menggerakkan.
3) Metode Penyampaian
Menurut Arsjad dan Mukti U. S (1991: 65), ada empat cara yang bisa
digunakan orang dalam menyampaikan pembicaraannya. Keempat acara yang
dimaksud adalah: (1) penyampaian secara mendadak/ serta-merta (impromptu);
(2) penyampaian berdasarkan catatan kecil (ekstemporan); (3) penyampaian
berdasarkan hafalan; dan (4) penyampaian berdasarkan naskah.
Berbicara mendadak terjadi karena seseorang tanpa direncanakan
sebelumnya harus berbicara di muka umum. Hal ini dapat terjadi karena tuntutan
situasi. Misalnya, karena pembicara yang telah direncanakan berhalangan tampil
maka terpaksa secara mendadak dicarikan penggantinya atau dalam suatu
pidato perpisahan, dan sebagainya. Dalam situasi seperti ini pembicara harus
menggunakan pengalamannya bagi penyusunan organisasi pembicaraannya.
Sejumlah pembicara menggunakan catatan kecil dalam kartu, biasanya
berupa butir-butir penting sebagai pedoman berbicara. Berlandaskan catatan itu
pembicara bercerita panjang lebar mengenai sesuatu hal. Cara seperti inilah yang
dimaksud dengan berbicara berlandaskan catatan kecil. Cara berbicara seperti itu
dapat berhasil apabila pembicara sudah mempersiapkan dan menguasai isi
pembicaraan secara mendalam sebelum tampil di muka umum.
Pembicara yang dalam taraf belajar mempersiapkan bahan
pembicaraannya dengan cermat dan dituliskan dengan lengkap. Bahan yang
ditulis itu dihafalkan kata demi kata, lalu tampil berbicara berdasarkan hasil
hafalannya. Cara berbicara seperti itu memang banyak kelamahannya.
Pembicara mungkin lupa akan beberapa bagian dari isi pidatonya, perhatiannya
tidak bisa diberikan kepada pendengar, kaku, dan kurang penyesuaian pada
situasi yang ada.
4) Jumlah Penyimak
Komunikasi lisan selalu melibatkan dua pihak, yakni pendengar dan
pembicara. Jumlah peserta yang berfungsi sebagai penyimak dalam komunikasi
lisan dapat bervariasi misalnya satu orang, beberapa orang (kelompok kecil), dan
banyak orang (kelompok besar). Berdasarkan jumlah penyimak itu, menurut
Muniroh (dalam Sa‟bani, 2009: 17) berbicara dapat dibagi atas tiga jenis, yaitu:
(1) berbicara antar pribadi; (2) berbicara dalam kelompok kecil; dan (3)
berbicara dalam kelompok besar.
Berbicara antar pribadi, atau berbicara empat mata, terjadi apabila dua
pribadi membicarakan, mempercakapkan, merundingkan, atau mendiskusikan
dan bebas. Suasana pembicaraan sangat tergantung kepada masalah yang
dipercakapkan, hubungan antar dua pribadi yang terlibat.
Berbicara dalam kelompok kecil terjadi apabila seorang pembicara
menghadapi sekelompok kecil pendengar, misalnya tiga sampai lima orang.
Pembicara dan pendengar dapat bertukar peran, misalnya, setelah pembicara
selesai berbicara diadakan tanya jawab atau diskusi.
Berbicara dalam kelompok besar terjadi apabila seorang pembicara
menghadapi pendengar berjumlah besar atau massa. Para pendengar dalam
berbicara jenis ketiga ini dapat homogen dan mungkin pula heterogen. Dalam
lingkungan pendidikan, misalnya, para pendengar homogen baik dalam usia
maupun dalam kemampuan.
5) Peristiwa Khusus
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia sering manghadapi berbagai
kegiatan. Sebagian dari kegiatan itu dikategorikan sebagai peristiwa khusus,
istimewa, atau spesifik. Contoh kegiatan khusus itu adalah ulang tahun,
perpisahan, perkenalan, pemberian hadiah. Peristiwa itu dapat berlangsung di
semua tempat seperti di rumah, di kantor, di gedung pertemuan dan sebagainya.
Dalam setiap peristiwa khusus tersebut di atas dilakukan upacara tertentu berupa
sambutan atau pidato singkat seperti pidato selamat datang, selamat atas
kesuksesan, selamat jalan, selamat berkenalan dan sebagainya.
Berdasarkan peristiwa khusus itu, berbicara atau pidato dapat
digolongkan dalam enam jenis, yakni: (1) pidato presentasi; (2) pidato
penyambutan; (3) pidato perpisahan; (4) pidato jamuan (makan malam); (5)
pidato perkenalan; dan (6) pidato nominasi (mengunggulkan).
Penjelasan jenis-jenis berbicara di atas dapat dijadikan pertimbangan
pada golongan apa seseorang dapat ditempatkan berdasarkan jenisnya, sehingga
Misalnya anak-anak lebih cocok ketika pembelajaran berbicara dilakukan
dengan jenis yang mana. Hal tersebut dilakukan agar proses pembelajaran dapat
berjalan dengan baik karena dengan hal tersebut siswa akan merasa terbantu.
Karena keterampilan berbicara siswa berbeda-beda dapat sesuai dengan jenjang
pendidikan ataupun pengalaman. Keterampilan berbicara siswa SD jelas berbada
dengan keterampilan berbicara siswa SMP, keterampilan berbicara siswa SMP
jelas berbeda dengan keterampilan siswa SMA. Sehingga perlu adanya formulasi
khusus yang disesuaikan dengan jenjang pendidikan atau pengalaman siswa
berbicara di muka umum.
2. Hakikat Pembelajaran Berbicara di SMP
a. Pengertian Pembelajaran
Disebutkan (dalam UU No. 20/2003, Bab I Ayat 20) bahwa pembelajaran
adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu
lingkungan belajar. Proses pembelajaran dialami sepanjang hayat oleh seorang
manusia serta dapat berlaku di manapun dan kapanpun. Pembelajaran mempunyai
pengertian yang mirip dengan pengajaran, walaupun mempunyai konotasi yang
berbeda. Dalam konteks pendidikan, guru mengajar supaya peserta didik dapat
belajar dan menguasai isi pelajaran hingga mencapai sesuatu objektif yang
ditentukan (aspek kognitif), juga dapat mempengaruhi perubahan sikap (aspek
afektif), serta keterampilan (aspek psikomotor) seseorang peserta didik. Pengajaran
memberi kesan hanya sebagai pekerjaan satu pihak, yaitu pekerjaan guru saja.
Sedangkan pembelajaran juga menyiratkan adanya interaksi antara guru dengan
peserta didik.
Demikian besar peran guru dalam pembelajaran di sekolah, karena
komunikasi guru dan siswa merupakan praktis dan terikat dalam situasi
pengaruh-memengaruhi serta terarah kepada suatu tujuan pendidikan. Peristiwa tersebut
perubahan dan pertumbuhan fungsi-fungsi jasmaniah, watak, intelek, emosional,
religi, sosial, moral (Marno dan Idris, 2008:57).
Pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur
manusia, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling memengaruhi
untuk mencapai tujuan (Hamalik, 1995:57). Pembelajaran tidak hanya sekedar
menyampaikan pengetahuan dan membentuk keterampilan saja, namun pembelajaran
harus mampu memotivasi siswa untuk aktif, kreatif, dan inovatif, juga harus
disesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa itu sendiri.
Menurut Suyitno (2004:2) pembelajaran adalah upaya menciptakan iklim
pembelajaran dan pelayanan terhadap kemampuan, potensi, minat, bakat, dan
kebutuhan siswa yang beragam agar terjadi interaksi optimal antara guru dengan
siswa serta antara siswa dengan siswa. Hal ini sejalan dengan penjelasan sebelumnya
bahwa, pembelajaran tidak hanya sekedar menyampaikan pengetahuan. Namun,
bagaimana agar sebuah pembelajaran dapat menumbukan suasana yang hidup dalam
proses belajar.
Istilah pembelajaran sama dengan instruction atau pengajaran. Pengajaran
mempunyai arti cara (perbuatan) mengajar dan mengajarkan (Purwadarminta dalam
Mardliyah, 2011:21). Pengajaran diartikan sebagai perbuatan mengajar yang
dilakukan oleh guru, sehingga dalam hal ini tentu juga ada yang diajar atau belajar,
yaitu siswa. Sejalan dengan pendapat tersebut, Instruction atau pembelajaran adalah
suatu sistem yang bertujuan untuk membantu proses belajar siswa, yang berisi
serangkaian peristiwa yang dirancang, disusun sedemikian rupa untuk mempengaruhi
dan mendukung terjadinya proses belajar siswa yang bersifat internal. Gagne dan
Briggs (dalam Krisna: 2009)
Selain itu, Sagala (2009:164) mengungkapkan bahwa pembelajaran
merupakan proses komunikasi dua arah, mengajar dilakukan oleh pihak guru sebagai
dan pengetahuan tentang materi-materi pelajaran. Dapat disimpulkan bahwa dalam
pembelajaran tidak dapat lepas dari unsure guru sebagai pendidik dan siswa sebagai
peserta didik.
Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan
anrata pembelajaran dan pengajaran. Pembelajaran merupakan proses yang
menghasilkan perubahan tingkah laku pada siswa sehingga bukan hanya transfer
ilmu pengetahuan dari guru kepada siswa saja melainkan dari proses pembelajaran
tersebut siswa dapat mengalami perubahan tingkah laku yang semakin baik dan
dewasa, sedangkan pengajaran merupakan perpindahan pengetahuan dari guru
kepada siswa.
b. Komponen-komponen Pembelajaran
Proses pembelajaran merupakan suatu kegiatan yang melibatkan beberapa
komponen. Menurut Gino, dkk. (2000:30) komponen tersebut antara lain sebagai
berikut.
1) Siswa
Siswa adalah orang yang berperan sebagai pencari, penerima, dan pelaksana
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
2) Guru
Guru merupakan seseorang yang beritindak sebagai pengelola kegiatan
belajar mengajar yang mempunyai tugas utama mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta
didik.
3) Tujuan
Tujuan adalah perubahan yang diinginkan terjadi pada siswa setelah
mengikuti kegiatan pembelajaran. Perubahan perilaku tersebut meliputi
4) Isi pelajaran
Isi pelajaran atau materi pelajaran adalah segala informasi berupa fakta,
prinsip, dan konsep yang diperlukan untuk mencapai tujuan pembelajaran.
5) Metode
Metode merupakan suatu strategi pembelajaran yang dilakukan oleh guru
yang meliputi seluruh kegiatan penyajian bahan pelajaran kepada siswa untuk
mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan.
6) Media
Media merupakan bahan pengajaran yang digunakan untuk menyajikan
informasi kepada siswa
7) Evaluasi
Evaluasi merupakan cara yang digunakan untuk menilai suatu proses dan
hasilnya. Evaluasi dilakukan terhadap seluruh komponen kegiatan belajar
mengajar dan sekaligus memberikan baikan setiap komponen tersebut.
c. Pembelajaran Keterampilan Berbicara di SMP
Pada prinsipnya berbicara merupakan salah satu keterampilan berbahasa
yang sangat penting. Berbicara merupakan salah satu alat komunikasi yang dilakukan
secara langssung, yaitu tidak melalui perantara tulisan. Berbicara sangat penting bagi
pendidikan karena memudahkan para siswa berpikir secara kritis. Berbicara dapat
membantu siswa untuk berani menjelaskan/ mengungkapkan ide-ide, gagasan, dan
pikiran-pikirannya secara lisan. Akan tetapi dalam realitanya masih banyak siswa
yang belum mampu berbicara dengan baik atau menarik sedangkan mereka
sebenarnya memiliki gagasan yang bagus. Oleh karena itu keterampilan berbicara
perlu diajarkan kepada siswa sejak dini karena seperti yang kita ketahui bahwa
perkembangan anak dalam berbicara terjadi secara perlahan-lahan. Dalam tahap ini
anak perlu mendapat bimbingan dalam memahami dan menguasai cara mentransfer
Anindyarini dan Sri Ningsih (2008: 17) menyebutkan bahwa berbicara
merupakan suatu keterampilan yang perlu diasah terus-menerus. Jika keterampilan
ini dapat dikuasai dan dikembangkan dengan baik, akan menjadi suatu kelebihan
yang dapat dimanfaatkan dikemudian hari.
d. Kriteria Penilaian Pembelajaran Berbicara
Tarigan (1993:26) menyebutkan bahwa ada lima faktor yang mendasari
kegiatan evaluasi berbicara, di antaranya: (1) ketepatan bunyi, seperti bunyi vokal
dan konsonan; (2) pola- pola intonasi, naik turunnya suara, seperti tekanan suku kata
yang memuaskan; (3) ketepatan ucapan pembicara yang mencerminkan bahwa tanpa
referensi internal, pembicara tetap dapat memahami bahasa yang dipergunakan; (4)
susunan yang urut mengenai kata- kata yang diucapkan pembicara; dan (5) sejauh manakah “kewajaran” dan “kelancaran” yang tercermin ketika berbicara.
Banyak kriteria penilaian yang dapat dilakukan guru untuk menilai kegiatan
berbicara siswa. Kriteria penilaian tentunya melihat situasi, kondisi, dan keperluan
guru. Penilaian dapat dilakukan secara mandiri atau kelompok. Jika perlu guru juga
dapat melibatkan siswa sebagai penilai.
Mudini dan Suprijanto (2009:24) berpendapat bahwa ada dua jenis penilaian
yang digunakan dalam pembelajaran berbicara, yaitu penilaian proses dan penilaian
hasil. Penilaian proses dilakukan selama kegiatan pembelajaran berlangsung untuk
menilai sikap siswa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran. Penilaian hasil
dilakukan berdasarkan unjuk kerja yang dilakukan siswa ketika menyajikan
kompetensi berbicara yang dituntut kurikulum atau mempresentasikan secara
individual. Penilaian proses berlangsung dengan menggunakan lembar penilaian
sikap (afektif) yang terdiri dari aspek: (1) keaktifan siswa; (2) minat dan antusiasme;
(3) berani berbicara di depan kelas sedangkan dalam penilain hasil, ada beberapa
aspek yang dinilai, yaitu (1) tekanan; (tata bahasa); (3) kelancaran; (4) pemahaman;
1) Penilaian Proses Pembelajaran Berbicara
Menurut Sudjana (2010:1) mengungkapkan bahwa penilaian proses belajar
mengajar menyangkut penilaian terhadap kegiatan guru, kegiatan siswa, pola
interaksi guru dengan siswa, serta kererlaksaan program belajar-mengajar. Lebih
lanjut, Sudjana (2010:60) mengungkapkan beberapa kriteria yang bisa digunakan
dalam menilai proses belajar-mengajar, antara lain sebagai berikut.
a. Konsistensi kegiatan belajar mengajar dengan kurikulum
Kurikulum adalah program belajar mengajar yang ditentukan sebagai acuan apa
yang harus dilaksanakan. Acuan tersebut dilakukan secara nyata dalam bentuk
dan aspek-aspek, yaitu: (1) tujuan-tujuan pengajaran; (2) bahan pengajaran yang
diberikan; (3) jenis kegiatan yang dilaksanakan; (4) cara melaksanakan setiap
jenis kegiatan; (5) peralatan yang digunakan; dan (6) penilaian yang digunakan
untuk setiap tujuan.
b. Keterlakasanaannya oleh guru
Keterlaksanaan ini dapat dilihat dalam hal: (1) mengondisikan kegiatan belajar
siswa; (2) menyiapkan alat, sumber, dan perlengkapan belajar; (3) waktu yang
disediakan untuk kegiatan belajar mengajar; (4) memberikan bantuan dan
bimbingan kepada siswa; (5) melaksanaan penilaian proses dan hasil belajar oleh
siswa; dan (6) menggeneralisasikan penilain proses dan hasil belajar mengajar
saat itu dan tindak lanjut untuk kegiatan belajar mengajar berikutnya.
c. Keterlaksanaannya oleh siswa
Keterlaksanaan oleh siswa dapat dilihat dalam hal: (1) memahami dan mengikuti
petunjuk yang diberikan oleh guru; (2) semua siswa turut serta melakukan
kegiatan belajar; (3) tugas-tugas belajar dapat diselesaikan sebagaimana
mestinya; (4) memenfaatkan semua sumber belajar yang disediakan guru; dan
d. Motivasi belajar siswa
Keberhasilan proses belajar mengajar dapat dilihat dari motivasi belajar yang
ditunjukkan oleh para siswa pada saat melaksanakan kegiatan pembelajaran.
Motivasi siswa dapat dilihat dari; (1) minat dan perhatian siswa terhadap
pelajaran; (2) semangat siswa untuk melakukan tugas-tugas belajarnya; (3)
tanggung jawab siswa dalam mengerjakan tugas-tugasnya; (4) rasa senang dan
puas dalam mengerjakan tugas yang diberikan.
e. Keaktifan para siswa dalam kegiatan belajar
keaktifan siswa dapat diliat dalam hal; (1) turut serta dalam melaksanakan tugas
belajarnya; (2) terlibat dalam masalah; (3) bertanya pada siswa lain atau guru;
(4) berusaha mencari berbagai informasi; (5) melaksanakan diskusi kelompok;
dan (6) menilai kemampuan dirinya dan hasil-hasil yang diperolehnya.
f. Interaksi guru siswa
Interaksi guru dengan siswa, yaitu; (1) tanya jawab antara guru dengan siswa
atau siswa dengan siswa; (2) bantuan yang guru berikan pada siswa ketika
mengalami kesulitan; (3) guru sebagai fasilitator belajar siswa; dan (4)
pemberian umpan balik oleh guru kepada siswa.
g. Kemampuan atau keterampilan guru mengajar
Kemampuan atau keterampilan guru mengajar, yakni; (1) menguasai bahan
materi ajar; (2) terampil berkomunikasi dengan siswa; (3) penguasaan kelas; (4)
penggunaan alat dan sumber belajar; (4) terampil mengajukan pertanyaan
kepada siswa baik lisan maupun tulisan.
h. Kualitas hasil belajar yang dicapai oleh siswa
Dalam hal ini, aspek yang dilihat antara lain; (1) perubahan pengetahuan, sikap,
dan perilaku siswa setelah menyelesaikan pengalaman belajarnya; (2) kualitas
dan kuantitas penguasaan tujuan instruksional oleh para siswa; (3) jumlah yang
harus dicapai; dan (4) hasil belajar tahan lama diingat dan dapat digunakan
sebagai dasar dalam mempelajari bahan berikutnya.
Melalui delapan kriteria yang telah disebutkan Sudjana di atas, dapat
dikerucutkan penilaian proses belajar yang dialami siswa selama proses
pembelajaran menceritakan tokoh idola. Penilaian tersebut terdiri atas; (1) keaktifan
siswa dalam kegiatan apersepsi; (2) keaktifan memerhatikan penjelasan guru saat
memberikan materi; (3) keaktifan dalam kegiatan diskusi kelompok; (4) Keberanian
siswa dalam mengungkapkan pendapat atau mempertahankan pendapat.
Berdasarkan beberapa hal di atas, dapat dibuat skala penilaian keaktifan siswa
dalam proses pembelajaran menceritakan tokoh idola dan penampilan guru ketika mengajar,
skala tersebut dapat dilihat pada lampiran. Selain itu, menurut Sudjana (2010:77) melalui
kriteria yang digunakan dalam menilai proses belajar-mengajar juga dapat dibuat
skala penilaian guru mengajar, skala tersebut dapat dilihat pada lampiran Tabel 1 dan
Tabel 2.
2) Penilaian Unjuk Kerja Keterampilan Berbicara
Nurgiyantoro (2001:276) mengemukakan bahwa untuk dapat berbicara
dalam suatu bahasa secara baik, pembicara harus menguasai lafal, struktur, dan kosa
kata yang bersangkutan. Di samping itu, diperlukan juga penguasaan masalah dan
atau gagasan yang akan disampaikan, serta kemampuan memahami bahasa lawan
bicara. Dalam situasi yang normal seseorang berbicara dengan motivasi ingin
menyampaikan suatu informasi pada orang lain, atau ingin memberikan reaksi
terhadap beberapa hal yang didengarnya. Kegiatan demikian kejelasan penuturan
tidak semata-mata ditentukan oleh ketepatan bahasa(verbal), melainkan amat dibantu
oleh unsure-unsur nonverbal seperti gerak-gerakan tertentu, ekspresi wajah, nada
suara, dan sebagainya, suatu hal yang tidak ditemui dalam kegiatan menulis.
Banyak cara yang dapat dilakukan guru dalam menilai kegiatan berbicara
masing-masing. Guru dapat melakukan penilaian secara mandiri, tetapi jika perlu guru juga
dapat melakukan penilain secara kelompok dengan melibatkan siswa sebagai penilai.
Berkaitan dengan komponen lain sebagai alat penilaian dan deskripsi
kefasihan untuk menentukan tingkat kemampuan berbicara siswa, Nurgiyantoro,
(2001: 284) memaparkan komponen tersebut terdiri dari komponen tekanan, tata
bahasa, kosa kata, kefasihan, dan pemahaman. Penilaian tiap komponen tersebut
disusun secara berskala: 1 sampai dengan 6, skor 1 berarti sangat kurang, 2 berarti
kurang, 3 berarti cukup, 4 berarti sangat cukup, 5 berarti baik, sedangkan 6 berarti
sangat baik. Adapun deskripsi kefasihan untuk masing- masing komponen tersebut
adalah sebagai berikut:
1) Tekanan
a) Ucapan sering tidak dapat dipahami.
b) Sering terjadi kesalahan yang menyulitkan pemahaman, menghendaki
untuk selalu diulang.
c) Pengaruh ucapan asing (daerah) yang memaksa orang mendengarkan
dengan teliti, salah ucap yang menyebabkan kesalahpahaman.
d) Pengaruh ucapan asing (daerah) dan kesalahan ucapan tidak
menyebabkan kesalahpahaman.
e) Tidak terjadi salah ucapan yang mencolok, mendekati ucapan standar.
f) Ucapan sudah standard.
2) Tata Bahasa
a) Penggunaan tata bahasa hampir selalu tidak tepat.
b) Adanya kesalahan dalam penggunaan pola- pola atau susunan kata atau
susunan kata pokok dan mengganggu komunikasi.
c) Sering terjadi kesalahan dalam pola atau susunan kata tertentu karena
d) Kadang-kadang terjadi kesalahan dalam penggunaan pola atau susunan
kata tertentu, tetapi tidak mengganggu komunikasi.
e) Sedikit terjadi kesalahan, tetapi bukan pada penggunaan pola atau
susunan kata.
f) Tidak lebih dari dua kesalahan penggunaan tata bahasa selama
berlangsungnya kegiatan berbicara.
3) Kosa Kata
a) Penggunaan kosa kata tidak tepat dalam berbicara.
b) Penggunaan kosa kata sangat terbatas pada keperluan dasar personal.
c) Pemilihan kosa kata sering tidak tepat dan keterbatasan penguasaannya
dan menghambat kelancaran komunikasi.
d) Penggunaan kosa kata teknis tepat dalam pembicaraan.
e) Penggunaan kosa kata teknis lebih luas dan cermat, sesuai situasi.
f) Penggunaan kosa kata teknis luas dan tepat sekali.
4) Kelancaran
a) Pembicaraan selalu berhenti dan terputus-putus, sehingga menyebebkan
pembicaraannya benar-benar tidak berlangsung.
b) Pembicaraan sangat lambat, ragu-ragu dalam berbicara.
c) Pembicaraan sering tampak ragu, kalimat tidak lengkap.
d) Pembicaraan kadang masih ragu, dan penggunaan kata
kadang-kadang tidak tepat.
e) Pembicaraan lancar dan halus, tetapi sekali-kali masih kurang lancar.
f) Pembicaraan dalam segala hal lancar dan halus.
5) Pemahaman
a) Tidak mampu memahami permasalahan yang disampaikan, sehingga
b) Sulit berbicara karena kurang memahami permasalahan.
c) Mampu memahami sebagian besar permasalahan dalam kecepatan
kurang normal, dengan banyak pengulangan.
d) Mampu memahami permasalahan yang disampaikan walaupun sering
diulang.
e) Mampu memahami permasalahan yang disampaikan walaupun
kadang-kadang diulang.
f) Mampu memahami permasalahan yang disampaikan tanpa kesulitan.
Pembobotan penilaian keterampilan berbicara sesuai dengan kriteria di
atas, dapat dilihat pada lampiran.
3. Hakikat Model Numbered Head Together (NHT)
a. Pengertian Model Pembelajaran
Dalam proses pembelajaran dikenal beberapa istilah yang mempunyai
kemiripan makna, yaitu pendekatan pembelajaran, metode pembelajaran, strategi
pembelajaran, teknik pembelajaran, dan model pembelajaran.
Model pembelajaran merupakan salah satu bagian dari keseluruhan sistem
belajar yang tidak dapat dipisahkan dari sistem lainnya. Menurut Joyce dalam
Trianto (2007:2) model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang
digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas/
pembelajaran dalam tutorial dan untuk menentukan perangkat-perangkat
pembelajaran termasuk di dalamnya: buku-buku, film, komputer, kurikulum, dan
lain-lain.
Winataputra (dalam Sugiyanto, 2008:7) mengungkapkan bahwa model
pembelajaran merupakan kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang
sistematis dalam mengorganisasikan suatu pengalaman belajar untuk mencapai
pengajar dalam membuat rencana dan melakukan kegiatan pembelajaran. Model
pembelajaran pada dasarnya merupakan bentuk pembelajaran yang tergambar dari
awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru. Lebih lanjut, Sumantri dan
Johar (2001:37) mengatakan bahwa model pembelajaran adalah kerangka konseptual
yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman
belajar untuk mencapai tujuan tertentu.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa model
pembelajaran adalah suatu perencanaan yang sistematis yang dapat digunakan
sebagai pedoman pembelajaran dengan mengorganisasikan pengalaman belajar untuk
mencapai tujuan tertentu.
b. Ciri-ciri Model Pembelajaran
Istilah model pembelajaran memiliki makna yang lebih luas dari pada
strategi, metode, atau prosedur. Kardi dan Nur (dalam Jayantio, 2009:10)
menyatakan bahwa model-model pembelajaran mempunyai ciri-ciri khusus, antara
lain: (1) rasional teoretik logis yang disusun oleh para pengembangnya; (2) landasan
pemikiran tentang apa dan bagaimana siswa belajar dalam mencapai tujuan
pembelajaran; (3) tingkah laku mengajar yang diperlukan agar model tersebut dapat
diterapkan dengan sukses; (4) lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan
pembelajaran dapat tercapai. Ciri-ciri tersebut dapat membedakan model
pembelajaran dengan istilah-istilah lain yang hampir sama, yaitu metode
pembelajaran, strategi pembelajaran, pendekatan pembelajaran, dan masih masih
banyak yang lainnya.
c. Pengertian Model Numbered Head Together
Model numbered head together merupakan salah satu dari pembelajaran
kooperatif. Kusumojanto dan Herawati (2009:93) menyatakan bahwa pembelajaran
kooperatif atau cooperative learning membuat siswa yang bekerja dalam kelompok
Hal ini terjadi karena salah satu ciri pembelajaran kooperatif adalah setiap anak
dihargai kemampuannya. Pembelajaran kooperatif juga merupakan strategi
pembelajaran yang mengutamakan adanya kerjasama antar siswa dalam kelompok
untuk mencapai tujuan belajar. Tujuan dibentuknya kelompok kooperatif adalah
untuk memberikan kesempatan kepada siswa agar dapat terlibat secara aktif dalam
proses berpikir dan dalam kegiatan belajar. Dalam hal ini sebagian besar aktifitas
pembelajaran berpusat pada siswa, yakni memperlajari materi pelajaran serta
berdiskusi untuk memecahkan masalah.
Lie (2004:30) mengemukakan bahwa ciri atau unsur model pembelajaran
kooperatif terdiri dari lima, yaitu: (1) saling ketergantungan, (2) tanggung jawab
perseorangan, (3) tatap muka, (4) komunikasi antaranggota, dan (5) evaluasi proses
kelompok. Selain itu, menurut Lie (2002:59), model pembelajaran numbered head
together memberikan kesempatan kepada siswa untuk saling membagikan ide dan
mempertimbangkan jawaban yang paling tepat dan mendorong siswa untuk
meningkatkan semangat kerja sama.
Selain ciri-ciri di atas, Solihatin dan Raharjo (2008:9) mengemukakan
bahwa model pembelajaran kooperatif memiliki ciri-ciri: (1) untuk menuntaskan
materi belajarnya, siswa belajar dalam kelompok secara kooperatif, (2) kelompok
dibentuk dari siswa-siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang, dan rendah, (3)
jika dalam kelas terdapat siswa yang terdiri dari beberapa ras, suku, budaya, jenis
kelamin yang berbeda, maka diupayakan agar dalam tiap kelompok terdiri dari ras,
suku, budaya, jenis kelamin yang berbeda pula, dan (4) penghargaan lebih
diutamakan pada kerja kelompok dari pada perorangan.
Pembelajaran ini dikembangkan untuk mencapai tiga tujuan yaitu: (1) hasil
belajar akademik, (2) penerimaan tentang keragaman dan (3) pengembangan
keterampilan. Pembelajaran NHT mengutamakan kerja kelompok dari pada
banyak kesempatan untuk menyalurkan informasi dan meningkatkan keterampilan
berkomunikasi (Lie, 2004).
Model Pembelajaran numbered head together merupakan salah satu tipe
pembelajaran kooperatif yang menekankan pada struktur khusus yang dirancang
untuk mempengaruhi pola interaksi siswa dan memiliki tujuan untuk meningkatkan
penguasaan akademik. Tipe ini dikembangkan oleh Kagan dengan melibatkan para
siswa dalam menelaah bahan yang tercakup dalam suatu pelajaran dan mengecek
pemahaman mereka terhadap isi pelajaran tersebut, Herdian (dalam Sahrudin,
2011:432)
Tipe pembelajaran kooperatif yang dikemukakan oleh beberapa ahli, antara
lain Slavin (1985), Lazarowitz (1988) atau Sharan (1990) (dalam Widdiharto,
2004:16), salah satunya adalah pembelajaran model NHT yang dikembangkan oleh
Kagan (1993). Pada umumnya, NHT digunakan untuk melibatkan siswa dalam
penguatan pemahaman pembelajaran atau mengecek pemahaman siswa terhadap
materi pembelajaran. Model NHT merupakan tipe pembelajaran kooperatif yang
terdiri atas empat tahap yang digunakan untukmerivew fakta-fakta dan informasi
dasar yang berfungsi untuk mengatur interaksi siswa.
Model pembelajaran numbered head together dapat disimpulkan sebagai
suatu cara penyajian pelajaran dengan melakukan percobaan, mengalami dan
membuktikan sendiri sesuatu permasalahan yang dipelajari. Dengan model numbered
head together siswa diberi kesempatan untuk mengalami sendiri atau melakukan
sendiri, mengikuti suatu proses, mengamati suatu objek, menganalis, membuktikan
dan menarik kesimpulan sendiri tentang suatu objek dan keadaan suatu proses
pembelajaran mata pelajaran tertentu.
d. Kelebihan dan Kekurangan Model Numbered Head Together (NHT)
Hill (1993) (dalam Triyana, 2008) menjelaskan bahwa model NHT
meningkatkan prestasi belajar siswa, (3) mampu memperdalam pemahaman siswa,
(4) menyenangkan siswa dalam belajar, (5) mengembangkan sikap positif siswa, (6)
mengembangkan sikap kepemimpinan siswa, (7) mengembangkan rasa ingin tahu
siswa, (8) meningkatkan rasa percaya diri siswa, (9) mengembangkan rasa saling
memiliki, serta (10) mengembangkan keterampilan untuk masa depan. Kelebihan
lainnya, yaitu: (1) siswa lebih antusias dalam belajar, (2) siswa lebih kreatif, dan (3)
melatih siswa untuk saling bekerjasama.
Kekurangan model pembelajaran NHT di antaranya, yaitu: (1) perlu
persiapan yang matang, (2) pembelajaran membutuhkan waktu yang lama, (3)
pengolahan kelas susah dikondisikan, (4) membutuhkan biaya yang cukup besar.
Menurut Lundgren (dalam Ibrahim, 2007), kelebihan pada model NHT,
antara lain : (1) rasa harga diri menjadi lebih tinggi, (2) memperbaiki kehadiran, (3)
penerimaan terhadap individu menjadi lebih besar, (4) perilaku mengganggu menjadi
lebih kecil, (5) konflik antara pribadi berkurang, (6) pemahaman menjadi lebih
mendalam, (7) meningkatkan kebaikan budi, kepekaan dan toleransi, (8) hasil belajar
lebih tinggi. Banyaknya kelebihan yang dimiliki model NHT dapat penulis
simpulkan garis besar kelebihan model NHT, yaitu: (1) semua siswa menjadi siap
untuk mengikuti pembelajaran, (2) dapat melakukan diskusi dengan
sungguh-sungguh, (3) siswa yang pandai dapat mengajari siswa yang kurang pandai. Selain
kelebihan model NHT juga memiliki beberapa kelemahan seperti yang telah
dipaparkan di atas, dapat penulis simpulkan, antara lain: (1) kemungkinan nomor
yang dipanggil, dipanggil lagi oleh guru, (2) tidak semua anggota kelompok
dipanggil oleh guru dalam satu kali waktu pertemuan pembelajaran, (3) kendala
teknis, misalnya masalah tempat duduk kadang sulit atau kurang mendukung diatur
kegiatan kelompok.
Selanjutnya, siswa yang hasil belajarnya rendah, menurut Lundgren (dalam
diri siswa, memperbaiki tingkat kehadirannya dalam proses belajar mengajar, lebih
mudah menerima orang lain, mengurangi perilaku yang mengganggu, mengurangi
konflik antar pribadi, meningkatkan budi pekerti, kepekaan sosial dan toleransi,
memperoleh pemahaman yang lebih mendalam, serta hasil belajar lebih baik
e. Pengelolaan Kelas dengan Model Numbered Head Together
Menurut Suyatno (dalam Sahrudin, 2011:432), langkah-langkah
pembelajaran Numbered Head Together, yaitu : (1) mengarahkan; (2) membuat
kelompok heterogen dan tiap siswa memiliki nomor tertentu; (3) memberikan
persoalan materi bahan ajar (untuk tiap kelompok sama tapi, tiap siswa dengan
nomor sama mendapat tugas yang sama) kemudian bekerja kelompok; (4)
mempresentasikan hasil kerja kelompok dengan nomor siswa yang sama sesuai tugas
masing-masing sehingga terjadi diskusi kelas; (5) mengadakan kuis individual dan
membuat skor perkembangan tiap siswa; dan (6) mengumumkan hasil kuis dan
memberikan reward.
Menurut Arends (dalam Wiyanti, 2008: 12), langkah-langkah yang dapat
dilakukan guru dalam pelaksanaan pembelajaran Numbered Head Together adalah
sebagai berikut:
1) Penomoran (Numbering)
Guru membagi siswa dalam kelompok-kelompok dengan 3 sampai 5 anggota
dan memberi mereka nomor sehingga masing-masing siswa dalam kelompok
memiliki nomor yang berbeda 1 sampai 5.
2) Memberi Pertanyaan (Questioning)
Guru mengajukan pertanyaan pada siswa. Pertanyaan ini dapat bervariasi dalam
bentuk pertanyaan yang spesifik ataupun dalam bentuk pernyataan.
3) Berpikir Bersama (Heads Together)
Siswa berpikir bersama-sama dalam kelompok untuk menemukan jawabannya
4) Menjawab Pertanyaan (Answering)
Guru menyebutkan nomor tertentu dan siswa dari setiap kelompok yang
memiliki nomor tersebut mengangkat tangannya dan memberikan jawaban pada
seluruh anggota kelas.
Pembelajaran dengan model numbered head together dapat memotivasi
siswa agar lebih aktif dan berusaha untuk memahami materi yang di berikan oleh
guru. Hal ini dapat dilakukan dengan cara guru memberikan pertanyaan pada siswa
secara acak. Hal tersebut mengharuskan setiap siswa paham dengan materi yang
sudah diajarkan.
Harapannya dengan model pembelajaran NHT dapat tercipta suasana
koordinasi agar siswa saling mendengarkan, saling berbagi, dan saling memberi dan
menerima, sehingga melatih mereka untuk mempertanggungjawabkan hasil
belajarnya. Secara tidak langsung model ini melatih siswa untuk saling berbagi
informasi, mendengarkan dengan cermat dengan penuh perhitungan, sehingga siswa
lebih produktif dalam pembelajaran.
B. Penelitian yang Relevan
Beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini, antara lain: (1)
Saputri (2007), dalam penelitiannya yang berjudul “Eksperimentasi Pembelajaran
Kooperatif Melalui Pendekatan Struktural “Numbered Heads Together” Ditinjau dari
Aktivitas Belajar Siswa (Penelitian dilakukan terhadap siswa kelas VIII semester 1
SMP N 1 Sumpiuh, Kabupaten Banyumas Subpokok Bahasan Fungsi), Dalam
penelitian ini dikemukakan bahwa model pembelajaran NHT dapat meningkatkan
prestasi belajar siswa, khususnya prestasi belajar matematika.
Penelitian di atas memiliki relevansi pada model pembelajaran yang
digunakan walaupun objeknyanya berbeda, dengan model NHT prestasi belajar
siswa dapat meningkat dan berpengaruh positif pada proses pembelajaran siswa.
prestasi belajar siswa. (2) Wardhani (2009), dalam penelitiannya yang berjudul “Upaya Meningkatkan Keterampilan Berbicara Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah pada Siswa Kelas V SD Negeri Watuagung 2 Wonogiri”, mengemukakan bahwa pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan keterampilan berbicara
siswa, khususnya pada pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Dari uraian
tersebut dapat disimpulkan bahwa keterampilan berbicara siswa dapat meningkat
dengan menggunakan metode tertentu.
Penelitian di atas memiliki relevansi objek kajian yang sama meskipun
penggunaan metodenya berbeda. Melalui model-model yang bervariasi menjadikan
guru lebih kreatif dalam pelaksanaan pembelajaran dan menjadikan siswa semangat
dan termotivasi dalam mengikuti pelajaran.
C. Kerangka Berpikir
Kondisi awal siswa kelas VII SMP Negeri 8 Surakarta dalam pembelajaran
cenderung pasif dan kurang berminat mengikuti pelajaran bahasa Indonesia,
keterampilan berbicara tergolong rendah. Hal ini karena guru lebih banyak berfungsi
sebagai instruktur yang sangat aktif dan siswa sebagai penerima pengetahuan yang
pasif. Pembelajaran lebih banyak ceramah, mempraktikkan perintah guru tanpa ada
instruksi yang jelas dan pemberian contoh oleh guru yang tidak sesuai dengan
pengalaman siswa sendiri dalam kehidupan nyata sehingga pembelajaran kurang
bermakna yang mengakibatkan motivasi belajar siswa rendah. Hanya siswa – siswa
tertentu saja yang aktif dalam pembelajaran.
Model pembelajaran NHT diharapkan dapat meningkatkan motivasi belajar
siswa agar pembelajaran bahasa Indonesia lebih bisa dinikmati dan diterima dengan
baik oleh siswa dengan penuh semangat. Pembelajaran NHT merupakan jenis
pembelajaran kooperatif yang dirancang untuk mempengarui pola interaksi siswa dan