• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses dan pola interaksi sosial siswa di fabel dan non-difabel di sekolah eksklusif di kota Surakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Proses dan pola interaksi sosial siswa di fabel dan non-difabel di sekolah eksklusif di kota Surakarta"

Copied!
237
0
0

Teks penuh

(1)

PROSES DAN POLA INTERAKSI SOSIAL

SISWA DIFABEL DAN NON-DIFABEL

DI SEKOLAH INKLUSIF DI KOTA SURAKARTA

Joko Teguh Prasetyo

D 0306004

JURUSAN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2)

PERSETUJUAN

Telah Disetujui untuk Dipertahankan di Hadapan Panitia Ujian Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politk

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Menyetujui, Dosen Pembimbing

(3)

PENGESAHAN

Telah diterima dan disahkan oleh panitia penguji skripsi Fakultas ilmu sosial dan ilmu politik

Universitas sebelas maret Surakarta

Hari :

Tanggal :

Panitia penguji skripsi :

1. Drs. Muflich Nurhadi, SU ( )

NIP. 19510116 198103 1 002 Ketua

2. Drs. Bambang Santosa ( )

NIP. 19560721 198303 1 002 Sekretaris

3. Drs. Argyo Demartoto, M.Si ( )

NIP. 19650825 199203 1 003 Penguji

Mengetahui, Dekan FISIP UNS

(4)

MOTTO

Untuk mencapai kesuksesan, kita jangan hanya bertindak, tapi juga perlu bermimpi ; jangan hanya berencana, tapi juga perlu untuk percaya. To accomplish great things, we must not only act, but also dream; not only plan, but also believe. ~ Anatole France

(5)

PERSEMBAHAN

Karya sederhana ini saya persembahkan untuk :

Orang tua

Keluarga

(6)

KATA PENGANTAR

Bismillahhirahmanirrahim

Assalamu’alaikum wr. wb

Alhamdulillahirobbil’alamiin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan kewajiban untuk menyusun penelitian skripsi dengan Judul

:

“Pola dan Proses Interaksi Sosial Siswa Difabel dan Non-Difabel di Sekolah Inklusif di Kota Surakarta”.

Penulisan skripsi ini dilatarbelakangi oleh ketertarikan penulis terhadap pendidikan inklusif. Sehingga timbul kesadaran pentingnya membagi pengalaman yang didapatkan selama penelitian, agar mendapatkan kepuasan pada diri sendiri dan dapat membaginya lewat penyusunan skripsi ini. Banyak sekali yang penulis bisa dapatkan dari penelitian ini terutama sikap dan perilaku siswa difabel dalam berinteraksi dengan teman-temannya yang merupakan siswa non-difabel. Sehingga membuat kita lebih bersyukur lagi atas karunia yang diberikan Tuhan selama ini.

Penulis menyadari bahwa keberhasilan dalam menyelesaikan penelitian skripsi ini tentu saja tidak terlepas dari adanya bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis dengan segala kerendahan hati penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tulus kepada :

1. Drs. H. Supriyadi SN, SU selaku Dekan FISIP UNS

2. Dra. Hj. Trisni Utami, M.Si selaku Ketua Jurusan Sosiologi FISIP UNS 3. Drs. Argyo Demartoto, M, Si selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang

dengan penuh perhatian dan kesabaran dalam memberikan bimbingan, petunjuk serta motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Kepala Sekolah dan Wakil Kepala Sekolah Sekolah Dasar (SD) AL Firdaus Kota Surakarta.

(7)

6. Ibu Ida, Isna, Bapak Joko, Ibu Uswahyu, Pak Agus, selaku guru di Sekolah Dasar (SD) AL Firdaus.

7. Orang tua siswa yang telah berbagi pengalaman tentang pendidikan inklusif di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus bagi perkembangan anak-anak mereka.

8. Sahabat, teman, dan semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih terdapat kekurangan yang disebabkan keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang penulis miliki. Oleh karena itu penulis membuka diri terhadap segala kritik maupun saran yang bersifat membangun.

Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini berguna dan bermanfaat bagi pembaca yang budiman.

Wassalau’alaikum wr. Wb.

(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……….. i

HALAMAN PERSETUJUAN ……….. ii

HALAMAN PENGESAHAN ……….. iii

HALAMAN MOTTO ……….. iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ……….. v

KATA PENGANTAR ……….. vi

DAFTAR ISI ……….. viii

DAFTAR GAMBAR ……….. xi

DAFTAR TABEL ……….. xii

DAFTAR BAGAN ……….. xiii

DAFTAR MATRIKS ……….. xiv

ABSTRAK ……….. xv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……….. 1

B. Rumusan Masalah ……….. 9

C. Tujuan Penelitian ……….. 9

D. Manfaat Penelitian ……….. 10

E. Landasan Teori ……….. 10

F. Definisi Konseptual ... 22

G. Metodologi Penelitian ... 47

1. Lokasi ……….. 47

2. Bentuk dan Jenis penelitian ………... 48

3. Sumber Data ... 49

4. Teknik Pengumpulan Data ……… 50

5. Teknik Sampling ……….. 54

6. Validitas Data ……….. 55

7. Teknik Analisa Data ... 58

(9)

BAB II DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

A. Profil Yayasan Lembaga Pendidikan Al Firdaus Kota Surakarta 1. Sejarah Berdirinya Lembaga Pendidikan Al Firdaus

Kota Surakarta ……… 64

2. Visi Misi dan tujuan ……… 66

3. Kurikulum dan Pembelajaran ... 67

4. Sumber Daya Manusia ... 67

5. Unit-unit Pendidikan ... 68

6. Unit-unit Pendukung ... 92

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Profil Informan ……….. 120

2. Proses dan Pola Interaksi Sosial Siswa Difabel dengan Non- Difabel dan Siswa Difabel dengan Guru ……....………….. 146

B. Aksesibilitas Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus Kota Surakarta bagi Siswa Difabel ... 181

C. Pembahasan ……….. 196

BAB IV PENUTUP ……….. 207

A. Kesimpulan ……….. 207

1. Kesimpulan Empiris ……….. 138

2. Kesimpulan Teoritis ……….. 139

3. Kesimpulan Metodologis ……….. 143

B. Saran ……….. 144

DAFTAR PUSTAKA ……….. 221

(10)

DAFTAR GAMBAR

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 : Banyaknya Penyandang Cacat Menurut Jenis & Kecamatan di Kota Surakarta Tahun 2008 ... 5 Tabel 1.2 : Daftar Anak Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial

Di Kota Surakarta Tahun 2006 ... 6 Tabel 1.3 : Daftar Penyandang Cacat Menurut Jenis Kelamin di Kota

Surakarta Tahun 2006 ... 7 Tabel 1.4 : Daftar Sekolah Inklusif di Kota Surakarta ... 8 Tabel 2.1 : Daftar Siswa Yayasan Al Firdaus Kota Surakarta ... 69 Tabel 2.2 : Penggolongan Siswa Difabel Sekolah Dasar (SD)

Al Firdaus Kota Surakarta Menurut Jenis Kecacatan …… 52 Tabel 2.3 : Data Siswa Difabel di Yayasan Al Firdaus Kota Surakarta

Menurut Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus

(12)

DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1 : Struktur organisasi pada Taman Pendidikan Pra Sekolah

(TPP) Al Firdaus Tahun Pelajaran 2009/20101 ... 74 Bagan 2.2 : Struktur Organisasi Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus Kota

Surakarta Tahun Pelajaran 2009/2010 ... 79 Bagan 2.3 : Struktur organisasi Sekolah Menengah (SM) Al Firdaus

Kota Surakarta ... 89 Bagan 2.4 : Struktur organisasi Sekolah Menengah Pertama (SMP)

Al Firdaus Kota Surakarta ... 90 Bagan 2.5 : Struktur organisasi Sekolah Menengah Atas (SMA)

Al Firdaus Kota Surakarta ... 91 Bagan 2.6 : Struktur organisasi Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan

Khusus (PUSPA) Al Firdaus ... 100 Bagan 2.7 : Prosedur Standar Intervensi Pusat Pelayanan Anak

(13)

DAFTAR MATRIKS

Matriks 3.1 : Profil Informan ……….. 136 Matriks 3.2 : Keterbatasan Siswa Difabel dalam Berinteraksi Sosial …. 150 Matriks 3.3 : Gangguan Interaksi dan Sosialisasi pada Siswa Difabel

Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus Kota Surakarta ………… 159 Matriks 3.4 : Proses Interaksi Sosial Siswa Difabel ……….. 166 Matriks 3.5 : Pola Interaksi Sosial ………...……….. 178 Matriks 3.6 : Aksesibilitas Seklah Dasar (SD) Al Firdaus Bagi Siswa

(14)

ABSTRAK

Joko Teguh Prasetyo. D0306004. Proses dan Pola Interaksi Sosial Siswa Difabel dan Non-Difabel di Sekolah Inklusif di Kota Surakarta. Skripsi. Jurusan Sosiologi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2010.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif tentang Pola dan Proses Interaksi Sosial Siswa Difabel dan Non-Difabel di Sekolah Inklusif di Kota Surakarta. Penelitian telah dilaksanakan di Lembaga Pendidikan Al Firdaus khususnya di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus Kota Surakarta. Pengumpulan data dilakukan dengan metode interaktif melalui wawancara dan dengan metode non interaktif melalui catatan dokumen observasi tak berperan. Pengambilan sampel dilakukan purposive sampling. Analisa data menggunakan model analisa interaktif, sedangkan validitas data menggunakan triangulasi data/ sumber.

Kemudahan dalam penelitian skripsi ini adalah sikap yang terbuka dari para stakeholder terkait, yaitu : guru dan orang tua siswa difabel, serta keterbukaan dari informan (siswa difabel), yaitu : Abdul (bukan nama sebenarnya), Rahman (bukan nama sebenarnya), Tian (bukan nama sebenarnya), Nanda (bukan nama sebenarnya), Putra (bukan nama sebenarnya), Ian (bukan nama sebenarnya), dan Iman (bukan nama sebenarnya). Sedangkan kesulitannya adalah terbatasnya siswa difabel autis sebagai responden penelitian, karena sulit untuk beradaptasi dengan orang baru.

(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Difabel yang merupakan kepanjangan dari "different ability" merupakan salah satu masalah sosial yang masih dihadapi oleh Negara Indonesia saat ini. Banyaknya kaum difabel yang mendapatkan stigma negatif dari masyarakat Indonesia, membuat kaum ini merasa terdiskriminasi di segala bidang kehidupan. Di bidang pendidikan anak difabel juga mengalami pendiskriminasian, dimana pendidikan yang diperoleh anak difabel dibedakan dengan anak non-difabel pada umumnya.

(16)

Selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama tanpa memandang kesulitan atau perbedaan yang ada.

Kongres Internasional ke-8 tentang Mengikutsertakan Anak Penyandang Cacat ke Dalam Masyarakat : Menuju Kewarganegaraan yang Penuh, yang dilaksanakan pada Juni 2004 di Stavanger, menegaskan adanya hak yang sama bagi yang berkebutuhan khusus maupun bagi yang tidak berkebutuhan khusus. Kewarganegaraan yang penuh memberi konsekuensi bahwa setiap anak memiliki kesempatan yang sama dalam semua aspek kehidupan, seperti layanan kesehatan, pendidikan, program perawatan, maupun rekreasi. Hal ini berarti, anak difabel juga memiliki hak untuk berbicara, berpendapat, memperoleh pendidikan, kesejahteraan dan kesehatan, serta mendapatkan hak dan kewajiban secara penuh sebagai warga negara. (European Journal of Psychology of Education Vol. XXI, 2006 : 231-238).

Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa setiap warga negara mempunyai setiap kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan. Hal ini berarti tidak terkecuali bagi anak difabel. Undang-Undang Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat menyebutkan adanya kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan pada satuan, jenis, dan jenjang pendidikan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya. Sebaliknya, setiap lembaga pendidikan haruslah memberi kesempatan tersebut.

(17)

dan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dengan ragam hak untuk :

1. Mendapat kesempatan yang sama dan aksesibilitas bagi pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa.

2. Menerima pendidikan, pelatihan dengan cara yang memungkinkan demi tercapainya integrasi sosial.

3. Dilindungi dari tindak kekerasan yang dilakukan guru pengelola sekolah, atau teman-temannya.

Mengenai sistem pendidikan, dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebut bahwa penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik berkelainan (dapat diartikan siswa difabel) diselenggarakan secara inklusif atau berupa sekolah khusus. Hal ini berarti, tidak ada keharusan dilaksanakan melalui berbagai sekolah luar biasa, melainkan juga dapat diselenggarakan melalui sekolah umum. Hal yang terpenting. Pendidikan haruslah diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultur, dan kemajemukan bangsa.

(18)

Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat; Undang-Undang.No.25/ 1997 tentang Ketenagakerjaan, UUSPN No.20/ 2003).

Pendidikan sangat diperlukan dalam upaya mencapai kesejahteraan sosial. Hak atas pendidikan merupakan bagian esensial dalam hak asasi manusia seseorang. Bahkan dapat dikatakan, pendidikan merupakan prasyarat bagi terlaksananya hak-hak dasar yang lain bagi seseorang. Dalam lingkup hak ekonomi, sosial dan budaya, hak seseorang untuk mendapatkan pekerjaan, untuk memperoleh pembayaran yang setara dengan pekerjaan yang dilakukan, untuk membentuk serikat buruh, atau untuk mengambil bagian dalam

kehidupan kebudayaan, untuk menikmati manfaat kemajuan ilmu pengetahuan dan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi berdasarkan

kemampuannya, hanya dapat dilaksanakan secara berarti setelah seseorang memperoleh tingkat pendidikan minimum.

(19)

Sistem pendidikan inklusif diharapkan mampu menjadi jawabannya karena dianggap dapat memberikan lebih banyak kesempatan kepada anak difabel, namun dalam pelaksanaannya bentuk pendidikan ini belum berjalan sebagaimana diharapkan karena beberapa hal, seperti: masalah terbatasnya jumlah sekolah berpendidikan inklusif, keterbatasan sumber daya pengajarnya, sikap dan perlakuan yang diskriminatif, dan penolakan sebagian orang tua murid.

Sejak lahirnya Direktorat Pendidikan Luar Biasa di Lingkungan Ditjen. Dikdasmen Depdiknas telah diciptakan suatu model atau sistem pendidikan yang disebut pendidikan inklusif. Pendidikan inklusif pada dasarnya adalah pendidikan yang mengikutsertakan anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus (anak difabel) untuk belajar bersama-sama dengan anak sebayanya di sekolah umum. Menurut Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh, saat ini di Indonesia terdapat sekitar 1.450 sekolah luar biasa (SLB) dan hanya 400 yang negeri. Selain itu, sebanyak 800 sekolah sudah menjadi sekolah inklusif. (Kompas, 17 November 2009).

Kota Surakarta merupakan salah satu tempat berdomisilinya kaum difabel baik sebagai tempat tinggal permanen maupun pelatihan-pelatihan. Banyaknya difabel di kota ini dapat dilihat dari jumlah kaum difabel dengan berbagai jenis kecacatan dari tabel berikut ini:

Tabel 1.1

(20)

Kecamatan Cacat

Pasar Kliwon 86 59 72 38

jebres 81 62 44 47

Sumber : BPMPPPA dan KB Kota Surakarta 2008

Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa Di Kota Surakarta terdapat 498 orang penyandang cacat tubuh, 278 tunanetra, 489 orang tuna mental dan 199 orang tuna rungu/ wicara. Sedangkan daftar anak Penyandang Masalah

Kesejahteraan Sosial (PMKS) di Kota Surakarta pada tahun 2006 dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 1.2

Daftar Anak Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial Kota Surakarta Tahun 2006

(21)

Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa jumlah terbanyak anak Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) di Kota Surakarta yaitu dengan kriteria anak cacat (difabel) pada tahun 2006 berjumlah 812 jiwa yang terdiri dari jenis kelamin laki-laki berjumlah 464 jiwa dan perempuan berjumlah 348 jiwa. Dari tabel diatas, tampak bahwa jumlah anak cacat (difabel) memiliki angka tertinggi diantara jumlah anak penyandang masalaha kesejahteraan sosial lainnya.

Keadaan anak yang mempunyai cacat fisik, mental, maupun mental dan fisik (ganda) pada usia 0-18 tahun di Kota Surakarta dapat dilihat melalui tabel dibawah ini :

Tabel 1.3

Daftar Penyandang Cacat Menurut Jenis Kelamin di Kota Surakarta Tahun 2006

No Kriteria Cacat

Tahun 2006

L P JUMLAH

1 Cacat tubuh 122 86 208

2 Cacat Rungu Wicara 80 66 146

3 Cacat Netra 21 20 41

4 Cacat Mental Reterdasi 139 93 232 5 Cacat Mental Eks Psikotik 27 24 51

6 Cacat Ganda 56 45 101

(22)

JUMLAH 462 348 810

Sumber : Data PMKS dan PSKS DKRPPKB Kota Surakarta Tahun 2006

Kota Surakarta dijadikan program kota layak anak, didalam program kota layak anak ini Kota Surakarta dituntut untuk memenuhi segala fasilitas menyangkut kesejahteraan anak baik di bidang kesehatan, hukum maupun pendidikan. Dibidang pendidikan Kota Surakarta diharuskan memenuhi persyaratan yang telah ditentukan didalam Konvensi Hak Anak, termasuk menyediakan fasilitas pendidikan untuk anak-anak baik non-difabel dan difabel. Salah satunya dengan menyediakan sekolah inklusif.

Di Kota Surakarta terdapat beberapa sekolah inklusif untuk memenuhi kebutuhan hak anak difabel untuk memperoleh pendidikan. Adapun daftar sekolah inklusif di Kota Surakarta menurut LPPM UNS adalah sebagai berikut:

Tabel 1.4

Daftar Sekolah Inklusif di Kota Surakarta

No Nama Sekolah

1 SDN Bromontakan 2 SDN Pajang I 3 SDN Petoran 4 SDN Manahan

5 SD Al Firdaus Surakarta

(23)

7 SMP SMU Al Firdaus Surakarta 8 SMAN 8 Surakarta

9 SMU Muhammadiyah 6 Surakarta 10 SMKN 9 Surakarta

Sumber : LPPM UNS 2009

Dalam kehidupan sehari-hari terdapat banyak permasalahan yang melekat pada difabel dan terutama pada siswa difabel yang sama sekali tidak pernah menjadi perhatian baik oleh masyarakat difabel itu sendiri maupun non-difabel. Berdasarkan realitas sosial diatas maka kegiatan penelitian ini lebih difokuskan pada Proses dan Pola interaksi sosial siswa difabel dan non-difabel di sekolah inklusif di Kota Surakarta.

B. PERUMUSAN MASALAH

1. Bagaimanakah proses dan pola interaksi siswa difabel dengan siswa non-difabel di Sekolah Dasar Al Firdaus Surakarta sebagai salah satu sekolah inklusif di Kota Surakarta?

(24)

C. TUJUAN PENELITIAN

1. Mengetahui proses dan pola interaksi siswa difabel dengan siswa non-difabel di sekolah inklusif di Kota Surakarta.

2. Mengetahui aksesibilitas bagi siswa difabel yang diberikan oleh Sekolah Dasar Al Firdaus Surakarta sebagai salah satu sekolah inklusif di Kota Surakarta, demi menghasilkan output atau hasil sumber daya manusia yang berkualitas?

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Teoritis

Dapat memberikan sumbangan pemikiran dan pertimbangan untuk penelitian sejenis dan dapat digunakan sebagai titik tolak untuk melaksanakan penelitian serupa dalam lingkup yang lebih luas.

2. Manfaat Praktis

a. Dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan Pemerintah Kota Surakarta dan Dinas Pendidikan dan Olah Raga (DISDIKPORA) Kota Surakarta untuk lebih memperhatikan pendidikan kaum difabel terkait dengan sekolah inklusif dan aksesibilitasnya terhadap kaum difabel di Kota Surakarta.

(25)

E. LANDASAN TEORI

Permasalahan dalam penelitian ini akan dikaji dengan pendekatan sosiologi. Roucek dan Waren mendefinisikan sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam kelompok-kelompok sosial. Menurut WF.Ogburn dan Meyer F. Nimkoff berpendapat bahwa sosiologi adalah penelitian secara ilmiah terhadap interaksi sosial dan hasilnya yaitu organisasi.

Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi menyatakan bahwa sosiologi atau ilmu masyarakat adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial.

Menurut Pitirim A Sorokin menyatakan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang diharapkan untuk mempelajari :

1. Hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala sosial.

2. Hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dan non sosial. (Soekanto, 1990 : 19-20)

Sedangkan Selo Soemarjan dan Soelaeman Soemarji menyatakan bahwa: “Sosiologi atau ilmu masyarakat adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial.” (Soekanto, 1987 : 15)

Dalam beberapa hal sosiologi dikatakan mirip dengan psikologi, terutama dalam teori interaksi simbolik yang banyak dipengaruhi oleh psikoanalisa. Untuk membedakan kedua ilmu tersebut Soeprapto menyatakan bahwa:

(26)

Sedangkan sosiologi adalah ilmu yang mempelajari individu dalam kapasitasnya sebagai masyarakat.”

(Soeprapto, 2002 : 1)

Menurut Max Weber yang dikenal sebagai pendukung paradigma definisi sosial yang menjadi sudut pandang dari penelitian ini:

“Sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan memahami tindakan sosial secara interpretatif agar diperoleh kejelasan mengenai sebab-sebab, proses, dan konsekuensinya. Dengan kata lain sosiologi adalah ilmu yang berhubungan dengan pemahaman interpretatif mengenai tindakan sosial agar dengan demikian bisa diperoleh penjelasan kausal mengenai arah dan konsekuensi dari tindakan itu.”

(Raho, 2004 : 3)

Setiap ilmu memiliki teori-teori sendiri. Tapi kepastian dari teori-teori itu berbeda dari satu ilmu ke ilmu yang lainnya. Derajat kepastian di dalam ilmu alam, fisika, atau kimia biasanya lebih tinggi dari pada derajat kepastian di dalam teori-teori ilmu sosial. Teori-teori di dalam ilmu sosial, tidak lebih dari suatu perspektif atau cara pandang dalam meneropong kehidupan masyarakat. Sebuah teori dalam ilmu sosial bertahan selama belum ada penjelasan lain yang mengatakan sebaliknya.

Manusia merupakan makhluk sosial, dimana dasar kehidupan bersama adalah komunikasi, terutama lambang-lambang sebagai kunci untuk memahami kehidupan sosial manusia. Suatu lambang merupakan tanda, benda atau gerakan yang secara sosial dianggap mempunyai arti-arti tertentu.

(27)

perantaraan lambang-lambang tersebut, maka manusia memberikan arti pada kegiatan-kegiatannya. Mereka dapat menafsirkan keadaan dan perilaku dengan mempergunakan lambang-lambang tersebut. Manusia membentuk perspektif-perspektif tertentu melalui suatu proses sosial dimana mereka memberi rumusan hal-hal tertentu, bagi pihak-pihak lainnya. Selanjutnya mereka berperilaku menurut hal-hal yang diartikan secara sosial (Soekanto, 1990 : 7).

Dari definisi tersebut tampak bahwa sebagaimana halnya dengan ilmu-ilmu sosial lainnya obyek sosiologi adalah masyarakat yang dilihat dari sudut hubungan antar manusia dan proses yang timbul dari hubungan manusia di dalam masyarakat. Masyarakat mempunyai batasan yang cukup luas yang memcakup berbagai faktor termasuk didalamnya juga mencakup tentang pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat tersebut. (Soekanto, 1990 : 23).

(28)

Menurut Ritzer, didalam sosiologi, ada tiga paradigma utama, yaitu paradigma fakta sosial, paradigma definisi sosial dan paradigma perilaku sosial. Pertama paradigma fakta sosial, paradigma yang dipelopori oleh Emile Durkheim ini menekankan pokok persoalan sosiologi adalah fakta sosial. Fakta sosial adalah sesuatu (thing) yang berada diluar individu dan berbeda dari ide-ide tetapi bisa mempengaruhi individu didalam bertingkah laku. Secara garis besar, fakta sosial kelompok-kelompok, organisasi-organisasi, sistem sosial, keluarga, pemerintah, institusi politik, kebiasaan, hukum, undang-undang, nilai-nilai dan sebagainya. Teori yang berada dalam naungan paradigma fakta sosial adalah teori fungsionalisme struktural dan teori konflik.

(29)

understanding) tentang tindakan sosial. Bagi Weber perbuatan manusia baru menjadi tindakan sosial sepanjang tindakan itu mempunyai arti bagi dirinya dan diarahkan kepada orang lain. Sebaliknya tindakan yang diarahkan kepada benda mati bukanlah sebagai suatu tindakan sosial, kecuali tindakan yang diarahkan kepada benda mati dilakukan untuk memancing reaksi dari orang lain. Jadi pokok persoalan yang perlu diselidiki oleh sosiologi ini adalah tindakan sosial, yakni tindakan yang penuh arti dari seorang individu.

Perbedaannya dengan paradigma perilaku sosial adalah bahwa aktor dalam paradigma definisi sosial bersifat dinamis dan kreatif, karena mereka memberikan interpretasi sebelum mereka memberikan reaksi atas tindakan sosial. Sedangkan pada paradigma perilaku sosial, aktor kurang kurang sekali memiliki kebebasan. Tanggapan yang diberikannya lebih ditentukan oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya seperti norma, nilai-nilai, atau struktur sosial.

(30)

Tindakan sosial seperti yang dikemukakan oleh Weber, juga dapat berupa tindakan-tindakan yang nyata-nyata diarahkan kepada orang lain, juga dapat berupa tindakan yang bersifat membatin atau bersifat subyektif yang mungkin terjadi karena pengaruh positif dari situasi tertentu. Atau merupakan tindakan perulangan dengan sengaja sebagai akibat dari pengaruh situasi yang berbeda. Atau berupa persetujuan secara pasif dalam situasi tertentu. (Ritzer, 2002: 38).

Secara definitif Weber berusaha untuk menafsirkan dan memahami (interpretative understanding) tindakan sosial serta antar hubungan sosial untuk sampai kepada penjelasan kausal. Di dalam definisi ini terkandung dua konsep dasar, yaitu pertama konsep tindakan sosial. Kedua konsep tentang penafsiran dan pemahaman. Konsep terakhir ini menyangkut metode untuk menerangkan yang pertama. Dalam mempelajari tindakan sosial, Weber menganjurkan melalui penafsiran dan pemahaman (interpretative understanding). Peneliti mencoba menginterpretasikan tindakan dan memahami motif serta tindakan si aktor. Dalam hal ini Weber menyarankan dua cara, dengan melalui kesungguhan dan dengan mencoba mengenangkan dan menyelami pengalaman si aktor.

Atas dasar rasionalitas tindakan sosial, Weber membedakannya ke dalam empat tipe, yang mana semakin rasional tindakan sosial itu semakin mudah dipahami. Keempat tipe tersebut yaitu :

1. Zwerk rational

Yakni tindakan murni. Dalam hal ini maka aktor tidak hanya sekedar menilai cara terbaik untuk mencapai tujuannya tapi juga menentukan nilai dari tujuan itu sendiri.

2. Werktrational action

(31)

merupakan tujuan itu sendiri. Namun demikian ini rasional dapat dipertanggungjawabkan karena dapat dipahami.

3. Affectual action

Tindakan yang dibuat-buat. Dipengaruhi oleh emosi dan kepura-puraan si aktor, tindakan ini sukar dipahami dan tidak rasional.

4. Traditional action

Tindakan yang didasarkan akan kebiasaan-kebiasaan melakukan sesuatu di masa lain.

(Johnson, 1994: 220-222).

Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui interaksi siswa difabel dengan siswa non-difabel di sekolah inklusif di Kota Surakarta dan aksesibilitas apa saja yang diberikan oleh sekolah kepada siswa difabel di Kota Surakarta demi menghasilkan output sumber daya manusia yang berkualitas. Pendekatan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori interaksionisme simbolik. Substansi dasar dari teori tersebut adalah bahwa kehidupan bermasyarakat terbentuk melalui proses interaksi dan komunikasi antar individual dan antar kelompok dengan menggunakan simbol-simbol yang dipahami maknanya melalui proses belajar.

Proses Interaksi sosial menurut Herbert Blumer adalah pada saat manusia bertindak terhadap sesuatu atas dasar makna yang dimiliki sesuatu tersebut bagi manusia. Kemudian makna yang dimiliki sesuatu itu berasal dari interaksi antara seseorang dengan sesamanya. Dan terakhir adalah makna tidak bersifat tetap namun dapat dirubah, perubahan terhadap makna dapat terjadi melalui proses penafsiran yang dilakukan orang ketika menjumpai sesuatu. Proses tersebut disebut juga dengan interpretative process.

(32)

dari terjadinya hubungan sosial Komunikasi merupakan penyampaian suatu informasi dan pemberian tafsiran dan reaksi terhadap informasi yang disampaikan. Karp dan Yoels menunjukkan beberapa hal yang dapat menjadi sumber informasi bagi dimulainya komunikasi atau interaksi sosial. Sumber Informasi tersebut dapat terbagi dua, yaitu Ciri Fisik dan Penampilan. Ciri Fisik, adalah segala sesuatu yang dimiliki seorang individu sejak lahir yang meliputi jenis kelamin, usia, dan ras. Penampilan di sini dapat meliputi daya tarik fisik, bentuk tubuh, penampilan berbusana, dan wacana.

Jadi tindakan seseorang dalam proses interaksi itu bukan semata-mata merupakan suatu tanggapan yang bersifat langsung terhadap stimulus yang datang dari lingkungannya atau dari luar dirinya. Tetapi tindakan itu merupakan hasil daripada proses interprestasi terhadap stimulus. Jadi merupakan proses dari belajar, dalam arti memahami simbol-simbol itu. Meskipun norma-norma, nilai-nilai sosial dan makna dari simbol-simbol itu memberikan pembatasan terhadap tindakannya, namun dengan kemampuan berfikir yang dimilikinya manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan tindakan dan tujuan-tujuan yang hendak dicapainya.

(33)

orang lain. Diri merupakan bagian dari orang lain dan persepsi seseorang terhadap dirinya dan kemudian mengembangkan definisi melalui proses interaksi sosial (Ritzer, 2002 : 50-53).

Jadi dalam teori tersebut terkandung pengertian bahwa manusia bukan dilihat sebagai produk yang ditentukan oleh struktur atau situasi obyektif, tetapi paling tidak sebagian, merupakan aktor-aktor yang bebas. Bukannya melihat aksi sebagai tanggapan langsung terhadap stimulus sosial. Dengan demikian orang tidak hanya berinteraksi dengan orang lain, tetapi secara simbolis dia juga berinteraksi dengan dirinya sendiri. Interaksi simbolis dilakukan dengan menggunakan bahasa, sebagai satu-satunya simbol yang terpenting dan melalui isyarat. Simbol bukan merupakan fakta-fakta yang sudah jadi, simbol berada dalam proses yang kontinyu.

Selain teori interaksionisme simbolik dan teori aksi diatas, penelitian Proses dan Pola Interaksi Sosial Siswa Difabel dan Non-Difabel di Sekolah Inklusif di Kota Surakarta ini juga menggunakan teori kritis dari Max Horkheimer dan juga Jurgen Habermas.

Di dalam gagasan kritis Horkheimer menitik beratkan pada peran psikologis sosial dalam menjembatani kesenjangan antara individu dan masyarakat. Teori kritis bertujuan memberikan kesadaran untuk membebaskan manusia dari masyarakat irasional dan sekaligus memberikan kesadaran pembangunan masyarakat yang rasional. Dalam bahasa yang lebih terperinci, bisa disingkat dalam pokok-pokok sebagai berikut :

(34)

b. Teori kritis berorientasi nilai, sekaligus mengajarkan bagaimana seharusnya kita hidup.

c. Teori kritis berorientasi pada ilmu yang bebarengan dengan sisi kematian, adat istiadat, kebiasaan, dan tradisi.

d. Teori kritis bersifat holistik dan tidak reduksionistik.

e. Teori kritis memulai dengan sebuah kepentingan dalam menafsirkan makna tindakan, dengan maksud meningkatkan hubungan komunikasi dan mereproduksi hubungan sosial.

f. Teori kritis mengasumsikan bahwa adalah mungkin merefleksikan penggunaan bahasa sehingga bisa menuju pemahaman yang lebih lengkap pada cara dimana realitas dekonstruksi secara sosial.

g. Teori kritis mengasumsikan bahwa orang tidak selau menyadari aturan-aturan tempat ia tinggal dan mengorganisasikan pengalaman mereka dalam hidup.

h. Teori kritis selalu berbentuk sebuah kritik atas cara, dimana individu dibatasi untuk bertindak dan selalu mengidentifikasi diri mereka dalam kerangka lembaga sosial khusus

(Susilo, 2008 : 140).

Teori kritis mendasarkan pada kritik atas banyak hal, seperti ilmu positifis,rasionalitas, teknologi, ilmu hukum, kesatuan keluarga, pola-pola birokrasi, bahasa, seni, musik, sastra, kepribadian otoriter, dan psikoanalisa. Teori kritis mempunyai beberapa ciri khas:

1. Kritis terhdap masyarakat. Marx menjalankan kritis terhadap politik dan ekonomi pada zamannya. Mazhab Frankfurt juga mempertanyakan sebab-sebab yang mengakibatkan peyelewengan-penyelewengan dalam masyarakat. Struktur masyarakat rapuh, karena itu harus dirubah.

2. Teori kritis berfikir secara historis dengan berpijak pada proses masyarakat yang historis. Teori kritis meneruskan posisi dasar Hegel dan Marx. Dengan demikian, teori tersebut selalu berakar pada suatu situasi pemikiran dan situasi sosial yang tertentu misalnya material-ekonomis.

(35)

4. Teori kritis tidak memisahkan teori dari praktik, pengetahuan dari tindakan, rasio teoretis dari rasio praktis. Perlu dicatat bahwa rasio praktis tidak boleh dicampuradukan dengan rasio instrumental yang yang hanya memperhitungkan alat atau sarana saja. Frankfurt menunjukan bahwa teori atau ilmu yang bebas nilai adalah palsu. Teori kritis selalu harus melayani transformasi praktis masyarakat. (Santoso, 2007 : 97).

Menurut Habermas setidaknya ada enam tema dalam program teori kritis, yaitu: bentuk-bentuk integrasi sosial masyarakat post-liberal, sosialis dan perkembangan ego, media massa dan kebudayaan massa, psikologi sosial protes, teori seni dan kritik atas positivis. Habermas, mengatakan bahwa segala bentuk ilmu harus dialamatkan kepada kepentingan kognitif, sehingga itu tidak bebas nilai. Setiap ilmu dan teori apapun haarus memiliki pertautan dengan nilai dan kepentingan (Santoso, 2007 : 224).

Ilmu-ilmu kritis berusaha menunjukkan bahwa keajegan-keajegan tertentu yang merupakan pola hubungan ketergantungan ideologis pada dasarnya dapat diubah. Habermas menyebut “refleksi diri” (substreflexion). Melalui refleksi ini orang harus dibebaskan dari segala sesuatu yang mendominasi, yang membelenggu dan mengarah pada kemungkinan adanya hubungan-hubungan ketergantungan tersebut. Dalam hubungannya dengan sekolah inklusif difabel di Sekolah Dasar Al Firdaus, baik siswa difabel maupun siswa non-difabel, tidak ada yang saling mendominasi satu sama lain. Walaupun mayoritas siswa adalah siswa non-difabel, tetapi interaksi sosial yang terjalin sangat baik, bahkan dalam hal prestasi, siswa difabel mampu bersaing dengan siswa non-difabel. (Santoso, 2007 : 233).

(36)

dalam perubahan masyarakat. Tanpa adanya kemauan individu untuk berubah, maka masyarakat tidak akan berubah. Kemauan erat kaitannya dengan tindakan, bahkan ada yang mendefinisikan kemauan sebagai tindakan yang merupakan usaha seseorang untuk mencapai tujuan. (Santoso, 2007 : 237).

Menurut Richard Dewey dan W.J Humber, kemauan merupakan :

a. Hasil keinginan untuk mencapai tujuan tertentu yang begitu kuat sehingga mendorong orang untuk mengorbankan nilai-nilai yang lain, yang tidak sesuai dengan pencapaian tujuan.

b. Berdasarkan pengetahuan tentang cara-cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan.

c. Dipengaruhi oleh kecerdasan dan energi yang diperlukan untuk mencapai tujuan.

d. Pengeluaran energi yang sebenarnya dengan satu cara yang tepat untuk mencapai tujuan.

(Rakhmat, 2007 : 43).

Siswa difabel merupakan salah satu individu yang memiliki peranan penting dalam masyarakat, jika dari dalam diri difabel itu sendiri tidak memiliki kemauan untuk berubah, maka proses belajar tidak akan terjadi, dan sekolah inklusif tidak akan terlaksana dengan baik sebagaimana mestinya. Siswa difabel memiliki kemauan untuk mendapatkan kesetaraan dalam bidang pendidikan dengan siswa non-difabel dan ikut bersaing dalam pendidikan. Untuk mewujudkan cita-cita dalam mencapai tujuan tersebut, maka pemerintah melaksanakan program sekolah inklusif, dan salah satunya yaitu di Yayasan Al Firdaus Kota Surakarta.

F. DEFINISI KONSEPTUAL

(37)

Kecacatan yang oleh masyarakat kita masih dimaknai sebagai sifat abnormal, ketidak sempurnaan, dan keadaan yang rusak sehingga perlu untuk disempurnakan. Pemaknaan kata cacat sebagai ketidak sempurnaan ini menjadi sangat kontroversial jika dikaitkan dengan hakikat penciptaan manusia. Jika entitas manusia dipandang sebagai hasil dari sebuah proses maka kecacatan atau ketidaksempurnaan yang dilekatkan pada para penyandang cacat dapat juga dimaknai sebagai ketidaksempurnaan dari sebuah proses penciptaan manusia yang dilakukan oleh Allah SWT. Dihadapan Allah, dimensi spiritual melalui keimanan dan amal sholeh lebih utama dibanding fisik. Dari sini dilihat bahwa tidak ada alasan untuk bersikap diskriminatif terhadap difabel.

(38)

(http://www.scribd.com/doc/23956444/Difabel-Dan-Usaha-Dekonstruksi-Kesempurnaan).

Berdasarkan Hak Asasi Manusia, pada tanggal 9 Desember 1975, PBB mendeklarasikan Hak-Hak Penyandang Cacat melalui resolusi no. 3447(XXX) untuk meningkatkan kualitas hidup kaum difabel yang harus diikuti oleh seluruh negara anggotanya. Resolusi ini menjamin persamaan hak sebagai warga negara tanpa melihat kecacatan, menjamin hak untuk bekerja secara produktif dan berpartisipasi dalam kehidupan sosial serta pelarangan perlakuan diskriminatif dan kekerasan terhadap kaum difabel.

Konstruksi dan sikap atas kaum difabel dilukiskan sangat indah oleh Michael Foucault dalam Madness and Civilization : A history of insanity and age of reason (1988). Yakni bagaimana sebuah diskursus yang lahir dari rahim misi pencerahan: modernitas, melegitimasi proses pengekslusian orang-orang gila. Paska abad pertengahan, orang-orang penderita lepra lenyap begitu saja, kemudian posisinya digantikan oleh keberadaan orang-orang gila. Muncul berbagai barak dan tempat-tempat yang digunakan untuk memenjarakan orang gila. Proses ini, sebagaimana dikatakan oleh Foucault merupakan proses yang didahului oleh sebuah kuasa diskursus: rasionalitas, yang berwujud legitimasi klinis/ medis atas orang-orang gila tersebut. Dengan demikian cacat merupakan konstruksi sosial.

(39)

pengalaman kehidupan. Secara leksikal, diskriminasi di definisikan perlakuan terhadap orang atau kelompok yang didasarkan pada golongan atau kategori tertentu. Dapat juga diartikan sebagai sebuah perlakuan terhadap individu secara berbeda dengan didasarkan pada gender, ras, agama, umur atau karakteristik yang lain. Dari dua definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa diskriminasi adalah bentuk perlakuan yang berbeda. Terhadap difabel, perlakuan tersebut didasarkan pada kondisi fisik mereka yang berbeda.

Perlakuan diskriminatif masyarakat didasarkan pada asumsi bahwa dengan difabilitas yang dimiliki, difabel dianggap tidak mampu melakukan aktifitas sebagaimana orang lain pada umumnya. Fakta yang ada menunjukkan bahwa diskriminasi bukan hanya perasaan difabel, melainkan sebuah realitas yang ada di hadapan kita. Belajar dari pengalaman bahwa perlakuan diskriminatif, baik secara struktural (kebijakan negara) maupun kultural (penerimaan masyarakat) terhadap penyandang cacat hanya menciptakan masalah baru, yakni ketidakberdayaan mereka dalam kehidupan individu dan bermasyarakat.

(40)

politik, ekonomi, budaya, serta lingkungan infrastruktur yang ada, namun justru yang lebih berat adalah peluang mengubah asumsi dan ideologi cacat-normal yang telah mengakar di masyarakat. Dalam konteks itulah perubahan ideologi negara dan masyarakat menuju ‘sensitif terhadap penyandang cacat’ menduduki posisi penting.

Istilah difabel muncul dan digunakan di Indonesia mulai akhir millennium kedua atau mulai pada tahun 1998 sebagai istilah yang digunakan untuk menyebut individu yang mengalami kelainan fisik. Bukan sejarah singkat untuk sampai penggunaan istilah difabel. Pada dekade 70-80an masyarakat dan pemerintah menyebut individu yang mengalami kelainan fisik sebagai penderita cacat. Namun dalam pandangan umum, penggunaan kata penderita dianggap tidak menggambarkan secara obyektif realitas yang dialami individu yang disebut. Individu yang mengalami kelainan fisik tidak selalu hidup dalam penderitaan. Mereka juga bisa bertawa tanpa merasakan penderitaan karena kondisi yang mereka alami.

(41)

Oleh karena alasan diatas, mereka yang disandangi dengan istilah tersebut berusaha untuk menemukan istilah yang lebih tepat dan netral dalam menggambarkan kondisi mereka. Sekitar tahun 1998, beberapa aktivis gerakan penyandang cacat memperkenalkan istilah baru untuk mengganti sebutan penyandang cacat. Maka dipakailah istilah difable yang merupakan akronim dari kalimat Different Ability People (manusia yang memiliki kemampuan berbeda). Didasarkan pada realita bahwa setiap manusia diciptakan berbeda dan memiliki potensi diri yang dapat dikembangkan termasuk mereka yang selama ini disebut cacat. Sehingga yang ada sebenarnya hanyalah sebuah perbedaan bukan kecacatan. Para difabel pada dasarnya dan dalam kenyataannya dapat melakukan apa saja sebagaimana orang lain melakukan namun hanya caranya saja yang berbeda.

Macam-macam kecacatan terdiri dari : 1. Cacat Fisik

Cacat fisik adalah kecacatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi tubuh, antara lain gerak tubuh, penglihatan, pengendengaran, dan kemampuan berbicara. Yang termasuk dalam kriteria ini adalah :

(42)

e. Cacat leher. f. Cacat netra. g. Cacat rungu. h. Cacat wicara. i. Cacat raba.

j. Cacat pembawaan sejak lahir. 2. Cacat Mental

Cacat mental adalah kelainan mental dan atau tingkah laku, baik cacat bawaan maupun akibat dari penyakit, antara lain :

a. Retardasi mental.

b. Gangguan psikiatrik fungsional. c. Alkoholisme.

d. Gangguan mental organic dan epilepsy. 3. Cacat Fisik dan Cacat Mental

Cacat fisik dan mental adalah keadaan seseorang yang menyandang dua jenis kecacatan sekaligus. Apabila yang cacat adalah keduanya maka akan sangat mengganggu penyandang cacatnya. (Demartoto, 2007: 9-12).

2. Sekolah Inklusif

(43)

tanpa mempertimbangkan kecacatan atau karakteristik lainnya. Disamping itu pendidikan inklusif juga melibatkan orang tua dalam cara yang berarti dalam berbagi kegiatan pendidikan, terutama dalam proses perencanaaan, sedang dalam belajar mengajar, pendekatan guru berpusat pada anak.

Sekolah inklusif adalah sekolah reguler yang mengkoordinasi dan mengintegrasikan siswa reguler dan siswa penyandang cacat dalam program yang sama, dari satu jalan untuk menyiapkan pendidikan bagi anak penyandang cacat adalah pentingnya pendidikan inklusif, tidak hanya memenuhi target pendidikan untuk semua dan pendidikan dasar 9 tahun, akan tetapi lebih banyak keuntungannya tidak hanya memenuhi hak-hak asasi manusia dan hak-hak anak tetapi lebih penting lagi bagi kesejahteraan anak, karena pendidikan Inklusif mulai dengan merealisasikan perubahan keyakinan masyarakat yang terkandung di mana akan menjadi bagian dari keseluruhan, dengan demikian penyandang cacat anak akan merasa tenang, percaya diri, merasa dihargai, dilindungi, disayangi, bahagia dan bertanggung jawab. (http://bk3sjatim.org/?p=148).

(44)

Pendidikan inklusif menurut Stainback dan Anin Back adalah sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang sama. Sekolah inklusi menyediakan program yang layak, menantang tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa, maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan para guru agar anak-anak berhasil. (Sunardi, 1996 : 28).

Staub dan Peck mengemukakan bahwa pendidikan inklusi adalah penempatan anak luar biasa tingkat ringan, sedang dan berat secara penuh dikelas reguler. hal ini menunjukkan bahwa kelas reguler merupakan tempat belajar yang relevan bagi anak luar biasa apapun jenis kelainannya dan bagaimanapun gradasinya. (Sunardi,1996 : 29).

Sapon Seven ONeil menyebutkan inklusif didefinisikan sebagai sistem layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar semua anak luar biasa ditempatkan di sekolah terdekat di kelas biasa, bersama teman-teman seusianya. (Bintoro, 2002 : 7).

Pengertian lain juga diungkapkan oleh Subagyo Brotosedjati menyebutkan bahwa pendidikan inklusif adalah model penyelenggaraan program pendidikan bagi anak cacat (berkebutuhan khusus) yang diselenggarakan bersama-sama dengan anak normal di lembaga pendidikan umum, dengan menggunakan kurikulum yang berlaku di lembaga yang bersangkutan. (Brotosedjati, 2003 : 3).

(45)

Nasional yang memberikan warna lain dalam penyediaan pendidikan bagi anak berkelainan. Pada penjelasan pasal 15 tentang pendidikan khusus disebutkan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pasal inilah yang memungkinkan terobosan bentuk pelayanan pendidikan bagi anak berkelainan berupa penyelenggaraan pendidikan inklusif. Secara lebih operasional, hal ini diperkuat dengan SK Mendiknas No. 002/U/1986 tentang Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus.

Melalui pendidikan inklusif, siswa difabel dididik bersama-sama siswa non-difabel untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak difabel dan anak non-difabel yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas. Oleh karena itu, anak difabel perlu diberi kesempatan dan peluang yang sama dengan anak non-difabel untuk mendapatkan pelayanan pendidikan di sekolah (SD). Pendidikan inklusif diharapkan dapat memecahkan salah satu persoalan dalam penanganan pendidikan bagi siswa selama ini.

(46)

anak. Setiap penyandang cacat memiliki hak yang sama untuk menumbuh kembangkan bakat, kemampuan dan kehidupan sosialnya, terutama bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat (Pasal 6 ayat 6 UU RI No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat).

Ciri-ciri sekolah inklusif menurut Cornelia Schneider dalam “International Journal of Education Vol I. Equal is not Enough – Current Issues in Inclusive Education in the Eyes of Children”, yaitu adalah sebagai berikut :

1. Hidup dan belajar bersama semua anak (difabel dan non-difabel) di sekolah adalah tujuan dari pendidikan inklusif.

2. Sistem inklusif untuk semua orang (difabel dan non-difabel).

3. Dalam metode pembelajarannya, menggunakan teori-teori yang sama dengan yang diberikan pada siswa non-difabel.

4. Memiliki perubahan-perubahan ide dan pengetahuan dalam pendidikan.

5. Mempertimbangkan dari semua tingkat pendidikan, sosial, dan emosional.

6. Sumber daya berasal dari seluruh sekolah, tidak hanya Sekolah Luar Biasa saja.

7. Memiliki system pembelajaran secara umum dan individual khusus bagi siswa difabel.

8. Satu kurikulum untuk seluruh siswa.

9. Seluruh siswa terlibat terlibatan dalam perencanaan pembelajaran. 10.Masing-masing siswa difabel, khusus memiliki guru pendamping,

dan meiliki ruang khusus.

11.Perubahan dalam mata pelajaran praktek pendidikan. 12.Kerjasama.

(International Journal of Education Vol I,. 2009 : 4).

(47)

pendapat Vaughn, Bos & Schumn, Penempatan anak berkelainan di sekolah inklusif dapat dilakukan dengan berbagai model sebagai berikut :

1) Kelas reguler (inklusif penuh)

Anak berkelainan belajar bersama anak lain (non-difabel) sepanjang hari di kelas reguler dengan menggunakan kurikulum yang sama 2) Kelas reguler dengan cluster

Anak berkelainan belajar bersama anak lain (non-difabel) di kelas reguler dalam kelompok khusus.

3) Kelas reguler dengan pull out

Anak berkelainan belajar bersama anak lain (non-difabel) di kelas reguler namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus. 4) Kelas reguler dengan cluster dan pull out

Anak berkelainan belajar bersama anak lain (non-difabel) di kelas reguler dalam kelompok khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.

5) Kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian

Anak berkelainan belajar di dalam kelas khusus pada sekolah reguler, namun dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak lain (non-difabel) di kelas reguler.

6) Kelas khusus penuh

Anak berkelainan belajar di dalam kelas khusus pada sekolah reguler. (Vaughn, Bos & Schumn, 2000: 30).

(48)

Menurut Departemen Pendidikan Nasional, penerapan pendidikan inklusif mempunyai landasan filosofis, yuridis, pedagogis dan empiris yang kuat, yaitu :

1. Landasan Filosofis Penerapan Pendidikan Inklusif

Landasan filosofis utama penerapan pendidikan inklusif di Indonesia adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita-cita yang didirikan atas pondasi yang lebih mendasar lagi, yang disebut Bhineka Tunggal Ika. Filsafat ini sebagai wujud pengakuan kebhinekaan manusia, baik kebhinekaan vertikal maupun horisontal, yang mengemban misi tunggal sebagai umat Tuhan di bumi. Kebhinekaan vertikal ditandai dengan perbedaan kecerdasan, kekuatan fisik, kemampuan finansial, kepangkatan, kemampuan pengendalian diri, dan sebagainya. Sedangkan kebhinekaan horisontal diwarnai dengan perbedaan suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, daerah, afiliasi politik, dan sebagainya. Karena berbagai keberagaman namun dengan kesamaan misi yang diemban di bumi ini, misi, menjadi kewajiban untuk membangun kebersamaan dan interaksi dilandasi dengan saling membutuhkan.

(49)

keunggulan-keunggulan tertentu, sebaliknya di dalam diri individu berbakat pasti terdapat juga kecacatan tertentu, karena tidak hanya makhluk di bumi ini yang diciptakan sempurna. Kecacatan dan keunggulan tidak memisahkan peserta didik satu dengan lainnya, seperti halnya perbedaan suku, bahasa, budaya, atau agama.Hal ini harus diwujudkan dalam sistem pendidikan. Sistem pendidikan harus memungkinkan terjadinya pergaulan dan interaksi antar siswa yang beragam, sehingga mendorong sikap silih asah, silih asih, dan silih asuh dengan semangat toleransi seperti halnya yang dijumpai atau dicita-citakan dalam kehidupan sehari-hari.

2. Landasan yuridis

(50)

yang mempunyai tata pergaulan internasional, Indonesia tidak dapat begitu saja mengabaikan deklarasi UNESCO tersebut di atas. Di Indonesia, penerapan pendidikan inklusif dijamin oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang dalam penjelasannya menyebutkan bahwa penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik berkelainan atau memiliki kecerdasan luar biasa diselenggarakan secara inklusif atau berupa sekolah khusus. Teknis penyelenggaraannya tentunya akan diatur dalam bentuk peraturan operasional.

3. Landasan pedagogis

(51)

khusus. Betapapun kecilnya, mereka harus diberi kesempatan bersama teman sebayanya.

4. Landasan empiris

Penelitian tentang inklusif telah banyak dilakukan di negara-negara barat sejak 1980-an, namun penelitian yang berskala besar dipelopori oleh the National Academy of Sciences (Amerika Serikat). Hasilnya menunjukkan bahwa klasifikasi dan penempatan anak berkelainan di sekolah, kelas atau tempat khusus tidak efektif dan diskriminatif. Layanan ini merekomendasikan agar pendidikan khusus secara segregatif hanya diberikan terbatas berdasarkan hasil identifikasi yang tepat. Beberapa pakar bahkan mengemukakan bahwa sangat sulit untuk melakukan identifikasi dan penempatan anak berkelainan secara tepat, karena karakteristik mereka yang sangat heterogen. (http://www.scribd.com/doc/23956444/Difabel-Dan-Usaha-Dekonstruksi-Kesempurnaan).

(52)

terhadap perkembangan akademik maupun sosial anak berkelainan dan teman sebayanya.

3. Aksesibilitas

Pemaknaan ‘aksesibilitas’ dalam UU No. 4 tahun 1998 adalah kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.

Dalam aspek bidang pendidikan, siswa difabel, yang memiliki keterbatasan dan ketidaksempurnaan fisik maupun mental, berhak

mendapatkan kurikulum dan materi pendidikan yang sama dengan siswa non-difabel, tetapi berhak pula mendapatkan aksesibilitas sarana dan prasarana yang lebih, guna menunjang kesetaraan pendidikan dan kualitas individu di sekolah tersebut.

Aksesibilitas sarana dan prasarana dapat berupa guiding block bagi difabel tunanetra, tangga ramp (tangga yang lurus tanpa anak tangga), hand rail, alat bantu dengar bagi tunarungu, dan lain sebagainya. Aksesibilitas yang disediakan oleh Sekolah Dasar Al Firdaus adalah penyediaan ruangan khusus bagi siswa difabel yang mengalami depresi hebat disaat mengikuti program belajar mengajar, penyediaan guru khusus yang menangani siswa difabel sehingga satu siswa difabel didampingi oleh satu guru khusus, disediakan pula tenaga profesional teraphist orthopedi.

(53)

yang mereka terima pada semua tingkatan. Informasi-informasi tersebut dihadirkan dalam format yang dapat diakses oleh siswa difabel, seperti misalnya dalam format huruf braille, pengeras suara, huruf dicetak besar, penggunaan sinyal dan bahasa tubuh (sign language) ataupun dalam bentuk lainnya yang ramah terhadap penyandang tuna netra, tuna rungu, tuna wicara, ataupun penyandang cacat lainnya.

Declaration on the Rights of Disabled Persons (1975) menegaskan bahwa penyandang cacat berhak untuk memperoleh upaya-upaya (dari pihak lain) yang memudahkan mereka untuk menjadi mandiri/ tidak tergantung pada pihak lain. Mereka juga berhak mendapatkan pelayanan medis, psikologis dan fungsional, rehabilitasi medis dan sosial, pendidikan, pelatihan ketrampilan, konsultasi, penempatan kerja, dan semua jenis pelayanan yang memungkinkan mereka untuk mengembangkan kapasitas dan ketrampilannya secara maksimal sehingga dapat mempercepat proses reintegrasi dan integrasi sosial mereka.

Selanjutnya, pasal 5 Standard Rules on the Equalization of Opportunities for Persons with Disabilities 1993 menjelaskan bahwa Negara harus mengakui dan menjamin aksesibilitas para penyandang cacat melalui :

1. Menetapkan program-program aksi untuk mewujudkan aksesibilitas fisik penyandang cacat.

(54)

4. Interaksi Sosial

Interaksi sosial dapat diartikan sebagai hubungan-hubungan sosial yang dinamis. Hubungan sosial yang dimaksud dapat berupa hubungan antara individu yang satu dengan individu lainnya, antara kelompok yang satu dengan kelompok lainnya, maupun antara kelompok dengan individu. Dalam interaksi juga terdapat simbol, di mana simbol diartikan sebagai sesuatu yang nilai atau maknanya diberikan kepadanya oleh mereka yang menggunakannya.

Dalam penelitian ini, interaksi sosial yang diteliti oleh penulis yaitu interaksi sosial antara siswa non-difabel dan siswa difabel serta interaksi antara guru dan siswa difabel di Yayasan Al Firdaus Kota Surakarta khususnya di Sekolah Dasar Al Firdaus Kota Surakarta. Sehingga tampak output atau hasil, yakni sumber daya manusia di Sekolah Dasar Al Firdaus khususnya siswa difabel yang berkualitas dan mampu untuk menghadapi kelanjutan jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Serta interaksi sosial dalam masyarakatpun tidak mengalami tingkat kecenderungan diskriminasi yang tinggi lagi.

(55)

dalam penelitian ini difokuskan kepada interaksi antara siswa difabel dan siswa non-difabel, serta siswa difabel dengan guru. Berlangsungnya suatu proses interaksi didasarkan pada berbagai faktor :

1. Imitasi

Salah satu segi positifnya adalah bahwa imitasi dapat mendorong seseorang untuk mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku

2. Sugesti

Faktor sugesti berlangsung apabila seseorang memberi suatu pandangan atau suatu sikap yang berasal dari dirinya yang kemudian diterima oleh pihak lain.

3. Identifikasi

Identifikasi sebenarnya merupakan kecenderungan atau keinginan dalam diri seseorang untuk menjadi sama dengan pihak lain. Identifikasi sifatnya lebih mendalam daripada imitasi, karena kepribadian seseorang dapat terbentuk atas dasar proses ini.

4. Proses simpati

Sebenarnya merupakan suatu proses dimana seseorang merasa tertarik pada pihak lain. Di dalam proses ini perasaan memegang peranan yang sangat penting, walaupun dorongan utama pada simpati adalah keinginan untuk memahami pihak lain dan untuk bekerja sama dengannya.

(http://shindohjourney.wordpress.com/seputar-kuliah/sosiologi-komunikasi-proses-sosial-dan-interaksi-sosial/)

Interaksi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis, menyangkut hubungan antara individu, antara kelompok maupun antara individu dengan kelompok. Dua syarat terjadinya interaksi sosial, yaitu :

1. Adanya kontak sosial (social contact), yang dapat berlangsung dalam tiga bentuk.Yaitu antarindividu, antarindividu dengan kelompok, dan antarkelompok.. Selain itu, suatu kontak dapat pula bersifat langsung maupun tidak langsung.

2. Adanya Komunikasi, yaitu seseorang memberi arti pada perilaku orang lain, perasaan-perassaan apa yang ingin disampaikan orang tersebut. Orang yang bersangkutan kemudian memberi reaksi terhadap perasaan yang ingin disampaikan oleh orang tersebut.

(56)

Bentuk-bentuk interaksi sosial dapat berupa kerja sama (cooperation), persaingan (competition), dan bahkan dapat juga berbentuk pertentangan atau pertikaian (conflict). Pertikaian mungkin akan mendapatkan suatu penyelesaian, namun penyelesaian tersebut hanya akan dapat diterima untuk sementara waktu, yang dinamakan akomodasi.

Istilah Akomodasi dipergunakan dalam dua arti : menujuk pada suatu keadaan dan untuk menujuk pada suatu proses. Akomodasi menunjuk pada keadaan, adanya suatu keseimbangan dalam interaksi antara orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia dalam kaitannya dengan norma-norma sosial dan nilai-nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat. Sebagai suatu proses akomodasi menunjuk pada usaha-usaha manusia untuk meredakan suatu pertentangan yaitu usaha-usaha manusia untuk mencapai kestabilan.

Menurut Gillin dan Gillin, akomodasi adalah suatu pengertian yang digunakan oleh para sosiolog untuk menggambarkan sebagai suatu proses dimana orang atau kelompok manusia yang mulanya saling bertentangan, mengadakan penyesuaian diri untuk mengatasi ketegangan-ketegangan. Akomodasi merupakan suatu cara untuk menyelesaikan pertentangan tanpa menghancurkan pihak lawan sehingga lawan tidak kehilangan kepribadiannya. (Waluyo, 2007 : 47).

(57)

menyelesaikan pertentangan tanpa menghancurkan pihak lawan sehingga lawan tidak kehilangan kepribadiannya.

Tidak selamanya suatu akomodasi sebagai proses akan berhasil sepenuhnya. Di samping terciptanya stabilitas dalam beberapa bidang, mungkin sekali benih-benih pertentangan dalam bidang-bidang lainnya masih tertinggal, yang luput diperhitungkan oleh usaha-usaha akomodasi terdahulu. Benih-benih pertentangan yang bersifat laten tadi (seperti prasangka) sewaktu-waktu akan menimbulkan pertentangan baru. Dalam keadaan demikian, memperkuat cita-cita, sikap dan kebiasaan-kebiasaan masa-masa lalu yang telah terbukti mampu meredam bibit-bibit pertentangan merupakan hal penting dalam proses akomodasi, yang dapat melokalisasi sentimen-sentimen yang akan melahirkan pertentangan baru. Dengan demikian, akomodasi bagi pihak-pihak tertentu dirasakan menguntungkan, namun agak menekankan bagi pihak lain, karena adanya campur tangan kekuasaan-kekuasaan tertentu dalam masyarakat.

Tujuan akomodasi dapat berbeda-beda sesuai dengan situasi yang dihadapinya, yaitu :

1. Untuk mengurangi pertentangan antara orang atau kelompok manusia sebagai akibat perbedaan paham.

2. Mencegah meledaknya suatu pertentangan untuk sementara waktu atau secara temporer.

3. Memungkinkan terjadinya kerjasama antara kelompok sosial yang hidupnya terpisah akibat faktor-faktor sosial psikologis dan kebudayaan, seperti yang dijumpai pada masyarakat yang mengenal sistem berkasta.

4. Mengusahakan peleburan antara kelompok sosial yang terpisah. (Waluyo, 2007 : 47).

(58)

1. Koersi (coercion), yaitu bentuk akomodasi yang terjadi melalui pemaksaan kehendak pihak tertentu terhadap pihak lain yang lebih lemah. Berarti terjadi penguasaan (dominasi) suatu kelompok atas kelompok yang lemah.

2. Kompromi (compromise), yaitu bentuk akomodasi ketika piha-pihak yang terlibat perselisihan saling mengurangi tuntutan agar tercapai suatu penyelesaian. Sikap dasar untuk melakukan kompromi adalah semua pihak bersedia untuk merasakan dan memahami keadaan pihak lainnya

3. Arbitrasi (arbitration), yaitu bentuk akomodasi apabila pihak-pihak yang berselisih tidak sanggup mencapai kompromi sendiri sehingga dilakukan melalui pihak ketiga disini dapat ditunjuk dari kedua belah pihak atau oleh suatu badan yang berwenang.

4. Mediasi (mediation), yaitu suatu bentuk akomodasi yang hamper sama dengan arbitrasi. Namun pihak ketiga yang bertindak sebagai penengah bersikap netral dan tidak mempunyai wewenang untuk memberi keputusan penyelesaian perselisihan antara kedua belah pihak.

5. Konsiliasi (conciliation), yaitu bentuk akomodasi untuk mempertemukan keinginan-keinginan dari pihak-pihak yang bertikai untuk tercapainya kesepakatan bersama. Konsiliasi bersifat lebih lunak dan membuka kesempatan kepada pihak-pihak yang bertikai untuk mengadakan asimilasi.

6. Toleransi (toleration), yaitu bentuk akomodasi yang terjadi tanpa persetujuan yang resmi. Kadang-kadang toleransi terjadi secara tidak sadar dan tanpa direncanakan karena adanya keinginan-keinginan untuk sedapat mungkin menghindarkan diri dari perselisihan yang saling merugikan kedua belah pihak.

7. Stalemate, yaitu bentuk akomodasi ketika kelompok yang bertikai mempunyai kekuatan yang seimbang, lalu keduanya sadar bahwa tidak mungkin lagi untuk maju atau mundur sehingga pertentangan atau ketegangan antara keduanya akan berhenti dengan sendirinya. 8. Ajudikasi (ajudication), yaitu penyelesaian masalah atau sengketa

melalui pengadilan atau jalur hukum

9. Displacement, yaitu bentuk akomodasi yang merupakan cara untuk mengakhiri suatu pertentangan dengan cara mengalihkan perhatian pada objek bersama.

10.Konversi (convertion), yaitu bentuk akomodasi dalam menyelesaikan konflik yang menjadikan salah satu pihak bersedia mengalah dan mau menerima pendirian pihak lain.

(Waluya, 2007 : 48-49).

(59)

mencapai suatu atau beberapa tujuan bersama. Bentuk kerja sama tersebut berkembang apabila orang dapat digerakan untuk mencapai suatu tujuan bersama dan harus ada kesadaran bahwa tujuan tersebut di kemudian hari mempunyai manfaat bagi semua. Juga harus ada iklim yang menyenangkan dalam pembagian kerja serta balas jasa yang akan diterima. Dalam perkembangan selanjutnya, keahlian-keahlian tertentu diperlukan bagi mereka yang bekerja sama supaya rencana kerja samanya dapat terlaksana dengan baik.

Kerja sama timbul karena orientasi orang-perorangan terhadap kelompoknya (yaitu in-group-nya) dan kelompok lainya (yang merupakan

out-group-nya). Kerja sama akan bertambah kuat jika ada hal-hal yang menyinggung anggota/ perorangan lainnya.

Fungsi Kerja sama digambarkan oleh Charles H.Cooley :

”Kerja sama timbul apabila orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut; kesadaran akan adanya kepentingan-kepentingan yang sama dan adanya organisasi merupakan fakta-fakta penting dalam kerjasama yang berguna.”

(http://shindohjourney.wordpress.com/seputar-kuliah/sosiologi-komunikasi-proses-sosial-dan-interaksi-sosial/)

Dalam teori-teori sosiologi dapat dijumpai beberapa bentuk kerjasama yang biasa diberi nama kerja sama (cooperation). Kerja sama tersebut lebih lanjut dibedakan lagi dengan :

(60)

2. Kerja sama Langsung (Directed Cooperation) : Kerjasama yang merupakan hasil perintah atasan atau penguasa.

3. Kerja sama Kontrak (Contractual Cooperation) : Kerjasama atas dasar tertentu.

4. Kerja sama Tradisional (Traditional Cooperation) : Kerjasama sebagai bagian atau unsur dari sistem sosial.

(http://shindohjourney.wordpress.com/seputar-kuliah/sosiologi-komunikasi-proses-sosial-dan-interaksi-sosial/)

Adapun bentuk-bentuk kerja sama adalah sebagai berikut :

1. Kerukunan yang mencakup gotong-royong dan tolong menolong. 2. Bargaining, Yaitu pelaksana perjanjian mengenai pertukaran

barang-barang dan jasa-jasa antara 2 organisasi atau lebih.

3. Kooptasi (cooptation), yakni suatu proses penerimaan unsur-unsur baru dalam kepemimpinan atau pelaksanaan politik dalam suatu

organisasi sebagai salah satu cara untuk menghindari terjadinya kegoncangan dalam stabilitas organisasi yang bersangkutan.

4. Koalisi (coalition), yakni kombinasi antara dua organisasi atau lebih yang mempunyai tujuan-tujuan yang sama. Koalisi dapat menghasilkan keadaan yang tidak stabil untuk sementara waktu karena dua organisasi atau lebih tersebut kemungkinan mempunyai struktur yang tidak sama antara satu dengan lainnya. Akan tetapi, karena maksud utama adalah untuk mencapai satu atau beberapa tujuan bersama, maka sifatnnya adalah kooperatif.

5. Joint venture, yaitu kerja sama dalam pengusahaan proyek-proyek tertentu.

(http://shindohjourney.wordpress.com/seputar-kuliah/sosiologi-komunikasi-proses-sosial-dan-interaksi-sosial/)

G. METODOLOGI PENELITIAN

(61)

interpretasi yang memungkinkan peneliti memahami data menghubungkan data yang rumit dengan peristiwa dan situasi lain.

1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Lembaga Pendidikan Al Firdaus Surakarta, khususnya di Sekolah Dasar Al Firdaus Surakarta. Adapun alasan penulis memilih Sekolah Dasar Al Firdaus Surakarta sebagai lokasi penelitian yang berjudul “PROSES DAN POLA INTERAKSI SISWA DIFABEL DAN DIFABEL DI SEKOLAH INKLUSIF DI KOTA SURAKARTA”, yaitu adalah sebagai berikut :

a. Lembaga Pendidikan Al Firdaus Kota Surakarta merupakan salah satu Sekolah yang pertama kali menyelenggarakan pendidikan inklusif di Kota Surakarta.

b. Aksesibilitas yang dimiliki oleh Lembaga Pendidikan Al Firdaus Kota Surakarta terhadap siswa baik siswa difabel maupun non-difabel sangat beragam, memiliki kelebihan dibandingkan Sekolah Umum lainnya, salah satunya yaitu memiliki unit khusus Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) yang khusus menangani siswa difabel.

(62)

dijadikan lokasi penelitian untuk melihat proses interaksi dan aksesibilitas dalam Sekolah Dasar Al Firdaus Surakarta.

2. Bentuk dan Jenis Penelitian

Penelitian ini nantinya akan menggunakan metode penelitan kualitatif. Penelitian kualitatif menurut Denzin dan Lincoln (1994) adalah sebagai kajian yang “multimethod in focus involving an interpretative naturalistic approach to its subjek matter” (Denzin & Lincoln, 2006 : 4).

Untuk mempermudah pendefinisian dari konsep penelitian kualitatif maka dirumuskankarakteristik penelitian kualitatif. Berikut, karakteristik penelitian kualitatif :

a. Data penelitian diperoleh secara langsung dari lapangan bukan dari laboratorium atau penelitian yang terkontrol.

b. Penggalian data dilakukan secara alamiah, melakukan kunjungan pada situasi alamiah subyek

c. Untuk memperoleh makna baru dalam bentuk kategori-kategori jawaban, periset wajib mengembangkan situasi dialogis sebagai situasi yang alamiah. (Denzin & Lincoln, 2006 : 4).

Penelitian kualitatif bertolak dari asumsi dasar bahwa realitas sosial tidak mempunyai makna didalam dirinya sendiri melainkan sangat tergantung pada interpretasi atau arti yang diberikan oleh seorang individu kepadanya. Penelitian ini menggunakan teori interaksionisme simbolik yang salah satu temanya adalah mempelajari apa yang berlangsung di dalam benak manusia.

Gambar

Tabel 1.2
Tabel 1.3 Daftar Penyandang Cacat Menurut Jenis Kelamin di Kota Surakarta Tahun 2006
Tabel 1.4
Gambar 1.1 Skema Alur Penelitian
+5

Referensi

Dokumen terkait

Definisi operasional interaksi sosial ibu kepada anak adalah kontak atau hubungan komunikasi yang terjadi antara ibu dengan anak sehingga dapat saling mempengaruhi satu

1) Interaksi sosial yang bersifat assosiatif, yakni yang mengarah kepada bentuk-bentuk asosiasi seperti kerja sama, akomodasi, asimilasi dan akulturasi.. Kerjasama

Menurut Saptono(2006: 69)”Interaksi yang baik antara guru dan siswa dapat terlihat seperti adanya kontak sosial dan komunikasi sosial yang terjadi pada saat pembelajaran

Hal ini diduga bahwa siswa tidak memiliki pengetahuan dan keretampilan yang baik tentang interaksi sosial terhadap teman sebayanya di sekolah dalam belajar, serta

Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan, maka simpulannya ialah faktor yang mempengaruhi interaksi sosial antara siswa difabel dengan siswa non-difabel adalah karena

Setelah mengidentifikasi jenis hunian sewa yang dihuni oleh mahasiswa serta kualitas interaksi sosial berupa jenis hubungan sosial yang terjadi didalam hunian sewa,

Bentuk interaksi sosial yang terjadi dalam pembelajaran online yaitu asosiatif berupa kerjasama dan asimilasi, dan bentuk disosiatif berupa konflik/pertentangan; 2 Faktor pendukung

Pengaruh Pola Asuh Demokratis Dengan Interaksi Sosial Anak Hasil penelitian pada 40 responden sampel anak usia dini di Desa Bulila Kecamatan Telaga yang menunjukkan bahwa hipotesis