• Tidak ada hasil yang ditemukan

Demiliterisasi Terbatas Tentara Nasional Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Demiliterisasi Terbatas Tentara Nasional Indonesia "

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

NAMA : RISKI PUTRI UTAMI

NIM : 121311433013

TUGAS : SEJARAH MILITER

“Geliat Militer dalam Mewujudkan Demokratisasi di Indonesia”

1. Latar Belakang

Militer di Indonesia memiliki sejarah yang sedikit unik dari negara lain. TNI terbentuk dari proses pengalaman sejarah perjuangan bangsa dalam mempertahankan kemerdekaan. Militer memang sangat dibutuhkan sebagai alat pertahanan negara. Berdirinya suatu negara yang kokoh ditentukan oleh bagaimana kualitas pertahanan militer yang dimiliki negara tersebut. Pertama kali militer di Indonesia dibentuk untuk mendukung kemerdekaan Republik dari belenggu penjajah. Arus reformasi yang terjadi di Indonesia tak lepas dari berbagai unsur pembangun negara termasuk juga di dalamnya terdapat aspek militer. Tak selamanya tentara berfungsi sebagai alat pertahanan negara semata, namun ada saatnya pada masa tertentu serta tuntutan keadaan yang mendesak menjadikan tentara ikut terlibat dalam hubungan politik negara. Sehingga dalam hal ini militer dari masa ke masa mempunyai dinamika dalam posisinya di dalam negara.

Pertahanan sebagai konsep yang melegalkan kehadiran militer dirumuskan dan diterima sebagai sebuah fungsi sekaligus kawasan monopoli pemerintah nasional.1 Dalam hal ini militer mempunyai dua peran di dalam sebuah negara.

Secara khusus, fungsi yang dijalankan oleh militer hanya dalam ranah pertahanan negara, namun pada masa orde baru dan era sebelumnya peran militer juga merambat kedalam ranah politik.

(2)

“Dwifungsi ABRI” merupakan hak istimewa yang ditujukan pada TNI pada masa tersebut yang ditandai dengan bebasnya anggota militer dalam ikut campur tangan mengurusi negara (politik). Militer dan politik merupakan dua hal yang fungsinya berbeda. Politik yang notabene menjadi wewenang para pejabat sipil seharusnya tidak dicampuri dengan pejabat yang berasal dari dunia militer. Hubungan Sipil Militer (HSM) selalu berbicara mengenai pembagian peran (fungsi) antara sipil dan militer dalam penyelenggaraan negara. Lebih luas lagi, Hubungan Sipil Militer adalah hubungan antara militer dan masyarakat yang didalamnya berbicara mengenai peran militer dan legitimasi militer dihadapan masyarakat.

Masuknya demokrasi di Indonesia pada era setelah lengsernya Soeharto menandai pergeseran campur tangan militer di dalam pengelolaan negara. Setelah Soeharto tak menjabat lagi sebagai presiden, maka keberadaan militer mulai menunjukkan posisi sebenarnya yakni sebagai pengelola keamanan, ketertiban serta memberikan perlindungan terhadap setiap warga negaranya. Transisi perubahan pemerintahan yang bercorak otoriter ke demokratis dan amandemen yang terjadi pada awal 1998 yakni pada akhir tahun 1999-2002 menyebabkan adanya peninjauan ulang terhadap peran militer dan hubungannya dengan sipil. Jika sebelumnya ABRI diberi hak istimewa berupa “dwifungsi ABRI” maka mulai era tersebut hak istimewa itu dihapuskan. Dwifungsi ABRI dinilai sebagai penyalahgunaan wewenang terhadap TNI, hal ini juga dibuktikan dengan penolakan yang terdapat pada masyarakat. Masyarakat meminta supaya ABRI dimurnikan perannya di dalam negara yaitu bukan lagi untuk menangani masalah politik.

(3)

2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana hubungan antara sipil dan militer pada era orde baru?

2. Bagaimana esensi paradigma baru TNI dalam pembangunan demokrasi setelah memisahkan diri dari tugas sipil?

3. Pembahasan

A. Hubungan Sipil-Militer

Hubungan Sipil Militer (HSM) selalu berbicara tentang pembagian peran (fungsi) antara sipil dan militer dalam penyelenggara negara.2 Militer dan sipil

mempunyai peran yang berbeda-beda sesuai dengan fungsinya di dalam negara, namun kedua perbedaan itu mempunyai hubungan yang saling berintegrasi di dalam masyarakat. Tugas utama militer yakni mengemban tugas negara di dalam mengelola sarana kekerasan untuk menciptakan keamanan dan ketertiban, serta memberikan perlindungan pada warga negara. Elemen-elemen sipil yang terdiri dari birokrasi sipil, partai politik, parlemen, ormas sipil, dan lain-lain mempunyai tugas khusus yaitu pengelolaan proses politik dan kebijakan, mengelola barang-barang publik serta memberikan layanan publik untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.

Pembagian pemahaman mengenai tugas militer dan sipil tersebut merupakan pemahaman yang seharusnya dapat diterima secara universal. Pembagian peran sipil-militer itu membutuhkan system building yang dilembagakan dengan konstitusi. Namun, seringkali keberadaan konstitusi tersebut menimbulkan problematika karena fungsi militer dan non-militer sering bertabrakan di dalam menjalankan tugas. Problematika tersebut dihadapi oleh negara-negara demokrasi baru, termasuk Indonesia dan negara-negara dunia ketiga lainnya yang baru lepas dari otoritarianisme dan militerisasi.

Contohnya seperti yang terjadi pada negara Amerika Serikat, sebuah negara yang dijuluki “ champion of democracy” dan memelihara supremasi sipil,

(4)

juga termasuk negara yang militeristik atau menerapkan militerisasi karena anggaran militer yang relatif besar, industrialisasi militer yang luar biasa seringkali terlibat dalam perang dan sebagainya. Karena permasalahan militer begitu kompleks, maka salah satu tugas berat konsolidasi demokrasi adalah memperkuat kontrol sipil terhadap militer dan demiliterisasi. Demiliterisasi pada umumnya yang dipahami sebagai upaya demokratis untuk meminggirkan militer dari ranah politik, malah menimbulkan kesusahan di dalam meruntuhkan rezim otoritarian maupun membangun kontrol demokrasi terhadap militer.

Sejak mulai kelahirannya, tentara di Indonesia telah terlibat dalam pergulatan politik, hingga perjalanan sejarahnya keberadaan militer juga tak dapat dilepaskan dari keikutsertaan dalam percampuran politik sampai menjadi kekuatan politik yang menonjol dalam kehidupan bernegara. Pada masa orde baru tentara dijadikan alat kekuasaan rezim orde baru, menjadi pendukung utama kekuatan politik Golkar, dan dengan dwifungsinya telah mendominasi segala kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Hal ini mengakibatkan persaingan daan partisipasi rakyat dalam kehidupan politik tidak bisa berjalan secara wajar, karena tentara yang ikut serta dalam politik praktis telah menghalanginya.3

Akibatnya adalah demokrasi tidak bisa tumbuh dan berkembang secara sehat. Jatuhnya rezim orde baru dan munculnya era reformasi pada 1998 telah mendorong lahirnya paradigma baru dan reformasi internal TNI yang mengarah pada TNI yang profesional, efektif, efisien dan modern. Dengan reformasi internal, TNI kembali pada jati dirinya sebagai tentara rakyat, tentara pejuang dan tentara nasional yang profesional dengan meninggalkan peran sebagai kekuatan politik praktis serta memfokuskan hanya pada satu fungsi yaitu sebagai alat pertahanan negara. Dengan begitu TNI dapat mendukung pembangunan demokrasi di Indonesia menuju Indonesia baru yang lebih modern dan mampu bersaing di tengah arena dunia yang sangat kompetitif dan tanpa batas. Pembangunan demokrasi di Indonesia tidak boleh gagal lagi.

(5)

Maka dari itu perlu dibangun struktur dan budaya demokrasi yang kuat. Kemauan dan konsistensi semua pihak, terutama elite politik, sangat menentukan pencapaian prestasi itu. Peran TNI tidak bisa dilupakan dan ditinggalkan agar tidak menghambat pembangunan demokrasi, karena TNI bisa berperan dalam mendukungnya. Dalam kaitan itu, hubungan sipil-militer yang baik adalah penting demi mencapai kesepakatan bersama yang dilandasi oleh sikap saling memahami, saling mempercayai saling menghargai dan menghormati, serta tekad untuk bekerja sama untuk memberikan yang terbaik kepada masyarakat, bangsa dan negara.

Orde baru merupakan masa yang tepat untuk menggandeng ABRI dalam peranan kehidupan bernegara. Strategi orde baru yang mengedepankan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dengan menggunakan ABRI sebagai alat kekuasaan, telah menempatkan ABRI pada posisi sentral dan mengambil tanggung jawab penuh atas semua persoalan kehidupan bangsa dan negara bersama dengan golkar. Pada masa inilah bisa dikatakan bahwa keberhasilan militer sudah mencapai kekuasaannya dari suatu proses yang panjang. Tentara Indonesia mendapat orientasi politik dan kepentingan-kepentingan politik sewaktu melawan Belanda, angkatan darat dan beberapa bagian dari angkatan bersenjata lebih dalam lagi terlibat dalam politik, yang kemudian menjadikan angkatan darat sebagai unsur penentu dalam koalisi pemerintahan dan demokrasi terpimpin.

(6)

Format politik orde baru yang sentralistik di tangan Soeharto dan penggunaan pendekatan keamanan, perluasan dwifungsi ABRI, dan otoritas birokrasi yang berlebihan serta rendahnya apresiasi terhadap hak asasi manusia dan supremasi hukum, telah menciptakan pemerintahan otoritarian yang tidak tertandingi dan tidak mengenal check and balance. Ini mengakibatkan tumbuhnya kekuasaan yang antikritik, membatasi kebebasan politik raktyat, munculnya depolitisasi , korporasi demobilisasi dan deparpolisasi serta represi yang sering dengan kekerasan.

Sehingga timbullah perasaan takut dan tertekan pada rakyat, yang menghambat tumbuhnya civil society dan demokrasi. Demokrasi dikumandangkan hanya sebagai slogan, karena kenyataannya, rezim Orde Baru menghalangi partisipasi politik rakyat, meniadakan persaingan politik dan kebebasan politik, melarang perbedaan pendapat, serta mencegah organisasi masyarakat yang pluralis. Padahal , inti demokrasi politik mempunyai tiga dimensi yaitu kompetisi, partisipasi, kebebasan sipil dan politik.

B. Paradigma Baru TNI dan Implikasinya terhadap Pembangunan Demokrasi Negara

Pada umumnya demokrasi diartikan sebagai pemerintahan oleh rakyat, yang kekuasaannya tertingginya terletak di tangan rakyat dan dijalankan langsung oleh wakil-wakil rakyat yang mereka pilih dengan sistem pemerintahan yang bebas. Meskipun demokrasi menuntut kebebasan, akan tetapi tidak bisa berdiri sendiri, dan harus menjunjung tinggi persamaan yang berarti harus juga memperhatikan kebebasan orang lain.

(7)

terdapat berbagai perkara yang menghambat terwujudnya negara yang beazaskan demokrasi tersebut.

Beberapa permasalahan yang dapat menghambat tercapainya demokrasi di Indonesia adalah gagalnya para elite dan pemimpin politik, karena mereka hanya mementingkan pribadi dan kelompok tanpa mau mengutamakan kepentingan bangsa dan negara yang menyebabkan militer terdorong untuk terjun ke dalam politik. Jadi penyebab gagalnya pembangunan demokrasi datang dari pihak elite sipil maupun militer.

Apabila dilihat pada masa pemerintahan Orde Baru dengan dwifungsi militer sebagai alat kekuasaannya , maka yang menjadi syarat, esensi dan unsur serta ciri demokrasi sudah tidak berlaku. Sebab pada masa Orde Baru dengan diberikannya dwifungsi militer kepada ABRI telah menghalangi keberadaan partisipasi rakyat, mengekang kebebasan asasi warga negara seperti kebebasan dalam menyatakan pendapat, menyampaikan aspirasi, kebebasan berorganisasi, berkumpul dan sebagainya.

Budaya politik dan sistem di Indonesia pada Orde Baru sama sekali tidak menunjukan adanya dukungan terhadap terwujudnya demokrasi di Indonesia. Akibatnya adalah masyarakat tidak bisa ikut dalam menyampaikan aspirasi dan berpartisipasi untuk ikut serta di dalam menentukan kebijakan. Pada masa tersebut partai politik memang ada seperti halnya PDI dan PPP. Namun hal tersebut hanya merupakan simbolik dan hiasan semata. Pemilihan umum juga memang diselenggarakan secara berkala. Akan tetapi sudah pasti bisa ditebak hasilnya. Dan diluar itu semua bisa diuji apakah ada unsur keterbukaan, kejujuran, keadilan, kebebasan dan kerahasiaan ataukah sebaliknya.

(8)

Orde Baru memang menyebut diri sebagai demokratis, namun realitas politik mencerminkan tidak ada apresiasi terhadap jalannya demokrasi. Di era Orde Baru tidak menaruh perhatian sepenuhnya pada pembangunan demokrasi, walaupun secara formal Orde Baru menyatakan sistem demokrasi. Yang menjadi hal utama pada era Orde Baru adalah stabilitas keamanan, bukan demokrasi.

TNI dalam berkembangannya akhirnya tak bisa lepas dari pakem utamanya yaitu menjaga dan mengemban amanat negara dalam mempertahankan keamanan di dalam NKRI. Pemisahan diri dari sipil yang terdapat dalam tubuh militer merupakan langkah tepat yang diambil oleh TNI untuk mewujudkan cita-cita utamanya tersebut. Paradigma baru TNI ini menegaskan bahwa pelaksanaan tugas TNI senantiasa dalam rangka tugas negara dan dalam masa transisi dilakukan proses refungsionalisasi dan peningkatan kemampuan institusi fungsional.4

Hal ini berarti sertiap institusi akan melaksanakan fungsi masing-masing sesuai profesinya dan memiliki otonomi masing-masing. Selain itu, ditegaskan juga bahwa tugas TNI ditentukan atas kesepakatan bangsa, artinya tidak ditentukan oleh TNI sendiri karena pada hakikatnya TNI hanyalah salah satu komponen bangsa dan hanya merupakan bagian integral dari sistem nasional. Maka dari itu setiap tindakan TNI senantiasa bersumber dan didasarkan pada keputusan politik negara melalui proses kesepakatan bangsa secara demokratis dan konstitusional.

Inti dari paradigma baru TNI tersebut menunjukkan bahwa TNI sudah tidak lagi ingin mencampuri segala urusan yang berbau dengan sipil. Karena TNI berkeinginan bahwa demokrasi akan bisa terwujud melalui jalan tersebut yaitu dengan melaksanakan tugas masing-masing sesuai dengan bidang yang diemban. Implementasi paradigma baru TNI dimanifestasikan dalam reformasi internal, yang esensinya antara lain ialah TNI bertekad meninggalkan kegiatan politik praktis dan berkonsentrasi pada tugas utamanya dalam pertahanan negara,

(9)

sedangkan keterlibatan TNI dalam bantuan keamanan dilaksanakan melalui prosedur permintaan sesuai dengan undang-undang.

Sesuai dari paradigma baru TNI, hubungan sipil-militer telah berubah dari

subjective civilian control menjadi objective civilian control. Hal ini berarti pemerintah sipil mengontrol militer, namun mengakui militer memiliki otonomi profesi dalam menjalankan tugas pertahanan negara. Supremasi sipil adalah otoritas pemerintah sipil yang sah dipilih oleh rakyat dalam pemilihan umum yang demokratis, jujur, adil. Supremasi sipil berarti kepatuhan kepada pemerintah sipil, supremasi sipil atas militer tidak berarti menempatkan kaum militer dibawah kaum sipil, supremasi sipil tidak berarti dominasi kaum sipil terhadap kaum militer, tetapi suatu kondisi dimana kepurusan yang dibuat oleh pemerintah sipil sampai pada pelaksana fungsi pertahanan, supremasi sipil mengharuskan supremasi konstitusi dan hukum, yang mesti dipatuhi oleh pemerintah sipil maupun semua warga negara karena supremasi sipil menghendaki terciptanya kontrol sipil objektif menuju militer yang profesional sebagai alat pertahanan negara.

Keluarnya TNI dari kancah politik berarti menjadi syarat bagi berhasilnya pembangunan demokrasi. Ternyata ABRI/TNI telah konsisten di dalam memenuhi janjinya dan meniadakan sistem kekaryaan melalui keputusan pensiun awal atau alih status, dan menghapuskan semua struktur organissai staf kekaryaan ABRI/TNI dan staf sosial politik ABRI/TNI. Tindakan ini sangat mendukung pembangunan demokrasi karena sebelum reformasi internal TNI, kakaryaan itu digunakan untuk melaksanakan dan mengembangkan kegiatan sosial politik ABRI/TNI yang secara praktik telah menghambat demokratisasi.

(10)

modern sebagai instrumen pertahanan nasional dalam tatanan Indonesia yang lebih demokratis dan modern” (Mabes TNI 2001a:3).5

Mengatur kembali fungsi teritorial itu merupakan usaha implementasi paradigma baru TNI yang sangat penting, karena pada masa Orde Baru, Komando teritorial digunakan oleh pemerintah untuk menghalangi partisipasi politik rakyat dengan cara-cara represif, yang membuat rakyat takut, apatis, tidak percaya diri, sehingga proses demokrasi yang sesungguhnya tidak bisa berlangsung. Oleh karena itu, ketika Presiden Soeharto jatuh, sorotan masyarakat juga ditujukan kepada masalah teritorial itu. Karena itu, kesempatan reformasi internal yang berlangsung harus digunakan sebaik-baiknya agar refungsionalisasi dan restrukturisasi penyelenggaraan fungsi teritorial dapat memenuhi harapan masyarakat, tuntutan lingkungan dan perkembangan zaman yang mengarah kepada kehidupan yang lebih demokratis sesuai dengan tuntutan akuntabilitas di negara modern.

Bagi TNI, berhasilnya refungsionalisasi dan restrukturalisasi fungsi teritorial akan mendukung pembinaan profesionalisme, karena tentara tidak akan terlibat lagi dalam arena politik yang menyita waktu, pikiran dan fisik yang banyak dan selanjutnya dan selanjutnya akan hanya menumpukkan kepada fungsi utamanya yaitu pertahanan negara saja sementara pada waktu sebelumnya banyak digunakan untuk kegiatan politik praktis namun sekarang ini dapat digunakan untuk keperluan meningkatkan pengetahuan, mengikuti pendidikan dan latihan, menambah pengalaman serta mengikuti perkembangan profesi kemiliteran yang cepat, menuju tentara profesional sebagai alat pertahanan negara.

Tujuan reformasi internal TNI antara lain mewujudkan TNI menjadi prajurit profesional dengan cara memiliki kemahiran dan kemampuan yang tinggi, sesuai bidang tugasnya sebagai alat pertahanan negara. Untuk mewujudkan hal tersebut maka TNI harus melakukan pendidikan dan latihan yang berkualitas. Latihan diadakan secara bertingkat dan berlanjut dan dengan kasus yang berbeda serta berbagai media lapangan yang berbeda pula. Setiap prajurit harus dilatih

(11)

kesiapan mental dan fisik agar setiap saat bisa dikirim ke medan perang. Dengan adanya reformasi internal TNI, pekerjaan tentara pada masa damai adalah belajar dan berlatih untuk mengukuhkan profesionalismenya, dan tidak perlu lagi melakukan pekerjaan yang tidak berhubungan dengan profesinya seperti pada masa Orde Baru. Tanpa hal tersebut, tujuan reformasi internal untuk mewujudkan TNI yang profesional, efisien, efektif dan modern tidak akan tercapai. Hal itu juga memerlukan anggaran yang cukup untuk memenuhi prasarana prajurit, peralatan yang tidak ketinggalan zaman, dana untuk berlatih dan keperluan yang lainnya. Cara meningkatkan profesionalisme TNI sesudah berlakunya reformasi yaitu antara lain tidak ikut serta dalam arena politik dan bersikap netral serta menumpukan pada tugasnya sebagai alat pertahanan negara.

Komitmen dan sikap TNI untuk bersikap netral dan tidak terlibat dalam politik praktis, pemutusan hubungan organisatoris dengan partai Golkar, dan pengaturan kembali hubungan TNI dengan keluarga besar TNI, menunjukkan paradigma baru TNI telah menuju jalan yang dicita-citakannya yaitu mewujudkan demokratisasi. Hal tersebut telah dibuktikan oleh TNI yaitu sebelum, selama dan sesudah pemilihan umum tahun 1999. Bagaimanapun, hal tersebut menunjukkan sumbangan yang sangat berharga untuk menuju pembangunan demokrasi karena telah mewujudkan kebebasan dan partisipasi politik rakyat, yang merupakan syarat bagi tumbuhnya demokrasi.

(12)

Arie, Sujito, Demiliterisasi, Demokrrasi dan Desentralisasi (Yogyakarta: IRE Press, 2002

Referensi

Dokumen terkait

Dari ketiga model persamaan diatas baik model altman, springate dan zmijewski maka dapat ditarik kesimpulan bahwa sejak tahun 2007 sampai dengan tahun 2011

Penelitian dilakukan dengan wawancara langsung kepada pengunjung yang menjadi konsumen di Taman Mini Indonesia Indah, sehingga dapat mengetahui secara langsung apa

1) Dari hasil pengumpulan data dapat dilihat bahwa lansia di Panti Griya Asih Lawang Kabupaten Malang, sebagian besar (69,6%) memiliki kepribadian ekstrovert

PerubahanStrukturSosialEkonomidariEkonomiPertanisankeEkonomiIndustr ipadaMasyarakatDesaKubangwunguKecamatanKetangguganKabupatenBr ebesTahun 1969-2010 .Jurnal: Journal of

Strategi awan Microsoft adalah untuk membangun sebuah platform awan yang mana pengguna dapat memindahkan aplikasi mereka ke dalam cara yang sempurna, dan

Dalam rangka meningkatkan kompetensi guru TIK/KKPI dan meningkatkan perannya di dalam Implementasi Kurikulum 2013, LPPPTK Bidang Kelautan Perikanan Teknologi Informasi

Peningkatan motivasi belajar dengan implementansi metode point dibuktikan dari beberapa hal berikut yakni : ketekunana mahasiswa terhadap tugas yang diberikan oleh dosen,

Jika diterapkan oleh Negara maka ideologi diartikan sebagai kesatuan gagasan-gagasan dasar yang disusun secara sistematis dan dianggap menyeluruh tentang