Pancasila Sebagai Sebuah Ideologi, Benarkan?
Proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia telah menghantarkan kepada terwujudnya sebuah negara kebangsaan secara modern. Di antara keharusan sebagai sebuah negara adalah adanya landasan negara. Maka para pendiri negara ini telah menyepakati Pancasila sebagai dasar berdirinya bangsa ini, terlepas dari proses yang demikian alot dan proses yang begitu singkat.
Setelah lebih dari setengah abad berdiri, bangsa ini seolah lupa bahwa mereka mempunyai sebuah ”jimat” yang begitu sakral yang tidak akan pernah tersentuh oleh perubahan. Walaupun pada kenyataannya Pancasila yang begitu agung dan sakral, yang konon adalah falsafah dasar dan jiwa seluruh bangsa ini, sama sekali tidak tercermin dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini.
Akhir-akhir ini muncul wacana yang bernada sumbang dari sebagian elemen bangsa karena dorongan tertentu, mengatakan “pemerintah hendaknya membubarkan ormas yang tidak berlandaskan Pancasila”. Suara ini tentu saja kian menunjukkan bahwa sebenarnya jimat sakral itu memang tidak sakti. Jika tidak karena doktrin kosong yang terus didengungkan dengan corong penguasa yang mempunyai tafsiran masing-masing sesuai dengan kepentingan mereka, niscaya rakyat Indonesia sudah melupakan pancasilanya. Ironis memang.
Sejarah Pancasila
Alkisah, pada tanggal 1 Juni 1945, untuk pertama kalinya, istilah “Pancasila” disebutkan oleh Soekarno (Bung Karno) dalam Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Pada hari itu, di forum BPUPK, Bung Karno mengusulkan rumusan dasar Negara Negara, yang terdiri atas lima sila: (1) Kebangsaan Indonesia (2) Internasionalisme atau Perikemanusiaan (3) Mufakat atau demokrasi (4) Kesejahteraan Sosial (5) Ketuhanan.
Benarkah Bung Karno adalah orang pertama yang merumuskan Pancasila? Ternyata tidak! Tiga hari sebelum pidato Bung Karno itu, pada 29 Mei 1945, Mr. Muhammad Yamin sudah terlebih dahulu menyampaikan pidatonya yang juga mengandung usulan lima dasar bagi Indonesia merdeka, yaitu (1) peri kebangsaan (2) peri kemanusiaan (3) peri-Ketuhanan (4) peri kerakyatan dan (5) kesejahteraan rakyat.
Tidak ada perbedaan fundamental antara lima asas Yamin dengan lima dasar Soekarno. Panjang naskah pidatonya pun sama, yaitu 20 halaman. Karena itulah, B.J. Boland dalam bukunya, The Struggle of Islam in Modern Indonesia (The Hague: Martinus Nijhoff, 1971), menyimpulkan bahwa “The Pancasila was in fact a creation of Yamin and not Soekarno’s.” (Pancasila faktanya adalah karya Yamin dan bukan karya Soekarno).
Bahkan, tentang nama Pancasila sendiri, diakui oleh Soekarno ia mengkonsultasikan nama itu kepada seorang ahli bahasa, yang tidak lain adalah Muhammad Yamin. Dalam buku Sejarah Lahirnya Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila (Inti Idayu Press, 1984) disebutkan, bahwa Soekarno pada tahun 1966 mengakui, kata “sila” adalah sumbangan Yamin, sedangkan kata “Panca” berasal dari dirinya. (Lihat, Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, (Jakarta: GIP, 1997),hal. 18-19). Juga, Restu Gunawan, Muhammad Yamin dan Cita-cita Persatuan, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2005), hal. 48-50).
Juga, sebagai catatan, soal penggali Pancasila sebenarnya hingga kini masih menyisakan perdebatan. Dalam rapat-rapat BPUPK, sebenarnya ada sekitar 30 anggota yang berbicara, termasuk Mohammad Hatta. Anehnya, hanya pidato 3 orang saja yang dimasukkan ke dalam buku Muhammad Yamin, Pembahasan Undang-undang Dasar Jilid I. Notulen rapat BPUPK semula dipegang oleh RP Suroso, lalu dipinjam oleh Adinegoro. Selanjutnya Muhammad Yamin meminjam dari Adinegoro dengan alasan akan diterbitkan, untuk itu perlu diedit. Sampai meninggalnya Yamin, naskah notulen 1
tersebut tidak pernah muncul, sementara yang beredar di masyarakat adalah bukunya Yamin, yang hanya memuat pidato 3 orang saja. Bung Hatta pernah mengaku sangat kecewa dengan hilangnya notulen BPUPK tersebut.
Dalam buku berjudul Pantjasila Dasar Filsafat Negara oleh Bung Karno, dimuat pidato-pidato Bung Karno saat memberikan kursus/kuliah umum tentang Pancasila di Istana Negara Jakarta dan di Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Kursus-kursus itu diselenggarakan oleh satu lembaga bernama “Liga Pancasila”. Dalam pidatonya, Soekarno antara lain menyatakan:
“Saya gali sampai jaman Hindu dan pra-Hindu. Masyarakat Indonesia ini boleh saya gambarkan dengan saf-safan. Saf ini di atas saf itu, di atas saf itu saf lagi. Saya melihat macam-macam saf. Saf pra-Hindu, yang pada waktu itu telah bangsa yang berkultur dan bercita-cita. Berkultur sudah, beragama sudah, hanya agamanya lain dengan agama sekarang, bercita-cita sudah. Jangan kira bahwa kita pada jaman pra-Hindu adalah bangsa yang biadab… Jadi, empat saf, saf pra-Hindu, saf Hindu, saf Islam, saf imperialis, menembus jaman Islam, menembus jaman Hindu, masuk ke dalam jaman pra-Hindu.”
(Soekarno, Pantjasila Dasar Filsafat Negara, (Djakarta: Jajasan Empu Tantular, 1960), Jika benar, bahwa Pancasila digali dari zaman pra-Hindu, dan bukan berasal dari zaman Hindu, Islam, atau era penjajah Barat maka, tentunya bisa dipertanyakan, bagaimana dengan aspirasi para tokoh Islam pada perumusan Piagam Jakarta yang di dalamnya memuat naskah Pancasila -pada Sidang BPUPK tahun 1945? Apakah benar, konsep itu murni hanya digali dari zaman pra-Hindu? Tentu saja pemahaman semacam ini tidak mudah dibuktikan kebenarannya dan lebih merupakan sebuah dogma. Sebab, kehebatan peradaban zaman pra-Hindu di Indonesia sendiri tidak mudah dibuktikan secara ilmiah. Pada 1 Juni 1945, Soekarno memang mengajukan rumusan Pancasila. Tapi, Pancasila rumusan Soekarno dan rumusan lainnya kemudian dirembukkan dalam rapat-rapat Panitia Sembilan BPUPK, dan kemudian keluarlah rumusan Pancasila yang berbeda dengan rumusan versi Soekarno.
Pancasila dalam tinjauan filsafat
Secara etimologis istilah ”filsafat“ atau dalam bahasa Inggrisnya “philosophi” adalah berasal dari bahasa Yunani “philosophia” yang secara lazim diterjemahkan sebagai “cinta kearifan” kata philosophia tersebut berakar pada kata “philos” (philia, cinta) dan “sophia” (kearifan). Berdasarkan pengertian bahasa tersebut filsafat berarti cinta kearifan. Kata kearifan bisa juga berarti “wisdom” atau kebijaksanaan sehingga filsafat bisa juga berarti cinta kebijaksanaan. Berdasarkan makna kata tersebut maka mempelajari filsafat berarti merupakan upaya manusia untuk mencari kebijaksanaan hidup yang nantinya bisa menjadi konsep kebijakan hidup yang bermanfaat bagi peradaban manusia. Seorang ahli pikir disebut filosof, kata ini mula-mula dipakai oleh Herakleitos.
Ada pula pengertian lain dari filsafat adalah pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang yang merupakan konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan. Filsafat juga diartikan sebagai suatu sikap seseorang yang sadar dan dewasa dalam memikirkan segala sesuatu secara mendalam dan ingin melihat dari segi yang luas dan menyeluruh dengan segala hubungan.
Pancasila dapat dikatakan sebagai filsafat dalam arti produk, sebagai pandangan hidup, dan dalam arti praktis. Ini berarti Filsafat Pancasila mempunyai fungsi dan peranan sebagai pedoman dan pegangan dalam sikap, tingkah laku dan perbuatan dalam kehidupan sehari-hari, dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bagi bangsa Indonesia.
Filsafat Pancasila dapat didefinisikan secara ringkas sebagai refleksi kritis dan rasional tentang Pancasila sebagai dasar negara dan kenyataan budaya bangsa, dengan tujuan untuk mendapatkan pokok-pokok pengertiannya yang mendasar dan menyeluruh.
Menurut Ruslan Abdul Gani, Pancasila dikatakan sebagai filsafat, karena Pancasila merupakan hasil perenungan jiwa yang mendalam yang dilakukan oleh the faounding father kita, yang dituangkan dalam suatu sistem.
Sedangkan menurut Prof. Notonagoro, filsafat Pancasila memberi pengetahuan dan pengertian ilmiah yaitu tentang hakikat dari Pancasila.
Pancasila yang terdiri atas lima sila pada hakikatnya merupakan sistem filsafat dimana seluruh bagian-bagian (masing-masing sila) saling berhubungan, saling bekerjasama untuk tujuan tertentu dan merupakan suatu kesatuan yang utuh. Dapat disebut juga sebagai kesatuan organis.
Pemikiran dasar yang terkandung dalam Pancasila, yaitu pemikiran tentang manusia yang berhubungan dengan Tuhan, dengan diri sendiri, dengan sesama, dengan masyarakat bangsa yang nilai-nilai itu dimiliki oleh bangsa Indonesia.
Pancasila Sebagai Ideologi
Berdasarkan etimologinya, ideologi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata yaitu [idea] berarti raut muka, perawakan, gagasan dan buah pikiran dan [logia] berarti ajaran. Dengan demikian ideologi adalah ajaran atau ilmu tentang gagasan dan buah pikiran atau science des ideas.
Ideologi secara praktis diartikan sebagai sistem dasar seseorang tentang nilai-nilai dan tujuan-tujuan serta sarana-sarana pokok untuk mencapainya. Jika diterapkan oleh Negara maka ideologi diartikan sebagai kesatuan gagasan-gagasan dasar yang disusun secara sistematis dan dianggap menyeluruh tentang manusia dan kehidupannya, baik sebagai individu, sosial, maupun dalam kehidupan bernegara.
Pancasila jika dilihat dari nilai-nilai dasarnya, dapat dikatakan sebagai ideologi terbuka. Dalam ideologi terbuka terdapat cita-cita dan nilai-nilai yang mendasar, bersifat tetap dan tidak berubah. Oleh kareanya ideologi tersebut tidak langsung bersifat operasional, masih harus dieksplisitkan, dijabarkan melalui penafsiran yang sesuai dengan konteks jaman. Pancasila sebagai ideologi terbuka memiliki ideologi-ideologi idealitas, normative dan realities.
Jika dibandingkan dengan ideologi lain, Pancasila mempunyai perbedaan diantara adalah bahwa Pancasila (sebagai Ideologi) memberi kedudukan yang seimbang kepada manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Pancasila bertitik tolak dari pandangan bahwa secara kodrati bersifat monopluralis, yaitu manusia yang satu tetapi dapat dilihat dari berbagai dimensi dalam aktualisasinya.
Demikian beberapa uraian tentang Pancasila yang diyakini sebagai sebuah ideologi final, yang mana nilai-nilanya harus tetap terjaga dan diamalkan dalam kehidupan bangsa Indonesia dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Namun masih banyak hal yang harus dijawab oleh Pancasila sebagai ideologi, terutama berkaitan dengan kebangkitan bangsa Indonesia dalam kancah kehidupan dunia menuju era global. Maka ada baiknya kita letakkan Pancasila pada sebuah timbangan yang akan mengukur dan memeberikan jawaban atas klaim Pancasila sebagai Ideologi Bangsa Indonesia.
Mengupas Ideologi
Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan. Kata ideologi sendiri diciptakan oleh Destutt de Tracy pada akhir abad ke-18 untuk mendefinisikan “sains tentang ide“.
Tujuan utama dibalik ideologi adalah untuk menawarkan perubahan melalui proses pemikiran normatif. Ideologi adalah sistem pemikiran abstrak (tidak hanya sekadar pembentukan ide) yang diterapkan pada masalah publik sehingga membuat konsep ini menjadi inti politik. Secara implisit 1
setiap pemikiran politik mengikuti sebuah ideologi walaupun tidak diletakkan sebagai sistem berpikir yang eksplisit.
Maka untuk menggali lebih dalam lagi tentang ideologi, diperlukan definisi yang benar. Itu sebabnya Ibnu Sina pernah berkomentar: “Tanpa definisi, kita tidak akan pernah bisa sampai pada konsep”. Karena itu menurutnya, sama pentingnya dengan silogisme (baca: logika berfikir yang benar) bagi setiap proposisi (dalil atau pernyataan) yang kita buat.
Mabda’ (ideologi) secara etimologis adalah mashdar mimi dari kata bada’a- yabdau - bad’an - wa mabda’an yang berarti permulaan.
Secara terminologis berarti pemikiran mendasar yang dibangun diatas pemikiran-pemikiran (cabang). [dalam Al-Mausu’ah al-Falsafiyah].
Selain definisi di atas, berikut ada beberapa definisi lain tentang ideologi:
1. Wikipedia Indonesia: Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan atau aqidah ‘aqliyyah (akidah yang sampai melalui proses berpikir) yang melahirkan aturan-aturan dalam kehidupan.
2. Karl Marx: Ideologi merupakan alat untuk mencapai kesetaraan dan kesejahteraan bersama dalam masyarakat.
3. Napoleon: Ideologi keseluruhan pemikiran politik dari rival–rivalnya.
4. Dr. Hafidh Shaleh: Ideologi adalah sebuah pemikiran yang mempunyai ide berupa konsepsi rasional (aqidah aqliyah), yang meliputi akidah dan solusi atas seluruh problem kehidupan manusia. Pemikiran tersebut harus mempunyai metode, yang meliputi metode untuk mengaktualisasikan ide dan solusi tersebut, metode mempertahankannya, serta metode menyebarkannya ke seluruh dunia.
5. Taqiyuddin An-Nabhani: Mabda’ adalah suatu aqidah aqliyah yang melahirkan peraturan. Yang dimaksud aqidah adalah pemikiran yang menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan hidup, serta tentang apa yang ada sebelum dan setelah kehidupan, di samping hubungannya dengan Zat yang ada sebelum dan sesudah alam kehidupan di dunia ini. Atau mabda’ adalah suatu ide dasar yang menyeluruh mengenai alam semesta, manusia, dan hidup. Mencakup dua bagian yaitu, fikrah dan thariqah.
Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa Ideologi (mabda’) adalah pemikiran yang mencakup konsepsi mendasar tentang kehidupan dan memiliki metode untuk merasionalisasikan pemikiran tersebut berupa fakta, metode menjaga pemikiran tersebut agar tidak menjadi absurd dari pemikiran-pemikiran yang lain dan metode untuk menyebarkannya.
Berdasarkan uraian di atas, jelas harus ada 2 syarat utama untuk Pancasila jika memang benar ia adalah sebuah ideologi. Konsep mendasar yang bukan hanya sekedar falsafah namun juga mampu melahirkan aturan cabang agar dapat terealisasinya secara faktual semua falsafahnya tersebut. Untuk itu perlu diuraikan beberapa perbandingan berbagai ideologi yang telah ada dan telah dianut oleh negara sebagai berikut:
Lihat tabel berikut: 1
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39
40
Perbandingan Pancasila dan Ideologi Dunia
No Dalam Hal Ideologi Keterangan
Kapitalis Komunis Islam Pancasila
1
Sekularisme, yaitu memisahkan
agama dari kehidupan
masyarakat dan negara
(dialetika) materialisme dan evolusi materialisme
Laa Ilaha illa iLallah, yaitu menyatukan antara hukum
Allah SWT dgn kehidupan (Aqidah Islam); Pembuat
Hukum dan Aturan
Berdasarkan kepada keimanan kepada Tuhan YME
2 Fokus Gerakan
Individu di atas segalanya. Masyarakat hanyalah kumpulan individu- individu saja (individualisme)
Negara di atas segalanya. Individu merupakan salah satu gigi roda dalam roda masyarakat yg berupa sumber daya alam, manusia, barang produksi dll (satu kesatuan yaitu materi)
Individu merupakan salah satu anggota / bagian masyarakat (masyarakat =
3 Ikatan Perbuatan
Liberalisme (kebebasan) dalam masalah aqidah, pendapat, pemilikan dan kebebasan pribadi
Tidak ada kebebasan dlm aqidah & dilakukan bila sesuai dgn
hukum syara’
Nilai-nilai kemanusiaan
4 Tolokkebahagiaan ukur Meraihmateri berupa harta, pangkat,sebanyak-banyaknya kedudukan, dll
Meraih sebanyak-banyaknya materi berupa harta, pangkat, kedudukan, dll
Mencapai ridha Allah SWT yg terletak dalam ketaatannya
dalam setiap perbuatan
Kemakmuran yang adil dan beradab
5 Kebebasanpribadi dalam berbuat
Mendewakan kebebasan pribadi demi meraih kebahagiaan yang mereka definisikan
Mendewakan kebebasan pribadi demi meraih kebahagiaan yang mereka definisikan
Distandarisasi oleh hukum syara’. Bila sesuai bebas dilakukan, bila tidak maka
tidak boleh dilakukan
Masyarakat merupakan kumpulan dan kesatuan manusia, alam dan interaksinya dengan alam
Masyarakat merupakan kumpulan individu yang memiliki perasaan dan pemikiran yang satu serta
diatur oleh hukum yang sama
Masyarakat merupakan
kumpulan individu-individu, yang diatur oleh negara sebagai regulator
7 Dasarperekonomian
Ekonomi berada di tangan para pemilik modal. Setiap orang bebas menempuh cara apa saja. Tidak dikenal sebab-sebab pemilikan. Jumlahnya pun bebas dimiliki tanpa batasan
Ekonomi di tangan negara. Tidak ada sebab pemilikan, semua orang boleh mencari kekayaan dengan cara apapun. Namun jumlah kekayaan yang boleh dimiliki dibatasi
Setiap orang boleh menjalankan perekonomian
dengan membatasi sebab pemilikan dan jenis pemiliknya. Sedangkan jumlah kekayaan yang boleh
dimiliki tidak dibatasi
Ekonomi campuran dari ideologi yang ada
Prof. Dr. Dawam Rahardjo, 2004
8 Kemunculansistem aturan Manusia membuat hukum bagidirinya berdasar fakta yang
dilihatnya Sistem aturan diambil dari alat-alat produksi
Allah telah menjadikan bagi manusia sistem aturan untuk
dijalankan dalam kehidupan yang diturunkan pada nabi
Muhammad SAW. Manusia hanya memahami permasalahan, lalu menggali
hukum dari Al Qur’an dan As Sunnah
Dari nilai-nilai luhur warisan pendahulu bangsa Indonesia
Soekarno, 1945
9 Tolok ukur Manfaat kekinian Tolok ukur materi Halal-haram Pragmatisme
10 Penerapan hukum Terserah individu Tangan besi dari negara (otoriter)
Atas dasar ketaqwaan individu, kontrol masyarakat
dan penerapan dari masyarakat (penerapan hukum pada masyarakat
oleh negara)
Bagaimana penyelenggara negara
Kesimpulan
Dari bagan di atas dapat dimengerti beberapa kekhasan masing-masing ideologi pokok yang ada di dunia. Namun untuk menggali lebih dalam pemikiran dan praktek dari ideologi Pancasila sangat sulit, jika tidak dikatakan mustahil. Semua referensi penulisan dan pembahasan tentang ideologi Pancasila hanya menekannkan pada nilai tradisional kehidupan yang telah dipraktekan oleh masyarakat agraris; misalnya semangat gotong royong. Nilai filosofis kebenaran dari setiap agama dinukil secara kompromis dalam rangkaian bahasa yang luas dan kompromistis pula, sehingga dapat ditafsirkan oleh setiap warga seolah kepentingan mereka masing-masing telah diakomodir, misalnya dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan semboyan ”Bhinneka Tunggal Ika”.
Akan tetapi pada prakteknya yang mendasari penyelengara negara dan rakyat untuk bertindak adalah sekularisme, dimana ajaran agama hanya dijadikan filosofi dan acuan moral semata. Sedangkan dalam kehidupan pribadi, sebagian masyarakat akan melaksanakan perintah keagamaan mereka sepanjang tidak ”bersinggungan” dan ”bertentangan” dengan hukum yang berlaku di Indonesia.
Lebih jauh lagi aturan-aturan dalam semua aspek kehidupan tidak pernah muncul baik secara rinci maupun global dari Pancasila. Semua bentuk perundang-undangan hanya disebut ”disemangati oleh nilai-nilai Pancasila” tanpa terbukti secara faktual disebutkan ”berdasarkan sila ke sekian butir ke-sekian maka undang-undang ini dibuat”. Jelaslah bahwa tidak pernah ada rincian aturan pelaksanaan nilai-nilai Pancasila yang nyata.
Ini bisa dimengerti karena pada dasarnya Pancasila memang tidak mampu untuk melahirkan aturan rumusan pelaksanaan (Metode/Tariqah), hanya sekedar filsafat semata. Allahu a’lam bi shawab[yah]
1
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
12 13 14 15 16
17 18 19 20 21 22