• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGENAAN PAJAK ATAS PENGALIHAN HAK ATAS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENGENAAN PAJAK ATAS PENGALIHAN HAK ATAS"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

PENGENAAN PAJAK ATAS PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN MELALUI PPJB (PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI) LUNAS

YANG DISERTAI KUASA JUAL

Raymond Saptahari

ABSTRACT

PPJB-TB is a preliminary agreement on land and building right transfer between the seller and the buyer before the real Purchase Contract is signed. The issuance of PP No.34/2016 causes legal certainty in which PPJB-TB, PPh-Final payable, and the implementation of tax assessment on PPh in PPJB become the responsibility of a Notary. PPh-Final payable in PP No.34/2016 has met the principle of justice since it belongs to a person who has additional income from land and building right transfer or to those who transfer their land and building through PPJB and/or its addendum. Concerning settled PPJB-TB, related to its tax, the implementation of Settled PPJB-TB does not become the object of BPHTB and its exception so that there is legal uncertainty for PPJB as the object and is regulated on BPHTB in Law No.28/2009 on Regional Tax and Retribution and in the regulation on PPh in PP No.34/2016.

I. Pendahuluan

Salah satu jenis pajak yang diterapkan yaitu pajak dalam transaksi jual beli tanah. Perkembangannya pajak ini tentu menjadi perhatian utama dengan melihat fenomena tumbuhnya aktivitas mengenai kepemilikan maupun peralihan kepemilikan lahan pertanahan yang diakibatkan pesatnya laju kepadatan penduduk Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari jumlah penduduk yang terus meningkat1 dengan lahan yang tetap sehingga menyebabkan

selisih perbandingan yang semakin besar antara jumlah penduduk dan luas lahan. Pajak dalam transaksi jual-beli tanah terbagi atas;

1. Pajak Penjual; 2. Pajak Pembeli.

Pajak penjual, dikenakan Pajak Penghasilan (PPh). Dasar hukum pengenaan PPh terbaru untuk penjual tanah adalah Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2016 Tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah dan/atau Bangunan beserta Perubahannya :

“Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari 1. pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan; atau

1 Badan Pusat Statistik, Hasil Sensus Penduduk 2010 Data Agregat per Provinsi,

(2)

2. perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya, terutang Pajak Penghasilan yang bersifat final”.

Pajak pembeli, dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), yaitu pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Hal ini didasarkan pada Pasal 85 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Perkembangan dalam jual-beli tanah di samping AJB, ditemui praktik-praktik terjadinya Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (untuk selanjutnya disebut PPJB) sebagai pengikat tanda jadi transaksi jual beli tersebut. PPJB merupakan kesepakatan antara penjual untuk menjual properti miliknya kepada pembeli yang dibuat dengan akta notaris. PPJB dapat saja terjadi dengan seiring perkembangan harga tanah semakin mahal, sehingga terdapat kekosongan hukum untuk menutupi kebutuhan masyarakat atas kepastian hukum khususnya dalam ranah jual beli tanah. Jadi PPJB terjadi karena belum terpenuhinya persyaratan AJB yang bisa dikarenakan faktor pembayaran belum lunas, sertifikat masih dalam proses pemecahan atau proses lainnya, belum mampu membayar pajak, atau kondisi lainnya yang legal.

PPJB tanah dan bangunan merupakan perjanjian pendahuluan dengan maksud pemindahan hak atas tanah dan bangunan antara pihak penjual dan pihak pembeli sebelum dilaksanakannya jual beli dikarenakan adanya unsur-unsur yang belum dipenuhi untuk dilaksanakkan proses selanjutnya yaitu Akta Jual Beli. Unsur-unsur yang belum dipenuhi pada umumnya adalah :2

1. Belum Lunasnya Pembayaran Harga Tanah dan Bangunan/Secara Berangsur;

2. Sertifikat Tanah sedang dalam proses cek bersih di Badan Pertanahan Nasional setempat;

3. Masih dalam tahap verifikasi cek bangunan oleh Dispenda setempat; 4. Belum dapat dipenuhi pembayaran pajak oleh para pihak.

Unsur-unsur tersebut menjadi penghalang para pihak untuk dilaksanakan jual-beli pada saat itu juga.

Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli biasanya dapat dibuat dengan 2 (dua) versi, yaitu:

1. Akta Perjanjian Pengikatan jual beli yang baru merupakan janji-janji karena biasanya harganya belum lunas (biasa disebut sebagai: PPJB Belum Lunas)

2 Hasil Wawancara dengan Rosana Lubis, SH, Notaris di Medan, pada tanggal 10

(3)

2. Akta Perjanjian Pengikatan Jual beli yang pembayarannya sudah dilakukan secara LUNAS, namun belum bisa dilaksanakan pembuatan akta jual belinya di hadapan PPAT yang berwenang, karena masih ada proses yang belum selesai, misalnya: masih sedang dalam proses pemecahan sertifikat, masih sedang dalam proses penggabungan dan berbagai alasan lain yang menyebabkan Akta Jual Beli belum bisa dibuat (biasa disebut sebagai: PPJB Lunas).

Khusus untuk pembayaran sudah lunas dan dibuatkan PPJB Lunas, maka biasanya di dalamnya dibarengi dengan Kuasa untuk menjual, dari penjual kepada pembeli. Jadi, ketika semua persyaratan sudah terpenuhi, tanpa perlu kehadiran penjual-karena sudah terwakili-sudah memberikan kuasa, dengan redaksi kuasa untuk menjual kepada pembeli, Notaris/PPAT dapat langsung membuatkan Akta Jual Belinya untuk kemudian memproses balik nama sertifikatnya.

PPJB Lunas yang disertai kuasa jual, tidak hanya dijadikan bentuk perlindungan pada pembeli, namun juga memberikan kesempatan kepada pembeli untuk mengalihkan tanah tersebut kepada pihak lain.

Sebagai contoh, proses jual beli yang terjadi adalah A (Pihak Penjual) melakukan peralihan dengan mengikatkan tanahnya kepada B (Pihak Pembeli) dengan dasar PPJB Lunas yang disertai kuasa jual, kemudian B mengalihkan tanah yang di beli dari A kepada C (Pihak lain) dengan dasar kuasa jual yang dimiliki oleh B. Meskipun peralihan yang terjadi antara A dan B masih PPJB Lunas atau perjanjian awal sebelum dilakukan AJB, tetapi sudah dapat dikatakan terjadi beralihnya kepemilikan dengan melihat adanya kewenangan B melalui kuasa jual yang dimilikinya untuk menjual kepada C serta sudah ada pembayaran lunas penuh yang diminta oleh A.

(4)

Pemerintah ini merupakan pengganti PP No. 71 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas PP No. 48 Tahun 1994 tentang pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan yang sebelumnya penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan melalui Perjanjian Pengikatan Jual Beli Atas Tanah dan/atau Bangunan tidak dikenakan.

Adapun perubahan dalam pelaksanaannya yaitu pengenaan PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sudah dikenakan pada peralihan melalui PPJB berdasarkan PP Nomor 34 Tahun 2016, di mana PPJB (pajak penjual) yang sudah dikenakan PPh Final tetapi berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tidak dibarengi pengenaan pajak pembeli (BPHTB) yang mengakibatkan tidak terjadinya insinkronisasi peraturan antara Pajak BPHTB dan PPh. Hal inilah yang mendasari penelitian ini dilakukan dengan judul “Pengenaan Pajak Atas Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan Melalui PPJB (Perjanjian Pengikatan Jual Beli) Lunas Yang Disertai Kuasa Jual”.

Perumusan masalah penelitian ini adalah

1. Bagaimana pemenuhan prinsip kepastian hukum dalam ketentuan pengenaan Pajak Penghasilan Final atas peralihan hak atas tanah dan bangunan melalui PPJB dengan Kuasa Jual ?

2. Bagaimana pemenuhan prinsip keadilan dalam ketentuan pengenaan Pajak Penghasilan Final atas peralihan hak atas tanah dan bangunan melalui PPJB dengan Kuasa Jual?

3. Apa kendala dalam ketentuan pengenaan pajak-pajak atas peralihan hak atas tanah dan tanah melalui PPJB?

Mengacu pada topik penelitian dan permasalahan yang diajukan diatas, maka tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui pemenuhan prinsip kepastian hukum dalam ketentuan pengenaan pajak peralihan tanah melalui PPJB dengan Kuasa Jual .

2. Untuk mengetahui pemenuhan prinsip keadilan dalam ketentuan pengenaan pajak peralihan tanah melalui PPJB dengan Kuasa Jual .

3. Untuk mengetahui kendala dalam ketentuan pengenaan pajak peralihan tanah dan bangunan.

(5)

Tesis ini menggunakan jenis penelitian hukum yuridis normatif yang bersifat preskriptif analisis, dengan mengutamakan data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Data-data tersebut juga didukung dengan data primer yang diperoleh dari penelitian lapangan melalui wawancara beberapa notaris di Medan. Analisis terhadap data-data tersebut dilakukan secara kualitatif dan ditarik kesimpulan dengan metode penalaran deduktif.

III. Hasil Penelitian dan Pembahasan

Berdasarkan ketentuan objek pajak penghasilan bersifat final sebagaimana ditentukan pada Pasal 4 ayat (2) huruf d UU PPh yang menyatakan bahwa “Penghasilan dapat dikenai pajak final apabila penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan;”.

Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan yang diterima orang pribadi/badan, maka penghasilan tersebut termasuk dalam pengertian penghasilan sebagaimana dimasud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf d Undang-Undang tersebut. Dalam rangka meningkatkan kepatuhan orang pribadi atau badan dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, dan sesuai UU Nomor 7 Tahun 1983, sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 36 Tahun 2008, maka diterbitkan Peraturan Pemerintah untuk mengatur cara yang lebih berdaya guna yaitu dengan mengaitkan pemenuhan kewajiban Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya khusus untuk pembayaran sudah lunas dan dibuatkan PPJB Lunas, maka biasanya di dalamnya dibarengi dengan Kuasa untuk menjual, dari penjual kepada pembeli. Kuasa Jual tersebut merupakan akta tersendiri dari PPJB yang telah dibuat.

Pemenuhan kewajiban pajak tersebut pertama kali diatur dengan diputusnya Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 Tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan.

(6)

pemenuhan kewajiban pembayaran Pajak Penghasilan dilakukan melalui pemungutan oleh bendaharawan atau pejabat yang melakukan pembayaran tersebut.

Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2008 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 Tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan dinyatakan dalam Pasal (1) ayat (2) bahwa:

Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah : a. penjualan, tukar menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak,

lelang, hibah atau cara lain yang disepakati dengan pihak lain selain pemerintah;

b. penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain yang disepakati dengan pemerintah guna pelaksanaan pembangunan, termasuk pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak memerlukan persyaratan khusus;

c. penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain kepada pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus.

PP tersebut dalam perubahannya sampai yang ketiga melalui PP Nomor 71 Tahun 2008 tidak merubah pengalihan-pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang termasuk dalam objek pajak penghasilan dalam Pasal 1 ayat (2) tersebut. Hal tersebut menunjukkan bahwa Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau bangunan melalui Perjanjian Pengikatan Jual Beli bukanlah merupakan objek pajak penghasilan, di mana praktek PPJB juga sudah ada dan lama terjadi pada saat itu.

Perkembangannya dalam rangka percepatan pelaksanaan program pembangunan pemerintah untuk kepentingan umum, pemberian kemudahan dalam berusaha, serta pemberian perlindungan kepada masyarakat berpenghasilan rendah, PP Nomor 71 Tahun 2008 digantikan oleh PP No. 34 Tahun 2016 Tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah dan/atau Bangunan beserta Perubahannya. Terdapat perbedaan redaksi judul diantara kedua PP tersebut yaitu adanya “Perjanjian Pengikatan Jual Beli Atas Tanah Dan/Atau Bangunan Beserta Perubahannya” yang menjadi bagian dari pajak penghasilan.

(7)

“Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari: a. pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan; atau

b. perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya, Terutang Pajak Penghasilan yang bersifat final.”

Berdasarkan PP tersebut terdapat perluasan objek pajak PHTB yaitu pengenaan terhadap PPJB-PHTB sebagai objek pajak PPh Final.

Berdasarkan PP Nomor 34 Tahun 2016 pasal 1 ayat (3) menyatakan bahwa:

“Penghasilan dari perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah penghasilan dari:

a. pihak penjual yang namanya tercantum dalam perjanjian pengikatan jual beli pada saat pertama kali ditandatangani; atau

b. pihak pembeli yang namanya tercantum dalam perjanjian pengikatan jual beli sebelum terjadinya perubahan atau adendum perjanjian pengikatan jual beli, atas terjadinya perubahan pihak pembeli dalam perjanjian pengikatan jual beli tersebut.”

Pasal ini menunjukkan pengenaan PPJB-PHTB tidak terhenti pada pihak penjual, tetapi juga dapat dikenakan pihak pembeli dalam hal terjadinya perubahan pihak pembeli dalam perjanjian pengikatan jual beli tersebut. Pengenaan PPh Final terhadap Pihak Pembeli berdasarkan pasal 1 ayat (3) PP Nomor 34 Tahun 2016 akan terus berlanjut kepada Pihak Pembeli selanjutnya selama PPJB-PHTB tersebut belum disempurnakan menjadi Akta Jual Beli.

Lahirnya PP Nomor 34 Tahun 2016 terjadi pergeseran dimana Penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya, baik dalam kegiatan usahanya maupun di luar usahanya, wajib dibayar atau dipungut Pajak Penghasilannya pada saat terjadinya transaksi dan pengenaan Pajak Penghasilan tersebut bersifat final.3

PP Nomor 34 Tahun 2016 memberikan kepastian besarnya PPh atas penghasilan dari PPJB atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya sama juga berdasarkan tarif di atas (PPh dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan) dari jumlah bruto, yaitu:4

a. nilai yang sesungguhnya diterima atau diperoleh, dalam hal pengalihan tanah dan/atau bangunan dilakukan melalui pengalihan yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa; atau

(8)

b. nilai yang seharusnya diterima atau diperoleh, dalam hal pengalihan tanah dan/atau bangunan dilakukan melalui pengalihan yang dipengaruhi hubungan istimewa.

Sedangkan pelunasan PPh yang terutang atas penghasilan dari perubahan PPJB atas tanah dan/atau bangunan dilakukan melalui penyetoran sendiri oleh orang pribadi atau badan yang merupakan pihak pembeli dan namanya tercantum dalam PPJB sebelum terjadinya perubahan atau adendum atas PPJB tersebut.5 Pihak penjual hanya menandatangani perubahan atau

adendum PPJB apabila kepada penjual dibuktikan bahwa kewajiban pelunasan PPh oleh pembeli (sebelum perubahan PPJB) telah dipenuhi dengan menyerahkan fotokopi Surat Setoran Pajak atau hasil cetakan sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak yang bersangkutan, yang telah dilakukan penelitian oleh Kantor Pelayanan Pajak.6 Pihak penjual harus menyampaikan laporan mengenai perubahan atau adendum PPJB

atas pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan kepada Direktur Jenderal Pajak.7

PPh Final yang sebelumnya tidak terutang dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan dari Perjanjian Pengikatan Jual Beli melalui PP Nomor 71 Tahun 2008, menjadi terutang PPh Final dan pembayarannya telah mendapat kepastian hukum melalui Pasal 1 ayat (1) huruf b PP Nomor 34 Tahun 2016. Melalui PP Nomor 34 Tahun 2016 Pengenaan PPh Final terhadap PPJB juga telah memberikan kepastian besar tarifnya (berdasarkan Pasal 2 ayat (3) PP Nomor 34 Tahun 2016) dan kepastian pelunasannya (Pasal 5 PP Nomor 34 Tahun 2016). Kepastian pengenaan pajak PPJB, pelaksanaanya menjadi tanggung jawab notaris sebagaimana pembuatan PPJB menjadi kewenangan notaris sesuai pasal 15 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yaitu;

“Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.”

Pelaksaan PPJB jika dihubungkan dengan ketentuan Pajak Penghasilan maka berkaitan dengan PP Nomor 34 Tahun 2016, dimana notaris mempunyai tanggung jawab untuk tidak melakukan addendum PPJB apabila tidak memenuhi ketentuan pasal 5 ayat (2) PP Nomor 34 Tahun 2016 yaitu :

(9)

“Pihak penjual hanya menandatangani perubahan atau adendum perjanjian pengikatan jual beli apabila kepadanya dibuktikan bahwa kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah dipenuhi dengan menyerahkan fotokopi Surat Setoran Pajak atau basil cetakan sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak yang bersangkutan, yang telah dilakukan penelitian oleh Kantor Pelayanan Pajak.”

Oleh sebab itu pengenaan PPh Final terhadap peralihan hak atas tanah dan bangunan melalui PPJB telah memenuhi kepastian hukum.

Pemungutan pajak dikenal adanya azas kepastian (certainty). Dikatakan bahwa kepastian hukum merupakan tujuan setiap undang-undang. pungutan pajak yang tidak berdasarkan undang-undang, maka pungutan tersebut bukanlah pajak tetapi lebih tepat disebutkan perampokan (taxation without representation is robbery)8, karena itu

Sommerfield menegaskan bahwa untuk meningkatkan kepastian hukum perlu disediakan petunjuk pemungutan pajak, advanced rulling, maupun interprestasi hukum yang lain.9 Asas Certainty (asas kepastian hukum), menurut Adam smith, semua pungutan pajak harus berdasarkan UU, sehingga bagi yang melanggar akan dapat dikenai sanksi hukum.10

PPJB pada dasarnya merupakan perjanjian antara calon pembeli dan calon penjual terhadap objek tanah dan/atau bangunan yang dibuat sebelum atau dikeluarkannya Akta Jual Beli (AJB) yang dibuat di hadapan notaris. Aturan ini untuk mengakomodasi agar pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan pada saat berlakunya PPJB tetap terutang PPh Final. Setelah berlakunya PP nomor 34 tahun 2016 ini maka ketentuan PPh Final dalam PP Nomor 71 Tahun 2008 menjadi tidak berlaku lagi.

Menurut Azas Persamaan, Keadilan dan Kemampuan mengandung arti sebagai berikut: “Kesamaan (quality) mengandung arti bahwa keadaan yang sama atau orang yang berada dalam keadan yang sama harus dikenakan pajak yang sama. Dengan demikian akan diharapkan akan tercapai keadilan (equity) diantara pembayar pajak, karena mereka akan dikenakan pajak berdasarkan kemampuannya dalam membayar pajak (ability to pay) yang memang berbeda antara seorang Wajib Pajak dengan Wajib Pajak lainnya”.11 Menurut asas

ini pengenaan PPh Final Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan terhadap PPJB dalam PP Nomor 34 Tahun 2016 (Skema 3) sudah tercermin persamaan, keadilan dan kemampuan.

8 Ilyas, Wirawab B & Richard Burton, Hukum Pajak, (Jakarta : Salemba Empat,

2008), hal 5.

9 Ray M. Sommerfeld, An Introduction To Taxation, (London : Harcourt Brace

Javanovich Inc, 1982), hal 1/17.

10 Rochmat Soemitro & Sugiharti D K, Asas dan Perpajakan, (Bandung : Refka

Aditama, 2004), hal 35.

11 Marihot Pahala Siahaan, Hukum Pajak Elementer, Konsep Dasar Perpajakan Indonesia, (Jakarta :

(10)

Para pihak yang menerima penambahan harta/penghasilan akibat dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan dari Perjanjian Pengikatan Jual Beli sudah sewajarnya terutang Pajak Penghasilan. Pengenaan pajak penghasilan tersebut bersifat final, dimana peraturan sebelumnya PP Nomor 71 Tahun 2008 (Skema.2) pihak pembeli dalam PPJB (Tuan B) yang menerima uang dengan mengalihkan hak atas tanah dan/atau bangunannya kepada orang lain (Tuan C) melalui kuasa jual tidak ada terutangnya pajak penghasilan.

Ability to pay PPh Final terhadap Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan dari Perjanjian Pengikatan Jual Beli dalam PP Nomor 34 Tahun 2016 sudah dikenakan tarif pengenaan PPh Final yang ditetapkan berdasarkan pasal 2 ayat (3). Penghasilan yang diterima oleh Pihak Penjual dari Pihak Pembeli dari peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan melalui PPJB tentu menjadi pemenuhan seseorang memiliki kemampuan membayar wajib pajak.

Asas Certainty dalam Pengenaan PPh Final Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan terhadap PPJB dapat dilihat dalam PP Nomor 34 Tahun 2016 Pasal 1 (1) huruf b. Pembentukan PP Nomor 34 Tahun 2016 menekankan perluasan objek PPh Final terhadap peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan yaitu PPJB tanah dan bangunan dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b serta ketentuan lainnya yang berkaitan dengan PPJB seperti besaran tarif maupun pelunasan PPh Final PPJB tanah dan bangunan

Pengenaan Pajak Penghasilan Final berdasarkan Pasal 2 ayat (3) PP Nomor 34 Tahun 2016 menyatakan adanya pembedaan besarnya tarif pajak penghasilan atas penghasilan dari PPJB tanah dan bangunan beserta perubahannya, di mana besarnya tarif PPh Final atas PPJB dan/atau perubahannya didasarkan pada nilai yang sesungguhnya/seharusnya diterima atau diperoleh oleh Pihak Penjual dan/atau Pihak Pembeli atas peralihan melalui PPJB tersebut. Ketentuan tersebut menunjukkan nilai PPh Final atas PPJB dan perubahannya besaran pajaknya tidak selalu sama yaitu jumlah pajak akan semakin besar apabila setiap nilai pengalihan PPJB dan perubahannya semakin tinggi juga. Hal ini menunjukkan pegenaan PPh Final berdasarkan PP Nomor 34 Tahun 2016 telah memenuhi Keadilan Vertikal.

(11)

34 Tahun 2016 pengalihan PPJB dan perubahannya sudah terutang PPh Final. Tuan A dan Tuan B (Skema.3) terutang atas PPh Final atas penghasilan yang diterima dari pengalihan tersebut. Kondisi tersebut menunjukkan adanya tambahan penghasilan atas peralihan melalui PPJB yang sebelumnya tidak dikenakan pajak dalam PP Nomor 71 Tahun 2008 dan menjadi terutang pajak atas penghasilan dalam PP Nomor 34 Tahun 2016 menunjukkan PP Nomor 34 Tahun 2016 telah memenuhi Keadilan Horizontal.

Pengenaan PPh Final Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan dari Perjanjian Pengikatan Jual Beli dalam PP Nomor 34 Tahun 2016 sudah mencerminkan keadilan dilihat dari pemenuhan Asas Persamaan, Keadilan, dan Kemampuan, dimana Para pihak yang menerima penambahan harta/penghasilan (Tuan A, Tuan B, Tuan C, dan Tuan D) akibat dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan dari Perjanjian Pengikatan Jual Beli (Skema.3) terutang Pajak Penghasilan. Tercerminnya keadilan juga dilihat dari terpenuhinya Asas Kepastian, dimana Pengenaan PPh Final Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan terhadap PPJB dapat dilihat dalam PP Nomor 34 Tahun 2016 Pasal 1 (1) huruf b, serta terpenuhinya Keadilan Vertikal maupun Keadilan Horizontal melalui PP Nomor 34 Tahun 2016, dimana besarnya tarif PPh Final atas PPJB dan/atau perubahannya didasarkan pada nilai yang sesungguhnya/seharusnya diterima atau diperoleh oleh Pihak Penjual dan/atau Pihak Pembeli atas peralihan melalui PPJB tersebut dan pengenaan PPh Final terhadap PPJB yang sebelumnya tidak diatur pengenaan PPh Final Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan dari Perjanjian Pengikatan Jual Beli dalam PP Nomor 71 Tahun 2008 dimana Pihak Penjual dalam PPJB tanah dan bangunan tidak terutang PPh meskipun sudah menerima uang peralihan/mengalami penambahan penghasilan dari Pihak Pembeli.

Sinkronisasi adalah penyelarasan dan penyelerasian berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan peraturan perundangperundang-undangan yang telah ada dan yang sedang disusun yang mengatur suatu bidang tertentu. Proses sinkronisasi peraturan bertujuan untuk melihat adanya keselarasan antara peraturan yang satu dengan peraturan lainnya. Sinkronisasi dilakukan baik secara vertikal dengan peraturan di atasnya maupun secara horizontal dengan peraturan yang setara.12

Maksud dari kegiatan sinkronisasi adalah agar substansi yang diatur dalam produk perundang-undangan tidak tumpang tindih, saling melengkapi (suplementer), saling terkait,

12 Novianto M. Hantoro, Sinkronisasi Dan Harmonisasi Pengaturan Mengenai Peraturan Daerah, Serta

(12)

dan semakin rendah jenis pengaturannya maka semakin detail dan operasional materi muatannya.13

Adapun tujuan dari kegiatan sinkronisasi adalah untuk mewujudkan landasan pengaturan suatu bidang tertentu yang dapat memberikan kepastian hukum yang memadai bagi penyelenggaraan bidang tersebut secara efisien dan efektif. 14

Khususnya mengenai pajak penjual dan pajak pembeli dalam proses transaksi jual beli tanah dan bangunan (PPh dan BPHTB) yaitu para pihak diwajibkan menyetorkan kewajiban pajak masing-masing dengan menyerahkan bukti pembayaran pajak kepada PPAT sebelum ditandatanganinya Akta Jual Beli (Pasal 91 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2009 dan Pasal 4 ayat (2) PP No. 34 Tahun 2016), sepanjang belum dilakukan pembayaran tersebut maka PPAT dinyatakan tegas dilarang membuat Akta Jual Beli (Pasal 39 ayat (1) huruf g PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah). Tidak terpenuhinya unsur-unsur/syarat dilakukan Akta Jual Beli maka Perjanjian Pengikatan Jual Beli menjadi solusi dan memenuhi kebutuhan para pihak apabila peralihan hak atas tanah dan bangunan tetap ingin dilaksanakan pada saat itu juga. Pada praktik peralihan jual beli tanah dan bangunan sehari-hari banyak terdapat ketidaktahuan para pihak mengenai syarat-syarat apa saja yang dibutuhkan untuk melakukan peralihan dengan jual beli khususnya mengenai pajak atas PHTB, baik jenis pajak yang dikenakan dan cara pembayarannya. Ketidaktahuan para pihak tersebut maka tidak heran setiap PHTB selalu dibuatkan PPJB terlebih dahulu.

PPJB yang sebelumnya sudah dijelaskan pada bab sebelumnya, pada praktiknya terdapat PPJB Lunas dan PPJB Tidak Lunas. PPJB Lunas yang merupakan telah terpenuhinya pembayaran yang dimintakan pihak penjual dianggap sudah terjadi peralihan hak atas tanah dan bangunan, dimana Pihak Pembeli sudah melaksanakan prestasi sepenuhnya yaitu melunasi pembayaran kepada pihak penjual. Beberapa PPJB tersebut pada praktiknya juga dibarengi dengan Akta Kuasa Menjual, di mana dengan akta tersebut pihak pembeli dapat mengalihkan tanah yang bersangkutan kepada pihak lain. 15

Berdasarkan ketentuan pajak penjual dan pajak pembeli dalam proses transaksi jual beli tanah dan bangunan (PPh dan BPHTB), subjek pajak (Wajib Pajak) adalah orang atau badan berdasarkan perbuatan hukum melakukan pengalihan hak atas tanah dan bangunan (untuk selanjutnya disebut PHTB), dimana PHTB tersebut menjadi objek pajak. Jual beli sebagai perbuatan hukum terdapat dua pihak yakni, pihak yang mengalihkan dan pihak yang

13Ibid. 14Ibid.

15 Hasil Wawancara dengan Rosana Lubis, SH, Notaris di Medan, pada tanggal 10

(13)

menerima/memperoleh dari apa yang dialihkan oleh pihak yang mengalihkan, sehingga terpenuhi syarat subjektif dan syarat objektif. Terpenuhinya syarat subjektif dan objektif tersebut dikenakan pajak atas PPh Final PHTB dan BPHTB.

Dasar Hukum Pengenaan BPHTB dapat dilihat dalam UU Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (untuk selanjutnya disebut PDRD).

Objek BPHTB menurut Pasal 85 ayat (1) UU PDRD adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. Disamping pasal objek BPHTB, dalam UU PDRD juga mengatur pasal pengecualian tentang Objek pajak yang tidak dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dalam pasal 85 ayat (4) UU PDRD yaitu objek pajak yang diperoleh:

1. Perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;

2. Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;

3. Badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut;

4. Orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;

5. Orang pribadi atau Badan karena wakaf; dan

6. Orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.

Selain objek BPHTB dan pengecualiannya, berdasarkan Pasal 90 UU PDRD menyatakan bahwa terutangnya pajak Bea Perolehan Hak Atas dan/atau Bangunan ditetapkan untuk :

1. jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; 2. tukar-menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; 3. hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

4. hibah wasiat adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

5. waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan;

6. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

(14)

8. putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pangadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap;

9. pemberian hak baru atas Tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah sejak tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;

10. pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah sejak tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;

11. penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; 12. peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; 13. pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; 14. hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; dan 15. lelang adalah sejak tanggal penunjukkan pemenang lelang.

Pelasanaan BPHTB dalam UU PDRD diatur lebih lanjut melalui peraturan daerah/kota seperti Kota Binjai dalam Peraturan Daerah (untuk selanjutnya disebut Perda) Nomor 2 Tahun 2011 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, di mana berdasarkan Pasal 4 ayat (1) dan (2).

Berdasarkan UU PDRD dan peraturan pelaksana dalam Perda Binjai menunjukkan Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan dari Perjanjian Pengikatan Jual Beli tidak termasuk objek dari BPHTB sebagaimana tercantum dalam Pasal 85 ayat (1) dan pasal pengecualian selain objek BPHTB dalam pasal 85 ayat (4) UU PDRD tidak ada mengatur/menyebutkan PPJB sehingga menimbulkan ketidakjelasan dalam proses transaksi perjanjian pengikatan jual beli tanah dan bangunan.

Berbeda halnya atas Pengenaan Pajak Penghasilan Final didasarkan pada Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, Tentang Pajak Penghasilan, penghasilan yang dikenai bersifat final, meliputi :16

1. Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi;

2. Penghasilan berupa hadiah undian;

3. Penghasilan dari transaksi saham dari sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa dan transaksi penjualan saham pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;

(15)

4. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan

5. Penghasilan tertentu lainnya yang diatur dengan atau berdasarkan peraturan pemerintah.

Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, berdasarkan Pasal 4 ayat (2) huruf d UU PPh No. 36 Tahun 2008 tersebut adalah merupakan objek pajak yang dikenai bersifat Final. Kewajiban pembayaran PPh Final PHTB diatur dengan PP Nomor 34 Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah dan/atau Bangunan beserta Perubahannya.

Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) point b PP Nomor 34 Tahun 2016 dinyatakan bahwa Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya terutang Pajak Penghasilan yang bersifat final.

Melihat ketentuan BPHTB dalam UU PDRD yang diatur lebih lanjut dengan Perda Daerah seperti Perda Binjai dan ketentuan PPh Final dalam UU PPh yang diatur lebih lanjut melalui PP Nomor 34 Tahun 2016 tidak terjadi sinkronisasi, di mana PPJB bukanlah objek dari BPHTB tetapi termasuk dalam objek PPh Final dan UU PDRD dalam pasal pengecualiannya tidak ada mengatur mengenai PPJB. Oleh sebab itu pengalihan hak atas tanah dan bangunan melalui PPJB yang disertai kuasa jual berdasarkan pasal 1 ayat (1) PP No. 34 Tahun 2016 PHTB melalui PPJB sudah terutang pajak PPh Final sedangkan berdasarkan Perda BPHTB bahwa PPJB tidak termasuk dalam objek BPHTB sesuai Pasal 90 ayat (1) point a UU PDRD dan peraturan pelasananya seperti Perda Binjai tentang BPHTB bahwa terutangnya BPHTB ditetapkan untuk jual beli sejak dibuat dan ditandatanganinya akta.

(16)

insinkronisasi dengan UU PDRD serta peraturan pelasananya seperti Perda Binjai tentang BPHTB.

Ada dua jenis cara pengkajian sinkronisasi aturan yaitu: pertama, sinkronisasi vertikal, mengidentifikasi apakah suatu perundang-undangan tersebut sejalan apabila ditinjau dari sudut strata atau hierarki peraturan perundangan yang ada. Kedua, sinkronisasi horisontal, mengidentifikasi peraturan perundang-undangan yang kedudukannya sederajat dan yang mengatur bidang yang sama.17 Pada penelitian ini dapat dilihat adanya

insinkronisasi secara vertikal mengenai PPJB sebagai objek antara ketentuan BPHTB dalam Peraturan-Peraturan Daerah tentang BPHTB dan Ketentuan Pajak Penghasilan dalam PP nomor 34 Tahun 2016 Tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah dan/atau Bangunan beserta Perubahannya, di mana Perjanjian Pengikatan Jual Beli tidak termasuk objek dari BPHTB sebagaimana tercantum dalam Pasal 85 ayat (1), dimana BPHTB merupakan Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan dan pasal pengecualian selain objek BPHTB dalam pasal 85 ayat (4) UU PDRD tidak ada mengatur/menyebutkan PPJB sehingga menimbulkan ketidakjelasan dalam proses transaksi perjanjian pengikatan jual beli tanah dan bangunan.

IV. Kesimpulan dan Saran

A. Kesimpulan

1. Pengenaan Pajak Penghasilan Final atas Penghasilan dari Perjanjian Pengikatan Jual Beli Atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya telah mendapat kepastian hukum melalui Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan jo. Pasal 1 ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2016 Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Atas Tanah Dan/Atau Bangunan Beserta Perubahannya, yang sebelumnya tidak diatur dalam PP Nomor 71 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.

17 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta:

(17)

2. Pengenaan Pajak Penghasilan Final atas peralihan hak atas tanah dan bangunan melalui PPJB dalam PP Nomor 34 Tahun 2016 sudah mencerminkan prinsip keadilan jika dilihat dari segi keadilan vertikal dan keadilan horizontal serta asas persamaan, keadian, dan kemampuan, dimana seseorang (Pihak Pembeli dan Pihak Penjual) yang memiliki penambahan penghasilan dari peralihan hak atas tanah dan bangunan melalui PPJB sudah terutang PPh bersifat Final.

3. Kendala dalam ketentuan pengenaan pajak-pajak atas peralihan hak atas tanah dan bangunan melalui Perjanjian Pengikatan Jual Beli Atas tanah dan bangunan adalah pada saat sudah terutangnya Pajak Penghasilan Final (pajak penjual) tetapi pihak pembeli belum terutangnya BPHTB (pajak pembeli) sehingga terjadi insinkronisasi hukum secara vertikal antara Pasal 1 ayat (1) huruf b PP Nomor 34 Tahun 2016 dan Pasal 85 ayat (2) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah mengenai BPHTB, dimana PPJB merupakan objek PPh Final dan sebagai bentuk penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan dalam PP Nomor 34 Tahun 2016 tetapi bukan merupakan objek BPHTB maupun pengecualiannya..

B. Saran

1. Hendaknya terutangnya PPh F atas Penghasilan dari Perjanjian Pengikatan Jual Beli Atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya melalui PP Nomor 34 Tahun 2016 dapat disosialisasikan terhadap para pihak yang terkait dengan peralihan melalui PPJB khususnya notaris sebagai pejabat yang berwenang menandatangai akta tersebut.

2. Hendaknya Direktorat Pajak melakukan pengawasan/pemeriksaan pajak terkait pengenaan PPh F PHTB-PPJBTB terhadap pihak-pihak yang terlibat didalamnya seperti; pihak pembeli dan penjual dalam PPJB dan perubahannya, perantara atau pedagang (agen properti, investor properti, atau pengembang), dan notaris agar prinsip keadilan dapat ditegakkan.

3.

Hendaknya adanya revisi terhadap Undang-Undang PDRD mengenai BPHTB bahwa secara tegas PPJB diatur didalamnya agar tidak terjadi kekosongan hukum.

V. Daftar Pustaka

(18)

Ilyas, wirawan B & Richard Burton, Hukum Pajak, Jakarta : Salemba Empat, 2008.

Siahaan, Marihot Pahala, Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan; Teori dan Praktek, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2003.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta : Rajawali Press, 1990

Sommerfeld, Ray M., An Introduction To Taxation, London : Harcourt Brace Javanovich Inc, 1982.

Soemitro, Rochmat & Sugiharti D K, Asas dan Perpajakan, Bandung : Refika Aditama, 2004.

2. Artikel/Jurnal/Makalah

Badan Pusat Statistik, Hasil Sensus Penduduk 2010 Data Agregat per Provinsi,

http://sp2010.bps.go.id/, diakses pada tanggal 15 September 2016 pukul 23.00.

Sinkronisasi Dan Harmonisasi Pengaturan Mengenai Peraturan Daerah, Serta Uji Materi Peraturan

Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah

Provinsi Bali Tahun 2009-2029, diakses pada

http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/130881-%5B_Konten_ %5D-Konten%20C9218.pdf pada tanggal 20 Januari 2017 pukul 20.00 WIB.

3. Perundang-undangan Undang-Undang Dasar 1945

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2016 Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan, Dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Atas Tanah Dan/Atau Bangunan Beserta Perubahannya

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Referensi

Dokumen terkait

Karena pengenaan PPh F PHTB terhadap permohonan hak baru (pendaftaran tanah untuk pertama kali) bukan objek pajak, dan pengenaan tersebut tidak memenuhi aspek keadilan, hendaknya

Pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan untuk bisa memenuhi asas-asas keadilan, kepastian hukum, legalitas dan sistem administrasi perpajakan yang memudahkan

a. Pengajuan SKB PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan karena warisan. 1) Pada prinsipnya PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau

- Khusus PPh final atas transaksi pengalihan hak atas tanah dan bangunan diisi nama pembeli dan lokasi obyek.. - Khusus PPh final atas persewaan tanah dan bangunan diisi nama

”Pembayaran pajak penghasilan (PPh) sebesar 5% yang dilakukan oleh pemegang hak atas tanah atas penyerahan bangunan yang dilakukan oleh investor bagi orang pribadi bersifat final

2 Dikenakan tarif umum progressif yaitu pasal 17 UU PPh Dikenakan tarif dan dasar pengenaan pajak tertentu yang diatur dengan peraturan pemerintah 3 Jumlah PPh yang dipotong pihak

Warisan yang berupa harta tanah dan atau bangunan, jika ahli waris akan melakukan proses pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, dalam ketentuan perpajakan yaitu PP 71 Tahun 2008

Kedua Pengaturan yang selaras terhadap pembayaran pajak penghasilan atas pengalihan hak atas tanah dan bangunan serta konsep pengalihan hak atas tanah ialah bahwa kedua belah pihak