• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENANGGULANGAN HAMA DAN GULMA KELAPA SAW

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENANGGULANGAN HAMA DAN GULMA KELAPA SAW"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

PENANGGULANGAN HAMA DAN GULMA KELAPA SAWIT PADA FASE TANAMAN BELUM MENGHASILKAN (TBM) DAN FASE

TANAMAN MENGHASILKAN (TM)

PAPER

OLEH :

RENY YESSICA HUTAGALUNG (160304134)

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

DAFTAR ISI

BAB I. PENDAHULUAN...1

1.1. Latar Belakang...1

1.2. Tujuan Penulisan...3

1.3. Rumusan Masalah...4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA...5

2.1. Kelapa Sawit...5

2.2. Hama Sawit...5

2.3. Gulma...6

BAB III. PEMBAHASAN ...8

3.1. Botani Kelapa Sawit...8

3.2. Penanggulangan Hama Fase Tanaman Belum Menghasilkan (TBM)...8

3.3. Penanggulangan Hama Fase Tanaman Menghasilkan (TM)...19

3.4. Penanggulangan Gulma Fase Tanaman Belum Menghasilkan (TBM)...20

3.5. Penanggulangan Gulma Fase Tanaman Menghasilkan (TM)...23

BAB IV. PENUTUP...25

4.1. Kesimpulan...25

4.2. Saran...25

(3)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Tanaman Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) berasal dari Nigeria, Afrika Barat. Meskipun demikian, ada yang menyatakan bahwa kelapa sawit berasal dari Amerika Selatan yaitu Brazil karena lebih banyak ditemukan spesies kelapa sawit di hutan Brazil dibandingkan Afrika. Pada kenyataannya, tanaman kelapa sawit hidup subur diluar daerah asalnya, seperti Malaysia, Indonesia, Thailand, dan Papua Nugini. Tanaman kelapa sawit memiliki arti penting bagi pembangunan perkebunan nasional. Selain mampu menciptakan kesempatan kerja dan mengarah pada kesejahteraan masyarakat, kelapa sawit juga sumber perolehan devisa negara dan Indonesia merupakan salah satu produsen utama minyak sawit (Fauzi et al., 2008).

Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) adalah tanaman industri penting penghasil minyak masak, bahan industri, maupun bahan bakar (biodiesel). Perkebunan kelapa sawit menghasilkan keuntungan besar sehingga banyak hutan dan perkebunan lama dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Luas lahan kelapa sawit di Indonesia pada tahun 2009 yaitu 48.880.000 ha, pada 2010 yaitu 51.616.000 ha, pada 2011 yaitu 53.498.000 ha, pada tahun 2012 59.957.000 ha, dan pada tahun 2013 yaitu 61.707.000 ha (BPS, 2013).

(4)

juga diimbangi dengan peningkatan produktifitas. Produktivitas kelapa sawit adalah 1.78 ton/ha pada tahun 2001 dan meningkat menjadi 2.17 ton/ha pada tahun 2005. Hal ini merupakan kecenderungan yang positif dan harus dipertahankan. Untuk mempertahankan produktifitas tanaman tetap tinggi diperlukan pemeliharaan yang tepat dan salah satu unsur pemeliharaan Tanaman Menghasilkan (TM) adalah pengendalian hama dan penyakit.

Sektor perkebunan merupakan salah satu potensi dari subsektor pertanian yang berpeluang besar untuk meningkatkan perekonomian rakyat dalam pembangunan perekonomian Indonesia. Pada saat ini, sektor perkebunan dapat menjadi penggerak pembangunan nasional karena dengan adanya dukungan sumber daya yang besar, orientasi pada ekspor, dan komponen impor yang kecil akan dapat menghasilkan devisa non migas dalam jumlah yang besar. Produktivitas kelapa sawit sangat dipengaruhi oleh teknik budidaya yang diterapkan. Pemeliharaan tanaman merupakan salah satu kegiatan budidaya yang sangat penting dan menentukan masa produktif tanaman. Salah satu aspek pemeliharaan tanaman yang perlu diperhatikan dalam kegiatan budidaya kelapa sawit adalah pengendalian hama dan penyakit. Pengendalian hama dan penyakit yang baik dapat meningkatkan produksi dan produktivitas tanaman.

(5)

yaitu genetis (bahan tanam), perlakuan kultur teknis, Kondisi (iklim,tanah,dan wilayah) (Sulistyo, 2010).

Kehadiran gulma disekitar tanaman budidaya tidak dapat dielakkan, terutama bila lahan pertanaman tersebut tak terkendalikan, Sebagai tumbuhan gulma juga memerlukan persyaratan tumbuh seperti halnya tanaman lainnya, misalnya kebutuhan cahaya, nutrisi, air, dan ruang(tempat) yang mengakibatkan terjadinya asosiasi gulma di sekitar tanaman budidaya sehingga dapat menurunkan mutu produksi. Gulma yang berasosiasi ini akan saling memperebutkan bahan-bahan yang dibutuhkannya, apalagi bila jumlah sangat terbatas bagi keduanya (Moenandir, 1998).

Pengendalian gulma pada prinsipnya merupakan usaha untuk meningkatkan daya saing tanaman pokok dan melemahkan daya saing gulma. Pemeliharaan tanaman di lapangan dikategorikan menjadi pemeliharaan Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) dan pemeliharaan Tanaman Menghasilkan (TM). Pemeliharaan TBM bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan vegetatif, menjamin agar pertumbuhan tanaman homogen, sehingga dapat mempercepat tanaman memasuki fase TM. Sedangkan pemeliharaan TM dan dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitas dari produksi kelapa sawit.

1.2. Tujuan Penulisan

(6)

1.3. Rumusan Masalah

1. Bagaimana penanggulangan hama pada fase tanaman belum menghasilkan (TBM) ?

2. Bagaimana penanggulangan hama pada fase tanaman menghasilkan (TM) ?

3. Bagaimana penanggulangan gulma pada fase tanaman belum menghasilkan (TBM) ?

(7)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelapa Sawit

Kelapa sawit menjadi populer setelah Revolusi Industri pada akhir abad ke-19 yang menyebabkan permintaan minyak nabati untuk bahan pangan dan industri sabun menjadi tinggi. Kelapa sawit termasuk tanaman keras (tahunan) yang mulai menghasilkan pada umur 3 tahun dengan usia produktif hingga 25–30 tahun dan tingginya dapat mencapai 24 meter. Produk utama kelapa sawit adalah CPO dan CPKO, yang selanjutnya menjadi bahan baku industri hilir pangan maupun non pangan. Kelapa sawit adalah tanaman penghasil minyak nabati yang dapat diandalkan, karena minyak yang dihasilkan memiliki berbagai keunggulan dibandingkan dengan minyak yang dihasilkan oleh tanaman lain. Keunggulan tersebut diantaranya memiliki kadar kolesterol rendah, bahkan tanpa kolesterol. Prospek pasar bagi olahan kelapa sawit cukup menjanjikan, karena permintaan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang cukup besar (Sastrosayono, 2003).

2.2. Hama Sawit

Pesatnya industri yang memerlukan bahan baku kelapa sawit hams didukung oleh keberadaan bahan baku yang berkualitas. Peikebunan kelapa sawit memerlukan penanganan dan pengelolaan yang intensif dan juga memerlukan teknologi yang maju untuk meningkatkan produksi. Tidakan yang dapat dilakukan untuk mencapai tairet dimulai dari teknik budidaya, yaitu berupa: pembibitan, penanaman, pemupukan, pemeliharaan, dan pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT). Menurut Untung (2001), pengendalian hama tanaman sangat menentukan kualitas dan kuantitas dari produksi tanaman.

(8)

Sawit (UPDKS) mempakan hama utama yang bersifat permanen pada tanaman kelapa sawit. Menurut LUIHS (1992) hama utama yang bersifat permanen seperti ulat api Setora nitens, Setothosea asigna dan Darna trima harus terus dimonitor karena suatu waktu dapat menimbulkan ledakan populasi yang mengakibatkan kerugian secara ekonomis. Tetapi ada juga hama yang bersifat sementara seperti gajah, babi hutan, landak, dan hama lain yang sering mengganggu tanaman kelapa sawit.

Ulat Pemakan Daun Kelapa Sawit (UPDKS) khususnya ulat api S. nitens pada umumnya menyerang daun pada pelepah bagian atas (Taftazani, 2006). Daun pada pelepah bagian atas mempakan makanan yang sesuai bagi S. nitens karena daun kelapa sawit masih muda dan lunak.

Selama ini petani dan pihak pemsahaan memakai cara manual dan menggunakan insektisida dalam mengendalikan ulat api S. nitens. Sudharto (2001) menyatakan bahwa pemakaian pestisida yang tems menerus dan tidak bijaksana menyebabkan resistensi hama meningkatnya populasi hama sekunder, terbunuhnya agens hayati dan berdampak negatif bagi lingkungan.

2.3. Gulma

pada Lahan Perkebunan Gulma adalah jenis tumbuhan yang berasosiasi dengan tanaman budidaya dan beradaptasi pada habitat buatan manusia. Gulma dikenal dalam ilmu pertanian karena bersaing dengan tanaman budidaya dalam habitat buatan manusia tersebut. Kompetisi antara gulma dan tanaman terjadi karena keterdekatan dalam ruang tumbuh yang berakibat pada terjadinya interaksi. Interaksi yang terjadi antara gulma dan tanaman budidaya dapat terjadi baik interaksi positif maupun interaksi negatif. Interaksi negatif ialah peristiwa persaingan antar dua jenis spesies yang berbeda, yaitu persaingan antara gulma dan tanaman budidaya. Kompetisi tersebut terjadi apabila bahan faktor tumbuh yang dipersaingkan berada di bawah kebutuhan para pesaing tersebut (Moenandir, 2010).

(9)

Kerugian yang ditimbulkan oleh gulma meliputi beberapa aspek kehidupan manusia dan bersifat langsung maupun tidak langsung. Kerugian yang bersifat langsung, 13 misalnya menjadi kontaminan produk pertanian, melukai petani, menaikkan biaya produksi, menyita waktu petani, atau merusak alat—alat pertanian. Kerugian yang bersifat tidak langsung misalnya menjadi pesaing tumbuh tanaman sehingga menurunkan hasil pertanian, pencemaran lingkungan akibat herbisida yang digunakan untuk mengendalikan gulma, atau mempengaruhi organisme asli suatu daerah akibat habitatnya diganggu oleh gulma (Sembodo, 2010).

Karena dianggap merugikan, maka gulma oleh manusia dikendalikan. Ada enam metode pengendalian gulma, yaitu preventif atau pencegahan, mekanik atau fisik, kultur teknis, hayati, kimia, dan terpadu. Dalam praktik budidaya tanaman, berbagai metode sudah lazim digunakan, baik oleh petani kecil maupun perusahaan besar. Langkah ini ditempuh karena tidak satupun metode pengendalian dapat mengatasi masalah gulma di lapangan secara tuntas dan ekonomis bila dilakukan secara terpisah (Sembodo, 2010).

(10)

BAB III PEMBAHASAN 3.1. Botani Kelapa Sawit

Menurut Pahan (2008), kelapa sawit diklasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Embryophita Siphonagama

Kelas : Angiospermae Ordo : Monocotyledon Famili : Arecaceae Subfamily : Cocoidea Genus : Elaesis

Species : E. quineensis Jacq. E. Oleifera

E. odora.

Tanaman kelapa sawit dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu bagian vegetatif dan bagian generatif. Bagian vegetatif kelapa sawit meliputi akar, batang, dan daun, sedangkan bagian generatif yang merupakan alat perkembangbiakan terdiri dari bunga dan buah (Fauzi et al., 2008).

3.2. Penanggulangan Hama Fase Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) Hama yang sering menyerang tanaman kelapa sawit antara lain ulat api,ulat kantung dan penggerek tandan buah.

a. Ulat Api

(11)

Utara antara lain: Setothosea asigna, Setora nitens, Darna trima, Birthosea bisura, dll. Hasil pengamatan Kepala Unit Pembinaan Perlindungan Tanaman (UPPT) Damuli Kabupaten Labuhanbatu Utara menunjukkan bahwa pada Bulan Januari 2013, terdapat eksplosif serangan hama ulat api di perkebunan kelapa sawit milik petani di Dusun X Desa Bandar Manis Desa Kuala Beringin Kecamatan Kualuh Hulu dengan luas serangan berat ±50 Ha dan ringan 100 Ha. Jenis ulat yang menyerang adalah Setothosea asigna terlihat dari morfologi ulat yaitu ulat berwarna hijau kekuningan dengan bercak-bercak yang khas di punggungnya.

Gambar 1. Ulat api Setothosea asigna Sumber : Purba, dkk. (2005)

Berikut ini biologi dari Setothosea asigna (Purba, dkk., 2005) tersebut: 1. Ulat berwarna hijau kekuningan dengan bercak-bercak yang khas di punggungnya;

(12)

3. Telur diletakkan berderet 3-4 baris pada permukaan bawah daun. Stadia telur 6 hari. Jumlah telur yang bisa dihasilkan betina sebanyak 300-400 butir.

4. Seekor ulat mampu memakan 300-500 cm² daun. Stadia ulat lamanya 50 hari; 5. Kepompong umumnya berada sedikit di bawah permukaan tanah. Stadia kepompong 35-40 hari.

Gambar 2. Daun-daun kelapa sawit melidi karena habis dimakan ulat api Sumber: Laboratorium Lapangan BBP2TP Medan (2011).

(13)

Fulsfog K-22 Bio Symfog

Gambar 3. Alat fogger untuk mengendalikan ulat api Sumber : Susanto (2011)

Untuk pencegahan dan pengendalian jangka panjang beberapa tindakan yang dapat dilakukan oleh petani/pemilik kebun kelapa sawit adalah sebagai berikut:

1. Pengamatan (monitoring) untuk sensus populasi a. Pengamatan global

Dilakukan setiap bulan walaupun tidak ada serangan ulat api

 Jumlah sampel minimal 2 pelepah (pelepah daun atas dan tengah)/1 pohon/ha, lebih banyak pelepah dan pohon yang diamati maka akan semakin baik.

Dihitung jumlah ulat (larva) pada setiap pelepah, populasi kritis (5-10 ulat/pelepah).

Melaporkan hasil pengamatan kepada petugas UPPT. b. Pengamatan efektif

Dilakukan hanya pada blok dengan populasi di atas pada populasi kritis (5-10 ulat/pelepah)

(14)

Pengamatan efektif dilakukan setelah dicapai populasi kritis.

Bila populasi ulat melebihi populasi kritis berarti populasi telah melebihi Ambang Ekonomi (AE) hama tersebut.

2. Pengendalian secara fisik/mekanis

Pengutipan dan pemusnahan ulat (instar 1-7) pada daun-daun yang terjangkau.

Pengutipan ulat (instar 8-9) dan kepompong yang terdapat di sekitar piringan pohon.

Sanitasi dan pengendalian gulma khususnya di piringan pohon agar mudah mencari ulat dan kepompong.

3. Pengendalian hayati

Menggunakan mikroorganisme entomopatogenik

Pemanfaatan mikroorganisme entomopatogenik dapat mengurangi atau bahkan menggantikan insektisida kimia sintetis. Khususnya untuk pencegahan atau pengendalian jangka panjang. Pengendalian ulat api menggunakan bahan alami terbukti lebih efektif dan efisien (hanya 7% dari biaya pengendalian secara kimiawi).Jenis-jenis organisme entomopatogenik yang dapat digunakan adalah: a. Virus ß Nudaurelia dan Multi-Nucleo Polyhydro Virus (MNPV) untuk

mengendalikan ulat.

b. Jamur Cordyceps militaris efektif untuk mengendalikan pupa/kepompong hama tersebut.

Gambar 4. Jamur Cordyceps militaris memarasit pupa S. asigna

(15)

4. Konservasi musuh alami dengan menyediakan makanan bagi parasitoid dan predator ulat api

Untuk mengembangkan parasitoid dan predator petani perlu menanam tanaman yang dapat dijadikan sumber pakan (nektar), sebagai tempat tinggal serta berlindung. Tanaman penutup tanah (tanaman kacangan) juga dapat mengurangi populasi ulat api karena populasi musuh alami akan meningkat.

Jenis-jenis parasitoid dan predator serta tanaman sumber pakan dan tempat tinggal yang sudah dikenal dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1. Jenis tanaman sumber pakan/tempat tinggal bagi parasitoid dan predator hama ulat api

No .

Parasitoid & Predator Jenis Tanaman Fungsi Tanaman

(16)

5. 6.

Fornicia ceylonica

Dll

tomentosus

- Boreria alata

- Antigonon leptosus

Gambar-gambar dari tanaman-tanaman sumber pakan dan tempat berlindung parasitoid serta predator dapat dilihat di bawah ini:

Gambar 5. Antigonon leptosus (air mata pengantin) Sumber: Laboratorium Lapangan (2008)

Gambar 6. Turnera ulmifolia

Sumber: Plantoftheweek (1999)

Gambar 7. Euphorbia heterophylla

(17)

Gambar 8. Cassia tora

Sumber: Susanto (2011)

Gambar 9. Elephantopus tomentosus

Gambar 10. Boreria alata

b. Ulat Kantung

(18)

jantan(Utomo et al., 2007). Karena sifat yang khas ini maka dikatakan jenis ulat ini sebagai ulat kantong. Tingkat populasi kritis adalah 5-6 ekor/pelepah.

Seekor ngengat betina mampu menghasilkan telur antara 2000-3000 butir. Telur menetas dalam waktu sekitar 16 hari. Ulat yang baru menetas sangat aktif dan bergantungan dengan benang-benang liurnya, sehingga mudah menyebar dengan bantuan angin, terbawa manusia atau binatang.

Serangan ulat kantong ditandai dengan kenampakan tajuk tanaman yang kering seperti terbakar. Tanaman pada semua umur rentan terhadap serangan ulat kantong, tetapi lebih cenderung berbahaya terjadi pada tanaman dengan umur lebih dari 8 tahun. Keadaan ini mungkin ditimbulkan dari kemudahan penyebaran ulat kantong pada tanaman yang lebih tua karena antar pelepah daun saling bersinggungan.

Metode Pengendalian Hama Ulat Kantong (Mahasena corbetti) a. Pengendalian Secara Biologis

Parasitoid yang sering digunakan untuk mengendalikan hama ulat kantong antara lain parasitoid primer dan sekunder, serta predator mempengaruhi populasi ulat Mahasena corbetti. Telah ditemukan 33 jenis parasitoid dan 11 jenis predator hama pemakan daun (Prawirosukarto, 2002). Penggunaan Bacillus thuringiensis (Bt) sebagai insektisida biologi. Contoh produk Bt yaitu Dipel WP, Turex WP, Bactospene WP.

b. Pengendalian Secara mekanis

Pengendalian hama secara mekanis mencakup usaha untuk menghilangkan secara langsung hama serangga yang menyerang tanaman. Pengendalian mekanis ini biasanya bersifat manual, yaitu dengan cara pemangkasan pelepah yang terdapat banyak larva ulat, mengambil larva yang sedang menyerang dengan tangan secara langsung, menumpuk dan kemudian membakarnya.

c. Pengendalian Secara Kimia

(19)

menggunakan bahan aktif Deltametrin. Contoh produknya adalah Decis 25 EC dengan dosis anjuran 200-300 ml/Ha.

d. Penerapan Sistem Pengendalian Hama Terpadu

Pengendalian hama terpadu merupakan perpaduan atau kombinasi pengendalian hama secara terpadu (biologi) dan pengendalian secara kimia. Dalam hal serangan hama yang terjadi di perkebunan kelapa sawit, pihak perkebunan mempunyai cara masing-masing dalam pengendaliannya seperti pemakaian insektisida kimia, menggunakan musuh alami serta menggunakan jebakan hama.

c. Penggerek Tandan Buah

Hama penggerek tandan buah adalah ngengat Tirathaba mundella. Hama ini meletakkan telurnya pada tandan buah, dan setelah menetas larvanya (ulat) akan melubangi buah kelapa sawit. Tirathaba mundella banyak menyerang tanaman kelapa sawit muda berumur 3-4 tahunan, tetapi pada kondisi tertentu juga ditemui pada tanaman tua. Gejala serangannya berupa bekas gerekan yang ditemukan pada permukaan buah dan bunga. Bekas gerekan tersebut berupa faeces dan serat tanaman.

(20)

d. Tungau

Tungau yang menyerang tanaman kelapa sawit adalah tungau merah (Oligonychus). Bagian diserang adalah daun. Tungau ini berukuran 0,5 mm, hidup di sepanjang tulang anak daun sambil mengisap cairan daun sehingga warna daun berubah menjadi mengkilat berwarna kecoklatan. Hama ini berkembang pesat dan membahayakan dalam keadaan cuaca kering pada musim kemarau. Gangguan tungau pada persemaian dapat mengakibatkan rusaknya bibit. Pengendalian terhadap tungau merah ini dapat dilakukan dengan penyemprotan dengan akarisida yang berbahan aktif tetradion 75,2 gr/lt (Tedion 75 EC) disemprotkan dengan konsentrasi 0,1-0,2%.

e. Nematoda Rhadinaphelenchus cocophilus

Hama ini menyerang akar tanaman kelapa sawit. Serangan nematoda Rhadinaphelenchus cocopilus menimbulkan gejala berupa daun-daun muda yang akan membuka menjadi tergulung dan tumbuh tegak. Selanjutnya daun berubah warna menjadi kuning dan mengering. Tandan bunga membusuk dan tidak membuka, sehingga tidak menghasilkan buah. Pengendalian yang dapat dilakukan yaitu dengan cara tanaman yang terserang diracun dengan natrium arsenit. Untuk memberantas sumber infeksi, setelah tanaman mati atau kering dibongkar lalu dibakar.

Pengendalian dapat dilakukan dengan cara: * Sanitasi buah busuk dan terserang

* Buah busuk dikumpulkan pada satu lubang yang diaplikasi insektisida Fipronil dan ditutup dengan tanah

(21)

Aplikasi semprot diusahakan jangan bersamaan pada semua kebun diatur supaya tidak ikut mati dan menurun populasinya.

* Menurunkan kelembaban dengan pengendalian gulma

* Monitoring serangan hama selalu dilakukan. Monitoring populasi dilakukan dengan mengamati jumlah dan intensitas serangan pada tandan buah kelapa sawit, pohon per pohon, setiap sebulan sekali. Pada tanaman kelapa sawit tua dianjurkan untuk digunakan teropong. Apabila 30% dari tanaman kelapa sawit dapat dijumpai paling tidak satu tandan buah terserang hama ini sampai 50% (pada tanaman muda) atau 60% (pada tanaman tua), maka perlu dilakukan tindakan pengendalian.

f. Kumbang Oryctes rhinoceros

Serangan hama ini cukup membahayakan jika terjadi pada tanaman muda, sebab jika sampai mengenai titik tumbuhnya menyebabkan penyakit busuk dan mengakibatkan kematian.Pengendalian kumbang ini dilakukan dengan cara menjaga kebersihan kebun, terutama di sekitar tanaman. Sampah-sampah dan pohon yang mati dibakar, agar larva hama mati. Pengendalian secara biologi dengan menggunakan jamur Metharrizium anisopliae dan virus Baculovirus oryctes.

3.3. Penanggulangan Hama Fase Tanaman Menghasilkan (TM) a. Tikus

(22)

sampai titik tumbuh pada tanaman muda, bunga dan buah pada tanaman yang menghasilkan. Pengendalian hama tikus secara biologis telah berhasil dikembangkan sebagai bagian dari pengendalian hama terpadu. Hasil dari kajian ini adalah :

(1). Pengendalian hama tikus dengan menggunakan burung hantu dapat secara efektif menurunkan serangan tikus dari serangan tikus berat (>20%) menjadi serangan ringan (10-20%),

(2). secara ekonomi penggunaan predator burung hantu dapat menghemat biaya pengendalian hama tikus sebesar Rp. 38.900/ha/tahun, jika dibandingkan dengan penggunaan umpan (campaign) baik pada tanah mineral maupun tanah gambut,

(3). Secara manajemen, mudah dilakukan dan untuk mempermudah pengawasan dapat dibuat tabel monitoring dalam botol air mineral bekas yang ditempelkan di tiang gupon.

(23)

Tabel 10. Distribusi petani sampel berdasarkan teknik pengendalian gulma

3 Kimia Mekanik 31 77,5 9-16 1/ha/th

Jumlah 40 100

* Disbun Kabupaten Rokan Hilir

Pengendalian gulma atau tanaman liar dalam arti sempit disebut penyiangan.Gulma yang tumbuh disekitar tanaman kelapa sawit perlu dibersihkan.Pengendalian gulma oleh petani sampel dilakukan 2 kali per tahun.

Petani sampel dalam mengendalikan gulma (kimia) menggunakan paratop 276 SL digunakan untuk menyemprot tanaman belum menghasilkan (TBM) dengan dosis 1,5 – 2 liter per hektar. Sedangkan untuk Round-Up dilakukan sekali setahun dengan dosis 2 – 3 liter per hektar.

(24)

Pengendalian gulma pada piringan secara manual dilakukan dengan cara penggarukan. Penggarukan dilakukan untuk mengendalikan gulma dan memperbesar radius piringan berdasarkan perkembangan tajuk tanaman. Penggarukan dilakukan dengan garuk bertangkai panjang, ke arah dalam dan luar piringan agar tidak terjadi cekungan di piringan, dan dijaga agar pelepah daun tidak terpotong pada waktu penggarukan (Lubis, 2008).

Peralatan yang digunakan antara lain cangkul, garuk, dan parang babat. Rotasi dilakukan satu kali dalam satu bulan, dengan keperluan tenaga kerja 1 - 2 HK/ha untuk setiap kali rotasi. Jumlah keperluan tenaga kerja dipengaruhi oleh jari-jari piringan serta kerapatan tanaman (Syamsuddin et al., 1999).

Menurut Syamsuddin et al. (1999) pengendalian gulma secara kimia pada piringan menggunakan herbisida purna tumbuh. Penyemprotan harus dilakukan dengan hati-hati dan terarah pada piringan dan pasar rintis. Jika titik tumbuh kelapa sawit terkena semprotan herbisida, maka pertumbuhan tanaman selanjutnya akan abnormal atau melengkung. Sedangkan menurut Lubis (2008) pengendalian gulma secara kimia pada piringan dilakukan menggunakan herbisida pra tumbuh. Pemakaian herbisida jenis ini harus dilakukan dengan hati-hati karena dapat menimbulkan abnormalitas pada pertumbuhan tanaman dan pembungaan seperti partenokarpi, hermaprodit, mantled dan androgynous.

(25)

Pengendalian gulma pada gawangan secara kimia menggunakan herbisida pra tumbuh yang diaplikasikan bersamaan pada waktu membangun tanaman kacangan penutup tanah. Rotasi pada periode tiga bulan pertama yang dianjurkan adalah sekali dalam dua minggu, selanjutnya rotasi dapat dilakukan sebulan sekali tergantung pada perkembangan tanaman kacangan penutup tanah. Herbisida pra tumbuh yang dianjurkan adalah herbisida dengan bahan aktif Ametryne, Diuron, Atrazine dan Asulan. Penyemprotan dilakukan 1 - 2 hari sebelum atau setelah penananaman kacangan (Syamsuddin et al., 1999).

3.5. Penanggulangan Gulma Fase Tanaman Menghasilkan (TM)

Pengendalian gulma pada tanaman kelapa sawit TM dilakukan untuk menjaga kualitas dan kuantitas panen. Pengendalian gulma pada tanaman kelapa sawit TM dilakukan pada areal piringan, gawangan, pasar rintis, dan TPH. Teknik pengendalian gulma yang dilakukan adalah pengendalian gulma secara mekanis dan kimia (Pahan, 2008).

Rotasi pengendalian gulma secara manual dilaksanakan secara bersamaan pada piringan, pasar rintis, TPH dan gawangan. Pengendalian gulma secara manual dilakukan dengan membabat dan mendongkel. Tanah yang mudah terkena erosi sebaiknya dilakukan dengan cara dibabat saja. Pengendalian gulma secara manual dapat menimbulkan cekungan, merusak akar, dan biayanya mahal (Lubis, 2008).

Pengendalian gulma secara kimia pada tanaman kelapa sawit TM dapat menggunakan herbisida pra tumbuh dan purna tumbuh. Herbisida purna tumbuh yang dapat digunakan berbahan aktif Fluroksyfyr, Glifosat, Dicamba, Dalapon,dan Dicamba. Herbisida pra tumbuh yang dapat digunakan berbahan aktif Alpachlor, Prometryne, Amertryne, dan Triazine (Lubis, 2008).

(26)

herbisida yang tepat digunakan untuk pengendalian gulma pada gawangan adalah 2,4 - D dimetil amin dan Glifosat (Syamsuddin, et al., 1999).

Gulma yang tumbuh pada perkebunan kelapa sawit TM tidak semuanya untuk diberantas. Jenis gulma tahunan sperti rumput lunak, berakar dangkal, dan tidak tumbuh tinggi di gawangan, tanaman tersebut masih dapat ditoleransi untuk tidak dikendalikan. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah tanah gundul sehingga mengurangi terjadinya erosi (Pahan, 2008).

Penyakit yang banyak ditemui pada TBM adalah :

Penyakit tajuk yang disebabkan faktor genetis dengan ciri-ciri adanya pembusukan berwarna coklat yang menyebar melalui bagian tengah dan menyebabkan anak daun terputus-putus.

Penyakit busuk tandan yang disebabkan pathogen marasmiuspalmivorus. Ditandai dengan adanya miselia cendawan berwarna putih pada kulit buah dan tandan. Faktor yang mendorong timbulnya penyakit ini adalah

kebersihan kebun, piringan pohon sempit/kecil, penunasan terlambat, defisiensi hara dan tingginya curah hujan.

Penyakit busuk pangkal batang (BPB) yang disebabkan oleh jamur Ganoderma boninense. Penularan penyakit melalui pertautan antara akar sehat dan akar sakit, atau melalui spora yang disebarkan oleh angin. Gejala awal terlihat pada daun TBM mengalami clorosis yang berlanjut mengeringnya anak daun dan pelepah, serta terjadinya pembusukan pada jeringan pangkal batang dan akhirnya tanaman mati. Pengendalian hayati untuk Ganoderma dilakukan dengan pemberianTrichoderma spp. Penyakit ini juga banyak dijumpai pada tanaman menghasilkan (TM).

(27)

BAB IV PENUTUP 4.1. Kesimpulan

Tumbuhan tidak selamanya bisa hidup tanpa gangguan. Kadang tumbuhan mengalami gangguan oleh binatang, organisme kecil (virus, bakteri dan jamur) ataupun tumbuhan mengganggu lain (gulma). Hewan dan tumbuhan dapat disebut hama karena mereka mengganggu tumbuhan dengan memakannya dan bersaing untuk mendapatkan unsure hara dan sinar matahari.

4.2. Saran

(28)

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. 2013. Statistik Kelapa Sawit Indonesia.

Fauzi, Y., Y. E. Widyastuti, I. Sayawibawa, R. Hartono. 2008. Kellapa Sawit (Budi Daya Pemanfaatan Hasil & Limbah Analisis Usaha & Pemasaran). Edisi Revisi. Cetakan XXIII. Penebar Swadaya. Bogor. Hlm 32-38.

Hendro, R dan Qayuum, 2012. PT Bayer Indonesia : Agar Efektif Kendalikan. Ulat Api.

Lubis A. U. 2008. Kelapa Sawit (Elaeis Guineensis Jacq.) di Indonesia. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan.

Moenandir Jody. 1998. Persaingan Tanaman Budidaya dengan Gulma (Ilmu Gulma-Buku III). RajaGrafindo Persada. Jakarta Utara.

Moenandir Jody. 2010. Ilmu Gulma. Universitas Brawijaya Press. Malang. Pahan, I. 2008. Panduan Teknis Budidaya Kelapa Sawit. PT Indopalma Wahana

Hutama. Jakarta.

Prawirosukarto, S. 2002. Pengenalan & Pengendalian Hama Ulat Pada Tanaman Kelapa Sawit. Medan : Pusat Penelitian Kelapa sawit. 5 hal

Sastrosayono, S. 2003. Budidaya Kelapa Sawit. Agromedia Pustaka. Jakarta. 63 Halaman.

Sembodo, R, J, Dad. 2010. Gulma dan Pengelolaannya. Graha Ilmu. Yoygakarta. Sulistyo. 2010. Budidaya Kelapa Sawit. Balai Pustaka. Jakarta.

Sulistyo Bambang, dkk. 2010. Budidaya Kelapa Sawit. Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS). Medan.

Sudharto. 1991. Hama Tanaman Kelapa Sawit Dengan Cara Pengendaliannya. Pusat Penelitian Perkebunan Marihat. Pematang Siantar.

Sudharto. 2001. The Biological Control of Nettle Caterpillar S. Asigna in Oil Palm Plantations Using Entonopathoenic Micriirganisms, Newspaper of Iptek. Deptan.

Gambar

Gambar 1. Ulat api Setothosea asigna
Gambar 2. Daun-daun kelapa sawit melidi karena habis dimakan ulat apiSumber: Laboratorium Lapangan BBP2TP Medan (2011).
Gambar 3. Alat fogger untuk mengendalikan ulat api
Gambar 4. Jamur Cordyceps militaris memarasit pupa S. asigna
+5

Referensi

Dokumen terkait

Untuk menguji hipotesis yang diaju- kan dalam penelitian ini digunakan teknik analisis data kuantitatif dengan menguna- kan metode analisis regresi berganda tiga prediktor

Pada negara dengan   uncertainty avoidance   yang rendah, masyarakat cenderung lebih bisa menerima risiko, dapat memecahkan masalah, memiliki struktur organisasi yang flat,

Organ tersebut berperan penting pada proses absorpsi cairan yang berasal dari  tubulus seminiferus testis, pematangan, penyimpanan dan penyaluran spermatozoa ke  ductus

Hasan Sadikin Bandung penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang  pemeriksaan  Ankle joint  pada kasus trauma dan patah tulang terbuka yang akan disajikan dalam

Istilah kehidupan dapat memberi gambaran tentang adanya makhluk hidup. Mempertanyakan bagaimana kehidupan, berarti mempelajari bagaimana kehidupan makhluk. Dalam ilmu

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis respon warna dan kandungan karotenoid karang Lobophyllia hemprichii dengan intensitas cahaya yang berbeda..

Pemroduksi kapal ikan local mampu bersaing dengan kualitas yang baik, dengan adanya potensi ini penelitian ini dilakukan untuk menganalisa kelayakan usaha usaha kapal ikan di

Faktor-faktor yang memengaruhi IG pada pangan antara lain adalah kadar serat, perbandingan amilosa dan amilopektin (Rimbawan dan Siagian 2004), daya cerna pati, kadar lemak