• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor Risiko Kejadian Hipertensi Sistolik Terisolasi pada Lansia di Kecamatan Penanggalan Kota Subulussalam Aceh Tahun 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Faktor Risiko Kejadian Hipertensi Sistolik Terisolasi pada Lansia di Kecamatan Penanggalan Kota Subulussalam Aceh Tahun 2014"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Konsep HST

Sampai saat ini belum ada definisi yang tepat mengenai hipertensi karena tidak ada batas tegas yang membedakan antara hipertensi dan normotensi. Yang telah dibuktikan adalah peningkatan tekanan darah akan menaikkan mortalitas dan morbiditas. Secara teoritis hipertensi didefinisikan sebagai suatu tingkat tekanan darah tertentu yaitu di atas tingkat tekanan darah tersebut dengan memberikan pengobatan akan menghasilkan lebih banyak manfaat dibandingkan tidak memberikan pengobatan.

Hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya didefinisikan sebagai hipertensi esensial. Beberapa penulis lebih memilih istilah hipertensi primer untuk membedakannya dengan hipertensi lain yang sekunder karena sebab-sebab yang diketahui (Yogiantoro, 2006).

Menurut WHO (1978) dalam Susalit et.al. (2005), batas tekanan darah yang masih dianggap normal adalah 140/90 mmHg dan tekanan darah sama dengan atau di atas 160/95 mmHg dinyatakan sebagai hipertensi.

(2)

nilai ambang yang jelas untuk menentukan risiko potensial untuk penyakit kardiovaskuler, tetapi risiko jangka panjang meningkat secara progresif atas rentang tekanan darah tertentu.

HST didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik sebesar 140 mmHg atau lebih dan tekanan darah diastolik sebesar <90 mmHg, dalam keadaan pasien tidak mengkonsumsi obat-obatan anti hipertensi dan tidak sedang menderita penyakit akut (Gupta dan Kasliwal, 2004). HST merupakan suatu hipertensi yang sangat luas dan merupakan suatu faktor risiko independen terhadap penyakit kardiovaskuler pada populasi lansia (Franklin et.al. 2001).

Hipertensi ditemukan pada seperempat penduduk dewasa, insidennya meningkat dengan bertambahnya umur dan diperkirakan 55% populasi akan mengalami hipertensi pada usia 60 tahun dan 65% diusia setelah 70 tahun. Pada populasi lansia (≥60 tahun) dengan hipertensi, 65% adalah HST (Gupta dan Kasliwal, 2004).

(3)

2.2.Penyebab HST

Tekanan darah merupakan hasil perkalian cardio output dan resistensi perifer total, sehingga peningkatan pada salah satu atau keduanya akan menyebabkan HST sebagaimana ditunjukkan dibawah ini (Gupta dan Kasliwal, 2004):

1. Peningkatan cardiac output a. Hypertension circulation

b. AR (aortic regurgitation)

c. Paget’s disease of Bone, beri-beri, thyrotoxicosis

d. Arteriovenous fistula, PDA (Patent ductus arterious)

2. Peningkatan resistensi peripheral

Terdapat beberapa faktor yang berkontribusi terhadap timbulnya HST antara lain adalah sebagai berikut:

a. Peningkatan kekakuan atau penurunan elastisitas dari arteri-arteri besar. b. Peningkatan resistensi perifer total

c. Dengan bertambahnya usia dapat terjadi obesitas, stress, penurunan aktifitas fisik, perubahan pola makan terutama peningkatan asupan natrium dan turunnya asupan potassium yang juga berkontribusi terhadap peningkatan tekanan darah

(4)

Kekakuan aorta terutama disebabkan oleh hilangnya elastisitas aorta seiring bertambahnya usia, ini akan meningkatkan total resistensi (total pheripheral

resistence). Proses ini merupakan penyebab utama HST pada pasien lansia

(Pannarele, 2008). Kekakuan arterial meningkat pada pasien lansia dengan HST, tetapi dalam sebuah penelitian suatu peningkatan kekakuan arterial terkesan lebih sebagai akibat dibandingkan suatu sebab dari gangguan ini. Apapun mekanisme dari peningkatan kekakuan sistem arterial yang mendasari gangguan ini, tekanan darah sistolik meningkat, sementara tekanan diastolik menurun, menyebabkan meningkatnya tekanan nadi. Tekanan nadi secara independen berhubungan dengan risiko berkembangnya hipertrofi jantung, infark miokardial dan mortalitas kardiovaskuler (Vardan dan Mookherjee, 2000).

Proses penuaan bisa dikaitkan dengan hilangnya sifat elastic conduit arteri besar, terutama aorta thoraks dan cabang-cabang di sekitarnya. Setelah hidup sekitar 60 tahun, perubahan terhadap struktur-struktur media aorta (kemunduran struktur dan fungsi jaringan-degenerasi serta elastik), perubahan pada matriks ekstra sel termasuk meningkatnya produksi kolagen dan endapan kalsium, sementara itu penebalan intima menyebabkan semakin kakunya arteri elastis akibat hilangnya dampak

windkissel (cadangan elastis dalam bahasa Jerman). Aorta tidak lagi melebar di

(5)

Preasure (DBP), dan meningkatnya Pulse Pressure (PP). Usia sendiri merupakan

suatu faktor risiko. Terjadinya aterosklerosis dan munculnya penyakit cardiovaskuler yaitu cardiovascular desease (CVD) aterisklerosis bisa dikaitkan dengan penurunan

compliance conduit artery di kemudian hari dan kemudian peningkatan SBP dan PP

dalam skala yang lebih besar.

Perubahan-perubahan patofisiologi ini menunjukkan adanya HST. Dalam panduan internasional HST dinyatakan dengan SBP >140 mmHg dan DBP <90 mmHg, pada lansia. Perubahan-perubahan ini juga menjelaskan kenapa HST bisa dianggap sebagai penanda atau signal klinis keberadaan CVD aterosklerosis yang belum terlihat. Di satu sisi, pandangan ini didukung oleh bukti-bukti yang menyatakan bahwa peningkatan PP yang merupakan ciri-ciri HST dan dianggap sebagai tanda terjadinya arterial stiffness memprediksikan terjadinya risiko penyakit jantung koroner secara lebih tepat dari pada SBP atau DBP pada subjek normotensive dan subjek hipertensive yang tidak diobati, berusia antara 59-79 tahun seperti yang terlihat pada studi pendahuluan Framingham asli.

(6)

meningkat atau normal pada pasien penderita hipertensi esensial (essential

hipertension) yang masih muda sementara pada pasien lansia yang mengalami HST,

cardiac output bisa normal atau turun sesuai dengan fungsi ventrikel kiri yang telah

mengalami kekakuan atau hipertrofi. Kedua, tingkat plasma norepinephrine yang lebih tinggi bisa ditemukan pada pasien HST bersamaan dengan terjadinya disfungsi baroreceptor atau sensitivitas β-receptor yang sudah semakin rendah. Ketiga, kadar

plasma renin dan angiotensin II yang lebih rendah pada pasien hipertensi lansia atau pasien hipertensi yang berasal dari Afrika, bisa menjelaskan kenapa obat-obatan yang menghambat sistem renin-angiotensin kurang efektif pada pasien kelompok ini. Keempat, BP tinggi pada pasien usia lanjut sepertinya lebih sensitif terhadap BP dibandingkan pada pasien yang masih muda.

Tumpang tindih antara kedua jenis hipertensi ini mungkin saja terjadi: subjek penderita essential hypertension yang tidak dikontrol atau dirawat dan didiagnosa pada saat masih mudah (<50 tahun) bisa saja mengalami HST seiring dengan pertambahan usia (‘burnt out’ diastolic hipertension), namun data-data dari studi Framingham menunjukkan bahwa situasi ini terjadi pada kasus kecil saja. Sebagian besar orang (sekitar 60%) yang mengalami HST tidak mengalami hipertensi diastolik sebelumnya, namun memiliki BP normal hingga tinggi dan peningkatan SBP terutama pada wanita bisa dikaitkan dengan pertambahan berat badan.

(7)

usia 65 tahun memiliki risiko seumur hidup sebesar 90% untuk mengalami hipertensi, terutama jenis HST. Bisa disimpulkan bahwa HST merupakan bentuk hipertensi yang

paling sering terjadi. 2/3 orang dewasa usia >60 tahun dan ¾ orang dewasa usia >75

tahun mengalami HST (Pannarele, 2008).

2.3.Klasifikasi HST

Ada beberapa definisi dan klasifikasi hipertensi sistol-diastolik di diagnosis bila Tekanan Darah Sistolik (TDS) 140 mmHg dan Tekanan Darah Diastolik (TDD) 90 mmHg. HST adalah bila TDS 140 mmHg dengan TDD <90 mmHg. Adapun klasifikasi khusus untuk HST seperti dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 2.1. Klasifikasi Hipertensi Sistolik Terisolasi

Kategori Tekanan Darah

Sistolik Diastolik

(8)

Klasifikasi hipertensi menurut WHO dalam Kuswardhani (2006) dapat dilihat pada tabel:

Tabel 2.2. Klasifikasi Tingkat Tekanan Darah (mmHg)

Kategori Sistolik Diastolik

Optimal

Hipertensi derajat 2 (sedang) Hipertensi derajat 3 (berat) Hipertensi sistolik terisolasi

Sumber : WHO dalam Kuswardhani, 2006

2.4.Patofisiologi HST

2.4.1. Mekanisme Vaskuler

(9)

Di dalam tunica media terdapat fibrosis progresif dengan diiringi peningkatan jumlah

fibroblast. Degenerasi serat elastis berkaitan dengan meningkatnya material kolagen

dan zat di sekitarnya (Lakatta, 1993). Perubahan-perubahan pada tunica media yang bersifat menahan beban ini berpengaruh terhadap kekakuan dinding arteri, dan kondisi ini memiliki implikasi fungsional yang berarti (Mackey et.al. 2002). Mengamati suatu hubungan positif antara kekakuan aorta dengan usia. Bukti terbaru menunjukkan bahwa arteri besar terutama aorta memainkan peranan penting terhadap munculnya hipertensi (Franklin et.al. 2001).

Meningkatnya kekakuan arteri (arterial stiffness) mempengaruhi SBP dalam dua cara: pertama, dengan meningkatkan amplitude tekanan awal yang dihasilkan oleh ejeksi ventrikel dan kedua, dengan menimbulkan gelombang yang terpantul dari perifer kembali lagi disepanjang systole ventrikel sehingga bisa meningkatkan gelombang tekanan awal. Pantulan gelombang yang terjadi lebih awal pada siklus jantung, meningkatkan tekanan sistolik di ventrikel kiri, dan pada saat yang sama menurunkan tekanan diastolik. Proses ini menimbulkan dampak negatif terhadap jantung. Tingginya tekanan sistolik ventrikel akan memberikan beban yang tinggi di kemudian hari terhadap jantung sehingga kemudian menimbulkan hipertrofi ventrikel.

(10)

diastolik menurun.

2.4.2. Mekanisme Hemodinamik

Parameter-parameter fisiologis pada lansia ditandai dengan kriteria berubahnya gambaran hemodinamik dan neurohormonal, sangat berkurangnya aliran darah ke ginjal, penurunan yang lebih besar pada kemampuan dilatasi pembuluh darah, dan terganggunya baroreflex. Pasierski et.al. (1991) mengamati bahwa pasien-pasien lansia dengan HST memperlihatkan kemampuan distensibilitas arteri yang jauh lebih rendah, namun cardiac output dan total resistensi perifer yang jauh lebih tinggi. Para peneliti ini menduga bahwa tingginya cardiac output bisa berpengaruh terhadap timbulnya HST pada lansia dengan cara meningkatkan tekanan darah rata-rata. Selanjutnya tingginya resistensi vaskuler sistemik memainkan peranan penting dalam evolusi HST. Kontribusi signifikan dari peningkatan resistensi vaskuler sistemik terhadap timbulnya HST dipertegas melalui penelitian yang dilakukan oleh Tanaka et.al . (1998). Hasil temuan mereka menunjukkan bahwa peningkatan resistansi vaskuler sistemik tampaknya memiliki hubungan fisiologis antara peningkatan arterial stiffness akibat pertambahan usia dengan peningkatan tekanan darah arteri. Peningkatan arterial stiffness dan resistensi vaskuler sistemik akibat pertambahan usia berbanding terbalik dengan cardiac output, volume darah dan stroke volume.

2.4.3. Mekanisme Fungsional

(11)

lansia. Lebih baru lagi, peningkatan aktifitas susunan syaraf simpatis telah dianggap sebagai mekanisme lain yang bertanggung jawab terhadap peningkatan arterial

stiffness pada lansia terutama bagi mereka yang mengalami hipertensi sistolik (WHO,

2004).

Overaktivitas sistem syaraf simpatis yang berlebihan diimplikasikan dalam peranannya dalam pengaturan tekanan darah. Schlaich et.al. (2004) melakukan investigasi terhadap peranan mekanisme utama yang mungkin mempengaruhi tingginya peningkatan aliran nerophinephrine (NE) ke plasma pada pesien hipertensi. Hasil temuan mereka menunjukkan bahwa tingginya aliran NE dari syaraf simpatis tampaknya bergantung pada sejumlah mekanisme neural, termasuk peningkatan firing

rate syaraf simpatis dan gangguan pada re-uptake NE di saraf. Berdasarkan tinjauan

secara luas yang mereka lakukan terhadap berbagai pengamatan ekperimen yang ada dalam proses penuaan manusia dan fungsi simpathoadrenal, peningkatan terkait dengan pertambahan usia, dan bahwa peningkatan terkait umur pada tonus susunan syaraf simpatis pada jantung kemungkinan berkaitakan sebagian dengan turunnya re-

uptake NE di saraf.

(12)

2.5.Diagnosis

Evaluasi pasien hipertensi mempunyai tiga tujuan: (1) mengidentifikasi penyebab hipertensi; (2) menilai adanya kerusakan organ target dan penyakit kardiopaskuler, beratnya penyakit serta respon terhadap pengobatan; (3) mengidentifikasi adanya faktor risiko kardiovaskuler yang lain atau penyakit penyerta yang ikut menentukan prognosis dan ikut menentukan panduan pengobatan. Data yang diperlukan untuk evaluasi tersebut diperoleh dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang (Susalit et.al. 2001).

2.6.Pengukuran Tekanan Darah

(13)

Teknik pengukuran yang benar sangat penting bagi pasien lanjut usia. Awalnya, BP harus diukur di kedua lengan karena penyakit aterosklerosis occlusive dari subklavia atau arteri brakialis dapat mengurangi tekanan darah sistolik dalam satu lengan dan dengan pasien duduk setelah istirahat 5 menit.

BP harus diukur kembali 1 dan 3 menit setelah pasien berdiri untuk dokumen ortostatik jatuh pada BP, yang umum di kalangan orang tua, terutama setelah makan (Kaplan, 2006). Pengukuran tekanan darah dapat dilakukan dengan posisi duduk atau tidur. Tekanan darah sistolik ditentukan berdasarkan pada saat bunyi korotkoff pertama dan tekanan darah diastolik ditentukan berdasarkan pada bunyi korotkoff kelima (Chobanian et.al. 2003).

2.7.Manajemen HST

Manajemen HST dapat dilaksanakan melalui terapi farmakologis dan nonfarmakologis.

2.7.1. Terapi Farmakologis

(14)

Menurut Mansjoer, penatalaksanaan dengan obat antihipertensi bagi sebagian besar pasien dimulai dengan dosis rendah kemudian ditingkatkan secara titrasi sesuai umur dan kebutuhan. Terapi yang optimal harus efektif selama 24 jam dan lebih disukai dalam dosis tunggal karena kepatuhan lebih baik, lebih murah dan dapat mengontrol hipertensi terus menerus dan lancar, dan melindungi pasien terhadap risiko dari kematian mendadak, serangan jantung, atau stroke akibat peningkatan tekanan darah mendadak saat bangun tidur. Sekarang terdapat pula obat yang berisi kombinasi dosis rendah 2 obat dari golongan yang berbeda. Kombinasi ini terbukti memberikan efektifitas tambahan dan mengurangi efek samping. Setelah diputuskan untuk untuk memakai obat antihipertensi dan bila tidak terdapat indikasi untuk memilih golongan obat tertentu, diberikan diuretik atau beta bloker. Jika respon tidak baik dengan dosis penuh, dilanjutkan sesuai dengan algoritma. Diuretik biasanya menjadi tambahan karena dapat meningkatkan efek obat yang lain. Jika tambahan obat yang kedua dapat mengontrol tekanan darah dengan baik minimal setelah 1 tahun, dapat dicoba menghentikan obat pertama melalui penurunan dosis secara perlahan dan progresif (Masjoer, 2001).

Golongan obat yang digunakan untuk pengobatan hipertensi adalah (Tjay dan Rahardja, 2002; Sani, 2008):

a. Diuretic

(15)

juga menyebabkan pelebaran pembuluh darah. Di sisi lain diuretic menyebabkan hilangnya kalium melalui air kemih, sehingga kadang diberikan tambahan kalium atau obat penahan kalium. Diuretik sang at efektif pada orang kulit hitam, lanjut usia, kegemukan, penderita gagal jantung atau diuretik tiazid merupakan terapi lini pertama yang diberikan untuk mengobati hipertensi. Diuretik membantu ginjal membuang garam dan air, yang akan mengurangi volume cairan di seluruh tubuh sehingga menurunkan tekanan darah dan juga menyebabkan pelebaran pembuluh darah. Di sisi lain diuretic menyebabkan hilangnya kalium melalui air kemih, sehingga kadang diberikan tambahan kalium atau obat penahan kalium. Diuretik sangat efektif pada orang kulit hitam, lanjut usia, kegemukan, penderita gagal jantung atau penyakit ginjal manahun. Contoh hidrokoltizid indafamid dan klortalidon.

b. Penghambat Adenergik

(16)

alfa yang biasa digunakan seperti klonidin, reserpin, dan guanfasin. c. Angiotensi Coverting Enzyme (ACE-inhibitor)

ACE-inhibitor menyebabkan penurunan tekanan darah dengan cara melebarkan arteri. Obat ini efektif diberikan kepada orang kulit putih, usia muda, penderita gagal jantung, penderita dengan protein dalam air kemihnya yang disebabkan oleh penyakit ginjal menahun atau penyakit ginjal diabetik, pria yang menderita impotensi sebagai efek samping dari obat yang lain. Beberapa contoh obat ini adalah kaptopril, analapril maleat, benazepril, imidapril, dan silazapril.

d. Angiotensin-II-bloker

Menyebabkan penurunan tekanan darah dengan suatu mekanisme yang mirip dengan ACE-inhibitor. Contoh: Losartan, valsartan, irbesartan, dan kandesartan. e. Antagonis calcium

Antagonis kalsium menyebabkan melebarnya pembuluh darah dengan mekanisme yang benar-benar berbeda. Sangat efektif diberikan kepada orang kulit hitam, lanjut usia, penderita angina pektoris (nyeri dada), denyut jantung yang cepat sakit kepala migren. Contoh: amlodipin maleat, amlodipin busilat, diltiazem HCl, nifedipin, felodipin, dan nimodipin.

f. Vasodilator

(17)

2.7.2. Terapi Nonfarmakologis

Penatalaksanaan non farmakologis yang berperan dalam keberhasilan penanganan hipertensi adalah dengan memodifikasi gaya hidup. Pada hipertensi derajat I, pengobatan secara non farmakologis dapat mengendalikan tekanan darah sehingga pengobatan farmakologis tidak diperlukan atau pemberiannya dapat ditunda. Jika obat antihipertensi diperlukan, pengobatan non farmakologis dapat dipakai sebagai pelengkap untuk mendapatkan hasil pengobatan yang lebih baik, (Sugiharto, 2007).

Aspek yang perlu diubah pada modifikasi gaya hidup adalah: a. Penurunan Berat Badan

Peningkatan berat badan meningkatkan insidensi hipertensi dan sebaliknya. Staessen et.al. (2000) menunjukkan penurunan berat badan sebesar 1 kg menurunkan tekanan darah sebesar 1,6/1,3 mmHg, memperbaiki sensitifitas insulin, sleep apnea dan menurunkan sensitifitas terhadap natrium.

Mengurangi berat badan dapat menurunkan risiko hipertensi, diabetes, dan penyakit kardiovaskuler. Penerapan pola makan seimbang dapat mengurangi berat badan dan menurunkan tekanan darah. Berdasarkan hasil penelitian eksperimental, pengurangan sekitar 10 kg berat badan menurunkan tekanan darah rata-rata 2-3 mmHg per kg berat badan, (Mansjoer at.al. 2001).

(18)

penurunan 0,5 kg berat badan per minggu, (Lam Murni BR Sagala, 2011). b. Restriksi Asupan Natrium

Retriksi natrium membatasi konsumsi maksimal 100 mmol/2,4 gram natrium per hari. Pasien-pasien India dengan HST lebih responsif terhadap restriksi natrium karena responsitifitas yang lebih rendah terhadap renin. Respon tidak hanya terjadi secara umum tapi bahkan pada mereka yang cenderung tidak merespon, pasien tetap masih diuntungkan dengan peningkatan responsifitas reseptor beta, penurunan pembuangan kalium dengan diuretik dan dengan menurunkan hipertrofi ventrikel kiri. c. Suplementasi Potassium

Lebih dari 30 Randomized Kontrole Trial (RCT) telah menunjukkan keuntungan suplementasi potassium yaitu dengan menurunkan tekanan darah sebesar rata-rata 3,1/2,0 mmHg.

d. Mengurangi Konsumsi Alkohol

Penyalahgunaan alkohol merupakan sebab paling umum untuk hipertensi yang reversible. Mengurangi konsumsi alkohol hingga 1 atau 2 porsi yang mengandung 0,5-1,0 oz etanol setiap hari berkaitan dengan penurunan kejadian jantung koroner dan stroke dibandingkan dengan yang mengkonsumsi dalam jumlah yang lebih besar. e. Perubahan Diet yang Lain

Peran diet terbukti pada Diatery Approach to Stop Hypertention (DASH),

Trial of Nonpharmacological Interventions in the Elderly (TONE) dan banyak lagi

(19)

f. Menghindari Merokok

Insidensi merokok tinggi didaerah pinggiran kota dan pedesaan, dan merupakan faktor signifikan bagi risiko-risiko kardiovaskuler, sekaligus memberikan efek tidak baik untuk sistem tubuh yang lain.

g. Melakukan Aktifitas Fisik

Setelah program latihan rutin, tekanan darah istirahat menurun karena latihan meningkatkan elastisitas vaskuler. Untuk keperluan praktis, jalan singkat setiap hari dapat dianggap cukup (Gupta dan Kasliwal, 2004).

2.8.Pencegahan HST

Dengan mengurangi tekanan darah tinggi dibawah 140/90 mmhg merupakan pencegahan relatif lebih mudah dari pengobatan, pencegahan terhadap hipertensi dikategorikan 4 tingkatan:

2.8.1. Pencegahan Primordial

Pencegahan primordial: Usaha pencegahan predisposisi terhadap hipertensi, belum terlihat adanya faktor yang menjadi risiko hipertensi, contoh adanya peraturan pemerintah membuat peringatan pada rokok, dengan melakukan senam kesegaran jasmani untuk menghindari terjadinya hipertensi (Bustan, 2007)

2.8.2. Pencegahan Primer

(20)

dari hipertensi dengan cara menghindari merokok, konsumsi alkohol, obesitas, stress (Tara, 1999).

2.8.3. Pencegahan Sekunder

Upaya pencegahan hipertensi ditujukan kepada penderita hipertensi yang sudah terserang agar tidak menjadi lebih berat. Tujuan pencegahan sekunder ini ditekankan kepada pengobatan penderita hipertensi mencegah penyakit hipertensi kronis (Tara, 1999).

2.8.4. Pencegahan Tersier

Pencegahan terjadinya komplikasi yang berat dan menimbulkan kematian, contoh melakukan rehabilitasi. Pencegahan tertier ini tidak hanya mengobati juga mencakup upaya timbulnya komplikasi kardiovaskuler seperti infark jantung, stroke dan lain-lain, terapi diupayakan dalam merestorasi jaringan yang sudah mengalami kelainan atau sel yang sudah rusak akibat hipertensi, agar penderita kembali hidup dengan kualitas normal (Sidabutar, 1996).

2.9.Determinan (Faktor Risiko) HST

Faktor risiko hipertenasi adalah faktor-faktor yang bila semakin banyak menyertai penderita dapat menyebabkan tekanan darah tinggi. Determinan ini ada yang dapat dihindarkan atau diubah dan yang tidak dapat diubah (Budisetio, 2001).

(21)

seyogyanya dianggap sebagai suatu proses normal dan tidak selalu menyebabkan gangguan fungsi organ atau penyakit. Berbagai faktor seperti faktor genetik, gaya hidup dan lingkungan lebih besar mengakibatkan gangguan fungsi daripada penambahan usia itu sendiri. Faktor eksogen dan endogen ini lebih dikenal dengan sebutan faktor risiko. (Setiati et.al. 2007).

2.9.1.Faktor yang Tidak Dapat Diubah 1. Umur

Dalam The Framingham Heart Study HST menjadi bentuk hipertensi yang dominan dalam dekade ke enam kehidupan dan selanjutnya. Data NHANES III menunjukkan bahwa 3 dari 4 pasien dewasa dengan hipertensi berusia 50 tahun atau lebih tua. Pada penelitian di Swedia didapatkan prevalensi HST 4% pada usia 40- 49%, 15% pada usia 50-59 tahun, 25% pada usia 60-69 tahun dan 25% pada usia 70-79 tahun. Di Portugis yang melibatkan 3.228 pasien dengan usia 60 tahun dalam sebuah penelitian kohort didapatkan prevalensi HST dalam semua golongan umur adalah 51% pada usia 70an dan 57% pada usia 80 tahun ke atas (Rocha et.al. 2003). 2. Jenis Kelamin

Berbagai studi jelas membuktikan bahwa HST merupakan faktor risiko yang utama pada laki-laki usia lanjut maupun yang lebih muda, tetapi risikonya lebih tinggi pada wanita usia lanjut jika dibandingkan wanita yang berusia lebih muda (Gupta dan Kasliwal, 2004).

3. Ras

(22)

menengah dan berkulit putih, temuan-temuan ini mungkin tidak dapat digeneralisir ke kelompok etnik lainnya. Gupta dan Kasliwal (2004) menjelaskan bahwa HST menjadi lebih penting lagi dalam terapi hipertensi pada orang-orang India karena hipertensi lebih berisiko pada ras non kulit putih.

4. Genetik

Penelitian yang dilakukan pada orang kembar yang dibesarkan secara terpisah atau bersama dan juga terdapat pada anak-anak bukan adopsi telah dapat mengungkapkan seberapa besar tekanan darah dalam keluarga yang merupakan akibat kesamaan dalam gaya hidup. Berdasarkan penelitian tersebut secara kasar, sekitar separuh tekanan darah di antara orang-orang tersebut merupakan akibat dari faktor genetika dan separuhnya lagi merupakan akibat dari faktor pola makan sejak masa awal kanak-kanak (Beevers, 2002).

2.9.2. Faktor yang Dapat Diubah

(23)

1. Hiperkolesterolemia

Kolesterol merupakan faktor penting dalam terjadinya aterosklerosis yang mengakibatkan peninggian tahanan perifer pembuluh darah sehingga tekanan darah meningkat. Aterosklerosis semakin diakui sebagai penyakit vaskular inflamasi, dan tekanan darah tinggi. Pada penelitian yang dilakukan oleh Ciuffetti et al. (2005) bahwa subjek dengan usia >60 tahun dengan Plasma Viskositas (PV) memiliki hubungan yang bermakna untuk terjadinya hipertensi sistolik.

2. Konsumsi Garam

Beberapa studi terhadap populasi dengan asupan garam yang berbeda dan percobaan secara terkontrol dan acak terhadap pengurangan asupan garam menunjukkan bahwa asupan sodium yang berbeda-beda bisa mengubah tekanan darah. Namun, taksiran mereka tidak setuju dengan ukuran dampaknya. Analisis terhadap beberapa hasil studi pooled memperkirakan bahwa tekanan sistolik/diastolik meningkat sebesar 4-5 mmHg untuk setiap peningkatan asupan sodium harian sebesar 100 mmol. Dampak dari sodium terhadap tekanan darah meningkat sesuai usia. Hal ini bisa saja di sebabakan oleh dampak buruk kelebihan mengkonsumsi sodium selama hidup, atau karena semakin bertambahnya usia semakin sulit mempertahankan keseimbangan sodium normal (Bulpit et.al. 1999).

Menurut WHO (2002) sebaiknya konsumsi garam tidak lebih dari 5 gram per hari setara dengan 110 mmol natrium atau 2400 mg/hari serta mengurangi konsumsi

Mono Sodium Glutamat (MSG) dengan kata lain mengurangi asupan natrium dan

(24)

Heart Association menyarankan konsumsi maksimum garam sebanyak satu sendok

teh per hari. Sementara lemak memang dibutuhkan tubuh namun dalam jumlah kecil yaitu untuk menjaga tubuh tetap berfungsi karena itu konsumsi lemak disarankan kurang dari 30% dari konsumsi kalori setiap hari. Namun dalam modifikasi gaya hidup untuk batasan diet garam dalam Guide to management 0f hypertension (2008) adalah ≤4 g/hari (65 mmol/ hari sodium). Garam terdiri dari dua unsur yaitu natrium dan klor. Dari kedua unsur ini natrium yang dapat meningkatkan tekanan darah. Sumber natrium bukan satu-satunya dari garam tetapi masih banyak sumber yang lain seperti puder baker, soda baker, MSG, sodium, sakarin. Penelitian yang dilakukan oleh Mizwar (2004) di kabupaten Klaten dan Riyadi (2006) di Kabupaten Rejanglebong masing-masing mendapatkan bahwa konsumsi garam merupakan faktor risiko tejadinya hipertensi essensial dengan nilai OR = 5,2 dan OR = 3,34. a. Metode Food Frequency Questioner (FFQ)

(25)

dalam frekuensi yang cukup sering oleh responden. Metode frekuensi makanan memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya adalah Relative murah dan sederhana, dapat dilakukan sendiri oleh responden, tidak membutuhkan latihan khusus, dapat membantu untuk menjelaskan hubungan antara penyakit dan kebiasaan. Sedangkan kekurangannya adalah tidak dapat untuk menghitung intake zat gizi sehari, sulit mengembangkan kuesioner pengumpulan data, cukup menjemukan bagi pewawancara, diperlukan studi pendahuluan untuk menentukan jenis bahan makanan yang akan masuk dalam daftar kuesioner, dan responden harus jujur dan mempunyai motivasi tinggi (Supariasa, 2001).

3. Aktifitas Fisik

Aktivitas fisik adalah gerakan yang dilakukan oleh otot tubuh dan sistem penunjangnya. Selama melakukan aktivitas fisik, otot membutuhkan energi diluar metabolisme untuk bergerak, sedangkan jantung dan paru-paru memerlukan tambahan energi untuk mengantarkan zat-zat gizi dan oksigen ke seluruh tubuh dan untuk mengeluarkan sisa-sisa dari tubuh (Supariasa, 2001).

Sejumlah studi menunjukkan bahwa olahraga teratur, mengurangi faktor risiko terhadap penyakit jantung koroner, termasuk hipertensi. Kemampuan aktifitas fisik yang berhubungan dengan kesehatan akan memengaruhi kemampuan tubuh untuk berfungsi secara baik, komponen tersebut antara lain efisiensi kardiovaskuler, kelenturan, pengendalian gerak badan dan pengurangan stress (Mien, 1998).

(26)

semakin berat seseorang melakukan aktifitas fisik maka jumlah kalori yang digunakan akan semakin bertambah. Sebaliknya semakin ringan dan singkat waktu yang digunakan untuk melakukan aktifitas fisik maka semakin kecil pengaruhnya terhadap penurunan berat badan (Beevers, 2002). Dampak aktifitas fisik berhubungan dengan kejadian hipertensi. Aktivitas fisik yang kurang akan meningkatkan risiko terjadinya hipertensi dan sebaliknya aktivitas fisik yang teratur dan terukur dapat mempertahankan tekanan darah dalam kondisi normal (WHO, 2004).

Gaya hidup yang tidak banyak bergerak berpengaruh terhadap peningkatan tekanan darah dan seiring bertambahnya usia aktivitasseseorang menjadi lebih statis (tidak banyak bergerak). Teori ini di dukung dengan penemuan bahwa olahraga bisa menguragi tekanan darah. Perubahan gaya hidup kearah pengeluaran energi yang lebih tinggi menyebabkan tekanan sistolik/tekanan diastolik berkurang rata-rata 10/8 mmHg pada pasien yang hipertensi, 6/7 mmHg pada subjek hipertensi ambang batas, dan 3/3 mmHg pada pasien normotensi (Bulpit et.al. 1999).

(27)

hipertensi (Sidang, 2006). Pengaruh intervensi olahraga terhadap jantung dan pembuluh darah ditunjukkan dengan menurunnya hipertropi ventrikel kiri, pergeseran arteri dan membaiknya fungsi endothel (Bacon et.al. 2004).

4. Alkohol

Alkohol juga dihubungkan dengan hipertensi. Peminum alkohol berat cenderung hipertensi meskipun mekanisme timbulnya hipertensi belum diketahui secara pasti (Suyono, 2001). Orangorang yang minum alkohol terlalu sering atau yang terlalu banyak memiliki tekanan yang lebih tinggi dari pada individu yang tidak minum atau minum sedikit (Hul, 1996).

Beberapa studi menunjukkan hubungan langsung antara tekanan darah dan asupan alkohol, diantaranya melaporkan bahwa efek terhadap tekanan darah baru nampak apabila mengkonsumsi alkohol sekitar dua sampai tiga gelas ukuran standar setiap harinya. Di negara barat seperti Amerika, konsumsi alkohol yang berlebihan berpengaruh terhadap terjadinya hipertensi. Sekitar 10% hipertensi di Amerika disebabkan oleh asupan alkohol yang berlebihan dikalangan pria usia 40 tahun keatas (Depkes, 2006).

Konsumsi alkohol seharusnya kurang dari dua kali per hari pada lakilaki untuk pencegahan peningkatan tekanan darah. Bagi perempuan dan orang yang memiliki berat badan berlebih, direkomendasikan tidak lebih dari 1 kali minum per hari (Krummel, 2004).

(28)

yang tersedia tidak sepenuhnya mendukung konsepsi ini, dan hubungan langsung antara jumlah alkohol yang dikonsumsi dengan tekanan darah telah ditegaskan oleh banyak penelitian. Studi J-Shape telah menjelaskan, dimana studi ini menyatakan bahwa subjek yang bukan peminum memiliki tekanan darah yang lebih tinggi dari pada subjek yang minum 2-3 kali per hari, namun kenyataannya bahwa masalah-eks yang mungkin dimiliki pada kelompok total ini juga harus dipertimbangkan.

Studi terbesar yang pernah dilakukan hingga saat ini adalah Kaiser

Permanente Study AS terhadap 80.000 pria dan wanita yang berusia hingga 79 tahun.

Studi ini tidak memiliki J-shape namun, studi ini menyimpulkan bahwa tekanan sistolik meningkat 1 mm Hg untuk setiap konsumsi harian alkohol. Dalam sebuah studi lain di Amerika, peningkatan tekanan darah dengan asupan alkohol meningkat sesuai usia, lebih tinggi pada penduduk berusia 50-74 tahun dari pada penduduk berusia 35-49 tahun. Jenis alkohol yang dikonsumsi dalam penelitian ini tidak menimbulkan perbedaan dengan tingginya dampak kenaikan tekanan darah, jadi diasumsikan bahwa ethanol merupakan penyebab langsung (Bulpit et.al. 1999). 5. Obesitas

(29)

tinggi dibandingkan dengan individu dengan berat badan normal (Suarthana et.al., 2001).

Penelitian The Second National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES II) penderita berat badan lebih (overweight) yang berumur 20-75 tahun dengan BMI >27 akan mengalami kemungkinan hipertensi 3 kali lipat dibandingkan dengan tidak berat badan lebih (Hendromartono, 2002).

Berat badan berhubungan secara langsung dan dekat dengan tekanan darah pada semua usia. Pada INTER-SALT, untuk tinggi rata-rata yang sama, perbedaan berat sebesar 10 Kg memperlihatkan perbedaan tekanan sistolik sebesar 3 mmHg dan perbedaan tekanan diastolik sebesar 2,2 mmHg. Berat badan remaja sangat kuat pengaruhnya terhadap tekanan darahnya di kemudian hari (Bulpit et.al. 1999).

Obesitas sangat erat kaitannya dengan pola makan yang tidak seimbang. Dimana seseorang lebih banyak mengkonsumsi lemak protein tanpa memperhatikan serat. Kelebihan berat badan meningkatkan risiko terjadinya penyakit kardiovaskuler karena beberapa sebab. Makin besar massa tubuh, makin banyak darah yang dibutuhkan untuk memasok oksigen dan makanan kejaringan tubuh. Ini berarti volume darah yang beredar melalui pembuluh darah menjadi meningkat sehingga memberi tekanan lebih besar pada dinding arteri.

(30)

darah sirkulasi pasien obesitas dengan hipertensi lebih tinggi dibandingkan dengan penderita yang mempunyai berat badan normal dengan tekanan darah yang setara.

Obesitas mempunyai korelasi positif dengan hipertensi. Anak-anak remaja yang mengalami kegemukan cenderung mengalami hipertensi. Ada dugaan bahwa meningkatnya berat badab normal relatif sebesar 10 % mengakibatkan kenaikan tekanan darah 7 mmHg. Oleh karena itu, penurunan berat badan dengan membatasi kalori bagi orang-orang yang obestas bisa dijadikan langkah positif untuk mencegah terjadinya hipertensi. Sedangkan hipertensi sangat erat dengan kejadian penyakit jantung dan stroke.

Dalam penelitian yang di lakukan oleh Mizwar (2004) di Kabupaten Klaten dan Riyadi (2006) di Kabupaten Rejanglebong masing-masing mendapatkan bahwa obesitas merupakan faktor risiko kejadian hipertensi essensial dengan nilai OR = 4,5 dan OR = 4,57.

Untuk mengetahui seseorang mengalami obesitas atau tidak, dapat dilakukan dengan mengukur berat badan dengan tinggi badan yang kemudian disebut dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah sebagai berikut:

IMT

=

Berat Bada Kg

Tinggi Badan (m ) x Tinggi Badan (m)

(31)

telah merekomendasikan IMT dapat digunakan untuk menentukan seberapa besar seseorang dapat terkena risiko penyakit tertentu yang disebabkan karena berat badannya termasuk obesitas.

Tabel 2.3. Klasifikasi IMT Asia Menurut WHO

Klasifikasi IMT (Kg/m²)

Kurus (Underweight) < 18,5

Normal 18,5 – 22,9

Gemuk (Overweight) ≥ 23

Atrisk 23 – 24,9

Obesitas I 25 – 29,9

Obesitas II ≥ 30

Sumber : Wee et.al. 2008

5. Merokok

Merokok menyebabkan peningkatan tekanan darah. Perokok berat dapat dihubungkan dengan peningkatan insiden hipertensi maligna dan risiko terjadinya stenosis arteri renal yang mengalami aterosklerosis (Armilawati et.al. 2008). Nikotin yang merupakan komponen utama rokok terbukti meningkatkan vasopressin dan hormon adrenokortikotropik. Nikotin mempunyai efek langsung meningkatkan pelepasan aktekolamin dari tempat penyimpanannya di jantung, juga meningkatkan pelepasan epinefrin dari medulla adrenal (Bakri dan Adrianyana, 1991).

Dalam penelitian kohort prospektif oleh dr. Thomas S Bowmant dari

Brigmans and Women’s Hospital, Massachussetts terhadap 28.236 subyek yang

(32)

9,8 tahun. Kesimpulan dalam penelitian ini yaitu kejadian hipertensi terbanyak pada kelompok subyek dengan kebiasaan merokok lebih dari 15 batang perhari (Bowman, 2007). Namun demikian, perokok lama tetap berisiko mengalami hipertensi sistolik dan berdasarkan penelitian Dhianningtyas dan Hendrati (2006), diperoleh hasil responden yang mempunyai kebiasaan merokok mempunyai risiko 3,4 kali terkena hipertensi dibandingkan responden yang tidak merokok. Merokok 2 batang dapat meningkatkan tekanan darah 10/8 mmHg selama 15 menit. Kebiasaan merokok 1½ - 2 bungkus akan meningkatkan tekanan darah selama 7 - 10 jam sehari (Bakri dan Adrianyana, 1991).

Nikotin yang merupakan komponen utama rokok, terbukti meningkatkan vasopressin dan hormone adrenokortikotropik. Nikotin mempunyai efek langsung meningkatkan pelepasan katekolamin dari tempat penyimpanannya di jantung, juga meningkatkan pelepasan epinefrin dari medulla adrenal (Bakri dan Adrianyana, 1991). Epinefrin disimpan dalam granula kromafin dan dilepaskan sebagai respons terhadap hipoglikemi, stres dan faktor- faktor lain. Epineprin merupakan perangsang sistem saraf simpatis yang kuat dan vasopresor yang sangat kuat meningkatkan tekanan darah, merangsang otot jantung, meningkatkan denyut jantung dan curah jantung (Dorland, 1995).

(33)

a. Jumlah rokok yang dihisap

Jumlah rokok yang dihisap dapat dalam satuan batang, bungkus, pak per hari, terbagi atas 3 kelompok yaitu :

1. Perokok Ringan, apabila seseorang menghisap kurang dari 10 batang rokok per hari.

2. Perokok Sedang, apabila seseorang menghisap 10 – 20 batang rokok per hari. 3. Perokok Berat, apabila seseorang menghisap lebih dari 20 batang rokok per hari

(Bustan, 2007).

b. Lama Menghisap Rokok

Menurut Bustan (2007), merokok dimulai sejak umur < 10 tahun atau lebih dari 10 tahun. Semakin awal seseorang merokok makin sulit untuk berhenti merokok. Rokok juga punya doseresponse effect, artinya semakin muda usia merokok, akan semakin besar pengaruhnya. Selain itu, menurut Smet (1994), apabila perilaku merokok dimulai sejak usia remaja, merokok sigaret dapat berhubungan dengan tingkat arterosclerosis. Risiko kematian bertambah sehubungan dengan banyaknya merokok dan umur awal merokok yang lebih dini.

6. Stres

(34)

hipertensi essensial di kabupaten klaten dengan nilai OR = 4,2.

Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf simpatis, yang dapat meningkatkan tekanan darah secara bertahap. Apabila stress menjadi berkepanjangan dapat berakibat tekanan darah menjadi tetap tinggi. Hal ini secara pasti belum terbukti, akan tetapi pada binatang percobaan yang diberikan pemaparan tehadap stres ternyata membuat binatang tersebut menjadi hipertensi

(Ferketich et. al, 2000)

Menurut Sarafindo (1990) yang dikutip oleh Bart Smet, stres adalah suatu kondisi disebabkan oleh transaksi antara individu dengan lingkungan yang menimbulkan persepsi jarak antara tuntutan-tuntutan yang berasal dari situasi dengan sumber daya sistem biologis, psikologis dan sosial dari seseorang (Smet, 1994).

Stres adalah yang kita rasakan saat tuntutan emosi, fisik atau lingkungan tak mudah diatasi atau melebihi daya dan kemampuan kita untuk mengatasinya dengan efektif. Namun harus dipahami bahwa stres bukanlah pengaruh yang datang dari luar tetapi respon kita terhadap pengaruh-pengaruh dari luar tersebut (Sheps dan Sheldon, 2005).

(35)

perubahan patologis. Gejala yang muncul dapat berupa hipertensi atau penyakit maag

(Ferketich et. al. 2000;Gunawan, 2005).

Menurut Slamet Suyono stres juga memiliki hubungan dengan hipertensi. Hal ini diduga melalui saraf simpatis yang dapat meningkatkan tekanan darah secara intermiten (Gunawan, 2005).

Stres dapat meningkatkan tekanan darah untuk sementara waktu dan bila stres sudah hilang tekanan darah bisa normal kembali. Peristiwa mendadak menyebabkan stres dapat meningkatkan tekanan darah, namun akibat stress berkelanjutan yang dapat menimbulkan hipertensi belum dapat dipastikan (Smet, 1994; Nurkhalida, 2003).

Hubungan antara faktor stres dengan kejadian hipertensi, karena proses penuaan yang berkorelasi melalui tingginya aktivasi susunan saraf simpatis, berkurangnya

neuronal plasma norepinephrine uptake dan disfungsi baroreceptor (Xu et.al. 2008).

Peningkatan aktivitas saraf simpatis dapat meningkatkan tekanan darah secara

intermitten. Stres dapat memicu peningkatan hormon adrenalin dan kortisol, juga

(36)

2.10. Epidemiologi HST

Dinegara maju hipertensi merupakan masalah yang memerlukan penanganan yang baik. Menurut National Heart, Lung and Blood Institute, terdapat kira-kira satu penderita diantara setiap empat orang dewasa, (Sheps dan Sheldon, 2005).

Walaupun peningkatan tekanan darah bukan merupakan bagian normal dari ketuaan, insiden hipertensi pada lansia adalah tinggi. Setelah umur 69 tahun, prevalensi hipertensi meningkat sampai 50%. Pada tahun 1988-1991 National Health

and Nutrition Examination Survey menemukan prevalensi hipertensi pada kelompok

umur 65-74 tahun sebagai berikut: prevalensi keseluruhan 49,6% untuk hipertensi derajat 1 (140-159/90-99 mmHg), 18,2% untuk hipertensi derajat 2 (160-179/100-109 mmHg), dan 6.5% untuk hipertensi derajat 3 (>180/110 mmHg).

Prevalensi HST adalah sekitar berturut-turut 7%, 11%, 18% dan 25% pada kelompok umur 60-69, 70-79, 80-89, dan diatas 90 tahun. HST lebih sering ditemukan pada perempuan dari pada laki-laki. Pada penelitian di Rotterdam, Belanda ditemukan: dari 7.983 penduduk berusia diatas 55 tahun, prevalensi hipertensi (160/95mmHg) meningkat sesuai dengan umur, lebih tinggi pada perempuan (39%) dari pada laki-laki (31%).

Di Asia, penelitian di Kota Tainan Taiwan menunjukkan hasil sebagai berikut: penelitian pada usia diatas 65 tahun dengan kriteria hipertensi berdasarkan Joint

National Committee on Detection Evaluation and Treatment of High Blood Pressure

(37)

29,3% (laki-laki 29,7% dan perempuan 28,8%). Pada kelompok ini, adanya riwayat keluarga dengan hipertensi dan tingginya indeks masa tubuh merupakan faktor risiko hipertensi. Ditengarai bahwa hipertensi sebagai faktor risiko pada lanjut usia. Pada studi individu dengan usia > 50 tahun mempunyai tekanan darah sistolik terisolasi sangat rentan terhadap kejadian penyakit kardiovaskuler (Kuswardhani, 2006).

Berbagai laporan tentang kejadian HST pada lansia tentunya sangat bervariasi karena penentuannya banyak tergantung pada jumlah bacaan tekanan darah yang diambil selama suatu kunjungan, berapa kali seorang pasien dievaluasi sebelum diagnosis HST ditegakkan, kriteria tekanan darah diagnosis HST, usia, dan jenis kelamin populasi yang diteliti.

Beberapa survei epidemiologi secara jelas memperlihatkan adanya peningkatan trend prevalensi HST di seluruh dunia akibat pertambahan usia. The

Canadian Heart Health Survey (CHHS) pada warga Kanada yang berusia lanjut dari

10 provinsi, dengan sampel sekitar 2.200 dari setiap propinsi, melaporkan bahwa 52% peserta usia antara 55 dan 74 tahun mengalami hipertensi, dan 26% mengalami HST (Langille et.al. 1999 dan Joffres et.al. 2001) membandingkan distribusi hipertensi antara Kanada dan Amerika Serikat dengan menggunakan CHHS dan

Third National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES III) terhadap

(38)

Rocha et.al. (2003) dalam sebuah studi silang yang mereka lakukan terhadap 3.228 pasien usia 60 tahun atau lebih dalam sebuah group Portugis, menemukan bahwa prevalensi HST usia tertentu adalah 51% pada penduduk usia 70an dan 57% pada penduduk usia di atas 80 tahun. Suatu trend peningkatan HST yang sama juga dilaporkan di negara-negara berkembang. Sebuah penelitian berbasis masyarakat yang dilakukan (Chou et.al.1991) memperlihatkan prevalensi HST sebesar 2.1% dalam suatu cohort Taiwan yang terdiri dari 1.738 pria dan wanita usia di atas 38 tahun. Dapat disimpulkan bahwa HST merupakan bentuk hipertensi yang paling sering terjadi, 2/3 orang dewasa usia ≥60 tahun dan 3/4 orang dewasa usia >75 tahun, mengalami HST (Pannarale, 2008).

2.11. Konsep Lanjut Usia

(39)

sesuatu yang normal tetapi dapat membawa berbagai dampak dan tantangan serta stresor tertentu (Akhmadi, 2009).

Proses menua adalah perubahan yang dialami individu yang terkait dengan biologis, psikologis, sosial dan spiritual yang kecepatan perubahan tersebut berbeda untuk setiap individu. Jenis kelamin, ras, kelas sosial dan keimanan menciptakan interaksi yang kompleks yang berkontribusi dalam proses penuaan setiap individu (Tyson, 1999). Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa penuaan adalah proses alami yang ditandai dengan adanya penurunan fungsi baik fisik, psikologis maupun sosial yang percepatan perubahannya berbeda untuk setiap individu.

(40)

penyempitan/berkurangnya cadangan homeostatis yang terjadi selama penuaan pada setiap sistem organ (Setiati et.al. 2007).

Penuaan adalah proses dominan yang bisa mengubah kekakuan vaskuler,

wavereflection (pantulan gelombang), dan Pulse Pressure (PP). Namun

perubahan-perubahan akibat pertambahan usia ini sangat bervariasi. Keberagaman ini dipengaruhi oleh sifat histopatologi jaringan arteri (muscular atau musculo elastic) dan karena adanya faktor risiko Cardiovascular (CV) yang lain. Pada subjek penderita hipertensi pada usia paruh baya, Mean Arterial Pressure (MAP) yang tinggi memberikan pengaruh yang bermakna terhadap perubahan stiffness, sementara perubahan-perubahan yang independen dari MAP pada dinding vaskuler memainkan peranan yang lebih penting bagi pasien lansia (Safar et.al. 2006).

Tahap dewasa menurut Maryam et.al. (2008) merupakan tahap tubuh mencapai titik perkembangan yang maksimal. Setelah itu tubuh mulai menyusut dikarenakan berkurangnya jumlah sel-sel yang ada di dalam tubuh. Sebagai akibatnya, tubuh juga akan mengalami penurunan fungsi secara perlahan-lahan. Itulah yang dikatakan proses menua. Seiring dengan proses menua tersebut, tubuh akan mengalami berbagai masalah kesehatan atau yang biasa di sebut penyakit degeneratif. Adapun pembagian batas-batas lanjut usia menurut WHO (2004) adalah usia pertengahan (middle age), yaitu kelompok usia 45 sampai 59 tahun, lanjut usia (elderly) antara 60 sampai 74 tahun, lanjut usia tua (old) antara 75 sampai 90 tahun dan usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun.

(41)

dan menurunnya kesehatan secara bertahap. Mereka diharapkan untuk mencari kegiatan untuk mengganti tugas-tugas terdahulu yang menghabiskan sebagian besar waktu kala mereka masih muda. Bagi beberapa orang berusia lanjut, kewajiban untuk menghadiri rapat yang menyangkut kegiatan sosial sangat sulit dilakukan karena kesehatan dan pendapatan mereka menurun setelah pensiun, mereka sering mengundurkan diri dari kegiatan sosial (Maryam et.al. 2008).

2.11.1.Upaya Pelayanan Kesehatan terhadap Lansia

Upaya pelayanan kesehatan terhadap lansia meliputi azas, pendekatan dan jenis pelayanan yang diterima.

1. Azas

a. Menurut WHO (1991) dalam Maryam et.al. (2008) adalah to add Life to the

Years that Have Been Added to Life, dengan prinsip kemerdekaan

(independence), partisipasi (participation), perawatan (care), pemenuhan diri ( self fulfillment) dan kehormatan (dignity).

b. Azas yang dianut oleh Departemen Kesehatan RI adalah Add life to the Years,

Add Health to Life and Add Years to Life yaitu meningkatkan mutu kehidupan

lanjut usia, meningkatkan kesehatan dan memperpanjang usia. 2. Pendekatan

Menurut WHO (1982) dalam Maryam et.al. (2008) pendekatan yang digunakan adalah sebagai berikut:

(42)

c. Lansia diusahakan mandiri dalam berbagai hal (nondependence) d. Lansia turut memilih kebijakan (choice)

e. Memberikan perawatan dirumah (home care) f. Pelayanan harus dicapai dengan mudah (accebility)

g. Mendorong ikatan akrab antar kelompok/antar generasi (angaging the aging) h. Transportasi dan utilitas bangunan yang sesuai dengan lansia (mobility) i. Para lansia dapat terus berguna dalam menghasilkan karya (productivity)

j. Lansia beserta keluarga aktif memelihara kesehatan lansia (self-help care and

family care)

3. Jenis pelayanan yang diterima

Jenis pelayanan kesehatan terhadap lansia meliputi Lima (5) upaya kesehatan yaitu peningkatan (promotion), pencegahan (prevention), diagnosis dini dan pengobatan (early diagnosis and prompt treatment), pembatasan kecacatan (disability

limitation) serta pemulihan (rehabilitation).

2.11.2.Pembinaan Kesehatan Lansia

Pembinaan kesehatan lansia mempunyai tujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan dan mutu kehidupan untuk mencapai masa tua yang bahagia dan berguna dalam kehidupan keluarga dan masyarakat sesuai dengan eksistensinya dalam masyarakat (Depkes RI, 2003).

(43)

2.12. Landasan Teori

Hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya didefinisikan sebagai hipertensi esensial. Beberapa penulis lebih memilih istilah hipertensi primer untuk membedakannya dengan hipertensi sekunder karena sebab-sebab yang diketahui (Yogiantoro, 2006). Menurut WHO 1978 dalam Susalit et.al. (2005), batas tekanan darah yang masih dianggap normal adalah 140/90 mmHg dan tekanan darah sama dengan atau di atas 160/95 mmHg dinyatakan sebagai hipertensi. Hipertensi mempunyai beberapa subtipe antara lain yaitu hipertensi sistolik diastolic (HSD), hipertensi diastolik terisolasi (HDS) dan hipertensi sistolik terisolasi (HST). HST didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik sebesar 140 mmHg atau lebih dan tekanan darah diastolik sebesar < 90 mmHg, dalam keadaan pasien tidak mengkonsumsi obat-obatan anti hipertensi dan tidak sedang menderita penyakit akut (Gupta dan Kasliwal, 2004).

Tekanan darah merupakan hasil dari cardio output dan resistensi perifer total, sehingga peningkatan pada salah satu atau keduanya akan menyebabkan HST (Gupta dan Kasliwal, 2004).

(44)

2.13. Kerangka Teori

Variable yang Dapat Diubah Variable yang Tidak Dapat Diubah

Gambar 2.1. Kerangka Teori Modifikasi

2.14. Kerangka konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian  Obesitas

 Aktifitas fisik  Kebiasaan merokok  Stres Psikososial  Konsumsi garam

(natrium)

Hipertensi Sistolik Terisolasi pada Lansia

• Obesitas

• Kebiasaan merokok

• Aktifitas fisik

• Stres psikososial

• Konsumsi garam (natrium)

• Hiperkolesteolemia

• Umur

• Jenis kelamin

• Ras

• Genetik

Gambar

Tabel 2.1. Klasifikasi Hipertensi Sistolik Terisolasi
Tabel 2.2. Klasifikasi Tingkat Tekanan Darah (mmHg)
Tabel 2.3. Klasifikasi IMT Asia Menurut WHO
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian

Referensi

Dokumen terkait