• Tidak ada hasil yang ditemukan

Beban Keluarga dalam Merawat Pasien Halusinasi di Poli Klinik Jiwa Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Yuluddin Away Tapaktuan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Beban Keluarga dalam Merawat Pasien Halusinasi di Poli Klinik Jiwa Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Yuluddin Away Tapaktuan"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Halusinasi

2.1.1. Pengertian Halusinasi

Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan rangsangan internal dan rangsangan eksternal. Klien memberi 5 pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau rangsangan yang nyata, misalnya klien mengatakan mendengar suara padahal tidak ada orang yang berbicara (Kusumawati, 2010)

Halusinasi ialah suatu pengalaman pada suatu kejadian sensoris tanpa ada input dari lingkungan sekitarnya. Mark Durrand dan David H. Barlow (2007), mendeskripsikan halusinasi adalah suatu penghayatan kepada kejadian-kejadian yang tidak mendasar pada kejadian eksternal (Pieter, Herri Zan, Bethsaida Janiwarti dan Marti Saragih, 2011)

2.1.2. Jenis Halusinasi

(2)

sering muncul adalah halusinasi pendengaran sebanyak 69,23%, diikuti dengan halusinasi penglihatan sebesar 8,59 %, selanjutnya halusinasi taktil sebesar 5,72%, dan sisanya halusinasi tipe lain. Maka halusinasi dapat terjadi berupa stimuluspalsu terhadap seluruh panca indera, tetapi yang paling banyak terjadi adalah halusinasi pendengaran(Yusnipah, 2012).

Hoeksema (2004) mengemukakan adanya bermacam-macam halusinasi, pertama, halusinasi pendengaran, dimana orang mendengar suara-suara, musik dan lain-lain yang sebenrnya tidak ada. Ini merupakan yang paling sering muncul dan rata-rata lebih sering pada perempuan dibandingkan pada laki-laki. Halusinasi kedua yang sering muncul adalah halusinasi penglihatan, seringkali berbarengan dengan halusinasi pendengaran. Selanjutnya halusinasi perabaan, melibatkan persepsi bahwa sesuatu sedang terjadi diluar tubuh seseorang. Selanjutnya halusinasi somatis, melibatkan persepsi bahwa sesuatu sedang terjadi didalam diri seseorang, halusinasi ini seringkali sangat hebat dan menakutkan (Wiramihardja, 2007)

2.1.3. Tanda dan Gejala

(3)

tidak ada, menarik diri, mondar-mandir, dan mengganggu lingkungan juga sering ditemui pada pasien dengan halusinasi. Individu terkadang sulit untuk berpikir dan mengambil keputusan. Banyak dari mereka yang justru mengganggu lingkungan karena perilakunya itu. Pasien halusinasi biasanya dibawa ke rumah sakit dalam kondisi akut yang memperlihatkan gejala seperti bicara dan tertawa sendiri, berteriak-teriak, keluyuran, dan tidak mampu mengurus dirinya sendiri. Hal tersebut sebenarnya dapat dicegah apabila keluarga mengetahui tanda dan gejala awal dari halusinasi (Yusnipah, 2012).

2.1.4. Patofisiologi Halusinasi

Patofiologi halusinasi yaitu menurut Maramis (2004), halusinasi dapat didefinisikan sebagai terganggunya persepsi sensori seseorang, dimana tidak terdapat stimulus, individu merasa ada stimulus yang sebetulnya tidak ada, pasien merasa ada suara padahal tidak ada stimulus suara, bisa juga berupa suara-suara bising dan mendengung, tetapi paling sering berupa kata- kata yang tersusun dalam bentuk kalimat yang mempengaruhi tingkah laku klien, sehingga klien menghasilkan respon tertentu seperti bicara sendiri. Suara bisa berasal dari dalam diri individu atau dari luar dirinya. Isi suara tersebut dapat memerintahkan sesuatu pada klien atau seringnya tentang perilaku klien sendiri, klien merasa yakin bahwa suara itu dari Tuhan, sahabat dan musuh (Rahmawati, 2014).

(4)

halusinasi adalah faktor biologis, stress lingkungan, pemicu gejala dan sumber koping (Rahmawati, 2014).

Menurut Stuart & Laraia (2005) dalam Suwardiman (2011), proses halusinasi terjadi melalui empat tahapan, antara lain :

1) Tahap dirasakan oleh klien sebagai pengalaman yang memberi rasa nyaman, dengan perilaku yang sering ditampilkan pada tahapan ini adalah tersenyum atau tertawa sendiri, menggerakan bibir tanpa suara, pergerakan mata yang cepat, respon verbal lambat, diam, dan berkonsentrasi.

2) Tahap menyalahkan, pada tahap ini dikarakteristikan sebagai pengalaman sensori dan isolasi diri.

3) Tahap mengontrol, perilaku yang ditampilkan pada tahap ini adalah perintah halusinasi dituruti, sulit berhubungan dengan orang lain, dan rentang perhatian hanya beberapa detik.

4) Tahap menguasai, perilaku yang sering dimunculkan pada tahap ini adalah perilaku panik, perilaku mencederai diri sendiri atau orang lain, dan potensial bunuh diri.

2.1.5. Tindakan Keperawatan Keluarga dengan Halusinasi

(5)

mempengaruhi aktifitas hidup sehari-hari. Keluarga merupakan faktor penting yang menentukan keberhasilan asuhan keperawatan pada pasien dengan halusinasi. Dukungan keluarga selama pasien dirawat di rumah sakit sangat dibutuhkan sehingga pasien termotivasi untuk sembuh. Demikian juga saat pasien tidak lagi dirawat di rumah sakit (dirawat di rumah). Keluarga yang mendukung pasien secara konsisten akan membuat pasien mampu mempertahankan program pengobatan secara optimal (Yusnipah, 2012).

Menurut Keliat, dkk (2011) tindakan keperawatan yang dapat diberikan untuk keluarga pasien halusinasi adalah sebagai berikut. 1) Diskusikan masalah yang dihadapi keluarga dalam merawat pasien, 2) Berikan pendidikan kesehatan tentang pengertian halusinasi, jenis halusinasi yang dialami pasien, tanda dan gejala halusinasi, proses terjadinya halusinasi, dan cara merawat pasien halusinasi, 3) Berikan kesempatan kepada keluarga untuk memperagakan cara merawat pasien dengan halusinasi langsung dihadapan pasien, 4) Memberikan pendidikan kesehatan kepada keluarga tentang perawatan lanjutan pasien (Yusnipah, 2012).

(6)

Penatalaksanaan terpentingnya adalah bagaimana pasien dengan halusinasi tahu manfaat obat, kemudian mau minum obat dan patuh, sehingga mampu mengikuti dan mempertahankan terapinya untuk mengontrol halusinasinya (Suwardiman, 2011). Pemberian informasi yang Tingkat pengetahuan tepat tentang obat pada keluarga penting untuk keberhasilan perawatan pasien halusinasi. Faktor keluarga menempati hal vital penanganan pasien gangguan jiwa di rumah. Hal ini mengingat keluarga adalah support sistem terdekat dan 24 jam bersama-sama dengan pasien. Keluarga sangat menentukan apakah pasien akan kambuh atau tetap sehat. Keluarga yang mendukung secara optimal akan membuat pasien mampu survive dalam kondisi apapun. Jika keluarga tidak mampu merawat pasien maka pasien akan kambuh bahkan untuk memulihkannya lagi akan sangat sulit. Perawat dituntut harus melatih keluarga pasien agar mampu merawat pasien gangguan jiwa di rumah (Keliat, 1996 dalam Yusnipah, 2012).

2.2. Konsep Keluarga

2.2.1. Pengertian Keluarga

(7)

Keluarga merupakan lingkungan sosial yang sangat dekat hubungannya dengan seseorang. Keluarga yang lengkap dan fungsional serta mampu membentuk homeostatis akan dapat meningkatkan kesehatan mental para anggota keluarganya dan kemungkinan dapat meningkatkan ketahanan para anggota keluarganya dari adanya gangguan-gangguan mental dan ketidaksetabilan emosional anggota keluarganya. Usaha kesehatan mental sebaiknya dan seharusnya dimulai dari keluarga. Karena itu perhatian utama dalam kesehatan mental adalah menggarap keluarga agar dapat memberikan iklim yang kondusif bagi anggota keluarganya yang mengalami gangguan kesehatan mental (Notosoedirdjo dan Latipun, 2005, dalam Kurniawan, 2014).

2.2.2. Tipe Keluarga

Dalam Suprajitno (2004), Pembagian tipe keluarga bergantung pada konteks keilmuan dan orang yang mengelompokkan. Secara tradisional keluarga dikelompokkan menjadi dua, yaitu :

1) Keluarga Inti (Nuclear Family)adalah keluarga yang hanya terdiri dari ayah, ibu dan anak yang diperoleh dari keturunannya atau adopsi atau keduanya.

(8)

2.2.3. Fungsi Keluarga

Fungsi keluarga secara umum didefinisikan sebagai hasil akhir atau akibat dari struktur keluarga. sedangkan fungsi dasar keluarga adalah untuk memenuhi kebutuhan anggota keluarga itu sendiri dan masyarakat yang lebih luas. Tujuan terpenting yang perlu dipenuhi keluarga adalah menghasilkan anggota baru (fungsi reproduksi) dan melatih individu tersebut menjadi bagian dari anggota masyarakat (fungsi sosialisasi) (Friedman, 2010, dalam Suwardiman, 2011).

Fungsi keluarga menjadi suatu perhatian ketika kita akan membahas bagaimana kebutuhan dukungan yang dipersepsikan oleh keluarga dengan beban keluarga yang mengalami halusinasi. Adapun fungsi keluarga meliputi :

1) Fungsi afektif, kebahagiaan keluarga diukur oleh kekuatan cinta keluarga (Friedman, 2010, dalam Suwardiman, 2011). Keluarga harus memenuhi kebutuhan kasih sayang anggota keluarganya karena respon kasih sayang satu anggota keluarga ke anggota keluarga lainnya memberikan dasar penghargaan terhadap kehidupan keluarga.

(9)

masyarakat, sehingga klien yang mengalami halusinasi merasa diterima oleh lingkungan sosial.

3) Fungsi reproduksi, salah satu fungsi dasar keluarga adalah untuk menjamin kontinuitas antar generasi keluarga dan masyarakat, yaitu menyediakan anggota baru untuk masyarakat (Friedman, 2010, dalam Suwardiman, 2011).

4) Fungsi ekonomi, fungsi ekonomi melibatkan penyediaan keluarga akan sumber daya yang cukup, ruang, dan materi serta alokasinya yang sesuai melalui proses pengambilan keputusan.

Termasuk ke dalam fungsi ekonomi yaitu :

a. mencari sumber-sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

b. pengaturan penggunaan penghasilan keluarga untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

c. menabung untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan keluarga di masa yang akan datang (pendidikan, dan jaminan hari tua).

(10)

2.2.4. Tugas Keluarga

Keluarga mempunyai tugas dibidang kesehatan (Friedman, 2010, dalam Nuraenah, 2012) yang meliputi :

a. kemampuan keluarga untuk mengenal masalah kesehatan keluarga klien dengan halusinasi, keluarga perlu mengetahui peneyebab tanda-tanda klien kambuh.

b. kemampuan keluarga dalam mengambil keputusan mengenai tindakan keperawatan yang tepat dalam mengatasi anggota keluarga dengan halusinasi, menanyakan kepada orang yang lebih tahu.

c. kemampuan keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan merawat anggota keluarga dengan riwayat halusinasi.

d. kemampuan keluarga menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan yang berada di masyarakat.

e. Kemampuan keluarga dalam memodifikasi lingkungan.

2.2.5. Peran Keluarga

(11)

Keluarga yang menpunyai kemampuan mengatasi masalah akan dapat mencegah perilaku maladaptif (pencegahan perimer), penanggulangan perilakumaladaptif (pencegahan sekunder) dan memulihkan perilaku adaptif(pencegahan tersier) sehingga derajat kesehatan klien dan keluarga dapat ditingkatkan secara optimal (Keliat, 1995, dalam Ngadiran, 2010). Maka peran keluarga sangatpenting dari berbagi faktor:

1) Keluarga merupakan tempat dimana individu memulai hubungan interpersonal dengan lingkungan. Keluarga merupakan istitusi untuk belajar dan mengembangkan nilai, keyakinan, sikap, perilaku (Clenent & Buchanan 1982, dalam Keliat 1995, dalam Ngadiran, 2010). Individu menguji perilakunya didalam keluarga dan umpan balik keluarga mempengaruhi individu dalam mengadopsi perilaku tersebut, semua ini merupakan persiapan individu untuk berperan di masyarakat.

2) Jika keluarga dipandang sebagai suatu sistem, maka gangguan jiwa (halusinasi) yang terjadi pada salah satu anggota dapat mempengaruhi seluruh sistem. Sebaliknya disfungsi keluarga dapat pula merupakan salah satu penyebab terjadinya gangguan pada anggota keluarga.

(12)

4) Dari beberapa penelitian menunjukan bahwa salah satu faktor penyebab kekambuhan gangguan jiwa (halusinasi) adalah keluarga yang tidak tahu menangani perilaku di rumah.

Ngadiran (2010), Peran keluarga dalam perawatan di rumah adalah :

1) Menciptakan lingkungan rumah yang sehat dan menyenangkan sehingga membantu memulihkan kesehatan fisik, psikologis dan sosial yang memuaskan.

2) Mengatasi dan ikut bertanggung jawab atas terlaksananya pengobatan lanjutan difasilitas kesehatan yang ada dan pengawasan dalam pemberian obat di rumah.

3) Membantu pelaksanaan kegiatan sebelum dan setelah perawatan klien dan bertanggung jawab atas kemadirian klien.

4) Menjalankan kerja sama yang baik dengan petugas kesehatan dalam rangka partisipasi dalam proses pengobatan dan pemulihan di rumah. 5) Menciptakan hubungan yang baik dengan lingkungan keluarga dan

tetangga dalam rangka pemberian pengertian kepada masyarakat terkait tentang keadaan, perilaku dan penyakit klien sehingga bersifat positif, suportif dan membantu meneteramkan apabila klien memperlihatkan perilaku negatif.

6) Membantu mencari tempat kerja di masyarakat sehingga kondisi klien yang baik tetap dapat dipertahankan dan dikembangkan.

(13)

perawatan halusinasi dan peroses terjadinya penyesuaian kembali klien di rumah Oleh karena itu, peran keluarga dalam proses pemulihan, mencegah kekambuhan dan mengontrol halusinasi di rumah sangat diperlukan.

2.2.6. Kekuatan Keluarga

(14)

2.3. Konsep Beban Keluarga

2.3.1. Pengertian Beban Keluarga

Beban keluarga adalah tingkat pengalaman distres keluarga sebagai efek dari kondisi anggota keluarganya. Kondisi ini dapat menyebabkan meningkatnya stres emosianal dan ekonomi keluarga adalah tingkat pengalaman distres keluarga sebagai efek dari kondisi anggota keluarganya (Fontaine, 2009, dalam Nuraenah, 2012).

Kondisi klien dengan halusinasi tersebut dapat menimbulkan efek psikologis bagi keluarganya. Keluarga sering merasa malu dan marah terhadap tingkah laku klien (misalnya, tertawa – tawa sendiri, berperilaku aneh), dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Klien yang menderita seumur hidup menjadi beban bagi keluarga. Masalah yang sering dihadapi keluarga adalah klien susah jodoh, diasingkan oleh lingkungan dan sumber dana yang diperlukan.

Masalah yang dihadapi keluarga tidak dapat dihindarkan, karena klien dengan skizofrenia dengan halusinasi kronis memerlukan pembiayaan yang tidak sedikit (Walton &Moss, 2005, dalam Ngadiran, 2010).

(15)

Gangguan jiwa dapat berdampak negatif pada keluarga. (Stuart & Laraia, 2001, dalam Suwardiman, 2011) dampak yang terjadi meliputi ; meningkatnya konflik dan stress keluarga, saling menyalahkan satu sama lain, kesulitan untuk mengerti dan menerima keluarganya yang sakit, meningkatnya emosi ketika berkumpul dan kehilangan energi, waktu, uang untuk merawat anggota keluarganya.

2.3.2. Pembagian Beban Keluarga

Pembagian beban keluarga juga disampaikan oleh Mohr (2006) dalam Ngadiran (2010) yaitu bahwa beban keluarga terbagi atas tiga jenis :

1) Beban Obyektif

Beban obyektif adalah masalah yang berhubungan dengan pelaksanaan perawatan klien, yang meliputi; tempat tinggal, makanan, transportasi, pengobatan, keuangan, intervensi krisis. Keluarga memerlukan biaya untuk klien di rumah sakit, mengantarkannya berobat. Hal ini akan semakin meningkat jika berlangsung lama.

2) Beban Subyektif

(16)

sendiri, marah terhadap keluarga, bahkan terhadap Tuhan (Mohr, 2006, dalam Ngadiran, 2010)

3) Beban Iatrogenik

Beban yang tidak kalah pentingnya adalah beban iatrogenik yaitu beban yang disebabkan karena tidak berfungsinya sistem pelayanan kesehatan jiwa yang tidak mengetahui teori keluarga. Beban iatrogenik itu meliputi tentang pelayanan yang di berikan oleh tenaga kesehatan : dokter, perawat, farmasi, gizi , pelayanan dari tenaga penunjang lainya: sosial worker, analasis, administrasi, informasi .Hal ini mengakibatkan proses pengobatan dan pemulihan tidak berjalan sesuai yang di harapkan.

Sedangkan menurut WHO (2008) dalam Suwardiman (2011), mengkategorikan beban keluarga dengan klien halusinasi dibagi kedalam dua jenis yaitu:

1. Beban obyektif, merupakan beban yang berhubungan dengan masalah dan pengalaman anggota keluarga, terbatasnya hubungan sosial dan aktivitas kerja, kesulitan finansial dan dampak negatif terhadap kesehatan fisik anggota keluarga.

(17)

2.3.3. Faktor-Faktor yang mempengaruhi beban keluarga

Faktor-Faktor yang mempengaruhi beban keluarga penderita skizofrenia merupakan beban bagi keluarga. Beban keluarga ini dipengaruhi oleh beberapa faktor. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi beban keluarga antara lain:

1) Perjalanan penyakit

Penderita skizofrenia sering mangalami ketidakmampuan seperti merawat diri, berinteraksi sosial, sehingga sangat bergantung kepada keluarga yang akan menjadi beban baik subyektif maupun obyektif (Kaplan & Sadock, 2000 dalam Nuraenah, 2012). Siregar, Arijanto dan Wati (2008) dalam Nuraenah (2012) menemukan bahwa gejala positif dan negatif klien skizofrenia berperan dalam beratnya beban caregiver, semakin tinggi skor sindrom positif dan negatif skizofrenia maka semakin berat beban yang dirasakan.

2) Stigma

(18)

adalah 12% atau lebih, kekurangan ini memiliki efek drastis pada kapasitas layanan. Keadaan di Indonesia tidak jauh berbeda dengan di Australia. Orang yang mengalami gangguan jiwa diperlakukan dengan cara yang tidak pantas. Kalau kita melihat pelayanan kesehatan di Indonesia, bahwa bangsal-bangsal yang ada di rumah sakitumum banyak yang belum ada bangsal jiwanya hal ini menunjukkan bukan hanya masyarakat awam saja yang melakukan diskriminatif, tetapi para profesionalpun secara tidak sadar melakukan stigmatisasi terhadap penderita gangguan jiwa. Menurut Hawari (2009) dalam Nuraenah (2012), stigma merupakan sikap keluarga dan masyarakat yang menggangap bahwa bila salah seorang anggota keluarga menderita skizofrenia merupakan aib bagi anggota keluarganya. Selama bertahun-tahun banyak bentuk diskriminasi di dalam masyarakat. Penyakit mental masih menganggap kesalahpahaman, prasangka, kebingungan, ketakutan di tengah-tengah masyarakat.

3) Pelayanan kesehatan

(19)

4) Pengetahuan terhadap penyakit

Pengetahuan keluarga tentang skizofrenia dan cara perawatannya sangat mempengaruhi proses fikir keluarga.

5) Ekspresi emosi

Ekspresi emosi adalah keadaan individu yang terbuka dan sadarakan perasaannya dan dapat berpartisipasi dengan dunia eksternal dan internal (Keliat, 2000, dalam Nuraenah, 2012). Beberapa penelitian menemukan bahwa ekspresi emosi keluarga yang tinggi rata-rata memiliki beban yang tinggi jika dibandingkan dengan keluarga yang memiliki ekspresi emosi yang rendah. Angiananda (2006) dalam Nuraenah (2012), menemukan bahwa emosi keluarga berkaitan dengan pengetahuan menyebabkan emosi tinggi karena merasa terbebani dengan perilaku klien. Tingginya angka kekambuhan tersebutkan meningkatkan ketidakmampuan penderita yang menyebabkan beban bagi keluarga.

6) Ekonomi

(20)

2.3.4. Beban Keluarga Merawat Pasien Halusinasi.

Menurut WHO (2003), secara umum dampak yang dirasakan oleh keluarga dengan adanya anggota keluarga mengalami halusinasi adalah tingginya beban ekonomi, beban emosi keluarga, stress terhadap perilaku pasien yang terganggu, gangguan dalam melaksanakan kegiatan rumah tangga sehari-haridan keterbatasan melakukan aktivitas sosial. Selain itu juga muncul beban keluarga karena stigma social terhadap penderita halusinasi tersebut, beban yang muncul bisa berupa psikologis.

Prilaku halusinasi adalah akibat kesalahan persepsi sensori dari kelima pancaindra, penyimpangan prilaku klien sangat bervariasi tergantung dari tingkat terjadinya halusinasi. Penimpangan prilaku yang terjadi meliputi; terseyum lebar, menggerakkan bibir tanpa membuat suara, perhatian menyempit, kesulitan berhubungan dengan orang lain, tampak cemas, tidak mampu mengikuti perintah, prilaku klien seperti di hantui teror, potensi kuat untuk bunuh diri atau membunuh orang lain, menarik diri, tidak bisa pada lebih dari satu orang.

Referensi

Dokumen terkait

774.20 0.000,- Alternatif 1: PRIVATISASI Dilepas ke swasta melalui skema penjualan saham mayoritas, divestasi, atau penjualan seluruh aset Pemda tidak dipusingkan dengan

· Pembuatan tabel distribusi frekuensi dapat dimulai dengan menyusun data mentah ke dalam urutan yang sistematis ( dari nilai terkecil ke nilai yang lebih besar atau

Pertukaran informasi dalam internal perusahaan selama ini banyak mengalami kendala, akibat adanya sumber data yang berbeda pada obyek yang sama, penginputan berulang ulang

Penulisan Ilmiah ini berisi tentang pembuatan website Objek Wisata Pergunungan Daerah Jawa Barat, dengan menggunakan macromedia dreamweaver mx dan macromedia flash mx. Pembuatan

13 Pada waktu di Hudaibiyah Rasulullah menerima ajakan damai dari kaum Kafir Quraisy.Ini membuktikan bahwa Rasulullah adalah seorang yang ....

Dalam Penulisan Ilmiah ini bertujuan untuk membuat website Madrasah Tsanawiyah Al Hamidiyah yang dapat digunakan sebagai sarana informasi bagi masyarakat yang ingin

PHP memberikan kemudahan bagi perancang situs web untuk dapat mengembangkan dan membuat tampilan halaman informasi yang baik

Kepala Sekolah Dasar Negeri Mekarmukti 1 Kecamatan Cibalong Kabupaten Garut, dengan ini mengundang Bapak/Ibu/Sdr/i Guru dan penjaga sekolah untuk mengikuti Rapat