• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Resiliensi Remaja Putri Korban (Prostitusi) Eksploitasi Seksual Komersil

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gambaran Resiliensi Remaja Putri Korban (Prostitusi) Eksploitasi Seksual Komersil"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

I.A. Latar Belakang

Remaja merupakan periode kehidupan yang unik, karena saat itu terjadi

perubahan yang amat kompleks, diantaranya perubahan fisik, emosional, kognitif,

perubahan pertumbuhan dan perkembangan sosial yang menjembatani antara

masa kanak-kanak menuju masa dewasa (Santrock, 2007).

Secara umum, periode remaja merupakan klimaks dari periode-periode

perkembangan sebelumnya, sehingga dalam periode selanjutnya individu telah

menpunyai suatu pola pribadi yang lebih baik. Masalah-masalah sehubungan

dengan perkembangan fisik pada periode pubertas masih terus berlanjut, tetapi

pada akhirnya mereda saat individu memasuki masa dewasa. Bagi sebagian besar

orang, memasuki usia remaja tidaklah mudah. Hall (dalam Santrock, 2007),

menyebutkan bahwa masa remaja adalah masa storm and stress, karena pada masa ini muncul gejolak emosi yang penuh dengan ketidakseimbangan.

Remaja juga mulai mengalami kematangan fisik yang ditandai dengan

mulai matangnyanya organ-organ seksual, dalam arti organ-organ seksualnya

sudah dapat berfungsi sepenuhnya untuk mengembangkan keturunan. Pada remaja

putri ditandai dengan menstruasi yang pertama, sedangkan pada remaja pria

(2)

Matangnya organ-organ seksual pada remaja akan mengakibatkan

munculnya dorongan-dorongan seksual (Santrock, 2007). Problem tentang seksual

pada remaja adalah berkisar masalah bagaimana mengendalikan dorongan

seksual, konflik antara mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh

dilakukan, adanya "ketidaknormalan" yang dialaminya berkaitan dengan

organ-organ reproduksinya, pelecehan seksual, homoseksual, kehamilan dan aborsi

(Hurlock, 1980).

Dalam masa ini juga, remaja mulai mengalami ketertarikan terhadap lawan

jenis disertai dorongan seksual, hal yang sifatnya kodrati dialami oleh remaja.

Remaja pun mulai ingin berkenalan, bergaul dengan teman-temannya dari jenis

kelamin lain, dan mengenal pacaran (Santrock, 2007). Dalam kondisi demikian,

remaja merupakan sosok yang mudah untuk terjerumus kedalam situasi yang

kurang menguntungkan bagi remaja sendiri. Salah satunya adalah ketika remaja

terjebak dunia seks bebas dan kemudian menjadi korban eksploitasi seksual

komersil dan terjebak kedalam dunia prostitusi (Santrock, 2007).

Dewasa ini salah satu isu yang mencemaskan dan sepakat untuk segera

ditangani adalah perdagangan perempuan dan anak sektor ekploitasi seksual

komersil (ECPAT, 2006). Remaja di Indonesia, ternyata menjadi makanan empuk

bagi sebagian “pemangsa-pemangsa” remaja khususnya remaja putri. Mereka

diperjualbelikan atau malah dijadikan pelacur oleh orang-orang yang ingin

(3)

ILO-IPEC (dalam Suyanto, 2010) mengatakan remaja yang menjadi

korbannya sesungguhnya membutuhkan perhatian serius karena memiliki dampak

yang sangat merugikan dan membahayakan kelangsungan serta masa depan

korban eksploitasi seksual itu sendiri. Remaja yang menjadi korban eksploitasi

seksual bukan saja rentan terhadap hinaan, penipuan dan marginalisasi, tetapi juga

banyak di antara mereka yang tidak dapat menikmati hak untuk memperoleh

pendidikan yang layak, serta tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya untuk

berkembang secara sehat.

Fenomena eksploitasi seksual komersil tersebut tidak hanya menimpa

remaja dengan ekonomi rendah, namun juga banyak dialami oleh remaja yang

berstatus sosial tinggi (Suyanto, 2010). Dalam masyarakat luas istilah eksploitasi

seksual mungkin belum banyak didengar atau malah belum dipahami dengan

baik, walaupun sebenarnya kasus-kasus yang terkait dengan masalah tersebut

sudah banyak ditemui baik lewat media cetak ataupun media elektronik, berikut

ini adalah salah satu kasus eskploitasi seksual komersil yang dimuat dimedia

cetak.

“Pada bulan Juni 2008, Mawar, seorang gadis usia 15 tahun asal Lampung, Indonesia, diculik dan diperdagangkan ke Malaysia dan dipaksa untuk menjadi seorang pekerja seks. Keperawanannya dijual seharga 5.000 Ringgit (sekitar 15 juta rupiah) oleh seorang germo. Dua dari pelaku trafiking tersebut, yaitu Nurdin dan Chong Kum telah ditangkap dan

dijatuhi hukuman penjara selama 15 tahun”. (Kompas, 10 February 2009).

Deputi Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan, Emy

(4)

komersil masih menjadi masalah serius di Indonesia, terutama di daerah

perbatasan, daerah perdagangan, dan daerah pariwisata. Remaja terutama remaja

putri yang berusia 13-18 tahun kerap menjadi obyek perdagangan manusia untuk

tujuan eksploitasi seksual komersial.

Hal ini senada dengan sebuah penelitian yang telah dilakukan oleh

ILO-IPEC (dalam Suyanto, 2010), berhasil mengidentifikasi bahwa rata-rata usia anak

yang dilacurkan di sektor eksploitasi seksual komersil adalah 10-12 tahun, yang

sebelumnya sama sekali belum mengenal seks karena usia mereka yang masih

belia, tetapi dipaksa oleh germo, calo, atau diperdaya mafia pelacuran untuk

bekerja sebagai PSK (Jurnal Perempuan, dalam Suyanto, 2010). Studi lainnya

yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian Unair bekerjasama dengan Dinas Sosial

dan Pemberdayaan Perempuan Kota Surabaya (dalam Suyanto, 2010),

menemukan bahwa 2,2% responden dari 200 responden yang diwawancarai

ternyata pertama kali dilacurkan pada saat mereka masih berusia 7 tahun.

Responden lainnya mengaku pertama kali dilacurkan pada saat berusia 14 tahun

(10,9%), 15 tahun (32, 6%), dan sebagian besar di usia 16 tahun (45, 7%).

Di Sumatera Utara, menurut catatan resmi Dinas Sosial diketahui ada 281

anak perempuan yang terpaksa bekerja sebagai PSK. Jumlah ini belum termasuk

PSK anak yang banyak beroperasi di diskotik atau pub yang jumlahnya

diperkirakan mencapai 500 orang. Menurut Achmad Sofian (dalam Suyanto,

2010), dari Pusat Kajian dan Perlindungan Anak Medan, mekanisme yang

(5)

bujuk rayu atau penipuan, tetapi tak jarang dengan cara penyekapan dan ancaman

kekerasan fisik.

Sementara itu fenomena eksploitasi seksual komersil itu sendiri sudah

lama menjadi fenomena yang menyedihkan, bahkan sudah tercatat sejak tahun

1979-an. Sofian dan Rinaldi (dalam Suyanto, 2010) menyebutkan bahwa lebih

dari 200 ABG dijadikan pelacur dihotel GM Tanjung Balai. Belakangan sudah

mulai bermunculan pula istilah-istilah baru yang menjurus pada dunia esek-esek, baik yang melibatkan orang dewasa maupun anak-anak.

Banyak faktor yang menyebabkan remaja tetap bertahan melakoni

profesinya sebagai pelacur, Saptari (dalam Suyanto, 2010) menyebutkan paling

tidak ada tiga faktor yang menyebabkan seorang remaja yang menjadi korban

eksploitasi tetap bertahan menjadi pelacur. Pertama, karena keadaan ekonomi atau

kondisi kemiskinan. Kedua, karena pandangan tentang seksualitas yang cenderung

menekankan arti penting keperawanan sehingga tidak memberi kesempatan bagi

perempuan yang sudah tidak perawan kecuali masuk kedalam peran yang

diciptakan untuk mereka. Ketiga, karena system paksaan dan kekerasan.

Dikota Medan, faktor yang menjadi penyebab remaja menjadi korban

eksploitasi seksual komersil adalah gaya berpacaran remaja yang tidak sehat,

berpacaran di luar batas hingga tidak perawan lagi atau dikecewakan pacar. Faktor

lainnya adalah gaya hidup konsumerisme, yakni ingin mengikuti gaya hidup

(6)

sebagainya, yang terakhir adalah pengaruh dari teman bergaul (ECPAT, 2008).

Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh Anis (18 tahun) :

“Pertama aku tau kek-kek gini ni tahun 2006. Aku diajak sama kawan genk aku di sekolah untuk ikut mereka ke diskotik untuk dugemlah. Teros, aku mabuk kak, kan gak sadar aku, teros disitulah kawan-kawan aku

nawarin aku ke tamu diskotik tuh. Untuk “dipakek”, kata mereka.

Besoknya pas aku bangun tidor, aku liat berapa lembar uang ratusan didekat aku. Sampe sekarang aku masih gituan terus sambil sembunyi-sembunyi, karna bujukan kawan-kawan aku sama karna masalah ekonomi. (Komunikasi personal, 21 Februari 2011).

Remaja yang menjadi korban eksploitasi seksual komersil dan terjerumus

ke dalam dunia prostitusi akan sulit untuk keluar dari kondisi tersebut. Tak jarang

ketika menghadapi kondisi sulit itu banyak remaja yang mengalami trauma

psikologis ketika remaja menyadari dirinya telah menjadi korban eksploitasi

seksual komersil (Suyanto, 2010). Hal itu muncul karena remaja mengalami

peristiwa yang menimbulkan reaksi stress traumatik. individu mengalami stres

traumatik karena mengalami suatu pengalaman mental yang luar biasa

menyakitkan, melampaui ambang kemampun rata-rata orang untuk

menanggungnya, sehingga mengakibatkan perubahan drastis dalam kehidupan

seseorang, mengubah persepsi terhadap kehidupannya, mengubah perilaku

seseorang, dan emosi seseorang (Yoga, dalam Sulistyaningsih, 2009). Dampak

traumatis remaja yang mengalami eksploitasi seksual komersil tersebut tergambar

dari hasil wawancara :

“sampai sekarang aku masih takut kalo ketemu orang baru yang gak aku

(7)

tertekannnya aku kak, kaya najis gitu aku diliatin orang-orang dekat sini. Padahal aku pun gak mau jadi kayak gitu.”

(Komunikasi Personal, 30 Februari 2011).

Trauma psikologis yang dialami oleh remaja yang menjadi korban

eksploitasi seksual komersil tersebut memiliki dampak yang merugikan kesehatan

mental karena menurunkan fungsi fisik, emosi, pikiran, dan hubungan

interpersonal pada remaja itu sendiri (Suyanto, 2010). Untuk bisa pulih kembali

biasanya diperlukan waktu sekitar 6 hingga 16 bulan dan berapa lama waktu yang

diperlukan seorang remaja tergantung pada karakteristik individu dan sifat

peristiwa traumatik yang dialami. Namun pada sebagian orang stress traumatik

yang berat dapat berlangsung selama bertahun-tahun bahkan dapat berlanjut

menjadi gangguan yang lebih berat (Sulistyaningsih, 2009).

“lama jugak lah dulu aku gak mau keluar rumah, duh dah macam orang gilaklah kak, mana tetanggaku omongannya bikin pedih kuping. Disuruh ibuk lah aku sholat kak, dzikir. Pertama-tama gak ku buat, mana ada guna pikirku kak, dah jerit-jerit ajalah aku dulu kak, udah hampir dibawa ke RSJ, pokoknya sampe hari ni aku masih ingat-ingat itu terus. Tapi setelah setahun, setelah pindah rumah barulah aku bisa agak gak kayakorang

gilak lagi kak.”

(Komunikasi Personal, 30 Februari, 2011).

Untuk mengatasi trauma yang dialaminya, remaja menggunakan berbagai

macam pilihan. Ada individu yang mampu bertahan kemudian pulih dari situasi

traumatis tersebut secara efektif, namun ada pula individu lain yang gagal karena

tidak berhasil keluar dari situasi yang tidak menguntungkan. Tugade & Fredrikson

(dalam Rezki Rahayu, 2008) mengungkapkan kemampuan untuk melanjutkan

hidup setelah mengalami hal yang tidak menyenangkan menggambarkan adanya

(8)

Menurut Sulistyaningsih (2009) resiliensi individu muncul ketika individu

berhasil mengatasi kesulitan hidup (adversity). Bagaimana individu tersebut menghadapi permasalahan dirinya sebagai korban sebuah tragedi dipengaruhi oleh

bagaimana dirinya menyikapi kesulitan yang dihadapinya dengan segala

kelebihan dan keterbatasannya.

Ketika individu menghadapi kesulitan akan menampilkan beberapa reaksi

yang berbeda (Siebert, dalam Nurfadilah, 2006). Ada remaja yang menggunakan

cara-cara negatif ketika tidak tahan menjadi korban eksploitasi seksual komersil,

misalnya dengan luapan amarah secara verbal dan disertai dengan tindakan untuk

menyakiti dirinya sendiri. Remaja tersebut menjadi tidak berdaya untuk

melakukan coping dengan apa yang telah dialaminya. Selain itu, ada pula remaja yang cenderung melihat dirinya sebagai korban dan menempatkan orang lain

sebagai penyebab “hancurnya” hidup mereka sehingga perasaan dan pikiran

mereka cenderung negatif. Namun, ada juga individu yang dengan cepat berupaya

untuk mengatasi peristiwa traumatis tersebut dan kembali kepada realita yang

dihadapinya, tetap berkarya dengan kekuatan dan keterbatasan yang mereka miliki

dalam kondisi sulit, yang membuat meraka menjadi lebuh kuat, dan lebih baik

dari sebelumnya (Sulistyaningsih, 2009).

Proses resiliensi itu sendiri, dimulai ketika individu pada usia berapa pun

mengalami kesulitan hidup, ia memiliki faktor-faktor pelindung (protective factors) yang dapat melindunginya terhadap dampak negatif. Individu tersebut mampu mengatasi kesulitan hidup tanpa mengalami gangguan apabila ia memiliki

(9)

berada dalam keseimbangan, apabila dengan segala kekuatan emosi dan

mekanisme coping yang sehat berusaha mengatasi kesulitan hidupnya. Tanpa perlindungan yang cukup, individu akan menuju proses gangguan psikologis,

disebabkan ketidakmampuan atau coping mengatasi masalah tersebut (Sulistyaningsih, 2009).

Dalam proses resiliensi terdapat dua hal penting yakni, kesulitan hidup

tidak secara otomatis mengakibatkan disfungsi, tetapi sebaliknya justru dapat

menghasilkan sejumlah pencapaian bagi individu yang mengalaminya. Selain itu

reaksi terhadap kesulitan hidup yang pada awalnya bersifat disfungsional, lama

kelamaan dapat membaik. Dengan kata lain, resiliensi merupakan proses adaptasi

yang diawali dengan adanya stress dapat membuka kemungkinan terjadinya

perubahan pribadi menuju pada suatu yang lebih baik (Sulistyaningsih, 2009)

Benard (dalam Rezki Rahayu, 2008) menjelaskan lebih jauh bahwa

kapasitas resiliensi ini ada pada setiap orang. Artinya, kita semua lahir dengan

kemampuan untuk dapat bertahan dari penderitaan, kekecewaan, atau tantangan.

Menurut Grotberg (2000), upaya mengatasi kondisi-kondisi yang tidak

menyenangkan tersebut dan mengembangkan resiliensi, sangat bergantung pada

pemberdayaan tiga faktor dalam diri individu, yaitu I have (Aku punya) termasuk didalamnya hubungan yang dilandasi oleh kepercayaan penuh, dorongan untuk

mandiri; I am (Aku ini) termasuk didalamnya disayang dan disukai oleh banyak orang, bangga dengan diri sendiri, mencintai, empati, dan kepedulian pada orang

(10)

masalah, menjalin hubungan-hubungan yang saling mempercayai. Interaksi ketiga

faktor tersebut juga mempengaruhi lamanya proses resiliensi seseorang.

Seperti yang sudah diungkapkan di atas setiap orang memiliki kapasitas

resiliensi dalam dirinya. Begitu juga dengan remaja putri yang menjadi korban

eksploitasi seksual komersil, yang telah berhasil keluar dari dari masalah tersebut,

namun masyarakat akan cenderung memberikan label negative kepada remaja

yang menjadi korban eksploitasi seksual tersebut. Selain itu remaja korban

eksploitasi seksual mengalami pengabaian hak yang dilakukan oleh orang dewasa

demi kepentingan nista dari orang dewasa tersebut. Remaja yang menjadi korban

eksploitasi seksual tersebut merupakan individu yang tak berdaya dan tak mampu

menolak paksaan, deraan dan trauma dari orang dewasa (Suyanto, 2001).

Eksploitasi seksual komersil yang dialami remaja putri dapat membuat

remaja korbannya menjadi terpuruk dan mengalami kerugian, namun dapat

memberikan keuntungan kepada pelaku eksploitasi seksual. Dengan

menggunakan power yang dimiliki pelaku eksploitasi, mereka bisa melakukan eksploitasi terhadap remaja yang menjadi korbannya (Koentjoro, 2004). Perkin &

Bennet (dalam Koentjoro, 2004) mengatakan jika remaja putri yang mejadi

korban eksploitasi seksual dan kemuadi menjadi pelacur hal itu merupakan

produk dari lingkungan dan kondisi sosial mereka. Perlakuan sosial, seperti

rayuan lelaki terhadap seorang remaja karena daya tarik seksualnya sehingga

(11)

Remaja yang menjadi korban eksploitasi seksual harus berjuang

menghadapi pengalaman traumatis yang dialaminya untuk menjadi individu yang

resilien. Tetapi, resiliensi dapat terlihat dengan jelas apabila seseorang berada

pada tantangan atau masalah. Menurut Bobey (dalam Rezki Rahayu, 2008)

semakin seseorang berhadapan dengan banyak tantangan dan hambatan, maka

akan semakin terlihat apakah ia telah berhasil mengembangkan karakteristik

resiliensi dalam dirinya atau tidak. Remaja yang resilien akan memandang

peristiwa stressful yang dialaminya merupakan hal yang dapat mendorong dirinya untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan baru, menilai kembali prioritas

yang dimilikinya, belajar mengenai pandangan baru, dan memperoleh

kekuatan-kekuatan baru.

Dengan adanya resiliensi pada remaja putri yang menjadi korban

eksploitasi seksual komersil dapat membuat mereka memiliki sikap yang positif

untuk menjadi seorang yang percaya diri dalam berinteraksi dengan orang lain.

Selain itu dapat merubah penderitaan menjadi tantangan, kegagalan menjadi

keberhasilan dan keputusasaan menjadi kekuatan. Resiliensi dapat merubah

seorang korban menjadi lebih kuat dan mendorong orang berkembang dan

menjadi lebih baik.

“ya, kami pindah rumah kata ibuk biar aku gak malu sama tetangga -tetangga kak. Alhamdulilah aku dapat dukungan banyaklah dari ayah, ibuk, pokoknya sodara-sodara. Kan itu cuman yang aku butuhkan kak, sekarang aku dah bisa kaya dulu lagi, malah mungkin lebih, udah makin rajin sholat, udah makin punya prinsip lah kak, ambil hikmahnya kak. Ya walaupun butuh waktu lama kak, setahunan lebih..”

(12)

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melihat mengenai

resiliensi pada remaja putri korban eksploitasi seksual komersil serta mengetahui

faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian resiliensi pada remaja putri korban

eksploitasi seksual di kota Medan.

I.B. Rumusan Masalah

Melalui penjabaran di atas, perumusan masalah pada penelitian ini adalah :

1. Bagaimana gambaran resiliensi pada remaja putri korban eksploitasi

seksual komersil khususnya sektor prostitusi

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian resiliensi pada remaja putri

korban eksploitasi seksual komersil sektor prostitusi

I.C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran mengenai

resiliensi pada remaja putri yang menjadi korban eksploitasi seksual komersil.

I.D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis dalam

memberikan informasi dan perluasan teori di bidang psikologi

perkembangan, yakni mengenai resiliensi pada remaja putri. Selain itu,

penelitian ini diharapkan dapat memperkaya sumber kepustakaan

(13)

nantinya diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan penunjang untuk

penelitian selanjutnya.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Peneliti Selanjutnya

Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan informasi bagi

peneliti-peneliti lainnya yang berminat meneliti lebih lanjut mengenai

resiliensi pada remaja putri.

b. Bagi Kepolisian Wilayah Hukum Sumatera Utara

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi aparat

Kepolisian Wilayah Hukum Sumatera Utara khususnya Unit Penanganan

Perempuan dan Anak, sehingga dapat melakukan pemeriksaan serta

penanganan yang tepat sehingga dapat membuat remaja putri tidak merasa

takut saat memberikan keterangan kepada pihak kepolisian.

c. Bagi Orang tua

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada para

orangtua sehingga diharapkan orangtua dapat memberikan dukungan yang

maksimal kepada remaja yang telah menjadi korban eksploitasi seksual

komersil sektor prostitusi. Dengan menyediakan lingkungan yang dapat

memfasilitasi tercapainya resiliensi remaja putri korban eksploitasi seksual

komersil sektor prostitusi.

d. Bagi Lembaga Swadaya Masyarakat dan Lembaga Terkait Lainnya

Bagi LSM dan lembaga terkait lainnya yang menangani

(14)

informasi dari penelitian ini dapat digunakan untuk memberikan

pendampingan dan penanganan yang bersifat suportif kepada korban

eksploitasi seksual sektor prostitusi.

I.E. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dari penelitian ini adalah :

BAB I : Pendahuluan

Pendahuluan berisi mengenai latar belakang permasalahan,

perumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat

penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : Landasan Teori

Landasan teori berisi teori yang digunakan sebagai landasan

penelitian

BAB III : Metodologi Penelitian

Pada bab ini dijelaskan alasan digunakannya pendekatan kualitatif,

responden penelitian, teknik pengambilan responden, teknik

pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data serta prosedur

penelitian.

BAB IV : Analisa Dan Interpretasi Data

Analisa Data dan Interpretasi berisi pendeskripsian data responden,

(15)

yang dilakukan dan pembahasan data-data penelitian sesuai dengan

teori yang relevan dan diskusi.

BAB V : Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan, dan Saran yang menjelaskan kesimpulan dari

penelitian ini, diskusi mengenai hasil penelitian yang ada serta

Referensi

Dokumen terkait

(Učenje Spenglera o ciklusima koji se ponavljaju realizirat će se, na primjer, u strukturi cirkusa s više arena.) Upravo zato su prikazi cirkuskih siţea u umjetnosti često

,p.54- 65 通常, 様々な外科的手術の後は集中治療室にて患者の経過観察を行う。その際, 少数の患者は急性腎障害acute kidney injury

– (seventy two billion, one hundred thirty three million, nine hundred eight thousand and four hundred Rupiah) as cash dividends of Rupiah 5 (five Rupiah) per share to

Menurut Peneliti Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh diperngaruhi oleh gejala penurunan nafsu makan pada klien karena nutrisi merupakan kesehatan

Dengan surat ini saya menyatakan bahwa, saya bersedia/tidak bersedia* untuk menjadi responden dalam penelitian dengan judul “ Hubungan Tugas Keluarga Denga

[r]

[r]

Rangkaian Pengendali Seven Segment adalah rangkaian interface menggunakan port paralel melalui konektor DB25, sehingga Rangkaian dapat dikontrol melalui komputer secara