BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tidur
2.1.1. Definisi Tidur
Tidur merupakan keadaan berkurangnya tanggapan dan interaksi dengan lingkungan yang bersifat reversibel dan berlangsung cepat.6 Literatur lain mendefinisikan tidur sebagai suatu keadaan yang teratur, berulang, dan reversibel, yang ditandai dengan keadaan yang relatif diam dan meningginya nilai ambang rangsang terhadap stimulus dari luar bila dibandingkan dengan keadaan terjaga.
Secara konseptual, tidur bukanlah semata-mata hilangnya kewaspadaan dan persepsi, atau terhentinya proses sensorik tetapi merupakan hasil dari kombinasi penarikan stimulus aferen dari otak dan aktivasi dari area otak spesifik. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa tidur merupakan suatu proses aktif.
3
Tidur merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Tidur juga merupakan komponen yang sangat penting bagi pertumbuhan fisik dan perkembangan intelektual anak. Kebutuhan dan kebiasaan tidur berbeda-beda berdasarkan usia.
4
5,6,8,11 Kebiasaan tidur meliputi pengaturan rutinitas tidur, konsistensi waktu tidur
dan bangun, ruangan tidur yang sesuai, menghindari produk-produk berkafein, dan penyesuaian aktivitas fisik sehari-hari. Kebiasaan tidur yang baik adalah jembatan penghubung antara kebutuhan biologis tidur dengan kondisi lingkungan yang mempengaruhi tidur.
Secara umum, terjadi perubahan kebutuhan tidur seiring dengan bertambahnya usia. Neonatus membutuhkan tidur sekitar 16 jam perhari, sedangkan anak usia 3 sampai 5 tahun membutuhkan tidur 11 jam perhari. Anak yang lebih tua
(usia 10 sampai 11 tahun) memerlukan tidur sekitar 10 jam perhari, sedangkan orang dewasa membutuhkan waktu tidur 7.5 sampai 8 jam perhari.4-6
Tabel 2.1. Kebutuhan tidur sesuai usia Usia
Proses tidur dan bangun dipengaruhi oleh keseimbangan dua sistem yaitu sistem tidur (hypnogenic system) dan sistem bangun (arousal system) yang terdapat di otak. Pusat-pusat tidur di otak antara lain:3
1. Nukleus raphe yang terletak di dalam medula dan di bawah pons. Dari struktur tersebut akan tersebar serabut-serabut saraf ke formasio retikularis, talamus, neokorteks, hipotalamus dan korteks limbik.
2. Daerah inti traktus solitarius di medula dan pons.
2.1.3. Stadium Tidur
Tidur terdiri dari dua stadium, yaitu tidur Rapid Eye Movement (REM) dan tidur
NonRapid Eye Movement (NREM). Pada stadium REM, aktivitas korteks cukup
intensif, sedangkan pada stadium NREM, aktivitas korteks menghilang ditandai dengan gelombang amplitudo besar berfrekuensi rendah pada elektroensefalografi.3,4,12
Stadium NREM dibagi menjadi empat fase, yaitu fase N1 sampai N4. Fase pertama adalah fase dimana orang mulai merasa mengantuk dan tertidur. Pada kondisi ini, orang tersebut masih mudah dibangunkan. Pada elektroensefalografi akan dijumpai gelombang alfa dengan penurunan voltase. Fase pertama berlangsung selama 30 detik sampai 5 menit. Fase kedua merupakan fase tidur yang lebih dalam. Gambaran elektroensefalografi menunjukkan gelombang tidur (sleep
spindle) dengan frekuensi 14-18 Hz. Orang tersebut masih mudah dibangunkan
Pada individu tanpa gangguan tidur, fase NREM dan REM akan bergantian secara siklik. Setiap siklus berlangsung dalam kurun waktu tertentu, bergantung pada usia seseorang. Balita memiliki siklus tidur sekitar 45 menit, anak sampai usia 10 tahun memiliki siklus tidur 60 menit sedangkan anak usia 10 tahun hingga dewasa memiliki siklus tidur sekitar 90-110 menit. Perubahan siklus ini penting diketahui karena beberapa aktivitas motorik abnormal terjadi akibat gangguan siklus tersebut. Perbandingan tidur REM dan NREM juga berubah sesuai dengan usia. Pada neonatus, dijumpai perbandingan yang sama antara tidur REM dan NREM. Seiring bertambahnya usia, proporsi tidur REM akan semakin meningkat.3,4,6
2.2. Gangguan Tidur
2.2.1. Definisi dan Epidemiologi Gangguan Tidur
Gangguan tidur adalah kumpulan gejala yang ditandai gangguan dalam jumlah, kualitas, dan waktu tidur pada seseorang.5 Prevalensi gangguan tidur pada anak dan dewasa secara keseluruhan mencapai 30%. Sekitar 35% sampai 45% diantaranya terjadi pada usia 2 sampai 18 tahun.3 Penelitian menunjukkan terjadinya peningkatan prevalensi remaja yang mengalami gangguan tidur dari tahun ke tahun. Penelitian yang dilakukan oleh Ohida, dkk di Jepang menunjukkan prevalensi gangguan tidur pada remaja berada pada kisaran 15.3% sampai 39.2%. Bruni, dkk juga melakukan penelitian mengenai gangguan tidur pada remaja dan melaporkan angka prevalensi sebesar 73.4%.11 Chevrin, dkk melaporkan bahwa gangguan tidur sering terjadi pada anak usia sekolah dengan jenis gangguan tidur yang paling sering dijumpai adalah gangguan memulai dan mempertahankan tidur (10% sampai 20%). Penelitian yang dilakukan di Beijing oleh Liu, dkk melaporkan prevalensi gangguan tidur sebesar 21.1% pada anak berusia 2-12 tahun. Sebuah survei yang dilakukan di Perancis, Inggris, Jerman, dan Italia menunjukkan bahwa 25% gangguan tidur yang dialami anak usia sekolah adalah insomnia.3 Di Indonesia, Haryono, dkk melakukan penelitian untuk mengetahui prevalensi gangguan tidur pada remaja. Penelitian tersebut dilakukan di Jakarta Timur dengan angka prevalensi sebesar 62.9%.13
2.2.2. Jenis Gangguan Tidur
keadaan terjaga, terjaga sebagian, atau transisi tahapan tidur. Gangguan tidur sekunder diakibatkan oleh gangguan psikiatrik, neurologis, dan masalah medis lainnya. International Statistical Classification of Diseases and Related Health
Program (ICD)-10 mengklasifikasikan gangguan tidur menjadi nonorganic sleep
disorders (F51) dan organic sleep disorders (G47). Kategori F51 selanjutnya akan dibagi menjadi disomnia dan parasomnia.3,4,6,12,14
2.2.3. Disomnia
Menurut Bruni, dkk yang dijabarkan dalam kuesioner Sleep Disturbance Scale for
Children, gangguan tidur dikategorikan menjadi gangguan memulai dan
mempertahankan tidur, gangguan pernafasan saat tidur, gangguan kesadaran saat tidur, gangguan transisi tidur-bangun, gangguan somnolen berlebihan, dan hiperhidrosis saat tidur.5,15 Gangguan memulai dan mempertahankan tidur, gangguan pernafasan saat tidur, gangguan transisi tidur-bangun, dan gangguan somnolen berlebihan merupakan jenis gangguan tidur yang termasuk ke dalam disomnia.3
Gangguan memulai dan mempertahankan tidur adalah jenis tersering dari gangguan tidur pada anak. Gangguan ini juga dikenal dengan insomnia primer. Pada gangguan memulai dan mempertahankan tidur, anak biasanya memerlukan perlakuan khusus untuk dapat memulai tidur. Perlakuan tersebut misalnya anak harus diayun-ayun atau orang tua harus berada di dekat anak. Anak menjadi sangat bergantung pada perlakuan tersebut dan bila perlakuan tersebut tidak diberikan, anak tidak akan dapat tertidur dan selalu merasa tidak nyaman setiap kali waktu tidur tiba.2,3,12,16,17
tidur yang menyebabkan rasa mengantuk berlebihan. Obstructive sleep apnea (OSA) adalah penyebab tersering dari gangguan pernafasan saat tidur pada anak. Kondisi ini berkaitan erat dengan obesitas, hipertrofi adenotonsilar, kelemahan otot faring posterior, dan penyakit motorneuron. Kondisi ini ditandai dengan mendengkur atau pernafasan yang berbunyi saat tertidur. Terkadang dijumpai fase henti nafas, gelisah, dan berkeringat. Gejala yang timbul bervariasi mulai dari ringan sampai berat dan dapat bersifat persisten atau intermiten.4,12,13,16,17
Gangguan somnolen berlebihan disebut juga narkolepsi, terutama dialami pada awal masa remaja atau usia dewasa muda sebelum 30 tahun. Gangguan somnolen berlebihan ditandai dengan:3,12,16,17,18
1. Mengantuk yang hebat (serangan tidur) di siang hari dengan kecenderungan berkali-kali tidur sepanjang hari
2. Katapleksi, yaitu hilangnya tonus otot dipicu oleh emosi yang mengakibatkan imobilitas selama beberapa detik atau menit
3. Halusinasi hipnagogik yang merupakan halusinasi visual (pengelihatan) atau auditoar (pendengaran) yang dialami pada permulaan tidur
4. Paralisis tidur, yaitu tidak mampu bergerak pada waktu awal bangun
2.2.4. Etiologi Gangguan Tidur
Etiologi gangguan tidur dibagi menjadi etiologi internal dan eksternal. Etiologi internal berasal dari diri anak itu sendiri, misalnya kebiasaan tidur yang buruk, kondisi medis tertentu, konsumsi kafein dan alkohol serta karakteristik temperamen individu. Etiologi eksternal berasal dari luar, seperti suara bising, suhu yang panas, dan pemukiman yang padat. Etiologi-etiologi tersebut akan menstimulasi ascending reticular activating system (ARAS) dan menyebabkan keadaan terjaga.6,11,13
Pendapat lain menyatakan bahwa gangguan tidur pada remaja disebabkan oleh faktor medis maupun nonmedis. Faktor medis yang mempengaruhi antara lain gangguan neuropsikiatri dan penyakit lain seperti asma atau obesitas. Faktor nonmedis seperti jenis kelamin, status sosioekonomi keluarga, gaya hidup, dan lingkungan juga berperan penting pada terjadinya gangguan tidur.3,6,14
2.2.5. Diagnosis Gangguan Tidur
Penilaian gangguan tidur dilakukan secara subjektif dan objektif. Penilaian subjektif diperoleh dari laporan orang tua atau anak itu sendiri. Penilaian objektif dilakukan dengan menggunakan alat seperti polisomnografi dan aktigrafi. Penilaian subjektif dilakukan dengan menggunakan kuesioner. Penilaian ini bersifat penapisan karena baku emas diagnosis tetap harus menggunakan polisomnografi. Namun, seringkali peralatan tersebut tidak tersedia di fasilitas kesehatan ditambah harganya yang mahal dan pengoperasiannya yang tidak mudah sehingga digunakan kuesioner untuk membantu mendiagnosis gangguan tidur pada anak.3,4,6,9,13
lengkap mengenai perubahan keadaan tidur-bangun sehingga dijadikan baku emas dalam penelitian tentang tidur. Aktigrafi sendiri hanya memberikan informasi mengenai hilangnya aktivitas motorik saat tidur dan kemunculannya kembali saat terjaga. Namun demikian, korelasi anatara PSG dan ACG dilaporkan cukup baik dalam menilai gangguan tidur.3,5,6
Terdapat beberapa jenis kuesioner untuk menilai kualitas tidur pada anak seperti Sleep Disturbance Scale for Children, Child Sleep Questionnaire, dan
Children’s Sleep Habits Questionnaire. Sleep Disturbance Scale for Children
merupakan kuesioner yang berfungsi sebagai uji tapis untuk gangguan tidur pada anak. Kuesioner tersebut diisi oleh orang tua anak dengan mengingat pola tidur anak mereka selama enam bulan terakhir. Dengan kuesioner tersebut dapat dideteksi gangguan tidur dan jenis gangguan tidur pada anak yang berusia 6 sampai 15 tahun. Kuesioner ini sering digunakan karena memiliki keuntungan antara lain prinsip analisis komponen yang kuat dan normalitas yang distandarisasi.4-6,13,19
Sleep Disturbance Scale for Children telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia dan diuji validitasnya oleh Natalisa, dkk terhadap pelajar sekolah menengah pertama di Bekasi. Penelitian tersebut melaporkan bahwa Sleep
Disturbance Scale for Children atau Skala Gangguan Tidur untuk Anak memliki
sensitivitas 71.4% dan spesifisitas 54.5% dalam mendiagnosis gangguan tidur pada remaja dibandingkan dengan baku emas.5
2.2.6. Penatalaksanaan Gangguan Tidur
1. Memberikan penjelasan kepada orang tua mengenai perilaku tidur yang normal pada anak sesuai dengan usia anak. Penjelasan hendaknya disertai dengan dukungan bahwa orang tua dapat mengatasi masalah tidur pada anak tersebut. 2. Mengatasi masalah transisi tidur dengan baik. Masalah transisi tidur yang sering
dijumpai antara lain pemisahan dengan orang tua, pemisahan dengan benda transisional seperti selimut atau boneka, dan kebiasaan lain seperti minum susu sebelum tidur. Masalah transisi tidur hendaknya ditangani secara bertahap dengan kesabaran sehingga tidak menimbulkan respon negatif dari anak.
3. Menetapkan rutinitas tidur yang teratur. Orang tua hendaknya menentukan aturan-aturan tidur yang jelas terhadap anak sehingga lambat laun akan terbentuk kebiasaan tidur yang baik. Rutinitas tidur yang dimaksud mencakup jam tidur siang, jam tidur malam, waktu bangun pagi, dan sebagainya.
Penatalaksanaan farmakologis yang paling tepat untuk mengatasi gangguan tidur belum ditemukan. Beberapa jenis obat-obatan yang digunakan dalam mengatasi gangguan tidur antara lain:3,4,20
1. Difenhidramin, yang bersifat sedatif ringan.
2. Golongan benzodiazepin dan antidepresan trisiklik, untuk mengatasi mimpi buruk dan gangguan teror tidur yang terjadi secara terus menerus.
2.2.7. Komplikasi Gangguan Tidur
Gangguan tidur akan berdampak pada kesehatan dan fungsi sosial anak. Gangguan tidur akan menyebabkan perubahan mood, gangguan fungsi kognitif, gangguan performa motorik, peningkatan sekresi kortisol, depresi, migrain, peningkatan tonus simpatis, dan perubahan tekanan darah.5,6,21-23 Di sisi lain, gangguan tidur akan menyebabkan peningkatan angka ketidakhadiran di kelas serta meningkatkan risiko penggunaan rokok, dan alkohol.5 Gangguan tidur pada anak juga dilaporkan akan menyebabkan peningkatan risiko terjadinya gangguan tidur dan gangguan kesehatan mental pada usia dewasa nanti.24-26
Penelitian yang menghubungkan antara gangguan tidur dengan kemampuan kognitif telah danyak dilakukan. Penelitian-penelitian tersebut menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kedua variabel tersebut. Dilaporkan bahwa adanya gangguan tidur akan menyebabkan penurunan kemampuan kognitif pada anak. Hal ini diduga akibat kerusakan neuronal dan gangguan perkembangan otak anak pada fase kritis.Intervensi terhadap gangguan tidur dilaporkan memiliki dampak positif pada kemampuan kognitif anak di sekolah. Hal ini memperkuat adanya hubungan antara gangguan tidur dengan kemampuan kognitif.18,22,26-28
2.3. Tekanan Darah
2.3.1. Mekanisme Pengaturan Tekanan Darah
Tekanan darah dipengaruhi oleh cardiac output dan tahanan vaskular perifer.
Cardiac output sendiri dipengaruhi oleh kontraktilitas dan preload. Kontraktilitas dipengaruhi oleh aktivitas saraf otonom, yang terdiri dari sistem saraf simpatis dan parasimpatis. Preload dipengaruhi oleh volume cairan di sirkulasi dan konstriksi vena. Perubahan pada komponen-komponen tersebut akan mempengaruhi tekanan darah.32
Gambar 2.2. Mekanisme pengaturan tekanan darah
2.3.2. Pengukuran Tekanan darah
Menurut The Fourth Report and The American Heart Association, anak berusia 3 tahun atau lebih seharusnya menjalani pengukuran tekanan darah setiap kali berkunjung ke fasilitas kesehatan. Hal ini bertujuan untuk memantau anak-anak
Tekanan Darah
Cardiac Output Tahanan
Vaskular Perifer
Kontraktilitas
Preload
Volume Intravaskular
dengan peningkatan tekanan darah karena dapat meningkatkan risiko terjadinya hipertensi dan penyakit kardiovaskular lain di kemudian hari. Namun, praktek tersebut jarang dilakukan di Amerika Serikat sendiri, maupun di Indonesia.32
Pengukuran tekanan darah dilakukan dengan metode auskultasi menggunakan manometer. Manset yang digunakan disesuaikan dengan ukuran lengan anak. Manset sebaiknya memiliki cuff berukuran panjang 80% sampai 100% lingkar lengan dan lebar sekitar 40% lingkar lengan. Ukuran yang terlalu kecil akan menyebabkan peningkatan palsu dari tekanan darah yang terukur dan sebaliknya. Pengukuran dilakukan pada posisi anak duduk dan di lingkungan yang tenang. Lengan kanan disangga setentang jantung. Manset dililitkan pada lengan kanan pada pertengahan akromion dan olekranon kemudian cuff dipompa. Tekanan darah sistolik ditandai dengan munculnya bunyi Korotkoff 1 dan tekanan darah diastolik ditandai dengan bunyi korotkoff 5.32
2.4. Hubungan Gangguan Tidur dengan Tekanan Darah
Masih terdapat kontroversi seputar hubungan gangguan tidur dengan tekanan darah. Penelitian yang dilakukan oleh Tavasoli, dkk di Iran adalah salah satu penelitian yang menunjukkan tidak adanya hubungan antara gangguan tidur dengan tekanan darah.8 Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh Au, dkk, Horne, dkk, dan Nisbet, dkk menunjukkan terdapat hubungan antara kualitas tidur dengan tekanan darah pada anak.9,26,33 Meskipun sebagian besar peneliti sepakat bahwa terdapat hubungan antara gangguan tidur dengan tekanan darah, belum ada penelitian terkait perbedaan tekanan darah berdasarkan jenis gangguan tidur yang dialami anak.6,8
vasokonstriksi pembuluh darah sehingga meningkatkan resistensi vaskular perifer. Selain itu, aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron akan menyebabkan retensi cairan sehingga meningkatkan volume intravaskular dan meningkatkan preload. Stress yang timbul akibat gangguan tidur akan menyebabkan peningkatan sekresi kortisol dan aktivasi sistem saraf simpatis berlebihan. Kondisi tersebut akan menyebabkan peningkatan kontraktilitas jantung. Akumulasi dari kondisi di atas akan mengakibatkan perubahan tekanan darah menjadi lebih tinggi.6,8,22
Peningkatan tekanan darah dapat berada dalam kisaran normal, prehipertensi dan hipertensi. Prehipertensi pada anak didefinisikan sebagai rerata tekanan darah sistolik dan/atau tekanan darah diastolik berada dalam rentang persentil 90 dan 95 pada kurva tekanan darah menurut usia, jenis kelamin, dan tinggi badan. Dikatakan hipertensi apabila rerata tekanan darah sistolik dan/atau diastolik lebih tinggi atau sama dengan persentil 95 pada tiga kali pengukuran. Terkadang dijumpai hipertensi
white coat dimana tekanan darah yang terukur berada pada atau lebih besar dari
persentil 95 saat berada di fasilitas kesehatan dan menjadi normal jika berada di luar lingkungan medis.32
Peningkatan tekanan darah pada anak dapat menyebabkan hipertensi saat anak tersebut dewasa nanti. Selain itu, risiko menderita penyakit lainnya seperti aterosklerosis dan penyakit jantung koroner akan semakin meningkat pada usia dewasa. Hal ini menekankan pentingnya evaluasi tekanan darah pada anak secara rutin untuk mendeteksi peningkatan tekanan darah lebih cepat dan mencegah timbulnya dampak lebih lanjut.9,29,33,34
The Fourth Report and the American Heart Association merekomendasikan
faktor risiko seperti prematuritas, penyakit jantung bawaan, penyakit ginjal, keganasan, dan penggunaan obat-obatan yang dapat mempengaruhi tekanan darah. Pemeriksaan tekanan darah hendaknya dilakukan pada setiap kunjungan ke praktisi kesehatan termasuk dokter anak. Hal ini dilakukan untuk mendeteksi kejadian hipertensi pada anak sedini mungkin.32
2.5. Kerangka Konsep Penelitian
: variabel yang diteliti
Gambar 2.3. Kerangka konsep penelitian Gangguan Tidur Faktor
Demografis
Sekresi hormon vasoaktif
Aktivasi sistem renin angiotensin
aldosteron
Sekresi kortisol dan aktivasi sistem saraf
simpatis
Vasokonstriksi Peningkatan volume intravaskular
Peningkatan kontraktilitas
jantung