• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Kasus Abses Leher Dalam Departemen THT-KL di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2012-2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gambaran Kasus Abses Leher Dalam Departemen THT-KL di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2012-2014"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Leher

Pada daerah leher terdapat beberapa ruang potensial yang dibatasi oleh

fasia servikal. Fasia servikal dibagi menjadi dua yaitu fasia superfisial dan

fasia profunda. Kedua fasia ini dipisahkan oleh otot plastima yang tipis dan

meluas ke anterior leher. Otot platisma sebelah inferior berasal dari fasia

servikal profunda dan klavikula serta meluas ke superior untuk berinsersi di

bagian inferior mandibula (Gadre AK, Gadre KC, 2006).

Ruang leher dalam dapat dikelompokan menurut modifikasi dari

Hollingshead berdasarkan penampang panjang leher yaitu ruang retrofaring,

danger space, ruang prevertebral dan ruang viseral vaskular. Berdasarkan

lokasinya di atas atau di bawah tulang hyoid. Ruangan yang berada di atas

tulang Hyoid, dibagi menjadi ruang submandibula, ruang parotis, ruang

peritonsil, ruang mastikator, ruang parafaring dan ruang temporal. Sedangkan

yang terdapat di bawah os hyoid terdiri dari ruang pretrakea dan ruang

(2)

Gambar 2.1 Potongan aksial leher setinggi orofaring (Gadre AK, Gadre KC,

2006)

Gambar 2.2 Potongan obliq leher (Gadre AK, Gadre KC, 2006)

Fasia superfisial terletak dibawah dermis. Ini termasuk sistem

muskuloapenouretik,yang meluas mulai dari epikranium sampai ke aksila dan

dada, dan tidak termasuk bagiandari daerah leher dalam. Fasia profunda

mengelilingi daerah leher dalam terdiri dari 3 lapisan (Gadre AK, Gadre KC,

2006; Abshirini H, 2010), yaitu

1. lapisan superfisial

2. lapisan tengah

3. lapisan dalam

2.1.1 Ruang potensial leher dalam

Ruang potensial leher dalam dibagi menjadi ruang yang melibatkan

daerahsepanjang leher, ruang suprahioid dan ruang infrahioid .

A. Ruang yang melibatkan sepanjang leher terdiri dari:

1) ruang retrofaring

2) ruang bahaya (danger space)

(3)

B. Ruang suprahioid terdiri dari:

1) ruang submandibula

2) ruang parafaring

3) ruang parotis

4) ruang mastikor

5) ruang peritonsil

6) ruang temporalis

C. Ruang infrahioid : ruang pretrekeal (Gadre AK, Gadre KC, 2006;Murray

A.D, Marcincuk M.C, 2010).

Gambar 2.3 Potongan Sagital Leher (Gadre AK, Gadre KC, 2006).

2.2 Definisi Abses Leher Dalam

Abses adalah kumpulan nanah (netrofil yang telah mati) yang

terakumulasi di sebuah kavum jaringan karena terjadinya proses infeksi

,paling sering bakteri dan parasit. Selain itu , dapat juga disebabkan oleh

(4)

merupakan mekanisme pertahanan jaringan dalam upaya mencegah

penyebaran atau perluasan daerah infeksi ke bagian lain dari tubuh

(DORLAND).

Abses leher dalam merupakan akumulasi nanah (pus) di dalam ruang

potensial di antara fasia leher dalam akibat penjalaran dari berbagai sumber

infeksi, seperti gigi, mulut, tenggorokan,sinus paranasal, telinga dan leher

(Ballenger JJ, 1991; Abshirini H, 2010).

2.3 Epidemiologi

Di Bagian THT-KL Rumah Sakit dr. M. Djamil Padang selama 1 tahun

terakhir (Oktober 2009 sampai September 2010) didapatkan abses leher

dalam sebanyak 33 orang, abses peritonsil 11 (32%) kasus, abses

submandibula 9 (26%) kasus, abses parafaring 6 (18%) kasus, abses

retrofaring 4 (12%) kasus, abses mastikator 3(9%) kasus, abses pretrakeal 1

(3%) kasus.

Murray et al (2011) di Inggris memperoleh 117 anak-anak yang mendapat

terapi abses leher dalam pada rentang waktu 6 tahun. Abses peritonsil 49%,

abses retrofaring 22%, abses submandibula 14%, abses bukkal 11%, abses

parafaring 2%, lainnya 2%.

Sakaguchi et al (1997), melaporkan pada 91 kasus infeksi leher dalam dari

tahun 1985 sampai 1994. Rentang usia dari umur 1-81 tahun, laki-laki

sebanyak 78% dan perempuan 22%. Infeksi peritonsil paling banyak

ditemukan, yaitu 72 kasus, diikuti oleh parafaring 8 kasus, submandibula,

sublingual dan submaksila masing-masing 7 kasus dan retrofaring 1 kasus.

Huang et al(2004) di departemen otolaringologi di National Taiwan

University Hospital,dalam penelitiannya pada tahun 1997 sampai 2002,

menemukan kasus infeksi leher dalam sebanyak 185 kasus. Abses

submandibula (15,7%) merupakan kasus terbanyak ke dua setelah abses

parafaring (38,4), diikuti oleh Ludwig’s angina (12,4%), parotis (7%) dan

retrofaring (5,9%).

Yang S.W et al (2008) pada Chang Gung Memorial Hospital di

(5)

sampai Oktober 2006 mendapatkan perbandingan antara laki-laki dan

perempuan 3:2. Lokasi abses lebih dari satu ruang potensial 29%. Abses

submandibula 35%, parafaring 20%, mastikator 13%, peritonsil 9%,

sublingual 7%, parotis 3%, infra hyoid 26%, retrofaring 13%, ruang karotis

11%.

Menurut Suebara A.B et al (2008) di Brazil, pada 80 penderita abses leher

dalam yang ditatalaksana di unit gawat darurat dari tahun 1997 sampai 2003,

didapatkan penderita abses leher dalam pria lebih banyak dari pada wanita

dengan rincian 55 pria dan 25 wanita.Selain itu, letak abses leher dalam

terbanyak di submandibula sebanyak 36 orang, parafaring dan submandibula

13 orang, hanya parafaring sebanyak 15 orang, bagian posterior leher

sebanyak 5 orang. Sedangkan pada parafaring, mediastinal dan ruang pleural

sebanyak 5 orang, retrofaring sebanyak 1 orang, retrofaring dan mediastinal

sebanyak 1 orang, parafaring dan mediastinal sebanyak 1 orang, dan daerah

mastoid dan submandibula sebanyak 1 orang .

2.4 Patogenesis

Pembentukan abses merupakan hasil perkembangan dari flora normal

dalam tubuh. Flora normal dapat tumbuh dan mencapai daerah steril dari

tubuh baik secara perluasan langsung, maupun melalui laserasi atau perforasi.

Berdasarkan kekhasan flora normal yang ada di bagian tubuh tertentu maka

kuman dari abses yang terbentuk dapat diprediksi berdasar lokasinya.

Sebagian besar abses leher dalam disebabkan oleh campuran berbagai kuman,

baik kuman aerob, anaerob, maupun fakultatif anaerob (Chuang YC, Wang

HW, 2008; Yang S.W et al., 2008)

Pada kebanyakan membran mukosa, kuman anaerob lebih banyak

dibanding dengan kuman aerob dan fakultatif, dengan perbandingan mulai

10:1 sampai 10000:1. Bakteriologi dari daerah gigi, oro-fasial, dan abses

leher, kuman yang paling dominan adalah kuman anaerob yaitu, Prevotella,

Porphyromonas, Fusobacterium spp, dan Peptostreptococcus spp. Bakteri

aerob dan fakultatif adalah Streptococcus pyogenic dan Stapylococcus

(6)

infeksi tonsil dan gigi. Infeksi gigi dapat mengenai pulpa dan periodontal.

Penyebaran infeksi dapat meluas melalui foramen apikal gigi ke daerah

sekitarnya. Apek gigi molar I yang berada di atas mylohyoid menyebabkan

penjalaran infeksi akan masuk terlebih dahulu ke daerah sublingual,

sedangkan molar II dan III apeknya berada di bawah mylohyoid sehingga

infeksi akan lebih cepat ke daerah submaksila (Yang S.W, 2008, Rosen EJ,

2002).

Odontogenik merupakan penyebab abses leher dalam tersering (27,5%),

diikuti oleh penyakit tonsilar (22,5%), infeksi kulit (8,75%) dan infeksi

parotid (6,25%). Penyebab yang tidak jelas sebanyak 25 % pada 20 pasien.

Penyebab lainnya (10%) adalah tuberkulosis ganglionar dengan abses

sebanyak 3 orang, trauma lokal sebanyak 2 0rang, otitis media sebanyak 1

orang, infeksi kista thyroglossal sebanyak 1 orang {Suebara A.B et al., 2008).

(Tabel 2.1)

Tabel 2.1 Penyebab abses leher dalam (Suebara A.B et al., 2008).

Penyebab Jumlah %

infeksinya. Infeksi yang berasal dari orofaring lebih banyak disebabkan

(7)

stafilokokus. Infeksi yang berasal dari gigi biasanya lebih dominan kuman

anaerob seperti, Prevotella, Fusobacterium sppPenyebaran abses leher dalam

dapat melalui beberapa jalan yaitu hematogen, limfogen, dan celah antar

ruang leher dalam. Beratnya infeksi tergantung dari virulensi kuman, daya

tahan tubuh dan lokasi anatomi.Infeksi dari submandibula dapat meluas ke

ruang mastikor kemudian ke parafaring. Perluasan infeksi ke parafaring juga

dapat langsung dari ruang submandibula. Selanjutnya infeksi dapat menjalar

ke daerah potensial lainnya(Brook I, 2002; Parchiscar A, 2001).

2.5 Jenis-jenis Abses Leher Dalam 2.5.1 Abses peritonsil

Abses peritonsil merupakan abses yang paling banyak ditemukan,

dan biasanya merupakan lanjutan dari infeksi tonsil. Pada abses peritonsil

didapatkan gejala demam, nyeri tenggorok, nyeri menelan, hipersalivasi,

nyeri telinga dan suara bergumam. Pada pemeriksaan fisik didapatkan

arkus faring tidak simetris, pembengkakan di daerah peritonsil, uvula

terdorong ke sisi yang sehat, dan trismus. Tonsil hiperemis, dan kadang

terdapat detritus. Abses ini dapat meluas ke daerah parafaring.Untuk

memastikan diagnosis dapat dilakukan pungsi aspirasi dari tempat yang

paling fluktuatif (Murray A.D, 2010; Gadre A.K, Gadre K.C, 2006;

Ballenger JJ, 1991).

Etiologi

Abses peritonsil ini terjadi sebagai komplikasi tonsilitis akut atau

infeksi yang bersumber dari kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil.

Biasanya kuman penyebab sama dengan penyebab tonsilits, dapat

ditemukan kuman aerob dan anaerob (Fachruddin D, 2007).

Gejala dan Tanda

Selain gejala dan tanda tonilitis akut, terdapat juga

odinofagia(nyeri menelan) yang hebat, biasanya pada sisi yang sama juga

terjadi nyeri telinga (otalgia),mungkin terdapat muntah (regurgitasi), mulut

(8)

sukar membuka mulut(trismus), serta pembengkakan kelenjar

submandibula dengan nyeri tekan (Fachruddin D, 2007)..

Diagnosis

Palatunm mole tampak membengkak dan menonjol ke depan,

dapat teraba fluktuasi. Uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontralateral.

Tonsil bengkak, hiperemia, mungkin banyak detritus dan terdorong ke

arah tengah, depan, dan bawah (Fachruddin D, 2007).

2.5.2 Abses retrofaring

Abses retrofaring merupakan abses leher dalam yang jarang terjadi,

terutama terjadi pada anak dan merupakan abses leher dalam yang

terbanyak pada anak (Al Sahab B.MD, 2004). Pada anak biasanya abses

terjadi mengikuti infeksi saluran nafas atas dengan supurasi pada kelenjar

getah bening yang terdapat pada daerah retrofaring. Kelenjar getah bening

ini biasanya mengalami atropi pada usia 3-4 tahun.Pada orang dewasa

abses retrofaring sering terjadi akibat adanya trauma tumpul pada mukosa

faring, perluasan abses dari struktur yang berdekatan (Rao SVSM et al.,

2007; Al Sahab MD, 2004; Fachruddin D, 2007).

Etiologi

Keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya abses ruang retrofaring

ialah

1) Infeksi saluran napas atas yang menyebabkan limfadenitis

retrofaring

2) Trauma dinding belakang faring oleh benda asing seperti tulang

ikan atau tindakan medis, seperti adenoidektomi, intubasi

endotrakeal dan endoskopi

3) Tuberkulosis vertebra servikalis bagian atas (abses dingin)

(Fachruddin D, 2007)

Gejala dan tanda

Gejala utama abses retrofaring adalah nyeri dan sukar menelan.

Selain itu, juga terdapat demam, leher kaku, dan dapat pula timbul sesak

(9)

peradangan berlanjut sampai mengenai laring dapat timbul stridor.

Sumbatan ini dapat mengganggu resonansi suara sehingga terjadi

perubahan suara. Pada dinding belakang faring tampak benjolan, biasanya

unilateral. Mukosa terlihat bengkak dan hiperemis (Fachruddin D, 2007).

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya riwayat infeksi saluran

napas bagian atas atau trauma,gejala dan tanda klinik serta pemeriksaan

penunjang foto rontgen jaringan lunak leher lateral. Pada foto rontgen

akan tampak pelebaran ruang retrofaring lebih dari 7 mm pada dan dewasa

serta pelebaran retrotrakeal lebih dari 14 mm pada anak dan lebih dari 22

mm pada orang dewasa (Fachruddin D, 2007).

2.5.3 Abses Parafaring

Abses parafaring dapat terjadi setelah infeksi faring, tonsil,

adenoid, gigi, parotis, atau kelenjar limfatik. Pada banyak kasus abses

parafaring merupakan perluasan dari abses leher dalam yang berdekatan

seperti; abses peritonsil, abses submandibula, abses retrofaring maupun

mastikator. Gejala abses parafaring berupa demam, trismus, nyeri

tenggorok, odinofagi dan disfagia. Pada pemeriksaan fisik didapatkan

pembengkakan di daerah parafaring, pendorongan dinding lateral faring ke

medial, dan angulus mandibula tidak teraba. Pada abses parafaring yang

mengenai daerah prestiloid akan memberikan gejala trismus yang lebih

jelas (Abshirini H et al., 2010; Mckellop JA, 2010).

Etiologi

Ruang parafaring dapat mengalami infeksi dengan cara :

1) Langsung, yaitu akibat tusukan jarum pada saat melakukan

tonsilektomi dengan analgesia. Peradangan terjadi karena ujung

jarum suntik yang telah terkontaminasi kuman menembus lapisan

otot tipis (M.konstriktor faring superior) yang memisahkan ruang

(10)

2) Proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi, tonsil,

faring, hidung, sinus paranasal dan mastoid. Vertebra servikal juga

dapat merupakan sumber infeksi untuk terjadinya abses.

3) Penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring atau

submandibula (Fachruddin D, 2007).

Gejala dan tanda

Gejala klinis utama ialah trismus, indurasi atau pembengkakan di

sekitsr angulus mandibula, demam tinggi dan pembengkakan dinding

lateral faring, sehingga menonjol ke arah medial (Fachruddin D, 2007).

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, gejala dan

tanda klinis. Bila meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang

berupa foto rontgen jaringan lunak AP atau CT scan (Fachruddin D,

2007).

2.5.4 Abses Submandibula

Pasien biasanya akan mengeluh nyeri di rongga mulut, air liur

banyak, Pada pemeriksaan fisik didapatkan pembengkakan di daerah

submandibula, fluktuatif, lidah terangkat ke atas dan terdorong ke

belakang, angulus mandibula dapat diraba. Pada aspirasi didapatkan pus.

Ludwig’s angina merupakan sellulitis di daerah sub mandibula dengan tidak ada fokal abses. Biasanya akan mengenai kedua sisi submandibula,

air liur yang banyak, trismus, nyeri, disfagia, massa di submandibula,

sesak nafas akibat sumbatan jalan nafas oleh lidah yang terangkat ke atas

dan terdorong ke belakang (Murray A.D, 2011; Mckellop JA, 2010).

Etiologi

Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar liur

atau kelenjar limfa submandibula. Mungkin juga sebagian kelanjutan

infeksi ruang leher dalam lain.Kuman penyebab biasanya campuran

(11)

Gejala dan tanda

Pada Abses submandibula terdapat demam dan nyeri leher disertai

pembengkakan di bawah mandibula dan atau dibawah lidah, mungkin

berfluktuasi. Trismus sering ditemukan (Fachruddin D, 2007)

2.5.4 Angina ludovici

Angina ludovici adalah infeksi ruang submandibula berupa selulitis

dengan tanda khas berupa pembengkakan seluruh ruang submandibula,

tidak membentuk abses, sehingga keras pada perabaan submandibula.

Sumber infeksi seringkali berasal dari gigi atau dasar mulut yang

disebabkan oleh kuman aerob dan anaerob.Terdapat nyeri tenggorokan

dan leher, disertai pembengkakan di daerah submandibula yang tampak

hiperemis dan keras pada perabaan. Dasar mulut membengkak, dapat

mendorong lidah ke atas belakang, sehingga menimbulkan sesak nafas

karena sumbatan jalan nafas.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat sakit gigi, mengorek

atau cabut gigi, gejala dan tanda klinik. Pada “Pseudo Angina Ludovici” ,

dapat terjadi fluktuasi (Fachruddin D, 2007).

2.6 Pola kuman

Pada umumnya abses leher dalam disebabkan oleh infeksi campuran

beberapa kuman. Baik kuman aerob, anaerob maupun kuman fakultatif

anaerob. Kuman aerob yang sering ditemukan adalah stafilokokus,

Streptococcus sp, Haemofilus influenza, Streptococcus Peneumonia,

Moraxtella catarrhalis, Klebsiell sp, Neisseria sp. Kuman anaerob yang

sering adalah Peptostreptococcus, Fusobacterium dan bacteroides sp.

Pseudomanas aeruginosa merupakan kuman yang jarang ditemukan (Rosen

EJ, 2002; Kirse JD, Roberson DW, 2011)

Genus stafilokokus yang memiliki kepentingan klinis adalah

Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Staphylococcus

saprophyticus.Staphylococcus aureus bersifat patogen utama pada manusia

dan bersifat koagulase-positif. Dengan sifat koagulase ini memiliki potensi

(12)

sehingga menyulitkan tubuh untuk melakukan fagositosis. Infeksi S.

aureus dapat bersifat hebat, terlokalisir, nyeri membentuk supurasi dan cepat

sembuh dengan drainase pus (Jawetz, Melnick, Adelberg, 2007).

Staphylococcus epidermidis bersifat koagulase-negatif dan bersifat flora

normal pada tubuh manusia seperti di saluran nafas atas. Infeksi dapat terjadi

akibat adanya trauma atau inflantasi alat-alat, pada daya tahan tubuh yang

rendah. Supurasi lokal merupakan ciri khas infeksi stafilokokus baik

koagulase-positif maupun koagulase negatif. Dari fokus manapun, organisme

dapat menyebar melalui vena maupun limfatik ke bagian tubuh lain. Supurasi

dalam vena yang menimbulkan trombosis merupakan gambaran umum

penyebaran tersebut (Jawetz, Melnick, Adelberg, 2007)..

Streptokokus mempunyai berbagai group sesuai dengan sifat dari kuman

tersebut dan tidak ada satu sistem yang bisa mengklasifikasikannya secara

sempurna. Yang banyak berperan pada abses leher dalam adalah

Streptococcus viridan, Streptococcus α-haemolyticus, Streptococcus β

-haemolyticus, dan Streptococcus pneumonia. Temuan klinis akibat infeksi

streptokokus ini sangat bervariasi tergantung sifat biologi organisme

penyebab, respon imun penjamu, dan tempat infeksi. Salah satu yang

ditakutkan akibat infeksi streptokokus group A adalah terjadinya

glomerulonefritis dan demam reumatik akibat reaksi hipersensitivitas

terhadap kuman tersebut (Jawetz, Melnick, Adelberg, 2007)..

Entrobacteriaceae merupakan batang gram negatif yang besar dan

heterogen. Pembiakan pada agar MacConkey, dapat tumbuh secara aerob

maupun anaerob (fakultatif anaerob). Yang termasuk dalam famili ini antara

lain Klebsiella sp, Proteus sp, E. coli. Klebsiella pneumonia terdapat dalam

saluran nafas pada sekitar 5% individu normal. Proteus sp menimbulkan

infeksi pada manusia hanya bila kuman keluar dari saluran cerna (Jawetz,

Melnick, Adelberg, 2007)..

Pseudomonas aeruginosa merupakan patogen oportunistik dalam tubuh

manusia, bersifat invasif dan patogen nasokomial yang penting.

(13)

dibentuk akibat pseudomas merupakan pus yang hijau kebiruan (Jawetz,

Melnick, Adelberg, 2007).

Kuman anaerob yang sering ditemukan pada abses leher dalam adalah

kelompok batang gram negatif, seperti Bacteroides, Prevotella, maupun

Fusobacterium. Gejala klinis yang menandakan adanya infeksi anaerob

adalah: 1. Sekret yang berbau busuk akibat produk asam lemak rantai pendek

dari metabolisme anaerob. 2. Infeksi di proksimal permukaan mukosa. 3.

Adanya gas dalam jaringan. 4. Hasil biakan aerob negatif (Jawetz, Melnick,

Adelberg, 2007).

Bacteroides termasuk kelompok besar basilus gram negatif dan tampak

seperti batang yang tipis atau kokobasilus. Spesies bacteroides merupakan

flora normal di dalam usus dan bagian tubuh lainnya. Pada infeksi

bactroides sering dihubungkan dengan kuman-kuman lainnya.

Spesies Prevotella juga termasuk kelompok basilus gram negatif dan tampak

seperti batang yang tipis atau kokobasilus. Pada infeksi kuman ini sering

bersamaan dengan anaerob lainnya terutam peptostreptococcus.

Fusobacterium merupakan bakteri batang pleomorfik gram negatif.

Sebagian besar spesies menghasilkan asam butirat dan merubah treonin

menjadi asam propionat. Kuman ini sering diisolasi dari mukasa yang

terinfeksi. Kadang kuman ini menjadi satu-satunya kuman yang diisolasi dari

infeksi atau abses yang ada Spesies peptostreptococcus merupakan spesies

kokus gram positif dengan ukuran dan bentuk yang bervariasi. Ditemukan di

kulit dan merupakan flora normal di mukosa (Jawetz, Melnick, Adelberg,

2007).

Berbagai penelitian tentang kuman penyebab abses leher dalam telah

banyak dilakukan. Botin et al (2003) mendapatkan Peptostreptococus,

Streptococus viridan, Streptococus intermedius berkaitan dengan infeksi gigi

sebagai sumber infeksi abses leher dalam dan mendapatkan kuman aerob

(14)

Tabel. 2.2 Kuman Penyebab Abses leher dalam (Abshirini H, 2010),

Jenis Kuman Jumlah

pasien

% kultur

+

Streptococcus viridans 63 39

Staphylococcus epidermidis 46 28

Staphylococcus aureus 35 22

Bactroides Sp 22 14

Streptococcus β-haemolyticus 34 21

Klebsiella pneumonia 11 6,8

Streptococcus pneumonia 10 6,2

Mycobacterium tb 10 6,2

Anaerob gram negatif 9 5,5

Neisseria sp 8 4,9

Peptostreptococcus 8 4,9

Jamur 8 4,9

Enterobacter 7 4,3

Bacillus sp 6 3,7

Propionibacterium 6 3,7

Acinetobacter 5 3,1

Actinimicosis israelii 3 1,9

Proteus sp 3 1,9

Klepsiella sp 3 1,9

Bifidobacterium 3 1,9

Microaerophilic

streptococcus

3 1,9

Enterococcus sp 3 1,9

Moraxtella catarrhalis 2 1,2

(15)

Menurut Abshirini H (2010), pada 40 hasil kultur dari abses leher dalam

mendapatkan; stafilokokus 77%, Streptococcus β-haemolitycus 12,5%,

Entrobacter 12,5%, Streptococcus α-haemolyticus 7,5%, Klebsiellasp 5%,

Streptococcus non haemolyticus 5%, Pseudomonasaeruginosa 2,5%.

Parhiscar dkk,12 dari 210 pasien abses leher dalam (1981-1998), dilakukan

kultur terhadap 186 (88%) pasien, dan pada 162 (87%) pasien ditemukan

pertumbuhan kuman, 24(13%) pasien tidak terdapat pertumbuhan kuman.

Kuman terbanyak Streptococcus viridan 39%, Staphylococcus

epidermidis 28%. Kuman anaerob terbanyak adalah bacteroidessp 14%.

( tabel 2.2)

Tabel 2.3 Pola kelompok kuman pada abses leher dalam (Brook I, 2002)

Hasil jumlah kasus

Positif kuman 89

Kuman tunggal 38(42,7%) Gram positif aerob 14

Gram negatif aerob 21

Anaerob 3

Kuman campuran 51 (57,3%) Aerob saja 13

Gram positif saja 5

Gram negatif saja 1

Kedua gram 7

Anaerob saja 2

Campuran aerob-anaerob 36

Brook I (2002) menemukan kuman yang tumbuh pada 201 spesimen dari

abses kepala dan leher, hanya kuman aerob sebanyak 65 spesimen, hanya

kuman anaerob 65 spesimen, dan campuran keduanya 71 spesimen. Yang et

al(2008)dari 100 pasien abses leher dalam yang dilakukan kultur kuman

(16)

Streptococcus viridan, Klebsiella pneumonia, Stapylococcus aureus. Kuman

anaerob dominan Prevotella, Peptostreptococcus, dan Bacteroides. (Tabel

2.3)

Di Bagian THT-KL Rumah Sakit dr. M. Djamil Padang, periode April

2010 sampai dengan Oktober 2010 terdapat sebanyak 22 pasien abses leher

dalam dan dilakukan kultur kuman penyebab, didapatkan 16 (73%) spesimen

tumbuh kuman aerob, 6 (27%) tidak tumbuh kuman aerob dan 2 (9%) tumbuh

jamur yaitu Candida sp(Rusli Muhammad, 2012). (Tabel 2.4)

infeksi leher dalam ditemukan 88 (74,6%) spesimen mengandung kuman

anaerob. Kuman anaerob saja 19,5%, kuman aerob dan fakultatif saja 16,9%,

campuran kuman aerob dan anaerob 55,1%, dan 8,5% tidak tumbuh kuman.

Dari kuman anaerob tumbuh didapatkan gram negatif anaerob 50,8%, yaitu;

Bacteroides fragillis 3,9%, Fusobacterium sp 9,4%, Prevotella spp 30,5%,

lain-lain 7%, gram positif anaerob 49,2%, yaitu: Actinomycess spp 11,7%,

Eubacterium spp 11,7%, lactobacillus spp 6,2%, propionibacterium

spp 4,7%, kokus gram positif 10,9%

Tabel 2.4 Hasil kultur abses leher dalam Bagian THT-KL dr. M.Djamil

Padang periode April 2010-Oktober 2010 (kuman aerob) (Rusli Muhammad,

2012)

Jenis Kuman Jumlah %

Streptocccus α haemoliticus 6 37

Klepsiella sp 4 25

Enterobacter sp 3 19

Staphylococcusaureus 2 12,5

Staphilococcus epidermidis 1 6

E. Coli 1 6

Proteus vulgaris 1 6

(17)

2.7 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan abses leher dalam adalah dengan evakuasi abses baik

dilakukan dengan anestesi lokal maupun dengan anestesi umum. Antibiotik

dosis tinggi terhadap kuman aerob dan anaerob harus diberikan secara

parenteral. Hal yang paling penting adalah terjaganya saluran nafas yang

adekuat dan drainase abses yang baik (Fachruddin D, 2007; Chuang YC;

2006; Kirse JD, 2001)

Menurut Poe et al (1996) penatalaksanaan abses leher dalam meliputi

operasi untuk evakuasi dan drainase abses, identifikasi kuman penyebab dan

pemberian antibiotik. Hal ini akan mengurangi komplikasi dan mempercepat

perbaikan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan antibiotika

adalah efektifitas obat terhadap kuman target, risiko peningkatan resistensi

kuman minimal, toksisitas obat rendah, stabilitas tinggi dan masa kerja yang

lebih lama (Brook I, 2001). Untuk mendapatkan jenis antibiotik yang sesuai

dengan kuman penyebab, uji kepekaan perlu dilakukan. Jenis kuman yang

bervariasi menyulitkan dalam pemberian antibiotik tanpa adanya uji kepekaan

tersebut.

Pemberian antibiotik berdasarkan hasil biakan kuman dan tes

kepekaan antibiotik terhadap kuman penyebab infeksi. Biakan kuman

membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan hasilnya, sedangkan

pengobatan harus segera diberikan. Sebelum hasil kultur kuman dan uji

sensitifitas keluar, diberikan antibiotik kuman aerob dan anaerob secara

empiris. Yang SWet al (2008)melaporkan pemberian antibiotik kombinasi

pada abses leher dalam, yaitu; Kombinasi penecillin, clindamycin dan

gentamicin, kombinasi ceftriaxone dan clindamycin, kombinasi ceftriaxone

dan metronidazole, kombinasi cefuroxime dan clindamycin, kombinasi

penecillin dan metronidazole, masing-masing didapatkan angka perlindungan

(keberhasilan) 67,4%, 76,4%, 70,8%, 61,9%.

Penecillin merupakan obat terpilih untuk infeksi kuman streptokokus

dan stafilokokus yang tidak menghasilkan enzim penecilinase. Gentamicin

(18)

streptokokus, pneumokokus dan stafilokokus yang resisten terhadap penisilin.

Lebih khusus pemakaian clindamycin pada infeksi polimicrobial termasuk

Bacteroidessp maupun kuman anaerob lainnya pada daerah oral.

Berbagai kombinasi pemberian antibiotik secara empiris sebelum

didapatkan hasil kepekaan terhadap kuman penyebab.Pada kultur didapatkan

kuman anaerob, maka antibiotik metronidazole, clindamycin, carbapenem,

sefoxitine, atau kombinasi penecillin dan β-lactam inhibitor merupakan obat

terpilih (Brook I, 2002).

Metronidazole juga efektif sebagai amubisid. Aminoglikosida, quinolone

atau cefalosforin generasi ke III dapat ditambahkan jika terdapat kuman

enterik gram negatif.Cefalosporin generasi III mempunyai efektifitas yang

lebih baik terhadap gram negatif enterik. Dibanding dengan cefalosporin

generasi I, generasi III kurang efektif terhadap kokus gram positif, tapi

sangat efektif terhadap Haemofillus influenza, Neisseria sp dan

Pneumokokus. Ceftriaxone dan cefotaxime mempunyai efektifitas terhadap

streptokokus. Ceftriaxone sangat efektif terhadap gram negatif

dan Haemofillus sp, kebanyakan Streptococcus pneumonia dan

Neisseriaesp yang resisiten terhadap penesilin (Yang SW et al., 2008).

2.8 Komplikasi

Kejadian komplikasi abses leher dalam menurun sejak pemakaian

antibiotik yang lebih luas. Walau demikian tetap harus waspada terhadap

tanda-tanda komplikasi yang muncul, yang mungkin sangat berbahaya.

Obstruksi jalan nafas dan asfiksia merupakan komplikasi yang potensial

terjadi pada abses leher dalam terutama Ludwig’s angina. Ruptur abses, baik

spontan atau akibat manipulasi, dapat mengakibatkan terjadinya pneumonia,

abses paru maupun empiema (Fachruddin D, 2007; Rosen EJ, 2002).

Komplikasi vaskuler seperti trombosis vena jugularis dan ruptur arteri

karotis. Trombosis vena jugularis ditandai dengan adanya demam, menggigil,

nyeri dan bengkak sepanjang otot sternokleidomastoideus pada saat badan

membungkuk atau rukuk. Dapat terjadi bakteremia maupun sepsis. Kejadian

(19)

jugularis. Penyebab terbanyak adalah bakteri Fusobacterium necroforum, dan

pada penyalahgunaan obat suntik penyebab terbanyak adalah stafilokokus

(Rosen EJ, 2002)

Ruptur arteri karotis merupakan komplikasi yang jarang terjadi. Ini

biasanya terjadi pada abses parafaring bagian poststiloid, infeksi meluas ke

bungkus karotis. Mediastinitis dapat terjadi akibat perluasan infeksi melalui

viseral anterior, vaskuler viseral, maupun daerah retrofaring dan danger

space. Pasien akan mengeluhkan nyeri dada dan sukar bernafas (Rosen EJ,

Gambar

Gambar 2.1 Potongan aksial leher setinggi orofaring (Gadre AK, Gadre KC,
Gambar 2.3 Potongan Sagital Leher (Gadre AK, Gadre KC, 2006).
Tabel 2.1 Penyebab abses leher dalam (Suebara A.B et al., 2008).
Tabel. 2.2 Kuman Penyebab Abses leher dalam (Abshirini H, 2010),
+3

Referensi

Dokumen terkait

Resiko terjadinya serangan ulang Stroke (pecahnya pembuluh darah otak) berhubunga n dengan ketidakma mpuan keluarga dalam merawat anggota keluarga yang mennderita Hipertensi

Berdasarkan penjelasan diatas, dapat diketahui individu dengan harga diri tinggi lebih cenderung dapat menyelesaikan masalah dengan baik, terbuka dengan masukan orang

Kuesioner tersebut kemudian dianalisis menggunakan Partial Least Square (PLS). Hasil penelitian yang didapat adalah 4 hipotesis diterima, dan 4 hipotesis lainnya

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh sistem pengolahan tanah terhadap jumlah spora MVA dan infeksi akar tanaman padi gogo, mempelajari pengaruh

Hasil dari penelitian ini adalah pada konsentrasi filtrat jeruk nipis 0% didapatkan kadar protein 10.68%, konsentrasi 50% sebesar 8.50%, dan konsentrasi 75% sebesar

[r]

[r]

Dalam perpajakan di Indonesia menganut sistem self assessment yang berarti bahwa wajib pajak diberi kepercayaan dan tanggung jawab menghitung, memperhitungkan, membayar dan