BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Job insecurity
2.1.1 Definisi Job Insecurity
Keamanan kerja didefinisikan sebagai harapan-harapan karyawan terhadap
keberlangsungan pekerjaannya. Keamanan kerja tidak dapat dipisahkan dari
perhatian terhadap ketidakpastian kelanjutan pekerjaan seseorang dan situasi yang
tidak pasti yang dihasilkan dari adanya perubahan dalam organisasi seperti
downsizing, merger dan reorganisasi dan belum adanya penelitian yang sistematik yang dilakukan untuk menguraikan peran ketidakpastian dalam mempengaruhi
reaksi individual dari adanya perubahan organisasi, (Widodo,2010:27).
Agustina, (2006:4) menyatakan bahwa kenyamanan kerja merupakan hal
yang emergensi dalam dunia kerja, karena kenyamanan akan mempengaruhi
tingkat produktivitas seseorang dalam berkarya. Ketidaknyamanan yang dialami
oleh seseorang akan memicu terjadinya penurunan kualitas kerja yang dihasilkan
oleh seseorang. Ketidaknyamanan tersebut dapat disebabkan oleh suasana kerja,
demografi tempat kerja dan masih banyak lagi.
Job insecurity didefinisikan sebagai keadaan rasa tidak aman yang diakibatkan oleh adanya ancaman terhadap keberlangsungan pekerjaannya. Hal
ini menjelaskan bahwa job insecurity merupakan sebuah pengalaman internal individu yang dicirikan dengan adanya ketidakpastian terhadap keberlangsungan
pekerjaannya. Definisi operasional dari job insecurity adalah keseluruhan kekhawatiran atau rasa tidak aman tentang eksistensi keberlangsungan
perkembangan karir, dan penurunan penghasilan yang menyebabkan keadaan
distress, cemas dan tidak aman, (Yuliani, 2005: 218). Setiawan dkk (2006:5)
menambahkan, menurutnya job insecurity merupakan kondisi ketidakamanan kerja yang dialami oleh seseorang yang disebabkan oleh perubahan-perubahan
lingkungan (faktor eksternal) dan watak atau 5 kepribadian dan mental seseorang
yang mengalami kondisi tersebut (faktor internal).
Job insecurity merupakan kondisi ketidakberdayaan untuk mempertahankan kesinambungan yang diinginkan dalam situasi kerja yang
mengancam. Perasaan tidak aman akan membawa dampak pada job attitudes
karyawan, penurunan komitmen, bahkan keinginan untuk turnover yang semakin besar, (Wenning, 2005:136). Menurut Ito dan Brotheridge (2007:28) job insecurity dapat didefinisikan sebagai jumlah ancaman yang diterima pegawai terhadap fitur pekerjaan mereka. Job insecurity pada pegawai dapat ditimbulkan oleh adanya ketidakpastian terhadap fitur pekerjaan yang dirasakan pegawai.
Menurut Setiawan dkk (2007:15), job insecurity yang dirasakan pegawai dalam jangka panjang akan memberikan efek buruk pada performansi karyawan yang
berakibat pada penurunan produktifitas organisasi. Blau dkk (2010:450-460)
menambahkan bahwa pegawai yang merasakan job insecurity tinggi akan memiliki kepuasan kerja yangrendah.
Ratnaningsih, (2009:45) mengartikan job insecurity sebagai kondisi psikologis seorang karyawan yang menunjukkan rasa bingung atau rasa tidak
aman dikarenakan kondisi lingkungan yang berubah-ubah. Lingkungan yang
karyawan melihat besarnya peluang/kemungkinan dirinya kehilangan pekerjaan,
misalnya, karena perampingan atau penyusutan kerja atau kontrak kerja yang
sementara dalam suatu organisasi atau perusahaan, (Wite: 2005:3-5).
Menurut Rogelberg (2007:32), Setiap karyawan pada umumnya memiliki
ekspektasi yang tinggi terhadap perusahaan tempat dia bekerja. Namun ketika
dihadapkan pada situasi yang berubah-ubah, karyawan akan merasa hal semacam
ini dapat menciptakan suatu rasa tidak aman dalam pekerjaan mereka serta akan
muncul kekhawatiran terhadap keberlangsungan karir mereka, (Santosa,
2005:75-79).
Berdasarkan defenisi-defenisi diatas dapat disimpulkan job Insecurity
adalah suatu ketidakamanan kerja yang dirasakan berbeda oleh tiap individu di
dalam sebuah sebuah organisasi, dimana rasa tidak aman inilah yang nantinya
akan memicu terjadinya hal-hal yang lebih buruk lagi, bahkan didalam tahap lebih
lanjut lagi dapat terjadi penurunan kualitas pegawai, komitmen berkurang,
kepuasan kerja berkurang, kinerja tidak maksimal, dan bahkan dapat terjadi
turnover secara besar-besaran. Hal ini dapat di deteksi secara lebih dini, yaitu dengan cara melakukan pemeriksaan secara berkala terhadap karyawan, misalnya
dengan cara mengevaluasi kinerja karyawan secara bertahap, atau juga dapat
dilihat dari tingkat absensi karyawan. Karena semakin cepat perusahan dapat
mengetahui gejala ini lebih awal, perusahaan dapat segera mencari solusi agar
2.1.2 Dimensi Job Insecurity
Menurut Chirumbolo dan Hellgren, (2003:220-238) yang membedakan
dua bentuk ketidakamanan kerja yaitu ketidakamanan pekerjaan kuantitatif, yaitu
khawatir tentang kehilangan pekerjaan itu sendiri, dan perasaan khawatir
kehilangan pekerjaan. Sementara ketidakamanan pekerjaan objektif mengacu pada
perasaan potensi kerugian dalam kualitas posisi organisasi, seperti memburuknya
kondisi kerja, kurangnya kesempatan karir, penurunan gaji dan pengembangan.
Dimensi Job insecurity dalam penelitian di bagi menjadi 3 yaitu;
1. Pada aspek pekerjaan, misalnya tidak adanya promosi, tidak adanya kenaikan
upah, dan pengaturan jadwal yang berubah-ubah
2. Kemungkinan perubahan negatif terhadap keberlanjutan pekerjaan, misalnya
seperti timbulnya tingkat kekhawatiran dipecat dan juga tingkat kekhawatiran
kehilangan harkat dan martabat.
3. Kemungkinan perubahan negatif pada tingkat lingkungan kerja, misalnya
seperti adanya perubahan peraturan dalam perusahaan dan juga tingginya
tingkat persaingan.
4. Komitmen organisasi. Penelitian Pangat (2013:167), Wening (142:2005) dan
Darmawati dkk (2005:20), menemukan bahwa job insecurity juga mempengaruhi Komitmen kerja.
5. Kepuasan kerja. Pangat (2013:167-168), menunjukkan bahwa ada pengaruh
langsung dan signifikan dari job insecurity terhadap kepuasan kerja
perubahan tingkat organisasional, faktor individual dan karekteristik posisional
pegawai (jenis kelamin, umur, pengalaman dan status sosial), kepribadian dari
individu tersebut (locus of control) serta kemampuan mengatasi perubahan atau ancaman pekerjaan.
2.2 Komitmen organisasi
2.2.1 Definisi Komitmen organisasi
Yuliani (2005:218) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai suatu
keinginan yang kuat untuk menjadi anggota dari suatu organisasi tertentu.
Komitmen organisasi bisa tumbuh karena individu memiliki ikatan emosional
terhadap organisasi yang meliputi dukungan moral dan menerima nilai yang ada
serta tekad dari dalam diri untuk mengabsi kepada organisasi Bagi individu
dengan komitmen organisasi yang tinggi, pencapaian organaisasi merupakan hal
yang penting. Sebaliknya, bagi individu atau karyawan dengan komitmen
organisasi rendah akan mempunyai perhatian yang rendah pada pencapaian tujuan
organisasi dan cenderung berusaha memenuhi kepentingan pribadi.
Robbins dan Judge (2009:113) mengemukakan bahwa komitnen
organisasional adalah tingkat sampai mana seorang karyawan memihak sebuah
organisasi tersebut. Komitmen organisasi diperlukan sebagai salah satu indikator
kinerja karyawan. Menurut Darmawati dkk (2006:6) komitmen organisasi adalah
suatu keadaan dimana seseorang karyawan memihak organisasi tertentu serta
tujuan tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan keanggotaan dalam
organisasi tersebut. Komitmen organisasional yang tinggi berarti memihak
Ristiana (2013:67) menyatakan komitmen terhadap organisasi artinya
lebih dari sekedar keanggotaan formal, karena meliputi sikap menyukai organisasi
dan kesediaan untuk mengusahakan tingkat upaya yang tinggi bagi kepentingan
organisasi dalam mencapai tujuan. Komitmen organisasi (organizational commitment) merupakan salah satu tingkah laku dalam organisasi yang banyak dibicarakan dan diteliti, baik sebagai variabel terikat, variabel bebas, maupun
variabel mediator. Hal ini antara lain dikarenakan organisasi membutuhkan
karyawan yang memiliki komitmen organisasi yang tinggi agar organisasi dapat
terus bertahan serta meningkatkan jasa dan produk yang dihasilkannya, Ristiani
(2013:20).
Komitmen organisasi didasarkan pada perilaku yang terutama berasal dari
ketidakleluasaan menggunakan ketrampilan pekerja sehingga meninggalkan
organisasi yang mengikatnya. Saat komitmen dicontohkan sebagai fungsi
kepercayaan terhadap organisasi dan pengalaman kerja, karakteristik organisasi
harusnya menjadi faktor yang mempengaruhi kepercayaan pekerja terhadap
organisasi dan oleh karena itu pada level komitmen pekerja; karakteristik kerja
harusnya menjadi faktor utama yang mempengaruhi pengalaman kerja dan
kepuasan kerja dari pekerja, (Retnaningsih, 2007:25).
Komitmen organisasi memiliki pengertian sebagai suatu kesetiaan,
kepercayaan dan loyalitas yang dimiliki seseorang terhadap organisasi. Jadi
komitmen organisasi ini menggambarkan hubungan diantara individu dengan
organisasi, jika individu yang memiliki komitmen organisasi yang tinggi, maka ia
bekerja, (Surya,2013:18). Sedangkan Widodo (2010:28), mendefinisikan
komitmen organisasi sebagai sikap yang merefleksikan loyalitas karyawan pada
organisasi dan proses berkelanjutan dimana anggota organisasi mengekspresikan
perhatiannya terhadap organisasi dan keberhasilan serta kemajuan yang
berkelanjutan. Purba (2004:105-111) menyatakan komitmen merupakan
perwujudan dan kerelaan seseorang dalam bentuk pengikatan dengan diri sendiri
(individu) atau dengan organisasi yang digambarkan oleh besarnya usaha (tenaga,
waktu dan pikiran) untuk mencapai tujuan pribadi dan tujuan bersama.
Menurut Meyer dan Allen (2002:30), komitmen dapat juga berarti
penerimaan yang kuat individu terhadap tujuan dan nilai-nilai organisasi, dan
individu berupaya serta berkarya dan memiliki hasrat yang kuat untuk tetap
bertahan di organisasi tersebut. Menurut Hatmoko (2006), Komitmen
organisasional adalah loyalitas karyawan terhadap organisasi melalui penerimaan
sasaran-sasaran, nilai-nilai organisasi, kesediaan atau kemauan untuk berusaha
menjadi bagian dari organisasi, serta keinginan untuk bertahan didalam
organisasi. Greenberg dan Baron (2003:15), mengemukakan bahwa komitmen
kerja merefleksikan tingkat identifikasi dan keterlibatan individu dalam
pekerjaannya dan ketidaksediaannya untuk meninggalkan pekerjaan tersebut.
Komitmen adalah suatu situasi dimana seseorang (karyawan) memihak
pada satu organisasi tertentu, memahami tujuan-tujuannya, serta mempunyai
keinginan untuk tetap mempertahankan status keanggotaannya dalam organisasi
tersebut. Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa komitmen
apa yang telah diterima dan dialami karyawan tersebut di dalam perusahaan
dengan peleburan sepenuhnya didalam organisasi, ditunjukkan dengan besarnya
pengorbanan yang diberikan misalnya: waktu,tenaga,pikiran, bahkan materi sekali
pun, dan berusaha untuk melakukan berbagai macam cara termasuk mengajak
komponen perusahaan bersama-sama dalam mencapai tujuan dalam perusahaan
tersebut.
2.2.2 Jenis-jenis Komitmen Organisasi.
Komitmen organisasional adalah suatu ikatan psikologis karyawan pada
organisasi dengan ditandai adanya (Sopiah, 2008:158)
1. Kepercayaan dan penerimaan yang kuat atas tujuan dan nilai-nilai organisasi
2. Kemauan untuk mengusahakan tercapainya kepentingan organisasi
3. Dan keinginan yang kuat untuk mempertahankan kedudukan sebagai anggota
organisasi
Zurnali (2010:36) mendefinisikan masing-masing dimensi komitmen
organisasional tersebut sebagai berikut:
1. Komitmen afektif (affective commitment) adalah perasaaan cinta pada organisasi yang memunculkan kemauan untuk tetap tinggal dan membina
hubungan sosial serta menghargai nilai hubungan dengan organisasi
dikarenakan telah menjadi anggota organisasi.
2. Komitmen continue (continuance commitment) adalah perasaan berat untuk meninggalkan organisasi dikarenakan kebutuhan untuk bertahan dengan
pertimbangan biaya apabila meninggalkan organisasi dan penghargaan yang
3. Komitmen normatif (normative commitment) adalah perasaan yang mengharuskan untuk bertahan dalam organisasi dikarenakan kewajiban dan
tanggung jawab terhadap organisasi yang didasari atas pertimbangan norma,
nilai dan keyakinan karyawan.
2.2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi Komitmen organisasi
Faktor- faktor yang mempengaruhi komitmen karyawan pada organisasi, yaitu:
1. Faktor personal, misalnya usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pengalaman
kerja, kepribadian, dll;
2. Karakteristik pekerjaan, misalnya lingkup jabatan, tantangan, konflik, peran,
tingkat kesulitan dalam pekerjaan, dll;
3. Karakteristik struktur, misalnya besar / kecilnya organisasi, bentuk organisasi,
dan serikat pekerja
4. Pengalaman kerja. Pengalaman kerja karyawan sangat berpengaruh terhadap
tingkat komitmen karyawan pada organisasi
5. Kepuasan kerja. Menurut Wening (142:2005), Widodo (2010:82), Yuwono
(2005:34), Rini (2013:84), Retnaningsih (2007:20), dan Parwita (2013:63),
salah satu faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi adalah kepuasan
kerja
2.2.4 Manfaat Komitmen Organisasi
1. Karyawan yang benar-benar memiliki komitmen yang tinggi pada karyawan
akan menunjukkan tingkat partisipasi tertinggi dalam perusahaan
2. Memiliki keinginan yang lebih kuat untuk tetap bekerja pada organisasi yang
sekarang dan akan terus memberikan usaha yang maksimal dalam setiap
kinerjanya.
3. Pelibatan diri yang sepenuhnya dalam perusahaan, dan kerelaan hati dalam
memberikan sumbangsih demi kemajuan perusahaan yang sekarang.
2.3 Kepuasan kerja
2.3.1 Definisi Kepuasan kerja
Kepuasan kerja adalah tanggapan seseorang atas apa yang mereka
harapkan pada saat bekerja dengan apa yang mereka dapatkan setelah mereka
melakukan pekerjaan tersebut. Dimana hal ini berhubungan dengan situasi kerja,
kerjasama antar karyawan, imbalan dan faktor-faktor lainnya. Jika terdapat selisih
yang kecil antara apa yang diharapkan dengan apa yang didapatkan maka orang
tersebut akan merasa puas begitu pula sebaliknya, (Retnaningsih,2007:15).
Sedangkan Hasibuan ( 2009 : 202 ), menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah
sikap emosional yang menyenangkan dan mencintai pekerjaanya. Sikap ini di
cerminkan oleh moral kerja, kedisiplinan, dan prestasi kerja.
Kepuasan kerja (job statisfaction) karyawan harus diciptakan sebaik-baiknya supaya moral kerja, dedikasi, kecintaan, dan kedisiplinan karyawan
meningkat. Sikap ini dicerminkan oleh moral kerja, kedisiplinan, dan prestasi
perasaan positive tentang pekerjaan sebagai hasil evaluasi karakter-karakter
pekerjaan tersebut. Kinicki and Kreitner (1998:57) mendefinisikan kepuasan kerja
sebagai respon sikap atau emosi terhadap berbagai segi pekerjaan seseorang..
Husain (2008:48) menyatakan kepuasan kerja adalah seperangkat
perasaan pegawai tentang menyenangkan atau tidaknya pekerjaan mereka.
Apabila seseorang bergabung didalam suatu organisasi sebagai seorang pekerja, ia
membawa serta seperangkat keinginan, kebutuhan, hasrat, dan pengalaman masa
lalu yang menyatu membentuk harapan kerja. Kepuasan kerja menunjukkan
kesesuaian antara harapan seseorang yang timbul dan imbalan yang disediakan
pekerjaan, (Hasibuan, 2009:86). Pada dasarnya, kepuasan kerja merupakan hal
yang bersifat individu setiap individu memiliki tingkat kepuasan yang
berbeda-beda sesuai dengan sistem nilai-nilai yang berlaku pada dirinya, ini disebabkan
oleh adanya perbedaan pada dirinya dan masing-masing individu.Semakin banyak
aspek-aspek dalam pekerjaan sesuai dengan keinginan individu tersebut, maka
semakin tinggi tingkat kepuasan dirasakan dan sebaliknya,(Surya, 2013:21).
Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja
adalah suatu hal yang bersifat individu yang dimiliki karyawan, dimana karyawan
merasa senang dalam mengerjakan tugas, ada perasaan sukacita dan tentu saja
ikhlas dalam bekerja, karena merasa bahwa apa yang dikerjakannya memang
sesuai dengan keinginannya dan kemampuannya, dan merasa bahwa yang
dikerjakannya tidak sia-sia karena imbalan yang diterima setimpal dengan
usahanya. Tentu saja, jika karyawan memilikinya, akan mempunyai dampak
karyawan. Dengan memiliki kepuasan kerja akan berdampak pada perbaikan hasil
kinerja, karena seperti yang banyak dikatakan, apabila dalam suatu pekerjaan kita
melaksanakan dengan sepenuh hati, dengan kerelaan hati dan tanpa adanya
keterpaksaan, pekerjaan yang sesulit apapun akan terasa mudah dan akan sangat
meyenangkan.
2.3.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja
1. Pekerjaan itu sendiri
Tingkat dimana sebuah pekerjaan menyediakan tugas yang menyenangkan,
kesempatan belajar dan kesempatan untuk mendapatkan tanggung jawab.
2. Gaji
Kepuasan kerja merupakan fungsi dari jumlah absolute dari gaji yang diterima,
kesesuaian gaji terhadap pemenuhan kebutuhan, dan juga kesesuaian gaji
terhadap tanggung jawab yang diembankan.
3. Pengawasan
Adanya kesempatan bagi karyawan terhadap pekerjaan yang diembankan,
terkadang dengan adanya pengawasan yang berlebihan memunculkan persepsi
terhadap ketidakpercayaan pemimpin terhadap bawahan. Hubungan antara
bawahan dengan pihak pimpinan sangat penting artinya dalam meningkatkan
produktivitas kerja. Kepuasan kerja dapat ditingkatkan melalui perhatian dan
hubungan yang baik dari pimpinan kepada bawahan, sehingga karyawan akan
4. Kesempatan atau promosi
Karyawan memiliki kesempatan untuk mengembangkan diri dan memperluas
pengalaman kerja, dengan terbukanya kesempatan untuk menduduki posisi
yang berbeda dalam perusahaan.
5. Rekan kerja
Kebutuhan dasar manusia untuk melakukan hubungan sosial akan terpenuhi
dengan adanya rekan kerja yang mendukung karyawan. Jika terjadi konflik
dengan rekan kerja, maka akan berpengaruh pada tingkat kepuasan karyawan
terhadap pekerjaan. Penting bagi sesama karyawan untuk memiliki ikatan
kekeluargaan.
6. Komitmen organisasi. Penelitian Widodo (2010:82), Yuwono (2005:34), Rini
(2013:84), Retnaningsih (2007:20), Parwita (2013:63) menemukan bahwa
kepuasan kerja berpengaruh terhadap komitmen organisasi
7. Job insecurity. Menurut Yasadiputra dan Putra (2014:62), Reisel dkk (2010:85), Pangat (2013:167), dan Mahaputra dkk (2013: 96), menemukan
bahwa kepuasan kerja berpengaruh terhadap job insecurity.
Sesuai dengan kodratnya, kebutuhan manusia sangat beraneka ragam, baik
jenis maupun tingkatnya, bahkan manusia memiliki kebutuhan yang cenderung
tak terbatas. Artinya, kebutuhan selalu bertambah dari waktu ke waktu dan
manusia selalu berusaha dengan segala kemampuannya untuk memuaskan
kebutuhan tersebut. Kebutuhan manusia diartikan sebagai segala sesuatu yang
ingin dimilikinya, dicapai dan dinikmati. Untuk itu manusia terdorong untuk
dikatakan kerja. Kepuasan kerja pada dasarnya merupakan segala keadaan emosi
senang atau emosi positif yang berasal dari penilaian pekerjaan atau pengalaman
kerja karyawan setelah membandingkan hal-hal yang diperoleh dalam perusahaan
dengan apa yang diharapkan pada awal masuk kerja.
2.3.3 Teori tentang kepuasan kerja
Teori-teori Kepuasan Kerja Wexley dan Yuki (1987:120) mengatakan bahwa teori
kepuasan kerja ada tiga macam yang lazim dikenal, yaitu
1. Discrepancy theory, teori ini pertama kali dipelopori oleh Porter. Porter mengukur kepuasan kerja seseorang dengan menghitung selisih antara apa
yang seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan.
2. Equity theory, dikembangkan oleh Adam. Prinsip teori ini adalah bahwa orang akan merasa puas dan tidak puas, tergantung apakah orang tersebut merasakan
adanya keadilan (equity). Perasaan equity dan inequity atas situasi, diperoleh
orang dengan cara membandingkan diri sendiri dengan orang lain yang sekelas,
sekantor, dan pemerintah dipengaruhi oleh motivasi.
3. Two factor theory , Prinsip teori ini bahwa kepuasan kerja dan tidak kepuasan kerja merupakan dua hal yang berbeda, artinya kepuasan dan ketidakpuasan
terhadap pekerjaan tidak merupakan variabel kontinyu. Teori ini pertama kali
ditemukan oleh Herzberg dan membagi situasi yang mempengaruhi sikap
seseorang terhadap pekerjaan. Menurut teori ini, perbaikan gaji dan kondisi
2.3.4 Cara meningkatkan Kepuasan kerja
Meningkatkan kepuasan Kerja Menurut Riggio (2005) menyatakan
peningkatan kepuasan kerja dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Melakukan perubahan struktur kerja, misalnya dengan melakukan perputaran
pekerjaan (job rotation), yaitu sebuah sistem perubahan pekerjaan dari salah satu tipe tugas ke tugas yang lainnya (yang disesuaikan dengan job description).
2. Melakukan perubahan struktur pembayaran, perubahan sistem pembayaran ini
dilakukan dengan berdasarkan pada keahlian (skill-based pay), yaitu pembayaran di mana para pegawai digaji berdasarkan pengetahuan dan
keterampilan daripada posisi pegawai tersebut di instansi. Pembayaran kedua
dilakukan berdasarkan jasa (merit pay), sistem pembayaran di mana pegawai digaji berdasarkan kinerja.
3. Pemberian jadwal kerja yang fleksibel, dengan memberikan kontrol pada para
pegawai mengenai pekerjaan sehari-hari, yang sangat penting untuk yang
bekerja di daerah padat, di mana pegawai tidak bisa bekerja tepat waktu atau
untuk yang mempunyai tanggung jawab pada anak-anak.
4. Mengadakan program yang mendukung, perusahaan mengadakan
program-program yang dirasakan dapat meningkatkan kepuasan kerja para pegawai
2.4 Penelitian Terdahulu
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
No Peneliti Judul Penelitian Variabel Penelitian Teknik Analisis Organizational Justice Dan Job Insecurity Terhadap Job Bahwa Ada Hubungan Negatif Signifikan Antara
Kebersyukuran Dengan Job Insecurity Pada Karyawan Hal Ini Berarti Bahwa Semakin Tinggi Kebersyukuran Maka Semakin Rendah Job Insecurity Pada Karyawan.. Negatif Dan Signifikan Terhadap Turnover Intention Dan Job Insecurity Berpengaruh Positif Pengaruh Langsung Yang Lebih Besar Terhadap Kinerja Karyawan Dan Pengaruh Tidak Langsung Melalui Kepuasan Kerja Maupun Komitmen Organisasional.
Job Insecurity Memberikan Pengaruh Negatif Terhadap Kinerja Ketika Kondisi Kepuasan Kerjanya Rendah, Demikian Juga Sebaliknya. Job Insecurity Memberikan Pengaruh
No Role Ambiguity Dan Role Conflict Menjadi Anteseden
Hasil penelitian Dengan Pekerja Tetap. Begitu Juga Dengan Komitmen Organisasi. Selanjutnya, Ketidakamanan Kerja Tidak Memiliki Hubungan Antara Jenis Kontrak Dan Komitmen Afektif 7 William D.
10
Keluar Secara Negatif Dan Signifikan.
Job Insecurity, Kepuasan Kerja, Serta Komitmen Organisasi Berpengaruh Terhadap Turnover Intention. 2. Pada Hipotesis 2, Dapat Disimpulakan Bahwa Job
Kerangka berpikir merupakan model konseptual tentang bagaimana teori
berhubungan dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasikan sebagai masalah
yang penting. Sebuah kerangka pemikiran yang baik adalah kerangka yang
menjelaskan secara teoritis hubungan antara variabel yang akan diteliti. jadi
secara teoritis perlu dijelaskan hubungan antarvariabel independen dan variabel
dependen.
Berdasarkan penelitian terdahulu, Job insecurity sebagai variabel independen (X), akan mempengaruhi Kepuasan kerja (Y1) sebagai variabel
moderating dan Komitmen organisasi (Y2) sebagai variabel dependen. Kerangka
pemikiran memberikan manfaat berupa persepsi yang sama antara peneliti dengan
hipotesis-hipotesis risetnya secara logis. Berdasarkan pedoman masing-masing variabel,
yaitu job insecurty, Komitmen dan kepuasan kerja, selanjutnya perlu dikembangkan suatu kerangka pemikiran baik, apakah ada hubungan antara satu
variabel dependen yaitu job insecurity dan pengaruhnya terhadap Komitmen dan Kepuasan kerja.
Berdasarkan analisis tersebut dapat disusun suatu kerangka pemikiran
yang mempergunakan job insecurity (X) sebagai variabel dependen yaitu variabel bebas yang tidak dipengaruhi oleh variabel lain sedangkan Kepuasan kerja (Y1)
sebagai variabel moderating dan Komitmen organisasi (Y2) sebagai variabel
independen yaitu variabel terikat yang dipengaruhi oleh variabel lainnya.
Sumber: Pangat (2013), Widodo (2010),Yuwono (2005)
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual
2.6 Hipotesis
Berdasarkan kerangka pemikiran diatas dapat disimpulkan beberapa
hipotesis, yaitu:
1. Job insecurity berpengaruh secara signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan outsourcing PT.PLN (PERSERO) Pembangkit Sumatera Bagian Utara Sektor Pembangkitan Medan.
Job insecurity (X) Komitmen
organisasi (Y2)
2. Kepuasan kerja berpengaruh secara signifikan terhadap Komitmen
organisasi karyawan outsourcing PT.PLN (PERSERO) Pembangkit Sumatera Bagian Utara Sektor Pembangkitan Medan.