BAB II
SISTEM PENGENAAN PAJAK ATAS USAHA WARALABA DI INDONESIA
A.Defenisi dan Jenis Pajak di Indonesia
Apabila kita membicarakan sesuatu hal, maka pertama-tama yang sering
menjadi pertanyaan adalah pengertiannya. Demikian pula ketika membicarakan
pajak, kita tidak akan luput dari keinginan mengetahui untuk terlebih dahulu
mengenai apa sebenarnya pajak itu. Jika pembicaraan itu mengarah kepada
pengertian mengenai sesuatu hal, biasanya yang kemudian muncul adalah
batasan-batasan atau defenisi-defenisi. Dalam kaitannya dengan pajak, adabanyak
pengertian yang diberikan oleh para sarjana mengenai apa sebenarnya defenisi
pajak, berikut beberapa diantaranya.
Dr. Soeparman Soemahamidjaja memberikan defenisi pajak ialah iuran
wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan
norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif
dalam mencapai kesejahteraan umum.25 Istilah iuran wajib diharapkan dapat
memenuhi ciri bahwa pajak dipungut dengan bantuan dari dan kerja sama wajib
pajak, sehingga perlu di hindari penggunaan istilah “paksaan”. Apalagi bila suatu
kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, maka sebagai konkuensinya
Undang-Undang menunjukkan cara pelaksanaannya yang lain. Hal tersebut tidak hanya
dalam hal pajak saja, melainkan juga untuk hal-hal lain juga dikenal. Cara tersebut
dimaksudkan untuk memaksa.
25
Menurut pendapatnya, kiranya berlebihan apabila khusus menenai pajak
ini ditekannya pentingnya paksaan karena memberi kesan seakan-akan tidak ada
kesadaran masyarakat untuk melakukan kewajibannya.26Beliau memandang sudah cukup dengan mengatakan bahwa pajak merupakan “iuran wajib”. Dengan
demikian, tidak perlu diberikan tambahan kata “yang dapat dipaksakan”.
Sementara itu, mengenai “kontraprestasi” beliau mempunyai pendapat bahwa
justru untuk menyelenggarakan kontraprestasi itulah perlu dipungut pajak. Dalam
hal ini, pengeluaran-pengeluaran pemerintah diperuntukkan bagi penyelenggaraan
bidan keamanan, kesejahteraan, kehakiman, pembangunan dan hal-hal lain yang
merupakan pemberian kontraprestasi bagi pembayar pajak selaku anggota
masyarakat.
Prof. PJA. Adriani memberikan defenisi pajak sebagai berikut:
“Pajak adalah iuran kepada negara (yang dipaksakan) yang terhutang oleh
yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak
mendapatkan prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya
adalah untk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas
negara untuk meyelenggarakan pemerintahan”27.
Dari defenisi ini terlihat bahwa pajak diangap sebagai pengertian yang
meruapak species dari sebuah genus berupa pungutan. Dengan demikian,
pungutan lingkupnya lebih luas daripada pajak sendiri. Di dalam defeisi tersebut
terlihat bahwa beliau menekankan pada fungsi budgeter (keuangan) dari pajak,
sementara pajak sebenarnya masih mempunyai fungsi yang lain yang juga sangat
tidak kalah penting, yakni fungsi mengatur.
26 Ibid 27
Apa yang dikatakan oleh Prof Adriani sebagai “tidak mendapat prestasi
kembali dari negara” ialah prestasi khusus yang erat hubungannya dengan
pembayaran “iuran”. Prestasi dari negara seperti adanya hak untuk menggunakan
sarana dan prasarana umum, misalnya jalan, jembatan, perlindungan akan
keamanan dan ketertiban dari tentara dan polisi, tentu saja akan diperoleh para
pembayar pajak itu. Akan tetapi, dalam hal ini mereka memperoleh hal-hal
tersebut tidak secara individual, dan juga tidak ada hubungannya secara langsung
dengan pembayaran pajak itu. Hal tersebut dapat dibuktikan dari adanya
kenyataan bahwa mereka yang tidak ikut membayar pajak pun juga mengenyam
kenikmatan tersebut.
Dalam bukuDe Economische Betekenis der Belastingen mengatakan
pengertian pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui
norma-norma umum dan yang dapat dipaksakan, tanpa adanya kontraprestasi yang dapat
ditunjukkan dalam hal yang indivdual, maksudnya adalah untuk membiayai
pengeluaran pemerintah.28 Defenisi pajak yang dikemukakan oleh Prof. Smeets
terseut terlihat menonjolkan adanya fungsi budgeter dari pajak, yakni untuk
memasukkan uang ke dalam kas negara. Dalam defenisi tersebut, sebagaimana
defenisi dari Prof Adriani, ditunjukkan bahwa pajak tidak mengenal adanya
kontraprestasi individual yang terkait dengan pembayaran pajak yang dilakukan
oleh pembayaran pajak.
Dari berbagai defenisi diatas, dapat ditarik adanya beberapa ciri atau
karakteristik dari pajak, yaitu:29
28
Ibid, hlm. 4
29
1. Pajak dipungut berdasarkan Undang-Undang atau Peraturan-Peraturan
pelaksanaannya.
2. Terhadap pembayaran pajak, tidak ada tegen prestasi yang dapat
ditunjukkan secara langsung.
3. Pemungutnya dapat dilakukan baik oleh pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah, karena itu ada istilah pajak pusat dan pajak daerah.
4. Hasil dari uang pajak dipergunakan untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran pemerintah baik pengeluaran-pengeluaran rutin maupun pengeluaran-pengeluaran
pembanguan, dan apabila terdapat kelebihan maka sisanya
dipergunakan untuk public investment.
5. Disamping mempunai fngsi sebagai alat untuk memasukkan dana dari
rakyat ke dalam kas negara (fungsi budgeter), pajak juga mempunyai
fungsi lain yakni fungsi mengatur.
Disamping karakteristik, pajak juga mempunyai unsur. Unsur adalah
elemen/hal-hal yang membentuk sesuatu sehingga menyebabkan sesuatu itu ada.
Karena pajak merupakan bagian dari satu species yang sama maka mempunyai
unsur sebagai berikut:30
1. Ada masyarakat. 2. Ada Undang-Undang.
3. Pemungut pajak-Penguasa masyarakat. 4. Subjek pajak-objek pajak
5. Objek pajak-tatbestand.
6. Surat ketetapan pajak (Fakultatif).31
30
Ibid , hlm 7
31
Pajak dapat dikelompokkan ke dalam berbagai jenis dengan mempergunakan
kriteria-kriteria tertentu. Pajak dapat dilihat dari segi administratif yuridis, dari
segititik tolak pungutannya, berdasarkan sifatnya, dan berdasarkan kewenangan
pemungutannya.32
1. Dari segi administratif yuridis
Penggolongan pajak dari sisi ini akan menghasilkan apa yang sering
dikenal dengan pajak langsung dan pajak tidak langsung. Kedua jenis pajak
tersebt masih dapat dibagi lagi kedalam dua segi lain, yaitu sisi yuridis dan
ekonomis.
a. Dari segi yuridis
Suatu jenis pajak dikatakan sebagai pajak langsung apabila dipungut
secara peridik, yakni dipungut secara berulang-ulang, tidak hanya
satu kali pungut saja, dengan menggunakan penetapan sebagai
dasarnya. Sebagai contoh Pajak Penghasilan (PPh). Pajak
Penghasilan ini dipungut secara periodik setiap tahun atau setiap
masa pajak, dimana pemungutnya digunakan penetapan SPT.
Sedangkan pajak tidak langsung dipungut secara insidental) tidak
berulang-ulang). Jadi pajak tidak langsung hanya dipungut sesekali
ketika terpenuhi tatbestand seperti yang dikehendaki oleh ketentuan
Undang-Undang. Contoh pajak tidak langsung adalah Bea Materai
atau juga Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan jasa. Dalam Bea
materai, pengenaan pajak itu hanya dilakukan terhadap dokumen.
Ketika seseorang akan membuat dokumen itu, ia akan dikenakan
32
pajak, sehingga apabila tidak dibuat dokumen terhadap sebuah
perjanjian perdata misalnya, maka juga tidak dikenakan pajak.
Demikian pula dengan Pajak Pertambahan Nilai dimana pajak
dikenakan apabila terjadi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak. Apabila tidak terjadi
penyerarahan barang/jasa kena pajak, maka juga tidak dkenakan
pajak.
b. Segi Ekonomis
Suatu jenis pajak dikatakan sebagai pajak langsung apabila beban
pajak tidak dapat dilimpahkan kepada pihak lain. Jadi, dalam hal ini
antara pihak yang dikenai kewajiban atau ditetapkan untuk
membayar pajak, merupakan pihak yang sama. Sebagai contoh,
dalam Pajak Penghasilan, mereka yang menjadi wajib pajak adalah
mereka juga yang benar-benar membayar pajak atau memikul beban
pajaknya. Sedangkan pajak tidak langsung adalah suatu pajak
dimana pihak wajib pajak dapat mengalihkan beban pajaknya kepada
pihak lain. Atau dengan kata lain, antara mereka yang menjadi wajib
pajak dengan yang benar-benar memikul beban pajak tu merupakan
pihak yang berbeda. Sebagai contoh, untuk jenis pajak ini, dalam
Pajak Pertambahan Nilai, pajak ini dikenakan terhadap Pengusha
Kena Pajak, yakni pengusaha yang dalam lingkungan kerjanya
menyerahkan barang dan/atau jasa kena pajak. Dalam hal ini yang
menjadi wajib pajak adalah Pengusaha kena pajak itu sendiri,
konsumen yang membeli atau mengkonsumsi barang dan jasa dari
pengusaha yang bersangkutan. Dengan demikian, pengusaha kena
pajak menggeser/megalihkan beban pajaknya kepada pihak lain
sehingga dalam hal ini ada beberapa pihak. Pertama adalah mereka
yang menjadi penanggungjawan pajak (wajib pajak), yakni orang
yang secara formal yuridis diharuskan melunasi pajak apabila
padanya terdapat faktor-faktor atau kejadian-kejadian yang
menimbulkan sebab menurut Undang-Undang untuk dikenakan
pajak. Kedua adalah penanggung pajak, yakni orang yang dalam
faktanya memikul dulu beban pajaknya. Kemudian yang ketiga
adalah mereka yang ditunjuk oleh pembuat undang-undang, yang
menurut dan maksud dari pembuat undnag-undang harus dibebani
pajak.
2. Berdasarkan titik tolak pungutannya
Perbedaan pajak dengan menggunakan dasar titik tolak ungutannya ini
akan menghasilkan dua jenis pajak, yakni pajak subyektif dan pajak obyektif.
a. Pajak subyektif adalah pajak yang pengenaannya berpangkal pada
diri orang/badan yang dikenai pajak (wajib pajak). Pajak subjektif
dimulai dengan menetapkan orangnya baru kemudian dicari
syarat-syarat objeknya. Jadi, yang diperhatikan pertama kali adalah
subjeknya (badan/orang) baru kemudian objeknya. Di dalam Pajak
Penghasilan misalnya, didalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun
Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan ditentukan yang menjadi
subjek pajak adalah:
1) a) Orang Pribadi;
b)Warisan yang belum terbagi sebagai suatu kesatuan
menggantikan yang berhak;
2) Badan; dan
3) Bentuk usaha tetap
Siapa saja yang dikategorikan sebagai subjek pajak itu sudah
ditentukan, dan setelah mereka ini memenuhi syarat sebagai subjek
baru kemudian dilihat apakah mereka mempunyai/memperoleh
penghasilan yang memenuhi syarat utuk dikenai pajak.
b. Pajak Objektif, yaitu pajak yang pengenaannya berpangkal pada
objek yang dikenai pajak dan untuk mengenakan pajak harus dicari
subjeknya. Jadi, pertama-tama yang dilihat adalah objeknya yang
selain benda dapat pula berupa keadaan, peristiwa atau perbuatan
yang menyebabkan timbulnya kewajiban membayar, kemudian baru
dicari subjeknya (orang/badan) yang bersangkutan langsung tanpa
mempersoalkan apakah subjek itu sendiri beada di Indoneisa atau
tidak. Sebagai contoh , dapat dilihat dalam Pajak Penghasilan (PPh).
Di dalam Pajak Penghasilan dikenakan juga terhadap mereka yang
berada atau berkedudukan di luar Indonesia yang memperoleh
penghasilan dari Indonesia, baru kemudian dicari subjeknya yang
dimana yang pertama kali ditentukan adalah objeknya
(bangunannya) baru kemudian dicari siapa saja yang menjadi subjek
pajaknya.
3. Berdasarkan sifatnya.
Pembagian pajak dengan mendasar sifatnya ini akan memunculkan apa
yang disebut dengan pajak yang bersifat pribadi (persoonlijk) dan pajak
kebendaaan (zakenlijk). Pembagian yang seperti ini kurang subjektif dan objektif,
karena istilah pajak zakenlijk dapat disalah artikan dan ditafsirkan seolah-olah
dalam menetapkan pajak ini tidak diindahkan sama sekali pribadi seseorang wajib
pajak. Padahal dalam banyak hal, keadaan wajib pajak mempengaruhinya,
walaupun bersifat sekunder.33
a. Pajak yang bersifat pribadi (persoonlijk), yaitu pajak yang dalam
penetapannya memperhatikan keadaan dari diri serta keluarga wajib
pajak. Dalam penentuan besarnya utang pajak, keadaan dan
kemampuan wajib pajak diperhatikan. Misalnya, status wajib pajak
kawin/belum, berapa tanggungannya dan sebagainya sehingga
kemampuanbayar (ability to pay )dari wajib pajak itu diperhatikan
atau sering kali disebut dengan daya pikul wajib pajak itu sendiri.
Contoh dari pajak yang bersifat pribadi ini dapat dilihat dalam Pajak
Penghasilan,
b. Pajak yang bersifat kebendaan (zakenlijk) adalah pajak yang
dipungut tanpa memerhatikan diri dan keadaan si wajib pajak. Pajak
33
yang bersifat kebendaan ini umumnya merupakan pajak tidak
langsung. Sebagai contoh adanya Bea Materai.
4. Berdasarkan kewenangan pemungutannya
Dengan mendasarkan pada kewenagan pemungutannya, maka pajak
dapat digolongkan menjadi dua yakni pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat
(pajak pusat) dan pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah (pajak daerah).
a. Pajak pusat, yakni pajak yang kewenangan pemungutnya berada
pada pemerintah pusat. Yang tergolong jenis pajak ini antara lain,
Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPn), Pajak
Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Bea Materai dan cukai.
b. Pajak daerah yakni pajak yang kewenangan pemungutnya berada
pada pemerintah daerah, baik pada Pemerintah Daerah Tingkat I,
maupun Pemerintah Daerah Ttingkat II. Dalam Uundang-Undang
Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,
Pasal 2 menyebutkan bahwa:
Jenis pajak Provinsi terdiri dari:
1) Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas air
2) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas air 3) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bemotor
4) Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan air permukaan
Jenis pajak Kabupaten/Kota terdiri dari:
1) Pajak Hotel 2) Pajak Restoran 3) Pajak Hiburan 4) Pajak Reklame
5) Pajak Penerangan Jalan
Di samping jenis-jenis pajak yang telah disebutkan di atas, masih
dimungkinkan adanya pajak Kabupaten/Kota yang lain asalkan memenuhi
syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-Undang, misalnya pajak radio, pajak
pemotongan hewan dan lain-lain.
B.Fungsi Pajak Terhadap Perekonomian di Indonesia
Sebagaimana halnya perekonomian dalam suatu rumah tangga atau
keluarga, perekonomian negara juga mengenal sumber-sumber penerimaan dan
pos-pos pengeluaran. Pajak merupakan suatu sumber yang paling dominan dalam
penerimaan Negara, karena tanpa pajak tentunya akan berpengaruh pada sebagian
besar kegiatan Negara akan sulit untuk dilaksanakan. Dalam hal ini pentingnya
diadakan pajak karena tentunya banyak sekali kegunaan pajak bagi Negara,
diantaranya pajak dapat menunjang proses pembangunan dan perekonomian suatu
negara seperti membiayai pembangunan sarana umum seperti jalan, jembatan,
sekolah, rumah sakit atau puskesmas, kantor polisi dan sebagainya.
Dalam pembangunan sarana umum tersebut tentunya menggunakan uang
yang berasal dari pajak tersebut.Ada beberapa alasan mengapa kebutuhan akan
perpajakan itu timbul, diantaranya sistem administrasi perlu menyediakan barang
dan jasa kolektif, sistem administrasi perlu mengambil langkah-langkah untuk
mengatasi kegagalan-kegagalan tertentu dari mekanisme pasar sehingga
langkah-langkah yang diambil itu mencerminkan mekanisme perencanaan, alasan lain
yakni berkaitan dengan pemerataan dalam pembagian pendapatan. Ada sumber
berkaitan dengan campur tangan sistem administrasi yang timbul dari kegagalan
mekanisme perencanaan pasar.34
Selain itu pula terdapat fungsi lain dari pajak yaitu dapat digunakan untuk
pembiayaan-pembiayaan dalam rangka memberikan rasa aman bagi seluruh
lapisan masyarakat. Dimana lapisan-lapisan masyarakat setiap warga negara mulai
saat dilahirkan sampai dengan meninggal dunia tentunya dapat menikmati
fasilitas atau pelayanan dari pemerintah yang semuanya dibiayai dengan uang
yang berasal dari pajak-pajak yang dilakukan oleh pemerintah. Tentunya perlu
dikatahui oleh masyarakat umum, banyak sekali manfaat pajak yang dapat
dirasakan secara tidak langsung. Karena seperti yang disebutkan tadi bahwa
kegunaan pajak bagi Negara Kebanyakan berupa barang publik seperti jalan raya,
sekolah, jembatan, dan fasilitas umum yang lainnya.
Pada umumnya dikenal adanya dua fungsi utama dari pajak, yakni fungsi
budgeter (anggaran) dan fungsi regulerend (mengatur).
1. Fungsi Anggaran
Pajak memfunyai fungsi sebagai alat atau instrumen yang digunakan
untuk memasukkan dana yang sebesar-besarnya ke dalam kas negara. Dalam hal
ini fungsi pajak lebih diarahkan sebagai intrumen untuk menarik dana dari
masyarakat untuk dimasukkan kedalam kas negara. Dana dari pajak itulah yang
kemudian digunakan sebagai penopang bagi penyelenggaran dan aktivitas
34
Wulan Arsa, Pengaruh Pajak Terhadap Perekonomian http://wulanarumsari.blogspot.co.id/2012/09/pengaruh-pajak-terhadap-perekonomian.html,
pemerintahan. Fungsi yang seperti itu kiranya sudah dikenal sejak lama, bahkan
ada yang menyebut sejak zaman purbakala.35
Seperti kita ketahui bahwa negara Indonesia sejak tahun 1983
merencanakan pajak sebagai sumber pemasukan dana alternatif untuk
mengganikan posisi dominan dari minyak dan gas bumi, maka sudah barang tentu
fungsi budgeter inilah yang mengedepan. Bahkan apabila kita melihat ke
negara-negara tertentu yang disebut-sebut tidak memungut pajak dari rakyatnya, tetapi
kebanyakan negara di dunia ini memungut pajak dari rakyatnya.
2. Fungsi Mengatur
Dalam hal ini pajak digunakan untuk mengatur dan mengarahkan
masyarakat ke arah yang dikehendaki pemerintah. Oleh karenanya, fungsi
mengatur ini menggunakan pajak untuk dapat mendorong dan mengendalikan
kegiatan masyarakat agar tetap sejalan dengan rencana dan keinginan pemerintah.
Dengan adanya fungsi mengatur, kadang kala dari sisi penerimaan (fungsi
budgeter) justru tidak menguntungkan. Terhadap kegiatan masyarakat yang
dipandang bersifat negatif, bila fungsi regulerend yang dimaksudkan untuk
menekan kegiatan itu dikedepankan, maka pemerintah justru dipandang berhasil
apabila pemasukan pajaknya kecil. Sebagai contoh cukai minuman keras. Bila
pemasukan cukai minuman keras sangat sedikit, dan indikasi bahwa masyarakat
tidak lagi banyak mengkonsumsi minuman keras, maka justru ini suatu
keberhasilan, sekali pun dari sisi budgeter tidak menguntungkan. Apabila
dikatikan dengan salah satu dimensi hubungan antara pemerintah dengan rakyat,
maka kiranya fungsi ini tidak lepas dari fungsi pengendalian (sturen).
35
Untuk melaksakan fungsi mengatur ini, umumnya oleh fiscus dapat
digunakan dengan dua cara yaitu:
a. Cara umum
Cara ini biasanya dilakukan dengan menggunakan tarif-tarif pajak
yang dimaksudkan untuk mengadakan perubahan-perubahan
terhadap tarif yang bersifat umum dijadikan instrumen perwujudan
fungsi pajak ini. Mengenai macam-macam tarif yang ada akan
dibicarakan belakang.
b. Cara khusus
Pelaksanaan fungsi mengatur dari pajak yang bersifat khusus ini
dapat dibedakan menjadi dua, yakni yang bersifat positif dan yang
bersifat negatif.
1) Bersifat positif
Apabila suatu kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat itu oleh
pemerintah dipandang sebagai suatu yang positif makan kegiatan
itu tentu akan mendapat dukungan dari pemerintah. Tak
terkecuali melalui kebijakan di bidang pajak. Oleh karena itu,
dalam keadaan yang demikian, pemerintah biasanya memberikan
dorongan (tax incentive) untuk dilakukan dengan cara pemberian
fasilitas perpajakan yang antara lain berupa:
a) Pemberian kelongaran yang berbentuk tax holiday
(pembebasan hak) dan keringanan pajak.
b) Mengadakan afschrifving (penghaspusan)
d) Pemberian pengurangan-pengurangan
e) Kompensasi-kompensasi
2) Bersifat negatif
Merupakan cara mengatur dengan maksud untuk mencegah ata
menghalangi perkembangan atau menjuruskan kehidupan
masyarakat ke arah tujuan tertentu. Ini merupakan suatu
keinginan dari pemerintah atau dari para pembuat undang-undang
dengan cara mengadakan berbagai peraturan di bidang pajak yang
menghambat dan memberatkan masyarakat yang menyebabkan
tumbuh dan berkembangnyasuatu kegiatan yang justru ingin
ditiadakan atau diberantas oleh pemerintah. Dengan demikian,
pajak digunakan untuk menghalangi atau mengerem terhadap apa
yang dilakukan oleh masyarakat selaku wajib pajak. Tindakan
pemerintah yang demikian itu dapat dipandang sebagai sebuh des
incentive tax. Upaya des incentive tax yang dilakukan pemerintah
dapat berfungsi sebagai:
a) Pemberi hambatan-hambatan
b) Pencegahan atas pemakaian atau pemasukan
c) Pemberatan-pemberatan khusus.
Sementara itu, menurut Ma’rie Muhammad fungsi pajak di negara
berkembang seperti di Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Pajak merupakan alat atau instrumen penerimaan negara
3. Pajak merupakan alat distribusi.36
C.Metode atau Sistem Pengenaan Pajak Badan Hukum di Indonesia
Subjek hukum mempunyai peran yang penting dalam kehidupan
bermasyarakat, khususnya di dalam bidang hukum karna subjek hukum
mempunyai wewenang hukum. Istilah subjek hukum berasal dari bahasa belanda
yaitu rechtsubject, yang secara umum diartikan sebagai pendukung hak dan
kewajiban yakni manusia dan badan hukum.37
Menurut R. Subekti, badan hukum pada dasarnya adala suatu adan atau
perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan seperti
manusia serta memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat maupun menggugat di
depan hakim.38
Ada beberapa pengertian badan hukum menurut para ahli di antaranya39 :
1. R. Rochmat Soemitro mengemukakan, badan hukum (rechtpersoon) ialah
suatu badan yang dapat mempunyai harta, hak serta kewajiban seperti
orang pribadi.
2. Menurut E. Utrecht, badan hukum adalah badan yang menurut hukum
berkuasa (berwenang) menjadi pendukung hak, selanjutnya dijelaskan
bahwa badan hukum adalah setiap pendukung hak yang tidak berjiwa atau
yang lebih tepat bukan manusia.
36
Ibid, hlm, 151
37
Titik Triwulan, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), hlm.40
38
Chaidir Ali, Badan Hukum (Bandung: Alumni, 1987), hlm. 19
39
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa badan
hukum adalah subjek hukum yang tidak nampak seperti layaknya manusia, namun
mempunyai hak dan kewajiban yang sama seperti manusia (natural persoon).
Di Indonesia terdapat beraneka ragam cara dalam menggolongkan badan
hukum, baik menurut dasar hukum, golongan hukum dan sifatnya. Menurut dasar
hukumnya di Indonesia dikenal dua macam badan hukum, yaitu:
1. Badan hukum murni atau asli yaitu negara.
2. Badan hukum tidak murni atau tidak asli, yaitu badan hukum yang
berwujud perkumpulan berdasarkan kententuan pasal 1653 KUHPerdata40, badan hukum ini kemudian dibagi lagi menjadi :
a. Badan hukum yang didirikan oleh kekuasaan umum,
b. Badan hukum yang diakui oleh kekuasaan umum,
c. Badan hukum yang diperkenankan karena diizinkan,
d. Badan hukum yang didirikan untuk suatu maksud atau tujuan tertentu.
Menurut penggolongan hukum, badan hukum dibedakan menjadi:
1. Badan hukum publik, yang terdiri dari:41
a. Badan hukum yang mempunyai teritorial atau wilayah, misalnya negara
Republik Indonesia, Provinsi DKI Jakarta, Kota Jakarta Pusat, juga di
mungkinkan suatu badan hukum hanya menyelenggarakan kepentingan
beberapa orang. Misalnya subak di Bali.
40
Ibid, hlm.55
41
b. Badan hukum yang tidak mempunyai teritorial, yaitu badan hukum
yang dibentuk oleh badan yang berwajib hanyak untuk tujuan tertentu.
Misalnya Bank Indonesia.
2. Badan hukum perdata adalah badan hukum yang terjadi atau didirikan atas
pernyataan kehendak dari orang-perorangan, contohnya adalah
perkumpulan, perseroan terbatas, cv, koperasi, yayasan.
Menurut sifatya, badan hukum dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu:42
1. Korporasi (corporatie), yaitu suatu gabungan orang yang dalam pergaulan
hukum bertindak bersama-sama sebagai satu subjek hukum sendiri.
Korporasi mempunyai hak dan kewajiban yang terpisah dari hak dan
kewajiban anggotanya.
2. Yayasan (stichting) yaitu tiap kekayaan (vermogen) yang tidak merupakan
kekayaan orang atau kekayaan badan yang diberi tujuan tertentu.
Utrecht juga membuat penggolongan badan hukum yakni:43
1. Perhimpunan (vereninging) yang dibentuk secara sengaja dan dengan
sukarela oleh orang yang bermaksud untuk memperkuat kedudukan
ekonomis mereka, memelihara kebudayaan, mengurus persoalan sosial,
dll.
2. Persekutuan orang (gemmenschap van mensen) yang terbentuk karena
faktor-faktor kemasyarakatan dan politik dalam sejarah.
42
Ibid, hlm. 63-64
43
3. Organisasi orang yang didirikan berdasarkan undang-undang tetapi bukan
perhimpunan yang termasuk dalam point 1.
4. Yayasan.
Sistem pengenaan pajak pada badan hukum menurut Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan sebagaimana diubah menjadi
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 adalah dengan menggunakan persenan
tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak,adapun beberapa
ketentuannya diatur dalam beberapa pasal diantaranya, pasal 17 ayat (1b) yang
mengatakan bahwa “wajib pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap
adalah sebesar 28% (duapuluh delapan persen)”. Artinya setiap badan hukum
dalam bentuk apapun wajib dikenai pajak sebesar 28%. Pada dasarnya tarif PPh
Badan menganut tarif tunggal yaitu sebesar 28%. Tarif ini berlaku pada tahun
2009 namun pada tahun 2010 tarif ini diturunkan menjadi 25%. Tarif PPh Badan
sebesar 25% efektif berlaku untuk tahun 2010 dan seterusnya.44Pajak terutang ini dihitung dengan cara mengalihkan tarif dengan penghasilan kena pajak.
Contoh penghitungan pengenaan tarif pajak 25% adalah sebagai berikut:
Jumlah Peredaran BrutoTahun 2015 Rp 54.000.000.000,-, Jumlah
Penghasilan Kena Pajak Tahun 2015 Rp 4.000.000.000,-
Maka, PPh Badan Terutang = 25% x Rp 4.000.000.000,- = Rp Rp 1.000.000.000,-
Selain sistem pengenaan tarif sebesar 28%, pasal 17 ayat (2b)45 juga
mengatakan bahwa “wajib pajak dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka
yang paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham
yang disetor diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan memenuhi
44
Pasal 17 ayat (2a) UU Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan
45
persyaratan tertentu alinnya dapat memperoleh tarif sebesar 5% (lima persen)
lebih rendah daripada tarif sebegaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat
(2a) yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Artinya, untuk
memperoleh pengurangan tarif sebesar 5% ini wajib pajak harus memenuhi syarat
sebagai berikut:
1. Paling sedikit 40% dari jumlah keseluruhan saham yang disetor
dicatat untuk diperdagangkan di bursa efek Indonesia.
2. Saham sebagaimana dimaksud pada poin 1 harus dimiliki oleh paling
sedikit 300 pihak.
3. Masing-masing pihak sebagaimana dimaksud dalam poin 2 hanya
boleh memiliki saham kurang dari 5% dari keseluruhan saham yang
ditempatkan dan disetor penuh.
4. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam poin 1, 2, 3, harus dipenuhi
dalam waktu paling singkat 183 hari kalender dalam jangka waktu 1
tahun pajak.
Contoh penghitungan pengenaan tarif 5% adalah sebagai berikut:
Pada tahun 2015 saham PT. Y Tbk. yang disetor dicatat untuk
diperdagangkan dibursa efek di Indonesia sebesar 60%. Saham yang disetor
dicatat untuk diperdagangkan dibursa efek di Indonesia tersebut dimiliki oleh 400
pihak. Diantara 400 pihak, Masing-masing pihak persentase kepemilikannya tidak
melebihi 5%, Kondisi tersebut terjadi selama 190 (seratus delapan puluh dua) hari
dalam 1 (satu) tahun pajak. PT. Y Tbk memenuhi syarat, sehingga PT. Y Tbk
Jumlah PKP dalam tahun pajak 2015 Rp 1,25 Miliar
PPh yang terutang = (25% - 5%) x Rp1,25 Miliar = Rp 250 Juta.
Sistem pengenaan pajak terakhir adalah dengan melihat ketentuan dalam
pasal 31E ayat (1) yang mengatakan bahwa “wajib pajak badan dalam negeri
dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 50.000.000.000 mendapat fasilitas
berupa pengurangan tarif sebesar 50% dan tarif sebagaimana dimaksud dalam
pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena
Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp. 4.800.000.000”. Artinya,
dalam ketentuan pasal ini perhitungan pajak terutang dapat dibedakan menjadi 2,
yaitu:
1. Jika peredaran bruto sampai dengan Rp. 4.800.000.000, maka
perhitungan pajak terutang yakni:
Pajak Terutang= 50% x 28% x seluruh Penghasilan Kena Pajak.
2. Jika peredaran bruto lebih dari Rp. 4.800.000.000 sampai dengan Rp.
50.000.000.000, maka perhitungan pajak terutang yakni:
Pajak Terutang= (50% x 28%) x Penghasilan Kena Pajak dari bagian
peredaran bruto yang memperoleh fasilitas + 28% Penghasilan Kena
Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas.
Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang
tidak memperoleh fasilitas Penghasilan Kena Pajak- Penghasilan Kena
Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas.
Contoh perhitungan pengurangan tarif sebesar 50%adalah sebagai berikut:
Peredaran bruto PT Y dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp 4.500.000.000
dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 500.000.000.Penghitungan pajak yang
terutang yaitu seluruh Penghasilan Kena Pajak yang diperoleh dari peredaran
bruto tersebut dikenakan tarif sebesar 50% dari tarif Pajak Penghasilan badan
yang berlaku karena jumlah peredaran bruto PT Y tidak melebihi Rp
4.800.000.000.
Pajak Penghasilan yang terutang = 50% x 28% x Rp 500.000.000 = Rp
70.000.000
Contoh 2:
Peredaran bruto PT X dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp 30.000.000.000
dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 3.000.000.000.
Penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang:
Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh
fasilitas= (Rp 4.800.000.000 : Rp 30.000.000.000)x Rp 3.000.000.000=
Rp.480.000.000
Maka, jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang
tidak memperoleh fasilitas= Rp 3.000.000.000 – Rp 480.000.000 = Rp
2.520.000.000. Pajak yang terutang= (50%x 28% x Rp480.000.000) + (28% x
Rp2.520.000.000)= Rp 67.200.000 + Rp 705.600.000= Rp772.800.000.
Pada tahun 2013, pemerintah mengeluarkan PP Nomor 46 Tahun 2013
Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau
Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu dimana dalam
bruto tidak melebihi Rp. 4.800.000.000, dikenakan tarif sebesar 1%.46 Namun wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu atas penghasilan dari usaha
yang diterima adalah wajib pajak yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Wajib pajak orang pribadi atau wajib pajak badan tidak termasuk bentuk
usaha tetap.
2. Menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa
sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak
melebihi Rp. 4.800.000.000 dalam 1 tahun pajak.47
D.Jenis Pajak yang Dapat Dikenakan Pada Usaha Waralaba
Setiap jenis usaha tentunya tidak akan lepas dari aspek perpajakan. Usaha
waralaba (franchise) juga termasuk satu dari beberapa jenis usaha yang pastinya
terkena pajak. Jenis pajak yang dikenakan terhadap usaha waralaba berbeda-beda
tergantung daru jenis waralaba itu sendiri. Tetapi secara garis besar jenis pajak
yang dikenakan pada usaha waralaba ada 3 macam, yaitu:
1. Pajak Penghasilan
Pajak Penghasilan merupakan jenis pajak subjektif yang kewajiban
pajaknya melekat pada Subjek Pajak yang bersangkutan, artinya kewajiban pajak
tersebut dimaksudkan untuk tidak dilimpahkan kepada Subjek. Dasar hukum
Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 Tentang Pajak
Penghasilan.
46
Pasal 2 dan 3 PP Nomor 46 Tahun 2013 Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto
47
Menurut pasal 2 UU Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan.
Adapun yang menjadi subjek pajak penghasilan adalah sebagai berikut:
a. Subjek pajak pribadi yaitu orang pribadi yang bertempat tinggal di
Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183
(seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas)
bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di
Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
b. Subjek pajak harta warisan belum dibagi yaitu warisan dari seseorang
yang sudah meninggal dan belum dibagi tetapi menghasilkan
pendapatan, maka pendapatan itu dikenakan pajak.
c. Subjek pajak badan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di
Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi
kriteria:
1) pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan
2) pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
3) penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah
4) pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional
negara
d. Bentuk usaha tetapyaitu bentuk usaha yang digunakan oleh orang
pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di
atau badan yang tidak didirikan dan berkedudukan di Indonesia, yang
melakukan kegiatan di Indonesia.
Objek Pajak Penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis
yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia
maupaun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk
menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam
bentuk apapun.48
Contoh objek Pajak Penghasilan antara lain :49
a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium,
komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun atau imbalan dalam bentuk
lainnya kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang Pajak
Penghasilan
b. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan
c. laba usaha
d. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
1) keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan,
persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau
penyertaan modal
48
Seri PPh-Objek Pajak Penghasilan (http://www.pajak.go.id/content/seri-pph-objek-pajak-penghasilan), diakses pada tanggal 31 Mei 2017 pukul. 01.18 WIB
49
2) keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan
lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu
atau anggota
3) keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan,
pemekaran, pemecahan atau pengambilalihan usaha
4) keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau
sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam
garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau
badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk
koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak
ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau
penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan
5) keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau
seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan,
atau permodalan dalam perusahaan pertambangan
6) penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan
sebagai biaya
7) bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan karena jaminan
pengembalian utang
8) dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen
dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan pembagian
sisa hasil usaha koperasi
9) royalti atau imbalan atas penggunaan hak
11)penerimaan atau perolehan pembayaran berkala
12)keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan
jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah
13)keuntungan karena selisih kurs mata uang asing
14)selisih lebih karena penilaian kembali aktiva
15)premi asuransi
16)iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya
yang terdiri dari WP yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas
17)tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum
dikenakan pajak
18)penghasilan dari usaha berbasis syariah
19)imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
yang mengatur mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan
20)surplus Bank Indonesia.
Dalam peraturan Pajak Penghasilan terdapat beberapa pembagian, yaitu :
a. PPH 21
Penghitungan PPh Pasal 21 menurut aturan yang baru tersebut, dibedakan
menjadi 6 macam, yaitu : PPh Pasal 21 untuk Pegawai tetap dan penerima pensiun
berkala, PPh pasal 21 untuk pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, PPh
pasal 21 bagi anggota dewan pengawas atau dewan komisaris yang tidak
merangkap sebagai pegawai tetap, penerima imbalan lain yang bersifat tidak
menarik dana pensiun. Di kesempatan ini akan dipaparkan tentang contoh
perhitungan PPh pasal 21 untuk Pegawai Tetap dan Penerima Pensiun Berkala.
Penghitungan PPh Pasal 21 untuk pegawai tetap dan penerima pensiun
berkala dibedakan menjadi 2 (dua): Penghitungan PPh Pasal 21 masa atau bulanan
yang rutin dilakukan setiap bulan dan Penghitungan kembali yang dilakukan
setiap masa pajak Desember (atau masa pajak dimana pegawai berhenti
bekerja).50
b. PPH 22
Pajak Penghasilan 22 (PPh Pasal 22) adalah bentuk pemotongan atau
pemungutan pajak yang dilakukan satu pihak terhadap wajib pajak dan berkaitan
dengan kegiatan perdagangan barang. Mengingat sangat bervariasinya objek
pemungut dan bahkan tarifnya ketentuan PPh 22 lebih rumit dibanding PPh
lainnya. PPh 22 dikenakan terhadapa perdagangan barang yang dianggap
“menguntungkan”, sehingga baik penjual ataupun pembeli dapat menerima
keuntungan dari perdagangan tersebut. Karena itulah PPh 22 dapat dikenakan baik
saat penjualan maupun pembelian.
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 adalah PPh yang dipungut oleh:
1) Bendaharawan Pemerintah Pusat/Daerah, instansi atau lembaga
pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan dengan
pembayaran atas penyerahan barang
50
2) Badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan
dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.51
c. PPH 23
Pajak Penghasilan Pasal 23 merupakan Pajak Penghasilan yang dipotong
atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan
Bentuk Usaha Tetap yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau
penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21,
yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah atau subjek pajak dalam
negeri, penyelenggara kegiatan, Bentuk Usaha Tetap atau perwakilan perusahaan
luar negeri lainnya.52
Umumnya penghasilan jenis ini terjadi saat adanya transaksi antara dua
pihak. Pihak yang menerima penghasilan atau penjual atau pemberi jasa akan
dikenakan PPh 23. Pihak pemberi penghasilan atau pembeli atau penerima jasa
akan memotong dan melaporkan PPh 23 tersebut ke kantor pajak.
d. PPH 24
PPh pasal 24 membahas tentang penghasilan yang berasal dari luar negeri.
Pada prinsinya dalam PPh pasal 24 adalah mencari besarnya pajak yang bisa
dikreditkan dengan jalan membandingkan antara pajak yang dipungut di luar
negeri dengan batas maksimum kredit pajak dipilih yang terkecil. Artinya, PPh 24
ini adalah sebuah peraturan yang mengatur hak wajib pajak untuk memanfaatkan
kredit pajak mereka diluar negeri, untuk mengurangi nilai pajak teruntang yang
51
http://www.pajak.net/info/PPh22.htm, (diakses pada tanggal 31 Mei 2017 pukul 01.33 WIB)
52
dimiliki di Indonesia. Sehingga, jumlah pajak yang harus dibayar di Indonesia
dapat dikurangi dengan jumlah pajak yang telah mereka bayar di luar negeri,
asalkan nilai kredit pajak di luar negeri tidak melebihi hutang pajak yang ingin
dibayar di Indonesia.
e. PPH 25
PPh 25 adalah pembayaran pajak penghasilan secara angsuran. Tujuannya
adalah untuk meringankan beban wajib pajak, mengingat pajak yang terutang
harus dilunasi dalam waktu satu tahun. Pembayaran ini harus dilakukan sendiri
dan tidak dapat diwakilkan.
2. Pajak Pertambahan Nilai
PPN atau Pajak Pertambahan Nilai merupakan jenis pajak tidak langsung
untuk disetor oleh pihak lain (pedagang) yang bukan merupakan penanggung
pajak (konsumen akhir). Prinsip dasarnya adalah suatu pajak yang harus
dikenakan pada setiap proses produksi dan distribusi, tetapi jumlah pajak yang
terutang dibebankan kepada konsumen akhir yang memakai produk tersebut.53 Objek PPN atau Pajak Pertambahan Nilai dikenakan pada :
a. Penyerahan Barang Kena Pajak (BPK) dan Jasa Kena Pajak (JKP) di
dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha
b. Impor Barang Kena Pajak
c. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah
Pabean di dalam Daerah Pabean
53
d. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean
e. Ekspor Barang Kena Pajak berwujud atau tidak berwujud dan Ekspor
Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP)
3. Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM)
Berdasarkan undang-undang yang berlaku di Indonesia, Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah (PPnBM) merupakan pajak yang dikenakan pada barang
yang tergolong mewah yang dilakukan oleh produsen (pengusaha) untuk
menghasilkan atau mengimpor barang tersebut dalam kegiatan usaha atau
pekerjaannya.54
Berikut beberapa pertimbangan mengapa pemerintah Indonesia
menganggap bahwa PPnBM sangatlah penting untuk diterapkan:
a. Agar tercipta keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang
berpenghasilan rendah dan konsumen yang berpenghasilan tinggi
b. Untuk mengendalikan pola konsumsi atas Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah
c. Perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional
d. Mengamankan penerimanaan negara
Prinsip Pemungutan Pajak Penjualan atas Barang Mewah ialah hanya 1
(satu) kali saja, yaitu pada saat:
54
Alban Leandri, Pajak Penjualan Atas Barang Mewah,
a. Penyerahan oleh pabrikan atau produsen Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah
b. Impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah
Pemungutan pajak barang mewah ini sama sekali tidak memperhatikan
siapa yang mengimpor maupun seberapa sering produsen atau pengusaha
melakukan impor tersebut (lebih dari sekali atau hanya sekali saja).
Barang-barang yang tergolong mewah dan harus dikenai PPnBM ialah:
a. Barang yang bukan merupakan barang kebutuhan pokok
b. Barang yang hanya dikonsumsi oleh masyarakat tertentu
c. Barang yang hanya dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi
d. Barang yang dikonsumsi hanya untuk menunjukkan status atau kelas