• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aspek Hukum Pengenaan Pajak Terhadap Usaha Waralaba Di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Aspek Hukum Pengenaan Pajak Terhadap Usaha Waralaba Di Indonesia"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

SISTEM PENGENAAN PAJAK ATAS USAHA WARALABA DI INDONESIA

A.Defenisi dan Jenis Pajak di Indonesia

Apabila kita membicarakan sesuatu hal, maka pertama-tama yang sering

menjadi pertanyaan adalah pengertiannya. Demikian pula ketika membicarakan

pajak, kita tidak akan luput dari keinginan mengetahui untuk terlebih dahulu

mengenai apa sebenarnya pajak itu. Jika pembicaraan itu mengarah kepada

pengertian mengenai sesuatu hal, biasanya yang kemudian muncul adalah

batasan-batasan atau defenisi-defenisi. Dalam kaitannya dengan pajak, adabanyak

pengertian yang diberikan oleh para sarjana mengenai apa sebenarnya defenisi

pajak, berikut beberapa diantaranya.

Dr. Soeparman Soemahamidjaja memberikan defenisi pajak ialah iuran

wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan

norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif

dalam mencapai kesejahteraan umum.25 Istilah iuran wajib diharapkan dapat

memenuhi ciri bahwa pajak dipungut dengan bantuan dari dan kerja sama wajib

pajak, sehingga perlu di hindari penggunaan istilah “paksaan”. Apalagi bila suatu

kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, maka sebagai konkuensinya

Undang-Undang menunjukkan cara pelaksanaannya yang lain. Hal tersebut tidak hanya

dalam hal pajak saja, melainkan juga untuk hal-hal lain juga dikenal. Cara tersebut

dimaksudkan untuk memaksa.

25

(2)

Menurut pendapatnya, kiranya berlebihan apabila khusus menenai pajak

ini ditekannya pentingnya paksaan karena memberi kesan seakan-akan tidak ada

kesadaran masyarakat untuk melakukan kewajibannya.26Beliau memandang sudah cukup dengan mengatakan bahwa pajak merupakan “iuran wajib”. Dengan

demikian, tidak perlu diberikan tambahan kata “yang dapat dipaksakan”.

Sementara itu, mengenai “kontraprestasi” beliau mempunyai pendapat bahwa

justru untuk menyelenggarakan kontraprestasi itulah perlu dipungut pajak. Dalam

hal ini, pengeluaran-pengeluaran pemerintah diperuntukkan bagi penyelenggaraan

bidan keamanan, kesejahteraan, kehakiman, pembangunan dan hal-hal lain yang

merupakan pemberian kontraprestasi bagi pembayar pajak selaku anggota

masyarakat.

Prof. PJA. Adriani memberikan defenisi pajak sebagai berikut:

“Pajak adalah iuran kepada negara (yang dipaksakan) yang terhutang oleh

yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak

mendapatkan prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya

adalah untk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas

negara untuk meyelenggarakan pemerintahan”27.

Dari defenisi ini terlihat bahwa pajak diangap sebagai pengertian yang

meruapak species dari sebuah genus berupa pungutan. Dengan demikian,

pungutan lingkupnya lebih luas daripada pajak sendiri. Di dalam defeisi tersebut

terlihat bahwa beliau menekankan pada fungsi budgeter (keuangan) dari pajak,

sementara pajak sebenarnya masih mempunyai fungsi yang lain yang juga sangat

tidak kalah penting, yakni fungsi mengatur.

26 Ibid 27

(3)

Apa yang dikatakan oleh Prof Adriani sebagai “tidak mendapat prestasi

kembali dari negara” ialah prestasi khusus yang erat hubungannya dengan

pembayaran “iuran”. Prestasi dari negara seperti adanya hak untuk menggunakan

sarana dan prasarana umum, misalnya jalan, jembatan, perlindungan akan

keamanan dan ketertiban dari tentara dan polisi, tentu saja akan diperoleh para

pembayar pajak itu. Akan tetapi, dalam hal ini mereka memperoleh hal-hal

tersebut tidak secara individual, dan juga tidak ada hubungannya secara langsung

dengan pembayaran pajak itu. Hal tersebut dapat dibuktikan dari adanya

kenyataan bahwa mereka yang tidak ikut membayar pajak pun juga mengenyam

kenikmatan tersebut.

Dalam bukuDe Economische Betekenis der Belastingen mengatakan

pengertian pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui

norma-norma umum dan yang dapat dipaksakan, tanpa adanya kontraprestasi yang dapat

ditunjukkan dalam hal yang indivdual, maksudnya adalah untuk membiayai

pengeluaran pemerintah.28 Defenisi pajak yang dikemukakan oleh Prof. Smeets

terseut terlihat menonjolkan adanya fungsi budgeter dari pajak, yakni untuk

memasukkan uang ke dalam kas negara. Dalam defenisi tersebut, sebagaimana

defenisi dari Prof Adriani, ditunjukkan bahwa pajak tidak mengenal adanya

kontraprestasi individual yang terkait dengan pembayaran pajak yang dilakukan

oleh pembayaran pajak.

Dari berbagai defenisi diatas, dapat ditarik adanya beberapa ciri atau

karakteristik dari pajak, yaitu:29

28

Ibid, hlm. 4

29

(4)

1. Pajak dipungut berdasarkan Undang-Undang atau Peraturan-Peraturan

pelaksanaannya.

2. Terhadap pembayaran pajak, tidak ada tegen prestasi yang dapat

ditunjukkan secara langsung.

3. Pemungutnya dapat dilakukan baik oleh pemerintah pusat maupun

pemerintah daerah, karena itu ada istilah pajak pusat dan pajak daerah.

4. Hasil dari uang pajak dipergunakan untuk membiayai

pengeluaran-pengeluaran pemerintah baik pengeluaran-pengeluaran rutin maupun pengeluaran-pengeluaran

pembanguan, dan apabila terdapat kelebihan maka sisanya

dipergunakan untuk public investment.

5. Disamping mempunai fngsi sebagai alat untuk memasukkan dana dari

rakyat ke dalam kas negara (fungsi budgeter), pajak juga mempunyai

fungsi lain yakni fungsi mengatur.

Disamping karakteristik, pajak juga mempunyai unsur. Unsur adalah

elemen/hal-hal yang membentuk sesuatu sehingga menyebabkan sesuatu itu ada.

Karena pajak merupakan bagian dari satu species yang sama maka mempunyai

unsur sebagai berikut:30

1. Ada masyarakat. 2. Ada Undang-Undang.

3. Pemungut pajak-Penguasa masyarakat. 4. Subjek pajak-objek pajak

5. Objek pajak-tatbestand.

6. Surat ketetapan pajak (Fakultatif).31

30

Ibid , hlm 7

31

(5)

Pajak dapat dikelompokkan ke dalam berbagai jenis dengan mempergunakan

kriteria-kriteria tertentu. Pajak dapat dilihat dari segi administratif yuridis, dari

segititik tolak pungutannya, berdasarkan sifatnya, dan berdasarkan kewenangan

pemungutannya.32

1. Dari segi administratif yuridis

Penggolongan pajak dari sisi ini akan menghasilkan apa yang sering

dikenal dengan pajak langsung dan pajak tidak langsung. Kedua jenis pajak

tersebt masih dapat dibagi lagi kedalam dua segi lain, yaitu sisi yuridis dan

ekonomis.

a. Dari segi yuridis

Suatu jenis pajak dikatakan sebagai pajak langsung apabila dipungut

secara peridik, yakni dipungut secara berulang-ulang, tidak hanya

satu kali pungut saja, dengan menggunakan penetapan sebagai

dasarnya. Sebagai contoh Pajak Penghasilan (PPh). Pajak

Penghasilan ini dipungut secara periodik setiap tahun atau setiap

masa pajak, dimana pemungutnya digunakan penetapan SPT.

Sedangkan pajak tidak langsung dipungut secara insidental) tidak

berulang-ulang). Jadi pajak tidak langsung hanya dipungut sesekali

ketika terpenuhi tatbestand seperti yang dikehendaki oleh ketentuan

Undang-Undang. Contoh pajak tidak langsung adalah Bea Materai

atau juga Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan jasa. Dalam Bea

materai, pengenaan pajak itu hanya dilakukan terhadap dokumen.

Ketika seseorang akan membuat dokumen itu, ia akan dikenakan

32

(6)

pajak, sehingga apabila tidak dibuat dokumen terhadap sebuah

perjanjian perdata misalnya, maka juga tidak dikenakan pajak.

Demikian pula dengan Pajak Pertambahan Nilai dimana pajak

dikenakan apabila terjadi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau

Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak. Apabila tidak terjadi

penyerarahan barang/jasa kena pajak, maka juga tidak dkenakan

pajak.

b. Segi Ekonomis

Suatu jenis pajak dikatakan sebagai pajak langsung apabila beban

pajak tidak dapat dilimpahkan kepada pihak lain. Jadi, dalam hal ini

antara pihak yang dikenai kewajiban atau ditetapkan untuk

membayar pajak, merupakan pihak yang sama. Sebagai contoh,

dalam Pajak Penghasilan, mereka yang menjadi wajib pajak adalah

mereka juga yang benar-benar membayar pajak atau memikul beban

pajaknya. Sedangkan pajak tidak langsung adalah suatu pajak

dimana pihak wajib pajak dapat mengalihkan beban pajaknya kepada

pihak lain. Atau dengan kata lain, antara mereka yang menjadi wajib

pajak dengan yang benar-benar memikul beban pajak tu merupakan

pihak yang berbeda. Sebagai contoh, untuk jenis pajak ini, dalam

Pajak Pertambahan Nilai, pajak ini dikenakan terhadap Pengusha

Kena Pajak, yakni pengusaha yang dalam lingkungan kerjanya

menyerahkan barang dan/atau jasa kena pajak. Dalam hal ini yang

menjadi wajib pajak adalah Pengusaha kena pajak itu sendiri,

(7)

konsumen yang membeli atau mengkonsumsi barang dan jasa dari

pengusaha yang bersangkutan. Dengan demikian, pengusaha kena

pajak menggeser/megalihkan beban pajaknya kepada pihak lain

sehingga dalam hal ini ada beberapa pihak. Pertama adalah mereka

yang menjadi penanggungjawan pajak (wajib pajak), yakni orang

yang secara formal yuridis diharuskan melunasi pajak apabila

padanya terdapat faktor-faktor atau kejadian-kejadian yang

menimbulkan sebab menurut Undang-Undang untuk dikenakan

pajak. Kedua adalah penanggung pajak, yakni orang yang dalam

faktanya memikul dulu beban pajaknya. Kemudian yang ketiga

adalah mereka yang ditunjuk oleh pembuat undang-undang, yang

menurut dan maksud dari pembuat undnag-undang harus dibebani

pajak.

2. Berdasarkan titik tolak pungutannya

Perbedaan pajak dengan menggunakan dasar titik tolak ungutannya ini

akan menghasilkan dua jenis pajak, yakni pajak subyektif dan pajak obyektif.

a. Pajak subyektif adalah pajak yang pengenaannya berpangkal pada

diri orang/badan yang dikenai pajak (wajib pajak). Pajak subjektif

dimulai dengan menetapkan orangnya baru kemudian dicari

syarat-syarat objeknya. Jadi, yang diperhatikan pertama kali adalah

subjeknya (badan/orang) baru kemudian objeknya. Di dalam Pajak

Penghasilan misalnya, didalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun

(8)

Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan ditentukan yang menjadi

subjek pajak adalah:

1) a) Orang Pribadi;

b)Warisan yang belum terbagi sebagai suatu kesatuan

menggantikan yang berhak;

2) Badan; dan

3) Bentuk usaha tetap

Siapa saja yang dikategorikan sebagai subjek pajak itu sudah

ditentukan, dan setelah mereka ini memenuhi syarat sebagai subjek

baru kemudian dilihat apakah mereka mempunyai/memperoleh

penghasilan yang memenuhi syarat utuk dikenai pajak.

b. Pajak Objektif, yaitu pajak yang pengenaannya berpangkal pada

objek yang dikenai pajak dan untuk mengenakan pajak harus dicari

subjeknya. Jadi, pertama-tama yang dilihat adalah objeknya yang

selain benda dapat pula berupa keadaan, peristiwa atau perbuatan

yang menyebabkan timbulnya kewajiban membayar, kemudian baru

dicari subjeknya (orang/badan) yang bersangkutan langsung tanpa

mempersoalkan apakah subjek itu sendiri beada di Indoneisa atau

tidak. Sebagai contoh , dapat dilihat dalam Pajak Penghasilan (PPh).

Di dalam Pajak Penghasilan dikenakan juga terhadap mereka yang

berada atau berkedudukan di luar Indonesia yang memperoleh

penghasilan dari Indonesia, baru kemudian dicari subjeknya yang

(9)

dimana yang pertama kali ditentukan adalah objeknya

(bangunannya) baru kemudian dicari siapa saja yang menjadi subjek

pajaknya.

3. Berdasarkan sifatnya.

Pembagian pajak dengan mendasar sifatnya ini akan memunculkan apa

yang disebut dengan pajak yang bersifat pribadi (persoonlijk) dan pajak

kebendaaan (zakenlijk). Pembagian yang seperti ini kurang subjektif dan objektif,

karena istilah pajak zakenlijk dapat disalah artikan dan ditafsirkan seolah-olah

dalam menetapkan pajak ini tidak diindahkan sama sekali pribadi seseorang wajib

pajak. Padahal dalam banyak hal, keadaan wajib pajak mempengaruhinya,

walaupun bersifat sekunder.33

a. Pajak yang bersifat pribadi (persoonlijk), yaitu pajak yang dalam

penetapannya memperhatikan keadaan dari diri serta keluarga wajib

pajak. Dalam penentuan besarnya utang pajak, keadaan dan

kemampuan wajib pajak diperhatikan. Misalnya, status wajib pajak

kawin/belum, berapa tanggungannya dan sebagainya sehingga

kemampuanbayar (ability to pay )dari wajib pajak itu diperhatikan

atau sering kali disebut dengan daya pikul wajib pajak itu sendiri.

Contoh dari pajak yang bersifat pribadi ini dapat dilihat dalam Pajak

Penghasilan,

b. Pajak yang bersifat kebendaan (zakenlijk) adalah pajak yang

dipungut tanpa memerhatikan diri dan keadaan si wajib pajak. Pajak

33

(10)

yang bersifat kebendaan ini umumnya merupakan pajak tidak

langsung. Sebagai contoh adanya Bea Materai.

4. Berdasarkan kewenangan pemungutannya

Dengan mendasarkan pada kewenagan pemungutannya, maka pajak

dapat digolongkan menjadi dua yakni pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat

(pajak pusat) dan pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah (pajak daerah).

a. Pajak pusat, yakni pajak yang kewenangan pemungutnya berada

pada pemerintah pusat. Yang tergolong jenis pajak ini antara lain,

Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPn), Pajak

Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Bea Materai dan cukai.

b. Pajak daerah yakni pajak yang kewenangan pemungutnya berada

pada pemerintah daerah, baik pada Pemerintah Daerah Tingkat I,

maupun Pemerintah Daerah Ttingkat II. Dalam Uundang-Undang

Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,

Pasal 2 menyebutkan bahwa:

Jenis pajak Provinsi terdiri dari:

1) Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas air

2) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas air 3) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bemotor

4) Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan air permukaan

Jenis pajak Kabupaten/Kota terdiri dari:

1) Pajak Hotel 2) Pajak Restoran 3) Pajak Hiburan 4) Pajak Reklame

5) Pajak Penerangan Jalan

(11)

Di samping jenis-jenis pajak yang telah disebutkan di atas, masih

dimungkinkan adanya pajak Kabupaten/Kota yang lain asalkan memenuhi

syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-Undang, misalnya pajak radio, pajak

pemotongan hewan dan lain-lain.

B.Fungsi Pajak Terhadap Perekonomian di Indonesia

Sebagaimana halnya perekonomian dalam suatu rumah tangga atau

keluarga, perekonomian negara juga mengenal sumber-sumber penerimaan dan

pos-pos pengeluaran. Pajak merupakan suatu sumber yang paling dominan dalam

penerimaan Negara, karena tanpa pajak tentunya akan berpengaruh pada sebagian

besar kegiatan Negara akan sulit untuk dilaksanakan. Dalam hal ini pentingnya

diadakan pajak karena tentunya banyak sekali kegunaan pajak bagi Negara,

diantaranya pajak dapat menunjang proses pembangunan dan perekonomian suatu

negara seperti membiayai pembangunan sarana umum seperti jalan, jembatan,

sekolah, rumah sakit atau puskesmas, kantor polisi dan sebagainya.

Dalam pembangunan sarana umum tersebut tentunya menggunakan uang

yang berasal dari pajak tersebut.Ada beberapa alasan mengapa kebutuhan akan

perpajakan itu timbul, diantaranya sistem administrasi perlu menyediakan barang

dan jasa kolektif, sistem administrasi perlu mengambil langkah-langkah untuk

mengatasi kegagalan-kegagalan tertentu dari mekanisme pasar sehingga

langkah-langkah yang diambil itu mencerminkan mekanisme perencanaan, alasan lain

yakni berkaitan dengan pemerataan dalam pembagian pendapatan. Ada sumber

(12)

berkaitan dengan campur tangan sistem administrasi yang timbul dari kegagalan

mekanisme perencanaan pasar.34

Selain itu pula terdapat fungsi lain dari pajak yaitu dapat digunakan untuk

pembiayaan-pembiayaan dalam rangka memberikan rasa aman bagi seluruh

lapisan masyarakat. Dimana lapisan-lapisan masyarakat setiap warga negara mulai

saat dilahirkan sampai dengan meninggal dunia tentunya dapat menikmati

fasilitas atau pelayanan dari pemerintah yang semuanya dibiayai dengan uang

yang berasal dari pajak-pajak yang dilakukan oleh pemerintah. Tentunya perlu

dikatahui oleh masyarakat umum, banyak sekali manfaat pajak yang dapat

dirasakan secara tidak langsung. Karena seperti yang disebutkan tadi bahwa

kegunaan pajak bagi Negara Kebanyakan berupa barang publik seperti jalan raya,

sekolah, jembatan, dan fasilitas umum yang lainnya.

Pada umumnya dikenal adanya dua fungsi utama dari pajak, yakni fungsi

budgeter (anggaran) dan fungsi regulerend (mengatur).

1. Fungsi Anggaran

Pajak memfunyai fungsi sebagai alat atau instrumen yang digunakan

untuk memasukkan dana yang sebesar-besarnya ke dalam kas negara. Dalam hal

ini fungsi pajak lebih diarahkan sebagai intrumen untuk menarik dana dari

masyarakat untuk dimasukkan kedalam kas negara. Dana dari pajak itulah yang

kemudian digunakan sebagai penopang bagi penyelenggaran dan aktivitas

34

Wulan Arsa, Pengaruh Pajak Terhadap Perekonomian http://wulanarumsari.blogspot.co.id/2012/09/pengaruh-pajak-terhadap-perekonomian.html,

(13)

pemerintahan. Fungsi yang seperti itu kiranya sudah dikenal sejak lama, bahkan

ada yang menyebut sejak zaman purbakala.35

Seperti kita ketahui bahwa negara Indonesia sejak tahun 1983

merencanakan pajak sebagai sumber pemasukan dana alternatif untuk

mengganikan posisi dominan dari minyak dan gas bumi, maka sudah barang tentu

fungsi budgeter inilah yang mengedepan. Bahkan apabila kita melihat ke

negara-negara tertentu yang disebut-sebut tidak memungut pajak dari rakyatnya, tetapi

kebanyakan negara di dunia ini memungut pajak dari rakyatnya.

2. Fungsi Mengatur

Dalam hal ini pajak digunakan untuk mengatur dan mengarahkan

masyarakat ke arah yang dikehendaki pemerintah. Oleh karenanya, fungsi

mengatur ini menggunakan pajak untuk dapat mendorong dan mengendalikan

kegiatan masyarakat agar tetap sejalan dengan rencana dan keinginan pemerintah.

Dengan adanya fungsi mengatur, kadang kala dari sisi penerimaan (fungsi

budgeter) justru tidak menguntungkan. Terhadap kegiatan masyarakat yang

dipandang bersifat negatif, bila fungsi regulerend yang dimaksudkan untuk

menekan kegiatan itu dikedepankan, maka pemerintah justru dipandang berhasil

apabila pemasukan pajaknya kecil. Sebagai contoh cukai minuman keras. Bila

pemasukan cukai minuman keras sangat sedikit, dan indikasi bahwa masyarakat

tidak lagi banyak mengkonsumsi minuman keras, maka justru ini suatu

keberhasilan, sekali pun dari sisi budgeter tidak menguntungkan. Apabila

dikatikan dengan salah satu dimensi hubungan antara pemerintah dengan rakyat,

maka kiranya fungsi ini tidak lepas dari fungsi pengendalian (sturen).

35

(14)

Untuk melaksakan fungsi mengatur ini, umumnya oleh fiscus dapat

digunakan dengan dua cara yaitu:

a. Cara umum

Cara ini biasanya dilakukan dengan menggunakan tarif-tarif pajak

yang dimaksudkan untuk mengadakan perubahan-perubahan

terhadap tarif yang bersifat umum dijadikan instrumen perwujudan

fungsi pajak ini. Mengenai macam-macam tarif yang ada akan

dibicarakan belakang.

b. Cara khusus

Pelaksanaan fungsi mengatur dari pajak yang bersifat khusus ini

dapat dibedakan menjadi dua, yakni yang bersifat positif dan yang

bersifat negatif.

1) Bersifat positif

Apabila suatu kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat itu oleh

pemerintah dipandang sebagai suatu yang positif makan kegiatan

itu tentu akan mendapat dukungan dari pemerintah. Tak

terkecuali melalui kebijakan di bidang pajak. Oleh karena itu,

dalam keadaan yang demikian, pemerintah biasanya memberikan

dorongan (tax incentive) untuk dilakukan dengan cara pemberian

fasilitas perpajakan yang antara lain berupa:

a) Pemberian kelongaran yang berbentuk tax holiday

(pembebasan hak) dan keringanan pajak.

b) Mengadakan afschrifving (penghaspusan)

(15)

d) Pemberian pengurangan-pengurangan

e) Kompensasi-kompensasi

2) Bersifat negatif

Merupakan cara mengatur dengan maksud untuk mencegah ata

menghalangi perkembangan atau menjuruskan kehidupan

masyarakat ke arah tujuan tertentu. Ini merupakan suatu

keinginan dari pemerintah atau dari para pembuat undang-undang

dengan cara mengadakan berbagai peraturan di bidang pajak yang

menghambat dan memberatkan masyarakat yang menyebabkan

tumbuh dan berkembangnyasuatu kegiatan yang justru ingin

ditiadakan atau diberantas oleh pemerintah. Dengan demikian,

pajak digunakan untuk menghalangi atau mengerem terhadap apa

yang dilakukan oleh masyarakat selaku wajib pajak. Tindakan

pemerintah yang demikian itu dapat dipandang sebagai sebuh des

incentive tax. Upaya des incentive tax yang dilakukan pemerintah

dapat berfungsi sebagai:

a) Pemberi hambatan-hambatan

b) Pencegahan atas pemakaian atau pemasukan

c) Pemberatan-pemberatan khusus.

Sementara itu, menurut Ma’rie Muhammad fungsi pajak di negara

berkembang seperti di Indonesia adalah sebagai berikut:

1. Pajak merupakan alat atau instrumen penerimaan negara

(16)

3. Pajak merupakan alat distribusi.36

C.Metode atau Sistem Pengenaan Pajak Badan Hukum di Indonesia

Subjek hukum mempunyai peran yang penting dalam kehidupan

bermasyarakat, khususnya di dalam bidang hukum karna subjek hukum

mempunyai wewenang hukum. Istilah subjek hukum berasal dari bahasa belanda

yaitu rechtsubject, yang secara umum diartikan sebagai pendukung hak dan

kewajiban yakni manusia dan badan hukum.37

Menurut R. Subekti, badan hukum pada dasarnya adala suatu adan atau

perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan seperti

manusia serta memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat maupun menggugat di

depan hakim.38

Ada beberapa pengertian badan hukum menurut para ahli di antaranya39 :

1. R. Rochmat Soemitro mengemukakan, badan hukum (rechtpersoon) ialah

suatu badan yang dapat mempunyai harta, hak serta kewajiban seperti

orang pribadi.

2. Menurut E. Utrecht, badan hukum adalah badan yang menurut hukum

berkuasa (berwenang) menjadi pendukung hak, selanjutnya dijelaskan

bahwa badan hukum adalah setiap pendukung hak yang tidak berjiwa atau

yang lebih tepat bukan manusia.

36

Ibid, hlm, 151

37

Titik Triwulan, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), hlm.40

38

Chaidir Ali, Badan Hukum (Bandung: Alumni, 1987), hlm. 19

39

(17)

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa badan

hukum adalah subjek hukum yang tidak nampak seperti layaknya manusia, namun

mempunyai hak dan kewajiban yang sama seperti manusia (natural persoon).

Di Indonesia terdapat beraneka ragam cara dalam menggolongkan badan

hukum, baik menurut dasar hukum, golongan hukum dan sifatnya. Menurut dasar

hukumnya di Indonesia dikenal dua macam badan hukum, yaitu:

1. Badan hukum murni atau asli yaitu negara.

2. Badan hukum tidak murni atau tidak asli, yaitu badan hukum yang

berwujud perkumpulan berdasarkan kententuan pasal 1653 KUHPerdata40, badan hukum ini kemudian dibagi lagi menjadi :

a. Badan hukum yang didirikan oleh kekuasaan umum,

b. Badan hukum yang diakui oleh kekuasaan umum,

c. Badan hukum yang diperkenankan karena diizinkan,

d. Badan hukum yang didirikan untuk suatu maksud atau tujuan tertentu.

Menurut penggolongan hukum, badan hukum dibedakan menjadi:

1. Badan hukum publik, yang terdiri dari:41

a. Badan hukum yang mempunyai teritorial atau wilayah, misalnya negara

Republik Indonesia, Provinsi DKI Jakarta, Kota Jakarta Pusat, juga di

mungkinkan suatu badan hukum hanya menyelenggarakan kepentingan

beberapa orang. Misalnya subak di Bali.

40

Ibid, hlm.55

41

(18)

b. Badan hukum yang tidak mempunyai teritorial, yaitu badan hukum

yang dibentuk oleh badan yang berwajib hanyak untuk tujuan tertentu.

Misalnya Bank Indonesia.

2. Badan hukum perdata adalah badan hukum yang terjadi atau didirikan atas

pernyataan kehendak dari orang-perorangan, contohnya adalah

perkumpulan, perseroan terbatas, cv, koperasi, yayasan.

Menurut sifatya, badan hukum dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu:42

1. Korporasi (corporatie), yaitu suatu gabungan orang yang dalam pergaulan

hukum bertindak bersama-sama sebagai satu subjek hukum sendiri.

Korporasi mempunyai hak dan kewajiban yang terpisah dari hak dan

kewajiban anggotanya.

2. Yayasan (stichting) yaitu tiap kekayaan (vermogen) yang tidak merupakan

kekayaan orang atau kekayaan badan yang diberi tujuan tertentu.

Utrecht juga membuat penggolongan badan hukum yakni:43

1. Perhimpunan (vereninging) yang dibentuk secara sengaja dan dengan

sukarela oleh orang yang bermaksud untuk memperkuat kedudukan

ekonomis mereka, memelihara kebudayaan, mengurus persoalan sosial,

dll.

2. Persekutuan orang (gemmenschap van mensen) yang terbentuk karena

faktor-faktor kemasyarakatan dan politik dalam sejarah.

42

Ibid, hlm. 63-64

43

(19)

3. Organisasi orang yang didirikan berdasarkan undang-undang tetapi bukan

perhimpunan yang termasuk dalam point 1.

4. Yayasan.

Sistem pengenaan pajak pada badan hukum menurut Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan sebagaimana diubah menjadi

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 adalah dengan menggunakan persenan

tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak,adapun beberapa

ketentuannya diatur dalam beberapa pasal diantaranya, pasal 17 ayat (1b) yang

mengatakan bahwa “wajib pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap

adalah sebesar 28% (duapuluh delapan persen)”. Artinya setiap badan hukum

dalam bentuk apapun wajib dikenai pajak sebesar 28%. Pada dasarnya tarif PPh

Badan menganut tarif tunggal yaitu sebesar 28%. Tarif ini berlaku pada tahun

2009 namun pada tahun 2010 tarif ini diturunkan menjadi 25%. Tarif PPh Badan

sebesar 25% efektif berlaku untuk tahun 2010 dan seterusnya.44Pajak terutang ini dihitung dengan cara mengalihkan tarif dengan penghasilan kena pajak.

Contoh penghitungan pengenaan tarif pajak 25% adalah sebagai berikut:

Jumlah Peredaran BrutoTahun 2015 Rp 54.000.000.000,-, Jumlah

Penghasilan Kena Pajak Tahun 2015 Rp 4.000.000.000,-

Maka, PPh Badan Terutang = 25% x Rp 4.000.000.000,- = Rp Rp 1.000.000.000,-

Selain sistem pengenaan tarif sebesar 28%, pasal 17 ayat (2b)45 juga

mengatakan bahwa “wajib pajak dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka

yang paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham

yang disetor diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan memenuhi

44

Pasal 17 ayat (2a) UU Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan

45

(20)

persyaratan tertentu alinnya dapat memperoleh tarif sebesar 5% (lima persen)

lebih rendah daripada tarif sebegaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat

(2a) yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Artinya, untuk

memperoleh pengurangan tarif sebesar 5% ini wajib pajak harus memenuhi syarat

sebagai berikut:

1. Paling sedikit 40% dari jumlah keseluruhan saham yang disetor

dicatat untuk diperdagangkan di bursa efek Indonesia.

2. Saham sebagaimana dimaksud pada poin 1 harus dimiliki oleh paling

sedikit 300 pihak.

3. Masing-masing pihak sebagaimana dimaksud dalam poin 2 hanya

boleh memiliki saham kurang dari 5% dari keseluruhan saham yang

ditempatkan dan disetor penuh.

4. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam poin 1, 2, 3, harus dipenuhi

dalam waktu paling singkat 183 hari kalender dalam jangka waktu 1

tahun pajak.

Contoh penghitungan pengenaan tarif 5% adalah sebagai berikut:

Pada tahun 2015 saham PT. Y Tbk. yang disetor dicatat untuk

diperdagangkan dibursa efek di Indonesia sebesar 60%. Saham yang disetor

dicatat untuk diperdagangkan dibursa efek di Indonesia tersebut dimiliki oleh 400

pihak. Diantara 400 pihak, Masing-masing pihak persentase kepemilikannya tidak

melebihi 5%, Kondisi tersebut terjadi selama 190 (seratus delapan puluh dua) hari

dalam 1 (satu) tahun pajak. PT. Y Tbk memenuhi syarat, sehingga PT. Y Tbk

(21)

Jumlah PKP dalam tahun pajak 2015 Rp 1,25 Miliar

PPh yang terutang = (25% - 5%) x Rp1,25 Miliar = Rp 250 Juta.

Sistem pengenaan pajak terakhir adalah dengan melihat ketentuan dalam

pasal 31E ayat (1) yang mengatakan bahwa “wajib pajak badan dalam negeri

dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 50.000.000.000 mendapat fasilitas

berupa pengurangan tarif sebesar 50% dan tarif sebagaimana dimaksud dalam

pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena

Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp. 4.800.000.000”. Artinya,

dalam ketentuan pasal ini perhitungan pajak terutang dapat dibedakan menjadi 2,

yaitu:

1. Jika peredaran bruto sampai dengan Rp. 4.800.000.000, maka

perhitungan pajak terutang yakni:

Pajak Terutang= 50% x 28% x seluruh Penghasilan Kena Pajak.

2. Jika peredaran bruto lebih dari Rp. 4.800.000.000 sampai dengan Rp.

50.000.000.000, maka perhitungan pajak terutang yakni:

Pajak Terutang= (50% x 28%) x Penghasilan Kena Pajak dari bagian

peredaran bruto yang memperoleh fasilitas + 28% Penghasilan Kena

Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas.

Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang

tidak memperoleh fasilitas Penghasilan Kena Pajak- Penghasilan Kena

Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas.

Contoh perhitungan pengurangan tarif sebesar 50%adalah sebagai berikut:

(22)

Peredaran bruto PT Y dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp 4.500.000.000

dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 500.000.000.Penghitungan pajak yang

terutang yaitu seluruh Penghasilan Kena Pajak yang diperoleh dari peredaran

bruto tersebut dikenakan tarif sebesar 50% dari tarif Pajak Penghasilan badan

yang berlaku karena jumlah peredaran bruto PT Y tidak melebihi Rp

4.800.000.000.

Pajak Penghasilan yang terutang = 50% x 28% x Rp 500.000.000 = Rp

70.000.000

Contoh 2:

Peredaran bruto PT X dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp 30.000.000.000

dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 3.000.000.000.

Penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang:

Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh

fasilitas= (Rp 4.800.000.000 : Rp 30.000.000.000)x Rp 3.000.000.000=

Rp.480.000.000

Maka, jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang

tidak memperoleh fasilitas= Rp 3.000.000.000 – Rp 480.000.000 = Rp

2.520.000.000. Pajak yang terutang= (50%x 28% x Rp480.000.000) + (28% x

Rp2.520.000.000)= Rp 67.200.000 + Rp 705.600.000= Rp772.800.000.

Pada tahun 2013, pemerintah mengeluarkan PP Nomor 46 Tahun 2013

Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau

Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu dimana dalam

(23)

bruto tidak melebihi Rp. 4.800.000.000, dikenakan tarif sebesar 1%.46 Namun wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu atas penghasilan dari usaha

yang diterima adalah wajib pajak yang memenuhi kriteria sebagai berikut:

1. Wajib pajak orang pribadi atau wajib pajak badan tidak termasuk bentuk

usaha tetap.

2. Menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa

sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak

melebihi Rp. 4.800.000.000 dalam 1 tahun pajak.47

D.Jenis Pajak yang Dapat Dikenakan Pada Usaha Waralaba

Setiap jenis usaha tentunya tidak akan lepas dari aspek perpajakan. Usaha

waralaba (franchise) juga termasuk satu dari beberapa jenis usaha yang pastinya

terkena pajak. Jenis pajak yang dikenakan terhadap usaha waralaba berbeda-beda

tergantung daru jenis waralaba itu sendiri. Tetapi secara garis besar jenis pajak

yang dikenakan pada usaha waralaba ada 3 macam, yaitu:

1. Pajak Penghasilan

Pajak Penghasilan merupakan jenis pajak subjektif yang kewajiban

pajaknya melekat pada Subjek Pajak yang bersangkutan, artinya kewajiban pajak

tersebut dimaksudkan untuk tidak dilimpahkan kepada Subjek. Dasar hukum

Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 Tentang Pajak

Penghasilan.

46

Pasal 2 dan 3 PP Nomor 46 Tahun 2013 Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto

47

(24)

Menurut pasal 2 UU Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan.

Adapun yang menjadi subjek pajak penghasilan adalah sebagai berikut:

a. Subjek pajak pribadi yaitu orang pribadi yang bertempat tinggal di

Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183

(seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas)

bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di

Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.

b. Subjek pajak harta warisan belum dibagi yaitu warisan dari seseorang

yang sudah meninggal dan belum dibagi tetapi menghasilkan

pendapatan, maka pendapatan itu dikenakan pajak.

c. Subjek pajak badan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di

Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi

kriteria:

1) pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan

perundang-undangan

2) pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

3) penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau

Pemerintah Daerah

4) pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional

negara

d. Bentuk usaha tetapyaitu bentuk usaha yang digunakan oleh orang

pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di

(25)

atau badan yang tidak didirikan dan berkedudukan di Indonesia, yang

melakukan kegiatan di Indonesia.

Objek Pajak Penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis

yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia

maupaun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk

menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam

bentuk apapun.48

Contoh objek Pajak Penghasilan antara lain :49

a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang

diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium,

komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun atau imbalan dalam bentuk

lainnya kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang Pajak

Penghasilan

b. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan

c. laba usaha

d. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:

1) keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan,

persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau

penyertaan modal

48

Seri PPh-Objek Pajak Penghasilan (http://www.pajak.go.id/content/seri-pph-objek-pajak-penghasilan), diakses pada tanggal 31 Mei 2017 pukul. 01.18 WIB

49

(26)

2) keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan

lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu

atau anggota

3) keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan,

pemekaran, pemecahan atau pengambilalihan usaha

4) keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau

sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam

garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau

badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk

koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak

ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau

penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan

5) keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau

seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan,

atau permodalan dalam perusahaan pertambangan

6) penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan

sebagai biaya

7) bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan karena jaminan

pengembalian utang

8) dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen

dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan pembagian

sisa hasil usaha koperasi

9) royalti atau imbalan atas penggunaan hak

(27)

11)penerimaan atau perolehan pembayaran berkala

12)keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan

jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah

13)keuntungan karena selisih kurs mata uang asing

14)selisih lebih karena penilaian kembali aktiva

15)premi asuransi

16)iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya

yang terdiri dari WP yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas

17)tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum

dikenakan pajak

18)penghasilan dari usaha berbasis syariah

19)imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang

yang mengatur mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara

Perpajakan

20)surplus Bank Indonesia.

Dalam peraturan Pajak Penghasilan terdapat beberapa pembagian, yaitu :

a. PPH 21

Penghitungan PPh Pasal 21 menurut aturan yang baru tersebut, dibedakan

menjadi 6 macam, yaitu : PPh Pasal 21 untuk Pegawai tetap dan penerima pensiun

berkala, PPh pasal 21 untuk pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, PPh

pasal 21 bagi anggota dewan pengawas atau dewan komisaris yang tidak

merangkap sebagai pegawai tetap, penerima imbalan lain yang bersifat tidak

(28)

menarik dana pensiun. Di kesempatan ini akan dipaparkan tentang contoh

perhitungan PPh pasal 21 untuk Pegawai Tetap dan Penerima Pensiun Berkala.

Penghitungan PPh Pasal 21 untuk pegawai tetap dan penerima pensiun

berkala dibedakan menjadi 2 (dua): Penghitungan PPh Pasal 21 masa atau bulanan

yang rutin dilakukan setiap bulan dan Penghitungan kembali yang dilakukan

setiap masa pajak Desember (atau masa pajak dimana pegawai berhenti

bekerja).50

b. PPH 22

Pajak Penghasilan 22 (PPh Pasal 22) adalah bentuk pemotongan atau

pemungutan pajak yang dilakukan satu pihak terhadap wajib pajak dan berkaitan

dengan kegiatan perdagangan barang. Mengingat sangat bervariasinya objek

pemungut dan bahkan tarifnya ketentuan PPh 22 lebih rumit dibanding PPh

lainnya. PPh 22 dikenakan terhadapa perdagangan barang yang dianggap

“menguntungkan”, sehingga baik penjual ataupun pembeli dapat menerima

keuntungan dari perdagangan tersebut. Karena itulah PPh 22 dapat dikenakan baik

saat penjualan maupun pembelian.

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 adalah PPh yang dipungut oleh:

1) Bendaharawan Pemerintah Pusat/Daerah, instansi atau lembaga

pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan dengan

pembayaran atas penyerahan barang

50

(29)

2) Badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan

dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.51

c. PPH 23

Pajak Penghasilan Pasal 23 merupakan Pajak Penghasilan yang dipotong

atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan

Bentuk Usaha Tetap yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau

penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21,

yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah atau subjek pajak dalam

negeri, penyelenggara kegiatan, Bentuk Usaha Tetap atau perwakilan perusahaan

luar negeri lainnya.52

Umumnya penghasilan jenis ini terjadi saat adanya transaksi antara dua

pihak. Pihak yang menerima penghasilan atau penjual atau pemberi jasa akan

dikenakan PPh 23. Pihak pemberi penghasilan atau pembeli atau penerima jasa

akan memotong dan melaporkan PPh 23 tersebut ke kantor pajak.

d. PPH 24

PPh pasal 24 membahas tentang penghasilan yang berasal dari luar negeri.

Pada prinsinya dalam PPh pasal 24 adalah mencari besarnya pajak yang bisa

dikreditkan dengan jalan membandingkan antara pajak yang dipungut di luar

negeri dengan batas maksimum kredit pajak dipilih yang terkecil. Artinya, PPh 24

ini adalah sebuah peraturan yang mengatur hak wajib pajak untuk memanfaatkan

kredit pajak mereka diluar negeri, untuk mengurangi nilai pajak teruntang yang

51

http://www.pajak.net/info/PPh22.htm, (diakses pada tanggal 31 Mei 2017 pukul 01.33 WIB)

52

(30)

dimiliki di Indonesia. Sehingga, jumlah pajak yang harus dibayar di Indonesia

dapat dikurangi dengan jumlah pajak yang telah mereka bayar di luar negeri,

asalkan nilai kredit pajak di luar negeri tidak melebihi hutang pajak yang ingin

dibayar di Indonesia.

e. PPH 25

PPh 25 adalah pembayaran pajak penghasilan secara angsuran. Tujuannya

adalah untuk meringankan beban wajib pajak, mengingat pajak yang terutang

harus dilunasi dalam waktu satu tahun. Pembayaran ini harus dilakukan sendiri

dan tidak dapat diwakilkan.

2. Pajak Pertambahan Nilai

PPN atau Pajak Pertambahan Nilai merupakan jenis pajak tidak langsung

untuk disetor oleh pihak lain (pedagang) yang bukan merupakan penanggung

pajak (konsumen akhir). Prinsip dasarnya adalah suatu pajak yang harus

dikenakan pada setiap proses produksi dan distribusi, tetapi jumlah pajak yang

terutang dibebankan kepada konsumen akhir yang memakai produk tersebut.53 Objek PPN atau Pajak Pertambahan Nilai dikenakan pada :

a. Penyerahan Barang Kena Pajak (BPK) dan Jasa Kena Pajak (JKP) di

dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha

b. Impor Barang Kena Pajak

c. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah

Pabean di dalam Daerah Pabean

53

(31)

d. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah

Pabean

e. Ekspor Barang Kena Pajak berwujud atau tidak berwujud dan Ekspor

Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP)

3. Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM)

Berdasarkan undang-undang yang berlaku di Indonesia, Pajak Penjualan

Atas Barang Mewah (PPnBM) merupakan pajak yang dikenakan pada barang

yang tergolong mewah yang dilakukan oleh produsen (pengusaha) untuk

menghasilkan atau mengimpor barang tersebut dalam kegiatan usaha atau

pekerjaannya.54

Berikut beberapa pertimbangan mengapa pemerintah Indonesia

menganggap bahwa PPnBM sangatlah penting untuk diterapkan:

a. Agar tercipta keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang

berpenghasilan rendah dan konsumen yang berpenghasilan tinggi

b. Untuk mengendalikan pola konsumsi atas Barang Kena Pajak yang

tergolong mewah

c. Perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional

d. Mengamankan penerimanaan negara

Prinsip Pemungutan Pajak Penjualan atas Barang Mewah ialah hanya 1

(satu) kali saja, yaitu pada saat:

54

Alban Leandri, Pajak Penjualan Atas Barang Mewah,

(32)

a. Penyerahan oleh pabrikan atau produsen Barang Kena Pajak yang

tergolong mewah

b. Impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah

Pemungutan pajak barang mewah ini sama sekali tidak memperhatikan

siapa yang mengimpor maupun seberapa sering produsen atau pengusaha

melakukan impor tersebut (lebih dari sekali atau hanya sekali saja).

Barang-barang yang tergolong mewah dan harus dikenai PPnBM ialah:

a. Barang yang bukan merupakan barang kebutuhan pokok

b. Barang yang hanya dikonsumsi oleh masyarakat tertentu

c. Barang yang hanya dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi

d. Barang yang dikonsumsi hanya untuk menunjukkan status atau kelas

Referensi

Dokumen terkait

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan Kotamadya Daerah Tingkat II Palembang, Kabupaten Daerah Tingkat II Musi Banyuasin dan

Analisis Arus Kas Bersih Operasi Sebagai Alat Ukur Kinerja Keuangan Pada Industri Rokok Di BEI.Jurnal Berkala Ilmiah Efisiensi.. Fundamentals of Financial

Usaha yang dilakukan untuk menyediakan kebutuhan gizi bagi masyarakat yaitu dengan memanfaatkan lahan tidur dan pekarangan yang tidak terpakai dengan program KRPL

Sementara pelaksanaan ujrah yang terjadi dilapangan seperti yang terjadi di Desa Koto Pulai, Kenagarian Barung- Barung Belantai Selatan Kabupaten Pesisir Selatan

Sesuai hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh penambahan KI pada media 2% NaCl yang mengandung 10 mg/L kitosan sebagai

Tujuan penelitian ini adalah menentukan kondisi optimum ekstraksi fasa padat kobalt(II) dan nikel(II) yang meliputi pH adsorpsi optimum, konsentrasi eluen

▪ Anda dapat mengubah nilai default dari Formatter ini melalui file konfigurasi dari aplikasi (misal:.. "web.php" untuk

Hasil analisis yang diperoleh dari penerapan metode threshold adalah jalan terekstraksi dengan baik dan memiliki sedikit derau apabila jalan berada disekitar