• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Hal Terjadinya Kebakaran Lahan (Studi Putusan Nomor:228 Pid.Sus 2013 PN.PLW)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Hal Terjadinya Kebakaran Lahan (Studi Putusan Nomor:228 Pid.Sus 2013 PN.PLW)"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

BENTUK PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA OLEH KORPORASI

A. Korporasi Sebagai Subjek Hukum Pidana

1. Sejarah Korporasi Sebagai Subjek Hukum Pidana

Subjek Hukum adalah pihak yang melakukan suatu perbuatan hukum dan

mengakibatkan adanya akibat hukum dari perbuatan tersebut. Dalam hal ini subjek

hukum dapat dimintai pertanggung jawaban atas perbuatan hukum yang dilakukan.

Subjek hukum adalah setiap pembawa hak (recht, right) dan kewajiban (verplicht,

obligation) dalam hukum36

Asal mula korporasi sendiri masih jadi persoalan hingga sekarang, walau

masyarakat sendiri sudah hidup dalam suatu kelompok (group), persoalan itu masih

ada walau sudah dikenal perbedaan individu yang terlepas dari suatu kelompok dan

telah dikenal kedudukan seorang individu dalam sebuah kelompok. Pada zaman

dahulu perkembangan korporasi berupa pembentukan kelompok yang terjadi seperti

dalam masyarakat Asia Kecil, Yunani dan masyarakat Romawi .

37

36

Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati, Hukum Perdata: Hukum Orang & Keluarga, (Medan:USU Press,2011),Hal. 20.

37

Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana,(Bandung:Sekolah Tinggi Hukum Bandung,1991),Hal 22

. Pada abad

(2)

mulai suram karena pada masa itu orang tidak mungkin melakukan suatu

perdagangan tanpa didukung oleh perlindungan militer dan tertib social.

Pada masa itu perkembangan korporasi di Eropa ditandai dengan adanya

Dewan Gereja yang dipengaruhi oleh Hukum Romawi. Gereja sebagai suatu

korporasi memberikan suatu sumbangan yang sangat besar terhadap “the concept of

thye corporate personality” yakni dalam bentuk “Kota Praja” yang

menyelenggarakan pemerintahan secara umum38

38

Ibid Hal 23

. Perkembangan korporasi pada

permulaan zaman modern dipengaruhi oleh bisnis perdagangan yang sifatnya

kompleks. Misalnya pada tahun 1599 dibentuklah “The English East India

Company”. Kemudian sebelumnya dibentuk juga beberapa usaha dagang seperti di

Rusia, dibentuk “The Muscovy Company” pada tahun 1555.

Amerika pada tahun 1795 tepatnya di North Carolina didirikan korporasi yang

pendiriannya didasarkan pada prinsip hukum yang berlaku pada waktu itu, dimana

bergerak pada bidang penyelenggaraa kepentingan umum. Prancis sendiri baru

memasukkan korporasi dalam kodifikasi “Code de Commerce” pada tahun 1807.

Nampaklah waktu yang berdekatan dan hubungannya sebagai suatu Negara yang

dikuasai Prancis akan tercermin dalam W.v.K Nederland, yang sistem dan isi

W.v.KNederland secara nyata mengacu pada “Code de Commerce” dan “Code de La

(3)

Pada permulaan abad ke XVII terjadi perkembangan atas pengaruh semakin

meluasnya perdagangan pelayaran ke Indonesia dimana banyak yang menanamkan

modalnya pada perusahaan pelayaran dengan cara meminjamkan uang dengan sistem

kepercayaan (toevertrouwen). Tahun 1602 terbentuklah VOC yang terdiri atas

pengusaha-pengusaha dan pada saat inilah pertama kali terbentuk badan usaha yang

mempunyai bentuk N.V yang disebut dengan “Societe Anonyme” yang diatur dalam

Pasal 36 sampai Pasal 56 KUH Dagang39

Perusahaan-perusahaan pemerintah yang modalnya sebagian atau ikut serta

dalam sebuah perusahaan terdapat pula dalam bentuk Perseroan Terbatas atau N.V.

yang tunduk pada hukum perdata dan dagang, antara lain PT. Jakarta Loyd dengan

Akta Notaris No. 81 Tahun 1851, PT.Pelayaran Nasional Indonesia (PELNI) dengan

Akta Notaris No. 92 Tahun 1952 dan lainnya. Akan tetapi perkembangan PT-PT

sangat menyedihkan dengan banyak mengalami kerugian-kerugian sehingga perlu

diadakan reorganisasi Perusahaan Negara dengan dikeluarkannya Undang-undang

Nomor 1 Prp Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara, ditetapkan dengan . Kedua peraturan ini setelah Indonesia

merdeka mengalami perubahan dan diadakan pembaharuan yang disesuaikan dengan

situasi dan kondisi Indonesia merdeka. Namun, pada dasarnya tidak mengalami

perubahan yang prinsipal kecuali lebih disederhanakan prosedur kerjanya dengan

Undang-Undang No.3 Tahun 1954 L.N. Nomor 6 Tahun 1954 Jo Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 1955 L.N Tahun 1955.

39

(4)

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1969. Dalam pasal 1 menetapkan ada 3 bentu usaha

Negara yakni:

a. Perusahaan Jawatan (PERJAN)

b. Perusahaan Umum (PERUM)

c. Perusahaan Perseroan (PERSERO)40

Korporasi tidak hanya bergerak di bidang kegiatan ekonomi saja, akan tetapi

sekarang ini ruang lingkupnya sudah mulai luas dan mencakup bidang pendidikan,

kesehatan, lingkungan, pemerintah dan perkembangan teknologi itu sendiri. Hal

inilah yang membuat pengaturan korporasi terus berkembang. Terutama pengaturan

hukumnya, harus terus berkembang karena perkembangan korporasi dari waktu ke

waktu sifatnnya dinamis.

2. Perkembangan Dan Perubahan Korporasi Sebagai Subjek Hukum Pidana

Dalam paham konvensional, subjek hukum meliputi manusia

(natuurlijkpersoon) dan badan hukum (rechtspersoon). Hal ini menunjukkan bahwa

tidak hanya manusia yang mendapat posisi sebagai subjek hukum. Korporasi juga

telah mendapat pengakuan sebagai salah satu subjek hukum. Jadi manusia dan badan

hukum membawa hak dan kewajiban yang diberikan oleh hukum. Hak ialah

wewenang yang didapat oleh subjek hukum umtuk melakukan atau tidak melakukan

40

(5)

suatu perbuatan hukum. Kewajiban merupakan pembebanan yang diberikan hukum

terhadap subjek hukum untuk melakukan sesuatu.

Hukum perdata mengenal subjek hukum sebagai pembawa hak untuk

melakukan suatu perbuatan hukum. Status subjek hukum diperoleh manusia pada saat

momentum ketika manusia itu dilahirkan (sudah merupakan kodrat) dan akan

berakhir ketika meninggal dunia41

“Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya. Mati sewaktu dilahirkannya, dianggaplah ia tak pernah telah ada”. Hal ini berarti bahwa hukum perdata mengakui keberadaan subjek hukum sekalipun subjek hukum itu belum lahir ke duni ini, apabila ada kepentingan khusus.

. Dalam KUHPerdata telah mengatur mengenai

prinsip pengakuan manusia sebagai subjek hukum yakni Pasal 2 KUH Perdata yang

berbunyi;

42

Objek hukum itu sendiri merupakan segala sesuatu yang bermanfaat bagi

subjek hukum. Perolehan objek hukum ini sendiri berasal dari hubungan hukum yang Subjek hukum badan hukum sendiri merupakan suatu lembaga yang dibuat

oleh hukum serta mempunyai tujuan tertentu. Badan hukum tersebut memiliki

kekayaan yang terpisah dengan kekayaan anggotanya. Badan hukum hukum tersebut

juga memiliki hak dan kewajiban yang terpisah pulak dengan hak dan kewajiban

(6)

telah dilakukan terlebih dahulu oleh subjek hukum yang bersangkutan. Objek hukum

juga dikenai hak dan kewajiban subjek hukum. Simons mencampur unsur objektif

(perbuatan) dan unsur subjektif (pembuat). Yang disebut sebagai unsur objektif ialah:

a. Perbuatan orang

b. Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu

c. Ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan seperti itu dalam Pasal

281 KUHP yang sifatnya “openbaar” atau “di muka umum”43

Subjek Hukum Pidana Korporasi di Indonesia dikenal sejak tahun 1951, yakni

ada pada Undang-Undang Penimbunan Barang-Barang. Mulai dikenal secara luas

sejak muncul Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi (Pasal 15 ayat (1)), Pasal 49

Undang-Undang No. 9 Tahun 1976. Sehingga demikian korporasi sebagai subyek

hukum pidana hanya ditemukan dalam perundang-undangan khusus diluar KUHP

yang merupakan pelengkap KUHP, sebab untuk Hukum Pidana atau KUHP itu

sendiri masih menganut subyek hukum pidana secara umum yaitu manusia (Pasal 59

KUHP).

.

Dalam perubahan korporasi menjadi subyek hukum pidana masih

menimbulkan pertentangan. Adanya pro dan kontra dikarenakan ketidaksepahaman

43

(7)

tiap orang dalam memandang kedudukan korporasi itu sendiri. Adapun alasan pihak

yang tidak setuju jika korporasi dijadikan sebagai subyek hukum pidana ialah44

1. Masalah kejahatan yang berhubungan dengan kesengajaan dan kesalahan

hanya terdapat dalam person alamiah.

:

2. Tingkah laku materiil yang adalah syarat dapat dilakukannya pidana beberapa

delik, hanya dapat dilakukan oleh persona alamiah.

3. Pidana dan tindakan berupa perampasan kemerdekaan orang tidak dapat

dikenakan pada korporasi.

4. Dalam kenyataannya tidak mudah menentukan normas dan dasar hukum

untuk memutus apakah korporasi saja atau pengurus daja atau malah keduanya yang harus dituntut dan dipidana.

Sedangkan pihak yang berpendapat setuju menempatkan korporasi sebagai

subyek hukum pidana menyatakan45

a. Dalam perkembangan di kehidupan social dan ekonomi, korporasi semakin

memainkan peran yang penting pula. :

b. Dipidananya pengurus ternyata tidak cukup untuk mengadakan repressi

terhadap delik-delik yang dilakukan oleh korporasi.

c. Hukum pidana harus bisa melindungi masyarakat dan menegakkan norma

yang berlaku. Jika hanya berlaku pada manusia, maka tujuan itu tidak dapat tercapai. Maka tidak ada alasan untuk menentang menjatuhkan pidana pada korporasi.

d. Pidana pada korporasi merupakan upaya agar pengurus yang tidak bersalah

tidak serta merta harus bertanggungjawab atas perbuatan yang tidak

sepenuhnya mereka lakukan46

Namun, dalam kenyataannya sangat sulit menemukan kasus dimana dimuat

korporasi dijatuhi pidana. namun kedudukan badan hukum atau korporasi sebagai

subyek hukum pidana telah dimuat dalam suatu Putusan yakni Putusan Mahkamah

Agung Republik Indonesia tanggal 1 Maret 1969, Nomor 136/Kr/1966 dalam perkara .

(8)

PT.Kosmo dan PT.Sinar Sahara, yang menyatakan bahwa “suatu badan hukum tidak

dapat disita”. Menurut Prof. Muladi, pandangan Mahkamah Agung itu tepat, yakni

kedua perusahaan itu memang tidak dapat disita karena keduanya bukanlah barang

melainkan subyek hukum. Dengan kata lain Putusan Mahkamah Agung ini

menegaskan bahwa badan hukum atau korporasi adalah subyek hukum dalam hukum

pidana.

Penulisan skripsi ini berhubungan erat dengan Lingkungan Hidup. UU

Lingkungan hidup pun telah menempatkan korporasi sebagai subyek hukum tindak

pidana. Pasal 1 angka 32 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan bahwa “Orang adalah orang perorangan,

dan.atau kelompok orang, dan/atau badan hukum. Maka dalam proses penyidikan,

korporasi dapat diperikisa meliputi badan hukum itu sendiri, perseroan, perserikatan,

yayasan atau organisasi lainnya”,

Indonesia adalah negara yang telah mengalami proses modernisasi dengan

melihat sejarah dan perkembangan kedudukan korporasi dalam sistem hukum yang

berlaku. Hal ini memang sudah menjadi suatu keharusan. Glanville Williams dalam

bukunya “Textbook of Criminal Law” yang menyatakan bahwa dapat

(9)

bukan berdasarkan asas “theory of justice” tetapi adalah untuk pencegahan

kejahatan47

B. Teori Pertanggungjawaban Pidana Korporasi .

Ada beberapa teori tentang badan hukum. Teori tersebut diutarakan oleh

Curzon, diantaranya:

1. Teori Fiksi

Teori ini dikemukakan oleh Friedrich Carl Von Savigny yang mengatakan

bahwa badan hukum itu adalah fiksi. Badan hukum itu semata-mata buatan

negara saja.

a. Teori Harta Kekayaan Bertujuan

A.Brinz mengatakan bahwa pemisahan harta kekayaan badan hukum dengan

harta kekayaan anggota memiliki suatu tujuan tertentu. Dengan adanya

pemisahan harta kekayaan ini, menjadikan badan hukum merupakan subjek

hukum.

b. Teori Organ

Tokoh dari teori ini Otto Von Gierka yang menyatakan bahwa badan hukum

sama saja dengan manusia sebagai subjek hukum. Hal ini dikarenakan badan

hukum memiliki alat perlengkapan dan memiliki perantara untuk melakukan

suatu perbuatan hukum. Dimana perantaranya berupa pengurus, komisaris,

dan rapat anggota.

47

(10)

c. Teori Kepemilikan bersama

Bahwa badan hukum tidak lain merupakan perkumpulan manusia yang ada

hak dan kewajiban anggota.

Keberadaan korporasi sebagai subjek hukum telah lama dikenal dalam sistem

hukum Indonesia. Konsep korporasi merupakan konsep dari stelsel hukum perdata.

Konsep korporasi sendiri telah mencakup hampir semua bidang hukum. Jika

berbicara dalam ranah administrasi negara, maka korporasi akan terkait dengan izin

dari pendirian korporasi itu. Misalnya dalam stelsel hukum Indonesia sendiri,

setiappendirian PT harus mendapat persetujuan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi

Manusia, dimana syarat itu diberlakukan agar kelayakannya dapat dikontrol48

Korporasi merupakan subjek hukum dan dapat dikenai pertanggungjawaban

atas perbuatan yang dilakukan oleh korporasi. Hal ini terjadi ketika sebuah korporasi .

Dalam hukum lingkungan, badan hukum diterima sebagai subjek hukum. Hal

ini telah diatur secara yuridis dalam Pasal 38 dalam Undang-Undang No. 23 Tahun

1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jadi , selain ranah administrasi negara,

hukum lingkungan juga menerima korporasi sebagai salah satu subjek hukum selain

manusia. Selain Undang-Undang tersebut masih banyak lagi komponen peraturan

perundang-undangan yang memuat korporasi sebagai subjek hukum yang diatur

penggunaan hak dan kewajibannya, dimana pelaksanaannya dilakukan oleh perangkat

korporasi

48

(11)

terbukti melakukan kesalahan. Kesalahan tersebut kemudian menimbulkan akibat

yang harus dipertanggungjawabkan oleh korporasi layaknya seorang manusia. Ketika

korporasi melakukan perbuatan pidana yang mana mengakibatkan kerugian untuk

masyarakat luas, maka korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana pula

layaknya subjek hukum yang lainnya.

Ada beberapa teori pertanggungjawaban pidana oleh korporasi yakni;

1. Doktrin Identifikasi

Negara Anglo Saxon mengenal konsep direct corporate criminal liability atau

doktrin pertanggungjawaban pidana langsung. Hal ini ada dalam rangka

pertanggungjawaban korporasi secara pidana. Menurut doktrin ini, perusahaan dapat

melakukan delik secara langsung melalui orang yang sangat berhubungan erat dengan

perusahaan dan dipandang sebagai perusahaan itu sendiri. Mereka tidak sebagai

pengganti dan oleh sebab itu pertanggungjawaban perusahaan tidak bersifat

pertanggungjawaban pribadi. Doktrin ini dikenal dengan istilah “The Identification

doctrine” atau doktrin identifikasi.

Suatu tindak pidana menurut “common law” atau “penal statute” yang tidak

dapat diterapkan terhadap sebuah perusahaan. Contohnya tindak pidana yang

memerlukan “mens rea”. Maka dikembangkan suatu sarana bagaimana mengaitkan

pikiran ini sehingga perusahaan secara pidana bertanggungjawab dalam masalah

(12)

agennya. Agen ini menurut Doktrin Identifikasi dianggap sebagai “directing mind”

atau “alter ego”. Bila individu diberi wewenang untuk bertindak atas nama dan

selama menjalankan bisnis perusahaan atau korporasi tersebut, maka “mens rea” para

individu merupakan “mens rea” perusahaan tersebut49

“More specifically, the criminal act and state of mind of the senior officer may be treated as being the company’s own act or state of mind, so as to create criminal liability in the company. The elements of an offence may be collected from the conduct and mental states of several of its senior officers, in appropriate circumstamces”

.

Perbuatan dan sikap batin orang tertentu dalam sebuah korporasi

berhubungan dengan korporasi dan pengelolaan urusan korporasi. Orang-orang

tertentu itu disebut sebagai “senior officers” dari perusahaan. Sehubungan dengan

hal itu, secara spesifik Peter Gillies menyatakan;

50

Doktrin pertanggungjawaban langsung ini (direct liability doctrin) dapat

menuntut korporasi dalam kebanyakan delik. Pada sisi lain, doktrin ini membatasi Adanya timbul kesalahan dari perbuatan/sikap batin pejabat senior merupakan

perbuatan/sikap batin perusahaan juga. Terkait dengan hal itu, Michael Allen

menyatakan bahwa korporasi hanya bertanggungjawab jika orang diidentifikasi

dengan korporasi, bertindak dalam ruang lingkup jabatannya ; korporasi tidak akan

bertanggungjawab atas perbuatan atas perbuatan yang dilakukan oleh orang itu dalam

(13)

pertanggungjawaban korporasi apabila kesalahan tersebut dilakukan oleh orang yang

tidak mempunyai status sebagai pejabat senior. Hal ini terkecuali jika

Undang-Undang menetapkan dasar pertanggungjawaban yang lain. Korporasi dapat

dipertanggungjawabkan dalam situasi yang ditetapkan oleh Undang-Undang secara

tegas dan implisit. Pejabat senior dipandang mewakili perusahaan untuk tujuan dari

doktrin “the direct liability”, hanya saat perbuatan dilakukan dalam ruang lingkup

kewenangan yakni kapasitas ebagai manajer atau pengendali perusahaan. Keadaan

jiwa dari pejabat senior dapat dilibatkan pada perusahaan, bukan hanya untuk

memperberat tapi juga untuk melepaskan perusahaan dari pertanggungjawaban

pidana.

2. Doktrin Pertanggungjawaban Pengganti (Vicarious Liability)

Pertanggungjawaban pidana korporasi mengenal sistem pertanggungjawaban

pidana pengganti, yakni pertanggungjawaban seseorang tanpa kesalahan pribadi

namun bertanggungjawab atas perbuatan orang lain. Peter Gillies mengemukakan

pendapat yang berhubungan dengan doktrin “vicarious liability” yang dimuat dalam

bukunya yang berjudul “Criminal Law” yakni:

(14)

not all offences may be commited vicariously. The courts have evolved a number of principles of specialist application in this context. One of them is the scope of employment principle”

Vicarious Liability menurut Barda Nawawi Arief, diartikan

“pertanggungjawaban hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh

orang lain” (the legal responsibility of one person for the wrongful acts of another)51

51

Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Di Indonesia,(Bandung:CV.Utomo,2004), Hal. 100

.

Maka dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa menurut doktrin vicarious

liability, seseorang dapat mempertanggungjawabkan perbuatan yang dilakukan oleh

orang lain dan dasarnya adalah delik dapat dilakukan baik secara vicarious maupun

langsung. Namun, yang menjadi pertanyaan ialah bagaimana seseorang dapat

mempertanggungjawabkan perbuatan yang dilakukan oleh orang lain?

Common Law mempunyai ketentuan umum bahwa seseorang tidak dapat

mempertanggungjawabkan secara vicarious tindak pidana yang dilakukan oleh orang

lain. Hal ini juga dianut dalam sistem hukum Indonesia. Jadi jika seseorang

melakukan kesalahan, tidak dapat digantikan oleh orang lain dalam hal

pertanggungjawabannya. Berbeda dengan Statute Law, sistem ini menganut vicarious

liability dalam beberapa hal diantaranya seorang mempertanggungjawabkan

perbuatan orang lain apabila telah mendelegasikannya. Kemudian, seorang majikan

yang mempertanggungjawabkan pekerjaan pelayannya apabila dipandang perbuatan

(15)

Ajaran Vicarious Liability menyiratkan bahwa seseorang dimungkinkan

untuk bertanggungjawab tehadap perbuatan orang lain. Jika ajaran ini diterapkan pada

sebuah korporasi, maka korporasi tersebut dimungkinkan harus bertanggungjawab

atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh para pegawainya, mandatarisnya atau

siapapun yang bertanggungjawab terhadap korporasi tersebut. Apapun yang

dilakukan seorang manager atau majikan melalui agennya, maka hal ini sama saja

dengan dia melakukan sendiri perbuatan itu. Dengan kata lain, hukum memandang

bahwa tindakan agen atapun karyawan merupakan tindakan yang dilakukan oleh

kepala atau majikan dan pengetahuan agen atau karyawan merupakan pengetahuan

dari kepala atau majikan52

Sebagai Ius Constituendum, doktrin pertanggungjawaban vicarious liability

sudah ditampung dalam Rancangan KUHP 1999-2000 pada Pasal 32 Ayat 2 yang

berbunyi: “Dalam hal tertentu, seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas tindak

pidana yang dilakukan oleh orang lain, jika ditentukan dalam suatu

undang-undang”53

. Doktrin ini telah dipraktikkan dalam hukum lingkungan hidup. Hal ini

diatur dalam Pasal 116 ayat (2) UUPPLH yang mengandung prinsip vicarious

liability. Berdasarkan prinsip ini juga, pimpinan korporasi atau siapapun yang

memberi tugas bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan oleh bawahannya.

(16)

memberikan penyelesaian yang komprehensif terhadap isu pembebanan tanggung

jawab pidana terhadap badan hukum.

3. Doktrin Pertanggungjawaban Yang Ketat Menurut Undang-Undang (Strict

Liability)

Teori ini disebut juga teori pertanggungjawaban mutlak (absolute liability).

Strict Liability merupakan bentuk pertanggungjawaban kepada korporasi atas tindak

pidana yang dilakukan oleh seseorang yang bekerja pada korporasi tersebut. Suatu

pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada pelaku tindak pidana tertentu,

tanpa perlu dibuktikan ada tidaknya unsure kesalahan.

Sutan Remi Sjahdeni berpendapat bahwa:

“Dalam hukum pidana yang terjadi belakangan, diperkenalkan pula tindak-tindak pidana yang pertanggungjawaban pidananya dapat dibebankan kepada pelakunya sekalipun pelakunya tidak memiliki mens rea yang disyaratkan.Cukuplah apabila dapat dibuktikan bahwa pelaku tindak pidana telah melakukan actus reus, yaitu melakukan perbuatan yang dilarang oleh ketentuan pidana atau tidak melakukan perbuatan yang diwajibkan oleh ketentuan pidana. tindak-tindak pidana yang demikian itu juga disebut offences of strict liability atau yang sering disebut juga sebagai offences of absolute prohibition”

Prinsip tanggungjawab berdasarkan kepada adanya unsur kesalahan (liability

on fault or negligence atau fault liability) adalah reaksi terhadap prinsip atau teori

tanggung jawab mutlak yang berlaku di masyarakat primitif. Dalam sistem hukum

primitif, tujuan hukum yang utama adalah adanya kerukunan dan keamanan dan

(17)

kompensasi tanpa melihat motivasi orang yang melakukan perbuatan itu. Jadi teori

pertanggungjawaban mutlak lebih menitikberatkan pada unsur “penyebabnya”

daripada “kesalahannya”.

Namun, hukum mulai menaruh perhatian yang besar pada hal-hal yang

bersifat pemberian maaf. Maka prinsip tanggung jawab mutlak sebagai hukuman

yang diperlukan untuk menghindarkan perbuatan balas dendam berubah menjadi

tanggung jawab yang didasarkan atas adanya unsur “kesalahan”E.Sefullah

Wiradipradja berpendapat tentang masalah prinsip pertanggungjawaban mutlak ialah:

“Prinsip tanggungjawab mutlak (no-fault liability or liability without fault) di

dalam kepustakaan biasanya dikenal dengan ungkapan ‘absolute liability’ atau

‘strict liability’. Dengan ‘prinsip pertanggungjawab mutlak’ dimaksudkan tanggungjawab tanpa keharusan untuk membuktikan adanya kesalahan. Atau dengan perkataan lain, suatu prinsip tanggungjawab yang memandang ‘kesalahan’ sebagai suatu yang tidak relevan untuk dipermasalahkan apakah

pada kenyataannya ada atau tidak”54

Pada dasarnya antara strict liability dengan vicarious liabilitymemiliki

persamaan yakni keduanya tidak mensyaratkan adanya “mens rea” atau adanya unsur

kesalahan pada orang yang dituntut pidana. Perbedaan keduanya ada pada bentuk

pertanggungjawaban pidananya , dimana pertanggungjawaban strict liability

langsung pada orangnya tapi vicarious liability bersifat tidak langsung.

54

(18)

C. Pertanggungjawaban Pidana Oleh Korporasi

Pertanggungjawaban pidana memiliki dua pandangan yang berbeda yakni

pandangan yang monistis dan pandangan yang dualistis. Pandangan yang monistis

dikemukakan oleh Simons yang merumuskan “strafbaar feit” sebagai “eene

strafbaar gestelde, onrechtmatige, met schuld in verband staande handeling van een

torekeningvatbaar person” (suatu perbuatan yang oleh hukum diancam hukuman,

bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh seorang yang bersalah dan orang itu

dianggap bertanggungjawab atas perbuatannya)55. Tidak semua manusia dapat

dimintai pertanggungjawaban terhadap sebuah perbuatan hukum. Orang yang dapat

dimintai pertanggungjawaban ialah orang yang mana telah dianggap cakap menurut

hukum. Cakap bertindak dalam hukum dikenal dengan istilah rechtsbekwaamheid.

Istilah kecakapan ini ada dimuat dalam Pasal 1320 KUH Perdata angka 2. Namun

tidak diuraikan secara jelas maksud dari kecakapan ini. Pada dasarnya setiap orang

cakap dalam melakukan perbuatan hukum kecuali jika undang-undang yang

menyatakan tidak cakap56

1. Orang yang masih di bawah umur (belum berumur 21 tahun)

.

Pihak-pihak yang dinyatakan tidak cakap oleh hukum untuk melakukan suatu

perbuatan hukum adalah :

2. Orang yang berada di bawah pengampuan (curatele), tidak sehat pikirannya.

55

Muladi dan Dwidja Priyatno Op.cit Hal 50

56

(19)

3. Perempuan yang dalam pernikahan (wanita kawin)57

Tampak ada pembedaan untuk orang-orang tertentu yang tidak dapat dimintai

pertanggungjawaban dikarenakan subjek hukum tersebut masuk dalam kategori

dalam orang yang dipandang tidak cakap hukum. Telah diuraikan sebelumnya bahwa

selain manusia, ada juga badan hukum yang dipandang juga sebagai salah satu subjek

hukum. Hukum memberi status persoon kepada badan hukum untuk mempunyai hak

dan kewajiban seperti manusia. Namun, walaupun manusia dan badan hukum

sama-sama subjek hukum tapi keduanya tetap memiliki perbedaan. Perbedaannya

diantaranya ialah manusia dapat melakukan perkawinan yang merupakan salah satu

perbuatan hukum sedangkan badan usaha tidak dapat melakukan perkawinan. Badan

hukum bertindak dengan perantaraan yakni pengurusa dari badan hukum itu sendiri.

Hal ini dikarenakan sifat badan hukum merupakan benda mati yang dijalankan oleh

manusia sebagai penggerak badan hukum itu, sedangkan manusia dapat melakukan

sendiri suatu perbuatan hukum tanpa melalui perantaraan .

58

Pengurus sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggungjawab, maka

kepada pengurus korporasilah dibebankan kewajiban dari korporasi. Kewajiban yang

dibebankan ini sebenarnya kewajiban korporasi. Dalam hal korporasi sebagai

pembuat dan pengurus bertanggungjawab, maka ditegaskan bahwa korporasi

mungkin sebagai pembuat. Pengurus ditunjuk sebagai yang bertanggungjawab atas .

57

C.S.T Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia,

(Jakarta:Penerbit Rineka Cipta, 2011), Hal 100.

58

(20)

perbuatan yang dilakukan oleh korporasi. Apa yang dilakukan oleh alat perlengkapan

korporasi menurut wewenang pengurus dan berdasarkan anggaran dasarnya. Tindak

pidana yang dilakukan oleh korporasi adalah tindak pidana yang dilakukan seseorang

tertentu sebagai pengurus dari badan hukum itu.

Korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggungjawab adalah dengan

memperhatikan perkembangan korporasi itu sendiri, yaitu bahwa ternyata untuk

beberapa delik-delik tertentu, dipidananya pengurus saja tidak memberi jaminan yang

cukup bahwa korporasi tidak sama sekali melakukan perbuatan yang telah dilarang

oleh Undang-Undang tersebut. Tapi setidaknya ketika korporasi dikenakan

pertanggungjawaban, dapat berefek sekaligus pada orang-orang yang menjalankan

kegiatan korporasi tersebut.

Terkait dengan tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi di bidang

lingkungan hidup, korporasi telah dimuat menjadi salah satu subjek hukum. Terkait

dengan status itu, korporasi dapat dikenai pertanggungjawaban pidana. Hal ini telah

termuat dalam ketentuan pidana Undang-Undang Lingkungan Hidup (UU No 32

Tahun 2009). Dalam konsep corporate culture ini terdapat unsur yang harus

dibuktikan yakni:”suatu kebiasaan atau tingkah laku perusahaan yang memerintah,

mendorong,mentoleransi ataupun membiarkan suatu tindakan yang tidak sesuai

(21)

sesuai dengan peraturan, perlu juga mengetahui bahwa dewan direktur itu”secara

sengaja, mengetahui atau membiarkan terjadinya suatu tindakan”59

Barda Nawawi Arief menyatakan untuk adanya pertanggungjawaban pidana

harus jelas dulu siapa yang dapat dipertanggungjawabkan. Biasanya menyangkut

masalah subyek hukum pidana pada umumnya sudah dirumuskan oleh pembuat

undang-undang tindak pidana yang bersangkutan. Namun, faktanya memastikan siapa

pembuat adalah tidak mudah. Setelah ditentukan, maka selanjutnya ialah bagaimana

pertanggungjawabannya

.

60

59

Alvi Syahrin, Beberapa Isi Hukum Lingkungan Kepidanaan, (Jakarta:PT.Sofmedia,2009), Hal.26

60

Muladi dan Dwidja Prayitno,Op.cit,Hal 66-67

.

Pertanggungjawaban pidana badan hukum dalam kasus lingkungan hidup

diatur dalam pasal 46 UUPLH. Pasal ini menetapkan bahwa “Jika tindak pidana

sebagaimana dimaksud dalanm Bab ini dilakukan oleh atau atas nama badan hukum,

perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain tuntutan pidana dilakukan dan

sanksi pidana serta tindakan tata tertib sebagaimana dimaksud Pasal 47 UUPLH

dijatuhkan baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau

organisasi lain tersebut maupun terhadap mereka yang memberi perintah untuk

melakukan tindak pidana tersebut atau terhadap kedua-duanya”.

(22)

1. Atas dasar falsafah intergralistik, yakni segala sesuatu hendaknya diukur

atas dasar keseimbangan, keselarasan, dan keserasian antar kepentingan

pribadi dan social

2. Atas dasar asas kekeluargaan dalam Pasal 33 UUD 1945

3. Untuk memberantas anomie of success

4. Untuk perlindungan konsumen

5. Untuk kemajuan teknologi61

D. Pertanggungjawaban Pidana Oleh Korporasi Menurut Sistem Hukum Indonesia

1. Menurut KUHP

Menurut sistem KUHP, Korporasi sebagai subyek hukum dalam hukum

pidana belum ditemui. Padahal negeri Belanda sendiri sudah memuatnya sejak Tahun

1976, hal ini termuat dalam Buku I KUHP tentang ketentuan umum. Sedangkan di

Indonesia sendiri masih menganut bahwa perbuatan pidana hanya dapat dilakukan

oleh orang atau manusia pribadi (Pasal 59 KUHP).

KUHP juga memuat pasal lain yang tampaknya juga menyangkut tentang

korporasi sebagai subyek hukum, namun disini yang diancam pidana adalah orang,

bukan korporasinya62

61

Alvi Syahrin, Op.cit Hal 39

62

Sudarto,Hukum Pidana I,(Semarang:Badan Penyediaan Bahan-Bahan Kuliah,FH UNDIPurus,1987),Hal.61

(23)

dalam perkumpulan terlarang, Pasal 398 dan Pasal 399 KUHP tentang pengurus atau

komisaris perseroan terbatas.Menurut Himpunan Peraturan Perundang-undangan RI

yang disusun oleh Sistem Engelbrecht, ada 19 Peraturan Perundang-undangan yang

menempatkan korporasi sebagai subyek hukum pidana. Dari 19 peraturan

perundang-undangan itu, ada dua kategori peraturan yang menyangkut tanggungjawab korporasi

dalam pidana yakni63

1. Peraturan perundang-undangan yang mengakui korporasi dapat

melakukan tindak pidana, akan tetapi pertanggungjawaban pidananya

dibebankan terhadap anggota atau pengurus. Berdasarkan isi rumusan

peratura perundang-undangan menurut kategori ini adalah korporasi

diakui sebagai subyek hukum pidana hanya saja yang dapat

dipertanggungjawabkan secara pidana adalah pengurus, atau

pemimpin dari korporasi, atau yang bertindak berdasarkan kuasa dari

korporasi, sehingga tampak bahwa pelimpahan tanggungjawab yang

dibebankan pada pengurus dari korporasi dengan mengabaika apakah

yang bersangkutan mengetahui ada atau tidaknya tindak pidana yang

dilakukan oleh korporasi. :

2. Kategori kedua ini menganut bahwa dalam peraturan

perundang-undangan mengakui secara tegas korporasi dapat

dipertanggungjawabkan secara langsung. Bila dihubungkan dengan

63

(24)

tahap-tahap perkembangan korporasi sebagai subjek tindak pidana,

maka kategori ini masuk dalam tahap ketiga yakni korporasi sebagai

pembuat dan dapat dipertanggungjawabkan secara pidana64

Penetapan dan tempat korporasi sebagai subjek hukum tindak pidana, dalam

peraturanb perundang-undangan di Indonesia, ditempatkan di luar KUH Pidana.

Apabila melihat faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum yakni

hukumnya sendiri, ternyata kebijakan legislasi ditempuh sebagai kebijakan factual

dalam sistem pertanggungjawaban pidana korporasi di Indonesia melalui peraturan

diluar KUHP yakni

.

65

01.Undang-Undaang No. 9 Drt Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi

:

02.Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika

03.Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika

04.Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan

Indonesia

(sekarang Undang-Undang No. 32 Tahun 2009)

05.Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun

2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

06.Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian

Uang

64

Ibid Hal 43 - 49

65

(25)

07.Undang-Undang No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan.

Pasal 103 KUHP menganut adagium “lex specialis derogate lex generali”

artinya undang-undang khusus dapat mengesampingkan ketentuan umum66. Apabila

dikaitkan dengan kedudukan korporasi sebagai subyek hukum maka hal ini tidak ada

diatur dalam KUHP. KUHP itu sendiri merupakan hukum pidana umum. Berdasarkan

ketentuan pasal 103 KUHP tersebut, jika KUHP tidak mengatur kedudukan korporasi

sebagai subyek hukum, maka yang berlaku adalah ketentuan perundang-undangan

khusus di luar KUHP. Pasal 44 Rancangan KUHP 1999-2000 menyatakan:

“Korporasi dapat dipertanggungjawabkan dalam melakukan tindak pidana”67

1. Pengurus korporasi sebagai pembuat dank arena itu penguruslah yang

bertanggungjawab

.

Berdasarkan ketentuan itu, korporasi telah diterima sebagai subjek hukum

pidana, yang artinya adalah dapat dipertanggungjawabkan secara pidana atas

perbuatan yang telah dilakukan. Kedudukan sebagai pembuat dan sifat

pertanggungjawaban pidana dari korporasi yang dikenal sebagai Model

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, memiliki beberapa kemungkinan yakni:

2. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggungjawab

3. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab

66

Moeljatno,Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,(Jakarta:Bumi Aksara, 1999),Hal 40

67

(26)

Oleh karena itu jika suatu tindak pidana dilakukan oleh dan untuk suatu

korporasi maka penuntutannya dapat dilakukan dan pidananya dapat dijatuhkan

terhadap korporasi sendiri, atau korporasi dan pengurusnya atau pengurusnya

saja68

Ketentuan-ketentuan dalam KUHP jelas menganut subyek dalam hukum

pidana adalah orang. Hal tersebut sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 59

KUHP. Bila dihubungkan dengan tahap perkembangan korporasi maka ini

merupakan tahap pertama. Hal ini karena pertanggungjawaban pidana korporasi

belum dikenal luas. Ditambah lagi kuatnya asas “societas non potest” yakni badan

.Dalam hal penguruskorporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang

bertanggungjawab, kepada korporasi diberikan kewajiban-kewajiban tertentu.

Sebenarnya kewajiban yang dibebankan itu adalah kewajiban korporasi. Dasar

pemikirannya adalah sebagai berikut: korporasi itu sendiri tidak dapat

dipertanggungjawabkan terhadap suatu pelanggaran melainkan pengurus lah yang

melakukan delik itu. Karenanya penguruslah yang diancam pidana serta dipidana.

Ketentuannya ada pada Pasal 169 KUHP , Pasal 398 dan 399 KUHP. Tindak pidana

dalam pasal 169 KUHP adalah tindak pidana kejahatan terhadap ketertiban umum

(Bab V Buku II KUHP) yakni turut serta dalam perkumpulan terlarang. Apabila

dilakukan oleh pengurus korporasi maka aka nada pemberatan. Sedangkan Pasal 398

KUHP tidak membebankan tanggungjawab pidan pada korporasi tapi pada

pengurusnya.

68

(27)

hukum tidak dapat melakukan tindak pidana atau asas “universitas delinquere non

potest” yakni badan hukum (korporasi) tidak dapat dipidana.

2. Menurut Undang-Undang Lingkungan Hidup

Kesadaran lingkungan hidup global ditandai dengan adanya Konfrensi PBB

Tentang Lingkungan Hidup di Stockholm 1972. Indonesia sebagai salah satu dari 113

negara peserta Konfrensi Stockholm 1972. Sebagai Negara peserta konfrensi,

Indonesia harus menyiapkan “Laporan Nasional” tentang keadaan lingkungan hidup

di Indonesia. Kemudian, pada masa itu Menteri Negara Pengawasan Pembangunan

dan Lingkungan Hidup melakukan Pembentukan Kelompok Kerja dalam Bidang

Pembinaan Hukum dan Aparatur dalam Pengelolaan Sumber Alam dan Lingkungan

Hidup. Kelompok ini kemudian menghasilkan suatu rancangan Undang-Undang

tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Tanggal 11 Maret 1982 Dewan Perwakilan Rakyat sepakat untuk menyetujui

Rancangan Undang-Undang menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang

Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Maka, Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 1982 ini merupakan sumber formal pertama bagi lahirnya hukum

lingkungan nasional modern di Indonesia.Akan tetapi, setelah UULH 1982 berlaku

selama sebelas tahun ternyata oleh para pemerhati lingkungan hidup dipandang

sebagai instrument kebijakan pengelolaan lingkungan hidup yang tidak efektif. Para

(28)

Lingkungan Hidup dan BAPEDAL, berpandangan bahwa gagalnya kebijakan

pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia dikarenakan kelemahan penegakan

hukum UULH 1982. Oleh sebab itu UULH 1982 perlu “disempurnakan”69

69

Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia,(Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2015),Hal 41

.

Tanggal 19 September 1997, pemerintah mengundangkan UU No. 23 Tahun

1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang ini memuat konsep

atau hal yang sebelumnya tidak diatur dalam UULH 1982. Misalnya di bidang hak

masyarakat, bidang instrument pengelolaan lingkungan, bidang audit lingkungan,

bidang penyelesaian sengketa. Bidang sanksi pidana, UULH 1997 memberlakukan

delik formal di samping materiil dan delik korporasi. Perkembangan selanjutnya

adalah Pemerintah mengundangkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (LN Tahun 2009 No. 140)

Terkait dengan tindak pidana yang marak dilakukan oleh korporasi dalam

bidang lingkungan hidup, maka akan kita bahas juga bagaimana UUPPLH ini

mengatur pertanggungjawaban pidana sebuah korporasi. Dalam UUPPLH

pertanggungjawaban badan usaha dirumuskan dalam Pasal 116 hingga Pasal 119.

Pasal 116 UUPPLH memuat krireria bagi lahirnya pertanggungjawaban badan usaha

dan siapa saja yang bertanggungjawab. Jika ditilik rumusan pasal 116 UUPPLH,

(29)

(1) Tindak pidana lingkungan hidup dilakukian oleh badan usaha, atau atas nama

badan usaha atau

(2) Oleh orang yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain

yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha. Karena badan usaha tidak

dapat bekierja tanpa digerakkan oleh manusia, maka pelaku fisik tetaplah

manusia, yaitu orang atas nama badan usaha atau orang yang berdasarkan

perjanjian kerja, misalkan seorang karyawan atau hubungan lain, misalkan

perjanjian pemborongan kerja.

Konsep pertanggungjawaban juga harus dipedomani ketentuan Pasal 118

UUPPLH. Dengan demikian, dari rumusan Pasal 116 dan Pasal 118 UUPPLH dapat

diketahui bahwa ada tiga pihak yang dapat dikenai tuntutan dan hukuman ada tiga

pihak yaitu:

1. Badan Usaha itu sendiri

2. Orang yang memberi perintah atau byang bertindak sebagai pemimpin

dalam tindak pidana

3. Pengurus atau pimpinan badan usaha.

Jika badan usaha terbukti melakukan tindak pidana lingkungan, jenis

hukuman terhadap badan usaha itu ada dalam Pasal 119 UUPPLH yaitu:

a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana

(30)

c. Perbaikan akibat tindak pidana

d. Kewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak, dan/atau

e. Penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama tiga tahun.70

70

Referensi

Dokumen terkait

Audit laporan keuangan dilakukan untuk menentukan apakah laporan keuangan telah dinyatakan sesuai dengan kriteria tertentu dan pihak yang bertanggung jawab dalam mengaudit laporan

4 Tekan , untuk mengirim pesan Multimedia. Catatan: Gambar dan suara yang dilindungi hak cipta tidak dapat dikirim melalui MMS. Mengirim E-mail 1 Pergi ke E-mail > Profil

Menyatakan bahwa skripsi “THE ASSOCIATION BETWEEN HEDONIC SCORE AND PREFERENCE CHOICE IN FORMULATING CONSUMER BASED SENSORY CHARACTERISTIC OF GEPLAK WALUH” merupakan

Semakin positif sikap terhadap beban tugas maka stres akademik yang dialami mahasiswa semakin rendah, demikian juga sebaliknya. Kata Kunci: Stres Akademik Mahasiswa, Sikap

[r]

[r]

Dalam Penulisan Ilmiah ini, dibahas pembuatan dua buah aplikasi perangkat lunak yang dapat digunakan sebagai aplikasi chatting, dimana sebuah aplikasi bertindak sebagai server dan

Game dalam jaringan selain bisa menghilangkan kejenuhan dapat juga memberikan kepuasan batin yang tidak dapat kita temukan di dalam game single player, kita juga dapat