• Tidak ada hasil yang ditemukan

KRISIS EKONOMI DAN MASA DEPAN EKONOMI IN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KRISIS EKONOMI DAN MASA DEPAN EKONOMI IN"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

KRISIS EKONOMI DAN MASA DEPAN EKONOMI INDONESIA

Oleh:

Ginandjar Kartasasmita

Disampaikan pada Kuliah Perdana Program Magister Manajemen Universitas Padjajaran Bandung, 5 Januari 2002

Pendahuluan

Memasuki tahun baru tahun 2002, ekonomi Indonesia masih dalam kondisi yang parah. Perbaikan ekonomi belum tampak betul wujudnya, bahkan tanda-tanda ke arah itupun masih sangat samar. Padahal telah empat setengah tahun krisis berjalan, dan selama itu pergantian pemerintahan telah terjadi tiga kali.

Sebaliknya, negara-negara Asia yang terjangkit krisis bersama-sama kita, kondisi ekonominya telah banyak membaik, meskipun bukan berarti mereka sudah lepas dari masalah. Belakangan ini muncul kasus Argentina yang menarik banyak perhatian dan oleh banyak orang dihubung-hubungkan dengan kemungkinan terjadinya hal serupa di Indonesia.

Tulisan ini mencoba membahas kembali krisis ekonomi itu, asal muasalnya, upaya pemulihannya hingga saat ini, serta bagaimana prospeknya di masa depan. Pembahasan ini akan dimulai dengan melihat keadaan ekonomi Indonesia prakrisis.

Kilas balik ekonomi Indonesia sebelum krisis

Menjelang meletupnya krisis ekonomi yang dipicu oleh krisis keuangan pada pertengahan tahun 1997, Indonesia termasuk di antara beberapa negara berkembang yang dinilai sebagai sangat berhasil dalam pembangunannya. Ekonomi Indonesia termasuk di antara ekonomi di beberapa negara Asia yang mengalami kemajuan sedemikian rupa sehingga disebut sebagai miracle.

Indonesia sering dijadikan contoh untuk negara-negara berkembang lain bagi program-program yang dianggap berhasil, seperti dalam bidang keluarga berencana dan penanggulangan kemiskinan.

Beberapa indikator makro kondisi ekonomi Indonesia beberapa saat sebelum krisis dapat diangkat kembali sebagai bukti.

Peningkatan pendapatan per-kapita. Dalam kurun waktu tiga puluh tahun, sejak tahun 1965 sampai 1995, PDB per -kapita secara riil mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 6,6% setiap tahunnya. Pada pertengahan tahun 1960-an Indonesia lebih miskin dari India, kemudian pada pertengahan tahun 1990-an PDB per-kapita Indonesia melampaui US$ 1.000 yang berarti lebih dari tiga kalinya India (World Bank 1997).

Penurunan laju inflasi. Sekitar awal tahun 1960 sampai akhir tahun 1960-an Indonesia mengalami inflasi yang luar biasa tinggi bahkan pernah sampai 600%, tetapi sejak itu lambat laun dapat dikendalikan. Sampai dengan tahun-tahun terakhir sebelum terjadinya krisis (1997), Indonesia berhasil menekan laju inflasinya pada angka satu dijit saja.

(2)

Indonesia. Peningkatan pendapatan masyarakat di tingkat bawah ini telah mendorong tumbuhnya berbagai industri, baik industri kecil maupun industri besar. Juga telah kita saksikan berkembangnya ekonomi rakyat yang ternyata cukup tangguh dalam menghadapi berbagai gejolak ekonomi.

Peningkatan output manufaktur dalam sumbangannya terhadap PDB. Peran industri pengolahan dalam PDB mengalami kenaikan yang sangat berarti, dari 7,6% pada tahun 1973 menjadi hampir 25% pada tahun 1995. Hal ini khususnya didorong oleh pertumbuhan ekspor produk-produk olahan seperti garment (pakaian jadi), produk kain dan alas kaki, barang-barang elektronik dan kayu lapis. Ekspor nonmigas, yang kini telah menjadi bagian terbesar dari produk industri pengolahan kita, mengalami kenaikan sekitar 22% setiap tahunnya selama satu dekade penuh, yaitu sejak tahun 1985 ketika deregulasi diberlakukan untuk pertama kalinya sampai dengan tahun 1995; dan kenaikan ini adalah empat kali lebih cepat dibandingkan dengan rata-rata kenaikan perdagangan dunia (Stern 2000).

Penurunan tingkat kemiskinan. Persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional mengalami penurunan secara dramatis, yaitu dari sekitar 69% pada tahun 1970 menjadi 49% pada tahun 1976 kemudian menjadi 15% pada tahun 1990 dan mencapai 11,5% pada tahun 1996. Sebelum terjadinya krisis, diperkirakan bahwa menjelang tahun 2005 yang akan datang, ketika PDB per-kapita Indonesia mencapai US$2.300, dan ketika Indonesia layak disebut sebagai a middle-income industrialized country, angka kemiskinan akan menurun secara tajam menjadi kurang dari 5%, atau kira-kira sama tingkatannya dengan newly industrialized country lainnya.

Berdasarkan salah satu dokumen Bank Dunia (1997), di antara negara-negara sedang berkembang Indonesia dinyatakan sebagai salah satu negara yang paling cepat mengurangi angka kemiskinannya. Prestasi ini diperoleh setelah kita melakukan upaya pembangunan di berbagai bidang dengan strategi pertumbuhan yang berorientasi padat karya dan didukung oleh pembangunan sumberdaya manusianya, khususnya di bidang pendidikan dan kesehatan. Pada waktu yang bersamaan, upaya tersebut telah meningkatkan pendapatan riil masyarakat dengan cepat, sama cepatnya dengan peningkatan PDB perkapita. Hasilnya juga dinikmati oleh kaum perempuan, yang semula banyak berkecimpung di sektor perdesaan tanpa upah yang memadai, bahkan seringkali tanpa bayaran, menjadi berpeluang untuk bekerja di sektor formal dengan upah yang cukup memuaskan. Berbagai indikator kesejahteraan sosial, seperti angka kematian bayi, angka kelahiran, dan angka partisipasi bersekolah, semuanya menunjukkan adanya perbaikan secara nyata.

Lalu datanglah krisis

Krisis keuangan Asia yang datangnya seperti tiba-tiba telah menyeret Indonesia mundur beberapa tahun ke belakang. Pada tahun 1995 Indonesia masih menikmati pertumbuhan sebesar 8,2% kemudian tahun 1996, atau tahun terakhir sebelum terjadinya krisis, masih tumbuh 7,8%, dan tahun 1997 menurun ke angka 4,9%. Jadi, sampai dengan tahun 1997, yaitu tahun terjadinya krisis, setidaknya, pertumbuhan ekonomi masih tetap positif walaupun cenderung menurun. Pada tahun 1998, ketika krisis mencapai puncaknya, pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami kontraksi sebesar 13,6%, dan indikator makro ekonomi lainnya menunjukkan angka-angka yang memburuk, seperti inflasi yang melonjak sampai 77,6%.

(3)

Penerimaan ekspor nonmigas merosot sebesar 2,4% pada tahun 1998, dan jatuh lagi sebesar 4,6% pada tahun 1999, apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Di antara negara-negara Asia yang dilanda krisis, Thailand, Indonesia, dan Korea Selatan memutuskan untuk mencari bantuan IMF (International Monetary Funds), sementara itu Malaysia berteguh hati untuk mengatasi masalahnya sendiri dengan cara pengendalian kapital secara ketat. Dalam pada itu, Filipina dibantu IMF dengan melanjutkan upaya yang telah disepakati sebelumnya. Pada mulanya, Indonesia tampak serius dalam bekerja sama dan menyanggupi segala persyaratan yang ditetapkan IMF. Tetapi kemudian Presiden Soeharto, yang menandatangani sendiri perjanjian kedua (Letter of Intent atau LoI) dengan IMF, dianggap tidak sungguh-sungguh menjalankan program reformasi seperti apa yang telah disyaratkan dalam berbagai LoI itu. Akibatnya, Presiden Soeharto terjebak dalam konfrontasi dengan IMF. Pasar menjadi “ragu-ragu” bahkan menjadi nervous menghadapi kenyataan ini, tidak saja karena melihat kebijakan yang penuh konflik, tetapi juga diperkeruh oleh berbagai pernyataan publik dari pejabat IMF maupun Bank Dunia yang bernada mengkritik pemerintah. Akibatnya, keadaan ekonomi terus memburuk, seperti yang tercermin pada menurunnya nilai tukar rupiah secara terus- menerus.

Pada bulan Maret 1998, di tengah suara oposisi di masyarakat yang semakin mengental, Presiden Soeharto dipilih kembali oleh MPR hasil Pemilu 1997. Kabinet baru segera dibentuk, dan pada kesempatan itu saya ditunjuk sebagai Menteri Koordinator bidang Ekonomi Keuangan dan Industri (Menko Ekuin). Tugas utama Menko Ekuin adalah membawa ekonomi ke luar dari krisis sesegera mungkin. Langkah pertama yang dilakukan adalah mengembalikan kepercayaan pasar dan memperbaiki hubungan dengan masyarakat internasional, khususnya dengan lembaga keuangan internasional seperti IMF, Bank Dunia dan Asian Development Bank. Kemudian, disusunlah agenda pemulihan sekaligus reformasi ekonomi, diikuti dengan langkah-langkah awal pelaksanaannya.

Namun, berbagai upaya yang ditempuh seperti menghadapi jalan buntu karena terhalang oleh ketegangan politik yang semakin memuncak. Krisis keuangan justru menjadi katalisator dalam mempercepat dan memperbesar kekuatan reformasi dalam masyarakat yang menentang pemerintahan Presiden Soeharto, yang menuntut adanya reformasi politik dan reformasi ekonomi secara bersamaan. Gerakan reformasi itu diujungtombaki oleh gerakan mahasiswa, yang secara historis telah terbukti ampuh sebagai lokomotif pembaharu politik di negara ini.

Pada pertengahan Mei 1998, kerusuhan sosial meledak di Jakarta. Dalam peristiwa kelabu ini masyarakat keturunan Cina (Tionghoa) menjadi sasaran kebrutalan masa secara membabi buta. Tak ayal lagi warga keturunan Cina ini, yang notabene menguasai rantai perdagangan dan jaringan distribusi secara luas, mengalami ketakutan luar biasa dan akhirnya banyak yang melarikan diri, bersama keluarga dan modal yang dimilikinya. Ekonomi jatuh ke dalam jurang krisis yang semakin dalam. Rupiah mencapai titik terendah setelah terjadi peristiwa itu.

Hal yang lebih memberatkan lagi, di tengah krisis keuangan Asia yang telah menggulung ekonomi Indonesia ter sebut, pada tahun 1997 Indonesia didera pula oleh El Niòo, yaitu bencana alam akibat musim kering yang panjang dan paling buruk dalam 50 tahun terakhir. Menurunnya produksi pangan turut memicu tingginya inflasi pada tahun 1998, menambah tekanan terhadap cadangan devisa yang memang telah menurun, mengurangi permintaan dalam negeri, menurunkan pendapatan masyarakat perdesaan, dan akhirnya meningkatkan angka kemiskinan kembali. Di Kalimantan dan Sumatera kebakaran hutan, yang diperburuk oleh kekeringan yang panjang, seakan-akan tak berhenti berkobar dan telah menghanguskan ratusan ribu hektar hutan. Malapetaka lingkungan ini, dengan segala akibat buruknya terhadap kesehatan masyarakat secara luas, turut menambah dimensi dan beban tambahan dalam krisis yang dihadapi bangsa Indonesia.

(4)

termasuk hutang perusahaan publik dan BUMN. Di samping itu, biaya yang dibutuhkan untuk restrukturisasi perbankan yang ambruk selama krisis diperkirakan mencapai angka US$65 milyar, dan ini jelas menambah beban pemerintah di luar beban hutang luar negeri tadi.

Sampai di sini pokok bahasan kita hanya dititikberatkan pada aspek ekonomi makro saja. Kenyataannya lebih parah dan tidak sesederhana itu karena dampak sosial yang ditimbulkannya pun tidak kecil. Jutaan manusia kehilangan pekerjaan, banyak anak-anak yang meninggalkan bangku sekolah karena tidak mampu membiayai keperluan sekolah atau mereka harus membantu orang tuanya mencari nafkah.

Apa yang menyebabkan krisis?

Berbagai kajian yang menelaah krisis keuangan Asia telah banyak dilakukan, dari berbagai sudut pandang pula. Secara umum terlihat suatu pola dan karakteristik yang berlaku sama di seluruh negara yang dilanda krisis. Namun, dalam hal kedalamannya dan jangka waktunya, Indonesia dapat dikatakan sangat unik. Sulit mencari pembandingnya, barangkali negara yang paling layak untuk dibandingkan waktu itu adalah Rusia, dan sekarang mungkin Argentina. Oleh karena itu, dalam uraian berikut kita akan mengkaji secara singkat mengapa krisis di Indonesia begitu parah, dan mengapa pemulihannya begitu lambat (lihat juga Kartasasmita 2001).

Sebagai introspeksi, harus kita akui bahwa krisis di Indonesia benar-benar tidak terduga datangnya, sama sekali tidak terprediksi sebelumnya. Seperti dikatakan oleh Furman dan Stiglitz (1998), bahwa di antara 34 negara bermasalah yang diambil sebagai percontoh (sample) penelitiannya, Indonesia adalah negara yang paling tidak diperkirakan akan terkena krisis bila dibandingkan dengan negara-negara lainnya dalam percontoh, tersebut. Ketika Thailand mulai menunjukkan gejala krisis, orang umumnya percaya bahwa Indonesia tidak akan bernasib sama. Fundamental ekonomi Indonesia dipercaya cukup kuat untuk menahan kejut eksternal (external shock) akibat kejatuhan ekonomi Thailand.

Walaupun sesungguhnya telah terasa adanya indikasi ketidakberesan dalam pola pertumbuhan ekonomi Indonesia (Kartasasmita 1996) serta kerapuhan sektor perbankan, khususnya yang berkaitan dengan pinjaman bisnis properti, suasana (mood) dan perasaan berbagai kalangan di Indonesia masih tetap percaya diri. Ada alasannya mengapa orang di Indonesia dan juga masyarakat internasional masih merasa begitu yakin tentang ketahanan ekonomi Indonesia menghadapi gelombang krisis keuangan itu. Pada saat itu defisit neraca berjalan terhitung paling rendah di antara lima negara Asia yang dilanda krisis. Nilai ekspor tahun 1996, walaupun lebih rendah bila dibandingkan dengan tahun 1995, masih menduduki peringkat terbesar kedua. Anggaran juga selalu surplus sejak beberapa tahun sebelumnya. Pertumbuhan angka kredit juga cukup rendah (modest) bila dibandingkan dengan yang ada di negara-negara lain di Asia, khususnya yang pertumbuhannya cepat. Jaminan terhadap hutang luar negeri dari bank-bank komersial pada prinsipnya juga sangat rendah bila dibandingkan dengan yang ada di negara yang terkena krisis lainnya, sedangkan pasar modal (stock market) tetap kuat sampai awal tahun 1997. Semua itu berfungsi sebagai indikator adanya buoyant mood pada saat itu. Sebagai ilustrasi, sampai dengan bulan September 1997, pemerintah tetap mempelajari dan bernegosiasi untuk membeli satu skadron pesawat tempur buatan Rusia dengan biaya kurang lebih sebesar US$500 juta, tetapi diupayakan dengan cara imbal-beli. Rencana ini akhirnya, tentu saja, dibatalkan ketika kemudian makin jelas bahwa situasi yang dihadapi ternyata jauh lebih buruk dari yang dipikirkan banyak orang, termasuk para menteri di bidang perekonomian saat itu. Indonesia benar-benar menderita, dan paling menderita di antara negara lainnya. Tetapi, mengapa ini bisa terjadi? Berdasarkan pertimbangan saya, setidaknya ada empat faktor yang dapat menjelaskan situasi Indonesia tersebut.

(5)

maupun masyarakat perbankan sendiri menghadapi besarnya serta persyaratan hutang swasta tersebut. Pemerintah selama ini selalu ekstra hati-hati dalam mengelola hutang pemerintah (atau hutang publik lainnya), dan senantiasa menjaganya dalam batas -batas yang dapat tertangani (manageable). Akan tetapi untuk hutang yang dibuat oleh sektor swasta Indonesia, pemerintah sama sekali tidak memiliki mekanisme pengawasan. Setelah krisis berlangsung, barulah disadari bahwa hutang swasta tersebut benar -benar menjadi masalah yang serius. Antara tahun 1992 sampai dengan bulan Juli 1997, 85% dari penambahan hutang luar negeri Indonesia berasal dari pinjaman swasta (World Bank, 1998). Hal ini mirip dengan yang terjadi di negara-negara lain di Asia yang dilanda krisis. Dalam banyak hal, boleh dikatakan bahwa negara telah menjadi korban dari keberhasilannya sendiri. Mengapa demikian? Karena kreditur asing tentu bersemangat meminjamkan modalnya kepada perusahaan-perusahaan (swasta) di negara yang memiliki inflasi rendah, memiliki surplus anggaran, mempunyai tenaga kerja terdidik dalam jumlah besar, memiliki sarana dan prasarana yang memadai, dan menjalankan sistem perdagangan terbuka. Daya tarik dari “dynamic economies’” ini telah menyebabkan net capital inflows atau arus modal masuk (yang meliputi hutang jangka panjang, penanaman modal asing, dan equity purchases) ke wilayah Asia Pasifik meningkat dari US$25 milyar pada tahun 1990 menjadi lebih dari US$110 milyar pada tahun 1996 (Greenspan 1997).

Sayangnya, banyaknya modal yang masuk tersebut tidak cukup dimanfaatkan untuk sektor-sektor yang produktif, seperti pertanian atau industri, tetapi justru masuk ke pembiayaan konsumsi, pasar modal, dan khusus bagi Indonesia dan Thailand, ke sektor perumahan (real estate). Di sektor-sektor ini memang terjadi ledakan (boom) karena sebagian dipengaruhi oleh arus modal masuk tadi, tetapi sebaliknya kinerja ekspor yang selama ini menjadi andalan ekonomi nasional justru mengalami perlambatan, akibat apresiasi nilai tukar yang terjadi, antara lain, karena derasnya arus modal yang masuk itu. Selain itu, hutang swasta tersebut banyak yang tidak dilandasi oleh kelayakan ekonomi, tetapi lebih mengandalkan koneksi politik, dan seakan didukung oleh persepsi bahwa negara akan ikut menanggung biaya apabila kelak terjadi kegagalan. Lembaga keuangan membuat pinjaman atas dasar perhitungan aset yang telah “digelembungkan” yang pada gilirannya mendorong lagi terjadinya apresiasi lebih lanjut (Kelly and Olds 1999). Ini adalah akibat dari sistem yang sering disebut sebagai “crony capitalism”. Moral hazard dan penggelembungan aset tersebut, seperti dijelaskan oleh Krugman (1998), adalah suatu strategi “kalau untung aku yang ambil, kalau rugi bukan aku yang tanggung (heads I win tails somebody else loses)”. Di tengah pusaran (virtous circle) yang semakin hari makin membesar ini, lembaga keuangan meminjam US dollar, tetapi menyalurkan pinjamannya dalam kurs lokal (Radelet and Sachs 1998). Yang ikut memperburuk keadaan adalah batas waktu pinjaman (maturity) hutang swasta tersebut rata makin pendek. Pada saat krisis terjadi, rata-rata batas waktu pinjaman sektor swasta adalah 18 bulan, dan menjelang Desember 1997 jumlah hutang yang harus dilunasi dalam tempo kurang dari satu tahun adalah sebesar US$20,7 milyar (World Bank 1998).

Yang kedua, dan terkait erat dengan masalah di atas, adalah banyaknya kelemahan dalam sistem perbankan di Indonesia. Dengan kelemahan sistemik perbankan tersebut, masalah hutang swasta eksternal langsung beralih menjadi masalah perbankan dalam negeri. Ketika liberalisasi sistem perbankan diberlakukan pada pertengahan tahun 1980-an, mekanisme pengendalian dan pengawasan dari pemerintah tidak efektif dan tidak mampu mengikuti cepatnya pertumbuhan sektor perbankan. Yang lebih parah, hampir tidak ada penegakan hukum terhadap bank-bank yang melanggar ketentuan, khus usnya dalam kasus peminjaman ke kelompok bisnisnya sendiri, konsentrasi pinjaman pada pihak tertentu, dan pelanggaran kriteria layak kredit. Pada waktu yang bersamaan banyak sekali bank yang sesunguhnya tidak bermodal cukup (undercapitalized) atau kekurangan modal, tetapi tetap dibiarkan beroperasi. Semua ini berarti, ketika nilai rupiah mulai terdepresiasi, sistem perbankan tidak mampu menempatkan dirinya sebagai “peredam kerusakan”, tetapi justru menjadi korban langsung akibat neracanya yang tidak sehat.

(6)

sebelum gelembung persoalan tersebut menghambur. Jadi, ketika para manajer keuangan di tingkat global mendeteksi adanya kesenjangan (disparity) antara nilai tukar dengan persaingan global, para investor dan spekulan mulai memindahkan kapitalnya ke luar. Ketika lingkaran tadi terputus, maka menyebarlah penyakit keuangan itu ke seantero wilayah. Situasi diperkeruh oleh ramainya pembelian dolar, yang sebagian digunakan untuk mengadakan hedging atas hutang luar negeri, tetapi setelah terlambat, dan yang sebagian lagi karena kekhawatiran masyarakat atas gejolak politik dan kerusuhan sosial yang merebak waktu itu.

Yang ketiga, sejalan dengan makin tidak jelasnya arah perubahan politik, maka isu tentang pemerintahan otomatis berkembang menjadi persoalan ekonomi pula. Hill (1999) menulis bahwa banyaknya pihak yang memiliki vested interest dengan intrik-intrik politiknya yang menyebar ke mana-mana telah menghambat atau menghalangi gerak pemerintah, untuk mengambil tindakan tegas di tengah krisis. Jauh sebelum krisis terjadi, investor asing dan pelaku bisnis yang bergerak di Indonesia selalu mengeluhkan kurangnya transparansi, dan lemahnya perlindungan maupun kepastian hukum. Persoalan ini sering dikaitkan dengan tingginya “biaya siluman” yang harus dikeluarkan bila orang melakukan kegiatan bisnis di sini. Anehnya, selama Indonesia menikmati economic boom persepsi negatif tersebut tidak terlalu menghambat ekonomi Indonesia. Akan tetapi begitu krisis menghantam, maka segala kelemahan itu muncul menjadi penghalang bagi pemerintah untuk mampu mengendalikan krisis. Masalah ini pulalah yang mengurangi kemampuan kelembagaan pemerintah untuk bertindak cepat, adil, dan efektif. Akhirnya semua itu berkembang menjadi “krisis kepercayaan” yang ternyata menjadi penyebab paling utama dari segala masalah ekonomi yang dihadapi pada waktu itu. Akibat krisis kepercayaan itu, modal yang dibawa lari ke luar tidak kunjung kembali, apalagi modal baru.

Yang keempat, perkembangan situasi politik telah makin menghangat akibat krisis ekonomi, dan pada gilirannya memberbesar dampak krisis ekonomi itu sendiri. Faktor ini merupakan hal yang paling sulit diatasi. Kegagalan dalam mengembalikan stabilitas sosial-politik telah mempersulit kinerja ekonomi dalam mencapai momentum pemulihan secara mantap dan berkesinambungan.

Meskipun persoalan perbankan dan hutang swasta menjadi penyebab dari krisis ekonomi, namun, kedua faktor yang disebut terakhir di atas adalah penyebab lambatnya pemulihan krisis di Indonesia. Pemulihan ekonomi musykil, bahkan tidak mungkin dicapai, tanpa pulihnya kepercayaan pasar, dan kepercayaan pasar tidak mungkin pulih tanpa stabilitas politik dan adanya permerintahan yang terpercaya (credible).

Upaya Pemulihan

Pada bulan Mei 1998, setelah menghadapi tekanan yang makin luas dari masyarakat, yang diujungtombaki mahasiswa, akhirnya Presiden Soeharto mundur dari jabatannya dan digantikan oleh Wakil Presiden Habibie. Presiden Habibie meminta saya untuk tetap duduk sebagai Menko Ekuin di kabinetnya, dan tetap melanjutkan upaya pemulihan seperti yang telah dirintis sebelumnya. Dalam tempo singkat pemerintah baru bergerak cepat dengan serangkaian kebijakan yang didukung oleh masyarakat internasional. Tujuannya adalah untuk menghentikan kerusakan lebih lanjut pada perekonomian dan segera memacu pemulihan ekonomi.

(7)

bunga dapat turun dari sekitar 80% menjadi 11-12%. Konsumsi dalam negeri mulai pulih, khususnya dalam permintaan terhadap industri otomotif dan industri konstruksi. Pendek kata, turbulensi ekonomi itu dalam waktu singkat telah berhasil dikendalikan.

Menjelang pertengahan 1999 krisis ekonomi Indonesia telah melampaui titik nadir dan telah mulai akan tumbuh lagi. Sepanjang tahun itu ekonomi berhasil tumbuh sedikit dengan peningkatan PDB sebesar 0,3%. Seandainya momentum pemulihan ekonomi dapat dijaga secara konsisten, berdasarkan prediksi waktu itu, maka pertumbuhan pada tahun 2000 diperkirakan sebesar 4-5%. Yang terpenting adalah bahwa ekspor kembali bergairah, antara lain karena para eksportir menikmati keuntungan atas terdepresiasinya nilai mata uang rupiah. Kecenderungan ini relatif berlaku sama untuk negara-negara yang dilanda krisis, seperti Thailand, Korea Selatan, Malaysia, dan Indonesia.

Untuk meredam dampak krisis terhadap masyarakat miskin, dengan cepat diberlakukan program JPS dalam berbagai bentuk, seperti: penyediaan subsidi beras untuk keluarga miskin; pemberian bea siswa untuk murid dari SD hingga perguruan tinggi (pelayanannya mencapai 1,7 juta murid); pelayanan kesehatan secara cuma-cuma bagi keluarga miskin; dan pembangunan prasarana desa melalui program padat karya untuk menciptakan lapangan kerja secara massal. Pada waktu yang bersamaan, produksi padi telah kembali ke posisi semula, seperti kondisi sebelum krisis. Hal ini, selain karena iklim telah mulai pulih ke kondisi normal, juga karena ditunjang oleh berbagai program pemberdayaan petani yang meliputi pemberian kredit usaha tani dan bantuan teknis melalui perguruan tinggi setempat, LSM, dan koperasi.

Rekonstruksi ekonomi seperti yang telah digambarkan di atas dilaksanakan melalui cara konstitusional, dengan berbagai undang-undang dan peraturan, yang dibarengi pula dengan pembentukan lembaga baru sesuai kebutuhan. Contohnya, pemerintahan Habibie memperkenalkan undang-undang baru tentang kepailitan yang memberikan kepastian hukum kepada kreditur maupun debitur, serta menetapkan mekanisme penyelesaian hutang swasta melalui apa yang dikenal sebagai Prakarsa Jakarta (Jakarta Initiative Task Force). Langkah reformasi lainnya, antara lain, penutupan atau pengambilalihan bank yang tidak sehat dan yang melanggar ketentuan; memperkuat BP PN dengan mempertegas status kelembagaan dan mengisinya dengan SDM yang profesional; menetapkan Bank Indonesia sebagai bank sentral yang independen; menetapkan peraturan untuk menjamin praktik bisnis yang kompetitif, sehat, dan anti-monopoli; serta bekerja sama dengan sektor swasta dalam membangun good corporate governance.

Sejalan dengan langkah reformasi di bidang ekonomi ini, pemerintahan Habibie juga memulai reformasi di bidang politik sebagai landasan hidup berdemokrasi, termasuk penyelesaian isu politik yang sensitif di forum internasional, yaitu kasus Timor Timur. Pemilihan umum berhasil diselenggarakan pada bulan Juni 1999, dan yang dicatat sebagai pemilihan umum multipartai yang sangat demokratis dengan disaksikan oleh para pengamat dari seluruh dunia. Kemudian diikuti dengan Sidang Umum MPR untuk memilih presiden, dan ini pun dicatat sebagai pemilihan presiden yang paling demokratis sejak proklamasi kemerdekaan tahun 1945. Langkah lainnya masih banyak lagi. Hak asasi manusia dihormati dan penegakan hukum diupayakan terus menerus. Kepolisian dipisahkan dari tentara (TNI), dan tentara berada di bawah pengendalian sipil. Kontrol atas media massa dicabut, kebebasan pers diberlakukan, kebebasan berserikat dan kemerdekaan mengeluarkan pendapat dijamin. Serikat buruh tidak lagi dibatasi.

Peran IMF

(8)

Menteri Keuangan Amerika (US Secretary of Treasury). Rubin menyampaikan bahwa pemerintah Amerika sangat peduli atas situasi Indonesia yang makin memburuk, dan berniat untuk membantu. Akan tetapi ia pun berkata, bahwa syarat pertama yang harus ditempuh Indonesia adalah memperbaiki hubungannya dengan IMF, karena pemerintah Amerika hanya dapat membantu melalui tangan IMF. Dalam waktu yang hampir bersamaan saya juga mendapat pesan yang senada dari pemerintah Jepang dan Jerman. Ketiga negara itu adalah “donor” terpenting bagi Indonesia. Jangan lupa bahwa saat itu hubungan antara pemerintah Indonesia dengan IMF sedang berada dalam kondisi membeku. Pasalnya, pemerintah Indonesia menganggap IMF, dengan segala persyaratan bantuan yang mengikat, terlalu jauh melakukan intervensi ke masalah dalam negeri. Sebaliknya, IMF menganggap Indonesia telah mengingkari komitmen sebelumnya.

Kalau kita menengok ke belakang, ada pelajaran berharga yang dapat ditarik dari keterlibatan IMF dalam membantu negara-negara yang dilanda krisis. Banyak kalangan berpendapat bahwa sejak awalnya IMF, telah melakukan kesalahan dalam menangani krisis itu. Ibaratnya telah memberikan resep yang salah. Keputusan pemerintah untuk menutup 16 bank pada bulan November 1997 awalnya disambut dengan meriah, bahkan dipandang sebagai “kemenangan kaum reformis di kabinet” karena sebagian dari bank-bank itu dimiliki oleh keluarga Presiden Soeharto. Namun, penutupan bank-bank tersebut dilakukan tanpa melalui persiapan yang matang, sehingga akhirnya tidak membangkitkan kepercayaan masyarakat, tetapi justru sebaliknya. Karena garansi terhadap deposito belum diberlakukan (dan tidak diberlakukan sampai tiga bulan kemudian), ditambah desas-desus bahwa akan banyak bank lain yang ditutup, maka ketidakpastian dalam pasar keuangan semakin menebal, akibatnya menambah tekanan negatif kepada nilai tukar. Beberapa pengamat seperti Sachs dari Harvard bahkan berspekulasi bahwa para pelaku bisnis yang penting merasa khawatir tidak akan sanggup mempertahankan posisinya lagi di Indonesia, mengingat Presiden pun tidak dapat melindungi kepentingan bisnis keluarganya sendiri. Dalam pandangan ini, apa yang tadinya ingin diperlihatkan pemerintah sebagai usaha mengikis nepotisme dari akarnya, justru terlihat sebagai tanda-tanda kelemahan pemerintah sendiri. Ini memperburuk situasi dan akhirnya memicu pelarian modal lebih besar lagi. Fakta bahwa kemudian salah satu dari bank yang ditutup dapat beroperasi kembali, walaupun dengan nama yang baru, hanyalah menambah kerancuan dan semakin menghilangkan kepercayaan terhadap pemerintah pada waktu itu.

Perhatian IMF yang terlalu banyak dicurahkan untuk reformasi struktural di tengah-tengah krisis juga sering diper tanyakan. Dalam nota kesepahaman (Memorandum of Understanding) yang pertama maupun kedua, perhatian terhadap program reformasi struktural cukup banyak diberikan, tetapi perhatian terhadap upaya nyata yang substansial untuk menanggulangi kedua penyebab utama dari krisis, yaitu kegagalan sistem perbankan dan hutang swasta, sangat kurang atau tidak mencukupi. Awalnya IMF memaksa Indonesia untuk menjalankan kebijakan uang ketat (tight fiscal and monetary policies), yang mengharuskan surplus anggaran pada saat suku bunga tinggi, dan cenderung masih meninggi, sehingga akhirnya menghambat investasi dan permintaan konsumsi. Akhirnya, memang persyaratan tersebut berubah dan selanjutnya IMF mengalihkan posisinya dan mendorong pemerintah agar memberlakukan defisit fiskal untuk merangsang ekonomi.

(9)

pendapatan masyarakat menurun dan banyak orang kehilangan pekerjaan. Walaupun begitu, IMF tetap bersikeras memaksakan kehendaknya agar subsidi BBM dikurangi sesegera mungkin. Pada waktu bernegosiasi dengan IMF di bulan April 1998, saya berdebat keras agar kenaikan harga BBM ditunda sampai tiba pada saat yang tepat. IMF setuju untuk menunda sampai bulan Juni atau Juli tahun itu. Akan tetapi, Presiden Soeharto, beberapa saat sebelum berangkat ke Cairo di awal Mei 1998, telah memutuskan kenaikan harga BBM secepatnya. Para pembantu beliau, termasuk saya pribadi beserta Menteri Pertambagan dan Energi, telah memperingatkan bahwa keputusan itu merupakan kesalahan yang serius. Presiden Soeharto merasa yakin bahwa kalau harga BBM memang akan dinaikkan, maka pelaksanaannya harus segera. Ternyata timing-nya menjadi senjata makan tuan (backfire). Di hadapkan kepada protes dan demonstrasi mahasiswa, pemerintah terpaksa menarik kembali keputusannya tentang kenaikan harga BBM itu. Ini merupakan indikasi tambahan makin melemahnya kewibawaan pemerintah, karena tidak mampu mempertahankan kebijakannya sendiri.

IMF juga dicurigai telah membawa interest politik negara-negara donor lebih besar dibandingkan dengan kepentingan negara yang dibantunya. Contohnya, ketika situasi di Timor Timur memburuk IMF secara sepihak menghentikan proses negosiasinya dengan pemerintah Indonesia.

Apa yang dikatakan tadi, tidaklah berarti bahwa IMF tidak berperan sama sekali. Peran IMF justru sangat terasa pada tahap berikutnya ketika upaya pemulihan ekonomi berlangsung, dan pemerintah Indonesia berhasil membangun kembali hubungan yang efektif dengan IMF, diperkuat oleh dialog-dialog terbuka. Hasilnya, seluruh agenda reformasi dan implementasinya tidak lagi dipandang sebagai program IMF belaka, tetapi juga merupakan program pemerintah Indonesia, sehingga terbentuk rasa memiliki (sense of ownership) terhadap seluruh paket reformasi. Suka atau tidak suka kepada IMF, setuju atau tidak setuju terhadap resep IMF untuk pemulihan ekonomi, yang pasti adanya dukungan IMF berarti adanya dukungan pula dari masyarakat internasional. Pasar pun secara hati-hati selalu mengamati apakah hubungan suatu negara dengan IMF berjalan baik, apakah kebijakan ekonominya dapat “diterima” IMF, dan apakah pemerintah konsisten dalam melaksanakan agenda dan memenuhi komitmen yang telah disetujuinya bersama IMF.

Bagaimana selanjutnya dengan upaya pemulihan ekonomi?

Awal yang baik dari proses pemulihan ekonomi yang dibarengi dengan meletakkan landasan bagi reformasi di bidang politik, ternyata tidak berkesinambungan. Sepertinya terputus di tengah jalan.

Kita ketahui bahwa reformasi politik dan proses demokratisasi telah melahirkan pemerintah baru yang dipilih secara demokratis oleh MPR yang juga dipilih melalui pemilu yang demokratis pula. Terpilihnya Presiden Abdurrahman Wahid dan Wakil Presiden Megawati telah meredam ketegangan politik dan mengembalikan stabilitas politik. Kehidupan kembali menjadi tenang, dan perhatian masyarakat kembali dicurahkan di bidang ekonomi. Masyarakat banyak menaruh harapan pada pemerintah yang baru, yang diharapkan dapat membimbing bangsa Indonesia keluar dari krisis ekonomi.

Namun, yang terjadi adalah sebaliknya. Proses pemulihan ekonomi ternyata terhenti sama sekali, dan yang terjadi bukan kemajuan tetapi kemunduran di bidang ekonomi. Sebagai akibatnya keadaan politik pun kembali menjadi tidak stabil, dan setiap hari ada saja berbagai isyu dilontarkan justru oleh pemerintah, yang menyebabkan masyarakat menjadi makin terombang-ambing dalam ketidakpastian. Konflik-konflik sosial menjadi marak kembali dan bertambah luas.

(10)

yang menjadi terbengkalai. Dengan hutang yang sama, nilai aset menjadi berkurang. Banyak kebijakan-kebijakan di bidang ekonomi ditetapkan semata-mata atas pertimbangan politik, tanpa memperhitungkan dampaknya pada bidang ekonomi, misalnya kenaikan gaji PNS yang tinggi, yang ternyata tidak bisa dipikul oleh keuangan negara termasuk oleh pemerintah daerah sehingga harus ditinjau kembali, lahan perkebunan boleh diambil oleh rakyat sampai 40%, dan banyak lagi. Bukan hanya ekonomi, hukum pun dijadikan sarana untuk tujuan politik.

Akhirnya terjadi lagi krisis politik yang mengakibatkan jatuhnya Presiden Abdurrahman Wahid, dan terpilihnya Megawati sebagai Presiden didampingi oleh Hamzah Haz sebagai Wakil Presiden melalui Sidang Istimewa tahun 2001, yang baru saja kita lalui.

Presiden Megawati mewarisi keadaan yang jauh lebih buruk dari pada Presiden Abdurrahman Wahid. Pada akhir pemerintahan Habibie, meskipun krisis ekonomi belum terlampaui dan banyak hal masih harus diselesaikan, setidaknya masalah yang akut telah teratasi, tinggal lagi menyelesaikan masalah-masalah yang memang bersifat kronis yang memerlukan waktu lebih lama dan kebijakan-kebijakan publik di bidang ekonomi yang tepat dan terukur. Namun, hal itu justru tidak tampak dalam pemerintah Abdurrahman Wahid, sehingga Presiden Megawati mewarisi keadaan yang lebih berat lagi.

Terpilihnya Presiden Megawati dengan Wakil Presiden Hamzah Haz, disambut dengan hangat oleh rakyat Indonesia dan juga mendapat dukungan dari masyarakat internasional. Masyarakat Indonesia kembali tumbuh optimismenya bahwa akhirnya kesulitan-kesulitan yang dihadapinya akan teratasi walaupun dengan perlahan-lahan. Terutama tim ekonomi mendapat sambutan yang hangat karena dinilai terdiri dari orang-orang yang profesional.

Namun, belakangan ini ternyata optimisme itu makin berkurang, dan telah ada tanda-tanda bahwa masyarakat mulai kembali menjadi pesimis, seperti pada waktu Presiden Wahid, yang juga diawali dengan suasana yang optimis, dan kemudian berubah menjadi pesimis setelah beberapa bulan tidak ada kemajuan.

Namun, ada beda antara keduanya: secara politik pemerintah Megawati lebih kukuh karena di parlemen para pendukungnya cukup besar. Masyarakat pun sudah mulai “letih” untuk terus-menerus menghadapi krisis politik, dan dirasakan ada semacam tekad atau konsensus bahwa pemerintah Megawati harus dapat bertahan atau dipertahankan sampai 2004, yaitu sampai pemilu yang akan datang.

Dengan demikian, yang dihadapi oleh pemerintah Megawati seyogyanya adalah masalah ekonomi saja, karena pada sisi politiknya relatif aman.

Memang banyak masalah yang dihadapi di bidang ekonomi sebagaimana layaknya sebuah negara yang sedang dalam krisis. Namun, yang paling menonjol adalah masalah hutang. Bukan hanya besarnya hutang (debt stock) yang memang sudah cukup besar, tetapi terutama bebannya pada anggaran. Apabila beban hutang itu dapat berkurang, maka akan tersedia dana yang lebih besar untuk kegiatan-kegiatan pembangunan, terutama untuk memperbaiki dan membangun kembali berbagai prasarana yang dibutuhkan untuk menunjang pertumbuhan dan peningkatan kesejahteraan.

Banyak orang merasa sangat pesimis dengan masalah hutang ini seakan-akan beban itu tidak akan pernah bisa teratasi.

(11)

tersebut masih ada kemungkinan untuk dapat dikelola (manageable) meskipun tetap tidak mudah. Sebagai contoh, jika pertumbuhan PDB 5% per tahun untuk lima tahun mendatang dan inflasi berkisar 7% per tahun, maka PDB nominal akan tumbuh sekitar 80% dalam periode tersebut. Jika nilai tukar riil relatif konstan dan tidak ada penambahan hutang baru, maka rasio hutang pemerintah terhadap PDB akan turun menjadi sekitar 65%.

Tetapi jika rupiah menguat, rasio hutang terhadap PDB tersebut dapat berkurang, seperti diilustrasikan pada tabel di bawah ini.

Tabel:

Rasio Hutang terhadap PDB sebagai fungsi dari nilai tukar

Nilai Tukar

7000 8000 9000 10000 11000 12000

Hutang (US$) US$75 Milyar 525 600 675 750 825 900

Hutang (Rp) Rp650 Trilyun 650 650 650 650 650 650

Total 1175 1250 1325 1400 1475 1550

PDB (Rp) Rp1400 Trilyun 1400 1400 1400 1400 1400 1400

Rasio hutang terhadap PDB (%) 80 89 95 100 105 111

Apakah masuk akal untuk mengasumsikan bahwa kita dapat menghindari memperoleh hutang baru dalam periode tersebut? Memang tidak gampang, tetapi juga tidak sama sekali mustahil. Secara sederhana, dengan mengganti subsidi yang tidak ditargetkan dengan program yang jelas ditujukan khusus untuk kemiskinan, memperbaiki administrasi perpajakan, dan penjualan aset pemerintah secara cepat, dalam periode lima tahun kita dapat meningkatkan pengeluaran pembangunan sambil mulai membuat surplus. Langkah-langkah ini akan membutuhkan kerja keras, kepemimpinan dan keteguhan hati. Lebih dari itu, strategi tersebut akan membuat beban masalah fiskal menjadi tanggungan mereka yang mampu, yaitu golongan kaya dan yang selama ini memperoleh keuntungan dari administrasi perpajakan kita yang memang belum sempurna betul.

Akan tetapi, bagaimana masuk akal untuk mengasumsikan bahwa kita bisa tumbuh rata-rata 5% per tahun? Ini memang merupakan sesuatu tantangan yang tidak mudah. Apabila dunia masih mengalami resesi dalam beberapa tahun mendatang, sasaran ini mungkin akan sulit tercapai. Namun, semua indikasi menunjukkan Amerika Serikat akan bangkit dari resesi dalam paruh akhir 2002, dan Eropa tumbuh secara wajar dalam tahun ini. Perekonomian Jepang mengalami keadaan lebih sulit, tetapi jika Amerika Serikat dan Eropa tumbuh, maka perekonomian dunia termasuk Jepang akan pulih. Apabila hal itu terjadi, permintaan terhadap ekspor kita dapat meningkat selama tahun 2002 dan 2003 dan harga-harga komoditas dapat pulih kembali. Semua ini berarti bahwa pertumbuhan dalam perekonomian negara-negara berkembang yang mencakup pasar global dan pasar domestik dapat berakselerasi. Dengan mengambil langkah-langkah yang tepat, Indonesia dapat menjadi salah satu dari negara-negara tersebut.

(12)

kembali proses intermediasi keuangan dalam perekonomian. Inilah wilayah di mana pemerintah harus memiliki kepemimpinan yang kuat dan memperoleh dukungan yang kuat pula dari DPR.

Namun, isu-isu lain adalah sama, kalau tidak lebih penting dalam mempersiapkan negara kita ini untuk mendapat keuntungan dari pertumbuhan ekonomi dunia pada masa yang akan datang. Kita butuh lebih banyak investasi. Akan tetapi, para investor tidak akan mau menanamkan modalnya apabila mereka memiliki prospek keuntungan yang sedikit atau apabila mereka menduga bahwa perusahaannya akan “dicuri” apabila menguntungkan. Kondisi keamanan saat ini di Indonesia membuat para investor enggan untuk menanamkan modalnya, terutama di luar kota-kota besar. Lebih dari itu, masalah lemahnya hukum dan tidak adanya komitmen untuk mentaati kontrak juga membuat menarik investasi menjadi lebih sulit. Bukti nyata dalam usaha perbaikan keamanan dan sistem hukum adalah sangat penting dalam meningkatkan penanaman modal.

Kita juga butuh stabilitas yang hanya akan terwujud ketika rakyat merasa bahwa manfaat dari pertumbuhan tersebut dinikmati secara adil. Hal ini menuntut pemerintah untuk lebih proaktif dalam menjalankan strategi pengentasan penduduk miskin yang memberikan kesempatan kepada rakyat miskin untuk menempuh kehidupan yang lebih baik, memperoleh pelayanan kesehatan yang baik dengan biaya yang terjangkau dan pendidikan yang baik pula dengan biaya yang murah. Hal ini akan membuat rakyat miskin merasa mendapat tempat yang layak dalam kehidupan bermasyarakatnya. Hal ini juga akan membuat golongan kaya dilihat sebagai penopang kehidupan masyarakat dengan pembayaran pajak yang adil dan penunjang berbagai beban masyarakat lainnya.

Memperbaiki hubungan tenaga kerja dan meningkatkan hak-hak buruh juga merupakan agenda yang penting. Kalangan pekerja harus dapat dengan leluasa mengorganisir diri untuk mendapatkan upah yang layak dari perusahaan. Namun sama pentingnya, khususnya pada saat kita berusaha untuk menciptakan lapangan kerja baru, perbaikan upah harus meningkat seiring dengan peningkatan produktivitas.

Kita juga harus memberikan perhatian yang lebih kepada sektor pertanian. Keuntungan dari hasil pertanian harus disebabkan oleh adanya peningkatan produktivitas, bukan dari peningkatan lahan pertanian. Ini berarti bahwa investasi lebih banyak diberikan dalam penelitian untuk memperbaiki bibit-bibit dalam komoditas utama, dan seluruh tanah dipergunakan secara efektif. Hal ini juga berlaku bagi penanaman padi. Petani yang dapat memperoleh keuntungan lebih apabila menanam komoditas lain selain padi patut diberi kesempatan. Hal ini berarti konsep swa-sembada padi yang selama ini menjadi kebijakan pertanian harus dikembangkan menjadi konsep yang lebih produktif dan efisien. Bersamaan dengan itu kita tetap harus menyadari peranan khusus beras dalam perekonomian kita dan mengelola kebijakan beras dalam negeri yang menjamin perlindungan maksimum terhadap para petani. Lagi, hal ini bukanlah langkah yang berat dan mahal, namun membutuhkan kepemimpinan dan visi.

Perhatian khusus harus diberikan kepada ekonomi rakyat, yaitu ekonomi rakyat kecil yang bergerak di akar rumput. Ekonomi kecil dan menengah telah menyangga dan menyelamatkan ekonomi masyarakat kita pada masa krisis, pada waktu ekonomi skala besar, ekonomi konglomerat, ambruk dan sekarang menjadi beban pemerintah. Ekonomi rakyat yang selama ini mendapat fasilitas yang kecil dari pemerintah perlu mendapat perhatian dan dukungan yang lebih besar, sehingga dapat menyangga dan meredam krisis-krisis ekonomi di masa depan, yang memang bisa saja terjadi, sebagai akibat gerakan di dalam ekonomi di dunia.

(13)

Aspek lain dalam persiapan untuk mendapatkan manfaat yang maksimal dari membaiknya ekonomi dunia adalah melanjutkan upaya penyesuaian struktural untuk membuat dunia usaha kita dapat bersaing sekuat mungkin. Hal ini mesti melibatkan perubahan ke depan struktur tarif yang rendah dan seragam. Tarif kita pada umumnya rendah, namun jauh dari seragam.

Indonesia dan Argentina

Sebagai penutup, saya ingin mengulas masalah Argentina dalam kaitannya dengan masalah utama dalam ekonomi Indonesia dewasa ini, yaitu masalah hutang.

Dengan keputusan Argentina untuk menuntut moratorium pembayaran hutang, timbul pertanyaan apakah Indonesia harus melakukan hal yang sama. Hutang pemerintah Argentina sebagaimana dilaporkan adalah sekitar US$150 milyar, sedikit lebih besar dari hutang pemerin tah Indonesia (sovereign debt) yang sekitar US$140 milyar. Selain itu, PDB Argentina yang sekitar US$280 milyar adalah sekitar dua kalinya PDB Indonesia memberikan kesan bahwa beban hutang kita jauh melebihi daripada hutang Argentina. Namun sesungguhnya situasi perekonomian kedua negara tersebut memiliki beberapa perbedaan penting. Pertama, hanya setengah dari hutang pemerintah kita dihitung dalam dolar dan dimiliki oleh orang asing. Di Argentina, semua hutangnya dalam dolar atau dalam Pesos yang dikaitkan ke dalam dolar dan oleh karenanya harus secara efektif dibayar dalam nilai mata uang asing. Kedua, hampir semua hutang luar negeri kita bersyarat sangat lunak (concessionarry), yaitu tingkat bunga hutang luar negeri tersebut jauh di bawah tingkat suku bunga yang berlaku di pasar. Sebagian besar dari bunga hutang Argentina sama dengan tingkat bunga yang berlaku di pasar, dan ketika perekonomian Argentina terpuruk, tingkat suku bunga hutang tersebut justru meningkat dengan tajam. Ketiga, lebih dari setengah hutang luar negeri kita adalah dalam bentuk pinjaman pembangunan bilateral. Dengan melalui mekanisme yang sudah dikenal dalam Paris Club kita dapat meminta penjadwalan ulang pembayaran, dan melalui penjadwalan serta restrukturisasi memungkinkan kita untuk meminta hair cut yang signifikan. Dalam kasus Argentina, hampir seluruh hutangnya adalah dalam bentuk surat obligasi (bond).

Secara umum, adalah sangat sulit, kalau tidak mau disebut mustahil, untuk menjadwal ulang hutang bond. Jadi Argentina memiliki pilihan yang kecil selain untuk secara sepihak menetapkan moratorium pembayaran hutang. Sebaliknya Indonesia dapat secara efektif memotong beban hutang sampai kepada tingkat yang dapat dikelola tanpa menimbulkan konsekuensi negatif seperti yang dihadapi oleh Argentina. Harus diingat, kita menerima komitmen lebih dari US$3 milyar sebagai pinjaman dari CGI tahun ini. Apabila secara sepihak kita menghentikan pembayaran hutang luar negeri kita, pinjaman tersebut tidak akan dapat dicairkan dan keuntungan dari moratorium dalam jangka pendek akan sangat kecil. Dalam kasus Argentina, keuntungan lebih banyak didapat dari moratorium itu sendiri, minimal dalam jangka pendek, dibandingkan dengan kerugian yang akan diterima dalam kaitannya dengan pinjaman baru.

Penutup

Dari uraian di atas jelas masih ada masa depan bagi perekonomian Indonesia. Keberhasilan dan kegagalan yang dialami selama ini adalah pengalaman yang sangat berharga untuk dijadikan pelajaran dalam membangun masa depan yang lebih baik. Untuk mencapainya, yang dibutuhkan oleh bangsa ini adalah kepemimpinan yang memiliki visi yang kuat dan didukung oleh seluruh rakyat Indonesia. Selain itu berbagai upaya perlu dilakukan agar secara bertahap kita dapat mengatasi masalah-masalah yang kita rasakan demikian beratnya sekarang ini. Beberapa diantaranya yang pokok adalah sebagai berikut.

(14)

perekonomian dunia yang masih dalam tahap pemulihan tahun 2002 ini, kegiatan ekonomi perlu didukung oleh penguatan permintaan domestik terutama dari konsumsi masyarakat serta investasi secara bertahap. Dalam kaitan itu program restrukturisasi utang perusahaan dan pemulihan fungsi intermediasi perbankan perlu dipercepat guna meningkatkan kepercayaan masyarakat.

Kedua adalah meningkatkan kesinambungan fiskal (fiscal sustainability) dalam upaya menutup defisit anggaran, memperkecilnya dan akhirnya memperoleh surplus untuk membiayai kegiatan-kegiatan pembangunan, terutama untuk investasi di bidang prasarana dan SDM, khususnya pendidikan dan kesehatan. Upaya tersebut meliputi peningkatan sisi penerimaan dan pengendalian sisi pengeluaran. Dalam upaya meningkatkan penerimaan perlu diperhatikan prinsip keadilan dan dalam pelaksanaannya tidak justru menghambat pemulihan ekonomi. Pelaksanaan otonomi daerah harus dimantapkan, dan harus memperkuat upaya pemulihan ekonomi dan justru tidak memperlemahnya.

Ketiga adalah menciptakan lingkungan usaha yang kondusif bagi percepatan pemulihan ekonomi yang, mencakup pemeliharaan keamanan dan stabilitas politik; serta penciptaan hubungan pengusaha - karyawan yang harmonis.

Keempat adalah memberi prioritas pada pengembangan usaha kecil dan menengah atau dalam istilah popularnya “ekonomi rakyat”, yakni ekonomi yang berakar pada masyarakat dan bersumber pada sumber daya yang ada di dalam negeri. Dukungan kepada sektor ini harus membuat ekonomi rakyat itu menjadi makin tangguh, maju, dan modern, tetapi tetap mandiri. Pengembangan ekonomi rakyat ini juga selain memiliki tujuan-tujuan ekonomi juga untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat.

Kelima adalah mempercepat reformasi hukum dengan menyelenggarakan pemerintahan yang terbuka (open government) sebagai salah satu konsep dasar good governance. Pada hakekatnya konsep ini mengandung pengertian bahwa seluruh kegiatan pemerintahan terutama yang berkaitan dengan kepentingan dan hajat hidup masyarakat luas harus terbuka dan transparan serta dapat diikuti, diamati, dan diawasi oleh masyarakat. Konsep pemerintahan yang terbuka memberikan jaminan kepada masyarakat dalam bentuk hak atau kemudahan serta keadilan untuk memperoleh informasi yang dikuasai oleh pemerintah, hak untuk berpartisipasi dan berperan serta dalam proses pengambilan dan perumusan keputusan publik, dan hak untuk menyampaikan keberatan yang berkaitan dengan proses dan mekanisme pengambilan keputusan, substansi atau materi pengaturannya serta keberatan atas diabaikannya hak-hak tersebut. Keterbukaan juga berarti pengawasan yang lebih efektif terhadap penyelenggaraan negara.

Demikianlah berbagai pandangan mengenai ekonomi Indonesia dewasa ini, mengapa menjadi demikian dan harapan ke masa depan. Semoga ada manfaatnya untuk buah pikiran bersama.

Kepustakaan:

Buehrer, T.S (2000), Monthly Report for August, Jakarta: Partnership for Economic Growth, Bappenas Office, September

Bello, W. (1997a), ‘Addicted to capital: the ten year high and present –day withdrawal trauma of Southeast Asia’s economies’, November, http://focusweb.org/focus/library/addicted_to_ capital.htm)

Bello, W. (1997b), ‘The end of Asian Miracle’, http://www.stern.nyu.edu ~nroubeni/asia/miracle. pdf

(15)

Greenspan, A. (1997), ‘Testimony of Chairman Alan Greenspan before the Committee on Banking and Financial Services, U.S. House of Representatives’, 13 November 1997, (http://www.bog.frb.fed.us/ boarddocs/testimony/19971113.htm)

HIID (1997), Quarterly Economic Report May 1997; First Quarter 1997, Jakarta, May

Hill, H. (1999), The Indonesian Economy in Crisis: Causes, Consequences and Lessons, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies

Kartasasmita, Ginandjar (2001), ‘Globalization and the Economic Crisis: the Indonesian Story’, Cambridge: Weatherhead Centre for International Affairs, Harvard University, April.

--- (1996) Pembangunan untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan, Jakarta: PT. Pustaka CIDESINDO, 1996.

Kenward, L.R. (1999), Assessing Vulnerability to Financial Crisis: Evidence from Indonesia, Victoria, December

OECD Center for Co-operation with Non-Members (1999), Structural Aspect of the East Asian Crisis, Paris

Olds, K., Dicken, P.F., Kelly, L.K and Yeung, H.W (1999), Globalisation and the Asia Pacific: Contested Territories, London: Routledge

PREM Economic Policy Group and Development Economics Group (2000), ‘Assessing Globalization’, Briefing Papers, Washington D.C: World Bank, April

Radelet, S. and Sachs, J. (1998), ‘The onset of the East Asian financial crisis’, 30 March, (http://www.hiid.harvard.edu/pub/other/ asiacrisis.html), accessed 18 May 1998, in Olds, K., Dicken, P., Kelly, P.F., Kong, L. and Yeung, H.W (eds), Globalisation and the Asia-Pacific: Contested Territories, London: Routledge

Rodrik, D. (1997), Has Globalization Gone Too Far , Washington D.C.: Institute for International Economics, March

Stern, J.J (2000), Liberalization and Growth Before 1997, Cambridge: NEBR Seminar, September

Woo, W.T, Sachs, J.D and Schwab, K. (2000), The Asian Financial Crisis: Lessons for a Resilient Asia, Cambridge: MIT, February

World Bank (1997), ‘Indonesia: Sustaining High Growth with Equity’, Project on Exchange Rate Crisis in Emerging Market Countries: Indonesia, Cambridge: NEBR, May

World Bank (1998), ‘Indonesia in Crisis: A Macroeconomic Update July 16, 1998’, Project on Exchange Rate Crisis in Emerging Market Countries: Indonesia, Cambridge: NEBR, September

Referensi

Dokumen terkait

Wardhaugh (1986:46) mengatakan, bahwa istilah dialek dapat digunakan untuk mendeskripsikan perbedaan bahasa yang berhubungan dengan variasi kelompok sosial atau kelas

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tipologi pesisir Demak ini termasuk dalam tipologi pesisir primer akibat deposisional sub-arial (Sub-areal deposition coast), yaitu

Rancangan pemikiran penelitian yang tergambar dalam hubungan keterkaitn antara variabel di atas, merupakan model hubungan ganda dengan dua variabel independen X 1 ,yaitu

Perseroan menghapusbukukan saldo piutang pada saat Perseroan menentukan bahwa aset tersebut tidak dapat ditagih lagi. Penerimaan atau pemulihan kembali atas aset keuangan yang

Berdasarkan hasil identifikasi tumbuhan dan dari beberapa literatur, terdapat tumbuhan yang berpotensi untuk bahan obat dan pangan (buah dan sayuran) sebanyak 36 jenis,

Jumlah individu populasi rusa totol (Axis axis) di Taman Monas pada saat ini sebanyak 73 ekor, dengan produktivitas rumput sebesar 78,150 kg/hari, maka Taman

Abstraksi : Hotel Minang Permai Pacitan merupakan salah satu hotel yang berada di kota Pacitan,meski hotel ini tidak terlalu besar tapi tamu yang menginap cukup ramai, akan

Berdasarkan dari hasil analisis, penulis mengambil kesimpulan bahwa dibutuhkan media edukasi berupa buku untuk anak-anak dan orang tua yang dapat memberikan