• Tidak ada hasil yang ditemukan

Geneologi Pemikiran Fiqh Siyasah: Sebuah Kajian Awal Oleh: Gusnam Haris. Kata kunci: imâmah, khilâfah, siyâsah, piagam Madinah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Geneologi Pemikiran Fiqh Siyasah: Sebuah Kajian Awal Oleh: Gusnam Haris. Kata kunci: imâmah, khilâfah, siyâsah, piagam Madinah"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Geneologi Pemikiran Fiqh Siyasah: Sebuah Kajian Awal

Oleh: Gusnam Haris∗

Abstrak

Sebenarnya, problematika pemikiran politik dalam Islam secara esensial berakar pada konsep imâmah dan khilâfah: apakah keduanya merupakan bagian integral dari pelaksanaan ajaran agama ataukah merupakan bagian luar yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan pelaksanaan ajaran agama. Ditambah lagi dengan persoalan apakah agama hanya concern pada aspek ilâhiyyah (hablum minallâh) semata ataukah juga care pada aspek historisitas perilaku umatnya

(hablum minannâs). Bagaimanakah sosok Nabi Muhammad SAW

men-sunnah-kan masalah ini dan bagaimana perdebatan para ulama yang ada di dalamnya. Tulisan ini akan mencoba mengelaborasi permasalahan ini dengan menggunakan pendekatan historis. Bagaimana hubungan 'contoh ideal' Nabi pada masa lalu 'dengan konteks riil' sosiokultural umat Islam sekarang ini merupakan pertanyaan yang sangat mendasar pada tulisan ini.

Kata kunci: imâmah, khilâfah, siyâsah, piagam Madinah A. Pendahuluan

Latar belakang pergumulan politik Islam pada umumnya, merupakan produk perdebatan panjang yang terfokus pada masalah identitas politik tentang Imamah dan Kekhalifahan.1 Pada waktu awal

Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah (622 M), terjadi sedikit

kontroversi mengenai siapa yang pantas mengendalikan kekuatan politik.2

Dosen Fakultas Syari'ah Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.

1 al-Mawardi (w.1058 M), seorang teoritikus politik Islam terkemuka pada masa klasik, pada baris pertama dari karyanya yang terkenal al-Ahkam al-Shulthaniyah,

menegaskan, bahwa kepemimpinan negara (imâmah) merupakan instrumen untuk meneruskan misi kenabian Nabi Muhammad SAW guna memelihara agama dan mengatur dunia, al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyah (Beirut: t.pn, tt ), p. 5

2 Ilmu politik didefinisikan sebagai "studi tentang hubungan-hubungan antara 'berbagai kekuatan (kekuasaan) masyarakat dalam sebuah negara dan warganya. Apakah definisi ini dapat mencakup semua persoalan yang secara konvensional disebut sebagai "politik", tentu saja merupakan masalah yang mengulang perdebatan. Memang tak ada definisi tentang ilmu politik atau obyek pembahasannya yang bersifat final dan abadi. Semua definisi bersifat sementara dan berubah-ubah, Bandingkan dengan Mariam Budihardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta : Gramedia, 1984), Syafi'i Ma'arif memberikan definisi dengan "ilmu tentang pemerintahan; ratu ilmu yang berkaitan dengan prinsip

(2)

Semenjak Nabi Muhammad SAW di Madinah sampai wafat pada 6 Juni 632 M beliau berperan sebagai pemimpin yang tak dapat dibantah (unquestionable leader) bagi negara Islam yang baru lahir itu. Sebagai Nabi Muhammad SAW, ia meletakkan prinsip-prinsip agama Islam, Sebagai negarawan, ia mengutus duta ke luar negeri, membentuk angkatan bersenjata dan membagi harta rampasan perang. Demikian dalam teori dan praktek, ia menempati posisi yang unik sebagai pemimpin dan sumber spiritualitas undang-undang Ketuhanan, juga sekaligus sebagai pemimpin pemerintahan Islam yang pertama. Dalam framework pemikiran Islam, Islam yang ditampilkan Nabi Muhammad SAW Muhammad juga mengatur dan memberikan petunjuk pada perkara temporal dan partikular, dengan kosepsi sedemikian ajaran Islam secara hakikatnya membumi dan realistik.

Yusuf Musa mengutip pendapat C.A. Nollino berkata, pada saat yang sama Muhammad sekaligus memberikan agama dan negara, sedangkan peraturan-peraturan negaranya selalu tepat sepanjang hidupnya.3 Duncan Black Mc.Donald berkata; di kota Madinah telah didirikan negara Islam yang pertama, diletakkan prinsip-prinsip pokok tentang konstitusi Islam, demikian pula H.A.R. Gibb mengatakan; sejak saat itu (di Madinah) menjadi jelas bahwa Islam bukan semata-mata akidah keagamaan individual, tetapi sudah mewajibkan pembentukan suatu masyarakat yang mandiri, yang memiliki bentuk pemerintahan sendiri serta memiliki konstitusi dan sistem pemerintahan secara khusus. Kerangka kerja konstitusional pemerintahan ini terungkap dalam sebuah dokumen yang terkenal "Mitsāq al-Madinah" atau "Piagam Madinah".4

Berbagai pendapat di atas, memberikan asumsi bahwa Islam bukanlah semata-mata agama dalam pengertian Barat--yakni hanya menyangkut hubungan antara manusia dan Tuhan--, melainkan sebaliknya, Islam adalah satu agama yang mengatur juga kehidupan bernegara serta segala aspek kehidupan manusia. Berbeda dengan tokoh-tokoh sekuler, walaupun sebagian mereka mempunyai latar belakang agama yang cukup kuat seperti Ali Abd al-Raziq yang menentang keras dikaitkannya Islam dengan politik. Menurutnya, Islam hanya sebuah agama ritual, tidak ada pengaturan dan dan pengawasan rakyat yang hidup dalam masyarakat, A. Syafi'i Ma'arif,

Islam dan Masalah Kenegaraan (Jakarta: LP3ES, 1987), p. 14.

3 M. Yusuf Musa, Nidham al-Hukm fi al-Islam, alih bahasa M. Thalib (Surabaya: al-Ikhlas, tt), p. 27

4 Piagam ini memuat 47 pasal, yang menurut Munawir Sjadzali Merupakan landasan bagi kehidupan bernegara untuk masyarakat majemuk di Madinah. Konsep “Ummah" merupakan raga bagi terbentuknya landasan ketatanegaraan Islam. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara (Jakarta: UI Pres, l990), p. 10-l6

(3)

sistem politik dalam Islam. Sistem politik Islam hanya dikatakan rekayasa para ulama di “zaman pertengahan”. Tentang kedudukan Rasulullah sebagai pemimpin dan pendiri Negara Islam Madinah, ia menyatakan bahwa itu satu kebetulan saja.5

Wafatnya Nabi Muhammad SAW yang tak terduga adalah peristiwa yang menyebabkan larutnya masyarakat dalam ketidakpastian tentang krisis penggantinya. Karena semasa kehidupannya Nabi Muhammad SAW tidak pernah menyampaikan wasiat tentang siapa yang berhak menggantikannya sebagai pemimpin negara Islam. Inilah yang menjadi pemicu lahirnya perdebatan sengit dan berkepanjangan mengenai syarat-syarat imamah, serta politisasi Islam, dan depolitisasi.

Yang menarik, mengapa pula gambaran ideal dalam praktek kenegaraan pada masa Nabi Muhammad SAW dan sahabat berangsur-angsur memudar dan bahkan cenderung memisahkan agama dengan negara yang pada ujungnya melahirkan mazhab-mazhab pemikiran di bidang politik dan ketatanegaraan di kemudian hari. Bertitik tolak dari penjelasan singkat di atas, penulis bermaksud membahas persoalan tersebut dengan tetap mengacu pada pendekatan historis.

B. Embrio Kemunculan Fiqh Siyasah

Guna menjawab pertanyaan asal-usul, berangkat dari kenyataan-kenyataan yang ditemukan oleh sebagian ahli sejarah teori-teori politik, dapatlah diungkapkan bahwa ada hubungan yang erat antara tumbuhnya ide-ide politik dengan peristiwa-peristiwa sejarah.6 Apabila kenyataan ini

diakui benar-benar berlaku terhadap sesuatu pikiran yang telah tumbuh, maka dengan tidak ragu-ragu, kenyataan ini berlaku juga pada teori-teori politik Islam.

Teori-teori ini teristimewakan pada permulaan munculnya, erat hubungannya dengan peristiwa-peristiwa sejarah Islam, hingga haruslah dipandang, bahwa kedua-duanya saling melengkapi. Hubungan antara keduanya, berbeda-beda. Terkadang teorilah yang menimbulkan suatu peristiwa, dan terkadang teorilah yang menjadi sebab atau wadah peristiwa itu.

Bermula dari posisi sentral Nab Muhammad SAW dengan segala predikat yang disandangnya ia bukan sekedar makhluk sosial, tetapi lebih dari itu, secara alamiah juga makhluk politik. Menilik sepanjang karir

5 Ali ‘Abd al-Raziq, Al-Islam wa Usul al Hukm: Bahs fi al-Khilafah wa al-Hukumah fi

al-Islam (Kaherah: al-Hay’ah al-Misriyyah al-‘Ammah li al-Kitab, 1925), p. 32-63

6 T.M. Hasby Ash Shiddieqy, Ilmu Kenegaraan dalam Fiqh Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), p. 4

(4)

sejarah Nabi Muhammad SAW,7 baik semasa di Makkah (610-622 M) maupun semasa di Madinah (622-632 M) nampak adanya perbedaan. Perbedaan itu nampak terutama terletak dalam hal kenyataan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak mempunyai kekuasaan politik untuk menyokong misi kenabiannya pada masa Makkah.8

Dapat dimaklumi bahwa periode Makkah Nabi Muhammad SAW baru menetapkan dasar-dasar pokok ajaran Islam. Sementara di Madinah ia "sebagai kepala politik-agamanya”, sekalipun Nabi Muhammad SAW tidak secara langsung menyatakan dirinya sebagai seorang penguasa. Mengapa hal ini terjadi. karena di Madinah sudah mulai disempurnakan pembentukan masyarakat Islam serta dijabarkan segala sesuatu yang tadinya dikemukakan secara global, dan disempurnakan perundang-undangan (aturan-aturan) dengan melahirkan prinsip-prinsip baru, serta mengaplikasikan (mensosialisaikan) prinsip itu ke dalam realitas empiris.

Inilah misi Nabi Muhammad SAW yang sebenarnya sebagaimana didefinisikan al-Qur'an yakni: "Sesungguhnya Allah telah mengaruniai orang-orang mukmin dengan membangkitkan di antara mereka seorang Rasul dari jenis mereka sendiri, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab Suci dan kebajikan, sedangkan sebelumnya mereka dalam kesesatan yang nyata".9 Dan posisi sebagai Rasul Allah tetap tidak berubah sampai saat wafatnya pada 652 M, " Muhammad hanyalah seorang Rasul".10

Memang Nabi Muhammad SAW bukan diutus sebagai pemimpin politik, hanya seorang Rasul. Tetapi perlu diketahui konsep kerasulannya tidak sebatas menyampaikan misi Allah (dakwah). Yang paling berat adalah menjadi contoh dan tauladan dalam melaksanakan Islam sebagai cara hidup (way of life). Rasulullah membawa misi perubahan, karena Islam yang dibawanya adalah Islam yang mempunyai ‘civilizing force’. Dalam masa yang singkat Muhammad telah berhasil membuat perubahan dan reformasi peradaban dimana budaya, pemikiran, dan sosio-politik bangsa Arab menjadi maju gemilang.

7 M. Dliyauddin Rayyis, al-Nadharlyyat al-Siyasiyah al-Islamiyah (Kairo: Kitabah al-Mishriyyah, 1958), p. 24-25

8 A. Syafi'i Ma'arif, Islam, p. 14

9Depag R.I., Al Qur'an dan Terjemahnya (Surabaya: Mahkota, 1989), p. 104

10Ibid., p. 99. Oleh sebagian pendapat bahwa Nabi Muhammad SAW bukanlah seorang kepala negara karena al-Qur'an tidak memberikan term yang baku istilah ketatanegaraan. Lebih jauh dari itu, ternyata Islam tidak mempunyai bentuk atau model negara yang baku dan berlaku untuk setiap masa dan penguasa. Faham yang monolak, seperti, Qamaruddin Khan, Political Conceps in The Qur'an ( Karachi: Institute of Islamic Studies, 1973) dan 'Ali 'Abdul Raziq, al-Islam wa Ushul al-Hukmi (Mesir: Mathba'ah al-Mishriyah, 1925 M) .

(5)

Semua perubahan ini terjadi karena Nabi Muhammad SAW telah membuat program yang jitu dan bijaksana. Ini dapat dilihat bagaimana Muhammad berhijrah, membina persaudaraan, membentuk tatanan sosial dan membangun ekonomi, politik, sosial umat Islam di Madinah. Pengkaji-pengkaji politik Islam setuju dengan pendapat Muhammad Hamidullah bahwa Piagam Madinah yang dirumuskan oleh Muhammad Rasulullah adalah satu Undang-undang Dasar pertama di dunia karena dia dihasilkan pada masa dunia diperintah dengan sistem monarki, tidak memiliki undang-undang, dan tidak mengenal kedaulatan hukum (supremacy of law).11 Ini tentunya bukan suatu kebetulan.

Sebagai pengemban Syari'at, Nabi Muhammad SAW terkadang juga berfungsi sebagai Juris dan Penguasa terhadap persoalan kemasyarakatan terutama yang ada hubungannya dengan kemaslahatan umum, yang menghendaki campur tangan penguasa (pemerintah).12 Hal ini demi

menjaga keseragaman amaliyyah, di samping untuk menghindarkan

kesimpangsiuran dan ketidakpastian hukum. Bagi masyarakat tersebut diwajibkan menaati apa yang telah ditetapkan oleh penguasa (pemerintah).13

Kemudian, apakah yang dimaksud dengan siyasah syar'iyyah itu. Yusuf Musa menyatakan; keinginan segenap manusia memenuhi tuntutannya secara rasional di dalam mencari kemaslahatan duniawiah dan menghindarkan diri dari segala bahaya.14 Ini berarti, mengandung unsur

hukum, kebijaksanaan atau peraturan yang berfungsi mengorganisir perangkat kepentingan negara dan mengatur urusan ummat, agar sejalan dengan jiwa syari'at, Lebih tegasnya, siyasah syar’iyyah mecakup semua jenis hukum, peraturan perundang-undangan atau kebijaksanaan yang dibuat dan ditetapkan oleh pemegang kekuasaan (pemerintah) untuk mengatur persoalan ummat guna merealisasikan kemaslahatan mereka, sepanjang tidak bertentangan dengan dasar-dasar agama dan sekalipun terhadap hal tersebut tidak ada dalil khusus (ayat al-Qur'an maupun al Hadis) yang

menunjukkannya. Dari muatan-muatan siyasah syar'iyyah kemudian

merambah kepada otoritas pemerintah dalam kebijaksanaan dan dalam menetapkan berbagai hukum.

11 Muhammad Salim al-Awwa., Fi al-Nizam al-Siyasi li al-Daulah al-Islamiyyah (Kaherah: Dar al-Shuruq, 1989), p. 137

12 al- Mawardi, al-Ahkam, p. 5 13Ibid.

(6)

C. Perspektif Ketatanegaraan Islam Secara Faktual

Bahwa praktek ketatanegaraan di zaman Nabi Muhammad SAW dan Khalifah empat adalah gambaran ideal dan Islami dapat disepakati. Berawal dari peristiwa sederhana; pertama pertemuan Nabi Muhammad SAW dengan enam orang dari suku Khazraj, di Aqabah pada tahun kesebelas kenabian, kemudian dengan dua belas orang penduduk Yathrib pada tahun keduabelas kenabian yang kemudian melahirkan "Bai'at Aqabah I",15 pada musim haji tahun berikutnya sebanyak tujuh puluh tiga penduduk Yasrib, yang kemudian, melahirkan "Bai'at Aqabah II", ternyata menjadi titik awal era baru bagi bangunan negara Islam.

Dari Peristiwa bai’at (I dan II) Nabi Muhammad SAW selanjutnya hijrah ke Madinah pada akhir tahun dimana bai'at II terjadi. Belum lama di Madinah, Nabi Muhammad SAW mengambil keputusan politik yang amat determinatif dengan menetapkan "Piagam-Madinah" untuk mengatur kehidupan komunitas yang majemuk. Di negara baru itu Nabi Muhammad SAW adalah segala-galanya. Sebagai Rasulullah dengan otoritas keagamaan, pemimpin masyarakat dan sekaligus kepala negara; menyatu

dalam satu pribadi, ucapan dan tindakan.16 Semuanya merupakan

penjabaran kongkrit dari pesan al-Qu'an,

Ketika Nabi Muhammad SAW wafat tidak meninggalkan suatu pesan apapun tentang suksesi kepemimpinan ummat. Ini bisa jadi merupakan isyarat politik agar ummat Islam mencari penyelesaian sendiri urusan-urusan ketatanegaraan (baca: hikmat kebijaksanaan) melalui musyawarah. Di Saqifah Bani Saidah, Abu Bakar dipilih berdasarkan konsensus, meski diwarnai oleh perbedaan visi politik yang rumit antara kelopok Anshar dan Muhajirin.17 Umar berbeda dengan Abu Bakar,

beliau diangkat menjadi khalifah karena penunjukan (wasiat) seniornya (yang sudah barang tentu dengan mempertimbangkan kredit point Umar). Penunjukan (wasiat) itu boleh jadi mengandung isyarat, bahwa ummat Islam ketika itu belum cukup matang untuk melakukan manuver-manuver politik tingkat tinggi dalam menghadapi masalah-masalah besar. Usman dipilih oleh semacam tim formatur yang ditetapkan Umar. Anggota formatur itu adalah; Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, dan Saad bin Abi

15 Munawar Sjadzali, Islam…., p. 8-9

16 Khalid Ibrahim Jindan, The Islamic Theory of Goverment According to Ibn Taimiyyah alih bahasa Masrohin (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), p. 75

17 Jalaluddin Rahmat, Ukhuwah Islamiyyah Perspektif al-Qur'an dan Sejarah, dalam Haidar Baqir ( ed.), Satu Islam Sebuah Dilema (Bandung : Mizan, 1988 ), p. 84-89

(7)

Waqqash.18 Dan Ali diangkat berdasarkan pemilihan, meskipun akhirnya diboikot oleh Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Jika kepemimpinan Nabi Muhammad SAW diterima dengan loyalitas penuh mudah difahami karena otoritas Nabi Muhammad SAW di-back up oleh wahyu (baca: disamping akhlaq Nabi Muhammad SAW), maka tidak sama halnya dengan khalifah empat. Hubungan khalifah (yang tidak didukung wahyu) dengan ummat Islam berubah hubungan dua pihak dalam suatu "kontrak" (ingat; Teori kontrak sosial).19 Maka tak begitu mengherankan jika klimaksnya adalah terjadinya al-fitnah al-kubrâ.

Pada pasca khalifah empat, Mu’awiyah memangku jabatan - khalifah karena permainan politik yang bermula pada peristiwa Shiffin, yang kemudian melahirkan perubahan-perubahan mendasar di bidang ketatane-garaan, antara lain berubahnya khalifah menjadi monarchie. Di tengah-tengah terjadinya transformasi sosio politik itu muncul gagasan untuk mengembalikan kepemimpinan umat Islam menjadi monopoli orang Quraisy. Bahkan oleh pendukung Ali di belakang hari dimanipulir

pemahamannya harus dari keturunan Nabi Muhammad SAW (Ahl al-

Bait). Tetapi tidak semua yang berbau monarchie selalu membawa citra buruk, sebab Umar bin Abdul Aziz dari dinasti Umaiyah dikenal sebagai seorang yang arif nan bijaksana pernah diberi gelar oleh sebagian orang sebagai khalifah yang kelima. Ia juga berjasa mengembalikan tarbi’ (meng-empat-kan) yakni menyatakan bahwa khalifah yang sah terdahulu, yang disebut al-Khulafâ ar-Râsyidûn, yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali (Sebelum itu ada tiga versi: bagi kaum Nawashib dari kalangan Umawi ialah; Abu Bakar, Umar dan Utsman tanpa Ali, tetapi sebagian Mu'awiyah; bagi kaum Khawarij hanya Abu Bakar dan Umar, sedangkan Utsman, Ali dan Mu'awiyah semuanya kafir; bagi kaum Syi'ah Rafidlah hanyalah Allah saja, sedangkan yang lain merampas hak Ali yang telah diwasiatkan Rasulullah).20

Berbeda dengan Mu'awiyah yang menganggap, bahwa masalah kepemimpinan ummat Islam hanya suatu institusi politik belaka, maka Abbasiyah berpretensi bahwa kepala negara memangku jabatannya

18Ibid, p. 89

19 Teori ini dikembangkan oleh John Lock, ia menegaskan "bahwa kontrak harus melibatkan kedua belah pihak, rakyat di satu pihak dengan penguasa pihak lain. Tetapi teori ini tidak sejalan dengan yang dikemukakan oleh Thomas Hobes, yang menurutnya, "bahwa setiap individu melepaskan hak syah kepada seseorang atau lembaga, tetapi orang atau lembaga itu tidak terikat dengan kontrak tadi. Untuk keterangan lebih lanjut mengenai rangkaian "al-Fitnatu al-Kubra", lihat Nurcholish Kadjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1995), p. 164 – 166.

(8)

berdasarkan delegation of authority dari Tuhan, bukan dari ummat.21 Akibatnya, kepala negara dianggap muqaddas atau kurang lebih can do no wrong. Munculnya dinasti-dinasti kecil yang dikuasai Bani Abbas, membuat konsep khilafah yang semula sebagai Khalifah Rasul Allah telah mulai bergeser fungsinya. Khalifah Rasul yang pada awalnya sebagai "penguasa politik" sekaligus "penguasa agama" mulai terpisah dengan sendirinya. Seiring dengan kesatuan dan persatuan wilayah yang tidak dapat dipertahankan secara utuh, sehingga perpecahan semakin nampak jelas.

Yang menarik disimak adalah bahwa sejak awal abad kesepuluh Masehi (945 M) golongan Syi'ah telah mulai ikut memimpin di wilayah yang dikuasai Bani Abbas di Baqdad. Bani Buwaihi, misalnya, adalah penganut Syi’ah dua belas yang telah berhasil "melumpuhkan" penguasa Bani Abbas di Baghdad.22 Praktis, kekuasaan mengatur pemerintahan berada pada kaum Syi’ah, tetapi mereka tetap menggunakan sistem

khalifah yang sudah mapan di kalangan ummat.23

Terbentuknya Khilafah Fathimiyyah, di Mesir tahun 973 M, yang dipimpin oleh kelompok Syi'ah Ismailiyah, merupakan saingan bagi Dinasti Bani Abbasiyah. Pemakaian nama Fathimiyyah pada khilafah ini

menjadi bukti kesetiaan dan penghormatan golongan Syi’ah kepada Ahl

al-Bait, khususnya Fathimah dan Ali. Yang menarik, mereka juga

menggunakan istilah khilafah, sebagaimana lazimnya kaum Sunni, bukan Imamah sebagaimana layaknya kaum Syi'ah, Mungkin, hal ini dalam rangka menyaingi Bani Abbas yang didukung oleh Kaum Sunni.

Memang sampai terbentuknya Khilafah Fathimiyyah belum ada istilah yang baku tentang bentuk Imamah. Tetapi al-Mawardi menggunakan istilah Imamah dan Khilafah dalam bukunya, bukan berarti tanpa tujuan. Agaknya, dengan menggunakan istilah itu al-Mawardi berharap agar teori kenegaraan yang ditulis dapat "diterima" oleh kelompok Sunni dan Syi'ah. Lebih dari itu, ia berusaha agar eksistensi Bani Abbas tetap lestari. Atau sebaliknya, kata Qamaruddin Khan,24 dalam

rangka mengimbangi politik Syi'ah.

21 M. Din Syamsuddin, Usaha Pencarian Konsep Negara Dalam Sejarah Pemikiran

Politik Islam, dalam Jurnal Ulumul Qur'an, No. 2 Vol.IV,Tahun 1993, p. 8-9.

22 Carl Brockleman, History of Islamic People (New York: Putnamas Sons, l944), p. 155.

23 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya I (Jakarta: UI. Pers, 1986), p. 78

24 Qamaruddin Khan, Political Concepts in The Qur’an, alih bahasa Taufiq Adnan Amal (Bandung: Pustaka, 1987), p. 26

(9)

D. Pemikiran Ketatanegaraan dalam Perspektif Teoritik: Sebuah Kajian Awal

Sarjana pertama yang menuangkan ajaran ketatanegaraannya dalam tulisan adalah Syihab al-Din Ahmad Ibnu Rabi' (Baghdad) zaman pemerintahan Mu'tashim, khalifah Abbasiyyah kedelapan,25 Setelah Ibnu Abi Rabi' kemudian menyusul pemikir-pemikir seperti Farabi, al-Mawardi, al-Ghazali, Ibnu Taimiyah yang hidup setelah runtuhnya kekuasaan "Abbasiyah di Baghdad, dan Ibnu Khaldun yang hidup pada abad XIV M yang jabatan terakhirnya sebagai Hakim Agung Mazhab Maliki di Mesir.

Ada dua ciri umum pada gagasan politik dari pemikiran-pemikiran tersebut di atas. Pertama, pada pendapat mereka tampak jelas adanya pengaruh alam pikiran Yunani, terutama pandangan Plato, meskipun kadar pengaruh itu tidak sama antara satu dengan yang lainnya. Kedua, selain al-Farabi, mereka mendasarkan pikirannya atas penerimaan terhadap

sistem kekuasaan yang ada pada zaman mereka masing-masing.26

Essensi pemikiran mereka secara garis besar dapat dijelaskan, bahwa al-Rabi' memilih sistem monarchie dengan segala implikasinya, dia menolak demokrasi, aligarchie dan aristokrasi. Sementara Al-Farabi dapat menerima national state, city state maupun international state konsep Barat.27 Sebaiknya, kata al-Farabi, kepala negara adalah tunggal tetapi harus memenuhi dua belas kriteria ideal,28 apabila tidak mungkin, dapat dibentuk sebuah

presidium, Al-Farabi agaknya seorang perfeksionis, ia menginginkan kehidupan kenegaraan yang benar-benar ideal, teorinya nyaris tak dapat disosialisasikan dalam praktek.

Al-Mawardi, lebih analitis dari al-Farabi. Kepala negara, menurutnya, diangkat melalui pemilihan dan penunjukan, dalam hal pemilihan ia membagi ke dalam dua kelompok yakni ahl al-ihktiyar dan ahl al-Imamah. Yang dimaksud ahl al-ikhtiyar dapat diartikan sebagai kelompok masyarakat yang dapat memberikan kewenangan kepada kepala negara untuk mengatur masyarakat, termasuk mereka sendiri, dan kelompok ini dengan beberapa persyaratan tertentu dapat dikatakan ahl 'aqdi- wa al-hilli, sedangkan ahl al-imamah adalah orang-orang yang memenuhi enam persyaratan untuk diangkat menjadi kepala negara.29 Tetapi al-Mawardi

25 Munawir Sjadzali, Islam... , p. 42 26Ibid., p. 42

27 Karangan-karangan al-Farabi tentang teori politik, diantaranya;- Ara Ahl

al-Madinah al-Fadilah,- Tahshil al-Sa'adah,- al Siyasah al-Madaniyyah, Di antara buku tersebut, yang terpenting adalah yang pertama dan ketiga. Ibid., p. 49-50.

28 Ibid., p. 56

(10)

berkesimpulan bahwa kepala negara yang terpilih harus bertanggung jawab sepenuhnya kepada pemilih (rakyat), sebab jabatan kepala negara merupakan amanat dari rakyat.

Kendati al-Ghazali tidak secara khusus dikenal sebagai pemikir politik, namun dalam beberapa karyanya mengandung pemikiran-pemikiran politik yang signifikan, seperti Nashiha al-Mulk, Kimiya al-Sa'adah, dan al-Iqtishad fi al-I’tiqad. Dalam Nashihat al-Mulk, ia antara lain mengisyaratkan hubungan pararel antara agama dan negara, seperti dicontohkan dalam parerelisme Nabi Muhammad SAW dan raja, Menurut al-Ghazali, jika Tuhan telah mengirim Nabi Muhammad SAW dan memberinya wahyu, maka Tuhan juga mengirim raja-raja dan memberinya "kekuatan Ilahi". Keduanya memiliki tujuan yang sama yaitu kemaslahatan kehidupan manusia.30

Mungkin al-Ghazali tidak bermaksud menyamakan antara Nabi Muhammad SAW dan raja, dan mungkin dapat berarti antara negara dan agama ada parerelisme yang menunjukkan status tinggi dari raja atau negara dalam hubungannya dengan Nabi Muhammad SAW atau agama. Kesetaraan ini dikuatkan oleh pendapat al-Ghazali dalam Kimiya as-Sa'adah bahwa agama dan negara adalah saudara kembar (tawaman) yang lahir dari satu ibu.31

Ibnu Khaldun, yang juga dapat mewakili pakar ketatanegaraan

klasik, menerima monarchie. Yang menarik ialah pembagian Ibnu Khaldun

tentang negara menjadi dua macam, yaitu negara dengan kekuasaan alamiah (Mulk al-Tabi'i) dan negara dengan kekuasaan politik (Mulk al-Siyasi), yang pertama melahirkan negara otoriter dan yang kedua dibagi menjadi tiga kelompok, yakni; pertama, negara hukum diniyah (nomokrasi) dan ini yang paling dekat dengan praktek kenegaraan Islam; kedua, negara hukum sekuler (siyasah aqliyah) dan ketiga,negara hukum republik ala Plato (siyasah madaniyah).32

Pemikiran politik Ibnu Taimiyah yang bersendikan agama, terekam dalam karyanya al-Siyasah al-Syar'iyyah fi Islah al-Ra’i wa al-Ra’iyah. Orientasi pemikiran politiknya dengan mendasarkan firman Allah dalam al-Qur'an surat al-Nisa, ayat 58 dan 59. Ayat 58 dimaksudkan bagi para pemimpin negara. Demi terciptanya kehidupan bernegara yang serasi hendaknya mereka menyampaikan amanat kepada yang berhak atasnya, dan senantiasa bertindak adil, sedang ayat 59 ditujukan kepada rakyat. Mereka diperintahkan taat tidak saja kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi juga

30 al-Ghazali, Nashihat al-Mulk (Teheran: tp., l317 H), p. 10.

31 Al-Ghazali, Kimiyya al-Sa'adah ( Beirut: Maktabah al-Sya'’biyah, tt ),P. 59 32 T.M. Has’bi Ash Shiddieqy, Ilmu Kenegaraan….... , p. 38 -39

(11)

kepada pemimpin mereka, dan menunaikan pekerjaan yang sekira tidak melanggar syari'at.33

Kritik-kritik Ibnu Taimiyah terhadap teori khilafahnya kaum sunni, teori Syi'ah (tentang Imamah), dan teori Khawarij (tentang pemberontak-an) menentukan versi politik reformisme konservative-nya yang menghendaki penggalakan kembali pemikiran ijtihad (keagamaan) dan penolakan tegas terhadap prosedur-prosedur tradisional yang tidak kritis (taqlid). Menurut pendapatnya, kebutuhan manusia terhadap pemerintahan tidak hanya ditegaskan oleh hukum wahyu, tetapi juga diperkuat oleh hukum alam atau

akal yang melibatkan manusia untuk bergabung dan menjalin kerjasama.34

Hal ini ditandai dengan fatwa Ibnu Taimiyah yang terkenal; "keberadaan kepala negara, meskipun zalim, lebih baik bagi rakyat daripada kalau mereka harus hidup tanpa kepala negara" atau dengan ungkapan lain "enam puluh tahun di bawah sultan yang zalim lebih baik daripada satu malam tanpa sultan". Bahkan ia pun cenderung beranggapan kepala negara yang adil meskipun kafir adalah lebih baik, ketimbang orang yang tidak adil sekalipun muslim. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga stabilitas politik pada saat itu. Ini menunjukkan betapa pentingnya politik dan bagi Ibn Taimiyah dengan ungkapan min a’zam wâjibât al-dîn (satu kewajiban agama yang utama).35

Dari paparan pakar pemikiran politik klasik di atas, memang sistem politik sebagian besar merupakan ijtihad, Al-Quran tidak menjabarkan secara detail tentang bentuk pemerintahan, mekanisme dan pelaksanaan di lapangan, begitu juga yang ditampilkan oleh Nabi Muhammad SAW dan masa-masa sahabat yang mulia. Tetapi cukup banyak prinsip-prinsip pemerintahan yang perlu menjadi pedoman dalam berpolitik. Dan ini sudah cukup untuk mewarnai sistem politik Islam dan membedakannya dengan sistem politik yang lain.

Satu kesamaan para pakar politik klasik adalah mereka berangkat dari pemahaman yang sama tentang konsep agama. Bahwa agama Islam tidak hanya menyangkut aspek spiritual dan ritual tetapi juga segala bidang kehidupan manusia. Perbedaan konsep agama ini akan berimplikasi terhadap pemikiran mereka tentang hubungan agama dan politik.

Seorang ilmuwan di Universitas Yordania, Fathi al-Durayni, dalam bukunya Khasa‘is al-Tasyri’ al-Islami fi al-Siyasah wa al-Hukm, berpendapat

33 Munawir Sjadzalli, Islam ….., p. 83

34 Khalid Ibrahim Jindan, The Islamic Theory, p. 122

35 Ibn Taimiyyah, al-Siyasah al-Shar’iyyah fi Islah al-Ra’i wa al-Ra’iyyah, cet ke-2 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t), hlm 137

(12)

bahwa Islam telah menimbulkan satu revolusi terhadap konsep agama.36 Berbeda dengan agama lain, Islam menghubungkan agama dengan politik, agama dengan sains, dunia dengan akhirat. Hal-hal yang biasanya dilihat secara terpisah.

Bahkan al-Durayni juga menjelaskan bahwa segala aktivitas seorang muslim terutama aktivitas politik dihitung sebagai ibadah. Pandangan serupa juga dikemukakan oleh al-Qaradawi, yang mengatakan bahwa tewrdapat hubungan simbiosis antara Islam dengan politik sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan daripada hakikat Islam itu sendiri. Penolakan dan pemisahan politik dari Islam, menurut Qaradawi merupakan satu kejahilan dan miskonsepsi terhadap hakikat Islam.37

Pendapat ini berbeda sekali dengan ahli politik Islam yang memandang Islam sama seperti agama-agama lain yang tidak lebih dari sekedar urusan spiritual dan ritual semata.38

E. Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut. Pertama, Islam adalah salah satu agama yang sempurna dan yang lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan umat manusia, termasuk kehidupan politik berbangsa dan bernegara. Terjadinya perbedaan pandangan tentang hubungan negara dan agama dikarenakan agama Islam disamakan dengan pengertian agama umumnya yang hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan yang tidak lebih sekedar urusan spiritual dan ritual. Kedua, kehidupan bernegara yang dipraktekkan Nabi Muhammad SAW, baik semasa di Makkah dan Madinah dalam kapasitasnya sebagai pemimpin agama maupun negara, inilah kelak yang menjadi inspirasi munculnya berbagai pemikiran sistem ketatanegaraan Islam (Fiqh Siyasah, Siyasah Syari'ah).

36 Fathi al-Durani, Khasa‘is al-Tashri’ al-Islami fi al-Siyasah wa al-Hukm, cet. ke-2 ( Beirut: Muassasat al-Risalah, 1987, hlm 14.

37

Yusuf al-Qaradawi, Min Fiqh al-Dawlah fi al-Islam, (Kaherah: Dar al-Shuruq, 1996), p. 26.

38

Lihat Kurzman yang mengatakan pendapat Yusuf al-Qaradawi di atas sebagai pandangan yang keliru dan tidak dapat diterima oleh mayoritas masyarakat dunia. Liberal Islam (Oxford University Press, 1998), p. 196. Begitu juga Nurcholis Madjid, sejak tahun 1970-an menyerukan bahwa Islam tidak lebih dari sekadar agama seperti agama-agama yang wujud di dunia, sehingga perlu dibedakan dengan politik. Menurut Nurcholis, tidak ada politik Islam, ekonomi Islam, pendidikan Islam , dan sebagainya. Baginya Negara hanyalah bagian dari aspek keduniaan yang bergantung sepenuhnya kepada nalar dan masyarakat, sedangkan agama berasal dari alam ghaib yang hanya berdimensikan spiritual dan personal. Nurcholis Madjid, “The Necessity of Renewing Islamic Thought and Reinvigorating Religeous Understanding” dalam Islam Liberal, p. 293-294

(13)

Ketiga, praktek ketatanegaraan pada masa Nabi Muhammad SAW dan Khalifah empat adalah paling ideal, namun teknisnya berbeda. Islam memberi kelonggaran untuk memikirkan sendiri kaedah dan bentuk pemerintahan yang diinginkan sesuai dengan tuntutan zaman. Kelonggaran seperti ini mencerminkan dinamika syari’ah dan rasionalitas Islam. Ia juga sesuai dengan objektif syari’ah untuk menjaga kemaslahatan dan kepentingan manusia. Tentu hal ini sekaligus menjadi tantangan bagi ilmuwan Islam untuk membangun teori politik Islam yang berpijak pada kenyataan situasi dan kondisi hari ini tanpa membuang pedoman yang sudah diberikan oleh nas-nas yang qath’i (teks-teks agama yang defenitif).

(14)

Daftar Pustaka

Abidin, Zainal Ahmad, Piagam Nabi Muhammad SAW Muhammad Konstitusi

Negara Tertulis Pertama di Dunia, Jakarta: Bulan Bintang, 1973. _____, Membentuk Negara Islam, Jakarta: Wijaya, 1965.

Durani, Fathi al-, Khasa‘is al-Tashri’ al-Islami fi al-Siyasah wa al-Hukm, cet. ke-2 ( Beirut: Muassasat al-Risalah, 1987

Faruki, Kemal. A, Islamic Constitutions, Karachi: Khokhroper Gateway Publication, 1952.

Ghazali, al-Nashihat al-Mulk, Teheran: tp, 1317 H

_____, Kimiyai al-Sa'adah, Beirut: Maktabah al-Sya'biyah, tt.

Goldziher, Ignaz, Pengantar Teologi dan Hukum lslam, Jakarta: INIS,1991. Gregor, Mac P., Muslim Institution, London: George Allen & Unwin ltd.

1950.

Heijer, Johanes den, Syamsul Arwar, Islam, Negara dan Hukum, Jakarta: INIS, 1993.

Jindan, Khalid Ibrahim, The Islamic Theory of Government According to Ibn Taimiyah, alih bahasa Masrohin, Surabaya: Risalah Gusti, l995. Kennedy, Hugh., The Prophet and the Age of the Caliphates, London: Long

man Group ltd, l986.

Khan, Qamaruddin, Political Concepts in The Qur 'an, Alih hahasa Taufik Adnan Amal, Bandung: Pustaka, 1987.

_____, Al-Mawardi’s Theory of The State, Lahore: Bazmi-i Iqbal,tt. Kurzman, Liberal Islam, Oxford University Press , 1998

Lambton, Ann K.S., State and Goverment in Medieval Islam, London: Oxford University Press, 1981.

Maududi, Abul 'Ala, Khilafah dan Kerajaan, Bandung Mizan, 1992 _____, Sistem Politik Islam, Bandung; Mizan, 1990.

Ma'arif, Syafi'i A., Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta; LP3ES,1987 Mawardi, al-, al-Ahkam al-Sulthaniyah, Beirut: Dar al-Fikri, tt.

_____, Adab al-Dunya wa al-Din, Beirut: Dar al-Fikr, 1987.

(15)

Surabaya: al-Ihlas, tt.

Prockleman, Carl., History of The Islamic People, NewYork: Putnames Sons, 1944.

Qaradawi, Yusuf al-, Min Fiqh al-Dawlah fi al-Islam, Kaherah: Dar al-Shuruq, 1996.

Raziq, Ali Abdul, al-Islam wa Ushul al-Hukum, Alih "bahasa Afif Muhammad, Bandung: Pustaka, 1955.

_____, Al-Islam wa Usul al Hukm: Bahts fi Khilafah wa Hukumah fi al-Islam, Kaherah: al-Hay’ah al-Misriyyah al-‘Ammah li al-Kitab, 1925 Shiddieqy, T.K. Hasby Ash, Ilmu Kenegaraan dalam Fiqh Islam, Jakarta:

Bulan Bintang, 1991.

Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara, Jakarta: UII Pers, 1990.

Saunders, J.J., A History of Medieval Islam, London: Routledge & Kegan Paul, 1972.

Syari'ati, Ali, Ummah dan Imamah, Alih bahasa Afif Muhammad, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1989.

Taimiyyah, Ibn, al-Siyasah al-Shar’iyyah fi Islah al-Ra’i wa al-Ra’iyyah, cet ke-2 Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.

Watt, W. Montgomery, Islamic Political Thought, alih bahasa Helmy Ali dan Muntaha Azhari, Jakarta: P3M, 1988.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi fertilitas atau Total Fertility Rate (TFR) dari 33 provinsi di Indonesia pada tahun

kinerja BAN S/M. Permasalahan yang dirumuskan antara lain: 1) berapa banyak satuan pendidikan yang telah diakreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah

Pada bab ini akan dijelaskan bagaimana membuat pustaka untuk mengoperasikan file Setelah mempelajari materi di babi ni diharapkan mahasiswa dapat membuat sebuah aplikasi yang

Hasil penelitian ini mendukung hasil temuan Hidayat (2009:65) yang menyatakan bahwa Kualitas produk berpengaruh tidak signifikan terhadap Loyalitas pelanggan, hal

Harmono (1999) melakukan penelitian dengan menggunakan model indeks tunggal untuk menganalisis portofolio yang dapat dijadikan dasar untuk menentukan saham

Artinya pada taraf kepercayaan 95% dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara kemampuan komunikasi matematis dengan aktivitas belajar siswa dalam

Pada pria bila tidak ditangani segera dapat menyebabkan infeksi di testis, rasa sakit dan bengkaknya salah satu atau bahkan kedua testis/buah zakar serta mengurangi kesuburan.

Framing Pemberitaan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Tahun 2014 di Harian Umum Kompas dan Republika Periode 10 Juni 22 Agustus 2014), Skripsi,