• Tidak ada hasil yang ditemukan

NILAI-NILAI HUKUM HINDU DALAM MASYARAKAT HINDU. Oleh : I Made Kastama*

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "NILAI-NILAI HUKUM HINDU DALAM MASYARAKAT HINDU. Oleh : I Made Kastama*"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Tampung Penyang: Volume VII nomor: 2 Agustus 2009 41 ISSN:1907 - 0144 NILAI-NILAI HUKUM HINDU DALAM MASYARAKAT HINDU

Oleh : I Made Kastama*

Abstrak

Penegakan Hukum Hindu pernah mencapai masa jaya berlakunya yaitu sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 melalui Pengadilan Agama Hindu (Peradilan Raad Kerta) dengan menggunakan sumber-sumber Hukum seperti Sruti, Smrti, Acara sila, Atmanahstuti serta Manawadharmasastra dan Manusmrti sebagai sumber hukum yang masih ada sampai saat ini. Pentingnya kedudukan kitab ini karena sejak jaman dahulu hingga sekarang dianggap sebagai kitab yang memuat ajaran-ajaran pokok dari Agama Hindu. Kitab ini memuat dasar-dasar umum mengenai Hukum Hindu yang kemudian dikembangkan menjadi sumber ajaran Dharma bagi masyarakat Hindu.

Hukum Hindu mengandung nilai-nilai yang sangat tepat diberlakukan dalam kehidupan masyarakat Hindu sebab hukum ini mencerminkan keadilan dan perasaan masyarakat Hindu. Hukum Hindu merupakan konkritisasi nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam tingkah laku umat Hindu yang terjadi sebagai dasar untuk menimbang segala kegiatan manusia yang diyakini secara bersama. Nilai-nilai ini telah melembaga dan dianggap sebagai ”pematut” di dalam mengambil keputusan atau kesimpulan.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman pasal 10 ayat 2 yang menetapkan Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Melalui Peradilan Agama inilah semestinya Hukum Agama Hindu dapat diterapkan dan ditegakkan berlakunya sehingga keadilan yang mencerminkan perasaan Hukum masyarakat Hindu dapat diwujudkan.

Walaupun demikian, tindakan sekarang jangan sampai nilai-nilai yang ada dalam Hukum Hindu ternodai apalagi sampai dilanggar oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Amalkan nilai-nilai Hukum Hindu dalam kehidupan sehari-hari untuk mencapai keseimbangan dunia cosmos dan cosmis (Skala dan Niskala).

Kata Kunci : Nilai-Nilai, Hukum Hindu dan Peradilan

(2)

Tampung Penyang: Volume VII nomor: 2 Agustus 2009 42 A. Pendahuluan

Hukum Hindu merupakan bagian dari hukum positif yang berlaku bagi masyarakat/umat Hindu di Indonesia berdasarkan dasar falsafah negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) serta pasal I Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945.

Dalam rangka memupuk kecintaan kita kepada negara Proklamasi 17 Agustus 1945 yang berdasar falsafah Pancasila, pengertian yang terkandung dalam Aturan Peralihan UUD 1945 yaitu ”Segala Peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”, adalah memberi arah untuk pertumbuhan dan perkembangan kepribadian bangsa yang cukup lama terkukung dalam alam kolonialisme Belanda demikian juga penjajah Jepang yang pernah menekan pertumbuhan tata kehidupan kepribadian bangsa kita.

Dengan jiwa pasal I Aturan Peralihan ini menghidupkan kembali kebiasaan-kebiasaan luhur yang pernah tertekan di dalam masyarakat, termasuk norma-norma hukum Hindu, memberi wadah yang cukup kuat untuk memupuk serta mengembangkan kehidupan norma-norma hukum yang ada. Dengan demikian boleh dikatakan bahwa pertumbuhan hukum Nasional itu tidak dapat mengabaikan begitu saja kenyataan-kenyataan yang ada dalam mayarakat, yang tumbuh sejalan dengan kehidupan hukum itu sendiri yang beridentitaskan :

- Hukum di dalam peraturannya mengandung cita-cita keseimbangan lahir dan bhatin atau keseimbangan materiil dan spirituil, dalam suasana adem dalam kehidupan masyarakat religius.

- Hukum yang di dalam perumusannya atau aturan-aturannya berhubungan dengan dasar-dasar dan suasana masyarakat setempat yang azasnya dapat diberlakukan secara umum.

Bersamaan dengan penyebaran agama Hindu di Indonesia, terbawalah ajaran-ajarannya yang kemudian di dalam masa kerajaan Hindu telah banyak pula diturunkan dalam bentuk terjemahan-terjemahan ke dalam bahasa Jawa Kuno yang isinya diresapi dan dipraktekkan sebagai undang-undang di dalam mengatur

(3)

Tampung Penyang: Volume VII nomor: 2 Agustus 2009 43 pemerintahanya. Perlu disadari bahwa ketentuan-ketentuan Hukum Hindu tampaknya tersebar dimana-mana, walaupun ketentuan-ketentuan hukum dimaksud sudah ada dikodifikasikan, namun belum dikelompokkan. Pengelompokan atau pengklasifikasian ketentuan hukum Hindu sangatlah penting guna memudahkan dalam menemukan dan menerapkan serta menegakkan ketentuan-ketentuan hukum dimaksud. Pentingnya pengklsifikasian atau pengelompokan ketentuan-ketentuan hukum ini juga lebih mempercepat dan memudahkan untuk menentukan seseorang dalam pemeriksaan, apakah orang tersebut bersalah atau tidak bersalah dalam arti apakah orang tersebut melanggar suatu larangan/keharusan yang telah ditentukan atau diatur didalam ketentuan Hukum Hindu.

Semua ketentuan-ketentuan hukum dimaksud sudah pernah diterapkan dalam rangka penyelenggaraan negara maupun dalam rangka penyelenggaraan Peradilan pada kerajaan-kerajaan Hindu di Indonesia sebagaimana yang telah diuraikan di atas bahwa hukum Hindu secara sadar atau tidak disadari masih tetap berlaku dan berpengaruh di dalam hukum positif di Indonesia. Hukum Hindu sebagai hukum Agama patut digali untuk memperkaya pengetahuan kita terhadap eksistensi Hukum Hindu dimasa yang lalu dan mungkin dapat diproyeksikan ke masa depan berkaitan dengan aspek moralitas yang menjadi landasan hukum agama Hindu.

B. Persoalan Hukum Hindu

Tata kehidupan masyarakat umat Hindu diatur oleh hukum-hukum agama yang bersumber pada ajaran tata-susila agama Hindu. Hukum-hukum keagamaan itu yang berkaitan dengan tata kemasyarakatan disebut sesana artinya disiplin diri masing-masing. Dari sesana inilah berkembang menjadi awig-awig, paswara dan lekita sebagai landasan hukum-adat Hindu. (Pedoman Penerangan Agama Hindu dan Bhuda 1984 : 15)

Hukum Hindu adalah hukum yang bersumber pada ajaran-ajaran agama yang kemudian bagian-bagian tertentu ada yang diundangkan menjadi Undang-Undang dan ada pula karena sifatnya dibiarkan sebagaimana halnya dengan kewenangan dan kebebasan hakim untuk menafsirkannya.

(4)

Tampung Penyang: Volume VII nomor: 2 Agustus 2009 44 Hukum Hindu adalah hukum “agama” dalam arti kata yang sebenar-benarnya. Sebagai hukum ”agama” hukum Hindu diyakini oleh umatnya mengandung kebenaran-kebenaran abadi, karena itu menegakkan hukum bagi umat Hindu merupakan suatu kepastian. Sebab menegakan hukum agama berarti sebagian telah melakukan ajaran agamanya (Dharma Agama). Hukum dalam Weda adalah Rta dan Dharma, baik Rta maupun Dharma, kedua-duanya berarti hukum dalam ilmu Hukum Hindu. Rta adalah hukum alam yang bersifat abadi sedangkan Dharma adalah hukum duniawi, baik diterapkan maupun tidak. Sebagai hukum, Rta merupakan tertib alam semesta, hukum alam yang abadi ditentukan oleh Tuhan yaitu semacam sifat kekuasaan Tuhan yang diperlihatkan dengan bentuk yang dapat dilihat manusia.

Berdasarkan Panaturan bahwa permulaan segala masa yang ada adalah Awal Segala Kejadian, Ia yang Maha Sempurna memperlihatkan kebesaranNya dan menentukan segala kejadian yang ada. Ranying Hatalla Lagit menciptakan bumi, langit, bulan, matahari beserta segala isinya dan membagi gelap dan terang dengan segala hukumnya yang mengatur kehidupan berdasarkan hukumnya yang abadi. Dengan penyatuan sinar kemahakuasaan dan kemuliaanNya terjadilah menjadi tujuh wujud kekuatanNya yang disebut dengan Raja Uju.(Panaturan 2001: 9)

Ranying Hatalla Langit dan Jatha Balawang Bulau menyebutkan Raja Uju tersebut yaitu Raja Uju Hakanduang, Kanaruhan Hanya Basakati yang masing-masing mempunyai tugas mengatur dan menjaga alam semesta beserta isinya, begitulah seterusnya hukum abadi itu berjalan sesuai hukumnya.

Hukum Agama Hindu/Hindu Kaharingan di dunia (Pantai Danum Kalunen) secara eksis ditaati berlakunya oleh keturunan Raja Bunu yang telah ditentukan kehidupannya oleh Ranying Hatalla Langit. Berasal dari Hukum Rta yang kemudian menjadi hukum kebenaran (Dharma) yang dilaksanakan secara berulang-ulang yaitu manusia yang ada di Pantai Danum Kalunen bisa kembali menyatu dengan Ranying Hatalla Langit telah diatur melalui hukumnya/tata aturannya yang telah ditentukan yaitu melaksanakan Tiwah yang merupakan aturan yang harus diikuti sebagaimana contoh yang telah dilaksanakan yaitu Tiwah Suntu di Lewu Bukit Batu Nindan

(5)

Tampung Penyang: Volume VII nomor: 2 Agustus 2009 45 Tarung yang dalam kehidupan masyarakat Hindu Kaharingan dijadikan aturan pedoman hidup (Pasal 33 Panaturan), begitu juga contoh dalam pasal 19 Pananturan melaksanakan upacara perkawinan bagi Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut dan Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan yang dilaksanakan sebagai jalan kebenaran (Dharma).

Dharma yang merupakan bentuk hukum yang dijabarkan ke dalam kelompok manusiawi yang bersifat relatif karena selalu dikaitkan dengan pengalaman manusia, sehingga bersifat mengatur tingkah laku manusia untuk mencapai kebahagiaan di dalam kehidupannya. Begitu juga dalam Santi Parwa didapatkan keterangan bahwa Dharma dikatakan datangnya dari kata Dharma yang berarti mengatur atau menyangga. (Ketut Pasek 1982 : 69)

Dharma sebagai hukum tidak sama bentuknya di semua tempat, melainkan selalu dihubungkan dengan kebiasaan-kebiasaan setempat dan disamakan pula dengan pengertian yang terkandung dalam istilah Dresta. (Wayan Surpha 2005 :3)

Dewasa ini Hukum Hindu diharapkan dapat tampil sesuai dengan kepentingan hukum umat Hindu agar dapat mengatur interaksi sosial masyarakat pendukungnya di dalam menciptakan ketertiban bersama.

Masalah-masalah berlakunya Hukum Hindu dan sumber-sumber Hukum Hindu merupakan masalah yang patut mendapatkan perhatian. Masalah-masalah berlakunya Hukum Hindu secara historis yaitu menyangkut masalah penerapan nilai-nilai hukum Hindu dalam masyarakat, yang diakui sebagai nilai-nilai pembenar sudah mulai dikenalnya Hukum Hindu pada jaman Manu terutama dalam menerapkan peradilan Agama. Peradilan Agama Hindu sebenarnya dari sejak jaman kerajaan-kerajaan Hindu berkuasa di Indonesia, sudah ada yang dikenal dengan istilah Peradilan Krtha.

Dalam Negarakertagama pupuh 73/1 dinyatakan dengan tegas bahwa; Prabu Hayam Wuruk berusaha keras untuk dapat bertindak dengan bijaksana. Dalam menjalankan pengadilan orang tidak boleh bertindak sembarangan, harus patuh mengikuti segala apa yang telah dinyatakan dalam kitab perundang-undangan yang disebut agama. (Lukman Hakim, 2004 : viii)

(6)

Tampung Penyang: Volume VII nomor: 2 Agustus 2009 46 Sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951, sudah ada peradilan-peradilan yang menengahi perkara-perkara yang terjadi pada masyarakat Indonesia diantaranya Peradilan Swapraja, Peradilan Adat dan Peradilan Kertha (Raad Kertha) dan peradilan lainnya. Pada dasarnya peradilan Swapraja dan peradilan Adat yang ada di Indonesia adalah bersumber dari Hukum Agama Hindu akan tetapi lama kelamaan Peradilan ini meninggalkan identitasnya (hukum Agama Hindu) tetapi Peradilan Kertha adalah Peradilan Agama Hindu yang tidak pernah meninggalkan identitas Agama Hindu.

Setelah diundangkannya UU Darurat tersebut merupakan satu setback dalam pembinaan Hukum Agama Hindu karena dengan demikian sendi yang merupakan ketentuan hukum bagi agama Hindu tidak lagi diterima sebagai suatu keharusan, sedangkan dalam kenyataan kehidupan sehari-hari umat Hindu bersandar pada Hukum Agama namun dalam pemutusan perkara-perkara dilaksanakan oleh Hakim Pengadilan Negeri. (Pudja 2003 : 11)

Pengadilan Kerta yang merupakan satu-satunya adalah Pengadilan Agama Hindu sebagai tempat untuk menangani suatu perkara yang berada di bawah kekuasaan dan wewenang Pengadilan Agama Hindu akhirnya dialihkan kepada Pengadilan Negeri, sehingga dampaknya perkara-perkara yang diputuskan tidaklah tepat dan tidak dapat memenuhi kebutuhan keadilan masyarakat Hindu, sebab ada norma-norma hukum Hindu yang seyogyanya diaplikasikan malah tidak mendapatkan perhatian oleh para penegak hukum.

Apabila kita perhatikan pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Darurat nomor 1 Tahun 1951 yang bunyinya sebagai berikut :

“…….dihapuskan…..: a. Segala Pengadilan Swapraja…..dalam Negara Sumatra Timur dahulu, Kerisedanan Kalimantan Barat dahulu dan Negara Indonesia Timur dahulu, kecuali Peradilan Agama jika peradilan itu menurut hukum yang hidup merupakan satu bagian tersendiri dari peradilan Swapraja; b. Segala Pengadilan Adat, kecuali Peradilan Agama, jika peradilan itu menurut hukum yang hidup merupakan suatu bagian tersendiri dari peradilan Adat”.

(7)

Tampung Penyang: Volume VII nomor: 2 Agustus 2009 47 Begitu pula dalam pasal 1 ayat 4 Undang-Undang Darurat menetapkan, “Pelanjutan Peradilan Agama tersebut di atas dalam ayat 2….a dan b akan diatur dalam Peraturan Pemerintah”

Melihat pasal tersebut maka Peradilan Kertha seyogyanya tidak ikut terhapus, sebab Peradilan Kertha ini tidak di bawah kekuasaan dari Peradilan Swapraja maupun Peradilan Adat. Memperhatikan pasal 1 ayat 2 UU Darurat No. 1 Tahun 1951 dan dihubungkan dengan Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 14 Tahun 1970 yang dirubah dengan UU No.4 Tahun 2004 maka Peradilan Kertha dapat dikatakan tetap ada.

Masalah-masalah Sumber Hukum Hindu sangat perlu mendapatkan perhatian sehubungan dengan keberadaan Hukum Hindu itu sendiri. Hukum Hindu maupun hukum Acaranya bersifat fleksibel (elastis atau luwes), sehingga dalam penerapannya selalu menyesuaikan dengan Desa (tempat), Kala (waktu) dan Patra (kondisi atau keadaan) mengenai sifat fleksibelitas dari Hukum Acara Hindu sebagai sumber hukum dapat dijumpai dalam ketentuan pasal 6 juncto pasal 10 Dvityo Dhyayah (Buku II) Veda Smrti, yaitu :

1. Sruti. Sumber hukum berisi cara-cara untuk mendapatkan kebenaran hukum, untuk mengetahui baik tidaknya tingkah laku seseorang dan untuk menentukan apa yang harus dan tidak boleh dilakukan, yang dihimpun dalam buku yang dinamakan Mantra Samhita yang terdiri dari empat buku masing-masing Rg. Weda, Yajur Weda, Sama Weda dan Atharwa Weda kemudian Brahmana dan Aranyaka.

2. Smrti. Sumber hukum yang mengatur mengenai kebiasaan-kebiasaan atau hukum berdasarkan adat agama tertulis, yang menurut Manawa Dharmasastra disebut juga Dharmasastra.

Kalau dibandingkan dengan bentuk perundang-undangan Negara, maka Sruti itu mempunyai persamaan dengan Undang-Undang Dasar sebagai sumber atau asal dari ketentuan-ketentuan lainnya, sedangkan Smrti yang memuat peraturan-peraturan, pedoman pelaksanaan dan ajaran-ajaran berdasarkan Sruti, dapat disamakan dengan Undang-Undang, baik Organik maupun Anorganik.

(8)

Tampung Penyang: Volume VII nomor: 2 Agustus 2009 48 3. Sila. Sumber hukum mengenai asas-asas hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa

beradab atau ajaran tentang tingkah laku orang-orang beradab.

4. Acara. Adalah adat istiadat yang hidup dalam masyarakat serta merupakan hukum positifnya.

5. Atmanastuti yaitu dari suatu keputusan-keputusan yang ditetapkan oleh suatu majelis yang didasarkan pada kebenaran yang mendekati kebenaran yang paling benar, sehingga timbul rasa puas menerima keputusan dimaksud.

Disamping itu, kitab-kitab Hindu yang terkenal dapat dianggap memuat ajaran hukum Hindu yang terdapat di Indonesia adalah kitab-kitab Agama, Adigama, Rajapati Gundala, Sasana-sasana (antara lain Ciwasasana, Rajasasana, Putrasasana, Rsi Sasana dan sebagainya), Kutaramanawa dan Purwadhigama. (G. Pudja dan Rai Sudharta 2003 : 9).

Masalah-masalah penyelesaian permasalahan yang terjadi terkait dengan Hukum Hindu. Permasalahan yang terjadi semestinya diselesaikan lewat Peradilan Agama (Peradilan Agama yang berjalan sampai saat ini adalah Peradilan Agama yang merupakan peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam). Sejak pertengahan April 2003 dalam kehidupan masyarakat Hindu berkembang wacana tentang perlu tidaknya Peradilan Hindu. Semenjak mulainya berlaku UU Darurat tahun 1951 wacana seperti ini mulai bermunculan dikalangan praktisi hukum Hindu Kenapa wacana ini kembali muncul, itu tak lain karena Ketua Mahkamah Agung melemparkan pendapat bahwa “mungkin, sekali lagi mungkin, di Bali bisa diterapkan Peradilan Agama. Tentunya yang dimaksudkan adalah Peradilan Agama Hindu, tak mungkin yang lain. Wacana ini yang bisa memberikan harapan apalagi dalam upaya menegakkan keadilan dan kebenaran serta kepastian hukum tersebut adalah melalui lembaga-lembaga peradilan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 10 ayat 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (dulu UU No. 14 /1970) yang menetapkan Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara.

(9)

Tampung Penyang: Volume VII nomor: 2 Agustus 2009 49 Keempat peradilan tersebut masing-masing mempunyai lingkungan wewenang mengadili yang meliputi badan-badan peradilan tingkat pertama dan tingkat banding. Peradilan Umum adalah peradilan yang mempunyai lingkungan wewenang mengadili bagi rakyat pada umumnya baik yang menyangkut perkara pidana maupun perkara perdata. Sedangkan peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara adalah merupakan peradilan khusus yang mempunyai lingkungan wewenang mengadili perkara-perkara tertentu.

Kenapa wacana seperti ini muncul, itu karena kebetulan salah satu propinsi di Indonesia, yaitu Nangroe Aceh Darussalam telah mendirikan Mahkamah Syahriah. Karena itulah embel-embel untuk Peradilan Agama di Bali dikaitkan dengan otonomi khusus. (Raditya 2003 : 4)

Disamping itu adanya tuntutan Hukum Hindu perlu ditegakkan kembali karena banyak kasus-kasus yang dianggap merugikan Hindu, wacana ini kemudian berkembang, keseriusan untuk memperjuangkan peradilan Hindu dikarenakan diketemukan beberapa persoalan, misalnya, menyangkut masalah perkawinan dan perceraian yang belum diatur dalam undang-undang yang ada, karena dalam Hindu kaitannya pada masalah Ritual. Masalah lain soal simbul-simbul Hindu yang konon sudah banyak dilecehkan tidak diakomodir di Pengadilan Negeri. Semua ini belum dilindungi oleh Hukum Nasional. Misalnya pencurian Pratima, pelakunya hanya dikenakan sanksi pidana seperti halnya pencurian biasa. Sementara nilai magisnya atau kesuciannya tidak terakomodasi, umat Hindu jadi tidak puas dengan hukum seperti ini.

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tersebut, adanya kemungkinan peradilan Agama dalam arti seluas-luasnya akan terbuka pula kemungkinan adanya hakim-hakim agama Hindu disamping hakim-hakim agama Islam. Hukum Hindu sebagai salah satu cabang hukum dalam bidang hukum agama, adalah merupakan hukum yang masih hidup di kalangan rakyat Indonesia yang beragama Hindu sehingga dalam menegakkan rasa keadilan itu, hakim setidak-tidaknya memerlukan pengetahuan Hukum Hindu dalam menyelesaikan masalah Hukum Hindu. (Pudja, 1977 : 16).

(10)

Tampung Penyang: Volume VII nomor: 2 Agustus 2009 50 C. Nilai-Nilai Hukum Hindu Dalam Masyarakat Hindu

Hukum Hindu diharapkan dikenal dengan baik oleh setiap umat Hindu, dapat mengenal nilai-nilai Hukum Hindu yang dapat dilakukan melalui beberapa indra manusia dengan melihat kenyataan yang ada di dalam masyarakat. Dalam tahap pengenalan nilai-nilai Hukum Hindu ini, belum tentu orang langsung mengakui kebenaran norma Hukum Hindu tersebut, maka diperlukan tahap pengakuan yaitu dapat mengakui kebenaran adanya nilai-nilai Hukum Hindu dengan menghayati bahwa nilai-nilai Hukum Hindu dirasakan sebagai miliknya yang tersimpan dalam hati nurani yang diamalkan dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana Bhagawad Gita menyatakan bahwa :

Tasmac chastram pramanam te Karyakarya-vyavasthitu Jnatva sastra-vidhanoktam Karma kartum iharhasi Artinya :

Karena itu, biarlah kitab-kitab suci menjadi petunjukmu untuk menentukan apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh; setelah mengetahui apa yang dikatakan dalam aturan kitab suci engkau hendaknya mengerjakannya disini.

Demikian juga ditegaskan dalam Manawadharmasastra II pasal 1 sebagai berikut :

Widwidbhih sewitah sadbhir Nityamadowesa ragibhih Hrdayenabhyanujnato yo Dharmastam nibodhata Artinya :

Pelajarilah hukum-hukum suci yang diikuti oleh orang yang mendalami ajaran Weda, hukum-hukum yang diresapkan dalam hati oleh orang-orang budiman, orang-orang yang tidak pernah punya rasa benci maupun cinta yang berlebihan.

Melalui tahapan-tahapan tersebut maka nilai-nilai Hukum Hindu di dalam masyarakat merupakan nilai Hukum Hindu yang terjadi karena dasar untuk menimbang segala kegiatan manusia yang diyakini secara bersama. Nilai-nilai ini telah melembaga dan dianggap sebagai ”pematut” di dalam mengambil keputusan atau kesimpulan.

(11)

Tampung Penyang: Volume VII nomor: 2 Agustus 2009 51 Adapun nilai-nilai Hukum Hindu yang ada dalam masyarakat Hindu dapat diuraikan sebgai berikut :

1. Nilai Kebenaran

Nilai kebenaran yang bersumber pada unsur akal manusia ratio, budhi dan cipta. Nilai ini sama dengan kenyataan. Kelahiran menjadi manusia itu merupakan suatu kesempatan yang terbaik untuk memperbaiki diri, oleh karena hanya manusialah yang dapat memperbaiki segala tingkah lakunya yang dipandang tidak baik agar menjadi baik. Untuk mencapai tujuan baik tersebut Dharma (Hukum Hindu) patut dijadikan dasar dan pedoman untuk mengubah tingkah laku tersebut. Disamping itu keinginan manusia itu tidak ada batasnya dan pada umumnya cenderung untuk memenuhi semua keinginannnya, oleh karena itu Hukum Hindu memberi ukuran sebagai dasar kebenaran untuk membatasi usaha-usaha manusia untuk memenuhi keinginan agar tidak berbenturan dengan keinginan-keinginan orang lain. Nilai kebenaran dalam Hukum Hindu adalah sebagai kaidah-kaidah atau norma-norma hukum yang mengatur umatnya dalam segala bidang kehidupan, baik yang menyangkut bidang etika, sosial, politik, filsafat, kebudayaan dan lain-lain, termasuk juga mengatur tata hubungan antar manusia dengan Tuhan.

2. Nilai Material

Nilai Material segala sesuatu yang berguna bagi manusia. Hukum Hindu dari nilai materialnya adalah isi dari kekuatan Hukum Hindu tersebut untuk dapat mempertimbangkan, isi yang sifatnya mengatur kehidupan bermasyarakat. Kehidupan manusia dalam bermasyarakat, tentunya memiliki keinginan dan kebutuhan Hidup. Untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup manusia tentu memerlukan pengaturan-pengaturan dalam mendapatkan suatu kebutuhan dalam bentuk material yang memang sebagai haknya. Nilai Material dalam Hukum Hindu adalah mengandung isi dari kekuatan hukum Hindu yang dapat memberi kesebandingan dan hak-haknya.

(12)

Tampung Penyang: Volume VII nomor: 2 Agustus 2009 52 3. Nilai Kebaikan

Nilai Kebaikan yang bersumber pada unsur kehendak manusia (karsa etika). Hubungan antar manusia dalam masyarakat telah mempunyai aturan-aturan yang melembaga, terutama dalam kepercayaan dan keyakinannya. Membimbing umat dan masyarakat kita dalam mengembalikan nilai-nilai moral dan budaya dengan jalan menjaga moral para penganut agamanya. Jika moralitas mereka baik, maka baiklah jalannya kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, sebaliknya jika moral runtuh, akan runtuh pula sendi kehidupan bangsa kita.

Secara sosiologi manusia memiliki kehidupan dalam bentuk-bentuk masyarakat juga kebiasaan dan moral masyarakat di dalam perkembangannya, juga mempengaruhi bentuk-bentuk Hukum Hindu sesuai dengan bentuk tata kemasyarakatan dari dulu sampai sekarang. Namun demikian sampai saat ini bentuk- bentuk Hukum Hindu tidak mempengaruhi niai-nilai kebaikan yang tetap terkandung di dalamnya sebagai suatu azas dan moral. Nilai kebaikan yang terkandung didalam Hukum Hindu yaitu untuk tercapainya keadilan dan kedamaian yang abadi.

Untuk mencapai tingkat kebahagiaan, kebaikan dan keadilan tersebut Penegakan Hukum Hindu harus didasarkan pada Dharma

4. Nilai Religius

Nilai Religius yang merupakan nilai ketuhanan bersumber pada kepercayaan dan keyakinan manusia. Hukum Hindu ketika ditegakkan dan diberlakukan oleh para penegak Hukum Hindu semestinya memperhatikan keseimbangan dunia cosmos dan cosmis (skala dan niskala). Penjatuhan keputusan oleh hakim bukan hanya dikenakan hukuman fisik saja namun untuk mendapatkan keadilan niskala diperlukan keputusan yang intinya harus menebus dengan usaha prayascita (pensucian), bila terjadinya hal-hal yang dapat menyebabkan ternodanya kesucian.

Agar terakomodir sifat magis dan kesucian simbul Hindu di Pengadilan Negeri perlu diatasi dengan memperbanyak saksi ahli di bidang agama dan meminta agar Pengadilan menggunakan kesaksian ini.

(13)

Tampung Penyang: Volume VII nomor: 2 Agustus 2009 53 5. Nilai Keindahan

Nilai Keindahan yang bersumber pada unsur rasa manusia (perasaan dan estetika) pada dasarnya adalah sejumlah kualitas pokok tertentu yang terdapat dalam suatu hal. Kualitas yang paling sering disebut adalah kesatuan (unity), keseimbangan (balance) dan kebalikan (contrast). (Joko Tri Prasetya 1998 : 77)

Hukum Hindu yang kita yakini dan kita percaya adalah hukum yang diciptakan oleh Hyang Widhi dalam Weda dalam bentuk hukum Murni (Rta) yang kemudian dijabarkan ke dalam tingkah laku manusia yang disebut Dharma yang selalu dikaitkan dengan pengalaman manusia dalam mengatur tingkah laku untuk mencapai kebahagiaan dalam kehidupannya. Nilai keindahan dalam Hukum Hindu adalah adanya perasaan keadilan yang terkandung di dalamnya dan dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat.

6. Nilai Vital

Nilai Vital segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan dan aktivitas. Dalam melaksanakan kehidupan sehari-hari, umat Hindu memerlukan sesuatu yang berguna dalam melakukan kegiatan dan aktivitasnya yaitu Hukum Hindu. Kenapa ? karena Hukum Hindu adalah hukum yang menghendaki suatu sikap ketegasan untuk mencegah adanya keraguan-keraguan pada diri kita. Selama kita ragu dan tidak dapat membeda-bedakan kenyataan, selama itu pula kita akan hanyut terbawa ke dalam arus perbedaan yang tidak berkesudahan dan akan membawa kita pada sikap yang bertentangan.

D. Simpulan

Kebutuhan akan pengetahuan mengenai Hukum Hindu ini sangat dirasakan terutama oleh masyarakat yang pada umumnya beragama Hindu, oleh karena kenyataan membuktikan bahwa kebudayaan lebih banyak bersumber pada ajaran-ajaran Agama Hindu. Ajaran-ajaran-ajaran agama Hindu melalui Hukum Hindu mengandung nilai-nilai yang sangat berguna bagi kehidupan umat Hindu. Bagi umat Hindu arti dari pada hidup itu adalah mendapat kesempatan berbuat baik (Cubhakarma) untuk menebus perbuatan yang tidak baik (Acubhakarma) pada masa

(14)

Tampung Penyang: Volume VII nomor: 2 Agustus 2009 54 kehidupan yang dahulu. Manusia dapat mengubah nasibnya dengan berkarma yang baik sebagaimana dinyatakan dalam Sarasamuccaya 2 sebagai berikut :

Ri sakwehning sarwa bhuta, iking janma wwang juga wenang gumawayaken ikang cubhacubhakarma, kuneng panentasakena ring cubhakarma juga ikangacubhakarma, phalaning dadi wwang.

Artinya :

Diantara semua makhluk hidup, hanya yang dilahirkan menjadi manusia sajalah, yang dapat melaksanakan perbuatan baik ataupun buruk; leburlah ke dalam perbuatan baik, segala perbuatan yang buruk itu; demikianlah gunanya (pahalanya) menjadi manusia.

Patuhilah nilai-nilai Hukum Hindu yang ada dalam masyarakat Hindu karena menjelma menjadi manusia itu sungguh-sungguh utama, karena ia dapat menolong dirinya dari keadaan sengsara dengan jalan berbuat baik. Terakhir pergunakanlah nilai-nilai Hukum Hindu sebagai dasar pedoman hidup atau petunjuk hidup untuk memperoleh Dharma.

DAFTAR PUSTAKA

Hakim Lukman, Konstitusi Majapahit, Universitas Muhammadiyah, Malang, 2004 Pudja G., Bhagawad Gita, Paramita, Surabaya, 2003

Pudja G. Dan Tjokorda Rai Sudharta, Manawa Dharmasastra (Manu Dharmasastra) atau Weda Smrti Compendium Hukum Hindu, Pustaka Mitra Jaya, Jakarta, 2003 ______, Hukum Kewarisan Hindu Yang Diresipir Ke Dalam Hukum Adat di Bali dan

Lombok, CV. Junasco, Jakarta, 1977 ______, Apakah Hukum Itu, Mayasari. Jakarta, 1977 Prasetya Joko Tri, Ilmu Budaya Dasar, Rineka Cipta, 1998

Pasek I Ketut, Niti Sastra, Proyek Pembinaan Mutu Pendidikan Agama Hindu dan Budha Departemen Agama RI, 1982

Surpha I Wayan, Pengantar Hukum Hindu, Paramita, Surabaya, 2005

Sarasamuccaya, dengan teks Bahasa Sansekerta dan Jawa Kuna, Hanuman Sakti, 1993 Panaturan, Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan , 2001

Undang-Undang Dasar 1945 dan Amandemennya, Fokusmedia.

Pedoman Penerangan Agama Hindu dan Budha, Agama Hindu dan Lingkungan Hidup, 1984

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil analisa dan pengolahan data pada penelitian “Analisis Sikap Pengguna Spotify Pada Iklan Spotify Premium Berdasarkan Model Hierrarchy of Effect” dapat

Pada Domba Ekor Tipis, Pengaruh Penambahan Cairan Ramuan Herbal Fermentasi terhadap Performan Ayam Broiler, Analisis Profitabilitas Usaha Sapi Perah di Kawasan

Apabila ketentuan yang ditetapkan dalam sub-ayat pertama tidak dipenuhi dan materinya tunduk pada satu atau lebih operasi yang dijelaskan dalam Pasal 47 (1) (b)

Bantalan pada alat uji dibagi atas dua bagian, yaitu bantalan 1 dan bantalan 2 yang berada pada bagian 1, bantalan 1 merupakan bantalan yang mengalami

Pada pasal 5 (ayat 1) dikatakan bahwa pendidikan dan pelatihan merupakan bentuk pengembangan pegawai yang mendorong terhadap peningkatan kerja. Selanjutnya pada ayat

No Nama No Peserta Asal Instansi Alamat Instansi Kecamatan Kota/Kab.. Raya

dapat mengetahui cara pemisahan golongan V... Teori dasar II. Reagensia harus dipakai dalam suasana netral atau sedikit basa. Senyawa-senyawa ini harus dihilangkan sebelum memulai

Isi minimal dari asesmen rawat inap anak terdiri dari : keluhan utama, riwayat penyakit saat ini dan masa lalu, riwayat penyakit keluarga,