• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan Ransum Tikus

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Laporan Ransum Tikus"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Laporan Praktikum

Evaluasi Nilai Biologis Komponen Pangan

NPR PROTEIN RANSUM DAN PENGARUH PROTEIN RANSUM TERHADAP PERTUMBUHAN TIKUS DAN BERAT ORGAN

Ir. Sutrisno Koeswara, M.Sc 1) dan Desty Gita Pratiwi,S.TP 2)

1)

PJP Praktikum

2)

Asisten Praktikum Kelompok/Golongan: D/4

Hurry Zamhoor P. (F24052173), Riska Rudiyanti Dewi (F24051879), Kamalita Pertiwi (F24052300), Galih Nugroho (F24052308)

PENDAHULUAN

Protein adalah senyawa organik kompleks berbobot molekul tinggi yang merupakan polimer dari monomer-monomer asam amino yang dihubungkan satu sama lain dengan ikatan peptida. Molekul protein mengandung karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen dan kadang kala sulfur serta fosfor. Protein berperan penting dalam struktur dan fungsi semua sel makhluk hidup dan virus (Anonima, 2009)

Protein ditemukan oleh Jöns Jakob Berzelius pada tahun 1838. Protein yang terkandung dalam bahan pangan setelah dikonsumsi akan mengalami pencernaan (pemecahan/ hidrolisis) oleh enzim-enzim protease menjadi unit-unit penyusunnya (Muchtadi, 1993).

Struktur protein dapat dilihat sebagai hirarki, yaitu berupa struktur primer (tingkat satu), sekunder (tingkat dua), tersier (tingkat tiga), dan kuartener (tingkat empat). Struktur primer protein merupakan urutan asam amino penyusun protein yang dihubungkan melalui ikatan peptida (amida). Sementara itu, struktur sekunder protein adalah struktur tiga dimensi lokal dari berbagai rangkaian asam amino pada protein yang distabilkan oleh ikatan hidrogen (Anonima, 2009).

Kekurangan Protein dapat menyebabkan penyakit kwasiorkor. Kekurangan yang terus-menerus akan menyebabkan marasmus dan berakibat kematian. Beberapa makanan sumber protein, yaitu : daging, ikan, telur, susu, tumbuhan berbji,suku polong-polongan, dan lain-lain.

Metode yang dapat digunakan dalam teknik evaluasi nilai gizi protein terdiri dari metode in vitro dan metode in vivo. Metode in

vitro dilakukan di luar tubuh, berupa simulasi pencernaan dalam wadah menggunakan buffer enzim pencernaan yaitu pepsin secara tunggal atau diikuti dengan tripsin. Metode in vivo dilakukan di dalam tubuh makhluk hidup, berupa hewan percobaan atau manusia (Palupi dan Prangdimurti, 2008).

Metode in vivo merupakan metode evaluasi nilai biologis pangan yang sensitif dan dapat memberikan informasi yang akurat mengenai manfaat dan keamanan pangan karena dilakukan dengan menggunakan organisme hidup secara utuh. Prinsip dari metode ini adalah melakukan pemberian makan pada hewan atau manusia untuk melihat manfaat suatu bahan pangan terhadap tubuh (Zakaria dkk, 2007).

Penggunaan hewan percobaan dilaksanakan secara sangat hati-hati dan tanpa penyiksaan. Di Amerika, laboratorium yang menggunakan hewan percobaan senantiasa diperiksa petatutannya dalam memanfaatkan hewan oleh federal government melalui peraturan the Animal Welfare Act and its amendments, yang dikeluarkan semenjak tahun 1966 (Zakaria dkk, 2007).

Metode yang digunakan dalam praktikum ini adalah metode in vivo dengan menggunakan tikus percobaan. Tikus percobaan yang digunakan adalah tikus putih Sprague Dawley. Ransum yang diberikan berbeda untuk masing-masing kelompok tikus, yaitu ransum standar yang mengandung kasein, ransum non-protein, dan ransum sampel yang mengandung isolat protein kedelai. Kasein termasuk sumber protein hewani, sedangkan isolat protein kedelai termasuk sumber protein nabati.

(2)

Parameter Kasein (%) ISP (%)

Kadar Protein 78,80 76,80

Kadar Lemak 0,47 3,46

Kadar Air 11,19 9,83

Kadar Serat Kasar 0,32 0,61

Kadar Abu 3,47 5,76 Kadar Karbohidrat 5,75 3,54 Komposisi Ransum (gr) Kasein (g) ISP (g) Non Protein (g) Protein 126,9 110,7 0 Lemak (minyak) 79,4 64,2 64 Mineral Mix 45,6 36,1 40 Air 35,8 31,6 40 Serat 9,6 7,8 8 Vitamin 10 8,5 8 Pati 692,7 791,1 640 Basis 1000 850 800

Kedelai merupakan komoditi yang sangat penting karena mengandung protein dan lemak yang tinggi (Liang, 1999). Isolat Protein Kedelai (Soy Protein Isolate) adalah protein kedelai yang dimurnikan hingga kandungan proteinnya 90% (Anonimb, 2009 ).

Analisis untuk mengetahui pengaruh protein ransum adalah melalui penentuan nilai NPR (Net Protein Ratio), PER (Protein Efficiency Ratio), Biological Value (BV), Net Protein Utilization (NPU), Protein Retention Efficiency (PRE), Relative Protein Value (RPV), Chemical score, dan Protein score. Dalam praktikum ini, digunakan penentuan NPR dan PER untuk mengetahui pengaruh protein ransum terhadap pertumbuhan tikus dan berat organnya (Bender dan Doell, 1957).

PER (Protein Efficiency Ratio) adalah suatu pengujian 28 hari untuk mengetahui pertambahan berat badan per satu gram protein yang dikonsumsi (Muchtadi, 1993). FDA menggunakan PER sebagai dasar untuk persentase USRDA (US recommended daily allowance (USRDA) untuk protein yang tampak pada label.

NPR (Net Protein Ratio) adalah suatu pengujian selama 10 hari untuk mengetahui jumlah protein yang digunakan untuk pemeliharaan tubuh, jadi digunakan hewan percobaan yang diberi ransum non-protein.

Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian beberapa jenis ransum terhadap nilai gizi protein dengan perhitungan nilai PER (Protein Efficiency Ratio), NPR (Net Protein Ratio), dan berat organ tikus percobaan.

BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat

Dalam praktikum ini digunakan tikus percoban dari galur Wistar sebanyak 26 ekor. Bahan-bahan yang digunakan sebagai ransum tikus meliputi selulosa, minyak, tepung kasein, tepung kedelai, isolat protein kedelai, vitamin, garam, dan air. Bahan kimia yang digunakan antara lain : eter dan alkohol.

Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah : kandang pemeliharaan, toples berisi kloroform, alat bedah (pisau, gunting, pinset), alas/media bedah, kertas saring, aluminium foil, dan neraca analitik.

Metode

1. Perhitungan jumlah ransum yang harus ditimbang

Tabel 1. Komposisi Proksimat Ransum Tikus

Tabel 2. Komposisi Ransum Tikus (%)

Contoh perhitungan :

▪ Jumlah yang harus ditimbang dalam basis 1000 g ransum kasein :

1. Protein = (1,6 x 100)/ (78,8 : 6,25)= 12,69 g x 10 = 126,9 g 2. lemak = 8 – (12,69 x 0,47)/100 = 7,94 g x 10 = 79,4 g 3. mineral = 5 – (12,69 x 3,47)/100 = 4,56 g x 10 = 45,6 g 4. serat = 1 – (12,69 x 0,32)/100 = 0,96 g x 10 = 9,6 g 5. vitamin = 10 g 6. air = 5 – (12,69 x 11,19)/100 =3,58 g x 10 = 35,8 g 7. pati = 1000 – (126,9 + 79,4 + 45,6 + 9,6 + 10 + 35,8) = 692,7 g 2. Pemberian Ransum

Jumlah total tikus yang digunakan dalam percobaan ini adalah 16 ekor yang dibagi dalam 3 kelompok, yaitu :

1. Kelompok CAS (6 ekor) yang diberi ransum standar protein (kasein) dan air putih

(3)

2. Kelompok SOY (5 ekor) yang diberi ransum isolat protein kedelai dan air putih

3. Kelompok NON (5 ekor) yang diberi ransum yang tidak mengandung protein dan air putih

Kelompok Tikus (CAS,SOY,NON)

diberi ransum

ditimbang berat badan dan sisa ransum setiap hari selama 10 hari

3. Pembedahan dan penimbangan organ Tikus dimasukkan ke dalam toples yang didalamnya terdapat kapas yang ditetesi

kloroform

setelah pingsan, segera dikeluarkan, dan disemprot dengan alkohol

tikus diletakkan di atas talenan berlapis alumunium foil

kulit perut tikus ditarik dengan pinset dan dibedah dengan gunting/pisau

pembedahan dilakukan dari bagian bawah tubuh menuju bagian atas

organ tikus dikeluarkan (ginjal, hati dan limfa)

ditimbang

PEMBAHASAN

Protein memegang peranan yang sangat penting dalam semua sel hidup untuk menjalankan berbagai fungsi dan mengatur sebagian besar aktivitas fisik dan kimia yang penting bagi tubuh (MacGregor, 2000). Dalam tubuh, protein digunakan sebagai zat pembangun, menjaga dan memperbaiki jaringan. Jika karbohidrat tidak mencukupi sebagai sumber energi, maka protein dapat

diubah menjadi karbohidrat melalui glukoneogenesis.

Struktur protein dapat dilihat sebagai hirarki, yaitu berupa struktur primer (tingkat satu), sekunder (tingkat dua), tersier (tingkat tiga), dan kuartener (tingkat empat). Struktur primer menyangkut urutan asam amino yang menyusun protein dalam ikatan tulang punggung peptida. Urutan asam amino yang menyusun protein berpengaruh dalam bentuk tiga dimensi dan sekaligus fungsi protein. Struktur sekunder menyangkut pelipatan ikatan peptida, sebagai akibat ikatan hidrogen antara O gugus karboksil dengan H dari NH pada ikatan peptida (Umland dan Belama, 1999). Struktur sekunder yang terbentuk, dapat berupa :

alpha helix (α-helix, "puntiran-alfa"), berupa pilinan rantai asam-asam amino berbentuk seperti spiral;

beta-sheet (β-sheet, "lempeng-beta"), berupa lembaran-lembaran lebar yang tersusun dari sejumlah rantai asam amino yang saling terikat melalui ikatan hidrogen atau ikatan tiol (S-H);

beta-turn, (β-turn, "lekukan-beta"); dan

gamma-turn, (γ-turn, "lekukan-gamma").

Struktur alpha helix terjadi karena pelipatan dalam satu rantai polipeptida akibat ikatan hidrogen (intramolekuler), sedangkan struktur beta-sheet terjadi ikatan hidrogen atau interaksi antara dua rantai polipeptida atau lebih (Yudkin dan Offord, 2000)

Gabungan dari aneka ragam dari struktur sekunder akan menghasilkan struktur tiga dimensi yang dinamakan struktur tersier. Struktur tersier biasanya berupa gumpalan. Beberapa molekul protein dapat berinteraksi secara fisik tanpa ikatan kovalen membentuk oligomer yang stabil (misalnya dimer, trimer, atau kuartomer) dan membentuk struktur kuartener. Contoh struktur kuartener yang terkenal adalah enzim Rubisco dan insulin (Anonima, 2009).

Metode pengukuran kualitas protein dapat menggunkan 2 cara, yaitu:

(a) Biological assays (b) Analisis kimia

Sejak tahun 1919 hingga saat ini, PER telah banyak digunakan untuk mengevaluasi kualitas dari protein dalam pangan. PER (Protein Efficiency Ratio) adalah suatu pengujian 28 hari untuk mengetahui pertambahan berat badan per satu gram protein yang dikonsumsi (Muchtadi, 1993). FDA menggunakan PER sebagai dasar untuk persentase USRDA (US recommended daily allowance (USRDA) untuk protein yang tampak pada label.

(4)

Selain NPR dan PER, dapat juga digunakan Biological Value (BV), Net Protein Utilization (NPU), Protein Retention Efficiency (PRE), Relative Protein Value (RPV), Chemical score, dan Protein score.

Isolat protein merupakan bentuk protein yang paling murni. Dibuat dengan proses penghilangan kulit dan komponen non protein. Kandungan proteinnya sebesar 90% atau

lebih, dan produk ini hampir bebas dari karbohidrat, serat dan lemak sehingga sifat fungsionalnya jauh lebih baik daripada bentuk protein lainnya (Wolf, 1975). Prinsip yang digunakan untuk mengisolasi protein total adalah pengendapan seluruh protein kacang pada titik isoelektriknya, yaitu pH dimana seluruh protein menggumpal (Suwarno, 2003).

Tabel 3. Rekapitulasi Pertambahan Berat Badan, Konsumsi Ransum, Konsumsi Protein dan Perhitungan NPR dan PER (10 hari)

Perlakuan Ulangan ∆ Berat Badan (g) Konsumsi Ransum Total (g) Konsumsi Protein Total (g) NPR PER Kasein 1 15 87.5251 8.7525 2.9477 1.7138 2 37 134.8223 13.4822 3.5454 2.7444 3 15 94.4554 9.4455 2.7315 1.5881 4 20 89.5422 8.9542 3.4397 2.2336 5 0 90.6556 9.0656 1.1913 0.0000 6 18 77.3805 7.7380 3.7219 2.3262 Rata-rata 2.9296 1.7677 Non Protein 1 -11 52.3027 5.2303 2 -17 55.0214 5.5021 3 -7 63.3367 6.3337 4 -9 47.0519 4.7052 5 -10 49.0746 4.9075 x = -10,8 ISP 1 27 90.6953 9.0695 4.1678 2.9770 2 12 79.7416 7.9741 2.8592 1.5049 3 27,5 100.5503 10.0550 3.8091 2.7350 4 12 61.1519 6.1152 3.7284 1.9623 5 14 72.7162 7.2716 3.4105 1.9253 Rata-rata 3.5950 2.2209 Contoh perhitungan :

∆ Berat Badan = Berat Badan Akhir – Berat Badan Awal

Untuk Perlakuan Kasein Ulangan 1.

Konsumsi Protein = 10% x Konsumsi Ransum = 10% x 87.5251

= 8.7525

PER = ∆ Berat Badan/ Konsumsi Protein

= 15/ 8.7525 = 1.7138

NPR = ∆ Berat Badan (protein yang diuji) - ∆ Berat Badan (non protein)

Konsumsi Protein

= 15-(-10,8) 8.7525 = 2.9477

(5)

Grafik Perbandingan Nilai NPR dan PER 0.0000 0.5000 1.0000 1.5000 2.0000 2.5000 3.0000 3.5000 4.0000 CAS ISP Kelompok N il a i NPR PER

Tabel 4. Rekapitulasi Berat dan Berat Relatif Organ Ginjal, Hati dan Limfa Perlakuan Ulangan Berat

Badan Akhir

Ginjal Hati Limfa

Berat ginjal Berat Relatif Ginjal Berat Hati Berat Relatif Hati Berat Limfa Berat Relatif Limfa Kasein 1 88 0.9583 0.0109 5.2276 0.0594 0.3303 0.0038 2 102 0.8470 0.0083 3.9281 0.0385 0.1145 0.0011 3 83 0.8470 0.0102 3.9281 0.0473 0.1145 0.0014 4 81 0.7841 0.0097 2.8481 0.0352 0.4012 0.0050 5 56 0.7721 0.0138 3.2837 0.0586 0.3713 0.0066 6 90 0.9583 0.0106 5.2276 0.0581 0.3303 0.0037 Rata-rata 0.8611 0.0106 4.0739 0.0495 0.2770 0.0036 Non Protein 1 57 0.5842 0.0102 2.8509 0.0500 0.1760 0.0031 2 50 0.6153 0.0123 2.9277 0.0586 0.0737 0.0015 3 63 0.6953 0.0110 3.5584 0.0565 0.6953 0.0110 4 55 0.5458 0.0099 2.9458 0.0536 0.2871 0.0052 5 47 0.5154 0.0110 2.0814 0.0443 0.1832 0.0039 Rata-rata 0.5912 0.0109 2.8728 0.0526 0.2831 0.0049 ISP 1 88 0.3023 0.0034 4.0234 0.0457 0.2502 0.0028 2 78 0.7281 0.0093 3.1762 0.0407 0.2304 0.0030 3 96 0.8633 0.0090 4.5058 0.0469 0.1707 0.0018 4 65 0.6942 0.0107 3.4179 0.0526 0.2216 0.0034 Rata-rata 0.6470 0.0081 3.7808 0.0465 0.2182 0.0028

Gambar 1. Grafik Perbandingan Nilai NPR dan PER

Berdasarkan hasil perhitungan NPR, dapat diketahui bahwa NPR kelompok tikus SOY(=3.5950) bernilai lebih tinggi dari kelompok tikus CAS (=2.9296). Begitu pun hasil perhitungan nilai PER, PER rata-rata untuk kelompok tikus CAS adalah 1.7677. Hal ini berarti bahwa konsumsi protein sebanyak 1 gram dapat menaikkan berat badan tikus

percobaan sebesar 1.7677 gram. Nilai PER kelompok tikus SOY adalah (2.2209). Dari Perbandingan nilai PER dan NPR antarmasing-masing kelompok dapat dilihat pada Gambar 1.

Hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan literatur. Seharusnya nilai PER dan NPR kelompok CAS lebih besar dari kelompok SOY. Isolat protein kedelai memiliki skor asam amino 108, sedangkan kasein 136 (Anonimc, 2009). Artinya, penggunaan asam amino untuk sintesis protein tubuh dari kasein lebih baik daripada dari isolat protein kedelai. Hal lain yang mendukung lebih tingginya kualitas protein kasein, karena kasein berasal dari hewan. Protein hewani lebih mudah dicerna daripada protein nabati, sehingga bioavailabilitasnya lebih tinggi.

Penyebab tidak sesuainya hasil dengan literatur adalah karena adanya satu tikus dalam kelompok CAS yang sakit, sehingga tidak mengalami pertumbuhan dan berpengaruh terhadap rataan. Jika tikus yang sakit tersebut tidak diikutsertakan dalam perhitungan, maka nilai PER dan NPR

(6)

Grafik Laju Pertambahan Berat Badan selama 10 Hari 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 90.00 0 2 4 6 8 10 12 Hari ke-B e ra t B a d a n ( g ) CAS NON SOY

Grafik Perbandingan Berat Organ

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5

CAS NON SOY

Kelompok B e ra t O rg a n ( g ) ginjal hati limfa

Grafik Perbandingan Berat Relatif Organ

0 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 0.06

CAS NON SOY

Kelompok B e ra t R e la ti f O rg a n ginjal hati limfa

kelompok CAS akan lebih tinggi dari kelompok SOY.

Gambar 2. Grafik laju pertambahan berat badan tikus selama 10 hari

Berdasarkan Gambar 2, dapat diketahui bahwa laju pertumbuhan berat badan tikus kelompok CAS dan SOY meningkat dengan rata-rata pertambahan berat badan masing-masing 17,5 dan 18,5. Jadi, pertambahan berat badan kelompok SOY lebih tinggi daripada kelompok protein. Total ransum yang dikonsumsi oleh kelompok tikus SOY selama 10 hari rata-rata adalah 83.3711 gram/tikus, sedangkan kelompok CAS adalah 97.7922 gram/tikus. Diketahui bahwa konsumsi ransum kelompok tikus SOY lebih kecil dari konsumsi ransum standar kasein, tetapi pertambahan berat badan yang lebih tinggi dihasilkan dari kelompok SOY.

Hal ini tidak sesuai dengan literatur yang diperoleh bahwa semakin tinggi konsumsi ransum, maka semakin tinggi protein yang diperoleh. Jumlah konsumsi protein adalah 10% dari konsumsi ransum total. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa terdapat satu tikus dari kelompok CAS yang sakit, sehingga menurunkan rataan pertambahan berat badan rata-rata. Tikus tersebut sama sekali tidak mengalami kenaikan berat badan. Oleh karena itu, jika tidak diperhitungkan, maka pertambahan berat badan kelompok CAS akan lebih besar dari pertambahan berat badan kelompok SOY. Kelompok tikus NON mengalami penurunan berat badan karena tidak mendapat asupan protein dalam ransumnya.

Protein hewani lebih mudah dicerna sehingga bioavailabilitasnya dalam tubuh lebih tinggi (Zakaria dkk, 2007). Hal ini menyebabkan kecepatan tumbuh atau bertambah beratnya lebih cepat daripada konsumsi protein nabati. Selain itu, terbukti dalam suatu penelitian bahwa kelinci yang

memperoleh protein nabati, lebih sehat dan hidup dua kali lebih lama.

Gambar 3. Grafik Perbandingan Berat Organ

Berdasarkan grafik perbandingan berat organ antarkelompok, rataan berat organ ginjal dan hati untuk kelompok NON paling kecil diantara dua kelompok lainnya, sedangkan organ limfa memiliki berat organ yang cenderung sama. Berat relatif organ, diperoleh dari perbandingan berat organ dengan berat badan tikus. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan bias karena berat badan (ukuran tubuh) tikus yang beragam.

Gambar 4. Grafik Perbandingan Berat Relatif Organ

Berdasarkan grafik perbandingan berat relatif organ, dapat diketahui bahwa kelompok NON memiliki nilai berat organ relatif tertinggi dibandingkan dua kelompok lainnya. Hal ini disebabkan karena berat badan tikus kelompok NON tidak mengalami kenaikan berat badan, sebaliknya berat badannya menyusut karena tidak ada asupan protein. Oleh karena itu, perbandingan berat organ : berat badan menjadi lebih tinggi karena nilai berat badannya lebih kecil dari kelompok lainnya.

(7)

KESIMPULAN

Hasil praktikum menunjukkan bahwa NPR dan PER kelompok tikus SOY bernilai lebih tinggi dari kelompok tikus CAS. Hasil tersebut tidak tidak sesuai dengan literatur. Seharusnya nilai PER dan NPR kelompok CAS lebih besar dari kelompok SOY karena kualitas protein kasein yang berasal dari hewan lebih tinggi. Selain itu, protein hewani lebih mudah dicerna daripada protein nabati, sehingga bioavailabilitasnya lebih tinggi.

Total ransum yang dikonsumsi oleh kelompok tikus SOY selama 10 hari rata-rata adalah 83.3711 gram/tikus, sedangkan kelompok CAS adalah 97.7922 gram/tikus. Hal ini tidak sesuai dengan literatur yang diperoleh bahwa semakin tinggi konsumsi ransum, maka semakin tinggi protein yang diperoleh. Jumlah konsumsi protein adalah 10% dari konsumsi ransum total.

Penyebab tidak sesuainya hasil dengan literatur adalah karena adanya satu tikus dalam kelompok CAS yang sakit, sehingga tidak mengalami pertumbuhan dan berpengaruh terhadap rataan. Jika tikus yang sakit tersebut tidak diikutsertakan dalam perhitungan, maka nilai PER dan NPR kelompok CAS akan lebih tinggi dari kelompok SOY. Pengaruh tikus sakit terhadap berat organ dapat menurunkan rataan pertambahan berat badan rata-rata. Tikus tersebut sama sekali tidak mengalami kenaikan berat badan. Oleh karena itu, jika tidak diperhitungkan, maka pertambahan berat badan kelompok CAS akan lebih besar dari pertambahan berat badan kelompok SOY. Kelompok tikus CAS dan SOY mengalami kenaikan berat badan, sedangkan kelompok tikus NON mengalami penurunan berat badan karena tidak mendapat asupan protein dalam ransumnya.

DAFTAR PUSTAKA Anonima. 2009. Protein. http://id.wikipedia.org/wiki/protein/ [12 Januari 2009] Anonimb. 2009. Protein. http://id.wikipedia.org/wiki/soyprotei nisolate [12 Januari 2009]

Anonimc. 2009. Nutrition Data. http://www.nutritiondata.com [14 Januari 2009]

Bender A E, Doell B H 1957 Biological evaluation of protein:

A new aspect. Br J Nutr 11 139-148.

Liang, JH. 1999. Flourescence due to interactions of oxidizing soybean oil and soy proteins. J. Food Chem., 66: 103-108

MacGregor, EA. 2000. Polymers in Nature. John Wiley & Sons, New York. Muchtadi, D. 1993. Teknik Evaluasi NIlai

Gizi Protein. ITP-IPB, Bogor. Palupi, NS dan E Prangdimurti. 2008.

Modul Teknik Evaluasi Nilai Biologis Vitamin dan Mineral. ITP-IPB, Bogor.

Suwarno, M. 2003. Potensi Kacang Komak (Lablab purpureus (L)sweet) sebagai bahan baku isolat protein. [Skripsi]. Fateta, IPB, Bogor. Umland, JB, JM Belama. 1999. General

Chemistry. Third Ed. Brooks/ Cole Publishing Company, USA.

Zakaria, FR, NS Palupi, E Prangdimurti. 2007. Modul Prinsip Dasar Metode Evaluasi In Vivo: Penggunaan Hewan Percobaan. ITP-IPB, Bogor. Wolf, WJ. 1975. Soy Protein for fabricated foods. Di dalam : Inglet, GE (ed). Fabricated foods. AVI Publishing Company, Inc., Westport, Connecticut.

Yudkin, M dan R Offord. 2000. biochemistry. Hougton Mifflin Company, Boston.

Gambar

Tabel  3.  Rekapitulasi  Pertambahan  Berat  Badan,  Konsumsi  Ransum,  Konsumsi  Protein  dan  Perhitungan NPR dan PER (10 hari)
Grafik Perbandingan Nilai NPR dan PER 0.00000.50001.00001.50002.00002.50003.00003.50004.0000 CAS ISP KelompokNilai NPRPER
Grafik Laju Pertambahan Berat Badan selama 10 Hari 0.0010.0020.0030.0040.0050.0060.0070.0080.0090.00 0 2 4 6 8 10 12 Hari ke-Berat Badan (g) CAS NONSOY

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ransum dengan kadar protein kasar berbeda terhadap pertumbuhan itik betina mojosari dan mengetahui perlakuan yang

Penelitian ini bertujuan mengetahui tingkat pertumbuhan, produksi karkas dan konversi ransum “itik cili” dibandingkan itik b ali, dan untuk mengetahui pengaruh pemberian

lnteraksi antara waktu pemberian dan level protein ransum krpengaruh ny ata terhadap konsumsi ransum dan intuke energi, protein dan metionina ransum tetapi tidak

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh waktu pemberian ransum dan kandungan protein dalam ransun terhadap parameter berat telur, tebal

Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian tepung limbah ikan gabus pasir (Butis amboinensis) terhadap konsumsi ransum, pertambahan bobot badan dan konversi ransum

Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian tepung limbah ikan gabus pasir (Butis amboinensis) terhadap konsumsi ransum, pertambahan bobot badan dan konversi ransum

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh aras protein ransum terhadap pemanfaatan nutrisi dilihat dari kecernaan protein, nilai energi metabolis dan rasio efisiensi

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kecernaan bahan organik dan protein kasar dengan ransum berbahan jerami padi fermentasi dan konsentrat yang diberi