EFISIENSI PENGGUNAAN RANSUM PADA AYAM
RAS
PETELUR MELALUI PERUBAHAN WAKTU
PEMBERIAN
DAN
KANDUNGAN
METIONINA
Yan Heryandi
SEKOLAW PASCASAWANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ABSTRAK
YAN HERYANDI, 2004. Efiiensi penggunaan ransum pada ayam ms petehr melahi perubahan waktu pemberian dan kandungan metionina masum. Di bawah bimbingan :
DJ.
Samosir, M.M. Siti Sundari Kismono, Wasmen Manah and I Putu Kompiang.Dua
ranglam percobaan ini h j u a n untuk mernpelajari pengaruh waktu pemberirtn ransum dan level metionina dahm ransum terhadap parameter konsurnsi ransum, produksi telur clan kualitas telur serta efisiensi penggunaan ransum. PadaPercobaan I, 162 ayam ras petelur ditempatkan menurut Rancangan Acak Lengkap dengan pola faktorial 3 x 3. Faktor pertama adalah 3 waktu pernberian ransum (08.00, 18.00, and 04.00) dan faktor kedua 3 level protein ransum (1 2, 1 5 , and 18%). Penelitian ini dimulai saat ayam berumur 20 sampai 34 rninggu. Percobaan 11, 100 ekor ayam ras petelur ditempatkan menurut Rancangan Acak Lengkap dengan 5 perIakuan level metionina (0.34, 0.38, 0.42, 0.46, and 0.50 g1100g). Perlakuan ini diberikan mulai saat ayam benrmur 20 sarnpai 44 weeks of age. Parameter yang diukur adalah konsurnsi, produksi dm W t a s telur serta efisiensi penggunaan ransum.
lnteraksi antara waktu pemberian dan level protein ransum krpengaruh ny ata terhadap konsumsi ransum dan intuke energi, protein dan metionina ransum tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap p r h k s i hen day clan produksi massa telur, konversi ransum,
tebal kerabang dan income over jeed cost. Perubahan waktu pemberian ransum tidak memperbaiki konversi ransum tetapi marnpu memperbaiki tebal kerabang. SebaWcny a,
peningkatan level protein dapat meningkatkan produksi hen
do)l,
p r d k s i massa telur, konversi ransum, tebal kerabang dan income aver feed cost.Level metionina ransum tidak berpengaruh terhadap konsumsi ransum, intake energ, hen day production, rata-rata berat teludperiode, tebal kerabang, haugh unit and income over feed cost. Level metionina dalam ransum mempengaruhi intake metionina, produksi rnassa telur dan konversi ransum. Peningkatan level metionina tersebut pada ransum basal (level protein 17,1% dan level metionina 0,34%/kg) dan intake metionina mencapar optimal 455 mglekorhari pada level metionina ransum 0.38% atau rasio energVmetionina 0.7 clan ayam diberi makan pukul 08.00 pagi, menghasilkan p e r f o m s
produksi terbaik dan efisien.
ABSTRACT
YAN HERYANDI, 200A Feed eff11ckq
in
lay* hem fed at different time and various level of methionhe. Advisory C o m m kDJ.
%mosir, M.M. Siti Sundari Kismono, Wasmen Mrnalu and 1 Putu Kompiang.Two experiments were conducted to study the effect of feeding time and methionine content on egg production, egg quality, and feed efficiency.
In
the firstexperiment, one hundred and sixty two laymg hens were assigned into a completely randomize design with a 3 x 3 factorial arrangement. The first factor was three feeding reghem (08.00, 18.00, and 04.00). The second factor was protein e t of the diet with 3 levels (12, 15,
and
18%). The treatments were started at 20 until 34 weeks of age. In the second experiment, one hundred laying hens were assigned into a completely randomize design with 5 treatments of methlonine levels in the diet (0.34, 0.38, 0.42, 0.46, and 0.50 g11OOg).The treatments
werestarted
at 20 mtil 44 weeks of age.h n m e t e ~ s measured were feed consumption aod co~lvers~on, egg production and quality. Interaction between feeding time and level of protein in the mhon markedly affected feed consumptiw and intake of protem, metbionine and energy. The interaction of treatments did not affect hen day and mass production, feed conversion, shell thickness and income over
feed
cost. Cfian&esin
thetime of
feedrng did not improve feed conversion but increased shell thickness. On the other h d , increased level of protein improved hen day and mass production, feed conversion, shell thickness and income over feed cost.Level of meihionine
in
the diet did not affect feed consumption, intake of energy, hen day production, average egg weight (wllected from egg proddon for three days,respectively), shell thickness, haugh unit and income over feed cost. Methloaine levels in the diet affected intake of methionine, improved mass production and feed comrsion.
Increased methionine level
in
thebasal
ration (17.1% level of protem ration and 0.34% level of methionine), reached an optimal methionhe intake of 455 mg/henlday, energylmethionine ratio of 0.7 and fed at 08.00 AM that produced the best performance prdlction.SURAT
PERNYATAAN
Saya menyatakan &ngan s e b y a bahwa disertasi yang berjudul "Efisiensi penggunaan ransum padn ayam ras peteiur melalui perubaban waktu pemberian dan kandungan metionina ransum", merupakan gagasau atau penelitian saya sentin,
dengan b~rnbingan Komisi Pernbimbing kecuali yang dengan jelas ditunjukkan
rujukannya. Disertasi behun -ah diajukan mtuk memperoleh gelar pada program
sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dart i n f o m i yang digunakan secara jelas
EFLSIENSI PENGGUNAAN RANSUM PADA
AYAM
RAS PETELUR MELALUI PERUBAHAN WAKTU
PEMBEIUAN DAN
KANDUNGAN
METTQNINA
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh getar Doktor pada
P-m Studi llmu Ternak
SEKOLAH
PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN
BOGOR
BOGOR
J u d u 1 : EFISIENSI PENGGUNAAN RANSUM PADA AYAM RAS PETELUR MELALUI PERUBAELAN WAKTU PEMBERIAN
DAN KANDUNGAN METIONINA
Nama Mnhasiswa : YAN HERYANDI
Nomor Pokok : 985039
Program Studi : Ilmu Ternak
Menyetujui :
1. Komisi Pem bim bing
Ketua
4
Anggota Anggota
Mengetahui
2. Ketua Program Studi
Ilmu Ternak
Dr.
Ir. Nalmwi.M h
Tanggal ldur : 1 ~ 0 0 4
RIWAYAT
HIDUP
Penulis dilahirkan tanggal 14 Januari 1964
dl Padang, Sumatera
Barat, sebagaianak kedua dari Bapak, H. Mohd. Sjaher dan Ibu,
Hj.
Nursiah.Pada tahun 1 975 Penuh menamatkan pendidikan sekolah dasar di SD Adabiah
Padang. Sekolah menengah pertama Penulis tarnatkan di SMP Adabiah Padang tahun
1979 dan sekolah menengah atas ditarnatkan tahun 1982 di SMAN 3 Padang. Pa& tahun yang sama mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan di Fakultas
Peternakan Universitas Andalas dan mendapat gelar Insinyur Peternakan pada tahun 1987. Sejak tahun 1989 sampai sekarang Penulis diangkat sebagai staf pengajar pada
Jurusan Pmduksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Andalas, Padang. Pada tahun
1991 Penulis memperoleh beasism dmi Tim Manajemen Program Doktor (TMPD)
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidhn dan Kebudayaan untuk
mendalami ilmu pada Program Studi llmu Ternak Program KPK IPB-Unand, dan
memperoleh gel= Magister Pertaman (MP) pada tahun 1 995. Pada tahun 1 998 mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan S3 pada Program Studi Ilmu Ternak, Sekolah
Program Pascasarjana IPB
.
Penulis menikah dengan Ir. Rina Irnanda tahun 1990 dan sekarang tehh
d~karuniai 3 orang anak, Utan Anindya H v d i htri (1 1 tahun), Fikri Aditya Heryandi
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan ke- Allah SWT, atas b k a h r a w dm
karuniaNya karya ilmiah dengan judul "Efisieasi Penggunaan Ransum pada Ayam Ras Petelur Melahi Pernlmhan W a b Pemberian dan Kmdungan Methinam,
berhasil diselesaikan. Penelitian ini telah ddaksanakan
d~
Bogor d a b dua kali percobaan mulai bulan April 2001 sampsi dengan September 2002.Pada kesempatm ini Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Rektor
Universitas Andalas clan Dekan Fakuitas Peternakan Universitas Andalas atas bantam, izin dan dorongan moral yang telah diberikan untuk rnelanjutkan pendidikan sampai
menyelesaikan pendiddm S3 di SekoM Pascasarjam IPB.
Ucapan terirna kasih penuhs sampadcan kepada Prof. Dr. D. J. Samosir
(dm),
Dr.Ir. M.M. Siti Sundari Kismono, Prof.Dr.Ir. Wasmen Manalu, MSG dan Dr. I Putu Kompiang, M U sebagai Pembimbing yang telah memberikan arahan, pehtian yang besm selama proses pelitian rnaupun p e n u b n m i . Kemudian kepada Frof.Dr. Peni Hirdjosworo, Prof.Dr.Ir. Wiranda G. Piliang MSc,
Dr.
lr. Rita Mutia, Dr.Ir. BagusPnyo Punvanto, M. Agr dan Dr.Ir. Pius Wen,
M.
Agr, Prof.Dr.Hj. Kartinah GumadzPr0f.Dr.Ir.H. Edi Gurnadi, I)r. Ir. Hj. lman Rahayu H.S, MS, Prof.Dr.1r.H. Hafil Abbas,
MS dan Dr.ir. Yoserizrtl, MSG yang tehh m e m k i h saran sehin&ga disertasi ini dapat
diseiesaikan dengan bark.
PenuIis juga mengucapkan terima kasih kepa& Kepala Laboratoriurn Ilmu
Ternak Unggas dan Kepala Labomtmium Ilmu Ternak Potong Fakultas Peternakan
WB
beseria staf yang telah memberikan fasilitas labratorim se- penelitian ini dapat
daerah Tk.1 Sumatera Barat, Kepada Pimpinan Redaksi beserta staf Majalah Tnfovet, Ir.
Surya l X m Wirin (Kepala Dinas Peternakan Tk. I S&), Bapak Karim Mahanan
(Ketua Umum ASOHI ), Dr. Desianto B Utomo,
DVM
(PT.
Charoen Pokphand Indonesia TBK), drh. IsraHM
Noor (PT. J.J. Degissa), Pimpinan TT. Semen Padangyang telah memberikan dukungannya dalam pelaksanaan penelitian ini, serta kepada Raja
Topan Siregar, SF%, Rivol Antoni, SPt, Margono, SF9 dm Dedi Priyono, SR yang m e m h t u
s e l m pengumputan data. Kepada sahabat seperjmgan d~ Mess Unand, anggota IKBUA dan W A C , kawan-kawan Angkatm '98 SPs TPB, Montesqrit, SPt, Msi, Dr. Danrlng
Biyatrnoko, SFt, MSi serta rekan di PPS Unpad, Dr.Ir. Osfar, Dr. Yurniwati, SE Ak, MSi
. .
dan Keluarp serta
Dr.DTn.
Farnida Manin, MP yang telah menyumhgkm pePenulis ucapkan terima kasih.
Terirna kasrb yang tidak kdmgga disqaikan kepada kedua orang tuaku H. Mohd.
Spher dan Hj. Nursiah, mertuaku Drs. H. Masri Abbas dan Hj. Rosna H a m A serta kakak, Dra. Widya dan Drs. Taufk Hidayat adrk, Drs. H&o, Ak, Drs. Rinaldi Eka Putra, MSi dan Fianita, BBA clan keponakan yang selalu m e n s u mtuk k e b e h s h , khususnya pada yang tercinta istriku Ir. h a Irnanda ser~a yang tersayang a n a k - d u Utari Anindya
Heryandi Pulri, Fikri Aditya Heryandi dm Melinda Anindya Hcrymdi atas daa, pengettian, pengorbanan dan dorongan moril yang telah dibenkan selama mengrkuti pendidkin ini.
Akbhya, Penulis berdo'a semogg Tuhan YME memberikan rahmat dan karunianya kepada sernua pihak y ang telah membenkan bantuan kepada Penuhs. Semoga
karya h i a h ini bemanfaat.
DAFTAR IS1
Halaman
. . ABSTRACT ... ll
PR AKAT A ... vii
DAETAR IS1
...
ixDAFTAR TABEL ...
.
.
... xiiDAFrAR CAMBAR
...
... .... xivDAFTAR LAMPIRAN ... xvi
PENDAHULU AN ... 1
Tujuan penelitian ...
.
.
... 5Manfaat pnelitian
...
5TINJAUAN PUSTAKA ... 6
Karakteristik ayam petelur
...
6Regulasi panas tub& ayam petelur ...
.
.
... 7Konsumsi ransum dan nutrisi untuk ayam peteiur ... 9
Pencernaan dan absorbsi nutrisi ... 12
Proses pembentukan telur ayam ... 14
Perubahau waktu pemberian ransum dan pengaruhnya terhadap performans produksi telur ... 16
Suplementasi metionina dalam ransum
...
20MATERI DAN METODE PENELITIAN ... 25
...
Metode penelitian
...
.
.
...
Peubah yang diamati
Analisis data ...
.
.
...
Percobaan
II
...
Tempat dan waktu penelitian
.
.
...
Bahan dan alat
...
.
.
...
... Metode penelitian
...
...Peubah yang diamati
.
.
Analisis data
...
.... ... .
.
...
W I L DAN PEMBAHASAN
Percobaan I
...
Temperatur dm kelembaban udara dalarn kandang
... Konsumsi ransum dan energi
...
Intake protein dan metionina
...
Produksi hen
day
... Produksi massa telur
Konversi ransum ...
.... ...
... Tebal kerabang
... Income over feed cost
... Mortalitas
Percobsan I1
...
Temperatur dan kelembaban dalam kandang
... Komposisi zat-zat makanan penyusun m u m
... Konsumsi ransum
dan
energ. .
... Intake mebonma
... Produksi telur hen day
Produksi massa telur dan berat telur ...
Konversi ransum ...
Berat telur dan tebal kerabang ...
... Haugh unit
Pernbahasan umum
...
KESIMPULAN
DAN SARANKe simpulan ...
Saran ...
DAFTAR PUS TAKA
... .
.
...
1 9 . Rata-rata produksi hen day ayam petelur selama penelitian ...
20 . Kandungan asam amino ransum dan kebutuhan metionha ayam petelur ....
2 1
.
Rata-rata produksi massa telur ayam selama penelitian ......
22
.
Rats-rata konversi ransum ayam petelur seiama penelitian...
23
.
Rataan tebal kerabang telur ayam selama penelitian.
.
...24 Rata-rata income over feed cost ayam petelur selama penelitiau ... 25 . Rata-rata suhu serta kelembaban setiap bulan pada selang
waktu pengamatan dua jam selarna peneban berlangsung
...
26 . Rata-rata konsumsi ransum ayam petelur tiap perlakuan
...
selama penelitian
27 . Rata-rata intake energi ayam ras petelur tiap perlakuan
...
selama penditian
28 . Rata-rata konsumsi metionina ayam ras peklur
. .
tiap perlakuanselama penelman ...
29
.
Rata-rata produksi. .
hen day ayam ras petelur tiap perlakuanselama penellban ...
30 . Rata-rata produksi massa telur ayarn setiap perlakuan
selama peneIitian
...
3 1 . Rata-rata berat telur ayam ras petelur tiap perlakuan
selama penelitian
...
.
.
.
.
...32 . Rata-rata konversi ransum ayam ras p e t e h tiap perlakuan
...
selarna penelitian
3 3 . Rata-rata berat telur dan kerabang tiap perlakuan selama penelitian ...
DAFTAR
GAMBAR
Halaman
1 . Proses kimia pembentukan kerabang telur ayam ... 9
2
.
Salumn reproduksi ayam dan proses pembentukan telur dalam oviduk (Wells dan Belyavin, 1 989) ... 163
.
Perubahan diurnal pembentukan telur dan aktivitas ayam petelur ... 185
.
Mekanisme metabolisme metionina ....
.
.
... 216 . Model kandang betere. tempat makan dan minum untuk penelitian ... 28
7
.
Rataan temperatur lingkungan Bogor per jam. selama 24 Jam ... 308 . Lay out setiap unit ulangan pa& kandang penelitian Percobaan I ... 31
9
.
Lcry out setiap unit ulangan pada kandang penelitian Percobaan TI...
381 0 . Temperatur lingkungan dan produksi panas metabolis ... 43
1 1 . Hubungan waktu pengarnatan dengan temperatur dm kelembaban ... 4 4 12 . Hubungan level protein ransum dengan konsumsi ransum ... 45
1 3
.
Hubungan level proteindan
produksi telur hen day . . ... selama penellban 54 14 . Hubungan level protein ransum dan produksi . . massa selama penelltian ....
.
.
... 571 5 . Hubungan waktu
. .
pemberian ransum dan konversi ransum ... selama penehban 59 1 6.
Hubungan level protein ransum dengan konversi ransum . . selarna penelitlan ....
.
...
6118. Hubungan level protein dm IOFC selama penelitian .. . . .. . .
.. .... .
.
. . . 671 9 . Hubungan lama pengamatan dengan temperatur
dan
kelembaban udara selama penelitian . . .
. . .
.
. . .. . .
7220. Hubungan waktu pengamatan dengan konsumsi
ransum tiap perlakuan
.. . .
..
. . .. . .
, , , .. .
. . ..
, , ,. .
,. . . .
,.
,.
762 1 . Hubungan level metionina ransum dan in fake metronina
selama penelitian
. ... .. .. . .
......
.. . . .. . ... .... .. . .
, , , ,. .
. . . . . . . . .. . . . .
. 7722. Hubungan level metionina ransum dan produksi hen day
setiap perlakuan m&onina selama penelitian . . .
. . . .
.
.
. . .
. ... . . . 8223. Hubungan produksi massa dan berat telur dengan level
metionina ransum s e b p perlakuan
. .
.. . .
. .
. . . .... . ..
,. . .
, ,. .
. . . . 85DAFTAR
LAMPIRAN
1.
R
.
pertambahan berat badan a y m selarna penelitian (g/ekor)2 . Rataan berat badan ayam selarna Percobaaan I (dekor)
3. Hasil adisis asam amino ransum untuk Percobaan I1
den@ kandungan protein ransum 1 7.1 %
4. Analisis varian terhadap data konsumsi ransum pada Percobaan I
5 . Analisis varian t e d d a p data in& energi pada Percubaan I
6 . Analisis varian terhadap data intake protein pada Percobaan I
7. Analisis varian terhadap data intake metionina pada Percobaan I 8. Analisis varian terhadap data produksi rnassa telur pada Percobaan I
9. Analisis varian terhdap data pr&i hen &y p i l a Percobaan I 10. Analisis varian terhadap data konversi ransum pada Percobaan I
1 1. Analisis varian tefhadap data tebal kaabang p d a Percobaan I
1 2. Anaiisis varian tehadap data income over-feed cost pada Percobaan I
13. Analisis varian tehdap data konsumsi ransum pala Percobaan 11
14. Analisis varian terhadap data intake energi pada Percobaan II
15. Analisis varian terfiadap data inrake rnetionia pgda Percobaan I1
16. Analisis varian terhadap data produksi hen day pada Percobaan 11
17. M s i s varian terhadap data produksi m s s telur pada Percobaan 11 18. Analisis varian terhadap data berat telurlbutir (total) pada Percobaan II
19. Analisis varian terhadap data konversi msum pada Pembaan II
20. Analisis varian terhadap data berat telw/butir pada Percobaan IT
2 1. Analisis varian terhadap data tebd kerabang pada Percobaan 11
PENDAHULUAN
Sahh satu tujuan pembangunan nasional addah meningkatkan kualitas sumber
daya manusia (SDM) Indonesia yang maju dm mandiri. Masa yang akan datang kualitas SDM lebih dominan berpengaruh terhadap perkembangan bangsa dibandingkan dengan
kekayaan sumber daya alam (SDA). Untuk menghasilkan SDM berkualitas, perm
pendidikan dan gizi khususnya kecukupan protein hewani smgat mmenentukan.
Konsumsi protein hewani asal ternak per kapita penduduk Indonmia terus
rneningkat. Pada tahun 1969 konsumsi tersebut baru mencapai 4,43 kglkapitaltahun (daging 2,74 kg, telur 0.23 kg dan susu 1 -46 kg. Pada tahun 2002 jauh meningkat menjadi 14.29 kgkapitaltahun (daging 5,25 kg, telur 3,54 dan susu 5,50 kg) @itjen Petemakan, 2003). Tetapi konsumsi protein hewani asal ternak ini jauh di b a d konsurnsi di negara maju seperb Singapura, mengkonsurnsi 22.69 kg, Jepang 53.30 kg dan Amerika Senkat 73.0 gkapitalhari (Husodo, 2003).
Tanggung jawab sub-sektor peternakan kian hari semakin meningkat yang menuntut tidak saja kuantitas produksi tetapi juga produk yang beragam, berkualitas dengan harga yang bersaing. Kadaan demikian membuat produk peternakan seperti
telur menjadi penting karena harganya relatif te jangkau oleh sebahagian besar masyarakat Indonesia. Tingkat kesukaan m y a d a t yang tinggi terhadap telur
menjadikan telur sebagai produk utama dan anddan dalam upaya meningkatkan
konsumsi protein hewani.
Tantangan pernbangunan peternakan tidak Iepas dari sektor lain yang erat
kaitannya dengan sub-sektor peternakan. Tantangan tersebut secara tehnis erat htannya
sehingga temak belum dapat mengekspmikan performans produksi secara optimal. Oleh
karenanya masalah efisiensi produhi, kelangkaan produk clan kesehatan hewan terus
dibenahi agar produk peternakan memiiiki daya saing tinggi dan disukai rnasyarakat.
Efisiensi yang optimal sangat dhrapkan agar dipemleh keuntungan tinggi.
Peningkataa efisiensi di daerah tropis seperti Indonesia tidak maksimal karena faktor iklim meinpengar& proses pmhksi dan upaya p e w t a n prduksi telur. Diduga
ransum yang terkonsumsi kurang efektif d i g u n b selama proses pembentuh telur pada saat temperatur lingkungan tinggi. Pada temperabur lingkungan i d d diduga akan memberikan pengaruh positif terhadap proses fisiologis reproduksi ayam.
Prinsipnya terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi performans ayam yaitu
faktor genet&, ransum dan lingkungan temak. Ketiga faktor tersebut saling berinteraksi
mempengaruhi performans ternak. Ay am memiliki keterbatasan dalam menyikapi setiap perubahan lingkungan yang mempengaruhinya. Terutama pa& styam ras, ternak ini
diduga kurang adaptif di daerah tropis. Jika faktor lingkungan clan ransum tidak optimal
maka menjadi investasi penyebab cekaman (stms).
Temperatur dan kelembaban tingg~ serta kecepafan angin yang rendah terutama
pa& siang hari mempengarufii fungsi fisiologis ternak krutama unggas petelur. Ayarn
termasuk hewan berdarah panas (homeoterm) yang memilh kemampuan ter batas dalam
upaya mempertahankan suhu tubuh n o m l (homeostasis). Perubahan aktivitas fisik dan fisiologis terjadi dalarn upaya adaptasi terhadap temperatur linghngan tinggi. Ayam
mengurangi konsumsi ransum dalarn upaya mengimbangi beban berat membuang panas
Perkembangan temperatur lingkungan dalam satu hari terlihat seperb kurva nonnal. Terdapat tiga periode waktu makan, yaitu pagi, slang hari yang panas dan sore hari ketika tempsratur lingkungau t u r n menoapai kondisi idsalnya di bawah Z?C.
Temperatur ini tern turun dan pada dini hari sampai menjelang pagi relatif konstan
sekitar 2 3 k , sepert~ terlihat pada Gambar 7.
Subu
ymg berbeda pada settap periodewaktu tersebut mempengaruhi konsumsi ransum ayam.
Penyesuaian pemberian makan dengan melakukan perubahan waktu awal
pemberian ransum dari pagi ke subuh atau sore hari akan menempatkan ayam selama makan pada suhu yang ideal, 19 - 2 7 ' ~ (Leeson dan Summers, 2001). Alternatif
ini
diduga akan mengatasi masalah suhu tinggi pada siang han di daerah tropis basah. Kondisi panas tinggi selama ini berdampak negatif pada kemampuan ayam makan yangterbatas, penurunan efisiensi penggunaan ransum dan performans produksi telur (Brake
dan Peebles, 1 986 serta Harms, 1 99 I).
Perubahan waktu pemberian makan diduga dapat meningkatkan efisiensi penggunaan m u m ayam petelur. Perbaikan efisiensi secam teknis terlihat dari
kemampuan ayam mengkonversi ransum terkonsumsi rnenjadi telur sesuai standar
produksi telurnya. Secara ekonomis peningkatan efisiensi ini mampu menekan biaya
produksi terutama biaya ransum yang menelan 70% dari total ongkos produksi.
Ransum yang disediakan untuk ayam harus dalm jurnlah cukup dan mengandung
nutrisi yang lengkap
dan
seimbang. Memperhitungkan jumlah nyata nutrisi terkonsumsilebih penting dan besarnya kandungan gjzi ransum yang disediakan untuk ayarn tiap
hari. Dari jumlah ransum yang terkonsumsi harus mampu menyedlakan nutrisi dalam
Di daerah tropis ayam cenderung diberikan m u m yang pekat gizi yaitu
kandungan protein dan energi tinggi. Walaupun begitu kandungan protein tinggi dalam ransum dapat menimbuIkan tambaban pmas dari metablime pakan. Panas ini akan
sulit dibuang j ika temperatur d m keiembaban lingkungan kandang semakin tinggi.
Konsekuensinya adahh penurunan konsumsi numen penting dan kritis seperti asam
amino rnetionina clan mineral M i u r n .
Untuk mempertahankan performans produksi telur optimal (kualitas d m
kuantitas) maka dapat dilakukan suplementasi asam amino essensial. Metionina merupakan salah satu asarn amino essensial kritis clan menjadi pembatas kebutuhan asam
amino laionya. Maonina telah dibuat secara sintetis sehingga dapat disuplementasi
untuk memenuhi jumlah tertentu metionina ddam ransum.
Perubahan waktu pemberiam ransum pada saat suhu ideal diharapkan ayam
mampu memperbaiki konsumsi ransum dan nutrien sesuai kebutuhannya sehmgga
menunjang perbaikan performa produksi. Walaupun beberapa penelitian telah
memberikan kandungan protein dan asam amino metionina optimal tetapi hktor
lingkungan, stmn, jenk dan kualitas bahan penyusun m u m bervariasi dan belum lagi
standar. Hal ini menunjukkan bahwa rekomendasi tertentu belum selalu cocok untuk lingkungan yang luas karena berbagai fhktor yang mempenganh ayam petelur tersebut.
Berdasarkan tinjauan di atas maka d i l d d a n penelitian h i untuk melhat pengaruh perubahan waktu pemberiam ransum
d m
level protein ransum serta ransumyang disuplementasi metionina. Dlharapkan hasil p e n e l m ini dapat meningkatkan
efisiensi penggunaan ransum ayam di daerah tropis basah melalui waktu pemberian
Tujuan
P e n e U h
Penelitian ini bertujuan untuk (1) meningkatkan efisiensi penggunaan ransum melalui perubahan waktu a w l pemberian ransum (2) Menentukan interslksi perubahan
waktu pemberian ransum dan level protein ransum yang menghasilkan level protein
ransum optimal dan mendukung performs produksi telur optimal. (3) Menentukan
in t u b metionina optimal untuk ayam pete1ur di daerah tropis.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diberikan dari hasil penelltian ini adalah d i h p k a n &pat
memberikan informasi kepada plhak yang mernbutuhkan untuk memilih kapan waktu
TINJAUAN
PUSTAKA
Kamlderktik ayam pefelur
Ayam petelur mempakan ayam betma hasil persilangan untuk mengfiasilkan
ayam unggul dengan kualitas dan W t a s produksi tinggi dan palmg efisien menghasilkan telur. Beberapa sifat wggd tersebut merupakan ciri-ciri ayam tip pete1w
yaitu badan reMf kecil, rinmlincah, daya hidup tinggi, relatif wpat mencapai dewasa kelamin dan tidak memiliki sifat mengeram (North clan Bell, 1990).
Bekrapa breeder mengembangkan galur spesial melalui serangkaian persilangan
untuk menghasilkan Ayam dam komersd dengan warna telur coklat. Petelur coklat yang menjadi ciri khas wama ayam t i p medium iai dikembglm dari p i l a u r n dua breed
atau varietas. Varietas unggul tersebut adalah Rhode Isiand Red sebagai parent male line
@apak), disilangkan dengan Barred Plymod Rock sewparent female line (induk) (North dan Bell, 1990).
Selanjutnya Enseminger (1992) menyatakan bahwa produksi telur ayam petelur mklat rata-nta skitar 230 - 250 butir per d u n . Petelur ini mampu berproduksi telur
s e M ayam petelur dengan kerabang putih tetapi kerabang telur biasanya lebih tipis.
Walaupun begrtu wama kulit telur tersebut tidak ada kaitannya dengan kadmgan gizi
telur. Menurut North dan
Be11
(19901, ayam petelur coklat memiliki berat badan 30 -50% lebih berat dari ayam petelur dengan kerabang tehu putih. Ayam den- h a t badm
Regulmuri p a r s tubuh ayam petelur
Unggas termasuk hewan berdarah panas (homeothermic) yang memiliki kemampuan terbatas dengan kisaran sempit dalam mempertahankan temperatur tubuh
mendekati konstan melalui organ dalam (Homeostatis). D d m k e a d terbatas ayam
mampu menyeimbangkan neraca tennogemsis
dm
termolisis agar temperatur tub& konstan pada k i s m normaInya yaitu 40.6 - 4 1. ?C (North dan Bell, 1 990). Temperahu hlbuh ayam &pat berobah yang dipengaruhi oleh urnur, u k m tubuh, jenis kelamin,aktivitas muskular, metabolisme pakan, luruh bulu (molting) dan temperabr lingkungan.
Keseimbangan panas tubuh menurut Oluyemi dan Robert (1 979) diatur oleh pusat kontrol di hipotdamus.
Pada kisaran temperatur l i n g b g a n 1 8°C -26°C (Oluyemi dm Robert, 1979) serta 19
-
27OC (Leeson dan Summer (1997) merupakan temperam kritis bawah dm atas dari temperatur ideal bagi a m . Produksi panas tubuh ayarn minimal te rjadi pada temperatur23°C. Jika tempemtur lingkungan lebih besar dari tempertur kritisnya maka ayam
mengurangi aktivitas gerak, sayap jatuh dan melakukan panting (terengan-engah).
Secara fisiologi upaya homeostasis berlangsung rnelalui kerjasama sistem s yaraf dan horrnon Fypothalamic-pimitary adrenal cortical axh) (Yousef, 1 985). Pada kondisi dingin dibutuhkan energ i untuk menghangatkan tubuh, sedangkan pada saat temperatur
lingkungan panas maka dibutuhkan energi untuk membuang panas. Metabolisrne pakan juga menghasilkan panas, sebingga untuk menghindari beban berat membuang panas ke
lingkungan maka ayam mengurangi konsumsi ransum. -on dan Summer, 1 997).
jumlah
SHL
adalah 70 - 80% dariTHL.
Disamping temperatur lingkungan, SHL jugadipengaruhi secara positif oleh luas permukaan tubuh. Pada temperatur lingkungan tmggi
3 ~ O C , 60% panas tubuh dibuang meldui kerja panting (insensible heat loss/ IHL) .
Mekanisme pelepasan panas melalui prrnting paling efektif dihkukan pa& saat
kelembaban rendah. Ayam melepas panas berupa uap air yang dibawa melalui sduran pernapasan dalarn proses respirasi. Proses ini berjdm baik jrka kelembaban udara
(moisture) lingkungan kandang tid& jenuh dm angin &pat menggedkm udara di sekitar ayam ke luar kandang. Pada saat ayam tidak mampu melepas panas ke lingkungan secara baik maka a y m mengalami cekaman. Basamya p e n g a d tersebut tergantung pada kernampuan ayam beradaptasi & M a p pengaruh c e h tersebut (Shigari clan
Mehta, 1999 serta Reddy, 2000).
Cekaman menyebabkan pembesaran kelenjar pituitary anterior, diduga karena
naiknya produksi Adreno Cwtico Tropic Humon (ACTH) ; pabesaran adrenal karena
htpertropi internal ; penurunan kolesterol adrenal bersamaan dagan peningkatan output
kortikosteron. Pada saat cekaman brjadi penqkatm sintesis honnon glukosteroid (Kortikosteron) mencapai 250% di atas normal. Keadaan inilah yang mengakibatkan perubahan-perubahan fisiologis unggas (Jibfez, 1968 dm Sturkie, 1987).
Temperatur panas menghambat pemasukan yodida ke dalam kelenjar tiroid. Pada temperatur tinggi konsentrasi T3 dan laju sekresi honnon tiroid rendah sehingga berpengaruh pada sintesis protein serta laju metabolisme basal. Penurunan fungsi tiroid disebabkan honnon kortikosteroid meningkatkan selaesi yodium melalui urine sehingga menurunkan konsentrasi yodida d a b darah dan mengakibatkan pasokan yodida pada
prmhksi telur. Oleh karena itu panas tinggi mengham?mt produksi telur clan pertumbuhan optimal (Djojosoebagio, 1990).
Pada kondisi hiperthermia tersebut, terjadi alkdosis respirasi, konsentrasi plasma
C 0 2 menurun dan kemurllan d d d dengan elminasi e k s t d ion bikarbonat ke luar ginjal yang mempengaruhi peningkatan pH darah pada nilai nonnal (Wahju, 1988). Keadaan ini menimbulkan kompetisi l a n g s q memperoleh ion bikarbonat antara ginjal
dan uterus. Pa& saat bersamaan aliran darah ke organ internal termasuk oviduk untuk
ddam rangka penurunan temperatur tubuh dan konsekuensinya adalah pmurunan ketebalan kerabang (I-bzeiwM 1983h seperti yang &]elaskan dari Gambar 1.
Plasma
Keleajar
kulit
Cairan
sel mukosa
kelenjar
Cat+ ca"
HCO,
-
Metabolic COZGslm bar 1. Proses kirnia pembentukan kerabang telur ayam. Konsumsi ransum dan out&i untuk ayrm petelur
Kebutuhan nutrisi ayam ditentukan oleh perubahan dalam penyeban energi
untuk m e m p e w temperatur tub& normal. Pada ayam yang dilrandan&an, kondisi
lingkungan nyaman. Rata-rata pertumbuhau dan produksi telur rnaksimal beriangmg di bawah kondisi iingkungan opbmal.
Sulit diprediksi kebutuhan nutrisi yang tepat, di bawah pengaruh temperatur
tinggi. Selain bergantung pada kandungan energi, faktor Iingkungan sepertl kelembaban,
kecepatan angin clan tingkah laku, besar pengaruhnya pada kemmpuan ayam makan
sesuai kebutuhamya (Daghir, 1998).
Pada
temperatur lingkungan lebih ksar dari ~o'c,persentase penurunan konsumsi ransum lebih besar dibandingkan dengan temperatur
di
bawahnyq seperti terlihat pada T a w 1. Konsekwensinya adalah penurunan inlake
nutrien, produksi telur,
ukurrln
telurd m
pertumbuhan (Chawalibog dan Baldwin, 1 995). Tabel 1 . Hubungan kenaikau t e m p e m dengan konsumsi ransumNo Sumber Kisaran temperatur Setiap kenaikan p e n g a t a n (Or) temperatur ("C)
- -
1. Emman & Charles ( I 977) - - 21.0 1
2. Sykes dalam Yousef < 20.0 1 (1 985)
20.0
-
30 13. North & Bell (1990) 15.6 -21.1 0.6
21.1
-
26.7 0.626.7 - 32.2 0.6
32.2 - 37.8 0.6
P e n m a n konsumsi
1.6 kkal
2.3 kkal
Kebutuhan protein ransum ayam petelur di daerah tropis menurut CPI (1997) yaitu 17% dm energ 2800 kkal dengan konsumsi ransum 100 glekorlhari. Leeson dm Summers (1997) menyatakan kandungan protein ransum 17% dan energi 2780-2820 kkal, konsumsi ransum 100 glekorlhari marnpu menghasikan produksi telur tinggi.
Menurut Wahju (19881, kandmgan protein ransum 15.5%, energi 2700 kkal dan
konsumsi ransurn 110 glekorkan, setara dengan intake protein 17 glhari, mencukupi
Peningkatan kandrmgan protein ransum hnggi tidak efektif karena kelebihan
intake protein
akan
terbuang dan jika dirombak m e n j d energi, metabohsmenyamembutuhkan energi yang lebih besar
(Leeson
dm Summer, 1997). Menurut SuzukiTabel 2. Kebutuhan proteinlhari ayam Leghorn putih selama periode I dan ZI produksi telur
Protein dibutuhkan untuk Periode I (@ham) Mode
Tl
(glharr)Proctuksi sebutir telur 12.2 13.5
Protein hbuh @ d q pokok) 3 -0 0.0
-
(19881, pada kmdisi panas lmgkungan
tin@
ransum berprotein rendah kbih baik karena 34Y~nya berubah menjadi panas sedangkan lemak hanya 1.7%.Penunrnan kaadungan protein ransum -gar& positif pula penmum harga
ransum tetapi keseimbanggn zat nutnsi penting mtuk pruduksi telur sepetti asam amino lrritis (metionin, b i n dan triptopan) terganggu. Konsedmsi metionin
dalam
ransum haruscukup karena pada saat tertentu mampu menutupi defisiensi asam amino sulfur lainnya
sepeh sistin (Anggord, 1997).
Ransum dengan protein rendah, mengandung serat kasar tioggi. Hemisellulosa merupakan karbohidmt yang
tidak
Iarut d a b
air.
Beberapa penelitiau @a unggasmemperlihatkan ayam mendapatkan sejumlah energi dari hemisellulosa, meskipun hewan
tidak mensintesis enzim yang & p e r k
untuk
menghidrolisisnya. T3eberapa hidrolisis [image:28.618.67.499.23.761.2]Konsumsi kalsium dan fosfor ayam pada periode bertelur cukup tinggi, dan
harus
disediakan dalarn jumlah mencukupi dan seimbang (Carnarius et al., 1996 ; Roland ef a!.,
1W6). Kecukupan kalsium dan fosfor kgantung pada penyediaan mineral tersebut
dalam ransum, rasio Ca dan
P
dan adanya vitamm D. Pa& kondisi tropis penyedraannya harus mmpalirnbangan junk& mineral yang rnampu diabsarbsi. Jika konsumsi ransumdbatasi oleh temperatur dan intake energ maka secara langsung berpengaruh pada intake
Usium, fosfor dm mineral Iainnya (Leeson dm Summer, 200 1).
Menurut Clunies et al. (1 992), pemberian ransum yang magandung kalsium
4 -5% temyata mengfiasilkan berat telur dan kerabang yang berbeda d e n p perlakuan 3.5
dan 2.5% kalsium, tetapi terhadap produksi telur tidak berpengamh. Balnave (1996)
menyatakan bahwa kmsenmi mineral ddam ransum dapat dibngkatkan untuk
mengantisipasi penurunan konsumsi ransum pada saat ternperatur lingkungan tinggr
.
Pada level 5% kalsiumdalam
ransum menurut Roland et al. (1 996) ayam petelur mmpu rnemperbaiki kualitas kerabang .Kebutuhan kalsium relabf rendah kecuali waktu proses pembentukan telur
(Leeson dan Summer, 1997).
Jika
kalsium dari makanan tidak mencukupi untukkebutuhan tub& clan produksi maka kecukupan kalsium akan diambil dan cadangan kalsium tulang yang disimpan pada tulang-tulang lunak dan rmckeculae dari tulang pipa (Clunies et al., 1992 serta Keshavarz dan Nakajima, 1993).
Pencemaan d m a h o r h i nutrisi
Pencemaan enzimatlk merupakan pencemaan makanan yang utama pada unggas.
khirnotripsin, peptadase, &pepticlase yang men&drolisa protein
dan
peptida tertentuke dalarn asam amino (Harper, 1992). Kenyataannya lebih banyak enzim dibutuhkan
untuk pencernaan protein dari pada unhk pencernaan zat n u h i lainnya. Hal tersebut
bsebabkan karena setiap enzim dikhususkan untuk menghidrolisa pertautan-perhutan
tertmtu d a b rndekul protein.
Pen-
sellulosa dan karbohidrat komplek olehmikrobial dalam usus bmtu kurang penting bagi unggas (Anggorodi, 1 997).
Absorbsi protein berupa asam amino terjadi di dalam usus halus. Kemampuan
penyerapan makanan meningkat karena usus halus mernbentuk lekukan
(a)
pa&pennukaan Iapisan dab mukosanya.Cara demikian luas pxmukaan usus
halus. Zat nutnsi (asam-asam amino) diserap ke darah portal dan peredaran M e (tractus circuhorius), kern- ke hati. (leeon dan Summer, 2001).
Campuran asam amino yang diserap dari ransum harus memiliki kompsisi yang
sama dengan komposisi protein yang disintesis mtuk telur. Proses ini jadi kurang efisien jika komposisi asam amino yang diabsorbsi dan ransum berbeda dengan komposisi
protem jarin- yang akan disintesis. Proses ini ktap berlangslmg rnehlui proses
penyusunan kembali nitrogen secara metabokk. Nitrogen asam amino essensial yang berlebihan dipin* dm digunakan untuk sintesis asam amino non essensial untuk
membentuk protein dalam j& kecil (Anggoroh 1997).
Mineral sebenarnya tidak
rnm&ni
pencernaan tetapi hanya diserap dari sahmn usus. Absorbsi Ca te jadi setelah 30 menit ayam makan dan lebih 60% terjadi dloviposisi dan bagiarr dari intestinal. Konsentrasi Ca terbesar ada di duodenum, 16 jam setelah oviposisi y a k 68 milliequivaledl supernatan.
Kalsium dan fosfor, harus disediakm d a b j d a h mencukupi dan seimbang,
terutama saat ayam krproduksi telur. Penyediaan kalsiurn 3.5 - 4-00! dalarn ransum,
hanya 50% yang d i r m i (Wahju, 1987).
Pada
pH < 6 efisiensi penyerapan mineral kalsium dan fosfor meningkat. Penyerapan kalsium tidak efektif ketika vitaminD3,
asamamino &hiemi dm dan fosfor kurang b gsimbang ddatn saluran pencemaan. Rasio Ca :
P
optimal dalam ransum ayam ras petelur adalah 6.5 : 1 atau sama dengan 3.25% :0.5% (Anggmodi, 1 997).
Usayran
d m
Balnave (1995) menyatakm bahwa retensi fosfor absolut rnaksimumterjadi pada temperahrr 18OC yaitu 228 mglhatr, sedangkan pada tempmtw 30°C adalah 204 mg/hari. Absorbsi fosfor dibantu oleh suasana asam dalam saluran usus. Pada pH <
6 e6siensi penyerapan kalsium dan fosfbr meningkat. Penyerapan kalsium dari saIuran pencernaan kernunman tidak efektif k e t h nutria lainnya seperb vitamin D3, asam
amino
dan fosfor sedang kekurangan dalam sistem penoernaan.P m s pembentakan telur ayam
Ovarim bertanggrmg jawab membentuk se1 telur (ova). Terdapat sekitar 12.000
butir ova berukursln mikro, tetapi hanya sedikit (200-300 butir) yang mencapai matang
dan diovuhsikan. Omrium menghasikau hormm estrogen, progesteron dan testostemn
yang berguna selama proses pembenhkm ova. Ketersediaan nutnsi sangat
mempengaruhl perkembanpn ova dalam ovarium (Stmk, 1976).
kutikula k&ganya bequmlah 1 1 .OO?. Nilai nutrisi sebutir tella, 65% adalah air, protein
12%, lemak 1 1 %, karbohidrat 1 % dan kandungan abu 1 1 %. Kuning tefur bukanlah sel
r e p r o d w tetapi merupakan sumkr material makanan (Stadehnan dan Cotterill, 1977).
Sel telur hbentuk dari sejumlah besar material h gtelur yang dihasilkan oleh
hab
dan diangkut olehdarah
menuju ovarium. Estrogen rnenstirnulasi perkembanganpembenhkan protein kuning telur dan forrnasi lipid oleh hati, peningkatan ukuran
oviduk, protein albumen, membran cangkang, kalsium karbonat untuk pmkntukan
cangkang clan kutikula (Ensminger, 1 992 dan Etches, 1996).
Perkembangan ova dipengaruhl oleh h o m n FSH (folicle stimulating hormone)
clan mencapai matang dalarn waktu 10 hari
(Rose, 1997).
Konsentmsi hormonprogesteron rendah menyebabkan hpotalamus melepsskan hormon LH (Lutheintg
Hormone) dari anterior pituitari pada waktu pre-ovulasi. Pada gilirannya fokel ovarim
akan pecah pada lokasi stigma dan melepaskan ova ( C d g h a m et al. (1 984).
Ova masuk ke oviduk dan pada organ ini terjadi proses pembentukan telur sampai
oviposisi. Pernbentukan put& tehrr (sintesis albumen) terjadi di magnum dan dibantu oleh
hormon estrogen dan progesteron. Selaput kerabang dibentuk di isthmus clan kerabaag
telur di uterus. Pada daerah ini disekresikan W u m pertama, shell matrix, pigmen dan
kutikula (Wells dan Belyavin, 19871, seperh terlihat dan Gambar 2.
Deposisi kaIsium kerabang terbesar berlangsung %lama 6 jam dari 24.5 jam siklus pernbentukan telur ( Wahju, 1 988). Deposisi ini yaitu terjadi selama periode gelap, ketika ayam tidak sedang akbf makan (Rose, 1997). Menurut (Wilson dan Cunningham,
r
Magnum
Tubular shell gland
Shell gland pounch
1
Sekresi
YolkKhalaza
Albumen tipis dalam
Albumen tebal tengah
Selaput rnembran
Ca, matrik cangkang
[image:33.618.78.478.48.285.2]pigrnen & kutikula
Gambar 2. Sahrran repduksi ayam dan prom pembentukan telur dalam oviduk (Wells clan Belyavin, 1989)
Proses ini berjalan lancar jika tersedia kalsium dalam jumlah cukup dalam ransum
kalsifiasi kerabang
.
Kemampuan mengkonversi vitamin D3 menjadi bentuk akti fPerubrmhn waktu pemberian ransum d m pengaruhnya terhsldap performans produksi telur
Pada daerah trapis seperti Indonesia matahari bersinar rata-rata selama 12 jam
dan terus turun pa& kisaran sempif menjelang pukulO5.00 subuh (BMG Atang Sanjaya, Bogor, 200 1 ), seperti terlihat pada Gsrnbar 7 .
T e q m a h n tinggi m e m p e n e d i penumm ko11sumsi ransuin ayam. Pada
temperam lingkmgan nyaman ayam mampu makm sesuai kebutuhannya untuk
m e n g h d a n produksi optimaI. Rao
dan N
-
( 1 9 8 ) melakukan perobahanwaktu pem- makan di daerab tropis yaitu pada saat temperatur nyarrm, malam hari.
Perubah tersebut berpengmh pada ketemdkn nutrien, besar teIur, w&u yang
diperlukan dalam proses pemhtukan telur dan waktu peneluran (oviposisi).
Samsua et a!. (19%) tidak sependapat dan mendapatkan bahwa waktu pemberian
ransum dan temperatur lingkungan pada saat ayam makam tidak memperbaiki waktu
penelm, ovulasi atau waktu transit telur
di
sepanjang oviduk. Kombinasi perlakuan inij u g tidak menghasilkan pengaruhnya pada rata-rata produksi telur ayam petelur pembibit Hamhatan fisiologis karena pengad maksimum thenmgenik siang hari
ternyata tidak berpengaruh nyata terhadap ayam yang &an malarn hari. Padahal upaya
menjaga tempatur tetap kotzstan ( ~ ~ M I X X J S ~ ) kbih berat pada ayam yang d i i makan
pagi dibandingkan dengan malam hari (DM,1997).
Perubahan wakh pemberiau ransum m e m p e n w penurunan konsumsi ransum.
Konsekuenshya adalah terjadi p e n m a n intake nutrien (Samara et a/., 1996 ; Rao clan
N a g h k h i , 1998). Lama pemberian cahaya
tambahan ( M c i a l
light) saat makan malamhari
dapat mempengarulu konsumsi ransum. Pencahayaan yang baik untuk ayarnsedangbpduksikhmadalah 16jamdan8jamgeIap(16L: 8
D).
@rake, 1985). Menurut Rose (1 997), Ovulasi dikmlroI oleh pe1qmsan hormon
LH
(Lutheinizing Hormone) pada waktu pre-ovulasi yang hanya berlangsung pa& periodeterbatas setup hari dan disebut sehagai paiode terbuka. Periode
ini berlangsung
8 - 10 jam clan dkontrol oleh waktu biologis.Lebih h j u t din- bahwa h y a menrpakan stimdan u k m untuk
mengontrol w a b biologis. Peningkatan aktivitas peneluran 16,5 jam setelah dimdainya
periade s l a p sebe1umnya. Ayam petelur yang d r p e h dalam keadaan gelap masih nyata ada waktu biologisnya yang memberi respon pada variabel iingkungan lainnya, seperti terlihat pada Gambar 3.
1
Aktivitas1 8
Keterangan : in = hfundibulum ; M = Magnum dm i s = Isthmus
I
Posisi ovum di
~ ~ i d u k
Nordstrom (1973) menyatakan bahwa perkembangan pembentukan telur Umumnya aktiv
ter1amh sekitar 2 jam pada tempmtm 3 2 ' ~ &hdingkan dengan temperatur 2 1 ' ~ .
Tidak aktiv
1
1
Bertelur(
I
Progesteron Saat bertelur J
K e t d a a n zat nutrisi mempenpnh masa pembentukan telur, konsisknsi produksi
i
n
t e h dm jumlah telur pada setiap periode. Ayarn dengao masa pembentukan khu 27 jam
5
M i
hanya mampu berteh 3 hari berturut-tumt ; untuk periode 26 jam ayam mampu 5 M i berteluc berturut-twut ; sedan&m untuk periode 25 jam mampu bertelur sekitar 9 kali
khmt-tmit (Rose, 1997 dan Tako et al., 2002).
Temperatur lingkungan tmggi manpen- penunman berat telur rata-rata 0,4
gPC. Pen@ tersebut lebih besar terutama pa& kisaran temperatur 26,5 - 35OC. (Ahvar et al., 1982). Kualitas kerabang juga mengalami penurnan jika temperatur
lingkungan rnenqkat di atas 25°C pada siang hari (Yousef, 1985). Pemberian makan
pada sore saat temperatur nyarnan menghasilkan perbaikan kualitas kerabang (Wilson
dan Keeling, 1991). Rao dan Nagalashmi (1998) rnenyatakan bahwa kejaclian kerabang jelek dan lunak di daerah tropis (India) bervariasi antam 2,4 - 16,1% (rata-rata 7,77%)
dari mua telur yang dikoleksi pada keadaan normal. Insiden kerabang klur jelek meningkat 2 1 % pada saat temperatur lingkungan panas tertinggi.
Beberaps penelitiau sebelumnya menunjukkan bahwa c e W p a s
menmbatkan p e n m a n sigrufikan pada a k b W reproduksi. Mamfestasi dari besarnya
p e n g a d cekamau addah pada penurunan pr&i telur clan kualimnya. Kondisi
ini
juga menunmkan berat ovarium dan oviduk (Tako et al., 2002).
Kualitas luar klur seperti BJ (Berat Jenis) dipengarutu okh temperatur dart rat&
rata yang diperoleh berkisar 1,068 - I , 1 (North dan Bell, 1 990). Nilai Haugh Unit yang diperoleb adalah seldtar 86% (Stadellman dan Cottea 1977). Waktu pemberiaa ransum
dan ternperatur tinggi yaitu 3 9 ' ~ signifikan menurunkan berat telur, BJ telur dan
Suplementasi metionin dalam ransum
Metionin rnerupakan salah satu diantara polimer asam amino yang membentuk protein.
Asarn amino merupakan dertvatif asam lemak rantai pendek yang mengandung grup
amino dasar ( - N H 2 ) dan p u p karboksil pernbentuk asam (-COOHI seperti terlihat pada
Gambar 4.
Otl
CII3 - - S - CH2 - CH2 CII
-
COO11N 142
Gambar 4 Struktur mclckul mcti:atin
Anggorodi (1997) tnenyatakan, lnetionin terdapat dala~n bentuk D dan L atau
daIm bentuk keduanya, tetapi hanya bentuk L yang sailgat penting dalanl protein interselu?ar Asam amino ~nctionin dalam hallan rrlaka~~ar~ adalatl di!lam bcnttrk 1,- metionin. DaIam bentuk ini, L-metionin relatif trscbut dapat tercerna sampai 100 persen.
Metionin dapat dperoleh dalam bentuk sintetis. Metionin pada unggas dapat
dibentuk dari homosistein atau dari lnetionin hidroksi analog {MHA). MEW tidak
' memiliki gugus NHI dan dalam benhrk ini dig~makan ~mtuk rarlsuln aneka ternak unggas.
Gugusan metil yang labil dan senyawa karbo~l sulfur menyebabkan metionin bariyak
digunakan dan serbaguna.
Metionin rnerupaka~l asam amino essensral kritis disamping lisin. Kecukupan metionin sangat dibutuhkan untuk pertunlbuhan dan produksi telur dan juga dibutuhkan
untuk meny ediakan belerang (sulfia) guna sintesis sistit~. Kebutuhan asanl amiilo yang
mengandung belerang pada unggas cukup tinggi karena diperlukan juga untuk
terlihat pa& Gambar 5. Metionin juga dapat diuball kc dala~n taurin yailg diperlukan dalam penylsunan gararn empedu (Anggorodi, 1 997):
Metionin merupakan satu diantara dua asam amino yang dibuat secara sintetis.
Lisin juga telah dibuat secara sintetis dan sama-sama memilik~ banyak kegunaan dalarn
tubuh. Asam amino tersebut berada dalanl jumlah ~nencr~kupi di dala~n darah apabila ransurn cukup atau diperkuat oieh asam amino tersebut. Metionin dapat
disuplementasrkan dalam ransum sesuai dengan kebutuhan kandungin metionin ransum.
Metionin yang diccrna
I
Metioilin
.\
Metionin dalam dala~n
+
Meltonir~ yang dieks-sirkulasi krcsi urine dan feses
j a r
.
1
I
Kreatin
Homosistein Kreatinin
Rantai karbon /
f
Sistein
I
\
$
Energy1 ,
Taurin Kholin betainKhondroitin Sulfat
Sistin dalam lemak Taurin
j aringan Heparin
Garnbar 5 . Mekanisme metabolisme metionin
Otot berperan sebagai cadangan lebih dari 50% asan amino tubuh. Hati merupakan tempat sintesa enzim siklus urea yang diperl ukan untuk membuang sisa
nitrogen. Otot dan hati berperan penting dalarn rnenentt~kan kadar amino dalam sirkulasi
&ah. Ketidakseimbangan t n r n amino berakibat pa& penurunan kinerja produksi karena
Summers et al. (1W1) m e l a p k i n bahwa ayam yang mengkonsumsi ransum
mengandung 10% protein dengan suplementasi kin, metionina, arginin dan triptofan
menghasilkan energi metaboh (EM) 11% lebih besar dari ayam yang mengkonsmi
ransum mengandung protein 17%. Keshavan dan Jackson (1992) tidak mendapatkan
E M
(energ mehhlis) optimum stat ayam mengkonsumsi ransum 15, 14 dan 13% protein plus metionina, lisin, triptoh dan isoleusin.Oluyemi
dan
Robert (1979) menyatakan bahwa kebutuhan protein ayam petetur didaerah tropis adalah 15% &n energi antara 2650
-
2850 kkd. Pa& temperatur moderat,ayam petelur diberikan makan
den-
ransum yang mengandung ME 2640 kkal, konsurnsi ransum I16 dekorlhari, drperoleh produksi hen day 75%. Uzu (1993)perhitungan pakan h & a n menggudcan nilai asam amino tercerna bisa lebih tepat untuk
dapat memenuhi kebutuhan ayam.
Beberapa penelitian sebelurnnya rnenunjukkan suplementasi metionina clan lysin
sintetis pada ransum kontrol n e w m e n q k a k m performans produksi telur (Keshavarz,
1991). Harms dan Russel (1993) mendapatkan produksi telur, bemt telur, prcduksi massa
teb, dan konsumsi ransum yang tidak berbeda autara ayam petelur yang mendapat ransum kontrol (protein 15%) dengan ransum protein 12%
+
asam amino essensial.RPAN (1993) menyatakan bahwa kebutuhan metionma ayam petelur ttpe medium pada temperatur tmggi (30°C), kandungan protein 17% dan energ 2700 kkaVkg ransum
dengan konsumsi 100 dekorhari adalah 0,38%. Pada temper;ltur sama tetapi protein
18%, energi 2850 kkal dan konsumsi 95 g/ekor/hari kebutuhan metioninanya adatah
dan kmhg telur dihdingkan dengau ayam yang mengkonsumsi 326 mglHD. Konsumsi metionina 392 dan 423 rnw menghasilkan kandungan protein telur yang lebih tingg
dibandingkan dengan 328 dan 354 mg/HD.
Ayam petelur yang mengkonsumsi metionina dalam jumlah optimal menunjang
untuk mengbasillran produksi te1w maksind. Konsumsi tersebut optimal jika konsmsi tersebut dapat memenuhi kebutuhan hldup pokok, tersimpan dalam jaringan dm telw serta untuk pertumbuhan bulu. Kebutuhan metionina tersebut adalah s e b 0,2750 glekorlhari. Jika efisiensi pen- metionina addah 76% maka ayam yang sedang
bertelur diiutubkan metionina 0,36 g/han (Wahju, 1988).
Defisiensi metionina meny ebabkan gangguan pada proses-proses metabolisme
dalam tubuh ayam. Metionina
adalah
bahan dasar untuk pemktukan protein. Jikaterjadi defisiensi rnaka proses pembentukan protein secara keseluruhan mengalami gangguan sehingga kemungkman &hiensi protein akan terjadi pada tahap berjkutnya.
Defisiensi metionina atau protein ringan hanya akan mengdabatkan p e n w a n pertumbuhan sesuai dengan derajat debiensinya (Griminger, 1976).
Tingkat protein ransum hams disesuaikan dengan hgkat energt dalarn ransum,
defisiensi protein dapat juga disebut dengan kelebihan energi. Oleh sebab itu defsiensi
protein menyebabkan p e n i m b w lemak dalam jaringan-jaringaa tubuh. Ayam tidak
dapat memperpakan energi sebaik-hahya berhubung
ransum
tidak mengandungprotein atau asam-asam amino dalam jumlah cukup untuk pertmnbuhan dan produksi
Defisiensi protein atau sebuah asam ammo tunggal yang yang hebat, menyebabkan ternak mengalami kehilangan pertumbuhan. Defisiensi metionina ini
mengakibatkan ayam tidak mampu memenuhi kebutuhan pembentukan protein untuk
produksi sehingga produksi telur turun dengan tajam atau berhenti sama sekali. Defisiensi
ini secara
ekonomis sangat merugrkan
sehingga m e n u n d m keuntungan (Ahmad dmRoland, 2003) .
Kelebihan protein, meskipun semua asam amino essensial dalam keadaan
seimbang, meqaki'batkan p u n m a n pahmbuhan, penunman penimbunan lemak tub&
dan k d a n asarn urat dalam darah. Kelebihan protein dapat juga mengalcibatkan
pembesaran kelenjar adrenal clan rneningkatnya produlrsi adrenocorticosteroid.
Peningkatan konsentriisi homon ini kemungkman akan mempengaruhl h g s i fisiologis
o r w lainnya pada tubuh (Wahju, 1988).
Keleblhan intake metionina secara spesifik rnempengaruhi keseimbangan
kebutuhan
asam
ammo lam dalarn pembentukan protein. Keadaan ini menghambatpertumbuhan dan juga mengaluIbatkan pemborosan energi yang dikomumsi (Parakkasi,
1983). Kektsediaan metionina jika tidak
diikuti
d q g n ketersediaan asam amino lainnya dalm jumlah seimbang rnaka kelebihan asam amino diuraikan lagi dan prosesMATERI
DAN
METODE PENELITIAN
Penelitian ini terdiri atas dua percobaan. Percobam I yaitu interaksi waktu pemberian ransum clan kandungan protein ramurn. Jika performs belum mencapai
optimal, dilanjutkan ke Percobaan II dengan mensuplementasikan metionina pada ransum basal,
dan
waktu pemberian ransum sesuai d e w waktu terbaik hasil Perwbaan I.Percobaan
I
Tempat dan waktu penelitian
Percobaan I dilaksanakan di Laboratorium Unggas Lapangan UPT Fakultas
Petendcan IPB, Bogor, berlangsung selama 14 minggu, mulai b u h April sampai dengan Agustus 2001. Analisis kimia ransum dilaksanakan di Laboratorium Kirnia Terpadu FMIPA IPB.
lahan dan wht
Percobaan ini menggunakan 162 ekor ayam ras petelur strain Isa Brown produksi
PT.
Charoen Pokhpand Indonesia (CPI) dengan merek dagangCP
909. Ransum disusun berdasarkan hdungan energi dm protein ransum dengan k a n b g a n protein 12% ; 15% dan 18% dm kandungan energ sama, 2650 kkalflcg ramurn untuk ketiga jenis ransum tersebut. Ransum diaduk dengan m k e r di pabrik makanan temakPT.
INDOFEED, Bogor.Komposisi bahan penyusun ransum untuk P e r c o b I d a p t dilihat p d a Tabel 3.
Persentase bahan penyusun ransurn penelitian tersebut drhitung berdasarkan analisis
Tabel 3. Bahan dan komposisi bahan penyusun ransum penelitian
Bahan-bahan Persentase protein msum
No penyusun ransum Ransum 1 2% Ransum 1 5% Ransum 1 8%
(PI) )
1
1 J a ~ g 47,73 43,80 39,60
3 Tepung ikan 3,50 7,20 10,60
4 Bungkil kedele 5 9 9,20 13,70
5 Bungkil kelapa 6,70 1 1,30 13,80
6 CaCo3 4,m 4,m 4,m
7 Tepung tulang 1,50 1,50 1,50
8 Premiks 0,25 0,25 0,25
9 Minyak keiapa 3,OO 3,m 3,OO
Keterangan : Ransum disusun berdasarkan analisis prnksimat bahan ransum di
Laboratnrium Kirnia Terpadu IPB (200 1).
Tabel 4. Hasil analisis proksimat bahan-bahan penyusun ransum penelitian
No Bahanmum IkergiMeta Pro5ein Lemak SK A h Ca P
blisme (kkal)** --- *-- %
---
- **-------
1 Jagung kuning 3370 823 4,13 2,m 1,84 0,02 0,lO
2 D& halus 1630 9,96 10,14 12,oO 12,16 0,12 021
3 Bungkil kedele 2240 3735 0,90 6,m 7-73 0,32 029
4 Bunglul. kelapa 1540 19,9S 11,# 15,oO 21,86 020 0,20
5 Tepung lkan 3080 52,38 9,OS 1 ,OO 3,58 5,50 2,80
7 DCP 19,99 14,42
8 Minyak 8600*
Ketecangan : Has11 h i s proksimat d~ Laboratorium h aTerpadu IPB, 2001
*) Mengacu pada (Wahju, 1985). SK = Serat Kmar. DCP = DUsium Phosphat
**) Energs Metabohme = 0.75% bergj Emto.
Alat perlengkapan kandang yang diguu&an selama penelitian Percobaan I adalah kandang dengan ukuran P x
L,
18 x 3 m dan terbagi atas tiga unit kandang dengan &wan masin