• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN YURIDIS PENGEDARAN OBAT FARMASI TANPA IZIN EDAR (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 100/PID.SUS/2018/PN.SKT)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN YURIDIS PENGEDARAN OBAT FARMASI TANPA IZIN EDAR (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 100/PID.SUS/2018/PN.SKT)"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN YURIDIS PENGEDARAN OBAT

FARMASI TANPA IZIN EDAR

(STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR

100/PID.SUS/2018/PN.SKT)

Fitri Nursetiani

Fakultas Hukum Universitas Islam Batik Surakarta

Fitri.setiani98@gmail.com

Abstrak

: Penelitian ini bertujuan untuk (1)Untuk mengetahui penerapan sanksi pidana

terhadap peredaran sediaan farmasi obat tanpa izin edar berdasarkan Undang-Undang

Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. (2) Untuk mengetahui bagaimana upaya

penanggulangan terhadap peredaran sediaan farmasi obat tanpa Izin edar.

Penelitian ini

merupakan penelitian normative. Data yang digunakan dalampenelitian ini adalah data

sekunder, yaitu data yang diperoleh dengan mempelajaribahan pustaka yang berupa

peraturan perundang-undangan dan literature lainnya yang behubungan dengan masalah

yang dibahas. Teknik analisis menggunakan analisis normative kualitatif.

Hasil penelitian

yang dilakukan dapat ditarik kesimpulan yaitu (1)Tindak pidana pengedaran dan

penyalahgunaan sediaan farmasi tanpa izin edar sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang No.36 tahun 2009 tentang kesehatan adalah tindak pidana pengedaran dan

penyalahgunaan sediaan farmasi yang berupa obat, bahan obat, obat tradisional dan

kosmetik yg belum diregistrasi oleh pemerintah. Dalam hal ini menteri kesehatan yang

berhak memberi izin edar. Syarat sediaan farmasi diberikan izin edar adalah sediaan

farmasi tersebut telah lulus uji dari segi mutu, keamanan dan kemanfaatan.Kata kunci:

Tindak Pidana, Izin Edar, Obat.(2) Dalam penerapan sanksi tindak pidana pengedaran dan

penyalahgunaan sediaan farmasi tanpa izin edar yang diatur dalam pasal 197

Undang-Undang No.36 tahun 2009 Tentang Kesehatan, rumusan yang terdapat dalam pasal ini

adalah setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi

dan atau/alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal

106 ayat (1).

Kata Kunci

: Tindak Pidana, Izin Edar, Obat

1.

Pendahuluan

I

ndonesia menghendaki agar hokum selalu ditegakkan, ditaati dan dihormati oleh siapapun tanpa adanya pengecualian. Diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “Indonesia adalah Negara Hukum”. Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan yang ada di Indonesia, membawa masyarakat pada suatu tatanan hidup yang serba cepat dan praktis. Semakin tinggi peradaban suatu bangsa maka semakin maju pula ilmu pengetahuan yang berkembang dalam bangsa tersebut.Apabila kemajuan ilmu pengetahuan tidak diimbangi dengan semangat kemanusiaan, maka berpengaruh pada akses yang negatif.Munculnya tindak pidana baru pada

(2)

bidang ilmu pengetahuan yang berkembang tersebut.Yang menimbulkan gangguan ketenteraman, ketenangan dansering kali menimbulkan kerugian materil maupun immateril bagi masyarakat.

Tindak pidana merupakan suatu bentuk perilaku penyimpangan yang hidup dalam masyarakat, yang artinya tindak pidana akan selalu ada selama manusia masih ada di muka bumi ini.Hukum sebagai sarana bagi penyelesaian problematika ini diharapkan dapat memberikan solusi yang tepat.Oleh karena itu perkembangan hukum khususnya hukum pidana perlu ditingkatkan dandiupayakan secara terpadu.Kodifikasi, unifikasi bidangbidang hukum tertentu serta penyusunan Undang-undang baru sangat dibutuhkan untuk menjawab semua tantangan dari semakin meningkatnya perkembangan tindak pidana.

Ilmu kesehatan adalah salah satu bidang ilmu yang mengalami perkembangan paling cepat saat ini.Begitu pula dengan perkembangan tindak pidana dibidang ilmu kesehatan.Adapun tindak pidana yang terjadi di bidang ilmu kesehatan antara lain : malapraktek, pemalsuan obat, pengedaran dan penyalah-gunaan obat tanpa izin dan transplantasi organ manusia. Masalah kesehatan merupakan keprihatinan serius di setiap negara, baik negara maju maupun sedang berkembang.karena kesehatan merupakan salah satu faktor yang menentukan kemajuan suatu negara dan merupakan hak asasi manusia.Secara awam kesehatan dapat diartikan ketiadaan penyakit.Menurut WHO kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.1 Hal ini dapat disimpulkan kesehatan itu sangat penting dalam kelangsungan hidup masyarakat.Jadi apabila terjadi tindak pidana di bidang kesehatan akan menyerang langsung masyarakat baik secara materil maupun immateril. Sehingga masyarakat tidak dapat melangsung-kan kehidupanya dengan baik.

Salah satu tindak pidana dalam bidang kesehatan adalah di bidang farmasi. Farmasi adalah suatu profesi yang berhubungan dengan seni dan ilmu dalam penyediaan bahan sumber alam dan sumber sintetis yang cocok dan menyenangkan untuk di distribusikan dan digunakan dalam pencegahan suatu penyakit.2Konsumen di Indonesia masih cenderung pasif meskipun sudah ada Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang mengatur tentang hak-hak konsumen, kewajiban pelaku usaha serta memberikan bentuk-bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen. Konsumen masih belum sepenuhnya menyadari hak-hak mereka, sedangkan pelaku usaha juga belum sepenuhnya memenuhi kewajibannya.Kondisi tersebut cenderung untuk mendorong lahirnya berbagai bentuk pelanggaran pelaku usaha terhadap hak konsumen namun pelaku usaha yang bersangkutan tidak memperoleh sanksi hukum yang mengikat.Oleh karena itu pemerintah selaku pihak yang berwenang untuk menegakkan hukum perlindungan konsumen harus bersifat proaktif dalammelindungi hak-hak konsumen di Indonesia. Terkait dengan sediaan farmasi yang akan dibahas oleh penulis, upaya pemerintah untuk

1Titon Slamet Kurnia, Hak Atas Drajat Kesehatan Optimal Sebagai HAM di Indonesia,Bandung, 2007 hal 13

2

(3)

melindungi konsumen adalah melalui pembentukkan lembaga yang bertugas untuk mengawasi pada suatu produk serta memberikan perlindungan kepada konsumen.

Di Indonesia telah dibentuk suatu badan yang bertugas untuk mengawasi peredaran obat dan makanan, yakni Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). BPOM dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 166 Tahun 2000 jo Keppres Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) yang mengatur mengenai pembentukan lembaga-lembaga pemerintah non- departemen. LPND adalah lembaga pemerintah pusat yang dibentuk untuk menjalankan tugas pemerintahan tertentu dari presiden serta bertanggung jawab langsung pada presiden.BPOM merupakan salah satu LPND yang mempunyai tugas yang terkait dengan pengawasan obat dan makanan.

Tetapi lembaga yang bertugas mengawasi belum optimal dalam melakukan tugasnya, initerbukti dengan masih banyaknya ditemui obat dan makanan yang tidak sesuai dengan standar kesehatan masih beredar di masyarakat.Untuk mencapai kesembuhan jasmani dan rohani dari suatu penyakit, tidak bisa lepas dari suatu pengobatan optimal dan benar. Namun apabila obat yang diedarkan oleh pihak yang di tunjuk oleh UndangUndang berhak mengedarkan obat, mengedarkan obat dengan melakukan penyalahgunaan sudah tentu obat tersebut tidak dapat digunakan dalam proses penyembuhan. Karena mungkin saja obat tersebut tidak memenuhi standar racikan obat, kadaluarsa dan aturan pakai.Obat seperti ini apabila digunakan dapat menimbulkan penyakit baru bagi penggunanya bahkan dapat menimbulkan kematian.Kebutuhan masyarakat atas perlindungan kesehatan merupakan hal yang tidak bisa ditawar lagi, Karena langsung menyerang kebutuhan masyarakat yang primer. Upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya pada mulanya berupa upaya penyembuhan penyakit, kemudian secara berangsur-angsur berkembang ke arah keterpaduan upaya kesehatan untuk seluruh masyarakat dengan mengikutsertakan masyarakat secara luas yang mencakup upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang bersifat menyeluruh terpadu dan berkesinambungan. Sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk menegakan aturan perundang-undangan yang ada untuk menanggulangi permasalahan yang semakin kompleks dalam hukum kesehatan ini.Selain itu, sudut pandang para pengambil kebijakan juga masih belum menganggap kesehatan sebagai suatu kebutuhan utama dan investasi berharga di dalam menjalankan pembangunan sehingga alokasi dana kesehatan hingga kini masih tergolong rendah bila dibandingkan dengan negara lain.

Oleh sebab itu penulis mencoba mengkaji mengenai tindak pidana pengedaran dan penyalahgunaansediaan farmasi tanpa izin edar untuk mengetahui bagaimana sebenarnya tindak pidana ini.Dalam hal ini penulis mencoba mengkaji pengaturan tindak pidana pengedaran dan penyalahgunaan sediaan farmasi tanpa izin edar dalam hukum positif Indonesia, faktor-faktor yang melatarbelakangi perbuatan ini serta upaya penanggulanganya.

(4)

2.

Metode Penelitian

Pada peneliian ini menggunakan hokum normative yang merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti berdasarkan data sekunder atau data kepustakaan. Sifat penelitian ini bersifat deskriptif analitik yaitu penelitian yang mengungkap peraturan perundng-undangan yang berkaitan dengan teori hokum yang menjadi objek penelitian. Dalam penelitian ini penulis mengambil data sekunde yang berasal dari bahan pustaka dan literature yang mempunyai kaitan dengan peredaran obat. Dengan metode hokum normative untuk menjabarkan data terhadap data-data berdasarkan data-data pustaka dan literature, daa yang sudah diperoleh disusun dalam bentuk pengumpulan data kemudian diambil kesimpulan.

Hasil dari penelitian dan kesimpulan yng didapatkan melalui metode ini tidak bisa digeneralisasikan tetapi merupakan deskripsi khusus dari fenomena sosiologi hokum terhadap peredaraan sediaan farmasi tanpa izin edar.

3.

Pembahasan

3.1 Penerapan sanksi pidana terhadap peredaran sediaan farmasi obat tanpa izin edar berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan ( Studi Kasus Putusan Nomor 100/Pid.sus/2018/Pn.Skt)

Mencermati posisi kasus dalam perkara ini, penerapan Pasal atau dakwaan Jaksa Penuntut Umum sudah tepat. Menurut Penulis, bahwa perkara Nomor :100/Pid.Sus/2018/Pn.Skt ini adalah tindak pidana dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi yang tidak memiliki izin edar. Mencermati dakwaan dan tuntutan Penuntut Umum diatas dapat dijelaskan bahwa dalam perkara ini jaksa penuntut umum menggunakan dakwaan tunggal. Dalam surat dakwaan ini hanya berlaku satu Tindak Pidana saja yang dapat didakwakan, karena tidak terdapat kemungkinan untuk mengajukan alternative atau dakwaan lainnya.

Terdakwa didakwa oleh Penuntut Umum dengan dakwaan kesatu yaitu Pasal 197 Undang-Undang tentang Kesehatan. Menurut penulis, apabila dikaitkan dengan posisi kasus yang dibahas sebelumnya unsur-unsur pasal 197 Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan telah terpenuhi. Dimana unsur dalam pasal 197 Undang-Undang Kesehatan, sebagai berikut:

a. Setiap orang :

kata “Setiap Orang” di sini bukanlah merupakan unsur delik melainkan unsur pasal yang menunjuk pada setiap orang subyek hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban yang didakwa telah melakukan sesuatu tindak pidana yang dilarang oleh suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan “Setiap Orang” tersebut akan selalu melekat pada setiap unsur delik dan dengan demikian akan terpenuhi jika semua unsur deliknya juga terpenuhi dan pelakunya dapat dipertanggungjawabkan di depan hokum. berdasarkan

(5)

fakta yang terungkap dipersidangan dapatlah diperoleh suatu kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan “setiap orang“ dalam hal ini menunjuk pada subjek hukum yaitu orang yang diajukan oleh Penuntut Umum dipersidangan sebagai Terdakwa dan setelah ditanyakan identitasnya ternyata sesuai dengan identitas yang tertera dalam dakwaan Penuntut Umum yaitu SRI ANGGONO ALS RONGGO BIN KATENI, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa Terdakwa SRI ANGGONO ALS RONGGO BIN KATENI selaku subjek hukum dalam istilah tehnis yuridis “setiap orang “ telah terpenuhi menurut hokum atas diri Terdakwa tersebut.

b. Dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki ijin edar :

Bahwa yang dimaksud „dengan sengaja‟ atau opzet di sini, dalam riwayat pembentukan KUHPidana yang dapat dijumpai dalam memorie van toelichting (MvT)-nya, adalah “willens en weten”, artinya seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja harus menghendaki (willen) perbuatan itu, dan harus menginsyafi, menyadari, atau mengerti (weten) akan akibat dari perbuatannya itu. Sedangkan istilah memperoduksi adalah menghasilkan atau mengeluarkan hasil dan istilah mengedarkan adalah menyampaikan barang sesuatu dari satu orang kepada orang lain atau menyampaikan atau mengeluarkan membawa barang sesuatu kepada orang lain.

Bahwa yang dimaksud dengan sediaan farmasi menurut ketentuan Pasal 1 UU RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan adalah obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetika, sedangkan yang dimaksud dengan alat kesehatan adalah isntrumen, aparatus, mesin dan/atau implan yang tidak mengandung obat yang digunakan untuk mencegah, mendiagnoasis, menyembuhkan dan meringankan penyakit, merawat orang sakit, memulihkan kesehatan pada manusia, dan/atau membentuk struktur dan memperbaiki fungsi tubuh. Berdasarkan fakta-fakta yang terjadi dipersidangan, maka perbuatan Terdakwa “Dengan sengaja mengedarkan atau memproduksi sediaan farmasi telah terpenuhi”.

c. Turut serta melakukan perbuatan :

Bahwa HR dalam putusannya tanggal 9 Pebruari 1914 memberikan kaidah hukum tentang „turut serta melakukan perbuatan‟ ini, di mana disyaratkan bahwa setiap pelaku harus mempunyai opzet dan pengetahuan yang ditentukan bersama, dan tiap-tiap peserta itu mempunyai pengetahuan dan keinginan untuk melakukan kejahatan itu3. Bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut dihubungkan dengan pengertian „turutserta melakukan perbuatan‟ sebagaimana pendapat HR dalam putusannya tanggal 9 Pebruari 1914 di atas, maka Majelis berpendapat unsur ketiga ini telah terpenuhi dan terbukti karena sangat jelas

3

(6)

kerjasama antara Terdakwa dengan saksi-saksi tersebut, sedemikian lengkapnya, dan masing-masing peserta mempunyai pengetahuan dan keinginan untuk terlaksananya maksud yang sama.

Dengan terbuktinya dakwaaan pertama, demikian menurut hukum dan keyakinan, terdakwa terbukti secara sah melakukan tindak pidana dengan sengaja memproduksi dan/atau mengedarkan sediaan farmasi yang tidak memiliki izin edar sebagaimana diatur dalam Pasal 197 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Kepada terdakwa patut diberi ganjaran hukuman yang setimpal dengan perbuatan yang terdakwa lakukan. Tidak ditemukan dengan adanya alasan-alasan yang dapat menghapuskan pertanggung jawaban terdakwa baik alasan pemaaf maupun dengan alasan pembenar sehingga dengan demikian terdakwa harus dijatuhi hukuman sesuai kesalahannya.

Mengenai penjatuhan putusan oleh hakim dalam kasus ini, hakim menjatuhkan putusan terhadap terdakwa yang menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi yang tidak memiliki izin edar, menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa selama 10 (sepuluh) tahun dengan membayar denda sebesar Rp, 800.000.000,00 (Delapan ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan.

Pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan hukuman pidana terhadap pelaku dalam perkara ini sudah benar didasarkan pada pertimbangan yuridis. Penulis berpendapat bahwa penjatuhan sanksi oleh Hakim lebih didasarkan pada fakta–fakta persidangan dan alat bukti yang sah. Hukuman yang yang dijatuhkan berupa pidana penjara selama 10 (sepuluh) tahun kepada terdakwa sudah sangat cukup untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya lagi.

Menurut Penulis, putusan hakim yang dijatuhkan kepada terdakwa sudah cukup. Dalam pertimbangan hakim telah sesuai dengan mempertimbangkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum dan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan sehingga hukuman pidana terhadap terdakwa lebih tinggi daripada tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Hal itu dikarenakan Hakim juga mempunyai kebebasan dan kekuasaan dalam menjatuhkan hukuman bagi seorang terdakwa dengan mempertimbangkan segala aspek termasuk efek jera pemidanaan kepada terdakwa.

3.2 Upaya Penanggulangan yang dapat dilakukan terhadap peredaran sediaan farmasi tanpa izin edar

Dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP dikatakan bahwa tiada suatu perbuatan yang dapat dihukum kecuali apabila sudah diatur dalam peratuan perundangundangan.Ini maksudnya bahwa suatu perbuatan dapat dihukum hanya apabila sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan.Oleh sebab itu jelaslah bahwa kepada pembuat delik/tindak pidana harus diancam dengan hukuman pidana.

(7)

Adanya hubungan tersebut karena memang sifat hukum pidanasendiri yang mengharuskan adanya suatu ancaman hukuman yang merupakan sanksi yang sifatnya untuk melindungi kepentingan orang banyak atau kepentingan umum dengan memaksakan suatu penderitaan (Injury).

Dalam sistem hukum Indonesia secara garis besarnya ada 2 (dua) tindakan ataupun kebijakan yang dapat dilakukan terhadap suatu delik yang terjadi yaitu kebijakan penal dan non penal.

a. Kebijakan Penal.

Kebijakan penal adalah usaha untuk mewujudkan peraturanperaturan yang baik dengan situasi atau kondisi tertentu. Secara mendalam dikemukakan juga bahwa juga bahwa kebijakan penal merupakan kebijakan negara melalui alat-alat perlengkapanya yang berwenang utuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki dan di perkirakan dapat digunakan untuk mengeksperesikan apa yang terkandung dalam masyarakat dalam rangka mencapai apa yang di cita-citakan.4Kebijakan yang paling sering dilakukan adalah hukuman penjara.Penekanan pemahaman kepenjaraan adalah semata-mata melihat pada perbuatan jahat atau kejahatan yang dilakukan oleh terpidana.Oleh karena itu mereka harus menebus kesalahannya di penjara.

Adapun ciri utama pidana penjara adalah harus lama, terdapat unsur derita dan berupa pembalasan masyarakat.Dengan dipenjaranya pelaku kejahatan berarti pula kemerdekaannya telah dirampas.Dengan singkat dapat dikatakan bahwa tujuan dikenakannya pidana penjara adalah untuk mengadakan pembalasan dan untuk menakuti para pelanggar hukum dan calon pelanggar lainnya untuk tidak melakukan kejahatan.Pidana penjara ini masuk ke Indonesia melalui Pasal 10 KUHP dan sampai sekarang masih berlaku dan dikenal dengan Lembaga Pemasyarakatan.Untuk menetapkan hukuman penjara peranan hakim sangat diharapkan, artinya bahwa kearifan dan kepekaan hakim dalam memeriksa dan mengadili setiap peristiwa pidana sangat menentukan sebelum menjatuhkan hukuman.

Oleh karena itu dalam penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sarana penal haruslah diperhatikan hal-hal sebagai berikut:56

1)

Penggunaan hukum pidana harus memperhatkan tujuan pembangunan nasional yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur merata materil dan spritual berdasarkan Pancasila, maka hukum pidana harus bertugas dan bertujuan untuk menanggulangi kejahatan demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.

4Soedarto, Hukum Dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung 1981, hal 159

5Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Kencana, Jakarta 6 Ibid,hal 28

(8)

2)

Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi oleh hukum pidana adalah perbuatanperbuatan yang tidak dikehendaki yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian warga masyarakat. Perbuatan yang tidak merugikan tidaklah boleh ditetapkan sebagai perbuatan yang tidak dikehendaki, meskipun tidak semua perbuatan yang merugikan perlu dicegah dengan menggunakan hukum pidana.

3)

Usaha untuk mencegah suatu perbuatan dengan menggunakan sarana hukum pidana dengan sanksi yang negatif berupa pidana perlu disertai penghitungan biaya yang akan dikeluarkan dan hasil yang diharapkan akan tercapai.

4)

Penggunaaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas dan kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum jangan sampai kelebihan beban tugas (overbelasting) yang mana akan mengakibatan efek dari peraturan itu akan menjadi kurang.

Untuk saat ini atas perubahan Undang-Undang No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan menjadi UndangUndang No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan, penerapan pasal 197 yang menerapakan hukuman penjara paling lama 15 tahun adalah kebijalan penal yang dapat diterapkan.

b. Kebijakan Non Penal.

Kebijakan penanggulangan lewat jalur “non penal” lebih bersifat tindakan sebelum terjadinya kejahatan.Oleh karena itu sasaran utamanya adalah menangani factor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan yang berpusat pada masalahatau kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulakan atau menumbuh suburkan kejahatan.Dengan demikian dilihat dari kebijakan penanggulanagan kejahatan, maka usaha-usaha non penal ini mempunyai kedudukan yang strategis dan memegang peranan kunci yang harus diintensifkan dan diefektifkan.7Kebijakan non penal ini juga diperlukan untuk menanggulangi kejahatan, kebijakan ini dilakukan dengan tidak menggunakan sarana hukum pidana sebagai hukumannya melainkan lebih memperhatikan aspek-aspek lainnya seperti aspek psikologi, ekonomi, sosiologi tindakan konkret yang paling nyata dilakukan adalah tindakan administrasi berupa pencabutan izin. Adapun kebijakan non penal yang dapat dilakukan terhadap pelaku tindak pidana pengedaran dan penyalahgunaan obat farmasi tanpa izin edar adalah sebagai berikut :

1)

Harus dilakukan dengan cara-cara yang sedikit agak lebih bemoral seperti penyebarluasan ajaran-ajaran agama. Cara ini bisa dilakukan oleh tokoh-tokoh agama dalam suatu acara ibadah.

7

(9)

2)

Melalui tindakan administrasi dengan melakukan pencabutan izin apotik atau toko obat.

3)

Dalam membasmi kejahatan pengedaran dan penyalahgunaan obat farmasi tanpa izin

ini harus dilakukan dengan sifat memberantas, misalnya untuk mencegah penyakit demam berdarah maka nyamuknya harus diberantas juga.

4)

Dengan cara mencabut izin pabrik besar farmasi yang mengedarkan obat farmasi yang belum di registrasi kepada apotik atau toko-toko obat berizin.

5)

Memberikan peringatan keras kepada produsen yang bersangkutan dan memerintahkan segera menarik peredaran produk yang belum mendapat izin edar serta memusnahkannya.

6)

Pemerintah harus berperan dalam membina industri maupun importir/distributor secara komprehensif, mulai dari pembuatan, peredaran serta distribusi, agar masyarakat terhindar dari penggunaan obat tanpa izin edar yang berisiko bagi pemeliharaan kesehatan.

4.

Penutup

4.1

Kesimpulan

Setelah melalui pembahasan-pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya maka dengan ini penulis akan mengambil kesimpulan yang merupakan jawaban atas permasalahan yang diajukan sebagai berikut:

a.

Tindak pidana pengedaran dan penyalahgunaan sediaan farmasi tanpa izin edar sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No.36 tahun 2009 tentang kesehatan adalah tindak pidana pengedaran dan penyalahgunaan sediaan farmasi yang berupa obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetik yg belum diregistrasi oleh pemerintah. Dalam hal ini menteri kesehatan yang berhak memberi izin edar. Syarat sediaan farmasi diberikan izin edar adalah sediaan farmasi tersebut telah lulus uji dari segi mutu, keamanan dan kemanfaatan.

b.

Dalam penerapan Undang-Undang tindak pidana pengedaran dan penyalahgunaan sediaan farmasi tanpa izin edar yang diatur dalam pasal 197 Undang-Undang No.36 tahun 2009 Tentang Kesehatan, rumusan yang terdapat dalam pasal ini adalah setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan atau/alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam pasal 106 ayat (1), yaitu Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar.Pertanggungjawaban dalam hukum pidana ada yang dilakukan atas dasar kesalahan dan ada juga yang dilakukan tanpa harus membuktikan adanya kesalahan tersebut (strict liability). Kesalahan dapat dibagi menjadi dua macam yaitu kesengajaan dan kealpaan.

(10)

Oleh karena itu, perlu dibentuk kebijakan umum kesehatan yang dapat dilaksanakan oleh semua pihak dan sekaligus dapat menjawab tantangan era globalisasi dan dengan semakin kompleksnya permasalahan kesehatan dalam suatu Undang-Undang Kesehatan yang baru untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dengan Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Upaya penanggulangan tindak pidana pengedaran dan penyalahgunaan sediaan farmasi tanpa izin edar dapat dilakukan melalui Kebijakan Penal. Kebijakan ini dilakukan dengan menggunakan sarana hukum pidana yang merupakan sanksi dari suatu delik, misalnya : hukuman penjara, hukuman denda, pidana kurungan, dan lainnya. Kebijakan yang paling sering dilakukan adalah hukuman penjara.Penekanan pemahaman kepenjaraan adalah semata-mata melihat pada perbuatan jahat atau kejahatan yang dilakukan oleh terpidana.Oleh karena itu mereka harus menebus kesalahannya di penjara.Adapun ciri utama pidana penjara adalah harus lama, terdapat unsur derita dan berupa pembalasan masyarakat. Dengan dipenjaranya pelaku kejahatan berarti pula kemerdekaannya telah dirampas.Dengan singkat dapat dikatakan bahwa tujuan dikenakannya pidana penjara adalah untuk mengadakan pembalasan dan untuk menakuti para pelanggar hukum dan calon pelanggar lainnya untuk tidak melakukan kejahatan.

4.2 Saran

a. Mengingat masih susahnya membedakan obat tanpa izin edar dengan obat dengan izin edar, diharapkan pemerintah memberikan penyuluhan kepada masyarakat dan memberikan informasi mengenai obat yang telah ditarik dari pasar.

b. Dalam penanganan tindak pidana pengedaran dan penyalahgunaan sediaan farmasi tanpa izin, hendaknya dibuat suatu peraturan yang khusus mengatur mengenai tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin, sehingga dalam menangani tindak pidana ini para aparat hukum dan para pihak yang terkait dapat menindak dengan tegas karena payung hukum terhadap kejahatan ini sudah jelas berikut dengan seluruh penjelasannya. Dengan cara ini, mudah-mudahan dapat meminimalisir terjadinya tindak pidana pengedaran dan penyalahgunaan sediaan farmasi tanpa izin edar.

c. Adanya pengawasan dari pemerintah dalam hal ini yang berwenang Balai POM supaya lebih pro aktif dalam melakukan pengawasan mulai dari tingkat daerah sampai dengan pusat. Yang menjadi objek pengawasan adalah pihak-pihak yang terkait, mulai dari produksi sampai peredaran, dengan lebih mengoptimalkan Badan Pengawas yang ada didaerah baik daerah Tkt II (Kab/Kota), daerah Tkt I (Propinsi) maupun tingkat pusat dengan melibatkan seluruh unsur mulai dari masyarakat, aparat penegak hukum maupun lembaga-lembaga tertentu. Dengan demikian praktek jual beli obat tanpa izin edar tidak begitu mudah didapatkan, dan dapat mengurangi tindak pidana pengedaran dan penyalahgunaan sediaan farmasi tanpa izin edar.

(11)

Agar pemerintah mencoba untuk menganalisa lagi apa-apa saja faktor yang menjadi penyebab pengedaran dan penyalahgunaan sediaan farmasi tanpa izin, sehingga ada suatu kesamaan persepsi tentang faktor penyebab pengedaran dan penyalahgunaan sediaan farmasi tanpa izin. Dengan demikian akan ditempuh solusi-solusi yang juga sifatnya sama mulai dari tingkat pusat sampai ke daerah

.

Referensi

Barda Nawawi, Arief. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,2008, Kencana PAF Lamintang dan Djisman Samosir, Hukum Pidana Indonesia.

Soedarto, Hukum Dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung 1981

Titon Slamet Kurnia, Hak Atas Drajat Kesehatan Optimal Sebagai HAM di Indonesia, Bandung, 2007

Referensi

Dokumen terkait

Pengujian pertama, kedalaman makan 15mm dari 10 kali pengujian, pengujian 1 sampai dengan 4 belum ada perubahan keausan, hal ini disebabkan karena struktur logam mata pahat

Walaupun sepak bola memiliki dimensi religius dan pengikut yang semakin meluas mendapat topangan dari industri media, namun religiustias sepak bola tidak

Proses fermentasi singkong dilakukan pada kondisi yang tidak terkontrol sehingga mikrob yang ada bukan berasal dari ragi tape yang digunakan.. Mikrob berperan penting dalam

Merujuk pada the theory of planned behavior (Ajzen, 1991), penelitian ini secara empiris bermaksud melakukan pengujian terhadap teori untuk dapat menjelaskan

Bu makalede, değişik statülerdeki korunan alanlarda ve işletme ormanlarındaki biyolojik çeşitliliğinin korunması ve devamlılığın sağlanması ile ilgili olarak Dünya’da

Hal ini diperburuk dengan sistem rotasi yang dilakukan oleh pihak manajemen yang bertujuan agar operator dapat melakukan semua aktivitas kerja (multy skill) yang ada

[r]

selalu berusaha meningkatkan kualitas kerja dan intergritas diri atas perusahaanya diantaranya ialah dengan melakukan berbagai pelatihan kerja dan program