1
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pembangunan dari masa ke masa akan membawa perubahan di segala bidang kehidupan masyarakat, baik material maupun spiritual. Pembangunan spiritual juga ditingkatkan guna tercapainya keseimbangan, karena semua pembangunan fisik yang tidak diimbangi dengan pembangunan spriritual akan terjadi kemerosotan moral di masyarakat, sehingga tidak akan ada artinya hidup tanpa agama.
Menurut A. Ludjito, bahwa segala aspek kehidupan telah dijiwai oleh agama. Oleh sebab itu orang dipaksa untuk mengetahui dan menerima keberadaan agama bukan saja karena agama sudah menjadi kenyataan sejarah, melainkan juga karena agama secara logika memang merupakan suatu kebutuhan sosial. Jadi pada dasarnya argumen yang dapat diberikan adalah sepanjang sejarah manusia, tidak ada manusia yang tanpa agama betapapun primitifnya dan betapapun modernnya, karena agama merupakan faktor yang konstan ada pada setiap manusia sepanjang masa. 1
Segi-segi formal kehidupan keagamaan, seperti ritus dan ibadah harus dianggap penting sebagai “tali pengikat” kehidupan keagamaan itu sendiri.
1
Mulyanto Sumardi, Penelitian Agama, Masalah dan Pemikiran, (Jakarta: Sinar Harapan, 1982), hlm.16.
Namun dibalik formalitas itu harus dicari hikmahnya melalui penangkapan makna lebih mendalam. Hal itu berarti para pemeluk agama diharuskan mencari titik pertemuan antara sesama mereka dalam dimensi antar agama, dan menggalang kerjasama atas dasar titik pertemuan tersebut. Disini relevan sekali menilai kedudukan Pancasila sebagai titik pertemuan, tidak saja antara berbagai macam agama di Indonesia. Sikap toleransi diantara pemeluk berbagai agama benar-benar suatu kenyataan dalam kehidupan bangsa Indonesia.
Dalam kehidupan beragama, aspek beribadah menempati kedudukan yang istimewa. Agama Islam menyerukan kepada umatnya untuk meninggalkan kampung halamannya dan menjelajah negeri-negeri asing demi mengembangkan persaudaraan antara semua umat manusia, bangsa dan golongan, serta saling tukar cita-cita dan gagasan, adalah wajib bagi setiap muslim sekurang-kurangnya sekali selama hidupnya, menunaikan ibadah haji, dan dalam kesempatan itu persaudaraan antara semua umat manusia dapat diwujudkan.2 Hal tersebut terungkap pada firman Allah SWT, yang artinya sebagai berikut: “Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata (di antaranya) maqam Ibrahim; barang siapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; barang siapa mengingkari (kewajiban haji) maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam“
.(QS: Al-Imran 97).3
2
Victor Immanuel Tanja, Himpunan Mahasiswa Islam, (Jakarta: Sinar Harapan, 1982), hlm.31.
3
Oleh karena itu ibadah haji bagi umat Islam merupakan kewajiban utama dari Rukun Islam. Haji wajib dikerjakan satu kali seumur hidup bagi setiap muslim yang sudah masuk kategori mukallaf, artinya dewasa dan berakal, dan mempunyai kesanggupan untuk melaksanakannya.
Syarat kesanggupan tersebut berkaitan dengan sifat khusus dari haji itu sendiri yaitu hanya dapat dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu dan tempatnya di Makkah Almukarramah, Arab Saudi. Kesanggupan ini meliputi biaya perjalanan maupun biaya hidup, serta sehat fisik maupun mental, jaminan keamanan atau keselamatan dalam perjalanan dan ketercukupan nafkah untuk keluarga yang ditinggalkannya. Umat Islam yang mempunyai kesanggupan diwajibkan untuk segera melaksanakannya.4
Makna dari ibadah haji bagi umat Islam merupakan respon terhadap panggilan Allah SWT. Dengan lantunan bacaan yang mengandung nilai esensial do’a. Karena itu haji merupakan representasi diri di hadapan Allah. Memahami makna haji secara spesifik, membutuhkan pemahaman khusus sejarah Nabi Ibrahim dan ajarannya. Sebab praktek ritual haji sangat terkait dengan pengalaman-pengalaman yang dialami oleh Nabi Ibrahim dan keluarganya.
Nabi Ibrahim membawa lembaran baru dalam sejarah kepercayaan dan kemanusiaan, walaupun masa itu tauhid bukan sesuatu yang tidak dikenal. Beliau mengumandangkan keadilan Tuhan, menempatkan manusia sama dihadapan-Nya, tidak ada perbedaan antara yang kuat dan yang lemah, kecuali karena
4
Balai Penelitian dan Pegembangan Agama Semarang, Evaluasi Buku Panduan Manasik Haji Di Jawa Tengah, (Semarang: Kementrian Agama, Balai Penelitian dan Pegembangan Agama Semarang, 2015), hlm.2.
ketaqwaannya, mengesankan Allah yang terwujud dalam ibadah. Sejak itu pula Ibrahim dikenal sebagai “Bapak Monoteisme, Bapak ajaran Ketuhanan Yang
Maha Esa”.
Dikatakan demikian karena Ibrahim datang di saat kehidupan manusia berada di persimpangan, berkaitan dengan pandangan tentang boleh memberi sesajen yang dikorbankan berupa manusia atau dilarang dengan alasan bahwa manusia adalah makhluk yang sangat mulia. Tetapi karena itu merupakan perintah Tuhan, Ibrahim melaksanakan perintah-Nya. Dalam konteks sifat Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang inilah dapat dipahami kisah Ibrahim melaksanakan mimpinya untuk menyembelih Ismail, kemudian Allah menggantinnya dengan seekor domba sebagai pertanda kasih sayang-Nya pada manusia. 5
Dari peristiwa Ismail itu dapat diambil suatu pemahaman bahwa ajaran yang dibawa oleh Ibrahim adalah “mengesakan Allah”. Untuk itu ada syari’at atau aturan-aturan berupa perintah dan larangan bersumber pada Al-quran maupun Al-Sunnah, termasuk di dalamnya adalah ibadah haji. Dalam syariat itu, ada makna yang menjadi motivasi atau penyebab mengapa ada perintah dan larangan Allah SWT. Ini artinya bahwa setiap perintah Allah SWT dan Rasul-Nya kepada umat manusia untuk melaksanakan ibadah haji, maka didalamnya terkandung makna yang dapat ditangkap dari perintah itu.6
5
Muhammad Quraish Shihab, Haji BersamaQuraish Shihab, (Bandung: Mizan, 2000), hlm. 94.
6
Muslim Nasution, Haji & Umrah Keagungan dan Nilai Amaliahnya, (Jakarta: Gema Insani, 1999) hlm. 18.
Sehingga untuk mewujudkan jamaah umat Islam, khususnya di Surakarta diperlukan suatu sarana dengan bentuk sebuah organisasi yang menampung seluruh haji dengan tidak memandang latar belakang lingkungan dan tingkatan serta alirannya.
Supaya para haji benar-benar menjadi haji yang mabrur, yaitu haji yang diterima oleh Allah SWT, karena dilaksanakan dalam bentuk dan cara yang sesuai dengan tuntutan kitab Allah dan Sunnah Rasulullah, serta bersih dari dosa, penuh dengan amal kebaikan. Sehingga dapat dijadikan panutan dalam kehidupan pribadi, rumah tangga dan masyarakat.
Dalam rangka menjalankan amanahnya pengurus Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) kota Surakarta harus bisa menjaga kekompakan, yang dijalin dengan persaudaraan atau ukhuwah sebab tanpa kekompakan tidak akan bisa berjalan atau bekerja dengan baik dan hal ini merupakan permasalahan yang menarik untuk diteliti, khususnya tentang, peranan IPHI Kota Surakarta dalam menggapai ibadah haji yang mabrur, mengingat kepengurusan IPHI Kota Surakarta tentunya terdiri dari berbagai ormas Islam, berbagai faham, dan berbagai latar belakang lainnya demikian juga ummat islam sebagai subyek kegiatan juga terdiri dari berbagai ormas, berbagai faham dan berbagai latar belakang lainnya, sehingga diperlukan cara yang tepat dalam membimbing para calon jamaah haji yang akan beribadah ke tanah suci agar menjadi yang mabrur.
B.
Rumusan Masalah
Adapun permasalahan-permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana latar belakang berdirinya Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) Kota Surakarta.
2. Apa motivasi para haji bergabung menjadi pengurus Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) Kota Surakarta.
3. Bagaimana Peran Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) Kota Surakarta dalam membantu memberikan bekal bagi calon haji yang akan melaksanakan ibadah haji mulai dari manasik haji dan pelaksanaan haji di tanah suci.
4. Usaha-usaha apa saja yang dilakukan Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) Kota Surakarta dalam menjaga kemabruran para jamaah haji.
C.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan dari latar belakang dan rumusan masalah sebagaimana di atas, maka tujuan penelitian ini berguna untuk:
1. Untuk mengetahui latar belakang berdirinya Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) Kota Surakarta.
2. Untuk mengetahui motivasi para haji bergabung menjadi pengurus Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) Kota Surakarta.
3. Untuk mengetahui peran Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) Kota Surakarta dalam membantu memberikan bekal bagi calon haji yang akan
melaksanakan ibadah haji mulai dari manasik haji dan pelaksanaan haji di tanah suci.
4. Untuk mengetahui usaha-usaha apa saja yang dilakukan Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) Kota Surakarta dalam menjaga kemabruran para jamaah haji.
D.
Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian tentang Peranan Ikatan Persaudaran Haji Indonesia (IPHI) kota Surakarta ini diharapkan bisa memberikan manfaat :
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan bagi pihak-pihak yang terkait dengan sosial keagamaan.
b. Menambah dan melengkapi kajian pengetahuan dalam ilmu sejarah, terutama kajian mengenai ibadah haji .
2. Manfaat Praktis
a. Sebagai bahan informasi tentang perkembangan dan peran IPHI kota Surakarta.
b. Sebagai pengetahuan agama khususnya mengenai pelaksanaan Ibadah haji.
E.
Kajian Pustaka
Referensi kepustakaan merupakan data sekunder yang sangat berguna untuk melengkapi data atau kesaksian yang diperoleh dari dokumen. Untuk itulah seorang peneliti tidak akan pernah menghasilkan karya penulisan yang baik apabla tidak dilengkapi dengan kajian-kajian dari sumber kepustakaan yang telah ada. Dalam penelitian skripsi ini untuk memperoleh pemahaman tentang ibadah haji maka perlu dikaji beberapa referensi yang menyangkut permasalahan yang akan dibahas.
Buku Bimbingan Ibadah Haji, Umrah dan Ziarah (1998), karya Departemen Agama RI isinya antara lain menjelaskan mengenai pengertian Haji, Umrah dan Istita’ah. Ibadah Haji ialah berkunjung ke Baitullah (Ka’bah) untuk melakukan bebarapa amalan antara lain: Wukuf, Thawaf dan amalan lainnya pada masa tertentu, demi memenuhi panggilan Allah SWT dan mengharapkan ridha-Nya. Umrah ialah berkunjung ke Baitullah, melakukan Thawaf, Sa’i dan bercukur demi mengharap ridha Allah.
Istita’ah artinya mampu. Yang dimaksudkan dengan Istita’ah disini ialah mampu melaksanakan ibadah haji/umrah ditinjau dari segi : 1) Jasmani: sehat dan kuat, agar tidak sulit melakukan ibadah haji/umrah. 2) Rohani: mengetahui manasik haji/umrah, berakal sehat dan memiliki kesiapan mental untuk melakukan ibadah haji/umrah dengan pernjalanan yang jauh. 3) Ekonomi: mampu membayar ongkos naik haji (ONH), ONH bukan berasal dari penjualan dari satu-satunya sumber kehidupan yang apabila dijual menyebabkan kemadaratan bagi diri dan keluarganya, memiliki biaya hidup bagi keluarga yang ditinggalkan. 4)
Keamanan: aman dalam perjalanan dan pelaksanaan ibadah haji/umrah, aman bagi keluarga dan harta benda serta tugas dan tanggung jawab yang ditinggalkan dan tidak terhalang/mendapat izin untuk perjalanan haji.
Buku Bimbingan Manasik Haji (2006), karya Departemen Agama RI, yang berisi tentang mengenai Akhlakul Karimah untuk calon jamaah haji agar para calon jamaah haji mendapatkan haji yang mabrur. Akhlak merupakan pondasi bagi seseorang dalam pergaulan, baik dalam lingkungan pergaulan sesama warga negara, maupun pergaulan antar bangsa, terlebih bagi calon/jamaah haji yang akan melaksanakan ibadah di Tanah Suci agar terhindar dari hal-hal yang dapat merusak pahala haji, seperti perbuatan rofas (berkata jorok), fusuk
(berbuat maksiat) dan jidal (bertengkar).
Di antara nilai akhlakul karimah yang harus dimiliki calon/jamaah haji: 1) Tidak berbuat syirik atau menyekutuan Allah, untuk itu jamaah haji dalam melaksanakan ibadah haji hendaknya memiliki akidah dengan tidak melakukan syirik demi memenuhi panggilan Allah untuk tercapainya haji yang mabrur. 2) Bersikap Ikhlas, syarat diterimanya ibadah haji hendaknya tidak karena pamrih, ingin dipuji dan takabbur dalam ibadah, kecuali mengharapkan ridha Allah. 3) Bersikap Sabar, dalam menunaikan ibadah haji harus sabar dan taat, sabar terhadap maksiat dan sabar atas musibah. 4) Menjaga Kerukunan, sesama jamaah haji harus mengutamakan kebersamaan, tolong-menolong, tidak menyinggung perasaan orang lain dan tidak menyinggung perasaan orang lain dan tidak mudah tersinggung. 5) Sopan Santun adalah salah satu perilaku yang harus dimiliki oleh jamaah haji, karena sesuai dengan kaidah aklakul karimah dalam kaitan hubungan
antar sesama. 6) Adab Berpakaian, pakaian jamaah haji menjadi sangat penting, karena pakaian bagi jamaah haji tidak hanya sekedar untuk menutup aurat, tetapi juga harus memperhitungkan dari aspek agama. 7) Pergaulan Antar Bangsa, dalam ibadah haji inilah tergambar lambang tauhid (persatuan) yang perlu dipahami oleh umat Islam yang menganut faham berbeda-beda tetapi harus berada dalam satu kesatuan untuk menjalin Ukhuwah Islamiyah. 8) Akhlak dalam Ibadah, dalam melakukan ibadah haji, jamaah haji harus beraklak terpuji.
Buku Bimbingan Ibadah Haji, Umrah, dan Ziarah (1998), karya Departemen Agama RI membahas mengenai Haji Mabrur. Mabrur berarti “diterima” kaitannya dengan ibadah haji adalah ibadah hajinya diterima oleh Allah SWT. Haji mabrur adalah perubahan sikap mental seseorang dan perlu pelestariannya antara lain yaitu: Suka mengucapkan salam, Selalu lemah lembut dalam berbicara, Senang dan suka meringankan beban orang lain, Perbuatannya lebih baik dari sebelum menunaikan ibadah haji.
Buku yang berjudul Biro Perjalanan Haji di Indonesia Masa Kolonial. Agen Herklots dan Firma Alsegoff & CO, yang diterbitkan tahun 2001 oleh Arsip Nasional Republik Indonesia Jakarta membahas mengenai persoalan perjalanan haji di Indonesia. Arsip perjalanan haji pada abab 19 dan awal abad 20 menunjukkan bahwa jamaah haji banyak dirugikan sebagai akibat upaya monopoli, kesederhanaan berfikir calon jamaah haji, lemahnya pengetahuan tentang situasi negeri asing. Liku-liku monopoli yang berakibat pada keharusan membayar biaya lebih mahal, kepercayaan berlebihan pada makelar perjalanan haji (pilgrim broker) serta rendahnya pengetahuan tentang negara tujuan haji,
bukan saja menjadikan banyak jamaah haji terjebak dalam hidup perbudakan/menjadi kuli kontrak atau bahkan tertipu sehingga menggunakan gelar haji yang diberikan oleh agen perjalanan haji tanpa menyadari bahwa calon haji yang bersangkutan belum sampai ke Makkah.
Fluktuasi peminat haji terus menerus meningkat setiap tahunnya. Ketika pemerintah kolonial Hindia Belanda membuka kebijaksanaan membolehkan pihak-pihak swasta turut mensukseskan usaha ini. Tetapi uluran tangan pemerintah kolonial menjadi bumerang bagi dirinya. Beberapa oknum baik pribumi, indo eropa ataupun arab dan keturunannya berbondong-bondong mendirikan biro/firma pemberangkatan–pemulangan jemaah dari Hindia Belanda ke Makkah atau sebaliknya. Munculnya berbagai biro swasta turut melaksanakan perjalanan perjalanan haji ini justru dijadikan kedok mengeruk keuntungan dibalik misi suci yang selalu diserukan tanpa memperhatikan keselamatan haji. Ini yang banyak dilupakan orang sekarang, lupa bagaimana bisnis biro haji pertama yang dilakukan oleh agen herllots dan firma alsegoff&co yang hanya mencari keuntungan dan tak peduli pada jamaahnya sejak tahun 1893an.
Buku Historiografi Haji Indonesia, karya Dr. M. Shaleh Putuhena yang diterbitkan tahun 2007 membahas mengenai sejarah haji dalam Islam. Pada awalnya menurut beberapa sumber, Nabi Adam telah melaksanakan ibadah haji dengan cara thawaf (mengelilingi Ka’bah) setelah membangun Kabah di Makkah. Nabi Ibrahim bersama puteranya, Ismail, setelah membangun kembali Ka’bah, memohon kepada Allah agar amalnya diterima, anak cucunya dijadikan sebagai umat yang tunduk kepada-Nya, dan diberikan petunjuk tentang tata cara
pelaksanaan ibadah haji. Permohonan keduanya terkabul. Ayah dan puteranya diperintahkan oleh Allah untuk melakukan tawaf dalam rangka melaksanakan haji. Nabi Ibrahim pun diperintahkan oleh Allah untuk menyeru manusia agar melaksanakan haji ke Baitullah. Beberapa nabi lainnya, seperti Nuh, Hud, Shaleh dan Syu,aib dikabarkan juga pernah melaksanakan haji ke Baitullah. Orang Arab pada masa Jahiliyah, masa sebelum Nabi Muhammad, juga memelihara tradisi Nabi Ibrahim tersebut, meskipun dengan cara yang agak berbeda.
Pada masa Nabi Adam, pelaksanaan ibadah haji tentu masih sangat sederhana. Nabi Adam melaksanakan ibadah haji setelah selesai membangun Ka’bah. Ketika itu Nabi Adam dibimbing oleh malaikat, baik tentang cara pelaksanaan ibadah haji maupun ucapan doanya. Nabi Adam melaksanakan thawaf sebanyak tujuh putaran. Setelah menyelesaikan thawaf, beliau kemudian mengerjakan shalat dua rakaat di depan pintu Ka’bah dan diakhiri dengan berdoa di pintu multazam.
Buku yang berjudul Berhaji di Masa Kolonial, karya Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, yang diterbitkan tahun 2008 membahas mengenai penyelenggaraan ibadah haji yang dilakukan kaum Muslimin Indonesia pada masa-masa penjajahan Belanda. Pada mulanya di Nusantara tidak tersedia kapal untuk mengangkut jamaah haji. Yang ada justru kapal dagang milik orang Arab dan India, tetapi kebanyakan berada di Singapura. Karena itu calon jamaah haji lebih senang ke Singapura atau Penang sebagai tempat embarkasi yang menyediakan kapal khusus mengangkut jamaah haji. Setelah terusan Suez dibuka (1869) dan ditemukannya
teknologi pembuatan kapal uap membuat perjalanan atau jarak tempuh menuju tanah suci menjadi lebih cepat.
Berdasarkan Catatan Statistik Pemerintah Hindia Belanda, ternyata setiap tahun jumlah jamaah haji Nusantara yang pulang lebih sedikit daripada yang berangkat. Kenyataan ini menimbulkan semacam “ketakutan” Pemerintah Hindia Belanda. Berawal dari sinilah sebenarnya motif Pemerintah Hindia Belanda ikut campur tangan dalam pelaksanaan pemberangkatan dan pemulangan jamaah haji Nusantara. Mereka berupaya menekan kuota (jumlah) calon jamaah dengan berbagai peraturan seperti Resolusi 1825, kemudian disempurnakan dengan
Ordonasi 1859.
Intensitas peningkatan pelayaran calon jamaah haji ke Arab terutama pada musim haji semakin tinggi mendorong Pemerintah Hindia Belanda mengambil kebijakan turut campur menangani transportasi yang akan dibantu pengawasannya oleh Konsulat Jeddah.
F.
Metode Penelitian
Penelitian ilmiah perlu didukung dengan metode agar penulisan menjadi teratur dan sesuai dengan petunjuk penulisan sejarah. Metode juga erat kaitannya dengan prosedur, proses atau teknik yang sistematis untuk melakukan penelitian disiplin tertentu. Hal itu bertujuan agar mendapat objek penelitian.7 Studi ini adalah studi sejarah yang memperhatikan ruang dan waktu, dalam penelitian maka digunakan metode sejarah.
7
Suhartono W. Pranoto, Teori & Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), hlm. 11.
Metode sejarah merupakan metode kegiatan mungumpulkan, menguji, dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau, kemudian merekonstruksi data-data yang diperoleh tersebut sehingga menghasilkan suatu historiografi (penulisan sejarah). 8 Metode sejarah memiliki empat tahap penelitian, yaitu : heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi.
1. Tahap Heuristik
Tahapan heuristik adalah tahapan pertama dalam aktivitas pengumpulan sumber atau data sejarah, baik itu sumber primer ataupun sumber sekunder. 9 Penelitian dan penulisan skripsi tersebut menggunakan metode pengumpulan sumber melalui studi arsip, studi pustaka, studi wawancara. Adapun sumber- sumber yang digunakan dalam penelitian sejarah dibedakan menjadi tiga yaitu:
a. Studi Arsip
Dokumen yang akan dipakai dalam penelitian diantaranya adalah UU No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, UU No. 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, Arsip tentang AD-ART IPHI Kota Surakarta, Arsip jumlah penduduk Surakarta tahun 1990-2014, Arsip tentang jumlah jamaah haji di Surakarta pada tahun 1992-2014, Arsip tentang kegiatan-kegiatan IPHI Kota Surakarta pada tahun 1992-2014.
8
Louis Gottshalk, Mengerti Sejarah, (Jakarta: Universitas Indonesia Press 1986), hlm. 32.
9
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1995) hlm. 94-97.
b. Studi Pustaka
Studi pustaka ialah teknik pengumpulan data dengan menggunakan literatur dan referensi sebagai bahan informasi untuk mendapatkan teori dan data sekunder yang baru sebagai pelengkap data yang tidak dapat diperoleh melalui studi dokumen pada sumber data penelitian. Sumber pustaka yang digunakan antara lain yaitu buku-buku, artikel atau sumber lain yang relevan dengan penelitian yang akan ditulis. Buku-buku yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Perpustakaan UNS, Perpustakaan IPHI Kota Surakarta dan Perpustakaan Jurusan Ilmu Sejarah UNS .
c. Wawancara
Wawancara merupakan sebuah cara yang dilakukan agar dapat melengkapi informasi yang kurang jelas dari suatu dokumen dan sekaligus sebagai penguji kebenaran serta keabsahan data. Wawancara ini dilakukan dengan narasumber yang berasal dari ketua IPHI Kota Surakarta mulai tahun 1992 hingga tahun 2014, pengurus IPHI Kota Surakarta tahun 1992-2014, jamaah haji kota Surakarta tahun 1992-2012 dan pegawai Kemenag Kota Surakarta.
2. Kritik Sumber
Kritik Sumber yaitu bertujuan untuk mencari keaslian dari sumber penelitian, diperoleh melalui kritik intern dan kritik ekstern.10 Kritik intern merupakan pencarian data dengan mempertimbangkan keaslian isi sumber, sedangkan kritik ekstern adalah mencari keaslian sumber.
10
Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 58.
a. Kritik Intern
Kritik intern dilakukan untuk mencari kevalidan dari isi sumber. Sehingga nantinya dapat ditentukan layak tidaknya isi sumber tersebut untuk dijadikan sebagai bahan penelitian. Pengujian terhadap aspek isi dari sumber sangat menentukan agar nantinya diperoleh data-data yang terpercaya.
b. Kritik Ekstern
Kritik Ekstern digunakan untuk mencari keabsahan sumber atau otentitas. Kritik eksternal ini dimaksudkan sebagai kritik atas asal-usul dari sumber dan suatu pemeriksaan keaslian atas sumber sejarah apakah sumber itu telah diubah atau tidak.
3. Interpretasi
Interpretasi yaitu penafsiran terhadap fakta-fakta yang dimunculkan dari data-data yang sudah terseleksi dengan disesuaikan pada tema yang diteliti. Interpretasi juga merupakan cara menentukan maksud saling berhubungan fakta-fakta yang diperoleh setelah terkumpul sejumlah informasi mengenai peristiwa sejarah yang diteliti. Suatu peristiwa agar menjadi kisah sejarah yang baik maka perlu diinterpretasikan berbagai fakta yang lepas satu dengan yang lainya harus dirangkaikan atau dihubungkan sehingga membentuk satu kesatuan bermakna. Dalam proses interpretasi tidak semua fakta dapat dimasukkan tetapi harus di pilih mana yang relevan dengan gambaran cerita yang akan disusun.
Analisis dalam penulisan ini adalah deskriptif analitis. Deskriptif analitis menggambarkan sebuah fenomena dengan ciri-cirinya yang terdapat di dalam fenomena tersebut berdasarkan fakta-fakta yang ada. Setelah itu dari bahan
dokumen dan studi pustaka, tahap selanjutnya adalah diadakan analisis, diinterpretasikan dan ditafsirkan isinya apa adanya. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan ilmu sosial keagamaan, dimana peran sebuah organisasi masyarakat sangat berpengaruh dan saling terikat dalam kehidupan bermasyarakat.
Tema ini dipilih karena penulisan sejarah dan peranan Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) Kota Surakarta memiliki kedudukan yang penting. Keberadaan Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) Kota Surakarta sangat dibutuhkan terutama dalam memberikan pelayanan kepada calon jamaah haji dan para haji agar dapat menjaga kemabruran hajinya.
4. Historiografi
Pada tahap yang paling akhir adalah Historiografi, yakni tahap penulisan sejarah. Historiografi merupakan hasil penafsiran pada sejumlah fakta yang telah disusun secara kronologis menjadi suatu kesatuan peristiwa sejarah yang jelas dan selaras.
G.
Sistematika Penelitian
Penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab. Adapun tujuan dari pembagian perbab tersebut tidak lain adalah untuk memudahkan pembaca dalam memahami skripsi ini. Pada setiap bab memiliki sub-sub bab yang akan diuraikan dibawah ini:
Bab I merupakan pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II berisikan tentang pemaparan gambaran umum lokasi penelitian, meliputi: tinjauan geografis, tinjauan demografis, tinjauan pelaksanaan haji dan pelayanannya di Indonesia.
Bab III pembahasan mengenai gambaran umum Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) Kota Surakarta, meliputi: latar belakang, visi, misi, tugas, tujuan, struktur organisasi, motivasi para haji bergabung dalam Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) Kota Surakarta.
Bab IV pembahasan mengenai pemahaman haji mabrur, perkembangan jamaah haji Kota Surakarta, peran Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) Kota Surakarta dalam membantu memberikan bekal bagi calon haji yang akan melaksanakan ibadah haji mulai dari manasik haji, pelaksanaan haji di tanah suci dan usaha-usaha apa saja yang dilakukan Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) Kota Surakarta dalam menjaga kemabruran para jamaah haji.
Bab V merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan dari penulisan skripsi.