2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Rumput Laut Kappaphycus alvarezii
Rumput laut umumnya tumbuh melekat pada substrat tertentu, misalnya melekat pada karang, lumpur, pasir, batu dan benda keras lainnya, tidak mempunyai akar, batang ataupun daun sejati tetapi hanya menyerupai batang yang disebut thallus. Klasifikasi Kappaphycus alvarezii adalah sebagai berikut (Anggadiredja et al 2006): Kingdom : Plantae Divisi : Rhodophyta Kelas : Rhodophyceae Ordo : Gigartinales Family : Solieiaceae Genus : Eucheuma
Spesies : Eucheuma cotonii (Kappaphycus alvarezii)
Bentuk dari Eucheuma cotonii (Kappahycus alvarezii) dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Kappaphycus alvarezii Sumber: Anonima (2009)
Ciri-ciri fisik dari Kappahycus alvarezii mempunyai ”thallus” kasar, agak pipih dan bercabang teratur, ujung-ujung percabangan ada yang runcing dan tumpul dengan permukaan bergerigi, agak kasar dan berbintil-bintil. Rumput laut ini dalam pertumbuhannya memerlukan cukup arus dengan salinitas yang stabil (28-34 permil), oleh karena itu akan hidup lebih baik bila jauh dari muara sungai. Adapun warna dari rumput laut ini adalah kuning kecoklatan hingga merah ungu (Afrianto dan Lifiani 1993).
2.2 Kandungan Kimia Rumput Laut Kappaphycus alvarezii
Kandungan utama rumput laut adalah karbohidrat ( gula dan vegetable-gum), protein dan lemak. Rumput laut dapat dijadikan sumber gizi karena umumnya mengandung karbohidrat, protein, sedikit lemak dan abu. Selain itu juga rumput laut merupakan sumber vitamin seperti vitamin A, B1, B2, B6, B12 dan vitamin C serta mengandung mineral seperti kalium (K), calcium (Ca), fosfor (P), natrium (Na), besi (Fe) dan iodium (Istini et al. 1986).
Komposisi kimia rumput laut bervariasi antar spesies, habitat, kematangan dan kondisi lingkungannya. Kandungan utama rumput laut segar adalah air yang mencapai 80-90 persen, sedangkan kadar protein dan lemaknya sangat kecil. Walaupun kadar lemaknya sangat sedikit, namun susunan asam lemaknya sangat penting bagi kesehatan. Asam lemak pada rumput laut sangat penting buat tubuh, antara lain untuk pembentuk membrane jaringan otak, syaraf, retina mata, plasma darah dan organ reproduksi (Winarno 1990). Komposisi kimia rumput laut Kappahycus alvarezii dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi kimia rumput laut Kappahycus alvarezii
Zat kimia Jumlah (%)
Karbohidrat 57.52 Protein 3.46 Lemak 0.93 Kadar air 14.96 Kadar abu 16.05 Serat kasar 7.08 Sumber: Yunizal (2004)
Rumput laut Kappahycus alvarezii memproduksi karaginan. Karaginan merupakan getah rumput laut yang diekstrak dari spesies tertentu kelas Rhodophyceae (rumput laut merah) dengan menggunakan air atau larutan alkali. Karaginan merupakan polisakarida polisakarida hidrofilik linear yang memiliki berat molekul tinggi dan tersusun dari disakarida berulang dengan unit galaktosa dan 3,6 anhidrogalaktosa, terdiri dari grup sulfat dan non sulfat, bergabung dengan rantai glikosidik dengan α-(1,3) dan β-(1,4) yang saling bertukar (Imeson 2010).
Berdasarkan struktur dan komposisi kimianya, ada beberapa jenis karaginan. Secara komersial ada tiga jenis karaginan yaitu iota, kappa dan lamda. Ketiga jenis karaginan ini digunakan berdasarkan kemampuannya dalam membentuk gel. Iota karaginan membentuk gel yang elastis dengan garam kalsium, membentuk gel yang jernih serta tidak mengalami sineresis. Gel yang dihasilkan ioa karaginan bersifat stabil dalam suhu beku. Kappa karaginan menghasilkan gel yang kuat dan kaku dan bereaksi baik dengan garam potassium. Kappa karaginan menghasilkan gel yang rapuh dengan adanya garam kalsium. Gel yang dihasilkan sebagian mengalami sineresis. Kappa karaginan larut dengan baik di dalam larutan sukrosa panas. Sedangkan lamda karaginan tidak dapat membentuk gel, karena tidak mengandung 3,6-anhidrogalaktosa (FAO 2003). Struktur karaginan, jenis kappa, iota lamda, dan theta dapat dilihat pada Gambar 2.
.
Gambar 2. Struktur monomer karaginan jenis kappa, iota, lamda dan theta Sumber: (Imeson 2010)
Larutan kappa dan iota bersifat reversible, artinya bila larutan dipanaskan kembali maka gel akan kembali mencair. Pembentukan gel ini diperkirakan karena terbentuknya struktur sulur ganda. Adanya ion monovalen yaitu NH4+, K+,
Rb+, dan Cs+ membantu pembentukan gel kappa, sedangkan iota membentuk gel yang kuat dan stabil bila ada ion Ca2+. Ion Na+ dilaporkan dapat menghambat pembentukan gel karagenan jenis kappa dan lamda. Potensi membentuk gel dan
viskositas larutan karagenan akan menurun dengan menurunnya pH, karena adanya ion H+ membantu ion H+ proses hidrolisis ikatan glikosidik pada molekul karagenan. Potensi membentuk gel dan viskositas larutan karaginan akan menurun dengan menurunnya pH, karena adanya ion H+ membantu ion H+ proses hidrolisis ikatan glikosidik pada molekul karaginan. Mekanisme pembentukan gel karaginan dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Mekanisme pembentukan gel karagenan
Sumber : Angka dan Maggy (2000)
2.3 Permen
Permen merupakan salah satu makanan yang banyak disukai oleh masyarakat, yang dicirikan dari ragam, bentuk, rasa, warna dan jenis yang terdapat di pasaran. Kadar air pada permen berkisar 4-5%. Kadar air yang berlebihan menyebabkan terjadinya penyerapan air oleh permen berlangsung cepat dan diikuti proses kristalisasi permukaan yang merupakan awal tahap pembentukan graining (Buckle et al 1987). Pada umumnya permen akan mengalami kerusakan menjadi lengket karena pengaruh kelembaban dan suhu lingkungan. Menurut Edmond (2000) diacu dalam Tan dan Miang (2008) kristalisasi gula dapat menyebabkan penurunan kadar air dan peningkatan kekerasan dari produk
Menurut Zumbe et al (2001) penggunaan polyols (gula alkohol) pada produk konveksioneri dapat menurunkan kadar gula dan kalori. Akan tetapi penggunaan polyols yang berlebihan dapat menyebabkan gangguan pada gastrointestinal. Adapun gula yang termasuk ke dalam polyols antara lain: sorbitol, xylitol, mannitol, maltitol, isomalt dan lactitol. Polyols memiliki kandungan kalori yang lebih sedikit dibandingkan dengan sukrosa.
2.3.1 Permen Jelly
Permen jelly merupakan permen yang terbuat dari komponen-komponen air, flavor, gula dan bahan pembentuk gel. Permen jelly mempunyai penampakan jernih, transparan serta mempunyai tekstur yang elastis dengan kekenyalan tertentu. Mutu permen jelly diatur dalamSNI kembang gula dan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Syarat Mutu Permen Jelly
Kriteria uji Satuan Persyaratan Mutu
Bentuk - Normal Rasa - Normal Bau - Normal Air % (b/b) Maks 20,0 Abu % (b/b) Maks 3,0 Sakarosa % (b/b) Min 30
Pemanis buatan - Negatif
Pewarna tambahan - Negatif
Gula pereduksi (sebagai gula invert)
(% b/b) Maks 20
Kadar timbal (Pb) mg/kg Maks 1,5
Kadar tembaga (Cu) mg/kg Maks 10
Kadar seng (Zn) mg/kg Maks 10
Kadar raksa (Hg) mg/kg Maks 0,03
Kadar timah (Sn) mg/kg Maks 40
Cemaran arsen (As) mg/kg Maks 1,0
Angka lempeng total Koloni/g Maks 5x104
Bakteri koliform APM/g Maks 20
E. coli APM/g Kurang dari 3
Salmonella Negatif/ 25 g
Staphylococcus aureus Koloni/g Maks 102
Kapang dan khamir Koloni/g Maks 102
Sumber: SNI 01-3547-1994
Adanya partikel-partikel yang tersuspensi seperti protein, tannin dan polisakarida (pati) menyebabkan warna permen jelly yang dihasilkan menjadi keruh (Hunaefi 2002). Permen jelly termasuk ke dalam pangan semi basah yang memiliki kadar air 10-40% dengan aw 0,6-0,9 (Buckle et al 1987).
Pembuatan permen jelly meliputi pencampuran gula yang dimasak dengan padatan yang diperlukan dan penambahan bahan pembentuk gel (gelatin, agar,
pektin atau karaginan) dengan cita rasa dan aroma serta bentuk yang menarik. Kekerasan dan tekstur permen jelly tergantung pada bahan pembentuk gel yang digunakan. Permen jelly memiliki sifat kecenderungan menjadi lengket satu sama lain karena sifat higroskopis dari gula pereduksi yang membentuk permen. Oleh karena itu permen jelly memerlukan bahan pelapis berupa campuran tepung tapioka dengan tepung gula. Selain itu bahan pelapis ini juga berfungsi untuk menambah rasa manis (Buckle et al 1987).
Pada perkembangannya, permen jelly tidak hanya dibuat dari sari buah, melainkan dapat juga dibuat dari rumput laut. Pembuatan permen jelly rumput laut yang dilakukan oleh Purba (1997) menggunakan karagenan dan bahan-bahan lain, High Fructose Syrup (HFS), sukrosa, essence, asam sitrat, tepung tapioka, dan gula bubuk.
A. High Fructose Syrup (HFS)
High Fruktose Syrup (HFS) adalah gula yang berasal dari pati atau pemanis non tebu seperti halnya gula kelapa, gula aren dan gula bit. HFS diproses dari pati jagung, gandum, beras, kentang dan umbi-umbian lainnya melalui proses ekstraksi enzimatik dan mikrobial. Kandungan utama HFS adalah glukosa dan fruktosa, dengan kadar fruktosa antara 42 % sampai 55 %. Berdasarkan kandungan fruktosanya, saat ini dikenal dua jenis HFS yaitu HFS-42 dan HFS-55. Inulin adalah jenis HFS lain yang merupakan hasil ekstrak dari akar chicory dan Jerusalem artichokes. Pemanis ini mengandung 85 persen fruktosa dan 15 persen glukosa. HFS yang berbentuk cair sangat menguntungkan untuk penggunaan industri minuman. Tetapi sekarang HFS juga banyak digunakan di industri beralkohol, makanan hewan, permen, soft drink, makanan, dan farmasi (Rismana dan Imam 2002).
Dalam pengolahan bahan pangan, HFS mempunyai fungsi sebagai penguat cita rasa, mencegah pembentukan kristal gula dan mampu menghambat pertumbuhan mikroorganisme dengan tekanan osmosa yang tinggi serta aw yang
rendah. Penambahan gula dengan kadar yang tinggi akan menyerap dan mengikat air sehingga air tidak dapat digunakan oleh mikroba (Tjokroadikoesoemo 1986).
Sirup fruktosa (HFS) merupakan produk berbentuk cairan kental dan jernih dengan kadar fruktosa tinggi, umumnya diperoleh dari proses enzimatik pati (SNI 01-2985-1992). Syarat mutu HFS dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Syarat mutu High Fructose Syrup (HFS)
No. Kriteria uji Satuan Persyaratan
HFS 42 HFS 55 1. Keadaan : 1. Bau 2. Rasa 3. Warna - - RBU Tidak berbau Manis Maks. 35 Tidak berbau Manis Maks. 35 2. Kekeruhan (nilai absorbansi pada 720 nm
dari larutan 54 Brix) - Maks. 0,02 Maks. 0,02
3. Jumlah padatan % b/b 70,5-71,5 76,5-77,5
4. Abu sulfat % b/b Maks. 0,05 Maks. 0,05
5. Fruktosa % (adbk) Min. 42 Min. 55
6. Dekstrosa % (adbk) 50-53 39-42
7. Belerang dioksida (SO2) mg/kg Maks. 20 Maks. 20
8. pH (tanpa pengenceran) - 3,5-4,5 3,5-4,5
9. Cemaran logam : 1. Timbal (Pb)
2. Tembaga (Cu) mg/kg mg/kg Maks 0,05 Maks. 2,0 Maks 0,05 Maks. 2,0
10. Arsen mg/kg Maks. 1,0 Maks. 1,0
11 Cemaran mikroba : 1. Angka lempeng total 2. Coliform 3. E. coli 4. Kapang 5. Khamir Koloni/gram APM/gram APM/gram Koloni/gram Koloni/gram Maks. 5,0 x 102 Maks. 20 < 3 Maks. 50 Maks. 50 Maks.5,0 x 102 Maks. 20 < 3 Maks. 50 Maks. 50 Sumber : SNI 01-2985 (1992) B. Sukrosa
Gula adalah istilah umum yang sering diartikan bagi setiap karbohidrat yang digunakan sebagai pemanis, tetapi dalam industri pangan biasanya digunakan untuk menyatakan sukrosa (Buckle et al. 1985). Sukrosa (gula tebu) merupakan salah satu jenis disakarida yang terdiri dari molekul glukosa dan fruktosa. Penggunaan sukrosa dalam pengolahan pangan dapat mencegah pertumbuhan mikroorganisme, sehingga dapat digunakan sebagai bahan pengawet. Penambahan sukrosa dalam pembuatan produk makanan berfungsi untuk memberikan rasa manis, dan dapat pula sebagai pengawet yaitu dalam konsentrasi tinggi menghambat pertumbuhan mikroorganisme dengan cara menurunkan aktivitas air dari bahan (Winarno dan Srikandi 1974).
C. Essence
Essence digolongkan sebagai bahan tambahan pangan yang dapat memberikan, menambah, mempertegas aroma dan rasa. Terdapat dua jenis essence, yaitu essence alami dan buatan. Essence alami diekstrak dari senyawa aroma yang terdapat pada bahan pangan (ester-ester volatil), sedangkan essence buatan berasal dari sintesis senyawa-senyawa yang menimbulkan aroma. Senyawa ester tertentu memiliki aroma yang menyerupai buah-buahan, seperti amil asetat yang mempunyai aroma menyerupai aroma pisang, dan lain lain (Winarno dan Srikandi 1974).
Menurut Ali (1987), penambahan essence sangat penting dalam mempengaruhi tanggapan organoleptik dan penerimaan konsumen. Penambahan essence buatan bertujuan untuk mencegah hilangnya flavor akibat pemasakan pada suhu yang tinggi dan waktu pemasakan yang terlalu lama. Selain itu, penggunaannya dapat memberikan aroma yang disukai, sekaligus untuk menutup bau khas gelatin akibat pemasakan.
D. Asam sitrat
Asam sitrat merupakan asam yang terdapat pada jeruk dan lemon. Adanya asam sitrat ini menyebabkan lemon dan jeruk memiliki rasa asam dan lambat menjadi busuk. Asam yang dikombinasikan dengan panas akan menyebabkan panas tersebut lebih bersifat penghambat terhadap mikroorganisme (Winarno dan Srikandi 1974).
Asam sitrat berfungsi sebagai pemberi rasa asam dan mencegah kristalisasi gula. Selain itu asam sitrat juga berfungsi sebagai katalisator hidrolisa sukrosa ke bentuk gula invert selama penyimpanan serta penjernih gel yang dihasilkan. Keberhasilan pembuatan permen jelly tergantung dari derajat keasaman untuk mendapat pH yang diperlukan. Nilai pH dapat diturunkan dengan penambahan sejumlah kecil asam sitrat. Penambahan asam sitrat dalam permen jelly beragam tergantung dari bahan baku pembentuk gel yang digunakan. Banyaknya asam
sitrat yang digunakan dalam permen jelly berkisar 0,2-0,3% (Anonim b2007).
2.3.2 Kualitas permen jelly
Kekerasan dan tekstur permen jelly tergantung pada bahan pembentuk gel yang digunakan. Gelatin mempunyai konsistensi yang lunak dan bersifat seperti karet, sedangkan agar-agar bersifat lunak dan agak rapuh. Pektin menghasilkan tekstur yang sama dengan agar-agar, tetapi gelnya lebih baik pada pH rendah, sedangkan karagenan menghasilkan gel yang kuat (Buckle et al 1987).
Menurut Muchtadi dan Sugiyono (1989) kerusakan utama pada hasil olahan permen jelly adalah sebagai berikut:
a. Terbentuknya Kristal-kristal karena bahan yang terlarut cukup banyak, sedangkan gula tidak cukup untuk melarut sehingga membentuk kristal kembali.
b. Gel besar dan kaku, disebabkan oleh kadar gula yang rendah atau karena pembentuk gel yang tidak cukup.
c. Gel yang kurang padat dan menyerupai sirup, karena kadar gula yang terlalu tinggi dan tidak seimbang dengan pembentuk gel.
d. Pengeluaran air dari gel karena terlalu banyak asam.
2.4 Gelatin
Gelatin merupakan bentuk turunan dari kolagen hewan. Secara tradisional gelatin dapat diperoleh melalui proses hidrolisis dari tulang dan kulit. Selain dari sapi dan babi, kulit ikan juga kaya akan protein kolagen, sehingga dapat digunakan sebagai sumber gelatin. Akan tetapi gelatin yang diperoleh dari kulit ikan memiliki kandungan prolin dan hidroksiprolin yang lebih sedikit (Bower et al 2006).
Hasil proses hidrolisis irreversible dari bagian tubuh yang berkolagen akan menghasilkan gelatin (Ward 1977). Gelatin dibagi menjadi dua grup, yaitu gelatin tipe A yang dihasilkan melalui proses asam dan gelatin tipe B yang dihasilkan melalui proses basa (Poppe 1992).
Gelatin yang berbentuk lembaran dan butiran sebelum digunakan perlu direndam terlebih dahulu (Lees dan Jackson 1983). Gelatin memiliki sifat dapat berubah secara reversible dari bentuk sol ke gel dan tidak larut dalam air dingin Gelatin jika direndam dalam air dingin akan mengembang dan menjadi lunak, berangsur-angsur menyerap air 5-10 kali bobotnya. Gel gelatin mulai leleh pada
suhu 27-34oC (Poppe 1992). Jika dipanaskan pada suhu 71oC gelatin akan larut karena pecahnya agregat molekul dan cairan yang tadinya bebas menjadi terperangkap sehingga larutan menjadi kental. Jumlah gelatin untuk menghasilkan gel yang diinginkan berkisar antara 5-12% tergantung dari kekerasan produk akhir yang diinginkan (Lees dan Jackson 1983). Berdasarkan SNI No. 06-3735-1995, gelatin adalah protein yang diperoleh dari bahan kolagen kulit, membran, tulang, dan bagian tubuh berkolagen lainnya. Syarat mutu gelatin dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Syarat mutu gelatin
Jenis uji Satuan Persyaratan
Warna - Tidak berwarna sampai
kekuning-kuningan pucat Bau dan rasa larutan - Normal
Susut pengeringan (%) Maksimum 16 Kadar abu (%) Maksimum 3,25 Logam berat (mg/kg) Maksimum 50
Arsen (mg/kg) Maksimum 2 Tembaga (mg/kg) Maksimum 30 Seng (mg/kg) Maksimum 100 Sulfit (mg/kg) Maksimum 1000 Sumber : SNI 06-3735 (1995) 2.5 Pati termodifikasi
Salah satu sifat pati adalah tidak larut dalam air dingin, karena molekulnya berantai lurus atau bercabang tidak berpasangan, sehingga membentuk jaringan yang mempersatukan granula pati. Kesulitan dalam penggunaan pati adalah pemasakannya memakan waktu yang cukup lama dan pasta yang terbentuk cukup keras. Selain itu, terjadinya proses retrogradasi dan sineresis pada pati alami sering tidak dikehendaki. Retrogradasi merupakan proses kristalisasi kembali dan pembentukan matrik pati yang telah mengalami gelatinisasi akibat pengaruh suhu (Nopianto 2009).
Untuk mengatasi hal tersebut, maka perlu dilakukan modifikasi pati sehingga diperoleh sifat-sifat yang cocok untuk aplikasi tertentu. Modifikasi pati merupakan salah satu upaya untuk mengubah sifat kimia dan atau fisik dari pati alami. Modifikasi pati dapat dilakukan dengan cara pemotongan struktur molekul, penyusunan kembali struktur molekul, oksidasi atau dengan cara
melakukan substitusi gugus kimia pada molekul pati. Terdapat beberapa metode modifikasi antara lain modifikasi kimia, fisika maupun dengan hidrolisis.
Pati termodifikasi merupakan pati yang telah dimodifikasi baik viskositas, daya ikat terhadap air, retrogradasi, dan suhu gelatinisasinya. Pati termodifikasi banyak ditemukan untuk pemakaian yang luas, baik industri pangan maupun industri non pangan (Heeres et al 2001).
Ciri fisik dari pati termodifikasi yaitu berwarna putih, berbentuk bubuk, kelembapan sekitar 14%, dan nilai pH ± 5. Pati termodifikasi memiliki kemampuan membentuk gel yang cepat, sehingga direkomendasikan untuk digunakan dalam sitem pangan yang menuntut proses pemasakan yang cepat, suhu yang lebih rendah, dan pembentukan gel yang elastis. Pati termodifikasi memiliki kelarutan yang rendah ketika dipanaskan, dan mampu dengan cepat membentuk gel ketika dingin. Sifat ini juga meberikan daya elastisitas yang menghasilkan tingkat kekuatan gel yang berbeda-beda (Anonimc 2009).
Aplikasi pati termodifikasi ditemukan secara luas pada perusahaan permen, termasuk permen jelly. Tingkat penggunaan pati termodifikasi dapat bermacam-macam untuk menghasilkan tekstur yang berbeda. Produk gum dan jelly dengan pati ini memiliki tekstur yang sangat lentur.
2.6 Aktivitas Air
Air dalam bahan pangan berperan sebagai pelarut dari beberapa komponen selain ikut serta sebagai bahan pereaksi, sedangkan bentuk air dapat ditemukan sebagai air bebas dan air terikat. Air bebas dapat dengan mudah hilang apabila terjadi penguapan atau pengeringan sedangkan air terikat sulit dibebaskan dengan cara tersebut. Air dapat terikat secara fisik, yaitu ikatan menurut system kapiler dan air terikat secara kimia, antara lain kristal dan air yang terikat dalam sitem dispersi ( Buckle et al 1987). Kadar air dalam bahan pangan dengan daya awetnya memiliki hubungan yang erat. Pengurangan air bertujuan untuk mengawetkan bahan pangan sehingga dapat tahan terhadap kerusakan mirobiologis dan kimiawi (Fennema 1985).
Kriteria ikatan air dalam aspek daya awet bahan pangan dapat ditinjau dari kadar air, konsentrasi larutan, tekanan osmotik, kelembaban relatif berimbang dan aktivitas air (Purnomo 1995). Kadar air dan konsentrasi larutan hanya sedikit
berhubungan dengan sifat-sifat air yang terdapat dalam bahan pangan dan tidak dapat dijadikan sebagai indikator nyata dalam menentukan daya simpan bahan pangan (Syarief dan Halid 1993). Secara umum dapat dinyatakan bahwa kadar air dan aktivitas air (aw) sangat berpengaruh dalam menentukan masa simpan dari
produk pangan, karena faktor ini akan mempengaruhi sifat-sifat fisik (kekerasan dan kekeringan) dan sifat-sifat fisiko kimia, perubahan-perubahan kimia (pencoklatan non enzimatis), kerusakan mikrobiologis dan perubahan enzimatis terutama pangan yang tidak diolah (Winarno dan Jenie 1983). Aktivitas air (aw)
sangat menentukan pertumbuhan berbagai mikroorganisme yang terdapat pada bahan pangan. Nilai aw minimum bagi pertumbuhan berbagai mikroorganisme
dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. aw minimum dalam pertumbuhan mikroba
No Jenis mikroorganisme aw minimum pertumbuhan
1 Bakteri 0,91 2 Khamir 0,88 3 Kapang 0,80 4 Bakteri halofilik 0,75 5 Kapang xerofilik 0,65 6 Khamir osmofilik 0,60
Sumber: Reardon dan Wade (1991)
Hubungan antara aktivitas air dan mutu bahan pangan yang dikemas adalah sebagai berikut (Labuza 1982):
1. Produk dikatakan tidak aman pada selang aktivitas air sekitar 0,7-0,75 dan di atas selang tersebut mikroorganisme berbahaya dapat mulai tumbuh dan produk mulai beracun.
2. Pada selang aktivitas air sekitar 0,6-0,7 jamur dapat mulai tumbuh.
3. Aktivitas air sekitar 0,35-0,5 dapat menyebabkan makanan ringan hilang kerenyahannya.
4. Produk pasta yang terlalu kering selama pengeringan atau kehilangan air selama distribusi atau penyimpanan, akan mudah hancur, rapuh selama dimasak atau karena goncangan mekanis. Hal ini terjadi pada selang aktivitas air 0,4-0,5.
Secara kimia, Hukum Raoult menyatakan bahwa aktivitas air berbanding lurus dengan jumlah molekul di dalam pelarut (solvent) dan berbanding terbalik dengan jumlah molekul di dalam laruran (solution). Secara matematis nilai aw dapat dirumuskan dengan:
a
w=
Keterangan:n1 = jumlah molekul dari zat yang dilarutkan
n2 = jumlah molekul pelarut
n1+n2 = jumlah molekul di dalam larutan
Aktivitas air (aw) menunjukkan sifat bahan itu sendiri, sedangkan RHs
menggambarkan sifat lingkungan di sekitarnya yang berada dalam keadaan seimbang dengan bahan tersebut. Dengan kata lain peranan air dalam bahan pangan biasanya dinyatakan dalam kadar air dan aktivitas air, sedangkan peranan air di udara dinyatakan dalam kelembaban relatif dan kelembaban mutlak. Bertambah atau berkurangnya kandungan air suatu bahan pangan pada suatu keadaan lingkungan sangat tergantung pada ERH lingkungannya (Kumendong 1986).
2.7 Umur Simpan
Menurut Institute of Food Technologist, umur simpan produk pangan adalah selang waktu antara saat produksi hingga saat konsumsi dimana produk berada dalam kondisi yang sesuai dengan harapan konsumen. Sedangkan National Food Processor Association mendefinisikan bahwa umur simpan adalah suatu produk secara umum dapat diterima untuk tujuan seperti yang diinginkan oleh konsumen dan selama bahan pengemas masih memiliki integritas serta masih memproteksi isi kemasan (Arpah 2001). Umur simpan adalah waktu yang diperlukan oleh produk pangan dalam suatu kondisi penyimpanan untuk sampai
pada suatu level atau tingkatan degradasi mutu tertentu (Ghanasekharan dan John 1993).
Hasil atau akibat dari berbagai reaksi kimiawi yang terjadi dalam produk pangan bersifat akumulatif dan irreversible selama penyimpanan, sehingga pada saat tertentu hasil reaksi tersebut mengakibatkan mutu pangan tidak dapat
diterima lagi. Jangka waktu akumulasi reaksi yang mengakibatkan mutu pangan
tidak dapat diterima lagi disebut jangka waktu kadaluarsa. Penentuan umur simpan suatu produk dilakukan dengan mengamati produk
selama penyimpanan sampai terjadi perubahan yang tidak dapat diterima lagi oleh konsumen. Perubahan mutu pangan terutama dapat diketahui dari perubahan faktor mutu tersebut. Oleh karena itu, dalam menentukan daya simpan suatu
produk perlu dilakukan pengukuran terhadap atribut mutu tersebut Faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpan bahan pangan yang dikemas
adalah sebagai berikut (Syarief dan Halid 1993):
1. Keadaan alamiah atau sifat makanan dan mekanisme berlangsungya perubahan, misalnya kepekaan terhadap air dan oksigen dan kemungkinan terjadinya perubahan internal dan fisik. 2. Ukuran kemasan dalam hubungan dengan volume.
3. Kondisi atmosfer (terutama suhu dan kelembaban) dimana kemasan dapat bertahan selama transit dan sebelum digunakan. 4. Kekuatan keseluruhan dari kemasan terhadap keluar masuknya air,
gas dan bau, termasuk perekatan, penutupan, dan bagian-bagian yang terlipat.
Konsumen harus memperoleh informasi tentang umur simpan dari produk yang dikonsumsinya. Informasi tersebut dapat berupa tanggal pada saat produk diproduksi (pack date), tanggal pada saat produk diletakkan di toko (display date), tanggal terakhir yang dianjurkan untuk konsumen membeli produk tersebut, sehingga masih mempunyai jangka waktu untuk mengkonsumsinya tanpa produk tersebut mulai mengalami kerusakan (pull date sell by date), waktu maksimum dimana produk masih memiliki kualitas tinggi (best if used by date), atau tanggal
pada saat produk sudah tidak dapat diterima lagi oleh konsumen (use by date atau expired date) (Labuza 1982).
Regulasi pencantuman waktu kadaluarsa di Indonesia tercantum dalam Surat Keputusan Dirjen POM No. 02240/B/SK/VII/91, tanggal 2 Juli 1991. Peraturan yang lebih luas mulai dilakukan dengan berlakunya UU Nomor 7 tahun 1996 tentang pangan khususnya pasal 21(e) tentang pangan tercemar.Pelabelan waktu kadaluarsa pangan diatur dalam PP Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label
dan Iklan Pangan. Di dalam pasal 27 disebutkan: (1) tanggal, bulan dan tahun kadaluarsa wajib dicantumkan secara jelas pada label; (2) pencantuman tanggal, bulan dan tahun kadaluarsa dilakukan setelah pencantuman tulisan “ baik digunakan sebelum” sesuai dengan jenis dan daya tahan pangan yang bersangkutan; (3) dalam hal produk pangan yang kadaluarsanya lebih dari 3 bulan, diperbolehkan hanya untuk mencantumkan bulan dan tahun kadaluarsanya.
Beberapa asumsi dasar yang sering digunakan dalam perhitungan masa simpan produk adalah sebagai berikut (Ghanasekharan dan John 1993):
1. Mekanisme kerusakan yang terjadi sangat tergantung pada faktor lingkungan (tekanan parsial oksigen, kelembaban relative dan temperatur) dan faktor komposisi (pH, konsentrasi, aktivitas air dan sebagainya.
2. Laju penurunan mutu dapat ditentukan dengan menghubungkan beberapa hasil penilaian organoleptik dan toksikologi
3. Kemasan diasumsikan bebas dari kebocoran sehingga karateristik penyerapan hanya tergantung pada bahan kemasan saja.
2.7.1 Model kadar air kritis
Pendugaan umur simpan dengan pendekatan model kadar air kritis umumnya digunakan untuk produk pangan yang relatif mudah rusak akibat penyerapan kadar air dari lingkungan. Dalam metode kadar air kritis, kerusakan produk didasarkan semata-mata akibat menyerap air dari luar hingga mencapai batas yang tidak dapat diterima secara organoleptik. Kadar air pada kondisi dimana produk tidak dapat diterima secara organoleptik disebut kadar air kritis. Waktu yang diperlukan oleh produk untuk mencapai kadar air kritis menyatakan umur simpan produk. Produk pangan yang umur simpannya dapat ditentukan dengan metode kadar air kritis antara lain biskuit, wafer, produk konfeksioneri (permen), makanan ringan (snack dan chips), dan produk instan (powder) (Labuza 1982).
Penentuan umur simpan dengan model kadar air kritis terdiri dari dua pendekatan yaitu:
A. Pendekatan kurva sorpsi isothermis
Bahan makanan bersifat higroskopis, yaitu dapat menyerap uap air dari udara di sekelilingnya (adsorpsi) dan juga melepas uap air yang dikandungnya ke
udara (desorpsi). Karakteristik hidratasi bahan pangan dapat diartikan sebagai karateristik fisik yang meliputi interaksi antara bahan pangan dengan molekul air yang terkandung di dalamnya dan molekul udara di sekitarnya. Secara umum sifat-sifat hidratasi ini dapat digambarkan dalam sebuah kurva sorpsi isotermis, yaitu kurva yang menunjukkan hubungan antara kadar air bahan pangan dengan kelembaban relatif seimbang ruang tempat penyimpanan (RHs) atau aktivitas air (aw) pada suhu tertentu (Syarief dan Halid 1993). Secara umum dapat dikatakan
bahwa kurva sorpsi isotermis khas untuk setiap bahan pangan (Winarno 2004). Menurut Chirife dan Iglesias (1978), beberapa kendala yang dihadapi dalam menyusun suatu persamaan yang dapat menjelaskan kurva sorpsi isothermis pada keseluruhan selang aw yang ada dan dapat diaplikasikan untuk
berbagai jenis bahan pangan adalah sebagai berikut:
1. Perubahan aw pada bahan pangan dipengaruhi oleh kombinasi
berbagai macam faktor yang masing-masing mendominasi dalam selang aw yang berbeda
2. Sorpsi isothermis suatu bahan pangan menggambarkan kemampuan higroskopis yang kompleks dan dipengaruhi oleh interaksi baik fisik maupun kimia antara komponen-komponen bahan pangan tersebut yang diinduksi oleh pemanasan atau perlakuan awal lainnya.
3. Pada saat bahan pangan menyerap air dari lingkungannya, bahan pangan tersebut umumnya akan mengalami perubahan baik perubahan fisik, kimia dan lainnya.
Kurva sorpsi isothermis yang dapat diasumsikan linear, kemudian dapat digunakan untuk mendapatkan persamaan kurva sorpsi isothermis. Selanjutnya Labuza et al (1985) memformulasikan persamaan penentuan umur simpan dengan model kadar air kritis sebagai berikut:
ln
Keterangan:
Me : Kadar air kesetimbangan produk (gH2O/gpadatan)
Mi : Kadar air awal produk (gH2O/gpadatan)
Mc : Kadar air kritis produk (gH2O/gpadatan)
k/x : Konstanta permeabilitas uap air kemasan (g/m2. Hari. mmHg) A : luas permukaan kemasan (m2)
Ws : Berat padatan dalam kemasan
Po : Tekanan uap air pada suhu tertentu jenuh (mmHg)
B : kemiringan kurva sorpsi isothermis (diasumsikan linear antara Mi
dan Mc).
B. Pendekatan kadar air kritis yang dimodifikasi
Pendekatan kadar air kritis yang dimodifikasi digunakan untuk produk pangan yang memiliki kelarutan yang tinggi, seperti produk permen, yang memiliki kandungan sukrosa yang tinggi (Labuza et al 1985). Pada kondisi akselerasi, kadar air kesetimabangan sulit tercapai, hal ini dapat dilihat dengan semakin naiknya kadar air tanpa batas pada RH tertentu. Pada kondisi tersebut kurva sorpsi tidak dapat diasumsikan linear. Oleh karena itu, Labuza et al 1985 memodifikasi persamaan Labuza menjadi sebagai berikut:
t=
∆
Keterangan:
t = umur simpan produk (hari)
Mc = kadar air kritis produk (gH2O/g padatan)
Mi = kadar air awal produk (gH2O/g padatan)
=
Permeabilitas kemasan (gH2O/harim2mmHg)A = luas permukaan kemasan (m2)
Ws = berat kering produk dalam kemasan (g)
∆P = selisih antara tekanan di dalam dan di luar produk 2.7.2 Model arhenius
Suhu merupakan faktor yang berpengaruh terhadap perubahan makanan. Semakin tinggi suhu penyimpanan maka laju reaksi berbagai senyawa kimia akan semakin meningkat, karena itu dalam menduga kecepatan penurunan mutu bahan
pangan selama penyimpanan, faktor suhu harus selalu diperhatikan (Syarief dan Halid 1993).
Pengaruh suhu dalam suatu reaksi dapat dideskripsikan dengan menggunakan persamaan Arhenius seperti berikut (Singth 1994):
k = k
0exp
Keterangan:K = konstanta kecepatan reaksi k0 = konstanta pre-eksponensial
Ea = Energi aktivasi (kj/mol)
T =suhu
R = Konstanta gas ideal (0,082) Dengan mengubah persamaan di atas menjadi :
ln k = ln k
0-
x
Persamaan yang digunakan dalam model Arhenius ada dua jenis yaitu persamaan ordo nol dan persamaan ordo satu. Untuk memutuskan persamaan ordo mana yang lebih baik digunakan maka terlebih dahulu data hasil pengamatan diplot (Rahayu dan Arpah 2003).
1. Persamaan ordo nol
Teori singkat ordo nol:
At - A0 = -k t
At = A0 - (k t)
Sehingga persamaan waktu kadaluarsa adalah:
Reaksi yang termasuk pada ordo nol, laju reaksinya tidak tergantung pada konsentrasi pereaksinya, dengan kata lain reaksi berlangsung dengan laju yang
tetap. Jenis reaksi ordo nol tidak terlalu umum terjadi. Adapun contoh reaksi ordo nol antara lain (Irawadi 2005):
A. Reaksi gas pada permukaan logam
B. Reaksi dengan katalis enzim pada konsentrasi substrat tinggi C. Reaksi fotosintesis pada hijau daun di siang hari
D. Reaksi glukosa dengan hemoglobin pada darah.
Grafik hubungan waktu penyimpanan dengan perubahan mutu pada ordo nol adalah berupa garis lurus, dengan slope kelmiringan k yang nilainya konstant. Bentuk umum grafik tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.
A0
k = Slope, nilainya konstant
[A]
At
t Waktu reaksi
Gambar 4. Grafik hubungan waktu dengan perubahan mutu ordo nol 2. Persamaan ordo satu
Teori singkat ordo satu: [A] = -k
ln ( At - A0) = -k t
Sehingga persamaan waktu kadaluarsa ordo satu adalah: ln (At) = ln (A0) – k t
Keterangan:
A0 = Konsentrasi mula-mula dari kriteria kadaluarsa
At = Konsentrasi akhir dari kriteria kadaluarsa
K = Kecepatan perubahan kriteria tersebut selama penyimpanan t = Umur simpan dari produk
Grafik ordo satu berupa kurva (bukan garis lurus), namun akan memebentuk garis lurus dalam persamaan logaritmanya, dengan slope kemiringan k yang nilainya tidak konstant dapat dilihat pada Gambar 5 dan 6.
[A]
Slope = ln [A]
Slope = k
Waktu Waktu
Gambar 5. Grafik hubungan waktu dengan Gambar 6. Grafik hubungan waktu perubahan mutu ordo satu dengan logaritma perubahan mutu ordo satu
Faktor-faktor yang mempengaruhi laju reaksi kimia terdapat tujuh faktor, antara lain jenis zat yang bereaksi, konsentrasi zat yang bereaksi, suhu, katalis dan otokatalis, tekanan, luas permukaan, sinar dan cahaya. Jenis zat yang bereaksi merupakan faktor terpenting dalam suatu reaksi. Selain itu laju reaksi akan semakin naik jika konsentrasi pereaksi semakin tinggi. Makin tinggi suhu campuran zat yang bereaksi, makin cepat reaksi berlangsung. Hal ini berdasarkan pada teori kinetik molekul, yang menyatakan bahwa semakin tinggi suhu suatu zat, semakin kuat gerakan-gerakan molekulnya (Irawadi 2005).
2.8 Kemasan
Menurut Syarief dan Irawati (1988), kemasan berfungsi sebagai: (1) wadah untuk menempatkan produk dan member bentuk sehingga memudahkan dalam penyimpanan, pengangkutan dan distribusi; (2) member perlindungan terhadap mutu produk dari kontaminasi luar dan kerusakan; (3) menambah daya tarik produk.
Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam pengemasan bahan pangan adalah sifat bahan pangan tersebut, keadaan lingkungan dan sifat bahan kemasan. Gangguan yang paling umum terjadi pada bahan pangan adalah kehilangan atau perubahan kadar air, pengaruh gas dan cahaya. Sebagai akibat perubahan kadar air pada produk akan timbul jamur dan bakteri, pengerasan pada produk bubuk, dan pelunakan pada produk kering (Syarief et al 1989).
Bahan pangan mempunyai sifat yang berbeda-beda dalam kepekaannya terhadap penyerapan atau pengeluaran gas (udara dan uap air). Bahan kering harus dilindngi dari penyerapan air dan oksigen dengan cara menggunakan bahan
pengemas yang mempunyai daya tembus rendah terhadap gas tersebut ( Purnomo dan Adiono 1987).
Produk kering, terutama yang bersifat higroskopis, harus dilindungi terhadap masuknya uap air. Umumnya produk-produk ini memiliki ERH yang rendah, oleh karena itu harus dikemas dengan kemasan yang memiliki permeabilitas air yang rendah untuk mencegah produk yang berkadar gula tinggi merekat atau produk-produk tepung menjadi basah sehingga tidak lagi bersifat mawur (free flowing) (Syarief et al 1989).
Tiap-tiap bahan pengemas memiliki sifat yang unik. Adapun sifat-sifat pengemas tersebut antara lain (Setyowati 2000):
A. Permeabilitas
Permeasi diartikan sebagai suatu proses perpindahan melalui suatu bahan. Secara umum perneasi berkaitan erat dengan gas, sebagai permeant. Perpindahan gas dapat berlangsung dengan beberapa cara. Apabila perpindahan gas melalui pori-pori maka kecepatan aliran sangat dipengaruhi oleh besarnya pori-pori dan kondisi lingkungan. Permeasi dapat dibagi dalam tiga tahap yaitu:
1) Molekul gas larut pada permukaan
Dari sisi termodinamika kelarutan suatu bahan merupakan terserapnya sejumlah bahan ke dalam bahan yang lain atau media di bawah kondisi keseimbangan. Koefisien kelarutan (S) dipengaruhi oleh sifat ke dua bahan, yang lebih utama yaitu interaksi spesifik antara keduanya, yakni kepolaran. Dua bahan yang memiliki karateristik yang sama (polar-polar atau non polar-non polar) berpotensi memiliki kelarutan yang lebih besar.
2) Difusi
Gerak molekul Brown merupakan dasar bagi proses difusi. Koefisien difusi (D) ditentukan oleh sifat dari bahan atau polimer dan selanjutnya iteraksi antara kedua bahan, missal polimer dan gas. Semakin besar gaya tarik menarik di antara keduanya, maka nilai D akan turun.
3) Desorpsi
Desorpsi diartikan sebagai proses kembali keluarnya gas ke lingkungan secara umum dalam menjelaskan pengertian permeasi, desorpsi bisa diabaikan. B. Sifat termal
Sifat termal polimer yang terpenting dalam contoh pengemasan adalah temperatur transisi glass (Tg) dan titik cair (Tm) yang terakhir disebut yang semua sifat dari material viscoelastic, tergantung pada suhu. Alat yang akurat untuk mengukur Tg adalah Diferential Scanning Calorimeter (DSC). Tg merupakan suatu sifat polimer yang sangat penting yang harus dipilih terlebih dahulu pada saat memilih bahan kemasan. Nilai Tg yang berada di atas suhu ruang menyatakan material tersebut bersifat rapuh pada suhu ruang.\
C Migrasi
Migrasi merupakan transfer komponen yang terdapat dalam bahan kemasan ke makanan. Migrasi dipandang menjadi sesuatu yang penting, apabila bahan kemasan baik kertas maupun kantong plastik ataupun logam dan gelas, memiliki kontak yang sama dengan produk atau barang yang dikemas. Ada dua pendekatan untuk masalah migrasi. Pendekatan pertama, yang lahir lebih dahulu, mendasarkan pada asumsi model linear, bahwa bagaimanapun terdapat residu di dalam bahan kemasan, dan ini akan mengalami migrasi ke produk yang dikemas, walaupun konsentrasinya rendah. Pendekatan kedua dalah model non linear, dimana residu tersusun dari tiga populasi yang berbeda, yakni:
a) Model yang terikat (immobilized) dalam polimer dan secara praktis tidak dapat terdifusi
b) Molekul yang terikat sebagian (ikatannya lemah), sehingga relative lebih dapat termigrasi dalam kondisi yang mendukung
Migrasi unsur bahan kemasan ke dalam makanan pada dasarnya tidak diinginkan. Namun perpindahan pada kondisi sering tidak dapat dielakkan, seperti makanan-makanan yang dikemas sebelum sampai di tangan konsumen. Peluang migrasi pada berbagai jenis produk atau makanan sangatlah berbeda. Migrasi ke dalam makanan berair biasanya sangatlah rendah, sedangkan pada makanan berlemak cukup tinggi. Penambahan bahan tambahan seperti epoxidised soybean oil dan epoxidised linseed oil juga sering ditambahkan sebagai stabilizer, yang berguna untuk mencegah terjadinya degradasi bahan pengemas akibat pemanasan dan iradiasi sinar ultraviolet (UV). Pewarna ditambahkan untuk meningkatkan daya penerimaan konsumen serta mengurangi intensitas cahaya yang dilakukan melalui pengemas ke dalam bahan pangan. Plasticizer sering pula ditambahkan untuk memberikan keluwesan, sehingga plastik menjadi tidak mudah patah. Penambahan Plasticizer ini penting terutama untuk bahan pengemas yang mudah patah dan pecah, misalnya PVC, sehingga bahan menjadi lebih lunak dan luwes (Fleksibel). Bahan aditif umumnya mempunyai berat molekul rendah sehingga berpeluang untuk mengalami perlucutan dan bermigrasi ke bahan pangan. Setiap jenis plastik mempunyai formula aditif yang khas, yang pada dasarnya bertujuan untuk memperbaiki sifat fisiko kimia dari plastic itu sendiri. Nilai ketahanan dan permeabilitas beberapa jenis bahan pengemas dapat dilihat pada Tabel 6 dan Tabel 7.
Tabel 6. Ketahanan beberapa bahan pengemas terhadap air, gas dan bau Bahan pengemas Ketahanan terhadap
Air Gas Bau
Polietilen 7 3 3 PVC 2 5 5 Kopolimer PVdC 9 8 8 Polyester 4 6 8 PET selulosa 0 6 6 Selulosa asetat 1 2 2 Kertas kraft 0 0 0 Sulfite paper 0 0 0 Galssine 0 3 3
Kertas dengan lapisan PE 7 3 3
Kertas dengan lapisan PVdC 8 8 8
Tabel 7. Permeabilitas beberapa bahan pengemas dan heat stability Bahan pengemas Permeabilitas Suhu (oF) Hot Fill O2 CO2 H2O HDPE 130 580 0,3 190 PP 150 650 0,5 200 LDPE 430 1200 1,0 150 PVC 10 25 3,0 140 Acrylonitrile 1 2 5,0 150 OPP 130 320 0,3 200 Lamicron PP 0,2 0,8 0,5 200 Polysulfonate - - - 430 Polyarylsulfone - - - 410 Polysulfone - - - 320
Sumber: Setyowati et al. (2000) 2.8.1 Plastik
Menurut Billmeyer (1970) dalam Setyowati et al. (2000) plastik didefenisikan sebagai suatu polimer dari monomer-monomer organic dengan berat molekul tinggi. Pembuatan plastik berlangsung dalam suatu reaksi atau proses yang disebut proses polimerisasi dari bahan baku plastik yang bisa berasal dari gas alam, batu bara, minyak bumi dan lain-lain. Jenis dan sifat-sifat produk plastik sangat tergantung pada monomer-monomer yang menyusunnya. Beberapa monomer yang sering digunakan untuk produk plastik di antaranya etilen, propilen, stiren dan lain-lain. Masing-masing monomer tersebut memiliki sifat yang berbeda satu sama lainnya. Di dalam pembuatan plastik kadang-kadang dilakukan pencampuran beberapa jenis bahan baku (monomer) untuk memperoleh sifat tertentu sesuai keinginan pemakai (Setyowati et al 2000).
2.8.2 Kertas
Kertas merupakan jalinan serat selulosa dengan beberapa bahan tambahan untuk mendapatkan sifat tertentu sesuai dengan tujuan penggunaannya. Beberapa jenis kertas yang digunakan untuk keperluan pengemasan (kertas kemasan) di antaranya adalah kertas kraft, kertas sulfit, kertas tissue dan kertas perkamen. Setiap jenis kertas memiliki sifat tertentu, sehingga untuk keperluan pengemasan perlu diperhatikan sifat-sifat tersebut. Salah sati sifat kertas untuk keperluan
pengemasan adalah ketahanan tarik atau kekuatan tarik. Sifat ini berkaitan dengan daya tahan kemasan setelah diisi terutama berhubungan dengan penanganan produk terkemas. Sifat fisik berikutnya adalah daya tahan terhadap gesekan yang berkaitan dengan ketahanan kemasan untuk digeser dan ditumpuk selama penanganan dan penyimpanan. Selain itu ada juga sifat fisik yang lain, yaitu ketahanan sobek, daya regang (perpanjangan putus), ketahanan retak, daya serap air, permeabilitas dan beberapa sifat fisik lainnya (Yuliasih et al 2008).