• Tidak ada hasil yang ditemukan

UJI KEEFEKTIFAN FEROMON SEKS SERANGGA PENGGEREK UMBI KENTANG, Phthorimaea operculella Zell. DI LABORATORIUM DAN LAPANGAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UJI KEEFEKTIFAN FEROMON SEKS SERANGGA PENGGEREK UMBI KENTANG, Phthorimaea operculella Zell. DI LABORATORIUM DAN LAPANGAN"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

UJI KEEFEKTIFAN FEROMON SEKS SERANGGA PENGGEREK UMBI KENTANG, Phthorimaea operculella Zell. DI LABORATORIUM DAN

LAPANGAN

Agus Susanto

Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran

Jatinangor, Bandung 40600

ABSTRAK

Respon serangga jantan penggerek umbi kentang, Phthorimaea operculella Zell. strain Bandung terhadap beberapa formulasi feromon seks sintetik dan ekstrak feromon seks betina telah diuji di laboratorium dan di lapangan. Uji laboratorium menunjukkan bahwa ngengat jantan P. operculella memberikan respon positif terhadap semua senyawa uji meskipun formulasi campuran feromon seks menghasilkan daya tarik yang lebih tinggi dibandingkan formulasi secara tunggal. Campuran (E,Z)-4,7- tridecadien-1-yl asetat (PTM1) dan (E,Z,Z)-4,7,10-tridecatrien-1-yl-asetat (PTM2) dengan perbandingan 1 : 1 menunjukkan hasil yang paling baik untuk tangkapan di lapangan, sama dengan feromon sintetik produksi CIP peru.

Kata Kunci : Feromon Seks, Phthorimaea operculella, penggerek umbi kentang

FIELD AND LABORATORY EVALUATION OF SEX PHEROMONES OF POTATO TUBER MOTH, Phthorimaea operculella ZELL. ABSTRACT

Responses of the male potato tuber moth, Phthorimaea operculella Zell. strain Bandung to different formulations of the synthetic sex pheromone and female crude extract were evaluated in laboratory and field. The laboratory test showed that the male potato tuber moth gave positive response to all pheromones tested, although mixture formulations gave higher captures than single formulation. In the field trial formed out that the mixture of (E,Z)-4,7- tridecadien-1-yl acetate (PTM1) and (E,Z,Z)-4,7,10-tridecatrien-1-yl-acetate (PTM2) with the ratio of (1 : 1) gave the highest number of males caught. The result showed no significant difference with the synthetic pheromone obtained from Center International Potato (CIP, Peru).

(2)

PENDAHULUAN

Salah satu aspek penting dalam kajian mengenai feromon seks adalah adanya indikasi respon yang berbeda dari suatu spesies terhadap feromon seks dari spesies yang sama yang berasal dari daerah geografik yang berbeda (McElfresh and Millar, 1999). Sebagai contoh kasus pada serangga Etiella zinckenella Tereitschke, feromon seks yang berasal dari serangga betina asal Mesir tidak direspon oleh serangga Etiella zinckenella Tereitschke jantan di daerah Asia Timur (Toth, 1996).

Hasil penelitian Angerilli et al. (1998) terhadap serangga Plutella xylostella L. (Diamondback Moth) menunjukkan adanya perbedaan ketertarikan serangga jantan terhadap feromon sintetik. Hasil tangkapan di Tomohon (Sulawesi Selatan) dan di Lembang (Jawa Barat) menunjukkan perbedaan hasil tangkapan. Hal ini kemungkinan adanya perbedaan geografik, sehingga respon terhadap feromon berbeda.

Miller et al. (1997) mencatat beberapa kasus variasi geografik dari feromon seks pada serangga Ostrinia nubilalis Hubner, Amorbia caneata, Ctenopseustis abliquana, dan Ips pini. Kasus lain terjadi juga pada Hemileuca electra (McElfresh and Millar, 1999) Faktor penyebab variasi tersebut adalah perbedaan iklim yang secara langsung berpengaruh terhadap variasi dan keragaman makanan serangga yang berpengaruh terhadap prekursor feromon dan kandungan feromon seks, sehingga terjadi perbedaan daya tarik dalam memikat lawan jenisnya , meskipun berasal dari spesies yang sama (Vanderwel, 1992).

Feromon sintetik untuk serangga Pthorimaea operculella Zell. biasanya berasal dari Peru. Oleh karena serangga ini merupakan salah satu hama utama pada tanaman kentang maka perlu kajian mengenai feromon seks P. operculella.

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Untuk pengujian feromon seks di Laboratorium dengan menggunakan Tabung Olfaktometer penelitian dilakukan di Laboratorium Entomologi, Jurusan Biologi FMIPA ITB, pengujian lapangan dilaksanakan di desa Cisurili-Pangalengan, kurang lebih 40 km dari kota Bandung. Pemeliharaan dan perbanyakan serangga uji dilakukan di Laboratorium Entomologi, Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran.

Pemeliharaan Serangga Uji

Serangga uji yang digunakan dalam penelitian ini dikoleksi dari pertanaman dan gudang kentang milik petani di daerah Pangalengan, Kabupaten Bandung.

(3)

Larva dipelihara dalam wadah plastik (25 x 20 x 5 cm), diberi pakan alami (umbi kentang) kemudian setelah larva memasuki akhir instar-V, dipindahkan ke wadah lain sampai terbentuk pupa. Masing-masing pupa dipindahkan ke dalam vial silinder (vol. 100 mL) yang telah dilengkapi dengan larutan sukrosa 10% sebagai makanan imago (Setiawati dkk., 1998). Untuk rearing masal dimasukkan 20 pasang imago umur 1 - 3 hari ke dalam kurungan (30 x 30 x 40 cm) berisi tanaman kentang dalam polybag yang dilengkapi dengan larutan sukrosa 10% sebagai makanan imago.

Ekstraksi dan Koleksi Feromon Seks

Kelenjar feromon diperoleh dengan memotong ujung abdomen (abdominal tip) 20 ekor ngengat betina yang belum kawin (virgin) yang berumur 1 – 3 hari. Pemotongan dilakukan setelah 4 - 7 jam scotophase (jam 22.00 – 01.00 dini hari) (Susanto dan Santosa, 2001)

Ekstrak feromon dikumpulkan dari serangga uji sebanyak 20 ekor (Toth et al., 1984). Selanjutnya ujung abdomen tersebut dimasukkan ke dalam botol gelas kecil (vol. 5 mL) dengan tutup teflon dan diekstraksi dengan larutan heksan sebanyak 200 µL selama 5 menit. Kemudian botol tersebut diberi label dan ditutup dengan parafilm dan disimpan dalam freezer dengan suhu -10oC (Ono et

al., 1990) untuk keperluan analisis maupun pengujian baik di laboratorium maupun di lapangan.

Uji Laboratorium Senyawa Feromon Seks dengan Tabung Olfaktometer

Uji laboratorium feromon seks P. operculella dilakukan dengan menggunakan tabung Olfaktometer (tabung Y) dengan senyawa uji berupa ekstrak kelenjar feromon, berbagai campuran feromon standar sesuai dengan hasil analisis GC (Santosa et al., 2002) dan perbandingan dari literatur (1 : 1; 1 : 2,5 ; 1 : 3), senyawa feromon standar secara sendiri-sendiri ((E,Z)-4,7-13 Ac dan (E,Z,Z)-4,7,10-13 Ac), feromon sintetis (CIP) dan betina P. operculella “virgin” serta heksan sebagai kontrol (tabung B). Senyawa uji dimasukkan ke dalam kapsul karet (tabung A) secara terpisah masing-masing 50 µL dan dibiarkan mengering, sedang betina “virgin” langsung dimasukkan ke tabung A dengan memberi larutan madu sebagai makanannya.

Sebanyak 10 ekor ngengat jantan dimasukkan ke dalam tabung C, sedangkan senyawa uji dimasukkan ke dalam tabung A dan heksan sebagai kontrol dimasukkan ke dalam tabung B. Selanjutnya dialirkan udara basah dari pompa (Medipump, 1132D) melalui selang plastik pada tabung A dan tabung B. Jumlah ngengat jantan yang masuk ke dalam tabung A dan B dicatat. Setiap perlakuan diulang sebanyak 4 kali.

(4)

Untuk menghitung nilai ketertarikan ngengat jantan terhadap senyawa uji, digunakan formula (Smith et al., 1994) :

IA = [(Ap – Ak) x 100 % ] /N

Keterangan : IA = nilai ketertarikan

Ap = Σ serangga yang tertarik pada senyawa uji

Ak = Σ serangga yang tertarik pada senyawa kontrol (heksan) N = Σ serangga uji

Pengujian Lapangan Feromon Seks pada Pertanaman Kentang

Pengujian lapangan dilaksanakan pada awal sampai akhir bulan Juni 2002 di desa Cisurili-Pangalengan, sekitar 40 km Selatan kota Bandung. Perangkap yang digunakan adalah perangkap air (water trap : 10 cm x 14 cm x 22 cm) yang terbuat dari plastik berisi air yang ditambah detergen untuk menurunkan tegangan permukaan air (Persoons et al., 1976; Raman and Booth, 1983).

Senyawa feromon yang diuji adalah campuran : (E,Z)-4,7-13 Ac dan (E,Z,Z)-4,7,10-13 Ac (1:1, 1:2.5, 1:3), feromon sintetik (CIP), feromon hasil ekstrak dan betina virgin. Senyawa uji dimasukkan ke dalam kapsul karet, sedang betina virgin dimasukkan ke dalam vial plastik (vol. 100 ml) yang diberi lubang masing-masing 2 ekor (Persoons et al., 1976). Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 4 kali ulangan sehingga seluruhnya terdapat 24 perangkap pada luas areal tanaman 500 m2 .

Perangkap ditempatkan di atas permukaan tanah disela-sela tanaman dengan jarak antar perangkap ± 3 meter. Pengamatan dilakukan setiap 3 hari sekali selama periode 20 hari, kemudian dilakukan penghitungan ngengat yang tertangkap. Perangkap dipindah setiap hari untuk menghindari pengaruh preferensi tempat. Seluruh senyawa uji dan betina virgin diganti setiap 3 hari sekali, sedang untuk feromon sintetik diganti setiap 6 hari sekali.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Uji Laboratorium dengan Tabung Olfaktometer

Berdasarkan pengujian dengan menggunakan tabung Olfaktometer, ternyata ngengat jantan P. operculella memberikan respon terhadap semua jenis feromon seks yang diujikan (ektrak betina, feromon standar dan sintetis), termasuk pada betina virgin. Ngengat jantan berjalan melawan arah angin menuju tabung tempat sumber feromon diletakkan.

Tahapan-tahapan ngengat jantan untuk sampai pada sumber feromon hampir sama seperti hasil penelitian Toth et al. (1984) : Setelah feromon tercium

(5)

diselingi dengan meloncat-loncat. Kebanyakan ngengat jantan dapat mencapai sumber feromon.

Besarnya ketertarikan ngengat jantan terhadap feromon bervariasi, tertinggi diperoleh pada feromon sintetis (CIP), yaitu rata-rata sebesar 55 %. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Rata-rata Ketertarikan Ngengat Jantan Terhadap Senyawa Uji di

Laboratorium

Perlakuan senyawa uji Rata-rata jumlah serangga

jantan yang tertarik

Campuran (E,Z)-4,7-13 Ac & (E,Z,Z)-4,7,10-13 Ac (1:1) 35,00 ± 7,50 ab

Campuran (E,Z)-4,7-13 Ac & (E,Z,Z)-4,7,10-13 Ac (1:2.5) 35,00 ± 7,50 ab Campuran (E,Z)-4,7-13 Ac & (E,Z,Z)-4,7,10-13 Ac (1 : 3) 35,00 ± 7,50 ab

(E,Z)-4,7-13 Ac 15,00 ± 7,50 c

(E,Z,Z)-4,7,10-13 Ac 25,00 ± 7,50 bc

Hasil Ekstrak Betina “Virgin” (n=20) 45,00 ± 7,50 ab

Feromon Sintetis (CIP) 55,00 ± 7,50 a

Betina Virgin (n=2) 15,00 ± 15,00 c

Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama dalam kolom yang

sama tidak berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf nyata 5 %.

Pada Tabel 1. nampak bahwa respon ngengat jantan terhadap feromon sintetis (CIP) lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya. Sedang senyawa feromon hasil ekstrak menunjukkan hasil yang lebih tinggi daripada betina virgin dan senyawa feromon (E,Z)-4,7-13 Ac dan (E,Z,Z)-4,7,10-13 Ac tetapi tidak berbeda nyata dengan berbagai campuran (E,Z)-4,7-13 Ac dan (E,Z,Z)-4,7,10-13 Ac. Hal ini didukung hasil penelitian Toth et al. (1984) dimana ekstrak betina menunjukkan hasil yang sama dengan campuran (E,Z)-4,7-13 Ac dan (E,Z,Z)-4,7,10-13 Ac.

Ketertarikan ngengat jantan terhadap perlakuan tunggal feromon seks menunjukkan hasil yang lebih rendah dibandingkan dengan campuran feromon seks maupun ekstrak betina. Menurut Persoons et al. (1976); Voerman and Rothschild (1978) pemakaian senyawa feromon (E,Z)-4,7-13 Ac dan (E,Z,Z)-4,7,10-13 Ac secara sendiri-sendiri kurang efektif. Meskipun secara statistik tidak dapat dikatakan berbeda, nilai ketertarikan ngengat jantan terhadap (E,Z,Z)-4,7,10-13 Ac lebih tinggi daripada terhadap (E,Z)-4,7-13 Ac, hal ini sesuai dengan penelitian Persoons et al. (1976), dimana ngengat jantan di lapangan lebih tertarik terhadap (E,Z,Z)-4,7,10-13 Ac daripada terhadap (E,Z)-4,7-13 Ac. Secara umum (E,Z,Z)-4,7,10-13 Ac lebih atraktif dibanding (E,Z)-4,7-13 Ac (Voerman and Rothschild, 1978).

(6)

Pengujian Jenis Feromon Seks di Lapangan

Pada pengujian lapangan feromon (E,Z)-4,7-13 Ac dan (E,Z,Z)-4,7,10-13 Ac secara sendiri-sendiri tidak diujikan, karena pada pengujian di laboratorium dengan menggunakan tabung Olfaktometer ngengat jantan memberikan respon yang kurang baik dibanding senyawa uji lainnya. Hasil dari uji lapangan dengan feromon seks terhadap ngengat jantan P. operculella disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Rata-rata jumlah ngengat jantan yang tertangkap di lapangan

Perlakuan jenis feromon seks Rata-rata jumlah serangga jantan yang tertangkap (ekor/perangkap)

Campuran (E,Z)-4,7-13 Ac dan

(E,Z,Z)-4,7,10-13 Ac (1 : 1) 159,75 ± 12,25 a

Campuran (E,Z)-4,7-13 Ac dan (E,Z,Z)-4,7,10-13 Ac (1 : 2.5)

110,50 ± 19,25 b Campuran (E,Z)-4,7-13 Ac dan

(E,Z,Z)-4,7,10-13 Ac (1 : 3) 120,50 ± 18,00 b

Hasil Ekstrak Betina “Virgin” 20,75 ± 5,90 c

Feromon Sintetis (CIP) 158,25 ± 13,13 a

Betina Virgin (n=2) 7,75 ± 4,63 d

Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama dalam kolom yang

sama tidak berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf nyata 5 %.

Pemasangan perangkap dilakukan selama 20 hari, mulai umur tanaman 40 hari sampai 60 hari setelah tanam. Serangan P. operculella mulai tampak pada 4 minggu setelah tanam. Menurut Chouvalitwangporn (1994) serangan hama ini akan meningkat pada 45 sampai 75 hari setelah tanam. Pada dataran tinggi serangan mencapai puncaknya pada bulan April sampai Juni. Serangga dewasa mulai aktif pada sore hari (jam 18.00) dan paling aktif pada jam 20.00 sampai jam 22.00 malam.

Tabel 2. dapat dilihat bahwa ngengat jantan mempunyai respon terhadap senyawa feromon dan betina virgin. Campuran feromon seks (E,Z)-4,7-13 Ac dan (E,Z,Z)-4,7,10-13 Ac, feromon seks hasil ekstraksi dan feromon sintetik menangkap ngengat jantan lebih banyak dibanding betina virgin. Hal ini membuktikan bahwa ngengat jantan lebih tertarik terhadap senyawa feromon seks hasil ekstraksi maupun feromon sintetik daripada betina virgin.

Campuran feromon (E,Z)-4,7-13 Ac dan (E,Z,Z)-4,7,10-13 Ac dengan rasio 1 : 1 dan feromon sintetik (CIP) menghasilkan jumlah tangkapan terbesar dibanding perlakuan lainnya. Menurut Toth et al. (1984) campuran feromon

(7)

maupun pengujian di lapangan. Tangkapan dengan campuran feromon 1 : 2,5 dan 1 : 3 secara statistik tidak berbeda nyata, tapi lebih baik dari hasil tangkapan feromon hasil ekstraksi dan betina virgin.

Adanya faktor kompetisi dengan ngengat betina liar dapat menyebabkan perangkap yang berumpan ngengat betina hanya mampu menarik dan menangkap ngengat jantan yang relatif sedikit (Carde and Elkinton, 1984). Kemungkinan lainnya adalah ngengat betina tidak melakukan perilaku memanggil sehingga tidak ada feromon seks yang dilepaskan. Menurut Harstack et al. (1979) ada 2 kelemahan penggunaan betina untuk tujuan penangkapan ngengat jantan yaitu, pada kondisi tertentu sulit diduga produksi feromonnya dan secara ekonomis lebih mahal daripada penggunaan feromon sintetik.

Faktor lingkungan fisik berupa sinar ultra violet kemungkinan dapat menyebabkan penguapan yang berlebihan dan degradasi (oksidasi) senyawa pada ekstrak feromon seks yang menyebabkan feromon tersebut hilang, rusak dan kurang menarik ngengat jantan. Idealnya kecepatan pelepasan feromon berada dalam keadaan yang konstan dan dalam waktu yang cukup lama. Menurut Cheng et al. (1996) keadaan ini dapat diatasi dengan menambah formulasi feromon menggunakan penghambatan penguapan, seperti minyak jagung (corn oil), dan penghambat oksidasi (2,6-di-tert-butyl-4-methylphenol) serta pemilihan dispenser yang tepat.

Menurut Raman (1988) penggunaan feromon seks dapat menekan kerusakan umbi kentang sebesar 45 % di lapangan. Penangkapan secara masal dapat mengurangi kemungkinan terjadinya kopulasi, sehingga dapat mengurangi infestasi sampai 50 % di lapangan dan 90 % di gudang penyimpanan (Palacios & Cisneros, 1996).

Faktor penting yang berpengaruh terhadap jumlah tangkapan adalah komposisi feromon, jenis dispenser, penempatan alat/perangkap, kecapatan pelepasan, kepadatan hama sasaran dan luas area pengendalian (Ogawa, 1992; Vickers, 1996)

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan hal- hal sebagai berikut :

1. Pengujian di laboratorium menunjukkan bahwa ngengat jantan P. operculella memberikan respon terhadap semua senyawa uji.

2. Campuran PTM1 dan PTM2 dengan perbandingan 1 : 1 menunjukkan hasil yang paling baik untuk tangkapan di lapangan, sama dengan feromon sintetik produksi CIP peru.

(8)

SARAN

Pengujian lapangan perlu dilanjutkan dengan memadukan dengan metode pengendalian lainnnya, misalnya Granulosis Virus lewat autodisseminasi.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Dr. Agus Dana Permana dari Departemen Biologi FMIPA ITB dan Wiwin Setiawati dari Balitsa Lembang atas saran, diskusi dan fasilitas selama penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Angerilli, N.P.D., A.D. Permana, Y. Sasaerila, R. Hallet., R. Zilahi-Balogh and R. Edmonds, 1998. Prospecting for Insect Pheromones in Indonesia : Finds, Failures and the Future. J. Asia-Pacific Entomol. 1 (1) : 23-33 (1998).

Carde, R.T. & J.S. Elkinton, 1984. Field Trapping with Attractants : Methods and Interpretation. In Techniques in Pheromone Research (H.E. Hummel & T.A. Miller, eds.) Springer Verlag, New York. 111-130.

Cheng, E.Y., C. Kao, W. Su & C. Chen, 1996. The Application of Insect Sex Pheromone for Crop Pest Management in Taiwan. In Proceedings. International. Symposium. Insect Pest Control with Pheromones. 29 - 47 Chouvalitwongporn, P., 1994. Adult Behavior of Potato Tuber Moth (Phthorimaea

operculella Zeller). APA Triennial Conference, Daekwanryeong (Korea). 2 : 22 – 28.

Harstack, A.W., D.E. Hendricks, J.D. Lopez, E.A. Stdelbacke, J.R. Phillip & J.A. Witz, 1979. Adult Sampling. In Economic Threshold and Sampling of Heliothis Species on Cotton, Corn, Soybean and Other Host Plants. Southern Cooperative Series Bulletin 231, Texas. 105 - 131.

McElfresh, J.S. and J.G. Millar, 1999. Geographic variation in Sex Pheromone Blend of Hemileuca electra From Southern California. J. Chem. Ecol., 25 (11) : 2505 – 2525.

Miller, D.R., K.E. Gibbon, K.F. Raffa, S.J. Seybold, S.A. Teale & D.L. Wood, 1997. Geographic Variation of Pine Engraver, Ips pini, and Associated Species to Pheromone, Laniorone. J. Chem. Ecol., 23 (8) : 2033 - 2048.

(9)

Ono, T., R.E. Charlton and R.T. Carde, 1990. Variability in Pheromone Composition and Periodicity of Pheromone Titer in Potato Tuber Moth, Phthorimaea operculella (Lepidoptera : Gelechiidae). J. Chem. Ecol., 16 (2): 531 - 542.

Palacios, M. & F. Cisneros, 1996. Integrated Management for The Potato Tuber Moth an Pilot Unit in The Andean Region and The Dominican Republic. CIP. Program Report 1995 – 1996. 162 - 168.

Persoons, C.J., S. Voerman, P.E.J. Verwiel, F.J. Ritter, W.J. Nooyen, A.K. Minks, 1976. Sex Pheromone of the Potato Tuber Moth, Phthorimaea. operculella : Isolation, Identification and Field Evalution. Ent. Exp. Appl., 20 : 289 – 300. Raman, K.V. dan R.H. Booth, 1983. Evaluation of Technology for Integrated

Control of Potato Tuber Moth in Field and Storage. CIP.

Raman, K.V., 1988. Control of Potato Tuber Moth, Phthorimaea operculella with Pheromone in Peru. Agriculture, Ecosystems and Environment. (21) : 85 – 99.

Santosa, E., AD Permana, W Setiawati, A Susanto, 2002. Identifikasi Feromon Seks Serangga Penggerek Umbi Kentang, Phthorimaea Operculella Zell. (Lepidoptera : Gelechiidae). J. Bionatura, 4 (1) : 9 - 16.

Susanto, A., E Santosa, 2001. Siklus Hidup dan Perilaku Memanggil Serangga Penggerek Umbi Kentang, Phthorimaea operculella Zell. (Lepidoptera : Gelechiidae). J. Agrikultura 12 (3) : 20 – 27.

Setiawati, W., R. Soeriaatmadja, T. Rubiati, E. Chujoy, 1998. Pengendalian Hama Penggerek Umbi/Daun Kentang (Phthorimaea Operculella Zell.) Dengan Menggunakan Insektisida Mikroba Granulosis Virus (PoGV). Kerjasama Balai Penelitian Tanaman Sayuran Dengan International Potato Center (CIP). 20. Smith, C.M., Z.R. Khan and M.D. Pathak, 1994. Techniques for Evaluating Insect

resistance in Crop Plants. CRC Press Inc. Bocaraton, Florida. 320.

Toth, M., T.E. Bellas and G.H.L. Rothschild, 1984. Role of Pheromone Component in Evoking Behavioral Response from Male Potato Tuber Moth, Phthorimaea operculella (Zeller) (Lepidoptera : Gelechiidae). J. Chem. Ecol., 10 (2) : 271 - 280

Toth, M., 1996. Evidence on Geographical Difference in Male Responses to Synthetic Pheromone Blend in the Limabean Podborer (Etiella zinckenella) (Lepidoptera : Phyticidae) In Proceeding of XX International Congress of Entomology, Italy.

(10)

Vanderwel, D., 1992. Factors Affecting Pheromone Production in Beetles. In Proceedings. XIX International Congress of Entomology (Abstracts), 1992 Beijing, China.

Vickers, R.A., 1996. Prospects for Control of Codling Moth by Mating Disruption. In Proceedings. International. Symposium. Insect Pest Control with Pheromones. 59 – 69.

Voerman, S., and G.H.L. Rothschild, 1978. Synthesis of the Two Component of the Sex Pheromone System of the Potato Tuberworm Moth, Phthorimae. operculella (Zeller) (Lepidoptera : Gelechiidae) and Field Experience with Them. J. Chem. Ecol., 4 (5) : 531 – 542

Gambar

Tabel 1. Rata-rata   Ketertarikan   Ngengat   Jantan  Terhadap  Senyawa  Uji  di                Laboratorium
Tabel 2. Rata-rata jumlah ngengat jantan yang tertangkap di lapangan

Referensi

Dokumen terkait

yang menurut kaum feminis sarat dengan pandangan bias terhadap perempuan, atau dikenal dengan dalil misoginis 16. Di antaranya pada ayat Q.S. an-Nisa [4]: 43) yang artinya:

Berdasarkan konfigurasi statis kondisi near , floater mendekat 9m ke arah TDP. Hal ini menyebabkan kurvatur yang ekstrim pada area sagbend sehingga nilai bending

Gaya-gaya yang bekerja pada pipa dihitung seperti gaya berat,gaya apung, gaya tarik dan gaya hidrodinamika.Selain itu juga dilakukan perhitungan pelampung ( Floater )

perubahan sudut polarisasi yang dihasilkan merupakan perubahan sudut polarisasi total antara trigliserida dan kolesterol sebagai penyusun dari minyak goreng,

The purpose of this research was to analyze the development model of quality of bureaucratic tourism service to enhance tourist visit in Lake Toba Parapat North Sumatera. The

Hasil dari penelitian ini adalah tingkat pengetahuan remaja Surabaya berada pada kategori sedang hal tersebut menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan remaja tentang

Following identification of four internal and external factors, the strategy of developing domestic maize production is formulated as: (1) increasing maize yield

By the obtained results in this study, it is can be concluded that the laminar flow occurs at Reynolds number below 2000, the shift of fluid flow from the laminar flow to