• Tidak ada hasil yang ditemukan

1.1 Latar Belakang Gerakan-gerakan Islamis di banyak negara Muslim berawal dari universitas-universitas.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "1.1 Latar Belakang Gerakan-gerakan Islamis di banyak negara Muslim berawal dari universitas-universitas."

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Gerakan-gerakan Islamis di banyak negara Muslim berawal dari universitas-universitas. Di Malasyia, Angkatan Belia Islam Malasyia (ABIM) yang merupakan gerakan dakwah pribumi dan nasionalis membangun gerakannya dari kampus, di Mesir, al Gamma al Islamiyahbermula dari kamp-kamp Muslim untuk pemuda Islam (Hwang, 2011:3), sementara Revolusi Islam Iran membuat gerakan mahasiswa bercorak Islamis, Daftareh Tahkheem Vahdat (DTV), berhasil mendominasi kampus-kampus Iran berkat dukungan negara (Bayat, 2011:120). Di Indonesia, banyak gerakan Islamis berawal dari kampus. Aktivisme gerakan Islamis di Indonesia berasal dari kampus-kampus utama yang menjadi pusat keunggulan (center of excellence) seperti Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Indonesia (UI), dan Universitas Gadjah Mada (UGM). Kehadiran mereka sering disebut sebagai ‘Gerakan

Dakwah Kampus’.

Pergerakan dakwah kampus pada tahun 1980an tidak dapat dilepaskan dari kondisi kampus saat itu. Situasi aktivisme kampus pada tahun 1980an sedang mengalami‘mati suri’.

Aktivisme mahasiswa di dalam kampus yang pada era sebelumnya sangat dinamis, mendadak hilang bak ditelan bumi. Pangkal muara keadaan ini adalah kebijakan depolitisasi kampus yang dijalankan oleh rezim Orde Baru. Rezim memberlakukan kebijakan paket depolitisasi kampus yang terdiri atas tiga kebijakan utama. Pertama, dibentuknya Komite Nasional

Pemuda Indonesia (KNPI) untuk ‘menjinakkan’ gerakan-gerakan mahasiswa berbasis aliran ideologi seperti HMI, GMNI, PMII dan IMM. Kedua, dibubarkannya Dewan Mahasiswa (DM) oleh KOBKAMTIB pada tahun 1978. Dan terakhir puncaknya diberlakukannya Normalisasi Kehidupan Kampus dan Badan Kordinasi Kampus (NKK-BKK) pada tahun 1978 (Sanit, 1999:107-108). Paket kebijakan itu berhasil mengebiri aktivisme politik mahasiswa. Kampus benar-benar menjadi hanya tempat belajar.

(2)

Di tengah kelesuan aktivisme gerakan mahasiswa, diam-diam sekelompok aktivis mahasiswa bergerak dan mulai mengorganisir gerakan Islamisme dari masjid kampus.Masjid kampus memainkan peranan signifikan dalam gejala kebangkitan Islamisme kaum muda di tahun 1980an. Masjid Kampus Salman ITB adalah pioneer kebangkitan Islamisme kampus di tahun 1980an, disinilah Latihan Mujahid Dakwah (LMD) digelar bagi aktivis-aktivis mahasiswa dari berbagai kampus. Alumni kursus singkat keislaman ini kemudian

‘berdiaspora’ kembali ke kampus masing-masing untuk mengembangkan gerakan dakwah kampusnya masing-masing. Gerakan inilah yang menjadi fondasi bagi pendirian LDK-LDK di Indonesia (Latif, 2012:581-582). Seiring berjalannya waktu, gerakan dakwah kampus kian berkembang, pergerakannya melesat terutama di kampus-kampus ‘sekular’ pada periode 1980an. Periode ini juga ditandai dengan persentuhan gerakan dakwah kampus dengan berbagai gerakan Islamis bercorak global seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir dan Gerakan Salafi. Transmisi ideologi gerakan-gerakan Islamis ke Indonesia menurut Imdadun (2003:174) dilakukan melalui tiga modus operandi. Pertama, melalui alumnus-alumnus Timur Tengah yang pulang ke Indonesia. Kedua, melalui penerbitan buku-buku pemikiran gerakan Islamis. Ketiga, melalui kontak personal dengan para aktivis gerakan Islamis di Timur Tengah.

Runtuhnya Orde Baru pada tahun 1998 telah mengubah lanskap sosial-politik Indonesia. Rezim otoritarian tumbang dan gelombang demokratisasi menerjang. Perubahan lanskap sosial-politik juga mengubah dinamika dan wajah aktivisme Islam di kampus. Kini tidak ada lagi kekuatan hegemonik negara yang represif. Tumbangnya kekuatan hegemonik negara membuat hilangnya musuh bersama (common enemy) bagi gerakan mahasiswa. Setidaknya ada tiga fenomena menarik dalam pergulatan aktivisme Islam kampus pasca-Suharto. Pertama, aktor-aktor dalam aktivisme Islam kampus kini cenderung terpolarisasi dan kian berani mengekspresikan identitas religio-politiknya. Peta gerakan mahasiswa Islam

(3)

di kampus era reformasi ‘dimeriahkan’ oleh kehadiran para‘New Comer’, seperti Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) yang berafiliasi dengan Jamaah Tarbiyah, Gerakan Mahasiswa Pembebasan (Gema Pembebasan) yang berafiliasi dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan kelompok-kelompok mahasiswa yang berafiliasi dengan gerakan Salafi. Embrio gerakan-gerakan Islam ini sesungguhnya sudah ada sejak zaman Orde Baru, namun

saat itu mereka masih ‘tiarap’ dan tidak berani menampilkan identitas religio-politiknya. Kedua, membicarakan aktivisme Islam kampus Pasca-Suharto tidak dapat dilepaskan dari kuatnya peranan dan pengaruh kelompok Islamis di kampus pasca-Suharto. Pembahasan mengenai aktivisme Islam pasca-Suharto mau tidak mau harus membicarakan peranan

‘fenomenal’ gerakan Tarbiyah di berbagai kampus di Indonesia, militannya aktivisme

mahasiswa HTI, dan tumbuh suburnya kelompok-kelompok mahasiswa Salafi dalam kampus. Ketiga, adanya kecenderungan semakin merosotnya peran aktor-aktor gerakan mahasiswa

‘konvensional’, seperti HMI, GMNI, PMII dan IMM dalam dinamika intra kampus. Di alam demokrasi, ‘aktor lama’ ini kalah bersaing dengan kelompok Islamis, orientasi pergerakannya

justru bergerak keluar dari kampus.

Aktivisme Islam kampus Paska-Suharto juga ditandai dengan kontestasi terbuka beragam wacana dan gagasan. Polarisasi dan fragmentasi kian tajam terjadi. Paska Soeharto, Ide-ide Islamisme semakin mengkristal dalam tubuh kelompok-kelompok mahasiswa yang berafliasi dengan jejaring Islamis seperti Jamaah Tarbiyah, Hizbut Tahrir, dan Gerakan Salafi. Namun justru semakin ‘memudar’ dalam orientasi pergerakan HMI (MPO/Dipo), PMII dan IMM. Hampir sulit ditemukan ‘imajinasi’ Islamisme dalam benak mayoritas kader

HMI, PMII dan IMM. Orientasi gerakan ‘konvensional’ ini juga semakin mengarah ke luar

kampus, sehingga tidak terlalu menonjol lagi dalam dinamika intra kampus.

Penelitian ini hadir untuk menyajikan narasi tentang dinamika gerakan-gerakan mahasiswa Islam di kampus pada periode pasca-Suharto. Penelitian ini memfokuskan pada

(4)

pergulatan praksis dan gagasan aktivisme kelompok-kelompok Islamis di kampus Pasca-Suharto, terutama gerakan Tarbiyah di kampus dan relasi-relasi sosiologisnya dengan aktor-aktor gerakan mahasiswa lslam lainnya di kampus. Penulis memilih kampus Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Indonesia (UI) sebagai lokasi penelitiannya.

1.2 Rumusan Masalah

Penelitian ini memiliki rumusan penelitian (research question) utama yakni

‘bagaimana dinamika aktivisme Islam di kampus UGM dan UI pasca-Suharto?”, dalam

menjawab pertanyaan utama ini penulis mengurainya lagi menjadi tiga sub pertanyaan penelitian, yakni:

1. Bagaimana akar, bentuk, dan proses aktivisme Islam di kampus UGM dan UI

pasca-Suharto ?

2. Bagaimana gerakan Islamis-Tarbiyah mendominasi aktivisme mahasiswadi kampus UGM dan UI pasca-Suharto ?

3.Bagaimana gerakan Islamis-Tarbiyah mereproduksi dominasinya dalam aktivisme

mahasiswa di kampus UGM dan UI pasca-Suharto ?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Mengetahui bagaimana akar, bentuk, dan proses aktivisme Islam di kampus UGM dan UI Pasca-Suharto .

3. Memberikan narasi kontestasi antar berbagai gerakan mahasiswa Islam di kampus UGM dan UI.

3. Menjelaskan bagaimana kelompok Islamis-Tarbiyah berhasil mendominasi aktivisme kampus Pasca-Suharto dan bagaimana mereka mereproduksi dominasinya.

(5)

1.4 Manfaat Penelitian

1. Memberi kontribusi akademik tentang dinamika aktivisme Islam di kampus Indonesia pasca-Suharto.

2. Memotret realitas pemuda Islam di perguruan tinggi pasca-Suharto.

3. Dapat menjadi bahan akademis dalam proses pengambilan kebijakan tentang pemuda Islam dalam institusi pendidikan tinggi.

1.5 Kajian Pustaka

Studi-studi tentang aktivisme Islam di kampus dengan setting waktu paska-Suharto sepengetahuan penulis masih minim di lakukan. Di antara studi-studi yang relevan dengan topik penelitian ini antara lain, studi Ken Michi (2003) yang mengelaborasi fragmentasi di antara gerakan pemuda Islam yang diwakili oleh LKiS dengan ide ‘Islam Sosial’ dan

KAMMI yang mengusung ide Islamisme.. Studi ini fokus pada upaya melacak akar-akar sosial dan budaya LKiS dan KAMMI pada masa Orde Baru, sehingga belum menjelaskan bagaimana fenomena Islamisme di kalangan aktivis mahasiswa secara kontemporer. Studi lain yang cukup berkaitan adalah dua studi yang dilakukan oleh Claudia Nef Saluz (2007, 2012) . Studi pertama Claudia (2007) bertutur tentang budaya Pop-Islam di kalangan pemuda Islam Indonesia, studi yang dilakukan di Universitas Gadjah Mada ini memfokuskan pada bagaimana konstruksi identitas jilbab di kalangan mahasiswa Islam. Sedangkan studi kedua Claudia sebagaimana dikutip Najib (2014) berkisah tentang aktivisme Islam mahasiswa HTI di Indonesia, studi ini memberi narasi bagaimana gerakan Islamis HTI di tengah globalisasi budaya dan ekonomi, studi ini hanya fokus pada aktivisme mahasiswa HTI di kampus, sehingga tidak menjelaskan relasinya dengan gerakan-gerakan Islam lain di kampus.

Studi lain tentang fundamentalisme agama dalam kehidupan kampus dilakukan oleh Sumakyoto dan Yuyun (2004), studi ini menarasikan fenomena menguatnya fundamentalisme agama yang direpresentasikan oleh KAMMI di universitas-universitas

(6)

negeri terjadi. Studi Yuyun berkonklusi bahwa kebangkitan fundamentalisme agama di kampus menjadi ancaman bagi hak-hak perempuan dan masa depan pluralisme di Indonesia. Studi lain tentang peranan gerakan mahasiswa Islam pada masa Orde Baru tercatat pernah dilakukan oleh Karim (2000), studi ini menemukan bahwa kemunculan dan kirah JS

merefleksikan meningkatnya pengaruh ‘Santri Baru’ dalam formasi sosial masyarakat

Indonesia, JS memainkan peranan yang signifikan dalam melakukan ‘santrinisasi’ Abangan

melalui aktivitas-aktivitas dakwah kampusnya. Studi-studi lain tentang gerakan mahasiswa di Indonesia terbatas pada tema-tema politik mahasiswa, radikalisasi dan hubungan mahasiswa-militer. Misalkan, studi Hasibuan (2010) tentang polarisasi politik gerakan mahasiswa pada masa transisi demokrasi di era BJ Habibie dan Abdurahman Wahid, studi ini memetakan polarisasi di antara aktor-aktor gerakan mahasiswa di Indonesia dalam pusaran transisi reformasi. Studi lain tentang radikalisasi gerakan mahasiswa Islam dilakukan oleh Ubaedillah (2006), studi ini menarasikan proses radikalisasi gerakan mahasiswa yang terjadi dalam organisasi HMI-MPO terutama pada masa reformasi. Ada juga studi Aspinall (1995, 2005), dua studi Aspinall masing-masing membahas tentang hubungan friksi-friksi dalam tubuh militer dengan gerakan protes mahasiswa, dan eksplanasi tentang transformasi aktivisme mahasiswa pada era reformasi dari gerakan moral menuju gerakan mobilisasi populis. Studi lain tentang politik mahasiswa dilakukan Morville (2003) yang mengulas secara etnografis

bagaimana ‘kultur demokratik’ dan peran-peran ‘mediasi keagamaan’ dapat hidup di tengah -tengah gerakan mahasiswa radikal seperti HMI-MPO.

Studi-studi lain tentang gerakan-gerakan Islamis di kampus lebih banyak terkosentrasi pada kemunculan dan perkembangan gerakan Tarbiyah di Indonesia. Studi-studi ini jarang sekali membahas bagaimana relasi kebangkitan gerakan Tarbiyah dengan gerakan-gerakan

(7)

mahasiswa Islam lainnya di kampus (Claudia :2009, viii).1Studi lain tentang gerakan dakwah yang sangat bagus dan mendalam, dilakukan oleh intelektual muda brilian, Yudi Latif. Studi Latif (2005) menelusuri genealogi dan proses-proses formatif gerakan dakwah (predication movement) dan gerakan pembaruan (pembaruan movement). Studi Latif menunjukan

‘perpecahan’ dalam intelegensia Muslim Indonesia antara gerakan dakwah yang ‘dibidani’

oleh Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) dibawah kepemimpinan Imaduddin Abdulrahim dengan basis di kampus-kampus ‘sekular’, dan gerakan pembaruan yang

dimotori oleh Nurcholish Madjid dengan sentrum di kampus-kampus Islam. Manifestasi aktual dari dua arus besar intelegensia Muslim ini paska-reformasi menurut Latif adalah

keberadaan organisasi KAMMI sebagai ‘pewaris sah’ gerakan dakwah kampus Imaddudin dan lahirnya Jaringan Islam Liberal (JIL) yang ‘mendaku’ melanjutkan gagasan dan ide-ide Cak Nur. Namun studi Latif berfokus pada genealogi intelegensia Muslim di masa Orde

Baru, Latif ‘menyudahi’ analisisnya pada dua arus besar intelegensia Muslim muda di awal

era reformasi, penelusurannya melacak dinamika aktivisme dan intelektualisme di tahun 1970 dan 1980an, dan nampaknya tidak begitu tertarik untuk menengok wajah aktual dua arus besar intelegensia Muslim pasca-Suharto.

Dalam konteks inilah studi ini hadir. Studi ini berikhtiar mengisi ‘kekosongan literatur’ tentang dinamika aktivisme gerakan-gerakan Islamis di kampus pasca-Suharto. Studi ini berusaha ‘memotret’ fenomena gerakan-gerakan Islamis di kampus yang semasa

Orde Baru terhimpun dalam ‘rumah besar’ bernama LDK, namun kini memilih ‘berpendar’

AG4E4?4<AFGH7<G8AG4A:>854A:><G4A "F?4@7< >4?4A:4AC8@H74?<;4G*<9D<*BFL47 :*8947"7:*81&2

!9:)>4+9-*81&2.( *8:7,*3(*4;*2*39&243,9-*%4:9-.3&3):3,3)43*8.&4A58EE4 '-)E8FF +GH7< G8AG4A: >8@HA6H?4A :8E4>4A ,4E5<L4; 7< "A7BA8F<4 ?<;4G 1BA &46;@H7< 81&2.?.3, 3)43*8.& "-* .8* 4+ &2&&- "&7'.>&- &3) 7485*74:8 :89.(* &79> 4A58EE4 '- )E8FF +GH7< G8AG4A: GE4AF9BE@4F<:8E4>4A,4E5<L4; 7<"A7BA8F<4 B?8;?<+4<74@4A<>*342*3&&79&.*&).1&3"7&38+472&8. "&-:3*7&0&3"&7'.>&-).3)43*8.&#4>4EG4,8E4=H+GH7< L4A:9B>HF@8@54;4F><CE4;$&&"7< 8E4E89BE@4F<?<;4G&4;9H7+<77<D)&3*7,:1&9&3 *+472&8.+HE4>4EG4E4"AG8E@87<474A FGH7< G8AG4A: :8E4>4A 74>J4; >4@CHF ?<;4G A7< *4;@4G 74A &H;4@@47 '4=<5 *7&0&3 *71&<&3&3 )&7. &8/.)&25:81B:L4>4EG4)EB98G<>4

(8)

dalam berbagai organisasi baru. Dengan pendekatan teori-teori gerakan sosial (Social Movement Theory) studi ini menyajikan narasi Islamisme kaum muda kampus pasca-Suharto. Penggunaan teori-teori gerakan sosial ini dimaksudkan untuk memperkaya kajian-kajian gerakan Islam dari sudut pandang pendekatan integratif gerakan sosial.

1.6Kerangka Teoritik

1.6.1 Pendekatan Integrasi Gerakan Sosial

Penelitian ini menggunakan kepustakaan teori-teori gerakan sosial untuk menjelaskan gerakan-gerakan Islamis di kampus. Gerakan sosial itu sendiri menurut menurut Turner dan Killian merupakanBa collectivity acting with some continuity to promote or resist a change in the society or organisation of which it is part” (Diani, 2000:157). Dalam konteks ini gerakan-gerakan mahasiswa Islamis dipandang sebagai gerakan-gerakan yang berusaha mendorong dan menghambat perubahan-perubahan tertentu dalam masyarakat. Gerakan-gerakan Islamis mendorong terwujudnya tatanan masyarakat baik sistem ekonomi, politik, ekonomi, sosial dan budaya yang berdasarkan nilai-nilai Islam. Diskursus mengenai gerakan Islamis mengantarkan kita pada kekayaan khazanah teori-teori gerakan sosial dalam ilmu-ilmu sosial. Pada awalnya kepustakaan studi gerakan sosial memandang gerakan sosial cenderung secara negatif. Gerakan sosial dianggap sebagai bentuk perlawanan terhadap modernisasi dan tindakan-tindakan kolektif yang lebih didasarkan pada dorongan-dorongan psikologis yang irasional. Studi Eric Hoffer misalkan (1988:25) memandang bahwa gerakan sosial dimotori oleh kaum frustrasi yang fanatik (true believers), orang-orang yang termarjinalkan, minoritas tertekan dan orang-orang yang tidak bisa terintegrasi di tengah-tengah masyarakat. Sampai tahun 1960an, para sarjana sosial masih memandang gerakan sosial sebagai mobilisasi yang berbahaya yang melibatkan para pengikut yang buta (blind followers) yang dipimpin oleh

(9)

seorang demagog politik. Para sarjana melihat fenomena Nazi di Jerman untuk meligitimasikan pandangan-pandangan mereka (Goodwin dan Jasper, 2003:5).

Namun seiring berjalannya waktu, pandangan dalam teori-teori gerakan sosial mulai berubah. Pada tahun 1960an dunia dilanda transformasi sosial yang dramatis, mulai dari protes, pemberontakan hingga revolusi (Porta dan Diani, 2006:1). Bermunculannya gerakan-gerakan sosial dan revolusi di belahan dunia seperti gerakan-gerakan hak-hak sipil di Amerika yang menuntut kebebasan dan gerakan anti-perang, pemberontakan Mei 1968 di Perancis, protes mahasiswa di Jerman, Inggris dan Meksiko, serta koalisi mahasiswa dan buruh dalam ‘Hot Autumn’ di Italia dan banyak gerakan lain membuat sarjana sosial berpikir ulang tentang gerakan-gerakan sosial. Sejak saat itu gerakan sosial tidak lagi dipandang sebagai tindakan irasional yang didorong oleh motif-motif psikologis tertentu, namun gerakan sosial dipahami sebagai organisasi sosial yang lebih kompleks dengan aktor-aktor rasional dan tujuan-tujuan tertentu yang ingin dicapai.

Perkembangan teori-teori gerakan sosial melesat begitu cepat. Para sarjana dan pengamat gerakan sosial baik dari Eropa maupun Amerika Serikat mengajukan pendekatan-pendekatan termutakhirnya dalam menganalis gerakan-gerakan sosial kontemporer. Arus utama teori-teori gerakan sosial dapat dipetakan menjadi tiga pendekatan utama, yakni struktur kesempatan politik (Political Oportunity Structure), analisis mobilisasi atau teori mobilisasi sumber daya (Resource Mobilization Theory) dan proses pembingkaian makna (Framing) (Suharko, 2006:8). Pendekatan struktur kesempatan politik melihat faktor-faktor struktural sebagai determinan lahirnya gerakan-gerakan sosial. Mc Adam dan Tarrow (dikutip oleh Situmorang 2007:4) membagi empat variabel dalam analisis struktur kesempatan politik. Pertama, gerakan-gerakan sosial muncul ketika institusi-institusi politik mulai membuka akses politiknya terhadap pihak-pihak eksternal. Kedua, gerakan-gerakan sosial berpotensi terbentuk ketika keseimbangan politik lama sedang tercerai berai akibat

(10)

konflik sedangkan keseimbangan politik baru belum terbentuk. Ketiga, ketika terjadi konflik tingkat tinggi di level elit politik, dan pelaku gerakan sosial memanfaatkan ini sebagai kesempatan. Keempat, gerakan sosial muncul ketika aktor-aktor gerakan sosial diinklusi oleh para elit politik ke dalam sistem politik yang ada untuk melakukan perubahan bersama-sama.

Jika struktur kesempatan politik menyediakan ‘kesempatan’ bagi gerakan-gerakan sosial untuk tampil ke permukaan, maka mobilisasi struktur adalah instrumen gerakannya. Infrastruktur atau instrumen ini baik formal maupun informal digunakan oleh gerakan-gerakan sosial untuk memobilisasi sumber daya organsiasi mereka. Zald dan Mc Carthy (2003:184) menekankan mobilisasi struktur pada interaksi antara ketersediaan sumber daya, keadaan awal organisasi, preferensi struktural dan strategi atau taktik yang digunakan oleh gerakan-gerakan sosial. Sementara itu menurut Mc Adam dan Snow (dikutip oleh Burhanuddin, 2012) dalam analisis mobilisasi struktur sekurang-kurangnya terdapat tiga aspek infrastruktur yang sangat penting yakni, basis keanggotaan, jejaring komunikasi dan pemimpin atau tokoh gerakan. Posisi-posisi sosial dalam masyarakat juga sangat penting dalam mobilisasi sumber daya gerakan sosial, lokasi-lokasi dalam masyarakat seperti unit keluarga, jaringan pertemanan, asosiasi pekerja dan unit-unit dalam negara seringkali digunakan sebagai basis mobilisasi mikro oleh gerakan sosial (Mc Carthy, 1996:141).

Pendekatan terakhir yakni pendekatan framing digunakan untuk mengeksplorasi bagaimana sebuah realitas sosial dikontruksi. Konstruksi atas realitas sosial inilah yang mampu menggerakkan aktor-aktor gerakan sosial untuk melakukan tindakan kolektif. Proses framing berkaitan erat dengan ideologi yang diyakini oleh suatu gerakan sosial. Ada tiga komponen dalam teori framing ideologi. Pertama, framing diagnosik untuk mengiventarisir dan mengidentifikasi masalah-masalah, sekaligus mencari sebab musababnya. Kedua, proses framing prognostik dalam rangka menawarkan rumusan masalah atas permasalahan-permasalahan yang ada. Ketiga, proses ‘pembingkaian motivasi’, proses ini disebut sebagai

(11)

‘panggilan untuk bergerak’ dalam tindakan-tindakan kolektif yang lebih dalam (Benford & Snow, 2000:615-617).

Tiga pendekatan utama itu berdiri di masing-masing level analisa. Struktur kesempatan politik merupakan analisis struktural di level makro untuk menjelaskan bagaimana suatu gerakan sosial dapat muncul ke permukaan, sedangkan struktur mobilisasi bekerja di level meso dengan menjelaskan bagaimana anatomi organisasi gerakan sosial baik formal maupun informal yang digunakan untuk mencapai agenda-agenda gerakan sosial. Analisis yang menjembatani antara struktur kesempatan politik dan struktur mobilisasi adalah analisis pembingkaian makna (framing), framing berguna untuk mendeskripsikan bagaimana

konstruksi atas realitas sosial dapat terbentuk dan memberikan ‘panduan’ bagi aktor-aktor gerakan sosial untuk melakukan tindakan kolektif. (Mc Adam, Mc Carthy dan Zald, 1996:7)

Studi ini tidak akan menggunakan secara khusus salah satu pendekatan gerakan sosial

saja, melainkan menggunakan pendekatan integrasi gerakan sosial yang ‘mensintesakan’

ketiga pendekatan tersebut. Pendekatan yang dipakai adalah pendekatan integrasi gerakan sosial yang menggabungkan antara pendekatan struktur kesempatan politik, struktur mobilisasi dan analisis pembingkaian makna (framing). Dalam kepustakaan teori-teori

gerakan sosial, pendekatan yang bercorak ‘sintetis’ tercatat pernah dirumuskan oleh Mc

Adam, Mc Carthy dan Zald (1996), mereka menyatakan urgensi memunculkan teori gerakan

sosial yang bercorak ‘integratif’ dengan menggabungkan tiga pendekatan utama dalam studi

gerakan sosial. Pendekatan integratif ini dilakukan dengan dua hal, Pertama, mengeksplorasi bagaimana kemunculan sebuah gerakan sosial. Kedua, dengan memfokuskan pada dinamika perkembangan dan kemunduran gerakan sosial (Mc Adam, Mc Carthy dan Zald, 1996:20).

Ketiga pendekatan di atas digunakan dalam ‘membaca’ gerakan-gerakan Islamis di kampus pasca-Suharto. Struktur kesempatan politik digunakan untuk menjelaskan bagaimana konteks demokratisasi pada tahun 1998 telah mendorong kelahiran berbagai varian

(12)

gerakan mahasiswa yang berhaluan Islamis, seperti KAMMI, Gema Pembebasan dan kelompok-kelompok mahasiswa Salafi. Analisis struktur mobilisasi relevan untuk

menjelaskan ‘lokasi-lokasi’ dalam masyarakat kampus yang digunakan oleh gerakan-gerakan Islamis untuk mobilisasi sumber daya organisasi mereka, seperti jaringan pertemanan, keluarga, jejaring alumni, patron politik, hingga berbagai organisasi intra kampus yang berhasil dikuasai oleh gerakan Islamis. Sedangkan analisis pembingkaian makna (framing) digunakan dalam membongkar bagaimana proses konstruksi makna yang dilakukan gerakan-gerakan Islamis dalam menafsir realitas sosial. Framingjuga digunakan untuk memahami pilihan isu dan respon sikap gerakan-gerakan mahasiswa Islamis terhadap isu-isu aktual di sekitarnya. Menurut Charles Tilly (2012:27-28) penggunaan teori-teori gerakan sosial dalam

studi gerakan Islam dapat dilakukan dengan ‘meminjam’ teori-teori yang telah mapan dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan bernas mengenai fenomena sosial yang diteliti. Dalam konteks inilah, studi ini memfokuskan pada dua hal, Pertama, kemunculan gerakan-gerakan mahasiswa Islamis ketika struktur kesempatan politik terbuka di era reformasi. Kedua, mengelaborasi dinamika organisasi gerakan-gerakan mahasiswa Islamis, baik perkembangannya maupun kemundurannya.

1.6.2 Islamisme, Post-Islamisme dan Gerakan Sosial

Islamisme merupakan konsep analitik kompleks yang memiliki beragam variasi dan definisi. Penggunaannya seringkali tumpang tindih dengan istilah-istilah lain seperti

‘fundamentalisme’, ‘radikalisme’ atau ‘revivalisme’ yang sering digunakan dalam kajian kajian ilmu sosial untuk menganalisa gerakan Islam. Konsep Islamisme digunakan oleh para

sarjana untuk ‘membaca’ gerakan-gerakan ‘Islam-Politik’ di dunia kontemporer. Menurut Oliver Roy (2004:48-50) , setidaknya ada tiga karakteristik mendasar Islamisme. Pertama,

Islamisme memandang Islam sebagai ‘tatanan inklusif’ dan ideologi. Islamisme menghendaki

(13)

masyarakat modern. Kedua, Islamisme merupakan sebuah ‘penafsiran politik’ atas Al

Qur’an, kaum Islamis menurut Roy meminjam konsep-konsep politik modern dari Barat atau Marxisme dan menggunakan terminologi Al-Qu’ran untuk ‘mengislamisasikannya’. Istilah -istilah seperti syuro (demokrasi), mustad’afien (proletar), jahiliyah (kebodohan) dan hakimiyyah (kedaulatan) adalah cermin terjadi penyerapan konsep-konsep Barat dengan idiom-idiom Islam.

Konsep Islamisme lain ditawarkan oleh Sosiolog kenamaan asal Iran, Asef Bayat.Bayat (2005) menawarkan pendekatan ‘solidaritas yang dibayangkan’ (Imagined Solidarity) dalam memahami gerakan-gerakan sosial Islamis di dunia Islam kontemporer. Pendekatan ini memandang gerakan Islamis secara lebih ‘cair’(fluid) dan ‘terbelah’

(fragmented) dalam gerakan sosial, meski terfragmentasi dan heterogen, namun gerakan-gerakan Islamis mampu membangun konsensus pada saat-saat tertentu. Bayat (2005:904) menulis “Solidaritas terbayang mampu membentuk konsensus secara spontan di antara

aktor-aktor gerakan Islamis dengan basis kekuatan imajinasi, konstruksi subjektif, kesamaan kepentingan dan nilai bersama (shared values), namun konsensus ini tidak membuat mereka

homogen”.

Sementara itu bagi Bayat, Islamisme digerakkan oleh sejenis ‘keberagamaan yang aktif’ (active religiosity). Keberagamaan yang aktif akan mendorong praktik-praktik berislam yang lebih dari biasanya (extra-ordinary), sejenis ‘aktivisme Islam.’ Praktik-praktik keberagamaan yang aktif ini secara individual atau kolektif, institusional atau informal berusaha melakukan perubahan sosial. ‘Keberagamaan aktif’ ditandai dengan adanya ‘orientasi misionaris’ dalam berislam dan kecenderungan intoleran, Islamisme adalah jenis

keberagamaan tidak biasa (extra-ordinary religiosity) dalam masyarakat modern (Bayat, 2005:894). Islamisme merupakan bahasa penegasan kelas menengah Muslim yang termarjinalisasi secara ekonomi, politik, atau budaya. Islamisme berdiri di atas peluang dan

(14)

penindasan, peluang lahir akibat gencarnya pembangunan ekonomi, mobilitas sosial yang tinggi dan massifnya pendidikan, sedangkan penindasan berarti represi politik, marjinalisasi, dan rasa terhina akibat kekalahan dalam perang (Bayat, 2011:12-13). Perlu dicermati bahwa karakteristik Islamisme yang dibangun Bayat berdasarkan penelitiannya di negara-negara Timur Tengah, sebagai sentrum Islamisme di dunia. Presisi Islamisme menurut Bayat berpusat pada pembangunan komunitas moral-ideologis. Bentuk komunitas moral-ideologis

ini tidak melulu ‘negara Islam’,melainkan dapat pula berupa ‘hukum Islam’ maupun ‘kode moral Islam’.

Selain berbicara Islamisme, Asef Bayat (1996) juga mengulas trend baru dalam

gerakan Islam yang dia sebut ‘Pos-Islamisme’,Istilah pos-Islamisme digunakan oleh Asef

Bayat untuk ‘menafsir’ perubahan orientasi gerakan-gerakan Islamis di dunia yang semakin akomodatif terhadap ide-ide demokrasi, HAM, masyarakat sipil dan pluralisme. Pos-Islamisme merupakan eksperimentasi politik gerakan Islamis dalam menjawab tantangan dunia kontemporer. Bagi Asef Bayat (2011:19) pos-Islamisme berwajah ganda. Pos-Islamisme merepresentasikan baik kondisi maupun proyek. Sebagai kondisi, Pos-Pos-Islamisme menandai keadaan dimana kaum Islamis mulai mengalami kegalauan dan kebimbangan akibat kegagalan eksperimentasi mereka melibatkan agama dalam soal-soal publik, ditambah kritik dan pertanyaan yang terus menerus dari pihak oposisi, kaum Islamis menyadari bahwa legitimasi Islamisme mereka semakin terkuras habis. Pada fase inilah langkah-langkah pragmatis ditempuh guna mempertahankan posisi mereka sembari semakin jauh meninggalkan prinsip-prinsip dasar gerakan mereka.

Pos-Islamisme tidak hanya sebuah kondisi melainkan juga sebuah proyek. Bayat (2011:19-22) menyatakan bahwa “pos-Islamisme merupakan suatu proses sadar yang dilakukan kaum Islamis untuk bertahan dengan membangun modal sosial dan intelektual

(15)

tidak berarti sekuler atau anti-Islam, pos-Islamisme merupakan suatu upaya meleburkan

antara ‘Islam’ dan “kebebasan’ serta ‘keagamaan’ dan ‘hak’. Pos-Islamisme juga berusaha keras mensinegikan Islam dengan demokrasi, Hak Azasi Manusia (HAM), modernitas dan kebebasan individu. Ringkasnya, jika Islamisme merujuk pada doktrin dan praktik yang memandang Islam sebagai narasi total dan integral sehingga mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, pos-Islamisme justru menunjukan kondisi dan upaya sadar kaum Islamis

untuk ‘membatasi’ peranan Islam dalam arena-arena publik baik akibat dinamika internal maupun keterdesakan eksternal. Konsep-konsep kunci Asef Bayat tentang Islamisme,

pos-Islamisme dan gerakan sosial penulis gunakan untuk ‘membedah’ bagaimana dinamika

gagasan dan praktik aktivisme mahasiswa Islam pada periode pasca-Suharto.

1.6.3 Gerakan Mahasiswa

Gerakan mahasiswa merupakan salah satu ekspresi gerakan sosial kaum muda. Gerakan mahasiswa kerapkali diidentikkan dengan gerakan perlawanan atau oposisi terhadap suatu rezim yang otoriter atau despotik. Namun demikian dalam sejarah bangsa Indonesia peranan gerakan mahasiswa tidak hanya pada aspek perlawanan terhadap sebuah rezim semata, mahasiswa pernah hadir sebagai konseptor kebangsaan dan kekuatan kontrol yang kritis. Peran-peran mahasiswa ini sangat ditentukan oleh karakter sistem politik dan keadaan masyarakat yang ada. Menurut Arbi Sanit (1999:10) mahasiswa setidaknya memiliki dua fungsi utama yang selama ini mewarnai pergerakan mereka. Pertama, pergerakan mahasiswa sebagai kekuatan korektif terhadap berbagai gejala penyimpangan dalam masyarakat. Kedua, sebagai penerus kesadaran masyarakat luas atas problem-problem yang dihadapi dan menawarkan alternatif-alternatif perubahan bagi masyarakat. Sedangkan bagi Mohtar

Mas’oed (2003:184-185) mahasiswa berperan dalam menjalankan dua fungsi, yakni fungsi manager dan fungsi pencetus gagasan. Peran pertama memerlukan keahian teknokratik dan

(16)

manajemen yang berorientasi penyelesaian masalah (problem solving), sedangkan peran kedua membutuhkan basis keilmuan yang matang dan kemampuan kontemplatif untuk melahirkan gagasan-gagasan alternatif.

Gerakan mahasiswa tidak hidup dalam ruang yang vakum. Gerakan mahasiswa ditentukan oleh dua kondisi, yakni kondisi subjektif dan kondisi subjektif (Magenda, 1988:129). Kondisi subjektif adalah faktor-faktor seperti nilai-nilai, ideologi, kepentingan, latar belakang sosial, dan pasar tenaga kerja, sedangkan kondisi objektif berupa situasi eksternal seperti sistem politik dan struktur umur penduduk. Baik kondisi subjektif maupun kondisi objektif sama-sama menentukan corak dan haluan gerakan mahasiswa. Dalam situasi politik tertutup dan otoriter misalkan, gerakan mahasiswa cenderung akan mudah mengalami radikalisasi dan mobilisasi masa, namun dalam sistem politik yang relatif terbuka dan demokratis, radikalisasi sulit dilakukan dan gerakan cenderung terfragmentasi.

Gerakan mahasiswa di dunia ketiga seringkali dianggap sebagai kekuatan politik yang berwatak transformatif. Sebagai kekuatan politik, gerakan mahasiswa di dunia ketiga seringkali mampu mendesakkan perubahan-perubahan politik penting. Studi Albach (1984) menunjukan bahwa di negara-negara dunia ketiga, mahasiswa cenderung aktif dan terlibat dalam aktivisme-aktivisme politik, aktivisme politik mahasiswa disebabkan oleh faktor lingkungan sosial-politik dan seringkali dapat berkembang menjadi sebuah kekuatan politik yang signifikan. Menurut Denny JA (2006:106-107), gerakan mahasiswa di dunia ketiga mampu menjadi katalisator perubahan karena empat alasan. Pertama, infrastruktur dan sistem

politik yang masih ‘cair’ di dunia ketiga, belum adanya institusionalisasi lembaga-lembaga politik. Kedua, keterlibatan mahasiswa dalam perjuangan kemerdekaan dan melawan kolonialisme di negaranya, sehingga mahasiswa memiliki ‘legitimasi historis’ untuk terus terlibat dalam politik. Ketiga, lokasi universitas terbesar di dunia ketiga biasanya terletak di ibu kota negara, yang merupakan kawasan dengan populasi terbesar dan dekat dengan akses

(17)

kekuasaan. Keempat, latar belakang keluarga aktivis mahasiswa dunia ketiga yang berasal dari kalangan kelas menengah-atas sehingga mampu menyentuh segmen masyarakat yang strategis.

Tesis-tesis gerakan mahasiswa di dunia ketiga dapat dijadikan refleksi bagi perkembangan gerakan mahasiswa di Indonesia. Modernisasi, pembangunan ekonomi, pertumbuhan kelas menengah dan institusionalisasi instrumen-instrumen politik formal tentu telah mengubah lingkungan sosial-politik masyarakat Indonesia. Gerakan mahasiswa di Indonesia telah mengalami pergeseran-pergeseran sesuai arus zamannya. Penulis menggunakan kerangka teoritik gerakan mahasiswa di dunia ketiga untuk menganalisa sejauh mana pergeseran-pergeseran dalam gerakan mahasiswa di Indonesia paska-Suharto terjadi, dan sejauh mana tetap relevan, terutama dalam kaitannya dengan gerakan-gerakan Islamisme.

Terakhir, studi ini mengambil posisi teoritik yang berpijak pada pendekatan instrumentalis dengan bangunan utama analisisnya bersumber pada pendekatan integrasi gerakan sosial. Pendekatan instrumentalis memandang gerakan sosial terdiri dari aktor-aktor rasional yang mengejar tujuan-tujuan tertentu. Pendekatan pilihan rasional (rational choice) dalam gerakan sosial memiliki kelebihan dalam membaca kepentingan para aktor gerakan dan bagaimana mereka memilih memobilisasi seluruh sumber daya organisasi yang dimiliki (Hassan, 2012:126-127). Pada tataran konseptual, pendekatan instrumentalis yang dimaksud adalah pendekatan integrasi gerakan sosial. Pendekatan integrasi gerakan sosial yang terdiri atas pendekatan kesempatan politik, mobilisasi struktur dan proses pembingkaian makna

menjadi ‘pisau analisis’ utama dalam mendedah pergumulan Islamisme di kalangan kaum

muda kampus. Selain itu, studi ini juga meminjam analisis-analisis lain tentang gerakan sosial, Islamisme, Pos-Islamisme dari Asef Bayat.

(18)

1.8 Sistematika Penulisan

Hasil studi ini ditulis dengan struktur kronologis waktu. Studi ini dibuka dengan bab pendahuluan. Sebagai pembuka, bab pendahuluan berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, kerangka teoritik dan sistematika penulisan.

Bab pendahuluan menjadi ‘fondasi’ dari keseluruhan bangunan studi ini. Selanjutnya pada bab kedua dipaparkan metodologi dan profil kampus yang menjadi satuan kajian dalam studi ini. Bagian metodologi diuraikan secara lebih detil dalam sub-bab-sub bab, yakni metode, satuan kajian, jenis data dan teknik analisa data, sedangkan bagian selanjutnya pada bab dua berisi ulasan ringkas profil kampus UGM dan UI yang menjadi satuan kajian dalam studi ini.

Di bab ketiga penulis melacak akar historis dan genealogi pergerakan mahasiswa di Indonesia. Bab ini dibuka dengan tinjauan historis aktivisme kaum muda di era kolonialisme yang berbentuk organisasi-organisasi kepemudaan berbasis daerah dan kelompok studi,

selanjutnya bab ini menarasikan aktivisme mahasiswa ‘lintas generasi’, mulai dari ‘Angkatan

28’, ‘Angkatan 45’, ‘Angkatan 66’, hingga terakhir pergumulan ‘Angkatan 78’. Selain

menarasikan genealogi aktivisme kaum muda di Indonesia, bab tiga lebih jauh lagi memberi konteks sosio-historis bagi kebangkitan aktivisme Islam di kampus pada medio 1980an. Sementara itu pada bab empat, penulis mendedahkan secara mendalam fenomena

kebangkitan aktivisme Islam di kampus, ‘faktor domestik’ seperti kebijakan NKK-BKK,

pembubaran Dewan Mahasiswa, dan pembentukan KNPI bersinggungan dengan ‘faktor

internasional’ seperti kebangkitan revivalisme Islam di dunia dan proyek Wahabisasi Kerajaan Saudi menjadi pemicu kebangkitan aktivisme Islam di kampus. Analisis dalam bab empat berlanjut pada momen transisi politik yang paling menentukan bagi gerakan-gerakan Islamis, yakni periode reformasi. Dalam bab empat, pembentukan organ-organ politik kampus di era reformasi dijelaskan melalui pendekatan struktur kesempatan politik.

(19)

Bab selanjutnya, bab lima menyuguhkan narasi pergulatan aktivisme Islamisme di kampus pasca-Suharto. Bab ini menarasikan mobilisasi politik, pembentukan wacana Islam-publik dan komunitas-komunitas moral-kultural Islamis di kampus UGM dan UI pasca-Suharto. Pada bab ini, penulis menggunakan analisis mobilisasi sumber daya untuk menjelaskan bentuk-bentuk organisasi (formal-informal), jejaring, pola komunikasi dan kepemimpinan dalam gerakan-gerakan Islamis di kampus. Selain analisis mobilisasi sumber daya, analisis pembingkaian makna juga digunakan dalam menganalisis proses konstruksi makna dan mikro-mobilisasi dalam gerakan Islamis di kampus. Sementara itu pada bab enam, penulis menganalisis jalur-jalur transmisi gerakan Islamis di dalam kampus, analisis ini penting untuk memahami bagaimana gerakan Islamis di kampus mereproduksi aktivismenya. Tidak hanya berhenti pada alur reproduksi, bab enam juga mengulas dinamik trajektori Islamis muda dan proyeksi gerakan Islamis-Tarbiyah secara lebih umum. Proyeksi ini mencakup pola perkaderan, tahap-tahap gerakan dan orientasi gerakan Tarbiyah di masa mendatang.

Pada bab selanjutnya, bab ketujuh, penulis mencoba menarik suatu kesimpulan dan refleksi mendalam atas studi ini. Kesimpulan berisi benang merah dalam studi ini, sedangkan pada bagian refleksi ada dua level akademik yang penulis ajukan, yakni refleksi teoritik dan refleksi empirik. Pada bagian refleksi teoritik penulis mendedahkan kontribusi dan limitasi pendekatan yang digunakan dalam studi ini, sementara itu pada refleksi empirik penulis memaparkan kontribusi studi ini dalam khazanah studi-studi aktivisme mahasiswa Islam lain yang telah ada. Studi ini ditutup dengan refleksi personal atas segenap proses intelektualisme dan aktivisme penulis selama bergulat dengan realitas aktivisme mahasiswa di kampus.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelit ian dapat disim pulkan inst rum en penilaian sikap yang dikem bangkan sudah layak digunakan dalam proses pem belaj aran kim ia.. Ka t a Ku n ci :

[r]

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan pengaruh Pesan Iklan terhadap Keputusan Pembelian.Variabel bebas yang digunakan dalam penelitian ini adalah Isi Pesan

Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa awitan serangan stroke saat masuk rumah sakit dalam penelitian ini merupakan faktor perancu yang tidak bermakna untuk keluaran klinis

Lestari, (2012) yang berjudul “Pembuatan Website Profil Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri Jumantono Kabupaten Karanganyar” dijelaskan bahwa “ Didalam penyampaian

Disimpulkan bahwa untuk ayam umur 12-20 minggu taraf protein 12% telah memadai untuk pertumbuhan minimal, taraf protein 15% telah memadai untuk pertumbuhan organ reproduksi

• Pada tanaman yang tahan cekaman kekeringan, tekanan turgor daun tetap dipertahankan meskipun kandungan lengas tanah maupun air

The objective of this research are: to find out the forms of failure of reading in English texts in English learning, to find out the factors influencing