• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TEORI ZAKAT. 1. Pengertian dan Dasar Hukum Zakat 1.1. Pengertian Zakat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TEORI ZAKAT. 1. Pengertian dan Dasar Hukum Zakat 1.1. Pengertian Zakat"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

13

1. Pengertian dan Dasar Hukum Zakat

1.1. Pengertian Zakat

Dilihat dari sudut etimologi, menurut pengarang lisan al-Arab kata

zakat (al-Zakah) merupakan kata dasar ( mashdar) dari zaka yang berarti

suci, berkah, tumbuh dan terpuji yang semua arti itu sangat populer dalam

penerjemahan baik al-Quran maupun Hadis. Sesuatu dikatakan zaka apabila

ia tumbuh dan berkembang dan seseeorrang disebut zaka jika ia orang

tersebut baik dan terpuji. (Sudirman 2007, 13)

Zakat dari segi syara’ ialah suatu hak yang wajib pada harta. Ulama Maliki mentakrifkan sebagai mengeluarkan sebahagian yang tertentu dari pada harta yang tertentu yang mencukupi nishab, kepada orang yang berhak

atasnya. Jika sempurna milik dan cukup hawl tetapi bagi barang galian dan

tanaman tidak dikira hawl. Ulama Hanafi mentakrifkan sebagai memberi

milik sebahagian harta yang tertentu dari pada harta yang tertentu kepada orang yang tertentu yang ditentukan oleh syara’ karena Allah Taala. Perkara-perkara yang tidak termasuk di bawah lafazh memberi milik ialah Perkara-perkara

harus (al-ibahah). Ia tidak termasuk di dalam harta yang dikenakan zakat.

Umpamanya seorang yang memberi makanseorang anak yatim dengan niat zakat adalah tidak sah jika dia memberi barang makanan. Begitu juga jika dia memberi pakaian. Ini jika anak yatim itu pandai menerima kecuali jika dihukumkan supaya dia memberi nafkah kepada anak yatim maka dalamkes ini tidak dikira zakat. ( Wahbah al-Zuhaili 1994, 821)

Zakat adalah sebutan atas segala sesuatu yang dikeluarkan oleh seseorang sebagai kewajiban kepada Allah swt. kemudian diserahkan kepada orang-orang miskin (atau yang berhak menerimanya, red). Disebut zakat

(2)

karena mengandung harapan untuk memperoleh berkah, membersihkan jiwa dan mengembangkan harta dalam segala kebaikan.

Pengertian zakat menurut syara’ (terminologi/istilah), dalam pandangan para ahli fiqh mmemiliki batasan yang beraneka ragam. Al-Syirbini mengartikan zakat sebagai nama bagi kadar tertentu dari harta benda tertentu yang wajib didayagunakan kepada golongan-golongan masyarakat tertentu. Selain itu Ibrahim ‘Usman asy-Sya’lan mengartikan zakat adalah, memberikan hak milik harta kepada orang yang fakir yang muslim, bukan keturunan Hasyim dan bukan budak yang telah dimerdekakan oleh keturunan Hasyim dengan syarat terlepasya mamfaat harta yang telah diberikan itu dari pihak semula, dari semua aspek karena Allah. Senada dengan pendapat sebelumnya ada ulama yang mengartikan zakat sebagai “ hak yang wajib yang terkandung dalam harta benda tertentu, untuk golongan masyarakat tertentu dalam waktu tertentu.”(Asnaini 2008, 26)

Selanjutnya Sayyid Sabiq mendefenisikan zakat suatu sebutan dari suatu hak Allah yang dikeluarkan seseorang untuk fakir miskin. Dinamakan zakat karena dengan mengeluarkan zakat itu di dalamnya terkandung harapan untuk memperoleh berkat, pembersihan jiwa dari sifat kikir bagi orang yang kaya atau menghilangkan rasa iri hati orang-orang miskin dan memupuknya dengan berbagai kebajikan. Arti aslinya adalah tumbuh, suci dan berkat. Dapat dikatakan bahwa zakat ialah pemindahan sebagian harta umat dari salah satu tangan umat yang dipercayai oleh Allah untuk mengurus dan mengendalikannya, mengurus harta pemberian yang diserahkan kepada orang kaya ke tangan yang lain yang hidupnya susah payah dan Allah telah menjadikan harta itu sebagai hak dan rizkinya yaitu golongan fakir. (Asnaini 2008, 27)

Sedangkan Al- Mawardi, mengartikan zakat sama dengan shadaqah dan sebaliknya shadaqah juga sama dengan zakat. Pendapat ini berdasarkan kalimat-kalimat yang digunakan oleh Alquran dan hadis yang umumnya

(3)

menggunakan kata shadaqah, sedangkan yang dimaksud adalah zakat. Dengan demikian zakat menurut istilah adalah memberikan sebagian harta yang telah mencapai nisab kepada pihak yang telah ditetapkan oleh syara’ dengan kadar tetentu. (Asnaini 2008, 28)

1.2. Dasar Hukum Zakat

1.2.1.

Dari Alquran



































Artinya: dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan

taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat. (QS.

An-Nur (24): 56)

































Artinya: “dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah

beserta sorang-orang yang ruku'.” (QS. Al-Baqarah (2):

43)







































Artinya: “...dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil

daripada kamu, dan kamu selalu berpaling.” (QS.

Al-Baqarah (2): 83)























(4)





















Artinya: “jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan

menunaikan zakat, Maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui.” (QS. At-Taubah (9): 11) Ketegasan hukum wajib zakat ini dapat pula dilihat dalam beberapa ayat Alquran yang mengecam dan mengancam orang-orang yang enggan megeluarkan zakat. Pada hal mereka termasuk kategori orang-orang yang wajib zakat. Hal ini antara lain terungkap dalam firman Allah SWT:

























































































Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya

sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka,

(bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih,” (QS.

At-Taubah (9): 34)

Berdasarkan ayat di atas dapat dikatakan bahwa zakat merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang mempunyai kelebihan harta. Zakat tidak bersifat sukarela atau hanya pemberian dari orang kaya kepada

(5)

orang-orang miskin/ fakir, melainkan merupakan hak mereka dengan ukuran dan ketentuan tertentu. Hukum zakat adalah wajib. Tidak ada alasan bagi para muzakki untuk tidak menunaikan zakat. (Asnaini 2008, 30)

2. Rukun, Syarat Wajib Zakat dan Orang Yang Berhak Menerima Zakat

2.1. Rukun Zakat

Rukun zakat adalah mengeluarkan dari sebagian harta yang telah mencukupi nisab dengan melepaskan kepemilikan terhadapnya. Menjadikannya sebagai milik orang fakir dan memberikan harta tersebut kepada wakilnya. Maksud wakil adalah imam atau orang yang bertugas untuk memungut zakat untuk diserahkan kepada orang yang berhak menerimanya. (Al-Zuhaili 1994, 829)

2.2. Syarat Wajib Zakat

Sesungguhnya kewajiban mengeluarkan zakat harta bagi seorang muslim harus ada syarat yang dipenuhi. Apabila syarat tidak terpenuhi maka tidak ada kewajiban pada harta tersebut. Ada beberapa persyaratan mengenai wajib zakat yaitu:

2.2.1. Syarat-syarat orang yang wajib zakat

2.2.1.1. Muslim (beragama Islam)

Setiap orang yang beragama Islam maka ia harus melaksanakan kewajiban atasnya. Kewajiban zakat tersebut dijelaskan dalam rukun Islam.

2.2.1.2. Merdeka

2.2.1.3. Baligh atau berakal

Zakat tidak diwajibkan kepada anak kecil dan orang gila yang mempunyai harta, akan tetapi harta masing-masing dari keduanya (anak kecil dan orang gila) wajib dizakati dan dikeluarkan oleh orang tuanya. (Al-Jaziri 1996, 97)

(6)

2.2.2. Syarat-syarat harta yang wajib dizakatkan

2.2.2.1. Milik sempurna

Maksudnya adalah bahwa harta tersebut berada di bawah kontrol dan di dalam kekuasaan kepemilikannya dan ia dapat bertindak hukum terhadap harta tersebut. (Fakhruddin 2008, 34)

2.2.2.2. Cukup satu nisab atau kadar minimal jumlah harta yang

wajib dikeluarkan zakatnya berdasarkan syara’. Harta yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah apabila telah sampai nisabnya. Dan harta yang tidak mencapai nisabnya maka sipemilik harta tidak wajib mengeluarkan zakat karena syarat wajibnya belum terpenuhi. (Imam Abu Bakar Al-Jaziri 1996, 30)

2.2.2.3. Berkembang. Ketentuan harta yang wajib dizakatkan

bahwa harta tersebut berkembang. Pengertian

berkembang menurut bahasa sekarang adalah bahwa sifat kekayaan itu memberikan keuntungan, bunga, atau pendapatan, keuntungan investasi ataupun pemasukan sesuai dengan istilah yang dipergunakan oleh ahli-ahli perpajakan maupun kekayaan itu berkembang dengan sendirinya. Artinya bertambah dan menghasilkan produksi. (Qardhawi 1973, 138)

2.2.2.4. Harta itu bebas dari hutang. Apabila seorang pemilik

harta yang di dalamnya masih terdapat hak orang lain dan merupakan hak pribadinya, bukan hak yang berhubungan dengan Allah. Kewajiban zakat menjadi gugur, tetapi jika berhubungan dengan hak Allah seperti nazar, kafarat dan lain-lain maka kewajiban zakatnya tetap ada meskipun nisabnya kurang. (Daut Ali 1998, 98)

(7)

2.2.2.5. Melebihi kebutuhan pokok. Maksudnya harta tersebut merupakan kelebihan dari nafkah dan kebutuhan asasi bagi kehidupan muzakki dan orang-orang yang berada di bawah tanggungannya. (Kurnia, Hidayah 2008, 15)

2.2.2.6. Masa kepemilikan harta itu sudah berlaku selama satu

tahun. Maksudnya bahwa zakat itu tidak wajib dikecualikan apabila ia memiliki nisab dan berlangsung satu tahun. Tahun yang dimaksud adalah tahun Qamariah yaitu ada 354 hari sedangkan tahun Syamsiyah dapat berubah-rubah. Syarat ini berlaku untuk selain zakat tanam-tanaman dan buah-buahan. Tidak disyaratkan satu tahun. (Al-Jaziri 1996, 102)

2.2.2.7. Tidak terjadi zakat ganda. Maksudnya adalah apabila

harta sudah dibayar zakatnya, kemudian harta tersebut berubah bentuk seperti hasil pertanian yang telah dizakati kemudian hasil panen tersebut dijual dengan harga tertentu, berdasarkan hal ini harta penjualan barang yang telah dizakati maka diakhir haul tidak wajib zakat lagi agar tidak terjadi zakat ganda pada satu jenis harta. (Kurnia, Hidayah 2008, 16)

2.3. Orang yang berhak menerima zakat

Para ulama dan ahli hukum Islam ketika membahas sasaran zakat,

atau yang dikenal dengan mustahaqqu al- zakah atau, asnaf atau mustahiq,

selalu merujuk pada surat At-Taubah ayat 60. Ayat ini menyebutkan delapan golongan yang berhak menerima zakat:

(8)































































































Artinya: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. AT-Taubah (9): 60)

2.3.1. Fakir

Fakir ialah orang yang menghajati pertolongan yang perlu ditolong dalam menyelenggarakan keperluan hidupnya sehari-hari yang tidak dapat tidak, untuk keperluan hidupnya. (Hasbi ash Shiddieqy 2009, 149)

Sabahaddin Zaim membagi masyarakat dalam tiga kategori yaitu:

2.3.1.1. Mereka yang pendapatannya tidak mencukupi kebutuhan

pokoknya, mereka bisa mengambil jatah zakat.

2.3.1.2. Mereka yang dapat mencukupi kebutuhan pokoknya tapi

sisa pendapatannya di bawah nisab, mereka tidak berkewajiban membayar zakat, tetapi tidak berhak mengambil zakat.

2.3.1.3. Mereka yang pendapatannya mencukupi kebutuhan

pokoknya dan sisanya mencukupi satu nisab, mereka wajib membayar zakat.

Berdasarkan pendapat ini yang berhak menerima zakat adalah masyarakat dalam kategori pertama, yaitu mereka yang tidak mencukupi

(9)

kebutuhan pokoknya. Inilah yang dinamakan fakir. Dapat dikatakan bahwa apabila seseorang memiliki setengah dari makanan untuk sehari-semalam maka ia tergolong fakir. Namun apabila ia memiliki sehelai gamis ( baju panjang ) tetapi tidak memiliki penutup kepala, sepatu dan celana sedang nilai gamisnya itu tidak mencakup harga semua itu sekedar yang layak bagi kaum fakir sesamanya maka ia disebut fakir. Sebab dalam keadaan seperti itu, ia tidak cukup memiliki apa yang patut baginya dan tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokoknya.

2.3.2. Miskin

Miskin yaitu orang yang mempunyai barang yang berharga atau pekerjaan yang dapat menutup sebagian hajatnya akan tetapi tidak mencukupinya, seperti seumpama orang yang membutuhkan 10.000 rupiah tapi ia hanya berpenghasilan 7.000 rupiah. Orang ini wajib diberi zakat sekedar menutupi kekurangan dari kebutuhannya.. Jadi dengan kaidah di atas bahwa fakir itu lebih kekurangan dari pada orang miskin. Miskin adalah apabila penghasilannya tidak mencukupi kebutuhannya. Adakalanya ia memiliki seribu dirham sedangkan ia tergolong miskin tetapi adakalanya dia hanya memiliki sebuah kapak dan tali sedangkan ia tergolong berkecukupan. Gubuk yang dimiliki, pakaian yang dikenakan, perabot yang dimiliki termasuk kitab- kitab yang dipunyai. Hal ini karena semata benda benar-benar diperlukan dan sekadar yang layak baginya. Juga kitab fikih yang dimilinya. Semua itu tidak meniadakan sifat dirinya sebagaiseorang miskin (yang berhak memperoleh bagian dari zakat).

Di antara dalil yang mengantarkan kepada pengertian orang miskin adalah berdasarkan firman Allah:





















(10)

Artinya: “dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang

meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian (

Adz-Dzaariyat (51): 19 )

Dalil di atas memberi pengertian bahwa miskin adalah al-mahrum,

yaitu orang yang tidak mampu akan tetapi menjaga kehormatan diri, tidak mau meminta-minta.

2.3.3. Amilin

‘amilin (Amilun), kata jama’ dari mufrad ‘Amilun menurut Imam Syafi’i

‘amilun adalah “orang-orang yang diangkat untuk memungut zakat dari

pemiliknya, yaitu para sa’i dan penunjuk-penunjuk jalan yang menolong

mereka. Disebabkan karena mereka tidak bisa memungut zakat tanpa

pertolongan penunjuk jalan itu. Dapat dikatakan bahwa ‘Amil ialah

orang-orang yang bertugas mengumpulkan zakat termasuk ketua, penulis, bendahara dan petugas lainnya.

Menurut Yusuf Qardhawi, amilun adalah semua orang yang bekerja dalam mengurus perlengkapan administrasi urusan zakat, baik urusan pengumpulan, pemeliharaan, ketatausahaan, perhitungan, pendayagunaan dan seterusnya. Masih banyak defenisi ‘amil dari para ulama tetapi yang jelas ‘amil itu adalah para pengelola yang berkaitan dengan urusan-urusan zakat. Mulai dari pengambilan sampai kepada pendistribusiannya dan proses-proses di antara keduanya. Termasuk pengelolaaan zakat serta tekhnik-tekhnik yang lebih baik dilakukan agar zakat bermamfaat dan berhasil guna bagi masyarakat.

2.3.4. Mu’allaf

2.3.4.1. Menurut Abu Ya’la, muallaf terdiri dari dua golongan : “ orang

Islam dan orang musyrik. Mereka ada empat kategori:

2.3.4.1.1. Mereka yang dijinakkan hatinya agar cendrung menolong

(11)

2.3.4.1.2. Mereka yang dijinakkan hatinya agar cendrung untuk membela umat Islam.

2.3.4.1.3. Mereka yang dijinakkan hatinya agar ingin masuk Islam.

2.3.4.1.4. Mereka yang dijinakkan dengan diberi zakat agar kaum

dan sukunya tertarik masuk Islam.

2.3.4.2. Perbedaan kategori muallaf antara Abu Ya’la dengan Sayyid

Sabiq dan Al-Qardhawi :

Untuk golongan muslim terdiri dari:

2.3.4.2.1. Tokoh dan pimpinan orang muslim

2.3.4.2.2. Pemimpin orang-orang Islam yang lemah imannya,

dipatuhi masyarakat.

2.3.4.2.3. Orang-orang Islam yang berada di garis perbatasan

musuh, agar dapat mempertahankan orang-orang Islam yang dibelakangnya dari serangan musuh.

2.3.4.2.4. Golongan orang Islam yang diperlukan untuk memungut

zakat dari orang-orang yang tidak akan mengeluarkan zakat tanpa pengaruh mereka.

2.3.5. Al-Riqab

Imam Malik, Ahmad dan Ishaq menyatakan riqab adalah budak biasa yang dengan jatah zakat mereka dapat dimerdekakan. Menurut golongan Asy-Syafi’iyyah dan Al-Hanafiyyah, riqab adalah budak mukatab. Yakni budak yang diberi kesempatan oleh tuannya untuk berusaha membebaskan dirinya dengan membayar ganti rugi secara angsuran. (Asnaiani 2008,56) Sedangkan Yusuf Qardhawi lebih cendrung berpendapat bahwa masalah perbudakan (penjajahan) tidak hanya mengatasinya dengan cara membantu

bagian “ fii riqab “ tetapi lebih luas lagi, yaitu sabilillah dan sebenarnya hal

itu menjadi tanggung jawab bersama, bukan hanya satu dua negara. (Hasan 2006,99)

(12)

Al-Gharimin adalah “ kata jama’ dari kata mufrad al-gharimu, artinya

orang yang berutang dan tidak bisa melunasinya.” Dilihat dari segi

subjek hukumnya al-gharim itu ada dua: perorangan atau badan hukum.

Dilihat dari segi motifasinya al-gharim ada dua juga: berhutang untuk

keperluar pribadi di luar maksiat dan berhutang untuk kepentingan masyarakat (maslahat umum). Untuk kepentingan pribadi mislanya berhutang untuk nafkah keluarga, pakaina, kawin, pengobatan, membangun rumah, membeli perabot rumah tangga, merusak barang harta benda orang lain sengaja atau tidak sengaja dan lain seagainya.

Adapun syarat-syarat gharim untuk kepentingan pribadi adalah:

2.3.6.1. Tidak mampu membayar seluruh atau sebagian hutangnya.

2.3.6.2. Ia berhutang untuk bidang ketaatan kepada Allah atau dalam

bidang yang mubah (diperbolehkan agama).

2.3.6.3. Hutang yang harus sudah dilunasi, bukan hutang yang masih

lama masa pembayarannya.

Patokan ini sangat perlu agar pengertian al-Gharim ini tidak dipahami dengan keliru. Orang yang berutang, aialah seorang mampu yang berutang untuk keperluan ketaatan kepada Allah atau untuk hal yang mubah. Tetapi apabila berutang untuk suatu perbuatan maksiat maka ia tidak diberi dari uang zakat kecuali apabila ia telah bertobat. Namun apabila yang berutang itu tergolong seorang yang kaya (berkecukupan) maka ia tidak boleh diberi dari bagian zakat kecuali jika utang tersebut untuk mendamaikan kelompok-kelompok yang bermusushan. Artinya harus ada alasan dan tujuan kenapa seseorang beruang. Jelasnya adalah orang yang berutang dalam hal yang tidak bersifat pemborosannya.

Jadi ukuran gharim ini adalah sisa dari kebutuhan satu keluarga itu

tidak cukup untuk melunasi hutang. “kekurangannya itu dapat diambil dari zakat.” Pendapat ini juga dipegang oleh Abdul Khaliq dan an-Nawawi. Mereka

(13)

yang berutang untuk kepentingan umat Islam, baik fakir maupun kaya, dapat dapat diberi zakat sejumlah hutangnya, tidak boleh lebih. Menurut Zaim bahwa “ sebagian ulama membolehkan hutang untuk kepentingan umat Islam, dari dana zakat. (Asnaini 2008, 57)

2.3.7. Fisabilillah

Bila disebut “ fisabilillah” biasanya tergambar dalam pikiran orang adalah perang (jihad). Padahal pengertiannya lebih luas lagi dari yang dimaksud, mencakup semua kemaslahatan umat Islam baik untuk kepentingan agama dan lain-lainnya yang bukan untuk kepentingan perorangan, seperti membangun masjid, rumah sakit, panti asuhan, sekolah, irigasi, jembatan dan sebagainya yang dimamfaatkan untuk kepentingan umum yang tidak mengandung maksiat. Semua kegiatan yang menuju ridha Allah dapat diambil dari bagian “ fisabilillah”. (Hasan 2006, 100)

Menurut bahasa sabil berarti jalan. Sabil-Allah berarti jalan Allah.

Jalan yang menuju kerelaan Allah. Untuk jalan inilah Allah mengutus para Nabi, yaitu untuk memberi petunjuk kepada manusia, untuk berdakwah. Ibnu ‘Abidin mengatakan bahwa tiap-tiap orang yang berusaha dalam bidang ketaatan kepada Allah dan jalan jalan kebajikan, termasuk ke dalam sabilillah. Selain itu Rasyid Ridha mengatakan bahwa sabilillah itu mencakup semua kemaslahatan syar’iyyah secara umum yang mencakup urusan agama

dan negara. Sedangkan Sayyid Sabiq, mendefenisikan sabilillah adalah jalan

yang menuju kepada kerelaan Allah, baik tentang ilmu maupun amal perbuatan.

BAZIS DKI Jakarta mengartikan sabilillah adalah “ usaha-usaha perorangan atau badan yang bertujuan untuk kepentingan kejayaan agama atau kepentingan umum.”

(14)

2.3.7.1. Mempunyai arti perang, pertahanan dan keamanan Islam.

2.3.7.2. Mempunyai arti kepentingan keagamaan Islam.

2.3.7.3. Mempunyai arti kemaslahatan atau kepentingan umum.

Ketiga makna ini dalam konteks Indonesia, meliputi pembangunan

manusia seutuhnya dan masyarakat pada umumnya. Pejuang fi sabilillah,

(orang-orang yang berjuang atau berperang fisabilillah). Dimana mereka

tidak menerima gaji dari negara juga boleh diberi dari bagian zakat walaupun tergolong kaya, sebagai dorongan bagi mereka untuk tetap berjuang.

Menurut Al-Qardhawi, makna sabilillah ini harus dipahami dengan cara jalan tengah: jangan terlalu sempit (arti perang dan pertahanan), juga bukan arti yang terlalu luas (kemaslahatan umum). Hal ini karena pemahaman yang terlalu sempit atau terlalu luas terhadap makna sabilillah

akan merusak pengertian delapan kategori mustahiq zakat yang sudah

dibatasi oleh Alquran dengan kata “innama” (hanya) dan merusak juga

pembedaan batas antara kategori yang satu dengan kategori yang lain. Semua kategori itu dibuat sebagai jalan kebajikan dan kepentingan imat. Jihad dalam konteks ini tak hanya dipahami dengan pedang, namun bisa juga dengan lisan, pikiran, pendidikan, pena, buku, sosial, ekonomi, politik dan pertahanan keamanan. Segala usaha yang berhubungan dengan kejayan Islam tergolong tindakan jihad. (Asnaiani 2008, 59)

2.3.8. Ibnu-Sabil

Ibnu Sabil dapat diartikan dengan perantau (musafir). Tetapi musafir (ibnu sabil) yang mendapat bagian dari zakat adalah orang musafir bukan karena maksiat. Dia kekurangan atau kehabisan belanja dalam perjalanan, mungkin karena uangnya hilang karena dicopet atau sebab-sebab lainnya. Kepada musafir yang demikian dapat diberikan zakat untuk menutupi keperluannya selama dalam perjalann pulang kekampung halamannya. Kita tidak perlu menyelidiki apakah ia orang kaya atau tidak, dikampung

(15)

halamnnya. Zakat yang diberikan umpamanya tiket pesawat, kapal laut, mobil dan alat transportasi lainnya disesuaikan dengan situasi dan kondisi, ditambah dengan biaya makannya dalam perjalanan. (Hasan 2006, 102) Menurut golongan asy-Syafi’iyyah, “ ibnu sabil ada dua macam:

2.3.8.1. Orang yang mau bepergian.

2.3.8.2. Orang yang di tengah perjalanan.

Keduanya berhak menerima zakat meskipun ada yang mau menghutanginya atau ia mempunyai harta dinegerinya. Dalam pengertian ini, mereka yang bepergian dalam bidang ketatan, seperti haji, perang, ziyarah yang disunatkan, berhak diberi bagian zakat untk nafkah, pakaian, tas, perbekalan dan apa saja yang dibutuhkan buat mencapai tujuan kepergiannya itu. Sedangkan, Malik dan Ahmad, Ibn as-Sabil yang berhak menerima zakat adalah “ khusus bagi musafir yang di tengah perjalanan, bukan orang yang mau bepergian. Orang yang dihutangi atau orang yang mempunyai harta di negerinya tidak boleh diberi zakat.”

Sayyid Sabiq, menyatakan bahwa para ulama sepakat musafir yang terputus dari negrinya, diberi zakat dengan syarat bepergian dalam rangka ketaatan kepada Allah atau tidak maksiat. Dapat dikatakan bahwa Ibnu as-Sabil, adalah orang yang datang ke suatu kota (negeri) atau melewatinya dalam status sebagai musafir yang tidak bermaksud melakukan maksiat dengan perjalannya itu. Ia boleh diberi apabila ia seorang fakir (yakni kehabisan ongkos). Namun jika ia memiliki harta di suatu kota yang sedang ditujunya maka ia diberi sekedar yang dapat menyampaikannya ke sana. (Asnaini 2008,61)

(16)

3. Macam-Macam Harta yang Wajib Dizakatkan 3.1. Zakat Emas dan Perak

Para fuqaha berpendapat bahwa emas dan perak wajib dikeluarkan zakatnya apabila telah mencapai nisabnya, kewajiban ini dicantumkan dalam Alquran surat at-Taubah ayat 34-35:









































































































































Artinya: 34. “ Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih,”

35.” pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: "Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, Maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu."( QS.At-Taubah (9): 34-35 )

(17)

Berdasarkan firman Allah di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pada dasarnya harta benda (emas dan perak) yang dimiliki . Apabila harta benda itu jika sudah mencapai nisab maka dalam harta benda tersebut ada hak Allah (zakat) yang harus dikeluarkan. Berdasarkan hal tersebut maka setiap muslim apabila harta bendanya telah memenuhi syarat-syarat maka ia harus mengeluarkan zakat atas harta tersebut. (Hamidi, dkk 1994, 1881)

3.2. Zakat Tanam-Tanaman

Ketentuan wajibnya meneluarkan zakat tanam-tanaman dijelaskan Allah dalam Alquran surat Al-Baqarah ayat 267 yang berbunyi:







































...

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi...” (QS. Al-Baqarah (2): 267) Berdasarkan firman Allah di atas jelas bahwa apa saja yang diusahakan oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya wajib dikeluarkan sebagian bila telah memenuhi syarat wajib zakat. Jadi semua tumbuh-tumbuhan atau tanam-tanaman wajib dikeluarkan zakatnya. Apabila hasilnya telah mencapai nisab sebanyak 5 wasak setelah dibersihkan banyaknya mencapai 10 wasak, seperti padi yang belum ditumbuk. (Sayyid Sabiq, 528-529)

Adapun pendapat para ulama tentang wajib zakat tanam-tanaman adalah sebagai berikut:

3.2.1. Pendapat Iman Malik dan Imam Syaf’’i adalah seluruh jenis makanan pokok yang bisa disimpan lama dikenai zakat, baik

(18)

biji-bijian maupun buah-buahan kering seperti gandum, jagung, padi dan sejenisnya.

3.2.2. Abu Hanifah berpendapat yaitu bahwa zakat itu dikenakan pada segala macam yang dikeluarkan oleh bumi. Menurutnya juga wajib zakat pada segala macam tumbuh-tumbuhan yang bisa

ditanam dan dimaksud untuk dikembangkan dan

mengecualikan kayu bakar, rumput dan bambu karena jenis ini di masa Abu Hanifah tidak menghasilakan uang dan termasuk tumbuhan merusak bumi.

3.2.3. Ahmad bin Hambal mengemukakan bahwa zakat itu wajib pada semua hasil tanaman kering dan tahan lama serta ditakar, baik biji-bijian maupun buah-buahan. (Yusuf Qardawi 2007,333-336)

Berdasarkan uraian di atas menunjukkan bahwa ulama yang mempersempit sumber zakat pertanian dan ada ulama yang memperluas sumber zakat . Dari sisi penulis cendrung berependapat bahwa segala macam bentuk tanam-tanaman dan tumbuh-tumbuhan yang bisa dikembangkan dan menghasilkan uang yang memberikan penghidupan atau yang mengenyangkan wajib dikeluarkan zakatnya. kadar zakatnya 5% jika memerlukan pengairan dan 10 % jika pengairannya dengan air hujan.

3.3. Zakat Binatang Ternak 3.3.1. Zakat Unta

Tidak wajib zakat pada unta jika kurang 5 ekor. Apabila unta sampai 5 ekor digembalakan dan cukup masanya setahun, zakatnya ialah berupa seekor kambing betina. Demikian seterusnya, setiap bertambah 5 ekor bertambah pula zakatnya ialah 1 ekor kambing betina. Jika banyaknya 25 ekor,zakatnya ialah 1 ekor anak unta betina umur 1-2 tahun atau 1 ekor anak

(19)

unta jantan umur 2-3 tahun. Jika jumlah itu mencapai 36 ekor, zakatnya 1 ekor anak unta betina yang berumur 2-3 tahun.

Jika jumlahnya mencapai 46 ekor, zakatnya 1 ekor unta betina yang berumur 3-4 tahun. Jika jumlahnya mencapai 61 ekor, zakatnya 1 ekor unta betina umur 4-5 tahun. Jika jumlahnya 76 ekor, zakatnya 2 ekor anak unta betina umur 2-3 tahun. Jika jumlahnya 91 ekor sampai 120ekor, zakatnya 2 ekor unta betina umur 3-4 tahun. Jika jumlahnya lebih dari 91 ekor tersebut, setiap 40 ekor zakatnya 1ekor anak unta betina umur 2-3 tahun dan setiap 50 ekor zakatnya adalah 1ekor anak unta betina umur 3-4 tahun. (Sayyid Sabiq, 541-542)

3.3.2. Zakat Sapi dan Kerbau

Tidak wajib zakat terhadap sapi sebelum mencukupi jumlah 30 ekor dan dibesarkan dalam gembalaan. Jika ia telahmencukupi 30 ekor digembalakan dan berlangsung selama satu tahun, zakatnya 1 ekor sapi jantan atau betina umur 1 tahun. Jika telah mencukupi jumlahnya 40 ekor, zakatnya satu ekor sapi betina umur 2 tahun dan tidak ada tambahan lain hingga jumlah mencapai 60 ekor. Jika telah mencapai 60 ekor sapi, zakatnya 2 ekor sapi umur 1 tahun. Jika jumlahnya mencapai 70 ekor sapi, zakatnya 1ekor sapi betina umur 2 tahun dan 1ekor sapi umur 1 tahun.

Jika jumlahnya 80 ekor sapi, zakatnya 2 ekor sapi betina umur 2 tahun. Jika jumlahnya mencapai 90 ekor sapi maka zakatnya 3ekor sapi umur 1 tahun. Jika jumlahnya mencapai 100 ekor sapi , zakatnya 1 ekor sapi betina umur 2 tahun serta 2 ekor sapi umur 1 tahun. Jika jumlahnya mencapai 110 ekor, zakatnya 2 ekor sapi betina umur 2 tahun dan 1 ekor umur 1 tahun. Jika jumlahnya mencapai 120 ekor sapi, zakatnya 3 ekor sapi betina umur 2 tahun atau 4 ekor sapi umur 1 tahun. Jika jumlahnya banyak bertambah, setiap setiap 30 ekor sapi maka zakatnya adalah 1 ekor sapi

(20)

umur 1 tahun. Setiap 40 ekor sapi maka zakatnya adalah 1 ekor sapi betina umur 2 tahun. (Sayyid Sabiq, 543)

3.3.3. Zakat Kambing

Tidak wajib zakat atas kambing kecuali telah mencapai jumlah 40 ekor. Jadi jika ia mencapai jumlah 40-120 ekor dan digembalakan sampai 1 tahun, zakatnya adalah 1 ekor kambing betina. Jika jumlahnya mencapai antara 121-200 ekor, zakatnya ialah 2 ekor kambing betina. Jika jumlahnya mencapai 200-300, zakatnya 3 ekor kambing betina. Selanjutnya, jika lebih dari 300 ekor kambing maka setiap 100 ekor, zakatnya adalah 1 ekor kambing betina. Bayaran zakat domba harus dikeluarkan zakat yang berumur 1 tahun, sedangkan zakat dari kambing adalah kambing yang berumur 2 tahun, demikian seterusnya. (Sayyid Sabiq, 544)

3.4. Zakat Rikaz dan Barang Tambang

Rikaz menurut jumhur ulama adalah harta peninggalan yang terpendam dalam bumi atau disebut harta karun. Sedangkan ma’dim (barang tambang) adalah segala sesuatu yang diciptakan Allah SWT dalam perut bumi, baik padat maupun cair, seperti emas, perak, tembaga, minyak, gas, besi dan sulfur. Terhadap rikaz dan barang tambang juga terdapat kewajiban untuk mengeluarkan zakatnya. (Fakhrudin 2008, 119-120)

Kewajiban zakat atas rikaz dan ma’dim tedapat dalam QS Al-Baqarah ayat 267:















































(21)





























Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan

ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS.

AL-Baqarah (2): 267)

Mengenai besarnya zakat yang harus dikeluarkan para ulama fiqh berbeda pendapat. Abu Hanifah dan kawan-kawannya berpendapat harus dikeluarkan zakatnya 20 %. Ahmad, Malik, Syafi’i dan Ishaq berpendapat zakatnya adalah 2,5 % berdasarkan qias dengan zakat uang. Sedangkan menurut mazhab Maliki barang tambang jika diperoleh melalui usaha yang sangat berat hanya dikenakan zakat biasa dan jika diperoleh tanpa usaha yang besar zakatnya adalah 2,5 % sama dengan zakat uang . (Yusuf Qardhawi, 417)

3.5. Barang Perniagaan (perdagangan)

Zakat perdagangan atau zakat perniagaan adalah zakat yang dikeluarkan atas kepemilikan harta yang diperuntukkan untuk jual beli. (

Fakhrudin 2008, 108) Segenap ulama meng-i’tibar-kan nishab dan haul

terhadap harta perniagaan. Namun mereka berbeda pendapat tentang waktu

meng-i’tibar-kan nishab tersebut. Asy-Syafi’i dan Al-Umm mengatakan,

nishab dipandang di akhir tahun. Demikian pula pendapat Malik. Abu Abbas ibn Siraj mengatakan, nishab dihitung dari awal hingga akhir tahun. Demikian

pendapat Ahmad. Sebagian ulama mengatakan, nishab dihitung dari awal

dan diakhir tahun saja. Demikian penetapan Abu Hanifah. Sedang untuk permulaan tahun dilihat kepada harga barang. Apabila barang perniagaan

(22)

dibeli dengan se-nishab mata uang maka permulaan tahunnya adalah ketika memiliki mata uang tersebut. Jika dibeli dengan hutang maka permulaan tahun dihitung dari hasil pembelian. (Hasbi ash-Shiddieqy 2009, 91-92)

3.5.1. Syarat umum zakat perdagangan

3.5.1.1. Adanya nishab

Harta perdagangan harus telah mencapai nishab emas atau perak yang dibentuk. Harga tersebut disesuaikan dengan harga yang berlaku di setiap daerah. Jika suatu daerah tidak memiliki suatu ketentuan harga emas atau perak, harga barang dagangan tersebut disesuaikan dengan harga yang berlaku di daerah terdekat. Jumhur ulama berpendapat bahwa nishab zakat barang dagangan adalah 85 gram emas dan dikeluarkan sebanyak 2,5%. (Kurnia, Hidayat 2008, 279)

3.5.1.2. Haul

Harga dagangan harus mencapai haul, terhitung sejak dimilikinya harta tersebut. Yang menjadi ukuran dalam hal ini adalah tercapainya dua sisi haul bukan pertengahannya. Sisi permulaan haul dimaksudkan sebagai telah didapatinya harta yang wajib dizakati dan dan ssi akhirnya dimaksudkan sebagai kewajiban. Dengan demmikian jika sesorang telah memiliki harta yang telah mencapai nishab pada awal haul kemudian hartanya berkurang pada pertengahannya tetapi sempurna lagi pada akhir haul maka ia wajib mengeluarkannya.

3.5.1.3. Niat melakukan perdagangan saat membeli barang-barang

(23)

Pemilik barang dagangan harus berniat berdagang ketika membelinya. Adapun jika niat itu dilakukan setelah harta dimiliki, niatnya harus dilakukan ketika perdagangan dimulai.

3.5.1.4. Barang dagangan dimiliki melalui pertukaran, seperti

jual-beli atau sewa-menyewa

Dengan demikian jika barang-barang dagangan dimiliki bukan melalui pertukaran, di dalamnya tidak ada kewajiban zakat, seperti halnya warisan, hibah dan sedekah. Harta warisan tidak wajib dizakati sebelum hartanya diniati sebagai barang dagangan.

3.5.1.5. Harta dagangan tidak dimaksudkan qiniyah (yakni sengaja

dimanfaatkan oleh diri sendiri dan tidak diperdagangkan) Apabila seseorang bermaksud melakukan qiniyah terhadap hartanya maka haulnya terputus. Sehingga apabila setelah itu ia hendak melakukan perdagangan maka ia harus memperbarui niatnya.

3.5.1.6. Pada saat perjalanan haulsemua harta perdagangan tidak

menjadi uang yang jumlahnya yang kurang dari nishab. Dengan demikian jika semua harta perdagangan menjadi uang, sedangkan tidak mencapai nishab, haulnya terputus. (Kurnia, Hidayat 2008, 280)

3.5.2. Dasar-dasar penghitungan zakat perdagangan.

Penghitungan zakat perdagangan dihitung sebagai berikut, sebagaimana yang diatur oleh fikih.

3.5.2.1. Penentuan waktu penghitungan dan pembayaran zakat, baik

berdasarkan kalenderHijriyah maupun kalender Masehi (penghitungan haul)

(24)

3.5.2.2. Pembatasan dan penilaian harta perdagangan yang wajib dizakati sesuai dengan hukum-hukum fikih dan dasar akuntansi.

3.5.2.3. Pembatasan dan penilaiaan tanggungan ( kewajiban

pembayaran yang kontan dan jangka pendek yang harus dipotongkan dari harta perdagangan yang tunduk kepada hukum zakat).

3.5.2.4. Penentuan tempat zakat dengan cara menguraikan

tanggungan dari harta wajib zakat.

3.5.2.5. Menghitung nishab zakat, yaitu seharga 85 gram emas murni

24 karat.

3.5.2.6. Membandingkan tempat zakat dengan nishab jika tempat

zakat mencapai nishab maka zakat dihitung dengan kadar zakat 2,5% jika menggunakan haul kalender Hijriyah atau 2,575% jika menggunakan haul kalender Masehi.

3.5.2.7. Menghitung jumlah zakat dengan cara mengalihkan tempat

zakat dengan kadarnya (harga zakat)

3.5.2.8. Penentuan dan penilaian harta perdagangan yang tunduk

kepada zakat. 4. Tujuan dan Hikmah Zakat

4.1. Tujuan zakat

Secara umum zakat bertujuan untuk menata hubungan dua arah yaitu hubungan vertikal dengan Tuhan dan hubungan horizontal dengan sesama manusia. Artinya secara vertikal zakat sebagai ibadah dan wujud ketakwaan dan kesyukuran seorang hamba kepada Allah atas nikmat berupa harta yang diberikan Allah kepadanya serta untuk membersihkan dan mensucikan diri dari hartanya itu. Tujuan ini didasarkan kepada pesan yang dikandung surat At-Taubah ayat 103 yang berbunyi:

(25)













































Artinya: “ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (QS. At-Taubah (9): 103)

Sedangkan secara horizontal zakat bertujuan mewujudkan rasa keadilan sosial dan kasih sayang di antara pihak yang berkemampuan dengan pihak yang tidak mampu dan dapat memperkecil problema dan kesenjangan sosial serta ekonomi umat. Dalam konteks ini zakat diharapkan dapat mewujudkan pemerataan dan keadilan sosial di antara sesama manusia. Tujuan ini tergambar dalam surat al-Hasyr ayat 7, yang berbunyi:









































































Artinya: “apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu...” (QS. Al-Hasyr (59): 7) Jadi dapat dikatakan bahwa secara horizontal zakat berperan dalam mewujudkan keadilan dan kesetiakawanan sosial dan menunjang dan terwujudnya keamanan dalam masyarakat dari berbagai perbuatan negatif

(26)

seperti pencurian atau tindakan kriminal lainnya karena harta hanya beredar di antara orang-orang kaya saja. Tujuan secara horizontal ini tampak secara jelas karena di dalam zakat telah ditetapkan ketentuan dan proseduralnya seperti batas nisab, haul dan kadar zakat yang harus dikeluarkan serta kriteria para mustahiq yang berhak menerimanya.

Kewajiban zakat menjadi tujuan yang bersifat agamais, moral spiritual, finansial, ekonomis, sosial dan politik yang pada akhirnya adalah untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Tujuan yang bersifat agamais, moral-spiritual, finansial, ekonomis, sosial dan politik ini dapat dirinci kepada dua aspek. Yaitu aspek kebaktian terhadap Allah dan amal shaleh kepada masyarakat. (Asnaini 2008, 42-44)

4.2. Hikmah zakat

Dalam masyarakat kedudukan orang tidak sama. Ada yang mendapat karunia Allah lebih banyak ada yang sedikit. Bahkan ada masyarakat yang untuk makan sehari-hari pun susah mendapatkannya. Oleh sebab itu Allah mewajibkan zakat bagi orang-orang yang mampu supaya dapat membantu para muslim yang kekurangan. Kesenjangan itu perlu didekatkan dan sebagai salah satu caranya adalah dengan zakat dan infak. Orang kaya harta berkewajiban mendekatkan kesenjangan itu karena memang ada hak fakir miskin dalam harta orang kaya itu.

Di dalam Alquran disebutkan:



















































(27)

Artinya: “dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezkinya itu) tidak mau memberikan rezki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezki itu. Maka

mengapa mereka mengingkari nikmat Allah. (QS. An-Nahl (16):

71)

Diantara hikmah zakat adalah:

4.2.1. Menyucikan harta

Pada pembahasan sebelumnya telah dibahas bahwa berzakat itu tujuannya untuk membersihkan harta dari kemungkinan masuk harta orang lain ke dalam harta yang dimiliki tanpa sengaja. Barangkali ada harta orang lain yang bercampur dengan harta kita. Di samping itu hak orang lain pun memang ada dalam harta yang dimiliki itu.

4.2.2. Menyucikan jiwa si pemberi zakat dari sifat kikir (bakhil)

Zakat selain membersihkan harta, juga membersihkan jiwa dari kotoran hati dari sifat kikir (bakhil). Sifat kikir adalah salah satu sifat tercela yang harus disingkirkan jauh-jauh dari hati, sifat kikir bersaudara dengan sifat tamak karena orang yang kikir itu berusaha, supaya hartanya tidak berkurang karena zakat, infak dan sedekah. Dia berusaha mencari harta sebanyak-banyaknya, tanpa memperdulikan batas halal dan haram. Malahan ada orang yang untuk keperluannya sendiri saja sangat berhemat yang melampaui batas. Sebaliknya ada orang yang berfoya-foya mempergunakan uang melebihi dari semestinya. Dia menghambur-hamburkan untuk perbuatan maksiat sedangkan untuk kepentingan agama seperti zakat dia enggan mengeluarkannya.

Demikianlah di antara tanda orang yang tidak mensyukuri nikmat Allah. Apabila sudah tertanam kesadaran berzakat, berarti sifat kikir sudah mulai menjauh dan terus menjauh berkat tempaan dan iman kepada Allah. Sebab, orang yang beriman dan bertaqwa sadar betul dia, bahwa yang

(28)

dimilikinya adalah karunia Allah dan limpahan rahmat-Nya. Salah satu cara mensyukurinya dengan jalan mengeluarkan zakat, menyisihkan hak orang lain dan fisabilillah.

4.2.3. Membersihkan jiwa si penerima zakat dari sifat dengki

Biasanya apabila terjadi kesenjangan dalam masyarakat mengenai status soisal, atau jurang terlalu jauh antar orang kaya dan orang miskin maka akan terjadi kecemburuan sosial. Orang yang tidak punya melirik tajam kepada orang kaya, apalagi tetangga kanan kirinya memamerkan kekayannya dan keberadaanya secara menonjol. Kemudian timbullah gejolak yang tidak diinginkan, apakah namanya perampokan, penodongan, pemerkosaan, pencurian dan sebagainya yang sangat menggelisahkan masyarakat. Akhirnya asal harta itu didapat, sasarannya tidak hanya orang kaya saja tetapi apapun yang terlihat dan mudah didapat seperti penjambretan, akan dilakukan orang. Kita pun harus mengakui bahwa tidak setiap kejahatan di atas karena motifasi untuk memenuhi keperluan hidup semata-mata untuk anak istri tetapi ada juga untuk kepentingan berfoya-foya.

Agama Islam memberikan salah satu terapi untuk mengubah fikiran yang tidak benar itu yaitu dengan menyalurkan sebagian harta kekayaan orang kaya kepada orang miskin itu. Melalui jalan itu diharapkan mereka dituntut berpikir oleh hati nuraninya bahwa kecemburuan itu tidak perlu dihidupkan di dalam hati, kedengkian terhadap orang kaya tidak perlu melekat di hati sanubari. Sebab yang turut menikmati karunia Allah itu, tidak hanya orang yang punya harta saja, tetapi mereka pun mendapatkan jatah atau bagian tertentu. Malahan orang fakir miskin yang sadar, tidak lupa dia berdoa semoga orang yang mengeluarkan zakat, infak dan sedekah bertambah rezekinya.

(29)

Di atas sudah dijelaskan mengenai hikmah zakat agak lebih khusus, seperti terhadap harta ,pemberi zakat dan penerima zakat. Di sini cakupannya lebih luas lagi, yaitu untuk masyarakat umat Islam yang mayoritas di Indonesia ini yang status sosialnya masih lemah, ekonominya belum mapan. Kalau kita bicara makmur atau tidaknya bangsa kita, miskin atau kayanya, tentu tidak terlepas dari umat Islam itu, berhasil atau tidaknya pembangunan bangsa ini juga sangat bergantung kepada umat Islam. Sekiranya Allah merhidoi bangsa Indonesia ini makmur, berarti makmur juga umat Islam. (Asnaini 2008, 44-47)

Referensi

Dokumen terkait

Bap yang mengalir ke bejana pengembun adalah uap nira dari badan  penguapan atau e+aporator 7 dengan suhu akhir 0 o . Suhu air pendinginnya berasal

bakpia Mengolah kulit bakpia Mencetak bakpia Memanggang Mengemas bakpia.. 35 Tahun 1991 Pasal 1 yang dimaksud dengan sungai adalah tempat-tempat dan wadah-wadah

Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang

"History is all that happaned in the past and what man has written about the past out of all that has happaned since the beginning of human history, What has been recorded

1) Mengambil koleksi yang akan dialihmediakan. 3) Menghubungkan tape recorder dengan komputer.. 4) Membuka program Magix Audio Cleaning Lab , adalah software yang telah

Her politics had approached the idea of charismatic leadership (the need to create a new order), but she didn’t create an emotional (charismatic) relationship with her followers,

Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui tingkat adopsi inovasi pada peternak kambing PE di Desa Sukaharja, Kecamatan Sariwangi, Kabupaten Tasikmalaya, (2) menganalisis

Walaupun total fenol menurun pada lama ekstraksi melebihi 20 menit, namun senyawa flavonoid semakin meningkat pada proses ekstrasi melebihi 20 menit sehingga aktivitas