• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN PENGADILAN TINGGI TATA USAHA NEGARA SURABAYA MENGENAI PENCABUTAN IZIN PEMAKAIAN TANAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS YURIDIS PUTUSAN PENGADILAN TINGGI TATA USAHA NEGARA SURABAYA MENGENAI PENCABUTAN IZIN PEMAKAIAN TANAH"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN PENGADILAN TINGGI TATA USAHA NEGARA

SURABAYA MENGENAI PENCABUTAN IZIN PEMAKAIAN TANAH

Reksa Ahmadi Kurniawan

(SI Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu Sosial Dan Hukum, Universitas Negeri Surabaya) reksakurniawan@mhs.unesa.ac.id

Tamsil

(S1 Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Univeritas Negeri Surabaya) tamsil@unesa.ac.id

Abstrak

Permasalahan yang hendak dijadikan kajian oleh penulis adalah sengketa antara Fong Akie Wiyono dengan Walikota Surabaya. Pembanding/Walikota Surabaya mengajukan banding di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya. Pada tanggal 20 Mei 2019. Mejelis Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya pada putusan nomor : 109/B/2019/PT.TUN/SBY yang isinya menyatakan mengabulkan permohonan banding Pembanding dan membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama. Pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan pembanding karena subjek sengketa yang harus didugat salah. Seharusnya subjek gugata yang digugat menurut majelis hakim adalah Dinas Pengelolaan Bangunan dan Tanah. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis (1) Apa dasar petimbangan hakim dalam putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya nomor : 109/B/2019/PT.TUN/SBY? (2) Apa akibat hukum putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya nomor : 109/B/2019/PT.TUN/SBY. bagi para pihak terkait?. Penelitian ini merupakan penelitian hukum yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan statue approach, case approach dan conceptual approach. Bahan hukum penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum yang telah diolah kemudian dianalisis dengan menggunakan metode preskriptif. Hasil penelitian ini adalah penilus kurang setuju dengan pertimbangan hukum majelis hakim pada amar putusan nomor : 140/G/2018/PTUN.SBY. Menurut penulis subjek gugatan yang diajukan Terbanding/Fong Akie Wiyono tidak salah karena menurut Pasal 14 angka (4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintah “Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang menerima Mandat harus menyebutkan atas nama Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memberikan Mandat”. Menurut analisis penulis subjek sengketa sudah tepat yaitu Walikota Surabaya karena kewenangan yang diberikan oleh walikota kepada dinas adalah kewenangan mandat bukan delegasi. Jadi yang bertanggung jawab pada sengketa ini adalah Walikota Surabaya bukan Dinas Pengelolaan Bangunan dan Tanah.

Kata Kunci: Perizinan, Izin Pemakaian Tanah, Kewenangan

Abstract

The problem that the author wants to study is the dispute between Fong Akie Wiyono and the Mayor of Surabaya. Surabaya Comparator / Mayor submits appeal at Surabaya State Administrative High Court. On May 20, 2019. The Panel of Judges of the Surabaya State Administrative Court in decision number: 109 / B / 2019 / PT.TUN / SBY, which stated that they granted the appeal appeal and canceled the first court decision. Judges' considerations in granting the petition for comparison because the subject of the dispute must be wrongly accused. The subject of the claim sued according to the panel of judges was the Building and Land Management Service. This study aims to analyze (1) What is the basis for the judges' consideration in the Surabaya State Administrative High Court's decision number: 109 / B / 2019 / PT.TUN / SBY? (2) What are the legal consequences of the Surabaya State Administrative High Court's decision number: 109 / B / 2019 / PT.TUN / SBY. for related parties ?. This research is a normative juridical research using the statue approach, case approach and conceptual approach. The legal material of this study consisted of primary and secondary legal materials. The legal material that has been processed is then analyzed using prescriptive methods. The results of this study are that the penilus disagrees with the legal considerations of the judges in the ruling number: 140 / G / 2018 / PTUN.SBY. According to the author, the subject of the lawsuit filed Comparable / Fong Akie Wiyono is not wrong because according to article 14 number (4) of Law Number 30 Year 2014 Regarding Government Administration Government that grants Mandate ". According to the author's analysis the subject

(2)

of the dispute is correct, that is the mayor of Surabaya because the authority granted by the mayor to the office is the authority of the mandate not the delegation. So the person responsible for this dispute is the Mayor of Surabaya, not the Building and Land Management Office.

Keywords: Licensing, Land Use Permit, Authority

PENDAHULUAN

Kota Surabaya merupakan salah satu kota yang memiliki keistimewaan dalam pengelolaan tanah. Diantara wilayah tersebut, terdapat lahan/kavling tanah bekas partikelir eks. Eigendom Verponding 1304 yang dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958 Tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir, berubah menjadi Tanah Negara (Cesaria, 2016:5). legalitas menyewakan tanah-tanah negara hasil konversi tanah hak Barat itu dimulai sebelum pemberlakuan UUPA 1960, kemudian diformalkan pada tahun 1971, ketika diberlakukan Surat Keputusan (SK) DPR-GR Daerah Kotamadya Surabaya No. 03E/DPRGR-KEP/1971 tertanggal 6 Mei 1971 tentang Sewa Tanah. Pada masa selanjutnya, ketika sudah banyak tanah hak Barat yang dikonversi menjadi status Hak Pakai (HP) dan Hak Pengelolaan (HPL), maka konsep/istilah sewa tanah di atas tanah negara itu menjadi kurang tepat, bahkan tidak bisa dibenarkan; karena yang berhak menyewakan tanah adalah pemilik tanah atau pemegang sertifikat Hak Milik (HM). Kemudian, untuk menyiasati hal itu, diterbitkan Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya No. 22 Tahun 1977 tentang Pemakaian dan Retribusi Tanah yang dikelola oleh Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya, sejak saat itu Izin Sewa Tanah berubah menjadi Surat Izin Pemakaian Tanah (IPT) (Surkaryanto, 2016:2).

Istilah Hak Pengelolaan secara eksplisit tidak terdapat dalam UUPA. Istilah Hak Pengelolaan ini walaupun tidak tercantum secara eksplisit dalam UUPA, namun di dalam penjelasan umum II angka 2 UUPA terdapat istilah”Pengelolaan” (bukan Hak Pengelolaan), yang selengkapnya berbunyi : “Kekuasaan Negara atas tanah yang tidak dipunyai dengan sesusatu hak oleh seseorang atau pihak lainnya adalah lebih luas dan penuh. Dengan berpedoman pada tujuan yang disebutkan di atas Negara dapat memberikan tanah yang demikian itu kepada seseorang atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya, misalnya Hak Milih, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atau memberikan dalam pengelolaan kepada sesuatu badan penguasa (Departemen, Jawatan atau Daerah Swarantra)

untuk dipergunakan bagi pelaksanaan tugasnya masing-masing (Pasal 2 ayat 4)”

Bertitik tolak pada penjelasan diatas, landasan hukum dari hak pengelolaan di dalam UUPA telah disinggung. Penjelasan umum II angka (2) menyatakan adanya kemungkinan bagi negara untuk memberikan tanah yang dikuasai Negara dalam pengelolaan suatu penguasa untuk dipergunakan bagi pelaksanaan tugas masing-masing. Untuk delegasi wewenang pelaksanaan hak menguasai negara itu, oleh peraturan yang ada disebutkan sebagai Hak Pengelolaan (Andria, 2017).

Menurut Peraturan Daerah Kota Surabaya (PERDA) Nomor 3 Tahun 2016 Izin Pemakaian Tanah (selanjutnya disingkat IPT) adalah izin yang diberikan Walikota atau Pejabat yang ditunjuk untuk memakai tanah dan bukan merupakan pemberian hak pakai atau hak-hak atas tanah lainnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960. Tanah yang dikuasai Pemerintah Kota Surabaya yang dipergunakan untuk kepentingan sendiri dan juga yang dipergunakan oleh pihak ketiga dalam bentuk Izin Pemakaian Tanah (IPT), atau Perjanjian Penggunaan Tanah antara Pemerintah Kota Surabaya dengan pihak ketiga (perseorangan atau badan hukum). Pemegang IPT memiliki kewajiban dan larangan yang harus ditaati. Kewajiban pemegang IPT diatur pada pasal 7 PERDA Kota Surabaya Nomor 3 Tahun 2016 yang berbunyi sabagai berikut :

Pemegang IPT mempunyai kewajiban yaitu :

a. membayar retribusi sesuai dengan ketentuan yang berlaku;

b. memakai tanah sesuai dengan peruntukan dan/atau penggunaan sebagaimana tersebut dalam IPT;

c. memperoleh persetujuan tertulis dari Kepala Dinas, apabila bangunan diatas tanah yang telah dikeluarkan IPT akan dijadikan agunan atas suatu pinjaman atau akan dialihkan kepada pihak lain. Sedangkan, untuk larangan bagi pemegang IPT diatur pada pasal 8 PERDA Kota Surabaya Nomor 3 Tahun 2016 yang berbunyi sebagai berikut :

1) Pemegang IPT dilarang:

a. mengalihkan IPT kepada pihak lain tanpa persetujuan tertulis dari Kepala Dinas;

(3)

b. menelantarkan tanah hingga 3 (tiga) tahun sejak

dikeluarkannya IPT;

c. menyerahkan penguasaan tanah yang telah diterbitkan IPT kepada pihak lain dengan atau tanpa perjanjian.

2) Penelantaran tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berlaku terhadap IPT dengan kondisi persil :

a. telah diterbitkan Izin Mendirikan Bangunan; atau b. belum diajukan permohonan untuk diterbitkan

Izin Mendirikan Bangunan.

Pada kasus ini penggugat yang bernama Fong Akie Wiyono mengajukan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya pada tanggal 30 Agustus 2018 untuk menggugat Walikota Surabaya. Penggugat merasa keberatan atas pencabutan Izin Pemakaian Tanah miliknya yang dicabut oleh tergugat pada tanggal 4 juni 2018. Penggugat merupakan pemegang sah Surat Izin Pemakaian Tanah Nomor : 188.45/0552B/436.7.11/2017 Tanggal 13 April 2017 dengan Obyek Tanah di Jalan Simohilir XII / 4 Surabaya atas nama FONG, AKIE WIYONO dengan masa berlaku izin tanggal 17 januari 2017 s.d 17 januari 2022 (5 tahun).

Penggugat beranggapan bahwa dia tidak menelantarkan tanah seperti yang disebutkan pada surat pencabutan IPT yang dibuat oleh tergugat. Penggugat tidak melakukan pembangunan dikarenakan tidak adanya akses jalan yang bisa dilalui kendaraan untuk mengangkut material yang digunakan untuk membangun. karena penerbitan Surat Izin Pemakaian Tanah sebagai dasar hukum menerapkan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2016 yang dilengkapi dengan Gambar Situasi yang dasarnya adalah Masterplan Rencana Tata Kota Pemerintah Kota Surabaya sendiri. Dalam peta Perencanaan Tata Kota telah tergambar peruntukan tanah untuk perumahan, untuk jalan umum, untuk saluran air dan fasilitas umum lainnya. Namun, pada kenyataannya Pemerintah Kota Surabaya belum membangun jalan sehingga penggugat tidak dapat melakukan pembangunan. Penggugat juga telah memperoleh Izin Mendirikan Bangunan Nomor : 188.4 / 73294 / 436.7.5 / 2018 tanggal 9 Februari 2018.

Pada putusan nomor : 140/G/2018/PTUN.SBY tergugat berpendapat bahwa alasan pencabutan IPT yang pertama adalah karena penggugat dianggap menelantarkan tanah. Pada saat penerbitan IPT penggugat telah bersedia untuk mendirikan bangunan (rumah) yang harus dilaksanakan 6 bulan setelah terbitnya IPT, namun pada kenyataannya setelah lewat jangka waktu yang ditetapkan bulum ada aktifitas pembangunan di lokasi IPT. Pada jangka waktu 6 bulan tersebut penggugat juga diwajibkan mengurus Izin Mendirikan Bangunan (IMB), namun penggugat tidak mengurusnya. Penggugat baru mengurus IMB pada tanggal 9 Februari 2018 dimana telah lewat jangka waktu yang ditetapkan yaitu 6 bulan dihitung sejak

tanggal 17 Februari 2017. Alasan yang kedua yaitu pemerintah kota berencana membangun fasilitas umum yang berupa tempat penampungan air di lokasi objek sengketa. Pada pasal 12 ayat 2 Perda kota surabaya nomor 3 tahun 2016 menjelaskan “IPT dapat dicabut dengan pemberian ganti kerugian atas bangunan apabila tanah yang bersangkutan dibutuhkan untuk kepentingan umum”. Dapat diartikan apabila pemerintah kota ingin membangun fasilitas umum di lokasi pemegang IPT, maka pemegang IPT harus bersedia menyerahkan kembali tanah yang mereka gunakan.

Pada kasus sengketa ini hakim Pengadilan Tata Usaha Surabaya pada putusan nomor : 140/G/2018/PTUN.SBY. mengabulkan seluruhnya gugatan penggugat Fong Akie Wiyono dan menyatakan batal surat pencabutan Izin Pemakaian Tanah. Padahal tujuan Pemerintah Kota Surabaya mencabut IPT tersebut adalah untuk kepentingan umum. Setelah Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya mengeluarkan putusan tersebut pada tanggal 17 Januari 2019, pihak penggugat mengajukan permohonan banding di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya pada tanggal 23 Januari 2019. Pembanding/tergugat dalam memori bandingnya memohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya untuk menerima permohonan banding pembanding dan membatalkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya nomor : 140/G/2018/PTUN.SBY, tanggal 17 Januari 2019.

Pada tanggal 20 Mei 2019 Mejelis Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya pada putusan nomor : 109/B/2019/PT.TUN/SBY., yang isinya menyatakan mengabulkan permohonan banding pembanding/tergugat dan membatalkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya nomor : 140/G/2018/PTUN.SBY, tanggal 17 Januari 2019 yang dimohonkan banding. Pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan pembanding karena pihak terbanding/penggugat terjadi kekeliruan dalam penentuan subjek sengketa yang harus didugat. Terbanding/penggugat pada gugatannya menetapkan subjek gugatan yaitu Walikota Surabaya. Pada putusan tingkat pertama pihak tergugat juga tidak mempermasalahkan subjek gugatan yang di gugat oleh penggugat. Hal ini yang selanjutnya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pertimbangan hakim

(4)

dalam memutus apakah sudah tepat dan juga apakah

pencabutan IPT sudah sesuai dengan aturan yang berlaku. Berdasarkan pemaparan yang telah dijelaskan diatas penulis mengangkat judul yaitu “ANALISIS YURIDIS PUTUSAN PENGADILAN TINGGI TATA USAHA

NEGARA SURABAYA NOMOR

:109/B/2019/PT.TUN/SBY.MENGENAI PENCABUTAN IZIN PEMAKAIAN TANAH”.

METODE

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu penelitian hukum (legal research), merupakan suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi (Marzuki, 2010:35). Penelitian hukum adalah penelitian berbasis kepustakaan yang fokusnya adalah analisis bahan

hukum primer dan sekunder. Penelitian yang akan dilakukan ialah menganalisis kekaburan norma (obscuur norm) pada penerapan pasal 8 ayat (1) huruf b Perda Kota Surabaya Nomor 3 Tahun 2016 tentang Izin Pemakaian Tanah dimana terdapat perbedaan interpretasi antara para pihak yang bersengketa yaitu penggugat Fong Akie Wiyono dengan tergugat Walikota Surabaya.

Tergugat menganggap bahwa penggugat telah menelantarkan tanah karena tidak segera mendirikan bangunan di tanah objek sengketa. Penggugat menganggap tidak menelantarkan tanah karena baru menerima IPT dalam jangka waktu satu tahun sedangkan pada pasal 8 ayat (1) huruf b Perda Kota Surabaya menjelaskan bahwa dilarang menelantarkan tanah hingga 3 tahun sejak dikeluarkannya IPT.

Penelitian ini menggunakan Pendekatan undangan (statute approach). Pendekatan perundang-undangan, hal ini dimaksudkan bahwa penulis menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai dasar awal melakukan analisis. Penulis akan melakukan dengan menelaah undang-undang yang berhubungan dengan Izin Pemakaian Tanah (IPT) yaitu Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 3 Tahun 2016 Tentang Izin Pemakaian Tanah. Pendekatan kasus (case approach) dilakukan dengan cara telaah kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Pada permasalahan ini yang menjadi kajian pokok di dalam pendekatan kasus ini adalah ratio decidendi atau reasoning yaitu pertimbangan hakim pada putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya nomor: 140/G/2018/PTUN.SBY mengenai sengketa pencabutan IPT. Pendekatan konseptual (conceptial approach), pendekatan konsep ini berawal pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Penulis akan mempelajari dan akan menemukan gagasan-gagasan yang akan melahirkan pengertian hukum, konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum yang relevan dengan permasalahan yang diteliti. Penggunaan pendekatan konseptual diharapkan penulis dapat menggunakan pendapat para ahli mengenai hukum perijinan. Pada penelitian ini peneliti hendak menggunakan konsep

hukum perijinan yang berfokus pada keputusan tata usaha negara (KTUN) (Marzuki, 2010:94).

Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan pertama dengan studi pustaka terhadap bahan hukum, penulis akan mengumpulkan perundang-undangan (bahan hukum primer) kemudian dikaitkan dengan bahan hukum sekunder. Bahan hukum yang telah dikumpulkan berdasarkan isu yang akan dibahas, kemudian diklasifikasikan tata urutan dan menurut sumber yang digunakan sabagai pisau analisis dalam menjawab rumusan masalah penelitian ini.

Dalam penelitian ini digunakan metode analisis bahan hukum yang bersifat preskriptif yang artinya ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, konsep serta nilai-nilai keadilan dalam suatu norma hokum (Marzuki, 2010:22). Melalui penggunaan metode ini diharapkan terdapat suatu argumentasi dan konsep yang mengandung nilai dan dapat dijadikan suatu pertimbangan dalam menyelesaikan permasalahan yang berhubungan dengan penelitian ini

PEMBAHASAN

1. PERTIMBANGAN HAKIM PADA PUTUSAN NOMOR : 109/B/2019/PT.TUN.SBY. MENGENAI PENCABUTAN IZIN PEMAKAIAN TANAH Dasar Pertimbangan Hakim merupakan dasar hakim dalam menjatuhkan putusan pengadilan perlu didasarkan kepada teori dan hasil penelitian yang saling berkaitan sehingga didapatkan hasil penelitian yang maksimal dan seimbang dalam tataran teori dan praktek. Salah satu usaha untuk mencapai kepastian hukum kehakiman, di mana hakim merupakan aparat penegak hukum melalui putusannya dapat menjadi tolak ukur tercapainya suatu kepastian hukum. Hakim dalam memberikan putusan tidak hanya berdasarkan pada nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, hal ini dijelaskan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu: “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”.

Dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara yaitu (Tamsil, 2019) :

(5)

b. Yurisprudensi

c. Hukum kebiasaan d. Doktrin para sarjana

Pertimbangan hakim pada kasus ini yang pertama terdapat pada pengadilan tingkat pertama yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara surabaya. Pada putusan nomor : 140/G/2018/PTUN.SBY. pertimbangan Majelis Hakim pada amar putusannya yaitu sebagai berikut :

1.1. Pertimbangan Hakim mengenai gugatan Penggugat telah lewat waktu (kadaluarsa)

Sebelum mempertimbangkan mengenai pokok sengketa dari para pihak, maka Majelis Hakim terlebih dahulu akan mempertimbangkan mengenai eksepsi yang diajukan oleh Tergugat

Mengenai eksepsi ke-1 tentang gugatan Penggugat telah lewat waktu, Majelis Hakim memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut :

Menimbang, bahwa Pasal 55 Undang-Undang Peratun berbunyi: “Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara”. Bahwa antara objek sengketa dengan Surat

Izin Pemakaian Tanah Nomor

188.45/0552B/436.7.11/2017 tanggal 13 April 2017 adalah 2 (dua) keputusan yang berbeda substansi hukumnya. Meskipun Penggugat telah memperoleh informasi dari Tergugat diawali melalui surat peringatan I pada tanggal 28 Pebruari 2018 terkait akan dicabutnya Surat Izin Pemakaian Tanah Nomor 188.45/0552B/436.7.11/2017 tanggal 13 April 2017 tersebut, namun sebelum suatu keputusan secara resmi diterbitkan menurut hukum, tidak dapat serta merta subjek hukum yang dituju dianggap/diasumsikan telah mengetahui sejak kapan keputusan itu terbit dan diberlakukan.

Bahwa keputusan objek sengketa a quo baru diterbitkan Tergugat pada tanggal 4 Juni 2018 dan diterima Penggugat pada tanggal 6 Juni 2018, sedangkan gugatan didaftarkan pada tanggal 30 Agustus 2018 di Kepaniteraan PTUN Surabaya. Menurut Majelis Hakim gugatan Penggugat terbukti diajukan masih dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari menurut Pasal 55 tersebut. Dengan demikian, pengadilan berkesimpulan eksepsi ke-1 Tergugat tentang tenggang waktu gugatan Penggugat telah lewat waktu/daluwarsa tidak berdasar menurut hukum dan tidak diterima.

Menurut Wicipto Setiadi tenggang waktu mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 UU PTUN tersebut dihitung secara variasi yakni sebagai berikut (Setiadi, 1994:108):

1) Sejak hari diterimanya Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang digugat itu memuat nama penggugat.

2) Setelah lewatnya tenggang waktu yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang memberikan kesempatan kepada administrasi negara untuk memberikan keputusan namun yang bersangkutan tidak berbuat apa-apa.

3) Setelah lewat 4 (empat) bulan, apabila peraturan perundang-undangan tidak memberikan kesempatan kepada administrasi negara untuk memberikan keputusan dan ternyata yang bersangkutan tidak berbuat apa-apa.

4) Sejak hari pengumuman apabila Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) itu harus diumumkan. Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No 2 tahun 1992 yang menyebutkan sebagai berikut:

a. Perhitungan tenggang waktu sebagaimana dimaksud Pasal 55 terhenti/ditunda (geschorst) pada waktu gugatan didaftarkan ke Kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang berwenang.

b. Sehubungan dengan Pasal 62 ayat (6) dan Pasal 63 ayat (4) maka gugatan baru hanya dapat diajukan dalam sisa waktu sebagaimana dimaksud pada butir 1.

c. Bagi mereka yang tidak dituju oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN), tetapi yang merasa kepentingannya dirugikan maka tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dihitung secara kasuitis sejak saat ia merasa kepentingannya dirugikan oleh Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) dan mengetahui adanya keputusan tersebut.

Menurut Zairin Harahap (Harahap, 2001:96): “terhadap Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) biasa/positif, apabila melampaui tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari berakibat gugatan menjadi daluwarsa. Terhadap Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) negatif/fiktif, apabila belum dalam tenggang waktu mengajukan gugatan berakibat gugatan menjadi prematur.”

Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Keputusan Tata Usaha Negara Positif yaitu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, bersifat konkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau Badan Hukum Perdata.

(6)

Sedangkan, Keputusan Tata Usaha Negara Fiktif Yaitu

Keputusan Tata Usaha Negara yang seharusnya dikeluarkan oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara menurut kewajibannya tetapi ternyata tidak diterbitkan, sehingga menimbulkan kerugian bagi seseorang atau Badan Hukum Perdata.

Berdasarkan pengertian tersebut Keputusan Walikota Surabaya Nomor : 188.45/3530/436.7.11/2018 Tanggal 04 Juni 2018 Tentang Pencabutan Surat Izin Pemakaian Tanah Nomor 188.45/0552B/436.7.11/2017 tanggal 13 April 2017 dengan obyek tanah di Jalan Simohilir XII / 4 Surabaya atas nama Fong, Akie Wiyono merupakan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) biasa/positif.

Pada keterangannya Penggugat menjelaskan bahwa menerima Keputusan Objek Sengketa pada tanggal 6 Juni 2018 sedangkan, keputusan tentang pencabutan IPT atas nama Fong Akie Wiyono diterbitkan pada tanggal 4 Juni 2018. Apabila dihitung dari diterimanya keputusan objek sengketa dan pada saat gugatan diajukan pada tanggal 30 Agustus 2018 maka jarak waktunya hanya 75 hari dari diterimanya keputusan objek sengketa. Jangka waktu yang dihitung adalah dari diterimanya Surat Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara tentang pencabutan IPT dan bukan dihitung dari surat peringatan yang sebelumnya telah

diterbitkan. Oleh karena itu, eksepsi Tergugat yang menyatakan gugatan penggugat kadaluarsa menurut saya tidak tepat.

1.2. Pertimbangan Hakim mengenai kepentingan hukum penggugat (legal standing)

Mengenai eksepsi ke-2 Tergugat tentang Penggugat tidak mempunyai kepentingan hukum (legal standing), dengan pertimbangan hukum sebagai berikut :

Berdasarkan ketentuan Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Peraturann mengatur bahwa “Seorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan akibat terbitnya suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan atau rehabilitasi”. Dalam posita gugatannya, Penggugat mendalilkan merupakan pemegang Surat Izin Pemakaian Tanah Jangka Menengah Nomor 188.45/0552B/436.7.11/2017 tanggal 13 April 2017 dengan obyek tanah di Jalan Simohilir XII / 4 Surabaya atas nama Fong, Akie Wiyono, Peruntukan lahan untuk perumahan dengan luas : 300 m2, masa berlakunya izin : 17 Januari 2017 s/d 17 Januari 2022 (5 tahun), dan kemudian dicabut Tergugat dengan terbitnya objek sengketa a quo.

Majelis Hakim berkesimpulan bahwa Penggugat jelas-jelas mempunyai kepentingan untuk mengajukan gugatan a quo karena terdapat nilai yang harus dilindungi oleh hukum karena terbukti ada hubungan hukum secara langsung antara Penggugat dengan keputusan objek sengketa a quo yang diterbitkan Tergugat (nama Penggugat dituju langsung dan tercantum dalam keputusan objek sengketa ini, sehingga terbitnya keputusan Tergugat berakibat hukum langsung terhadap diri Penggugat).

Akibat Tergugat menerbitkan obyek sengketa a quo telah menimbulkan suatu keadaan hukum (rechtssituatie) yang baru yaitu Penggugat kehilangan hak pemakaian

tanah atas izin tersebut sedangkan berdasar bukti menjelaskan izin atas nama Penggugat masa berlakunya belum habis/selesai. Hal ini menurut Majelis Hakim bermakna baru, yaitu timbulnya kepentingan pihak Penggugat yang dirugikan untuk menggugat objek sengketa yang dikeluarkan oleh pihak Tergugat, sehingga dengan demikian aspek formal harus adanya kepentingan Penggugat untuk mengajukan gugatan dalam perkara ini terbukti telah terpenuhi. Oleh karena itu, eksepsi ke-2 Tergugat tidak beralasan hukum dan dinyatakan tidak diterima.

Tergugat menganggap bahwa Penggugat tidak memiliki kepentingan hukum karena gugatan yang diajukan telah kadaluarsa padahal sebelumnya telah saya jelaskan bahwa gugatan Penggugat belum melewati jangka waktu 90 hari sejak diterimanya keputusan objek sengketa. Penggugat tidak dapat dikatan tidak memiliki kepentingan karena jelas-jelas Penggugat merupakan pemegang Surat IPT nomor : 188.45/0552B/436.7.11/2017 dengan masa berlakunya izin : 17 Januari 2017 s/d 17 Januari 2022 yang kepentingannya dirugikan atas dikeluarnya keputusan objek sengketa.

1.3. Pertimbangan Hakim mengenai gugatan Penggugat kabur dan tidak jelas (obscuur libel)

Mengenai eksepsi ke-3 Tergugat tentang gugatan Penggugat kabur dan tidak jelas (obscuur libel), dengan pertimbangan hukum sebagai berikut :

Majelis Hakim berpendapat bahwa oleh karena yang menjadi objek sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara adalah surat Keputusan Tata Usaha Negara/keputusan, maka penilaian atas jelas tidaknya suatu gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara adalah menyangkut ada tidaknya subyek hukum yang bersengketa (identitas dari Penggugat dan Tergugat), objek sengketa (surat Keputusan Tata Usaha Negara/keputusan yang digugat), dasar/alasan Penggugat mengajukan gugatan (posita gugatan), dan hal apa saja yang dimohonkan Penggugat untuk diputuskan oleh Pengadilan (Petitum gugatan). Setelah mencemati

(7)

gugatan Penggugat yang nota bene telah melalui tahap

acara Pemeriksaan Persiapan, Pengadilan menilai gugatan Penggugat telah memuat semua unsur dari sebuah gugatan tata usaha negara tersebut sehingga menurut Pengadilan gugatan Penggugat tidaklah kabur. Adapun mengenai argumen Tergugat yang menyatakan gugatan Penggugat tidak jelas karena tidak merinci dan menguraikan tindakan Tergugat yang dianggap bertentangan dengan peraturan yang berlaku adalah argumen yang tidak relevan sehingga patut dikesampingkan. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut maka Majelis Hakim berpendapat eksepsi ke-3 Tergugat tentang Gugatan Kabur dan tidak jelas (Obscuur libel) adalah tidak beralasan hukum dan tidak diterima.

Obscuur libel adalah surat gugatan tidak terang isinya atau isinya gelap (onduidlijk). Bisa disebut juga dengan

formulasi gugatan tidak jelas, padahal agar gugatan itu dianggap sudah memenuhi syarat formil, maka dalil gugatan harus terang dan jelas atau tegas (duidelijk). Obscuur libel juga dapat diartikan dengan gugatan yang berisi penyataan-pernyataan yang bertentangan satu sama lain (Handoyo, 2000:228). Penyataan-pernyataan yang bertentangan tersebut mengakibatkan gugatan tidak jelas dan mengakibatkan gugatan menjadi kabur. Ketentuan Pasal 118 ayat (1), Pasal 120 dan Pasal 121 HIR tidak dapat penegasan merumuskan gugatan secara jelas dan terang. Namun praktik peradilan berpedoman pasal 8 Rv sebagai rujukan berdasarkan asas process doelmatigheid (demi kepentingan beracara). Menurut pasal 8Rv, pokok-pokok gugatan disertai kesimpulan yang jelas dan tertentu (een duidelijk en bapaalde conclusive). Berdasarkan ketentuan itu, praktik peradilan mengembangkan penerapan

eksepsi gugatan kabur (obscuur libel) atau eksepsi gugatan tidak jelas. Gugatan kabur ini dikarenakan oleh : (Harahap, 1994:18)

1. Posita (fundamentum petendi) tidak menjelaskan dasar hukum dan kejadian yang mendasari gugatan. 2. Tidak jelas objek yang disengketakan.

3. Penggabungan dua atau beberapa gugatan yang masing-masing berdiri sendiri.

4. Terdapat saling bertentangan antara posita dengan petitum.

5. Petitum tidak terinci, tetapi hanya berupa ex aequo et bono

Berdasarkan analisis yang penulis lakukan gugatan yang diajukan oleh Penggugat tidak memenuhi kriteria diatas, artinya gugatan penggugat tidak kabur. Penggugat pada gugatannya telah menjelaskan mengenai kepentingan yang dirugikan berdasarkan dasar hukum yang tepat dan objek sengketa yang disengketakan juga jelas karena terdapat nama Penggugat di dalam objek sengketa. Oleh karena itu eksepsi Tergugat tentang objek gugatan yang kabur adalah tidak tepat.

1.4. Pertimbangan Hakim mengenai Pokok Perkara Setelah mempertimbangkan mengenai eksepsi Tergugat, maka selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan mengenai pokok sengketanya sebagai berikut :

1.4.1. Terkait mengenai pemberian dan pencabutan izin pemakaian tanah di wilayah hukum Kota Surabaya, berdasarkan ketentuan Peraturan Daerah (PERDA) Kota Surabaya No. 3 Tahun 2016 Tentang Izin Pemakaian Tanah diatur dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 18, hal mana terkait aspek kewenangan diatur dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) berbunyi :

(1). Setiap orang Warga Negara Indonesia atau badan yang akan memakai tanah harus terlebih dahulu memperoleh IPT dari Walikota;

(2). Kewenangan Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilimpahkan kepada Kepala Dinas;

Menimbang, bahwa Pasal 5 ayat (4) huruf (k) Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 14 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah Kota Surabaya menyatakan Dinas Pengelolaan Bangunan dan Tanah menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang Pertanahan. Dengan demikian yang dimaksud dilimpahkan kepada Kepala Dinas dalam bunyi Pasal 4 ayat (2) Peraturan Daerah (PERDA) Kota Surabaya No. 3 Tahun 2016 Tentang Izin Pemakaian Tanah adalah kewenangan Walikota Surabaya dilimpahkan kepada Kepala Dinas Pengelolaan Bangunan dan Tanah yang mempunyai tugas pokok dan fungsi menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang Pertanahan di Kota Surabaya, sehingga disimpulkan bahwa wewenang yang diperoleh Kepala Dinas Pengelolaan Bangunan dan Tanah Kota Surabaya merupakan bentuk kewenangan mandat dari Walikota Surabaya, hal mana terhadap bentuk kewenangan yang demikian tanggung jawab kewenangan tetap pada pemberi mandat.

1.4.2. Bahwa IPT atas nama Penggugat terbit tanggal 13 April 2017 dan belum pernah dilakukan permohonan perpanjangan IPT di lokasi obyek tanah tersebut untuk jangka waktu periode izin lebih dari satu kali; sedangkan IMB atas obyek IPT atas nama Penggugat terbit tanggal 9 Februari 2018, selanjutnya setelah terbit IMB terbukti Penggugat telah melakukan aktifitas pembangunan fisik bangunan diatas lokasi tanah obyek IPT sebagaimana bukti dan hasil Pemeriksaan Setempat Majelis Hakim, dengan demikan tenggang waktu hingga 3 (tiga) tahun sejak keluarnya IPT untuk dapat dikategorikan menelantarkan obyek tanah a quo tidak terbukti.

(8)

1.4.3. Bahwa dari hasil Pemeriksaan Setempat oleh

Majelis Hakim, obyek tanah IPT atas nama Penggugat tetap dikuasai, dijaga dan dimanfaatkan oleh Penggugat dan bukan beralih menjadi dimanfaatkan oleh pihak lain, sehingga dengan merujuk dan mempedomani kembali PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH (PERDA) KOTA SURABAYA No. 3 Tahun 2016 TENTANG IZIN PEMAKAIAN TANAH Pasal 8 Huruf (b) diatas, Majelis Hakim menilai Penggugat juga tidak memenuhi unsur untuk dapat dikategorikan menelantarkan obyek tanah IPT seperti yang dimaksud oleh Tergugat.

1.4.4. Bahwa salah satu alasan lain Tergugat mencabut IPT atas nama Penggugat dengan menerbitkan objek sengketa a quo adalah karena obyek tanah akan digunakan untuk kepentingan umum sebagai penampungan air/bozem, namun faktanya sebelum objek sengketa a quo terbit bozem sudah dibuat sehingga Majelis Hakim menilai

bahwa alasan Tergugat tidak dapat dibenarkan secara hukum.

1.4.5. Menimbang, bahwa berdasar fakta-fakta tersebut, Majelis Hakim berkesimpulan terbukti dalam proses terbitnya objek sengketa a quo, terdapat prosedur yang dilanggar sehingga mengakibatkan dari aspek substansi penerbitan objek sengketa a quo bertentangan dengan Pasal 8 ayat (1) huruf (b) dan ayat (2) Peraturan Daerah (PERDA) Kota Surabaya No. 3 Tahun 2016 Tentang Izin Pemakaian Tanah, sehingga sesuai ketentuan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Administrasi Pemerintahan (UU AP) Jo. Pasal 71 UU AP, keputusan objek sengketa a quo dikualifisir terdapat cacat prosedur dan atau substansi; Menimbang, bahwa Pasal 66 ayat (1) UU AP berbunyi :

(1) Keputusan hanya dapat dibatalkan apabila terdapat cacat :

a. wewenang; b. prosedur; dan/atau;

c. substansi.

Menimbang, bahwa Pasal 71 UU AP berbunyi : (1) Keputusan dan/atau Tindakan dapat dibatalkan apabila :

a. terdapat kesalahan prosedur; atau b. terdapat kesalahan substansi;

(2) Akibat hukum Keputusan dan/atau Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) :

a. tidak mengikat sejak saat dibatalkan atau tetap sah sampai adanya pembatalan; dan

b. berakhir setelah ada pembatalan.

Menimbang, bahwa atas dasar alasan-alasan hukum di atas, maka tindakan hukum Tergugat dalam penerbitan objek sengketa a quo memiliki cacat prosedur dan atau substansi, sehingga Majelis Hakim berkesimpulan bahwa objek sengketa a quo harus dibatalkan karena terbukti cacat prosedur dan atau substansi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasarnya, sehingga akibat hukum keputusan dan atau tindakan Tergugat sebagaimana objek sengketa a quo tidak mengikat dan berakhir, oleh karenanya menurut Majelis Hakim petitum ke-2 gugatan Penggugat terbukti dan harus dikabulkan. Berdasarkan pertimbangan tersebut akhirnya Majelis Hakim memutuskan untuk mengabulkan permohonan penundaan pelaksanaan objek sengketa yang dimohonkan Penggugat yaitu : Keputusan Walikota Surabaya Nomor : 188.45/3530/436.7.11/2018 Tanggal 04 Juni 2018 Tentang Pencabutan Surat Izin Pemakaian Tanah Nomor 188.45/0552B/436.7.11/2017 tanggal 13 April 2017 dengan obyek tanah di Jalan Simohilir XII / 4 Surabaya atas nama Fong, Akie Wiyono.

Apabila dikaitkan dengan konsep perizinan sengketa yang terjadi antara Fong Akie Wiyono dan Walikota Surabaya merupakan contoh dari izin yang bersifat terikat. Izin bersifat terikat adalah izin sebagai keputusan tata usaha negara yang penerbitannya terikat pada aturan dan hukum tertulis serta organ yang berwenang dalam izin memiliki kadar kebebasan yang besar dalam memutuskan pemberian izin. Pada kasus ini pemohon izin yaitu Fong Akie Wiyono dan pemberi izin yaitu Walikota Surabaya. Izin yang dikeluarkan berupa Izin Pemakaian Tanah (IPT). Surat Izin Pemakaian Tanah Nomor 188.45/0552B/436.7.11/2017 tanggal 13 April 2017 dengan obyek tanah di Jalan Simohilir XII / 4 Surabaya atas nama Fong Akie Wiyono kemudian menjadi objek sengketa karena Walikota Surabaya mengaggap tanah tersebut ditelantarkan. Apabila merujuk pada pertimbangan hakim nomor 2, hakim beranggapan bahwa penggugat tidak memenuhi unsur menelantarkan tanah karena penggugat telah melakukan aktifitas pembangunan dan telah memperoleh IMB pada tanggal 9 Februari 2018. Selanjutnya penulis menambahkan pertimbangan hakim tersebut, pada pasal 8 PERDA Kota Surabaya nomor 3 tahun 2016 tentang IPT menjelaskan bahwa:

(1) Pemegang IPT dilarang :

a. mengalihkan IPT kepada pihak lain tanpa persetujuan tertulis dari Kepala Dinas;

b. menelantarkan tanah hingga 3 (tiga) tahun sejak dikeluarkannya IPT;

c. menyerahkan penguasaan tanah yang telah diterbitkan IPT kepada pihak lain dengan atau tanpa perjanjian.

(9)

(2) Penelantaran tanah sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) huruf b berlaku terhadap IPT dengan kondisi persil:

a. telah diterbitkan Izin Mendirikan Bangunan; atau b. belum diajukan permohonan untuk diterbitkan

Izin Mendirikan Bangunan.

Terjadi kekaburan norma atau perbedaan penafsiran antara Penggugat dan Tergugat pada pasal 8 ayat (1) huruf b yang berbunyi “menelantarkan tanah hingga 3 (tiga) tahun sejak dikeluarkannya IPT”. Tergugat menganggap bahwa Penggugat menelantarkan tanah sedangkan Penggugat menganggap tidak menelantarkan tanah karena belum melewati jangka waktu 3 tahun sejak IPT diterbitkan. Dalam hal ini frasa “menelantarkan” yang mengkibatkan terjadinya perbedaan penafsiran antara Penggugat dan Tergugat. Melihat hal tersebut penulis merujuk pada bab penjelasan yang ada pada PERDA Kota Surabaya yang penjelasan mengenai pasal 8 ayat (1) huruf b sebagai berikut :

Yang dimaksud dengan menelantarkan tanah yaitu : a. Pemegang IPT belum mendirikan bangunan yang

sesuai dengan peruntukan/penggunaan yang tercantum

dalam IPT, kecuali pemegang IPT belum memanfaatkan tanah karena dalam proses pengajuan penerbitan Izin Mendirikan Bangunan, yang permohonan pengajuannya telah disampaikan kepada UPTSA paling lambat 6 (enam) bulan sebelum jangka waktu IPT berakhir;

b. tidak menjaga/melakukan pengamanan tanah obyek IPT, sehingga tanah tersebut dimanfaatkan oleh pihak lain.

Setelah melihat penjelasan pasal 8 ayat (1) hurud b lalu apabila dikaitkan dengan pertimbangan hakim dan fakta di persidangan dapat dilihat bahwa Penggugat tidak menelantarkan. Pada saat melakukan peninjauan lokasi oleh majelis hakim, objek sengketa telah dilakukan proses pembangunan seperti peruntukannya pada IPT yaitu digunakan sebagai perumahan. Penggugat juga menjaga tanah dan tanah objek sengketa juga tidak dimanfaatkan oleh pihak lain. Penggugat tidak melakukan pembangunan setelah IPT diterbitkan dikarenakan akses yang tidak bisa dilewati untuk memasukkan bahan meterial bangunan.

Selanjutnya, menambahkan pertimbangan hakim nomor 4 yang berbicara mengenai alasan Tergugat melakukan pecabutan IPT karena tanah objek sengketa akan dibangun fasilitas umum yaitu penampungan air atau bozem. Pada saat pengajuan IPT setiap orang harus melihat dulu rencana tata ruang wilayah Surabaya apakah tanah yang akan dikeluarkan IPT adalah tanah yang sesuai dengan peruntukannya.

Rencana tata ruang wilayah surabaya diatur di dalam Perda Kota Surabaya Nomor 12 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Surabaya. Pengertian Rencana Tata Ruang diatur dalam pasal 1 yaitu “Rencana Tata Ruang Wilayah yang selanjutnya disebut RTRW adalah hasil perencanaan tata ruang pada wilayah yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif”. Pada Perda nomor 12 tahun 2014 tersebut diatur tentang rencana pembangunan kota Surabaya dan pembagian setiap kawasan tertentu yang akan dibangun untuk kepentingan dan fungsi yang berbeda-beda.

Sedangakan, bila dikaitkan dengan permasalahan ini dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Kota Surabaya tidak konsisten dalam menerbitkan IPT yang tidak sesuai dengan RTRW Kota Surabaya. Apabila RTRW objek sengketa akan dibangun fasilitas umum berupa penampungan air atau bosem seharusnya tidak perlu diterbitkan IPT. Oleh karena itu penulis menganggap bahwa Pemerintah Kota

Surabaya telah melanggar AUPB yaitu asas kecermatan dalam mengelurkan Keputusan Tata Usaha Negara. Sesuai dengan pasal 1 angka 12 Undang-Undang 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yaitu “asas-asas umum pemerintahan yang baik selanjutnya disingkat AUPB adalah prinsip yang digunakan sebagai acuan penggunaan wewenang bagi pejabat pemerintahan dalam mengeluarkan keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan”. Setiap badan/pejabat tata usaha negara wajib mematuhi AUPB, dalam kasus ini walikota Surabaya selaku badan yang berwenang untuk mengeluarkan IPT kurang cermat dalam mengeluarkan keputusan sehingga menimbulkan kerugian bagi Fong Akie Wiyono.

Selanjutnya yaitu pertimbangan hakim pada Pengadilan tingkat ke 2 di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dengan Putusan Nomor : 109/B/2019/ PT.TUN.SBY. sebagai berikut :

1. Menimbang, bahwa jika dilihat bagian kop surat, nomenklatur surat keputusan, dan bagian penutup objek sengketa dengan kode P-4=T-8 terdapat contradictio interminis di dalamnya, keadaan tersebut melahirkan isu hukum siapakah yang bertanggung gugat atau yang didudukkan sebagai tergugat jika surat bukti dengan kode P-4=T-8 digugat di Pengadilan Administrasi Negara. 2. Menimbang, berdasarkan Peraturan Daerah Kota

Surabaya Nomor 3 Tahun 2016 Tentang Izin Pemakaian Tanah, khususnya yang berkaitan dengan

(10)

pemberian izin pemakaian tanah menentukan

sebagai berikut : KEWENANGAN Pasal 4

(1) Setiap orang Warga Negara Indonesia atau badan yang akan memakai tanh harus terlebih dahulu memperoleh IPT dari Walikota.

(2) Kewenangan Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilimpahkan kepada kepala dinas. 3. Menimbang. Bahwa dengan mengacu kepada pasal

1 angka 12 Undan-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1986 tentang Peradilan Administrasi Negara, kata dilimpahkan adalah bermakna delegasi, bukan mandat.

4. Menimbang, bahwa di dalam PERDA Kota Suarabaya nomor 3 tahun 2016 tentang Izin Pemakaian Tanah tidak mengatur secara expressis verbus wewenang pencabutan IPT, dalam hal demikian maka berlaku asa “a contrarius actus”, dan perjabat tata usaha negara yang berwenang menerbitkan keputusan, maka berwenang pula untuk mencabutnya.

5. Menimbang, bahwa oleh karena Kepala Dinas Bangunan Dan Tanah Kota Surabaya berdasarkan

ketentuan pasal 4 ayat (2) PERDA Kota Surabaya Nomor 3 tahun 2016 tentang IPT menerima pelimpahan wewenang (delegasi) dalam pemberian IPT maka berwenang pula mencabut IPT yag telah dikeluarkannya.

6. Menimbang, dengan menghubungkan ketentuan pasal 4 ayat (2) PERDA Kota Surabaya Nomor 3 Tahun 2016 Tentang IPT dengan asa a cantrarius actus serta ketentuan pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1086 Tentang peradilan Administrasi Negara, maka Majelis Hakim Banding berpendapat di dalam permusyawaratan dan bersepakat bahwa yang seharusnya bertanggung gugat atau yang didudukkan sebagai Tergugat ketika subjek sengketa dengan kode P-4=T-8 adalah Kepala Dinas Bangunan Dan Tanah Kota Surabaya, bukan Walikota Surabaya.

Pada putusan banding nomor:

109/B/2019/PT.TUN.SBY Majelis Hakim pada amar putusannya mengabulkan permohonan banding dari Tergugat yaitu Walikota Surabaya. Penulis kurang setuju

dengan pertimbangan hakim pada putusan banding nomor: 109/B/2019/PT.TUN.SBY yang menyatakan bahwa subjek gugatan salah. Majelis Hakim dalam pertimbangannya menyatakan bahwa di dalam PERDA Kota Suarabaya nomor 3 tahun 2016 tentang Izin Pemakaian Tanah tidak mengatur secara expressis verbus wewenang pencabutan IPT, dalam hal demikian maka berlaku asas “a contrarius actus”, dan perjabat tata usaha negara yang berwenang menerbitkan keputusan, maka berwenang pula untuk mencabutnya.

Terjadi kekaburan norma dalam penentuan subjek sengketa yang harus digugat pada kasus ini. Pada PERDA Kota Surabaya nomor 3 tahun 2016 tentang IPT tidak dijelaskan secara tertulis mengenai wewenang apa yang dilimpahkan kepada kepala Dinas Pengelolaan Bangunan dan Tanah Kota Surabaya. Hal tersebut yang mengakibatkan perbedaan interpretasi antara Pembanding dan Terbanding maupun Majelis Hakim itu sendiri terkait dengan kewenangan apa yang dimiliki oleh Dinas.

Ridwan HR menjelaskan bahwa delegasi tidak ada penciptaan wewenang, yang ada hanya pelimpahan wewenang dari pejabat yang satu kepada pejabat lainnya. Tanggung jawab yuridis tidak lagi berada pada pemberi delegasi, tetapi beralih pada penerima delegasi. Sementara pada mandat, penerima mandat hanya bertindak untuk dan atas nama pemberi mandat, tanggung jawab akhir

keputusan yang diambil penerima mandat tetap berada pada pemberi mandate (Ridwan, 2006:102).

Apabila melihat dari surat pencabutan IPT yang diterima penggugat terdapat tulisan pada kop surat atas nama “DINAS PENGELOLAAN BANGUNAN DAN TANAH” lalu pada nomenklatur surat tertulis “KEPUTUSAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 188.45/3530/436.7.11/2018 TENTANG PENCABUTAN IPT”. Sedangkan, menurut pasal 14 angka (4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintah “Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang menerima Mandat harus menyebutkan atas nama Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memberikan Mandat”.

Apabila dikaitkan dengan pasal tersebut pada surat pencabutan dari Dinas Pengelolaan Bangunan dan Tanah juga menyebutkan Walikota Surabaya pada nomenklatur surat dan penutup surat. Jadi apabila di tarik kesimpulan mengenai kewenangan apa yang ada pada Dinas Pengelolaan Bangunan dan Tanah maka menurut penulis adalah wewenang mandat. Mengingat pada pasal 14 Undang-Undang Administrasi Pemerintah pada penjelasan delegasi tidak ada aturan mengenai badan yang diberi delegasi harus mencantumkan atas nama badan yang memberi delegasi.

(11)

2. AKIBAT HUKUM PUTUSAN NOMOR :

109/B/2019/PT.TUN.SBY. KEPADA PIHAK TERKAIT

Akibat hukum adalah suatu akibat yang ditimbulkan oleh hukum, terhadap suatu perbuatan yang dilakukan oleh subjek hukum (Ali, 2008:192). Akibat hukum merupakan suatu akibat dari tindakan yang dilakukan, untuk memperoleh suatu akibat yang diharapkan oleh pelaku hukum. Akibat yang dimaksud adalah akibat yang diatur oleh hukum, sedangkan tindakan yang dilakukan merupakan tindakan hukum yaitu tindakan yang sesuai dengan hukum yang berlaku (Soeroso, 2006:295).

Pada kasus ini Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya pada amar putusan nomor 109/B/2019/PT.TUN.SBY menyatakan mengabulkan permohonan Pembanding/Tergugat untuk Membatalkan penundaan pelaksanaan Keputusan Walikota Surabaya Nomor : 188.45/3530/436.7.11/2018 tanggal 4 juni 2018 tentang Pencabutan Surat Izin Pemakaian Tanah Nomor 188.45/0552B/436.7.11/2017 tanggal 13 April 2017 dengan objek tanah di Jalan Simohilir XII/4 Surabaya atas nama Fong Akie Wiyono. Akibat hukum yang harus diterima oleh Fong Akie Wiyono yaitu :

1) Membayar biaya persidangan

Pada amar putusan banding nomor : 188.45/3530/436.7.11/2018 Majelis Makim Menghukum Terbanding/Penggugat untuk membayar biaya perkara dalam peradilan tingkat pertama

sebesar Rp. 2.801.000,- dan peradilan tingkat banding, khusus peradilan tingkat banding ditetapkan sebesar Rp. 250.000,-.

2) Kehilangan IPT

Apabila Fong Akie Wiyono tidak melakukan upaya hukum lagi yaitu kasasi maka Fong harus merelakan tanah yang diterbitkan IPT diambil alih oleh Pemerintah Kota Surabaya.

3) Menerima ganti rugi dari Pemerintah Kota Surabaya Fong berhak menerima ganti rugi karena tanah objek sengketa telah terdapat bangunan dan dicabut atas dasar untuk pembangunan fasilitas umum sesuai dengan pasal 12 ayat (2) PERDA Kota Surabaya nomor 3 tahun 2016 tentang IPT yang berbunyi “IPT dapat dicabut dengan pemberian ganti kerugian atas bangunan apabila tanah yang bersangkutan dibutuhkan untuk kepentingan umum”.

4) Akan kesulitan dalam mengajukan IPT baru

Fong akan kesulitan mengajukan IPT baru karena dianggap memiliki rekam jejak yang buruk akibat kasus sengketa tersebut.

5) Mengajukan upaya hukum kasasi

Kasasi adalah pembatalan putusan atas penetapan pengadilan dari semua lingkungan peradilan dalam tingkat peradilan terakhir. Putusan Kasasi yang dihasilkan oleh Mahkamah Agung merupakan putusan yang terakhir yang mengikat kepada para pihak berperkara, dalam arti lain putusan tersebut ditetapkan sebagai putusan yang telah mempunyai

kekuatan hukum tetap (inkracht van Gewijsde), sebagai dinyatakan oleh . H.R.W. Gokkel dan N. Van Der Wal bahwa “Kekuatan mengikat pada suatu putusan mengandung arti bahwa pihak yang terkait dengan putusan harus mengakui kebenaran yang terkandung dalam putusan. Dalam istilah Latin putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dikatakan “Res judicata pro veritate accipitur” (isi daripada suatu keputusan berlaku sebagai benar) (Wantu, 2010:200).

Dalam Pasal 23 UU No 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman berbunyi putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain.

Sementara di bidang tata usaha negara, Kasasi diatur dalam pasal 131 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Pemeriksaan kasasi untuk perkara yang diputuskan oleh pengadilan di lingkungan peradilan agama atau di lingkungan PTUN. Tenggang waktu mengajukan kasasi 14 hari setelah putusan yang dimaksud diberitahu kepada pemohon.

Mahkamah Agung membatalakan putusan atau penetapan pengadilan karena:

1) Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang. 2) Salah menerapkan atau melanggar hukum yang

berlaku.

3) Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam. Selanjutnya akibat hukum dari putusan nomor 109/B/2019/PT.TUN.SBY yang diterima oleh pihak Pembanding atau Walikota Surabaya yaitu :

1) Mencabut IPT atas nama Fong Akie Wiyono Walikota Surabaya akan mencabut IPT nomor : 188.45/ 0552B/ 436.7.11/2017 tanggal 13 April 2017 dengan objek tanah di Jalan Simohilir XII/4 Surabaya atas nama Fong Akie Wiyono apabila tidak ada upaya hukum lagi dari Fong Akie Wiyono

2) Membayar ganti rugi

Sesuai dengan pasal 12 ayat (2) PERDA Kota Surabaya nomor 3 tahun 2016 tentang IPT yang berbunyi “IPT dapat dicabut dengan pemberian ganti kerugian atas bangunan apabila tanah yang bersangkutan dibutuhkan untuk kepentingan umum” maka Walikota Surabaya harus memberikan ganti

(12)

rugi kepada Fong karena sudah terdapat bangunan di

atas tanah objek sengketa.

3) Melakukan pembangunan penampungan air/bozem Sesuai dengan tujuan pencabutan IPT yaitu membangun fasilitas umum berupa penampungan air/bozem maka Pemerintah Kota Surabaya harus segera membangunnya apabila segala administrasi mengenai pencabutan IPT sudah selesai.

PENUTUP Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada pembahasan, maka kesimpulannya adalah sebagai berikut :

1) Majelis hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya dalam pertimbangan hukumnya untuk memutus perkara nomor : 109/B/2019/PT.TUN.SBY mengenai sengketa antara Fong Akie Wiyono dan walikota Surabaya menurut penulis kurang tepat. Majelis hakim pada amar putusannya mempertimbangkan bahwa subjek gugatan yang digugat oleh Terbanding salah karena yang seharusnya digugat adalah Dinas Pengelolaan Bangunan dan Tanah Kota Surabaya. Menurut penulis, Subjek gugatan yang gugat oleh Penggugat tidak salah. Kewenangan yang ada pada Dinas Pengelolaan Bangunan dan Tanah maka menurut penulis adalah wewenang mandat. Sesuai dengan pasal 14 angka (4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintah “Badan

dan/atau Pejabat Pemerintahan yang menerima Mandat harus menyebutkan atas nama Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memberikan Mandat”. Jadi Walikota Surabaya tetap bertanggung jawab atas sebuah keputusan karena Dinas Pengelolaan Bangunan dan Tanah hanya sebagai penerima mandat.

2) Akibat hukum putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya Nomor : 109/B/2019/PT.TUN.SBY adalah dibatalkannya putusan pengadilan tingkat pertama dan membatalkan penundaan pelaksanaan Keputusan Walikota Surabaya Nomor : 188.45/3530/436.7.11/2018 tanggal 4 juni 2018 tentang Pencabutan Surat Izin Pemakaian Tanah Nomor 188.45/0552B/436.7.11/2017 tanggal 13 April 2017 dengan objek tanah di Jalan Simohilir XII/4 Surabaya atas nama Fong Akie Wiyono. Apabila Fong Akie Wiyono tidak melakukan upaya hukum kasasi, tanah IPT akan tetap dicabut sesuai dengan Surat Keputusan Walikota Surabaya Nomor : 188.45/3530/436.7.11/2018.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan dalam pembahasan, maka saran yang dapat penulis berikan bagi para pihak adalah sebagai berikut : 1) Bagi Terbanding/Fong Akie Wiyono dapat

melakukan upaya hukum kasasi karena menurut

penulis subjek gugatan yang diajukan Terbanding tidak salah. Putusan Kasasi yang dihasilkan oleh Mahkamah Agung merupakan putusan yang terakhir yang mengikat kepada para pihak berperkara, dalam arti lain putusan tersebut ditetapkan sebagai putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van Gewijsde). Diharapkan upaya hukum kasasi tersebut dapat memberikan kepastian hukum terhadap kewenangan apa yang ada pada Dinas Pengelolaan Bangunan dan Tanah Kota Surabaya. 2) Bagi Pembanding/Walikota Surabaya diharapkan

untuk lebih cermat dalam mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara sehingga tidak merugikan pihak lain dan diharapkan dapat lebih mematuhi asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB).

DAFTAR PUSTAKA BUKU

Ali, Achmad, 2008, Menguak Tabir Hukum, Ghalia Indonesia.

Fajar, Mukti dan Yulianto Achmad, 2015, Dualisme

Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Harahap, M. Yahya, 1994, Beberapa Permasalahan Hukum Acara Peradilan, Jakarta: YayasanAl-Hikmah.

HR, Ridwan, 2002, Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: FH UII Press.

Marzuki, Peter Mahmud, 2010, Penelitian Hukum, Jakarta : Prenada Media.

Setiadi, Wicipto, 1994, Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara Suatu Perbandingan, Raja Grafi ndo Persada, Jakarta.

Soeroso, 2006, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika.

Umar, Dzulhifli dan Utsman Handoyo, 2000, Kamus Hukum, Surabaya : Quantum Media Press.

(13)

Wantu, Fence M. Mutia Ch Thalib, Suwitno Y. Imran,

2010, Cara Cepat Belajar Hukum Acara Perdata, Reviva Cendekia. Yogya.

JURNAL

Cesaria, Penerapan Hukum atas Peraaturan Daerah No. 16 Tahun 2014 Tentang Pelepasan Tanah Aset Pemerintah Kota Surabaya Terhadap Hak Pengelolaan “Surat Hijau”, volume 5, nomor 2, 2016, hlm 2.

Fairuz, Andria, 2017, Penyelesaian Kredit Macet di Bank Mega Syariah dengan Jaminan Bangunan yang Berdiri di Atas Tanah Izin Pemakaian Tanah (Surat Hijau), Universitas Jember.

Sukaryanto, Konflik Tanah Surat Ijo di Surabaya (Sebuah Perspektif Teoritik-Resolutif), Vol. 2 No. 2, November 2016, hlm 166.

DOKTRIN

Tamsil, Dosen Jurusan Hukum, Universitas Negeri Surabaya, 2019.

UNDANG-UNDANG DAN PERATURAN

LAINNYA

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Undang-Undang Nomor 5I Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemeritahan.

Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 3 Tahun 2016 Tentang Izin Pemakaian Tanah.

Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 12 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Surabaya.

Referensi

Dokumen terkait

Surat Keputusan Kepala Dinas Sumber Daya Air dan Bina Marga Kabupaten Banyumas.. 6 Peningkatan Jalan

Program Pengembangan Sistim Pendukung Usaha bagi Usaha M ikro Kecil M enengah. Berkem bangnya usaha bagi Usaha Kecil M enengah

[r]

Keinginan untuk menambah uang jajan atau bahkan untuk keperluan yang lebih mahal seperti alat elektronik dan aksesoris lain nya seperti yang dikatakan ketiga informan yang

1.Lomba panjat pinang adalah permainan sekaligus olahraga tradisional yang dilakukan secara ..... a.perorangan

Hasil kategorisasi dalam perusahaan yang menunjukkan job insecurity berada pada kategori insecure dan intensi turnover berada pada kategori rendah menunjukkan bahwa

Judul KTI : Pengaruh Penyuluhan mengenai Preeklampsia terhadap Tingkat Pengetahuan Pada Kader Posyandu di Kota Semarang.. Dengan ini

Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhnya atau sebagian, Dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis..