• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH

2.1 ASPEK GEOGRAFI DAN DEMOGRAFI a. Karakteristik Lokasi dan Wilayah

Kabupaten Ponorogo adalah salah satu diantara 38 Kabupaten/Kota yang ada di Jawa Timur. Luas wilayah Kabupaten Ponorogo adalah 1.371,78 km², atau menempati sekitar 3,5% (tiga setengah persen) luas wilayah Provinsi Jawa Timur. Secara administratif, Kabupaten Ponorogo terdiri dari 21 kecamatan, yang meliputi 307 desa/kelurahan, 1.002 dusun/lingkungan, 2.274 Rukun Warga (RW) dan 6.869 Rukun Tetangga (RT).

Peta Kabupaten Ponorogo tersaji dalam gambar berikut: Gambar 2. 1

Peta Wilayah Administrasi Kabupaten Ponorogo

Sumber: Bappeda Kabupaten Ponorogo, 2015

Batas wilayah administrasi Kabupaten Ponorogo adalah:

1. Sebelah Utara : Kabupaten Magetan, Kabupaten Madiun dan Kabupaten Nganjuk

(2)

2. Sebelah Timur : Kabupaten Tulungagung dan Kabupaten Trenggalek

3. Sebelah Selatan : Kabupaten Pacitan

4. Sebelah Barat : Kabupaten Pacitan dan Kabupaten Wonogiri Luasan wilayah kecamatan dan jumlah desa/dusun pada masing-masing kecamatan tersaji dalam tabel berikut:

Tabel 2. 1

Luas Wilayah Kabupaten Ponorogo Menurut Kecamatan No. Kecamatan Luas (Km²) Jumlah

Desa/ Kelurahan Jumlah Dusun RW RT 1 Siman 37,95 18 45 95 289 2 Ponorogo 22,31 19 44 119 405 3 Babadan 43,93 15 56 123 480 4 Jenangan 59,44 17 60 120 402 5 Bungkal 54,01 19 63 129 340 6 Sambit 59,83 16 46 93 302 7 Sawo 124,71 14 54 160 490 8 Mlarak 37,20 15 49 104 267 9 Jetis 22,41 14 41 81 216 10 Sooko 55,33 6 27 106 257 11 Pudak 48,92 6 19 31 79 12 Pulung 127,55 18 67 165 465 13 Ngebel 59,50 8 31 67 165 14 Kauman 36,61 16 54 113 303 15 Jambon 57,48 13 44 76 278 16 Badegan 52,35 10 34 45 229 17 Sampung 80,61 12 44 88 320 18 Sukorejo 59,58 18 58 139 388 19 Ngrayun 148,76 11 40 145 439 20 Slahung 90,34 22 61 154 413 21 Balong 56,96 20 65 121 342 Jumlah 1.371.780 307 1.002 2.274 6.869

Sumber data: Bappeda Kabupaten Ponorogo, 2016 Berdasarkan data tersebut Kecamatan Ngrayun merupakan kecamatan yang memiliki wilayah paling luas mencapai 148,76 Km². Kecamatan yang memiliki jumlah desa terbanyak adalah Slahung dengan total 22 Desa. Untuk kecamatan yang memiliki jumlah dusun terbanyak adalah Kecamatan Balong dengan total 65 dusun. Sedangkan Kecamatan

(3)

dengan luas wilayah terkecil adalah Kecamatan Ponorogo dengan luas wilayah 22,31. Kecamatan dengan jumlah desa paling sedikit adalah Kecamatan Sooko dan Pudak masing-masing memiliki 6 desa. Untuk kecamatan dengan jumlah dusun paling sedikit adalah Kecamatan Pudak.

Hidrogeologi wilayah Kabupaten Ponorogo sangat dipengaruhi oleh sebaran litologi, topografi dan struktur geologi. Pembagian wilayah hidrogeologi secara umum tercermin dari kondisi satuan-satuan morfologinya. Kondisi topografi yang khas, dimana daerah Ponorogo secara umum merupakan lembah antar bukit (intermountain basin) yang dapat digunakan sebagai dasar perkiraan, bahwa aliran air bawah tanah akan mengalir dari perbukitan vulkan ke arah utara dan dari perbukitan struktural ke arah selatan.

1. Posisi Geografis

Secara geografis, Kabupaten Ponorogo memiliki letak yang sangat strategis, karena berada pada perlintasan jalur arteri primer jalur lintas selatan dan jalan provinsi Madiun-Ponorogo-Pacitan. Ibukota Kabupaten Ponorogo berjarak 198 km dari Surabaya, Ibukota Provinsi Jawa Timur. Kabupaten Ponorogo terletak Terletak pada 111’7’ hingga 111’52’ Bujur Timur dan 7’49 hingga 8’20’ Lintang Selatan.

2. Topografi

Dilihat dari keadaan geografisnya, Kabupaten Ponorogo dibagi menjadi 2 sub area, yaitu area dataran tinggi yang meliputi Kecamatan Ngrayun, Sooko, Pulung, dan Ngebel sisanya merupakan dataran rendah. Berdasarkan ketinggian wilayah dari permukaan laut dapat dikelompokkan 245 desa/kelurahan berada pada ketinggian dibawah 500 m di atas permukaan laut, 44 desa berada pada 500-700 m di atas permukaan laut; dan 18 desa berada diketinggian lebih dari 700 m di atas permukaan laut. 3. Iklim

Curah hujan dihitung berdasarkan jumlah hari dalam satu bulan di Kabupaten Ponorogo pada tahun 2015 paling tinggi terjadi pada bulan

(4)

Januari. Wilayah yang paling tinggi curah hujannya adalah lokasi penakar hujan Ngebel, Badegan dan Sewatu yang mencapai 24 hari dalam satu bulan.

Jumlah hari hujan tiap bulan pada tahun 2015 di Kabupaten Ponorogo tersaji dalam tabel di bawah ini:

Tabel 2.2

Jumlah hari Hujan Tiap Bulan Menurut Stasiun Penakar Hujan Tahun 2015 Lokasi B U L A N Penakar Hujan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1. Ponorogo 18 16 23 13 7 0 0 1 0 0 10 20 2. Babadan 10 12 18 14 4 1 0 0 0 0 4 14 3. Kesugihan 15 16 16 11 2 4 0 0 0 0 11 21 4. Pulung 16 17 19 12 5 3 0 0 0 0 15 22 5. Pudak 16 18 19 16 6 6 0 0 0 0 12 15 6. Sooko 14 20 23 19 9 3 0 0 0 0 15 21 7. Sawoo 17 19 21 17 4 0 0 0 0 0 6 16 8. Slahung 15 15 22 18 7 1 0 0 0 0 9 15 9. Balong 14 15 19 15 4 1 0 0 0 0 10 14 10. Sungkur 13 19 23 13 3 0 0 0 0 0 2 17 11. Semorobangun 15 15 21 19 5 0 0 0 0 0 2 7 12. Ngebel 16 21 21 20 5 3 0 0 0 1 10 24 13. Talun 18 20 22 19 3 3 0 0 0 1 9 21 14. Bollu 14 14 17 15 3 1 0 0 0 0 8 16 15. Wilangan 16 15 21 15 5 1 0 0 0 0 5 16 16. Ngilo-ilo 14 15 21 15 6 1 0 0 0 0 10 14 17. Somoroto 12 14 16 5 1 0 0 0 0 0 2 13 18. Badegan 15 19 24 15 3 0 0 0 0 0 2 15 19. Pohijo 5 12 14 13 2 0 0 0 0 0 1 10 20. Ngrayun 12 14 19 21 5 1 0 0 0 0 7 12 21. Kori 16 13 21 14 5 1 0 0 0 0 5 15 22. Sewatu 18 15 24 16 6 1 0 0 0 0 10 17 Rata -rata 17 22 16 21 10 10 0 11 0 22 25 17

(5)

Sedangkan curah hujan di Kabupaten Ponorogo pada tahun 2015 dihitung berdasarkan bulan, paling tinggi terjadi pada bulan Maret yang mencapai 149 mm. Untuk curah hujan yang paling rendah terjadi pada bulan Agustus yang hanya mencapai 11 mm.

Data mengenai keadaan curah hujan di Kabupaten Ponorogo pada tahun 2015 dihitung berdasarkan bulan tersaji dalam tabel di bawah ini:

Tabel 2.3

Keadaan Curah Hujan Kabupaten Ponorogo Tiap Bulan Tahun 2015 Rata-rata Rata-rata Curah Curah hari hujan curah hujan Hujan Hujan NO Bulan per bulan per bulan Terkecil Terbesar

(mm) 1 Januari 14 17 1 94 2 Pebruari 15 22 1 120 3 M a r e t 20 16 1 149 4 A p r i l 15 21 1 142 5 M e i 5 10 5 62 6 J u n i 1 10 - 35 7 J u l i - - - - 8 Agustus - 11 - 11 9 September - - - - 10 Oktober - 22 - 41 11 Nopember 7 25 37 115 12 Desember 16 17 22 89

Sumber data: Bappeda Kab.Ponorogo,2016. 4. Hidrologi

Kabupaten Ponorogo memiliki sungai 17 sungai yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber irigasi. Karena mata pencaharian utama masyarakat adalah petani maka irigasi manjadi hal yang penting dalam meningkatkan produktifitas petani. Adapun sungai yang paling panjang adalah sungai Sungkur yang panjangnya mencapai 58,10 Km, sedangkan yang paling pendek adalah sungai Bedingin yang panjangnya hanya 4 Km.

(6)

Sedangkan diantara sungai yang ada di Kabupaten Ponorogo, Sungai Asin mampu mengairi sawah paling tinggi mencapai 5.656 hektar, sedangkan yang paling rendah adalah Sungai Gonggang yang hanya mampu mengairi sawah sebanyak 25 hektar. Adapun nama sungai, panjang dan manfaat untuk irigasi tersaji pada tabel di bawah ini:

Tabel 2.4

Nama Sungai, Panjang dan Manfaatnya Untuk Irigasi

Nama Sungai Asal Sumber Air Panjang Sungai Manfaat Irigasi

Origin ( Km) (Ha.) 1. Asin Tempuran 36,80 5.656 2. Cemer Nglegok 36,00 5.295 3. Gendol Kedungpring 33,20 376 4. Keyang Cawet 49,00 5.071 5. Bedingin Cangkring 4,00 170 6. Nambang Dukung 6,00 248 7. Slahung Mati 35,90 4.154 8. Mayong Ciwung 13,70 789 9. Pelem Pelem 18,00 726 10. Munggu Munggu 7,70 576 11. Domas Klitik 12,40 590

12. Ireng Tambu Umbul 7,00 174

13. Sungkur Kresek 58,10 4.945

14. Galok Gebang 29,70 2.980

15. Gonggang Gonggang 36,00 25

16. Pucang Pucang 15,00 198

17. Nglorok - - 644

Sumber Data : Dinas PU Kabupaten Ponorogo, 2016

5. Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan di Kabupaten Ponorogo meliputi lahan pertanian dan lahan bukan pertanian. Lahan pertanian terklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu lahan sawah dan lahan bukan sawah. Total lahan pertanian mencapai 870,95 Km2, yang terbagi dari lahan sawah mencapai 346,38 Km2 dan lahan bukan sawah yang mencapai 524,57 Km2. Sedangkan cakupan lahan bukan pertanian mencapai 500,83 Km2.

(7)

Adapun pembagian lahan bukan pertanian adalah pekarangan dan bangunan mencapai 86,18 Km2, hutan negara mencapai 382,59 Km2 dan lainya mencapai 32,06 Km2. Adapun luas wilayah menurut kecamatan berdasarkan penggunaannya tersaji pada tabel di bawah ini:

Tabel 2.5

Luas Wilayah Menurut Kecamatan Berdasarkan Penggunaannya Tahun 2015

Lahan Pertanian (km2) Lahan Bukan Pertanian (km2)

Kecamatan Lahan Sawah Lahan Bukan Sawah Pekarangan & Bangunan Negara Hutan Lainnya Keseluruhan

1 2 3 4 5 6 7 1. Ngrayun 13,17 77,92 3,22 87,76 2,69 184,76 2. Slahung 21,66 37,62 2,86 25,39 2,81 90,34 3. Bungkal 17,12 20,50 4,45 10,78 1,16 54,01 4. Sambit 11,20 24,21 3,13 20,93 0,36 59,83 5. Sawoo 13,44 60,36 4,67 44,21 2,03 124,71 6. Sooko 10,55 21,26 1,90 21,07 0,55 55,33 7. Pudak 2,13 16,55 0,65 29,21 0,38 48,92 8. Pulung 23,92 70,14 2,87 29,93 0,69 127,55 9. Mlarak 13,61 16,44 3,43 2,46 1,26 37,20 10. Siman 15,62 10,64 2,13 8,74 0,82 37,95 11. Jetis 14,29 1,26 2,40 - 4,46 22,41 12. Balong 24,02 16,12 5,98 10,14 0,70 56,96 13. Kauman 21,05 10,41 3,78 - 1,37 36,61 14. Jambon 14,13 28,25 5,28 8,58 1,24 57,48 15. Badegan 8,91 20,43 3,33 17,19 2,49 52,35 16. Sampung 19,10 19,70 6,37 34,89 0,55 80,61 17. Sukorejo 33,96 13,44 7,06 2,71 2,41 59,58 18. Ponorogo 8,10 2,96 10,70 - 0,55 22,31 19. Babadan 30,60 7,52 3,99 - 1,82 43,93 20. Jenangan 27,14 22,25 5,65 2,27 2,13 59,44 21. Ngebel 2,66 26,59 2,33 26,33 1,59 59,50 Jumlah 346,38 524,57 86,18 382,59 32,06 1.371,78

Sumber data: BPS Kabupaten Ponorogo, 2016 b. Potensi Pengembangan Wilayah

Potensi pengembangan wilayah Kabupaten Ponorogo diarahkan pada penguatan 5 (lima) sektor unggulan, yaitu: pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan dan peternakan. Arah kebijakan pengembangan wilayah berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Ponorogo menetapkan kawasan strategis:

(8)

1. Demografi

Berdasarkan hasil proyeksi Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2015, jumlah penduduk Kabupaten Ponorogo sebesar 867.393 jiwa, yang terdiri dari 433.504 jiwa penduduk laki-laki dan 433.889 jiwa penduduk perempuan dengan kepadatan penduduk mencapai 631 jiwa/km2. Komposisi penduduk laki-laki dan perempuan di Kabupaten Ponorogo hampir seimbang. Tercatat rasio jenis kelamin (Sex Ratio) sebesar 99,91 yang berarti bahwa secara rata-rata pada setiap 100 penduduk perempuan terdapat 99 penduduk laki-laki.

Tabel 2. 6

Jumlah Penduduk Kabupaten Ponorogo Menurut Kecamatan Tahun 2015 No Kecamatan Laki-Laki Perempuan Jumlah Sex Ratio

1 Ngrayun 28.166 28.207 56.373 99,85 2 Slahung 24.269 25.155 49.424 96,47 3 Bungkal 17.013 17.577 34.590 96,79 4 Sambit 17.688 17.996 35.684 98,29 5 Sawoo 26.575 27.561 54.136 96,43 6 Sooko 10.883 11.091 21.974 98,12 7 Pudak 4.643 4.735 9.378 98,06 8 Pulung 23.332 23.349 46.681 99,93 9 Mlarak 20.645 16.184 36.829 127,56 10 Siman 21.803 21.283 42.870 102,44 11 Jetis 14.132 14.898 29.030 94,86 12 Balong 20.343 21.283 41.628 95,58 13 Kauman 19.437 19.829 39.266 98,02 14 Jambon 19.261 19.880 39.141 96,89 15 Badegan 14.627 14.750 29.377 99,16 16 Sampung 17.612 18.005 35.617 97,82 17 Sukorejo 25.710 25.032 50.742 102,71 18 Ponorogo 38.040 38.745 76.785 98,18 19 Babadan 32.831 32.621 65.452 100,64 20 Jenangan 26.611 26.345 52.956 101,01 21 Ngebel 9.881 9.579 19.460 103,15 Jumlah 433.504 433.889 867.393 99,91 Sumber data: BPS Kabupaten Ponorogo, 2016

(9)

Dari 21 kecamatan yang ada di Kabupaten Ponorogo, Kecamatan Ponorogo merupakan kecamatan dengan jumlah penduduk terbesar, yaitu 76.785 jiwa dengan kepadatan penduduk sebesar 3.441 jiwa/Km2, diikuti oleh Kecamatan Babadan 65.452 jiwa (1.489 jiwa/Km2) dan Kecamatan Ngrayun 56.373 jiwa (305 jiwa/Km2). Sementara kecamatan dengan jumlah penduduk paling sedikit sekaligus tingkat kepadatan terendah adalah Kecamatan Pudak 9.378 jiwa dengan tingkat kepadatan 191 jiwa/Km2.

2. Kawasan Strategis Cepat Tumbuh

Wilayah yang memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi daerah cepat tumbuh terdapat di Kecamatan Pudak yang terdapat pada 6 desa.

(10)

Tabel 2.7

Potensi Kecamatan Pudak Kabupaten Ponorogo

Kecamatan Desa Potensi

Pudak Banjarejo Sektor Tanaman Pangan: Jagung dan Ubi

Sektor Perkebunan: Cengkeh dan tanaman non kebun Sektor Tanaman Holtikultuta: Sayuran dan buah-buahan (jeruk, manggis, klengkeng, duku)

Sektor Peternakan: sapi potong dan sapi perah

Sektor Kelembagaan: kelompok tani, gabungan kelompok tani dan koperasi

Pudak Wetan Sektor Tanaman Pangan: jagung dan ubi kayu Sektor Perkebunan: cengkeh

Sektor Tanaman Holtikultura: sayuran dan buah-buahan (jeruk,manggis,lengkeng, duku)

Sektor Peternakan: sapi potong dan sapi perah

Sektor Kelembagaan: kelompok tani, gabungan kelompok tani dan koperasi

Desa

Tambang Sektor Tanaman Pangan: jagung dan ubi kayu Sektor Perkebunan: cengkeh dan kopi arabika

Sektor Tanaman Holtikultura: sayuran dan buah-buahan (jeruk,manggis,lengkeng, duku)

Sektor Peternakan: sapi potong dan sapi perah

Sektor Kelembagaan: kelompok tani, gabungan kelompok tani dan koperasi

Desa Bareng Sektor Tanaman Pangan: jabung dan ubi kayu Sektor Perkebunan: cengkeh, kelapa, kapuk randu Sektor Tanaman Holtikultura: sayuran dan buah-buahan (jeruk,manggis,lengkeng, duku)

Sektor Peternakan: sapi potong dan sapi perah

Sektor Kelembagaan: kelompok tani, gabungan kelompok tani dan koperasi

Desa Krisik Sektor Tanaman Pangan: jagung dan ubi kayu Sektor Perkebunan: cengkeh

Sektor Tanaman Holtikultura: sayuran dan buah-buahan (jeruk,manggis,lengkeng, duku)

Sektor Peternakan: sapi potong dan sapi perah

Sektor Kelembagaan: kelompok tani, gabungan kelompok tani dan koperasi

(11)

Kecamatan Desa Potensi Desa Pudak

Kulon Sektor Tanaman Pangan: jagung dan ubi kayu Sektor Perkebunan: cengkeh

Sektor Tanaman Holtikultura: sayuran dan buah-buahan (jeruk,manggis,lengkeng, duku)

Sektor Peternakan: sapi potong dan sapi perah

Sektor Kelembagaan: kelompok tani, gabungan kelompok tani dan koperasi

Sumber data: Bappeda Kabupaten Ponorogo,2016

3. Kawasan Pengembangan Agropolitan

Penentuan wilayah sebagai kawasan agropolitan didasari dengan berbagai pertimbangan diantaranya memiliki ketersediaan sarana prasarana yang memadai, produktivitas tinggi dan memiliki potensi yang dapat dikembangkan dan bernilai ekonomi tinggi. Adapun kecamatan yang dapat dikembangkan sebagai kawasan agropolitan adalah sebagai berikut: 1) Kecamatan Pudak

Sebagai wilayah yang berada di pegunungan, Kecamatan Pudak cocok untuk budidaya tanaman holtikultura (buah dan sayur). Kondisi tersebut ditunjang dengan ketersediaan air yang melimpah dan kontur tanah yang berbukit-bukit. Selain itu wilayah ini cocok untuk perkebunan seperti cengkeh, kapuk randu, kopi dan melinjo.

2) Kecamatan Ngebel.

Wilayah Kecamatan Ngebel berada pada lereng gunung dan terdapat waduk. Untuk itu wilayah ini cocok untuk dijadikan potensi pengembangan perikanan kerambah air tawar. Pengelolaan perikanan air tawar dapat dilakukan dengan sistim kerambah. Selain itu untuk perkebunan seperti cengkeh, kopi dan melinjo dapat dikembangkan. Saat ini produk andalan yang mulai berkembang dan memiliki potensi tinggi adalah buah durian dan manggis.

(12)

3) Kecamatan Babadan

Kecamatan yang berada di bagian timur kota Ponorogo ini cocok untuk dikembangkan tanaman padi. Adapun desa yang dapat ditanami padi meliputi: Desa Kertosari, Cekok, Patihan Wetan, Kadipaten, Japan, Gupolo, Polorejo, Bareng, Ngunut, Sukosari, Lembah, Pondok, Babadan, Purwosari dan Trisno.

c. Wilayah Rawan Bencana

Kabupaten Ponorogo merupakan wilayah yang memiliki potensi rawan bencana. Sebagai wilayah yang memiliki topografi dengan perbukitan, potensi terjadinya bencana alam sangat dimungkinkan. Adapun bencana yang sering terjadi di kabupaten Ponorogo adalah banjir dan kebakaran. Adanya banjir disertai tanah longsor menjadi ancaman tersendiri bagi masyarakat Kabupaten Ponorogo. Kerusakan alam menjadi salah satu penyumbang besar dalam bencana banjir dan tanah longsor. Pembalakan hutan secara masif akan mempengaruhi kekuatan tanah sehingga apabila terjadi hujan dengan intensitas tinggi maka besar kemungkinan terjadi longsor.

Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Ponorogo, potensi bencana yang terjadi di wilayah Ponorogo adalah: kebakaran, angin puyuh, longsor dan gempa bumi. Untuk wilayah perbukitan potensi terjadi kebakaran hutan sangat tinggi, apabila memasuki musim kemarau. Adapun peta rawan bencana untuk wilayah Kabupaten Ponorogo berdasarkan kecamatan tersaji pada gambar di bawah ini

(13)

Gambar 2. 2

Peta Rawan Bencana Kabupaten Ponorogo

Sumber: BPBD Kabupaten Ponorogo, 2016 Berdasarkan peta tersebut potensi rawan bencana berdasarkan wilayah Kabupaten Ponorogo, sebagai berikut:

Tabel 2.8

Potensi Bencana Berdasarkan Wilayah Kabupaten Ponorogo

No Kecamatan Potensi Rawan Bencana

1. Sampung Longsor, Angin, Banjir, Kekeringan, Kebakaran dan tanah retak

2. Badegan Longsor, Angin, Banjir, Kekeringan & Kebakaran 3. Balong Longsor, Angin, Banjir, Kekeringan & Kebakaran 4. Slahung Longsor, Angin, Banjir, Kekeringan dan Tanah retak 5. Ponorogo Angin, Banjir dan Kebakaran

6. Babadan Angin, Banjir

(14)

No Kecamatan Potensi Rawan Bencana

8. Ngebel Longsor, Angin, Banjir, Kebakaran dan Tanah Retak

9. Pudak Longsor, Angin dan Kebakaran

10 Pulung Longsor, Angin, Kekeringan dan Kebakaran

11 Siman Longsor, Banjir dan Kebakaran

12 Sooko Longsor, Angin, Banjir dan Kebakaran

13 Sawoo Longsor, Angin, Banjir, Kekeringan dan Kebakaran 14 Ngrayun Longsor, Angin, Banjir, Kekeringan dan Kebakaran

15 Jetis Angin dan Banjir

16 Sambit Longsor, Angin, Banjir dan Kebakaran 17 Mlarak Longsor, Angin dan Banjir

18 Kauman Angin dan Banjir

19 Bungkal Longsor, Banjir, dan Kebakaran

20 Jambon Angin, Kekeringan dan Kebakaran

21 Sukorejo Longsor, Angin Puyuh, Banjir, dan Kebakaran

Sumber data : BPBD Kabupaten Ponorogo,2016

2.2 ASPEK KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

a. Fokus Kesejahteraan dan Pemerataan Ekonomi

Kesejahteraan dan pemerataan ekonomi merupakan syarat mutlak dalam rangka membangun pemerintahan yang ideal. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan merupakan suatu keharusan bagi kelangsungan pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan. Untuk itu pemerintah dituntut agar mampu meningkatan pendapatan perkapita, dalam rangka mencapai pendapatan perkapita maka tingkat pertumbuhan ekonomi haruslah lebih besar daripada laju pertumbuhan penduduk. Selain itu menurut beberapa ahli menyatakan bahwa perekonomian daerah dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi daerah dan

(15)

penciptaan lapangan kerja. Untuk mengetahui besarnya pertumbuhan ekonomi dapat diketahui dari nilai PDRB setiap tahunnya. Sedangkan penciptaan lapangan kerja dapat dilakukan setelah terjadi akumulasi aliran modal. Dengan terjadi peningkatan aliran modal maka berdampak pada pembukaan lapangan kerja.

Pertumbuhan PDRB Kabupaten Ponorogo pada kurun waktu 2011-2015 selalu dalam trend yang positif dan terus naik. Membaiknya kinerja lapangan usaha pertanian, kehutanan dan perikanan; dan tumbuhnya lapangan usaha konstruksi; serta Perdagangan besar dan eceran, Reparasi mobil dan sepeda motor; merupakan faktor pendorong percepatan pertumbuhan PDRB Kabupaten Ponorogo.

Untuk mengetahui pertumbuhan PDRB Kabupaten Ponorogo mulai tahun 2011-2015 tersaji pada grafik di bawah ini:

Tabel 2.9

Perkembangan PDRB Kabupaten PonorogoTahun 2011-2015 (Juta Rupiah)

Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB)

Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) Tahun Dasar 2010 - 5,000,000.00 10,000,000.00 15,000,000.00 AD HB AD HK AD HB AD HK AD HB AD HK AD HB AD HK AD HB AD HK 2011 2012 2013 2014 2015 9, 960, 335.26 9, 472, 172.99 11, 047, 555.97 10, 038, 389.12 12, 150, 334.21 10, 557, 313.65 13, 441, 459.80 11, 114, 271.08 14, 815, 513.60 11, 654, 096.80 Series1

(16)

Tabel 2.10

Laju Pertumbuhan Ekonomi Kab. Ponorogo dan Jawa Timur Tahun 2011-2015 (%)

Sumber data: BPS Kabupaten Ponorogo, 2016

Selain faktor pertambahan produk riil yang dihasilkan, faktor kenaikan harga di tingkat produsen atau yang biasa disebut laju implisit PDRB juga sangat berpengaruh dalam kenaikan nilai nominal PDRB atas dasar harga berlaku yang dihasilkan. Laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Ponorogo pada tahun 2015 tercatat sebesar 5,24%. Bila dilihat menurut penciptaan sumber pertumbuhan ekonominya, dipicu oleh sektor Informasi dan Komunikasi 8,09%, Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum sebesar 8,02%, Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor sebesar 7,63%.

Sementara untuk Provinsi Jawa Timur laju pertumbuhan PDRB sebesar 5,44%, dipicu oleh sektor Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum sebesar 7,91%, diikuti sektor Jasa Keuangan dan Asuransi sebesar 7,19%. Selanjutnya sektor Transportasi dan Pergudangan sebesar 6,56%. Hal ini menandakan bahwa karakteristik perkembangan ekonomi Jawa Timur dan Kabupaten Ponorogo berbeda.

Berbeda dengan kondisi Jawa Timur yang berbasis industri, perekonomian Kabupaten Ponorogo saat ini masih berbasis pertanian. Hampir di seluruh wilayah yang ada di Kabupaten Ponorogo merupakan daerah penghasil produk pertanian, kecuali ibukota Kabupaten yang telah

5.7 5.98 5.17 5.28 5.24 6.44 6.64 6.08 5.86 5.44 0 1 2 3 4 5 6 7 2011 2012 2013 2014 2015 Kab. Ponorogo Prov. Jawa Timur Proyeksi angka tahun 2015 sdh ada namun grafik di samping perlu disesuaikan …, sdh dicoba namun hasilnya kurang sempurna (grafik di bawahnya)

(17)

menjelma menjadi pusat perdagangan dan jasa. Produk dominan pertanian yang menjadi unggulan Kabupaten Ponorogo adalah komoditas tanaman hortikultura. Kondisi geografis wilayah yang subur dan iklim yang sesuai untuk kegiatan pertanian membuat sektor pertanian masih menjadi andalan dalam perekonomian Kabupaten Ponorogo.

Walaupun berbasis pertanian, namun dari tahun ke tahun kontribusinya cenderung menurun dan beralih ke Informasi dan komunikasi. Faktor tingkat kesuburan lahan yang semakin menurun serta perubahan iklim yang kurang mendukung kegiatan pertanian menyebabkan kontribusi pertanian semakin menurun. Meskipun dari sisi produksi tetap meningkat namun pertumbuhan peningkatannya kalah cepat dengan pertumbuhan sektor lainnya.

Perkembangan teknologi informasi yang semakin maju dan dapat dirasakan oleh seluruh kalangan masyarakat mampu mempengaruhi pola konsumsi masyarakat. Konsumsi masyarakat terhadap barang-barang impor baik yang berasal dari luar daerah maupun luar negeri menjadi semakin besar. Hal ini mendorong meningkatnya kinerja sektor perdagangan. Bahkan usaha perdagangan lewat jalur online saat ini telah lazim dilakukan.

Dalam kegiatan ekonomi, perkembangan yang terjadi di suatu sektor ekonomi akan berdampak terhadap perkembangan sektor lainnya. Perkembangan sektor perdagangan juga berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap sektor lainnya. Meningkatnya kinerja perdagangan berdampak pada kegiatan transportasi. Distribusi barang-barang perdagangan sangat membutuhkan sarana transportasi yang memadai. Selain transportasi, penyediaan akomodasi, makan minum dan jasa keuangan juga bergerak seiring dengan perkembangan kinerja perdagangan. Biasanya sejalan dengan munculnya pusat perdagangan baru maka di sekitarnya akan bermunculan usaha penyediaan akomodasi untuk tempat menginap pekerja dan usaha penyediaan makanan minuman untuk memenuhi konsumsi pengunjung pusat perdagangan maupun pekerja. Jasa

(18)

keuangan juga turut berkembang karena dengan meningkatnya kinerja produktif akan membutuhkan modal yang dipenuhi oleh sektor jasa keuangan.

Tabel 2.11

Sumber Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Ponorogo Tahun 2015

Kategori Uraian Pertumbuhan (%)

A Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 2,95

B Pertambangan dan Penggalian 1,02

C Industri Pengolahan 6,00

D Pengadaan Listrik dan Gas 1,27

E Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah

dan Daur Ulang 3,14

F Konstruksi 3,10

G Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil

dan Sepeda Motor 7,63

H Transportasi dan Pergudangan 7,15

I Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 8,02

J Informasi dan Komunikasi 8,09

K Jasa Keuangan dan Asuransi 6,85

L Real Estate 5,93

M,N Jasa Perusahaan 6,00

O Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan

Jaminan Sosial Wajib 5,31

P Jasa Pendidikan 6,99

Q Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 1,45

R, S, T, U Jasa Lainnya 4,17

Pertumbuhan Total 5,24

(19)

Tabel 2.12

Distribusi PDRB atas dasar harga berlaku Kabupaten Ponorogo Tahun 2011-2015 (%)

Kategori Uraian 2011 2012 2013 2014 2015

A Pertanian, Kehutanan, dan

Perikanan 32,63 32,35 31,70 31,59 31,65

B Pertambangan dan Penggalian 2,73 2,51 2,39 2,39 2,30

C Industri Pengolahan 6,76 6,74 6,73 6,77 6,69

D Pengadaan Listrik dan Gas 0,09 0,08 0,07 0,07 0,07

E Pengadaan Air, Pengelolaan

Sampah, Limbah dan Daur Ulang

0,11 0,10 0,10 0,09 0,09

F Konstruksi 9,12 9,17 9,19 9,45 9,20

G Perdagangan Besar dan Eceran;

Reparasi Mobil dan Sepeda Motor

15,48 15,63 16,05 15,92 16,18

H Transportasi dan Pergudangan 1,45 1,41 1,46 1,54 1,57

I Penyediaan Akomodasi dan

Makan Minum 2,55 2,60 2,66 2,81 2,89

J Informasi dan Komunikasi 6,76 6,76 6,89 6,87 6,83

K Jasa Keuangan dan Asuransi 2,71 2,90 3,08 3,18 3,19

L Real Estate 2,42 2,37 2,43 2,34 2,44

M,N Jasa Perusahaan Administrasi 0,43 0,42 0,43 0,43 0,43

O Administrasi Pemerintahan,

Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib

6,17 6,10 5,75 5,32 5,22

P Jasa Pendidikan 7,68 8,08 8,34 8,47 8,45

Q Jasa Kesehatan dan Kegiatan

Sosial

0,75 0,77 0,79 0,82 0,86

R, S, T,U Jasa Lainnya 2,16 2,00 1,93 1,94 1,95

Total 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00

Sumber data: Bappeda Kabupaten Ponorogo, 2016

b. Fokus Kesejahteraan Sosial 1. Indeks Pembangunan Manusia

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) adalah variabel tak bebas yang bersifat state, yaitu suatu variabel yang perubahannya berlangsung

(20)

lambat dan akan meningkat/menurun sedikit demi sedikit sebagai respon terhadap perubahan berbagai kondisi fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan. Agar mudah dipahami, maka variabel-variabel sosial dan ekonomi tersebut disusun menjadi indeks komposit yang digabung menjadi indeks tunggal.

Angka IPM sangat penting untuk melihat sampai seberapa jauh pertumbuhan dan pemerataan hasil pembangunan mampu secara nyata Data IPM digunakan sebagai rujukan dalam berbagai kebijakan pemerintah. Salah satunya adalah kebijakan penentuan dana perimbangan daerah melalui DAU. IPM juga dapat digunakan untuk menilai keberhasilan kinerja pembangunan manusia yang terkait dengan peningkatan kapasitas dasar penduduk yang mencakup aspek kesehatan, pendidikan, serta ekonomi. Untuk itu, pemerintah sangat berkepentingan dengan data IPM sebagai bahan perencanaan, evaluasi, dan monitoring.

Berdasarkan skala internasional, capaian IPM dapat dikategorikan menjadi empat kategori yaitu kategori sangat tinggi (IPM≥80), kategori tinggi (70≤IPM<80), kategori sedang (60≤IPM<70), dan kategori rendah (IPM<60). Jika diukur berdasarkan skala internasional, maka selama tahun 2011-2015 IPM Kabupaten Ponorogo masuk dalam kategori sedang.

Grafik 2. 1

Perkembangan IPM Kabupaten Ponorogo Tahun 2011-2015

T

Sumber data: Bappeda KabupatenPonorogo, 2016

65.28 66.16 67.03 67.4 67.75 0 10 20 30 40 50 60 70 80 2011 2012 2013 2014 2015 IPM

(21)

Dari grafik di atas diketahui bahwa Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Ponorogo selama tahun 2011-2015 terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2011 IPM Kabupaten Ponorogo sebesar 65,28, tahun 2012 sebesar 66,16, tahun 2013 sebesar 67,03, tahun 2014 sebesar 67,4, tahun 2015 naik hingga mencapai 67,75 atau rata-rata tumbuh 0,49 persen per tahun. Secara umum dapat dikatakan bahwa kenaikan angka IPM menandakan pembangunan manusia di Kabupaten Ponorogo mengalami kemajuan ke arah yang lebih baik.

Meskipun menunjukkan tren yang terus meningkat setiap tahunnya, namun angka IPM Kabupaten Ponorogo masih rendah bila dibandingkan dengan angka IPM Provinsi Jawa Timur. Bila dibandingkan dengan angka IPM se-Karesidenan Madiun, angka IPM Kabupaten Ponorogo menempati posisi ke lima setelah Kota Madiun, Kabupaten Magetan, Kabupaten Madiun dan Kabupaten Ngawi.

Indikator Pendukung Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 1. Angka Harapan Lama Sekolah

Angka Harapan Lama Sekolah merupakan salah satu bagian dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM), yakni pada komponen indeks pendidikan bersama dengan angka rata-rata lama sekolah. IPM adalah salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan Pemerintah Kabupaten Ponorogo dalam meningkatkan kesejahteraan penduduknya. Angka Harapan Lama Sekolah (HLS) adalah angka yang menunjukkan tingkat harapan penduduk untuk melanjutkan proses pendidikan hingga tinggkat akhir. Tingkat Harapan Lama Sekolah dihitung untuk penduduk berusia 7 tahun ke atas. Hal tersebut dikondisikan dengan program wajib belajar 9 tahun.

(22)

Grafik 2. 2

Perkembangan Angka Harapan Lama Sekolah Kabupaten Ponorogo Tahun 2011-2015

Sumber data: Dinas Pendidikan Kab.Ponorogo, 2016

Angka Harapan Lama Sekolah Kabupaten Ponorogo mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2011 angka harapan lama sekolah tercatat 12,33 tahun. Tahun 2012 mengalami kenaikan menjadi 12,56 tahun. Pada tahun 2013 tercatat 12,8, tahun 2014 tercatat 13,04 dan tahun 2015 tercatat 13,3. Hal ini berarti bahwa tahun 2015 penduduk memiliki harapan untuk melanjutkan pendidikanya hingga mencapai tingkat perguruan tinggi. Akan tetapi apabila dibandingkan dengan angka ideal untuk angka harapan lama sekolah, angka untuk Kabupaten Ponorogo masih di bawah standart internasional atau selisih 4,90 tahun. Standar angka harapan lama sekolah yang ideal adalah 18 tahun (tamat Strata 1 pada perguruan tinggi). 11.8 12 12.2 12.4 12.6 12.8 13 13.2 13.4 2011 2012 2013 2014 2015 12.33 12.56 12.8 13.04 13.3

(23)

2. Rata-Rata Lama Sekolah

Rata-rata Lama Sekolah menggambarkan rata-rata jumlah tahun yang dijalani oleh penduduk berumur 25 tahun ke atas dalam menempuh semua jenis pendidikan formal. Pada usia 25 tahun diasumsikan proses pendidikan sudah berakhir.

Grafik 2. 3

Perkembangan Rata-rata Lama Sekolah Kabupaten Ponorogo Tahun 2011-2015

Sumber data: Dinas Pendidikan Kab.Ponorogo, 2016

Dari grafik diatas diketahui bahwa rata-rata lama sekolah di Kabupaten Ponorogo periode 2011-2015 mengalami peningkatan walaupun dalam skala yang cukup kecil yaitu 6,45 tahun pada tahun 2011 hingga 6,96 tahun pada tahun 2015. Hal ini dapat dikatakan bahwa secara rata-rata tingkat pendidikan penduduk yang berumur 25 tahun keatas di Kabupaten Ponorogo adalah selama 7 tahun atau hampir setara dengan kelas satu sekolah menengah pertama. Kondisi ini masih belum sejalan dengan program wajib belajar 9 tahun yang telah dicanangkan oleh pemerintah. Bahkan angka ini masih sangat jauh di bawah standar rata-rata lama sekolah internasional yaitu 15 tahun. Oleh sebab itu masih diperlukan kerja keras dan komitmen dari semua pihak akan pentingnya meningkatkan rata-rata lama sekolah di Kabupaten Ponorogo guna pembentukan sumber daya

6.1 6.2 6.3 6.4 6.5 6.6 6.7 6.8 6.9 7 2011 2012 2013 2014 2015 6.45 6.57 6.68 6.91 6.96

(24)

manusia yang berkualitas yang nantinya akan membangun dan meningkatkan kesejahteraan penduduk di Kabupaten Ponorogo.

3. Angka Harapan Hidup

Angka harapan hidup pada waktu lahir adalah perkiraan lama hidup rata-rata penduduk dengan asumsi tidak ada perubahan pola mortalitas menurut umur.Angka Harapan Hidup (AHH) merupakan alat untuk mengevaluasi kinerja pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan penduduk pada umumnya, dan meningkatkan derajat kesehatan pada khususnya. Dalam usdaha meningkatkan niulai indeks kesehatan ini, pemerintah daerah perlu mengupayakan kemudahan bagi masyarakat untuk dapat mengakses sarana kesehatan.

Selain itu diperlukan peningkatan kualitas dan pembangunan sarana kesehatan yang memadai, serta aktif memberikan pembinaan kepada masyarakat untuk selalu menerapkan pola hidup sehat. Capaian komponen angka harapan hidup Kabupaten Ponorogo selama periode 2011-2015 mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, meski tidak terlalu signifikan.

Perkembangan angka harapan hidup selama 5 tahun terakhir mengalami peningkatan sebesar 0,20 tahun, dari sebesar 71,70 tahun pada tahun 2011 menjadi 71,90 tahun pada tahun 2015, sehingga rata-rata peningkatan per tahun sebesar 0,04 tahun. Peningkatan tersebut bisa merupakan dampak dari peningkatan kesejahteraan masyarakat serta meningkatnya derajat kesehatan masyarakat.

Perkembangan angka harapan hidup tahun 2011-2015 seperti digambarkan pada grafik sebagai berikut:

(25)

Grafik 2. 4

Perkembangan Angka Harapan Hidup Kabupaten Ponorogo Tahun 2011-2015

Sumber data: Bappeda Kabupaten Ponorogo, 2016

4. Indeks Daya Beli

Indeks daya beli disusun berdasarkan komponen pengeluaran per kapita riil yang disesuaikan. Secara umum banyak indicator yang dapat digunakan untuk mengukur sejauh mana kesejahteraan masyarakat di suatu daerah. Salah satu indikator yang sering digunakan untuk melihat daya beli masyarakat adalah pengeluaran riil perkapita. Rata-rata pengeluaran riil merupakan komponen dalam penyusunan Indeks Standar Hidup.

Daya beli merupakan kemampuan masyarakat dalam

membelanjakan uangnyauntuk barangdanjasa.Kemampuaninisangatdipengaruhiolehharga- hargariilantarwilayahkarena nlaitukaryangdigunakandapatmenaikkanatau menurunkannilaidayabeli.Dengandemikian,kemampuandayabelimasy arakat satuwilayahakanberbedadenganwilayahlainnya.

Perkembangan daya beli masyarakat selama 5 tahun terakhir mengalami peningkatan sebesar Rp338,45, dari sebesar Rp7.849,45 pada tahun 2011 menjadi Rp8.187,90 pada tahun 2012 kemudian

71.7 71.78 71.85 71.88 71.9 71.6 71.65 71.7 71.75 71.8 71.85 71.9 71.95 2011 2012 2013 2014 2015

(26)

meningkat lagi menjadi Rp8.354,33 pada tahun 2013. Capaian pada tahun 2013 mengalami peningkatan kembali sebesar Rp28,47 pada tahun 2014, sehingga menjadi Rp8.382,80. Terakhir pada tahun 2015 kembali meningkat sebesar Rp125,2 dari tahun sebelumnya menjadi Rp8.508,00. Peningkatan tersebut bisa merupakan dampak dari peningkatan kesejahteraan masyarakat serta meningkatnya daya beli masyarakat.

Perkembangan daya beli masyarakat tahun 2011-2015 seperti digambarkan pada grafik sebagai berikut:

Grafik 2. 5

Perkembangan Daya Beli Masyarakat Kabupaten Ponorogo Tahun 2011-2015

Sumber data: Bappeda Kabupaten Ponorogo, 2016

c. Fokus Seni Budaya dan Olahraga 1. Seni Budaya

Untuk menopang pelestarian seni dan budaya daerah diperlukan adanya upaya untuk menjaga eksistensi kelompok seni dan budaya yang ada di masyarakat. Kelompok seni dan budaya yang berperan sebagai penyelenggara kesenian memberikan dukungan dalam pelestarian seni

7,849.45 8,187.90 8,354.33 8,382.80 8,508.00 7,400.00 7,600.00 7,800.00 8,000.00 8,200.00 8,400.00 8,600.00 2011 2012 2013 2014 2015

(27)

dan budaya. Perkembangan jumlah kelompok kesenian pada kurun waktu terakhir ini terus mengalami fluktuatif. Pada tahun 2011 jumlah grup kesenian ada di Kabupaten Ponorogo sebanyak 601 kelompok, pada tahun 2012 terjadi peningkatan sebanyak 91 kelompok sehingga total menjadi 692 kelompok, namun pada tahun 2013terjadi penurunan 20 kelompok sehingga hanya mencapai 672 kelompok dan pada tahun 2015 meningkat kembali menjadi 950 kelompok.

Untuk mengetahui kondisi terakhir jumlah organisasi seni yang masih diakui keberadaaanya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 2.13

Jumlah Organisasi Kesenian Menurut Jenisnya Tahun 2015

No Uraian 2011 2012 2013 2014 2015 1 Reog Dadak 157 157 157 157 259 2 Reog Mini 4 4 4 4 4 3 Reog Pegon 10 10 10 10 10 4 Reok Thek 26 26 26 26 36 5 Karawitan 218 218 218 218 218 6 Gajah-gajahan 41 41 41 41 56 7 Jaranan/Kuda Lumping 9 9 9 9 10 8 Seni Unto 3 3 3 3 3 9 Orkes M/Dangdut 32 32 32 32 32 10 Elektone 20 20 20 20 10 11 Campur Sari 52 52 52 52 47 12 Ketoprak 10 10 10 10 10 13 Ludruk 3 3 3 3 3 14 Kentrung 1 1 1 1 2 15 Thek Tur 2 2 2 2 1 16 Coke’an 2 2 2 2 2 17 Gong Gumbeng 1 1 1 1 1 18 Kongkil 1 1 1 1 1 19 Musik Odrot 5 5 5 5 5 20 Wayang Orang 2 2 2 2 2 21 Sanggar Tari 5 5 5 5 24 22 Kelling 1 1 1 1 1 23 Musik Band 3 3 3 3 3

24 Seni Barong Ular 1 1 1 1 1

25 Seni Tayub 1 1 1 1 1

26 Qosidah 16 16 16 16 16

(28)

No Uraian 2011 2012 2013 2014 2015 28 Musik Terbang 9 9 9 9 9 29 Berjanjen 1 1 1 1 1 31 Sholawatan 63 63 63 63 63 32 Hadroh/Kontemporer 115 115 115 115 115 Jumlah 818 818 818 818 950

Sumber data: Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olah Raga, 2016

2. Olah Raga

Pembangunan di bidang olahraga diarahkan kepada peningkatan prestasi olahraga di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi maupun di lingkungan masyarakat luas. Selain itu pembangunan olahraga ditujukan untuk meningkatkan kondisi fisik dan mental masyarakat, memajukan olahraga dengan meningkatkan mutu prestasi keolahragaan di Kabupaten Ponorogo, memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat.

Permasalahan yang dihadapi saat ini adalah masih kurangnya fasilitas olahraga yang memenuhi standar sehingga perlu peningkatan. Kekurangan fasilitas olah raga tersebut sangat mempengaruhi prestasi olah raga di Kabupaten Ponorogo, artinya belum semua cabang olahraga terfasilitasi dengan baik, sehingga sangat sulit untuk mengembangkan prestasi. Oleh karena itu

Pemerintah Kabupaten Ponorogo secara bertahap dan

berkesinambungan berupaya untuk memenuhi fasilitas yang dibutuhkan dan penyediaan anggaran bagi cabang olahraga melalui Komite Olah Raga Nasional Indonesi (KONI) Ponorogo.

(29)

2.3 ASPEK PELAYANAN UMUM a. Fokus Layanan Urusan Wajib

1. Urusan Pendidikan

a. Angka Partisipasi Sekolah

Angka Partisipasi Sekolah (APS) merupakan ukuran daya serap sistem pendidikan terhadap penduduk usia sekolah. Angka tersebut memperhitungkan adanya perubahan penduduk terutama usia muda. APS adalah jumlah murid kelompok usia pendidikan dasar (7-12 tahun dan 13-15 tahun) yang masih menempuh pendidikan per jumlah penduduk usia pendidikan dasar. Perkembangan APS di Kabupaten Ponorogo dapat dilihat dalam dua tabel sebagai berikut:

Tabel 2.14

Perkembangan Angka Partisipasi Sekolah Kabupaten Ponorogo Tahun 2011-2015

No. Jenjang Pendidikan 2011 2012 2013 2014 2015

1 SD/MI 1.1 APS SD/MI 97,31% 104,01% 106,65% 102,34% 102,57% 2 SMP/MTs 2.1 APS SMP/MTs 99,24% 99,69% 96,18% 102,86% 102,86% 3 SMA/MA/SMK 3.1 APS SMA/MA/SMK 69,82% 69,99% 72,19% 71,65% 71,65%

Sumber data: Dinas Pendidikan kabupaten Ponorogo, 2016 Dari tabel di atas dapat dilihat perkembangan angka partisipasi sekolahpendidikan dasar untuk SD/MI cenderung fluktuasi. Memperhatikan perkembangan mulai tahun 2011 yang sebesar 97,31%, tahun 2012 sebesar 104,01% dan menjadi 106,65% tahun 2013, akan tetapi di tahun 2014 ada penurunan signifikan menjadi 102,34% dan pada tahun 2015 meningkat menjadi 102,60%.

(30)

Untuk tingkat SMP/MTs juga mengalami perkembangan yang fluktuasi, yakni dari sebesar 99,24% pada tahun 2011, naik sedikit menjadi sebesar 99,69% pada tahun 2012 dan pada tahun 2013 mengalami penurunan menjadi 96,18%, namun kemudian mengalami kenaikan menjadi 102,86% padatahun2014 dan menurun kembali menjadi 101,20% pada tahun 2015.

Selanjutnya perkembangan angka partisipasi sekolah tingkat SMA/MA/SMK setiap tahun mengalami fluktuatif juga, yakni dari 69,82% pada tahun 2011, naik sedikit menjadi 69,99% dan 72,19% di tahun 2012 dan 2013, kemudian mengalami penurunan menjadu 71,65% di tahun 2014 dan pada tahun 2015 meningkat menjadi 73,25% .

b. Angka Partisipasi Kasar

Angka Partisipasi Kasar (APK) adalah perbandingan jumlah penduduk yang sedang bersekolah pada suatu jenjang pendidikan (berapapu usianya) terhadap jumlah penduduk usia sekolah yang sesuai dengan jenjang pendidikan tersebut.

Perkembangan angka partisipasi kasar pada lima tahun terakhir menunjukkan:

- Tingkat SD/MI dan SMA/MA/SMK mengalami peningkatan dari tahun 2011 ke tahun 2015, dari 98,54% menjadi 107,50% untuk SD/MI dan 69,82% menjadi 80,50% untuk SMA/MA/SMK. - Tingkat SMP/MTs mengalami fluktuatuatif yaitu pada tahun

2011 sebesar 97,31%, tahun 2012 turun menjadi 96,80 dan pada tahun 2013 sampai dengan 2015 terus mengalami peningkatan dari 99,80% di tahun 2013 menjadi 103,68% di tahun 2015.

(31)

Untuk mengetahui perkembangan angka partisipasi kasar di Kabupaten Ponorogo lima tahun terakhir dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 2.15

Angka Partisipasi Kasar Kabupaten Ponorogo Tahun 2011-2015

No. Jenjang Pendidikan 2011 2012 2013 2014 2015

1 SD/MI 1.1 APK SD/MI 98,54% 100,26% 106,39% 107,02% 105,58% 2 SMP/MTs 2.1 APK SMP/MTs 97,31% 96,80% 99,80% 102,20% 103,68% 3 SMA/MA/SMK 3.1 APK SMA/MA/SMK 69,82% 69,99% 72,19% 80,63% 84,27%

Sumber data: Dinas Pendidikan Kab.Ponorogo, 2016

c. Angka Partisipasi Murni

Angka Partisipasi Murni (APM) adalah perbandingan penduduk usia antara 7 hingga 18 tahun yang terdaftar sekolah pada tingkat pendidikan SD/SLTP/SLTA dibagi dengan jumlah penduduk berusia 7 hingga 18 tahun.

Perkembangan angka partisipasi murni pada lima tahun terakhir menunjukkan angka fluktuatif:

- Tingkat SD/MI pada tahun 2011 sebesar 95,21%, pada tahun 2012 turun menjadi 94,19 dan pada tahun 2013 sampai dengan tahun 2015 mengalami peningkatan dari 95,60% di tahun 2013 menjadi 94,44% pada tahun 2015.

- Tingkat SMP/MTs dari tahun 2011 sampai dengan 2013 mengalami penurunan dari 83,97% di tahun 2011 menjadi 81,29% di tahun 2013, sedang pada tahun 2014 dan 2015 meningkat menjadi 83,30% dan 83,35%.

- Tingkat SMA//MA/SMK pada tahun 2011 sebesar 54,15%, pada tahun 2012 meningkat menjadi 68,43%, namun pada tahun 2013 mengalami penurunan menjadi 56,51%. Sedang

(32)

pada tahun selanjutnya mengalami peningkatan kembali menjadi 57,60% di tahun 2014 dan 58,50% di tahun 2015. Untuk mengetahui angka partisipasi murni di Kabupaten Ponorogo pada lima tahun terakhir dapat dilihat pada grafik di bawah ini:

Tabel 2.16

Angka Partisipasi Murni Kabupaten Ponorogo Tahun 2011-2015

No. Jenjang Pendidikan 2011 2012 2013 2014 2015

1 SD/MI 1.1 APM SD/MI 95,21% 94,19% 95,69% 96,33% 94,44% 2 SMP/MTs 2.1 APM SMP/MTs 83,97% 83,41% 81,29% 83,30% 83,35% 3 SMA/MA/SMK 3.1 APM SMA/MA/SMK 54,15% 68,43% 56,51% 57,60% 58,50%

Sumber data: Dinas Pendidikan Kabupaten Ponorogo, 2016

d. Rasio Kecukupan Ruang Kelas/Penduduk Usia Sekolah

Rasio kecukupan ruang kelas adalah jumlah ruang kelas tingkat pendidikan SD/Mi, SMP/Mts dan SMA/MA/SMK per jumlah penduduk usia pendidikan SD/MI, SMP/MTs dan SMA/MA dan SMK. Rasio ini mengindikasikan kemampuan untuk menampung per kelas semua penduduk usia pendidikan SD/MI, SMP/MTs dan SMA/MA/SMK.

Untuk mengetahui rasio kecukupan ruang kelas/penduduk usia sekolah tersaji pada tabel sebagai berikut:

(33)

Tabel 2.17

Kecukupan Ruang Kelas dan Penduduk Usia Sekolah Kabupaten Ponorogo Tahun 2015

No. Jenjang Pendidikan 2015

1 SD/MI 1.1 Rasio 1 : 16,55 2 SMP/MTs 2.1 Rasio 1 : 27,64 3 SMA/MA/SMK 3.1 Rasio 1 : 28,60

Sumber data: Dinas Pendidikan Kabupaten Ponorogo, 2016 Dari tabel diatas dapat dilihat fasilitas pendidikan khususnyajumlah ruang kelas dibanding penduduk usia sekolah SD/MI, SMP/MTs dan SMA/MA/SMK pada tahun 2015 menunjukkan bahwa ruang kelas di Kabupaten Ponorogo pada tahun 2015 cukup memadai. Kondisi tersebut masih masuk dalam interval standar peserta didik bahwa satu kelas idealnya untuk 20-36 peserta didik.

e. Rasio Guru/Murid

Rasio guru terhadap murid adalah jumlah guru tingkat pendidikan SD/MI, SMP/MTs dan SMA/MA/SMK per jumlah murid pendidikan SD/MI, SMP/MTs dan SMA/MA/SMK. Rasio ini mengindikasikan ketersediaan tenaga pengajar, disamping juga untuk mengukur jumlah ideal murid untuk satu guru agar tercapai mutu pengajaran. Perkembangan rasio guru terhadap murid di Kabupaten Ponorogo pada periode tahun 2011 sampai dengan tahun 2015 tersaji pada tabel berikut:

(34)

Tabel 2.18

Rasio Guru dan Murid Semua Jenjang Pendidikan Tahun 2011-2015

No. Jenjang Pendidikan 2011 2012 2013 2014 2015

1 SD/MI 1.1 Rasio 10,01 9,99 9,87 11,62 9,97 2 SMP/MTs 2.1 Rasio 10,68 10,46 10,50 10,32 10,32 3 SMA/MA/SMK 3.1 Rasio 9,81 9,76 9,12 9,31 9,31

Sumber data: Dinas Pendidikan Kabupaten Ponorogo, 2016 Dari tabel diatas dapat dilihat kecenderungan rasio jumlah guru dan murid menunjukkan tren yang relatif stabil dalam periode 5 tahun terakhir, baik untuk tingkat SD maupun SMP. Hal ini menunjukkan tetap terjaganya perbandingan jumlah ideal antara guru dan murid di Kabupaten Ponorogo, sehingga mutu pengajaran tetap terjaga. Rasio jumlah guru dan murid tidak terpengaruh oleh kondisi wilayah kecamatan di perkotaan ataupun di pinggiran, karena bisa jadi yang di pinggiran lebih rendah rasionya.

f. Fasilitas Pendidikan

Dalam rangka memberikan pelayanan pendidikan terbaik kepada masyarakat diperlukan sarana dan prasarana sekolah yang memadai. Untuk itu Pemerintah Kabupaten Ponorogo bersama seluruh stakeholder yang ada berupaya menjamin ketersediaan bangunan sekolah dalam kondisi baik. Dalam kurun waktu 2011-2015 Pemerintah Kabupaten Ponorogo telah berupaya untuk meningkatkan ketersediaan bangunan sekolah. Hal tersebut dapat diketahui dari jumlah bangunan Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN), tahun 2011 jumlah SMPN sebanyak 55 unit kemudian meningkat menjadi 56 unit di tahun 2015. Akan tetapi kondisi tersebut berbeda dengan Sekolah Menengah Atas Negeri

(35)

(SMAN), tahun 2011 total SMAN di Kabupaten Ponorogo mencapai 17 unit sedangkan pada tahun 2015 justru turun menjadi 16 unit. Untuk jumlah Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) tidak mengalami perubahan jumlah mulai tahun 2011 hingga 2015 sebanyak 7 unit.

Jumlah SMPN di Kabupaten Ponorogo di tahun 2015 tersebar diseluruh kecamatan, sedangkan untuk SMAN masih terdapat beberapa kecamatan yang masih belum memiliki bangunan SMAN yaitu Sawoo, Pudak, Mlarak, Badegan, Sukorejo dan Ngebel. Sedangkan untuk SMKN di Kabupaten Ponorogo pada yahun 2015 hanya ada di 6 kecamatan yaitu, Slahung, Sawoo, Mlarak, Badegan, Ponorogo (2 SMKN), dan Jenangan. Untuk mengetahui jumlah sekolah dan persebarannya di kecamatan Kabupaten ponorogo dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 2.19

Jumlah Sekolah Menurut Jenis Sekolah di KabupatenPonorogo Tahun 2011-2015 No Uraian 2011 2012 2013 2014 2015 1. TK 645 415 415 435 464 2. SD Negeri 587 588 586 586 586 3. SD Swasta 14 14 15 17 17 4. SMP Negeri 55 56 56 56 56 5. SMP Swasta 34 33 32 33 33 6. SMA Negeri 17 16 16 16 16 7. SMA Swasta 10 10 11 10 10 8. SMK Negeri 7 7 7 7 7 9. SMK Swasta 25 27 31 35 35

(36)

g. Pendidik dan Program melek Huruf

Jumlah pendidik di Kabupaten Ponorogo yang meniliki

sertifikat pendidik dan jumlah penduduk yang berusia di atas lima belas tahun dan sudah melek huruf (tidak buta aksara) datanya dalam lima tahun yang lalu, sebagai berikut:

Tabel 2.20

Pendidik Bersertifikat dan Penduduk Melek Huruf Tahun 2011-2015

No Uraian Tahun

2011 2012 2013 2014 2015

1. Pendidik yang memiliki

sertifikat pendidik (%) - - 41,72 49,68 49,34

2. Penduduk yang melek

huruf (jiwa) - 9261 9223 9356 9237

Sumber data: Dinas Pendidikan Kab. Ponorogo, 2016

h. Urusan Kesehatan

1. Angka Kematian Bayi (AKB) per 1.000 Kelahiran Hidup

Kematian bayi adalah kematian yang terjadi antara saat setelah bayi lahir sampai bayi belum berusia tepat satu tahun. Angka kematian bayi (AKB) menggambarkan banyaknya kematian bayi berusia di bawah satu tahun per 1000 kelahiran hidup pada tahun tertentu.

Perkembangan angka kematian bayi di Kabupaten Ponorogo menunjukkan angka yang kurang stabil setiap tahunnya. Dari data yang tersedia pada tahun 2012 mengalami peningkatan yang cukup signifikan sebesar 9,71, dari 27,32 di tahun 2011 menjadi 37,03 pada tahun 2012. Peningkatan drastis tersebut memberikan tekanan tersendiri bagi Pemerintah Kabupaten Ponorogo pada umumnya dan Dinas Kesehatan pada khususnya. Dengan berbagai langkah strategis pada tahun 2013 angka kematianbayi akhirnya dapat diturunkan kembali pada angka 25,83.

(37)

Pada tahun 2015 terjadi penurunan kembali dari 24,14 tahun 2014 menjadi 14,60 atau terjadi penurunan sebesar 9,54 dari tahun sebelumnya. Upaya menekan angka kematian bayi ditempuh melalui peningkatan pelayanan terhadap kesehatan bayi. Upaya tersebut dilaksanakan dengan pemeriksaan kesehatan dan penimbangan berat badan secara rutin, dan pemberian makanan tambahan di Posyandu. Keberhasilan dalam penurunan angka kematian bayi seharusnya terus dijaga agar angka kematian bayi dapat terus ditekan pada tahun-tahun berikutnya.

Berikut grafik angka kematian bayi di Kabupaten PonorogoTahun 2011-2015:

Grafik 2. 6

Angka Kematian Bayi per 1.000 Kelahiran Hidup Kabupaten Ponorogo Tahun 2011-2015

Sumber data: Dinas Kesehatan Kabupaten Ponorogo, 2016

2. Angka Kematian Ibu (AKI) per 100.000 Kelahiran Hidup

Angka kematian ibu (AKI) di Kabupaten Ponorogo dari tahun 2011-2015 cenderung fluktuatif, hal itu bisa dilihat dari angka kematian ibu pada tahun 2011 sebesar 105,20 menurun menjadi 98,82 pada tahun 2012 dan di tahun 2013 justru

27.32 37.03 25.83 24.86 14.6 0 5 10 15 20 25 30 35 40 2011 2012 2013 2014 2015

(38)

mengalami peningkatan menjadi 102,03 dan kembali mengalami peningkatan secara drastis di tahun 2014 menjad 127,00. Namun pada tahun 2015 dapat diturunkan dari 127,00 di tahun 2014 menjadi 91,6 atau terjadi penurunan sebesar 35,4.

Upaya yang dapat dilakukan untuk menekan AKI, diantaranya melalui peningkatan monitoring selama kehamilan (ANC) yang lebih optimal dan melakukan konsultasi sedini mungkin setiap kelainan yang ditemukan di luar kasus Obgyn kepada dokter spesialis terkait, serta minimal satu kali konsultasi ke dokter umum selama kehamilan. Lebih lengkapnya berikut data angka kematian ibu Kabupaten Ponorogo.

Grafik 2. 7

Angka Kematian Ibu (AKI) per 100.000 Kelahiran Kabupaten Ponorogo Tahun 2011-2015

Sumber data: Dinas Kesehatan Kabupaten Ponorogo, 2016

105.2

98.82

102.03

127

91.6

0 20 40 60 80 100 120 140 2011 2012 2013 2014 2015

(39)

3. Fasilitas Kesehatan

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Ponorogo menyebutkan bahwa fasilitas kesehatan total rumah sakit yang tersebar di wilayah Kabupaten Ponorogo hingga tahun 2015 mencapai 6 unit yang kesemuanya berlokasi di Kecamatan Ponorogo. Untuk Puskemas tersebar di seluruh kecamatan Kabupaten Ponorogo, dengan total mencapai 31 unit, artinya di beberapa kecamatan terdapat 2 unit Puskesmas. Sedangkan untuk puskesmas pembantu mencapai 57 unit, klinik kesehatan mencapai 34 unit yang sebagian besar tersebar di Kecamatan Ponorogo sebanyak 17 unit. Kepercayaan dan kepuasan publik terhadap pelayanan rumah sakit dan puskesmas menyebabkan Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA) tidak terlalu diminati lagi oleh masyarakat Ponorogo. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah BKIA yang sempat mencapai 7 unit pada tahun 2011, kemudian meningkat menjadi 9 unit pada tahun 2012, kemudian hanya tinggal 1 unit saja di tahun 2014 dan 2015. Untuk mengetahui jumlah fasilitas kesehatan di Kabupaten Ponorogo pada tahun 2015 tersaji pada tabel di bawah ini:

Tabel 2.21

Jumlah Fasilitas Kesehatan di Kabupaten Ponorogo Tahun 2011-2015 No Uraian 2011 2012 2013 2014 2015 1. Rumah Sakit 6 6 6 6 6 2. Puskesmas 31 31 31 31 31 3. Puskesmas Pembantu 56 57 57 57 57 4. Puskesmas Keliling 47 46 46 45 46 5. Balai Pengobatan 19 20 26 31 36 6. BKIA 7 9 1 1 1 7. Klinik KB - 1 - - -

(40)

Adapun data yang terkait rasio cakupan puskesmas terhadap penduduk dan puskesmas terakreditasi, sebagai tabel berikut:

Tabel 2.22

Rasio Cakupan Puskesmas dan Puskesmas Terakreditasi

No Uraian Tahun 2011 2012 2013 2014 2015 1. Rasio Cakupan Puskesmas terhadap Penduduk 1:27.637 1:27.665 1:27.698 1:27.730 1:28.000 2 Jumlah Puskesmas Terakreditasi 0 0 0 0 0

Sumber data: Dinas Kesehatan Kab. Ponorogo, 2016 Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa cakupan puskesmas terhadap penduduk dari tahun ke tahun mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, sementara itu tidak ada penambahan pembangunan puskesmas baru. Sedangkan untuk puskesmas terakreditasi di Kabupaten Ponorogo belum ada.

Untuk data rasio kecukupan dokter dan prevalensi kekurangan gizi di Kabupaten Ponorogo, sebagai tabel berikut:

Tabel 2.23

Rasio Kecukupan Dokter dan Prevalensi Kekurangan Gizi Tahun 2011-2015

No Uraian Tahun 2011 2012 2013 2014 2015 1 Rasio Kecukupan Dokter 10:117.350 10;104.588 10:104.711 10:100.000 10:100.000 2 Prevalensi Kekurangan Gizi - - - - 12,9%

Sumber data: Dinas Kesehatan Kab. Ponorogo, 2016

Untuk layanan kesehatan terhadap masyarakat Ponorogo dari RSUD yang dimiliki oleh Pemerintah Kabupaten Ponorogo yang kinerjanya terukur dari:

(41)

b. Indeks kepuasan masyarakat terhadap pelayanan rumah sakit RSUD;

c. Rasio kecukupan tenaga medis RSUD;

d. Presentase penduduk miskin yang terlayani RSUD.

Berdasarkan data yang diperoleh dari RSUD Dr. Harjono Kabupaten Ponorogo kinerja pelayanan RSUD tersebut, sebagai berikut:

Tabel 2.24

Kinerja Pelayanan RSUD Kabupaten Ponorogo Tahun 2011-2015

No Uraian Tahun

2011 2012 2013 2014 2015

1. Nilai akreditasi - - - - paripurna

2 Indeks kepuasan masyarakat

terhadap pelayanan rumah sakit - - 74 74 76

3. Rasio kecukupan tenaga medis 53,10 51,10 53,90 53,90 59,80

4. Presentase penduduk miskin yang

terlayani - - - - 24,5

Sumber data: Dinas Kesehatan Kab. Ponorogo, 2016

i. Urusan Pekerjaan Umum 1. Jalan

Jaringan jalan kabupaten di Kabupaten Ponorogo dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2015 sepanjang 916.110 Km. Pada tahun 2015 kondisi jalan yang “baik” sepanjang 469.235 Km atau 51,22 %, kondisi jalan “sedang” sepanjang 208.444 Km atau 22,75%, sedang sisanya sepanjang 238.431 km dalam kondisi rusak dan rusak berat.

Selanjutnya diperlukan perhatian dan penanganan dari pemerintah Kabupaten Ponorogo agar kondisi jalan yang baik tetap terpelihara sehingga memudahkan akses bagi warga serta memberikan keuntungan dan kemudahan bagi pengangkutan hasil– hasil produksi di wilayah Kabupaten Ponorogo menuju

(42)

pasar–pasar potensial dan memberikan daya tarik bagi investor untuk menanamkan modalnya di Kabupaten Ponorogo.

Tabel 2.25

Panjang dan Kondisi Jalan Di Kabupaten Ponorogo Tahun 2011-2015 (km) No. KONDISI 2011 2012 2013 2014 2015 2015 (%) 1 Baik 421.998 440.005 442.205 460.000 469.235 51,22 2 Sedang 212.844 230.745 228.445 212.378 208.444 22,75 3 Rusak 150.794 147.670 153.120 157.555 163.295 17,82 4 Rusak Berat 130.474 97.690 92.340 86.177 75.136 8,20 Jumlah 916.110 916.110 916.110 916.110 916.110 100

Sumber Data : Dinas PU Kabupaten Ponorogo, 2016

2. Sanitasi

Salah satu aspek yang penting dalam menjaga kualitas lingkungan adalah dengan menjaga kondisi sanitasi masyarakat. Berdasarkan Profil Kesehatan Kabupaten Ponorogo rumah tangga dengan akses sanitasi layak, yang ditinjau dari kepemilikan jamban sehat, mengalami peningkatan dari 58,68% rumah tangga pada tahun 2014, menjadi 67,76% rumah tangga pada tahun 2015.

Terkait dengan penanganan sanitasi lingkungan, khususnya drainase lingkungan untuk wilayah perkotaan Ponorogo, bahwa dengan semakin meningkatnya perkembangan kawasan pemukiman mengakibatkan sering terjadinya genangan di beberapa lokasi dengan luasan mencapai 3.500 m² pada tahun 2015.

3. Air Bersih

Untuk memenuhi kebutuhan air minum sehari-hari masyarakat di Kabupaten Ponorogo memperoleh air dari berbagai sumber baik dengan menggunakan sistem perpipaan

(43)

maupun sistem non perpipaan. Sarana air bersih perpipaan diperoleh dari PDAM dan non PDAM yang dikelola masyarakat. Sistem air minum non perpipaan menggunakan sumur gali, penangkap air hujan serta dari mobil tangki. Penggunaan penangkap air hujan sebagai sumber air bersih terutama dilakukan oleh masyarakat yang kesulitan mendapatkan sumber air minum, dimana alternatif sumber air lainnya baik sistem perpipaan maupun sistem lain tidak memungkinkan. Di Kabupaten Ponorogo penduduk dengan akses air minum ”Aman” sebesar 92,72% penduduk.

Di Kabupaten Ponorogo secara garis besar, terdapat 2 jenis kebutuhan air, yaitu untuk memenuhi kebutuhan domestik (rumah tangga) dan kebutuhan non domestik (memenuhi kebutuhan non rumah tangga), kebutuhan air bersih untuk kebutuhan domestik (rumah tangga) merupakan kebutuhan penduduk untuk masak, mandi, cuci dan kakus. Besarnya pemakaian untuk keperluan ini bervariasi untuk setiap wilayah. Standart yang biasa digunakan sebagai dasar perkiraan adalah “Kategori Kota dan Standar kebutuhan Air Bersih Untuk Rumah Tangga” yang dikeluarkan oleh Ditjen Cipta Karya, Kementerian Pekerjan Umum. Selain dari standar tersebut, kebutuhan air bersih juga dapat diambil berdasar pemakaian konsumen yang tercatat dalam rekening bulanan PDAM.

Sedangkan kebutuhan air non domestik adalah kebutuhan air untuk memenuhi kebutuhan non rumah tangga, yaitu untuk kegiatan ekonomi dan perkotaan misalnya untuk industri, perkantoran, pertokoan, hotel, penginapan, rumah makan, rumah sakit, puskesmas, sekolah, rumah ibadah, dan lain-lain. Perhitungan secara pasti untuk mengetahui kebutuhan air jenis ini sangat sulit dilakukan, karena beragamnya jenis fasilitas serta setiap sambungan akan memerlukan air yang berbeda

(44)

dengan sambungan lainnya. Untuk memperkirakan kebutuhan non domestik, dilakukan dengan mengambil prosentase dari kebutuhan domestik.

Berdasar data pemakaian air di PDAM Kabupaten Ponorogo, jumlah pemakaian air non domestik Kabupaten Ponorogo pada tahun 2015 sebanyak 264.323 m3. Jika dibandingkan dengan jumlah pemakaian total, konsumsi air non domestik ini sekitar 9,01% dari total konsumsi air di Kabupaten Ponorogo. Dalam penyusunan rencana induk, direncanakan kebutuhan air non domestik dialokasikan sebesar 15 % dari kebutuhan domestik. Angka 15% ini tetap sampai dengan akhir perencanaan dengan asumsi bahwa perkembangan kebutuhan air non domestik sebanding dengan peningkatan kebutuhan air domestik.

Disamping itu untuk pembangunan dan penyediaan air bersih diarahkan pada daerah-daerah yang masuk kategori rawan air bersih, dengan harapan masyarakat dapat memperoleh kebutuhan air bersih yang cukup sesuai baku mutu air dan memenuhi syarat kesehatan, karena dengan semakin banyak masyarakat yang memperoleh air bersih maka akan semakin baik kondisi kesehatannya, memperhatikan hal tersebut ukuran air bersih dikatakan sehat apabila memenuhi kelayakan secara fisik, kimia dan bakteriologis.

j. Urusan Penanaman Modal

1. Jumlah Investor Berskala Nasional (PMDN/PMA)

Perkembangan jumlah investasi daerah di Kabupaten Ponorogo dalam periode tahun 2011 sampai dengan tahun 2015 menunjukkan bahwa sebagian besar investasi yang ada di Kabupaten Ponorogo adalah investasi/penanaman modal dalam negeri dan hanya pada tahun 2013 saja yang tercatat

(45)

ada investor asing (PMA/Non PMDN) yang masuk di Kabupaten Ponorogo.

2. Jumlah Nilai Investasi Berskala Nasional (PMDN/PMA)

Berdasarkan data realisasi investasi daerah PMDN Kabupaten Ponorogo tahun 2011 sampai dengan 2015 adalah sebagai berikut:

Tabel 2.26

Perkembangan Investasi Di Kabupaten Ponorogo Tahun 2011-2015

No. TAHUN JUMLAH UNIT USAHA

JUMLAH INVESTASI (Rp) KETERANGAN 1 2011 1.321 346.719.545.062,00 - 2 2012 3.298 786.579.617.256,00 - 3 2013 2.040 694.450.719.604,00 - 4 2014 1.323 350.890.412.617,00 - 5 2015 1.838 1.463.909.736.548,00 -

Sumber data: KPPT Kabupaten Ponorogo, 2016 Sedangkan untuk data investasi penanaman modal asing hanya pada tahun 2013 senilai Rp2.679.390.000,00.

k. Urusan Koperasi dan Usaha Kecil Dan Menengah 1. Meningkatnya Persentase Koperasi Sehat

Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum yang kegiatannya berdasarkan atas asas kekeluargaan guna mencapai tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Pada dasarnya koperasi merupakan organisasi yang menyisyaratkan kemandirian yaitu koperasi akan berkembang dalam suasana kemandirian. Artinya, berkembang atau tidaknya koperasi sangat tergantung seberapa kuat fundamen internal mendukung ketercapaian tujuan berkoperasi. Adanya kesamaan kepentingan ekonomi dari para

(46)

anggota-anggotanya,adanya pengurus yang memiliki motivasi kuat dan sanggup amanah serta tersedianya manajemen yang profesional merupakan kunci keberhasilan pembangunan koperasi.

Pengelolaan koperasi sebaiknya berpedoman pada Tiga Sehat, yaitu sehat organisasi, sehat usaha, dan sehat mental. Pembinaan koperasi dengan berpedoman pada Tiga Sehat tersebut diharapkan jumlah koperasi sehat di Kabupaten Ponorogo meningkatkan dan memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan data Dinas Koperasi dan UMKM menunjukkan bahwa dalam limatahun terakhir terjadi fluktuasi baik jumlah koperasi maupun prosentase koperasi aktif di Kabupaten Ponorogo. Hasil pengembangan kinerja koperasi , UKM, dan BPR di Kabupaten Ponorogo tahun 2011 sampai dengan tahun 2015 sebagaimana tabel berikut :

Tabel 2.27

Perkembangan Kelembagaan Koperasi, UKM, dan BPR Tahun 2011-2015

No Uraian 2011 2012 2013 2014 2015

1 Prosentase Koperasi Aktif 89,27% 95,27% 92,29% 89,85% 85,64%

2 Jumlah UKM non BPR / LKM

UKM

23.120 23.958 27.058 27.463 28.252

3 Jumlah BPR/LKM 2 2 2 2 2

4 Prosentase Usahan Mikro

dan Kecil 99,27% 99,26% 99,12% 99,10% 99,09%

Sumber data : Dinas Indakop dan UKM Kab.Ponorogo, 2016

Jika dilihat dari tabel dan gambar diatas, menunjukkan bahwa jumlah BPR tetap, sedangkan UKM non BPR/LKMUKM mengalami peningkatan yang cukup tinggi dari tahun 2011 berjumlah 23.120 unit menjadi 28.252 unit pada tahun 2015.

Referensi

Dokumen terkait

Statement pengulangan digunakan untuk mengerjakan suatu pernyataan yang dilakukan berulang-ulang sesuai jumlah pengulangan yang diinginkan atau sesuai dengan kondisi atau

seharusnya orang percaya memaknai dan menyikapi fenomena penderitaan di tengah pandemi Covd-19 yang terus berlangsung: Orang percaya harus tetap sepenuhnya mempercayai

Adanya perbedaan gender dalam kehidupan sosial juga dapat mempengaruhi pola konsumsi.Oleh karena itu, atas dasar pemikiran tersebut diduga terdapat hubungan yang negatif

Berdasarkan tabel implementasi Zona Integritas tersebut diatas Pengadilan Negeri Meureudu telah membangun Zona Integritas sesuai dengan Rencana Kerja yang

1) Granul pada tekanan kompresi tertentu akan menjadi massa. Meningkatkan kohesifitas dan kompaktibilitas serbuk sehingga diharapkan tablet yang dibuat.. dengan

Dalam hal penghasilan 1 (satu) bulan pada 2 (dua) bulan sebelum bulan Hari raya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum dibayarkan sebesar penghasilan yang

Dari pengukuran indeks kepuasan masyarakat (IKM), ada 14 unsur pelayanan yang digunakan dalam pengukuran tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan Puskesmas

Nilai IKM dihitung dengan menggunakan “nilai rata-rata tertimbang” masing-masing unsur pelayanan. Dalam penghitungan indeks kepuasan masyarakat terhadap11 unsur pelayanan