• Tidak ada hasil yang ditemukan

Critical Book Report

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Critical Book Report"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

CRITICAL BOOK REPORT

ILMU SOSIAL BUDAYA DASAR

OLEH :

DEWI PURBA

4142210002

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

T.A 2016/2017

(2)

ii KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah , karena atas karunianya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini sebagai tugas akhir mata kuliah Ilmu Sosial dan Budaya Dasar.

Saya telah menyusun makalah ini dengan sebaik-baiknya dan semaksimal mungkin. Namun tentunya sebagai manusia biasa tidak akan luput dari kesalahan dan kekurangan. Harapan satya, semoga bisa menjadi koreksi di masa mendatang agar lebih baik dari sebelumnya.

Tak lupa saya mengucapkan terima kasih kepada Dosen Pembimbing dalam penyusunan makalah ini. Sehingga saya dapat menyusun dan menyelesaikan makalah ini sebagai tugas mata kuliah Ilmu Sosial dan Budaya Dasar tepat pada waktunya dan sesuai dengan yang diharapkan.

Makalah ini masih banyak memiliki kekurangan. Tak ada gading yang tak retak. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran dari teman-teman untuk memperbaiki makalah saya selanjutnya. Sebelum dan sesudahnya saya mengucapkan terima kasih.

Medan, 1 Desember 2016

(3)

iii IDENTITAS BUKU

Judul buku : Suara dari Aceh

Penulis : Otto Syamsuddin Ishak Desain sampul : Seri II Resolusi Konflik

Penerbit :Yayasan Penguatan Partisipasi Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Sipil Indonesia (YAPPIKA) Tahun Terbit : 2001

Kota Terbit : Jakarta

ISBN : 979-96318-0-7 Tebal Buku : 160 halaman

(4)
(5)

v IDENTITAS BUKU PEMBANDING

Judul buku : Sumatra Sejarah dan Masyarakatnya Penulis : Edwin M. Loeb

Penerbit : Ombak

Tahun Terbit : 2013 Kota Terbit : Yogyakarta ISBN : 602-258-012-6 Tebal Buku : 418 Halaman

(6)
(7)

1 RINGKASAN ISI BUKU

Pada ringkasan ini, di sini buku ini menceritakan tentang gambaran umum rakyat Aceh dari berbagai daerah yang ingin berpisah dari NKRI pada masa konflik dengan Aparat TNI pada tahun 1999, disini saya akan meringkas dari bab ke bab antara lain :

Ringkasan 1 tentang rakyat Sabang

Pada masa Republik Indonesia, sekitar tahun 1970-an, sabang memiliki status sebagai pelabuhan bebas (Freeport). Sabang menjadi salah satu pusat perdagangan luar negeri bagi Aceh dan Sumatera Utara. Para pedagang muncul dari berbagai daerah di Sumatera, terutama yang dikenal dengan dengan sebutan inang-inang. Meraka adalah kaum perempuan yang berasal dari Sumatera Utara dengan peran sebagai pedagang perantara yang memasukan dari sabang ke Aceh daratan berbagai produk barang impor yang pada masa itu sangat sukar diperoleh, diantaranya gula, baterai, kain sarung, susu kental, dan berbagai jenis kebutuhan rumah tangga seperti barang pecah belah.

Namun akibat kebijakan pemerintah di Jakarta mencabut status Freepot pada tahun 1980-an, maka Sabang segera menjadi sebuah kota mati. Populasi penduduk turun drastis. Sabang kembali memasok produk-produk tradisionalnya ke Aceh daratan, seperti cengkeh yang nilainya sudah sangat rendah, kelapa dan lainnya untuk ditukar dengan barang-barang kebutuhan pokok seperti gula, beras dan minyak makan. Oleh karena itu dalam pemilu 1999 lalu, masyarakat Sabang berharap sebagaimana yang dijanjikan pemerintahan Habibie, akan diberikan status sebagai daerah bebas kembali. Sabang menjadi pusat industri dan pariwisata di Aceh. Oleh karena itulah dalam pemilu 1999 lalu, Golkar Menang di Sabang.

Sebagian masyarakat Sabang baik di desa maupun di kota, anak-anak maupun dewasa, laki-laki maupun perempuan membutuhkan adanya sarana fisik yang lebih baik. Bagi kaum perempuan, sarana fisik mencakup transportasi darat dan laut kesehatan dan pendidikan. Sarana transportasi yang ada seakan hanya untuk melayani kebutuhan penumpang kapal laut sehingga ketika hendak berbelanja ke pasar terpaksa berjalan kaki.

Bagi kaum laki-laki kebutuhan ekonomi dirinci lagi ke dalam bentuk kebutuhan akan lapangan kerja baru(terutama bagi putra daerah), upaya menarik investor, membuka sabang sebagai daerah pelabuhan bebas dan pengembangan indutri rumah tangga, adanya bantuan modal bagi pengadaan boat bagi nelayan, jalur ekspor ke luar negeri dan pelestarian lingkungan

Sementara bagi anak-anak kebutuhan yang diprioritaskan adalah berkaitan dengan kelancaran proses belajar mereka, yakni pengembangan sarana transportasi sehingga mereka tidak terlambat ke sekolah.

(8)

2

Persoalan transportasi ke sekolah memang merupakan kebutuhan yang sangat dominan bagi anak sekolah di Sabang yang kondisi geografisnya seperti di daerah dataran tinggi. Tambahan pula, minimnya sarana transportasi ini menjadi sangat menonjol setelah pemerintah di Jakarta mencabut status pelabuhan bebas pada tahun 1980-an sehingga banyak penduduk kehilangan mata pencaharian dan terpaksa pindah dari Sabang.

Ringkasan II tentang rakyat Aceh Tenggara

Di aceh tenggara,sebagaimana di wilayah aceh barat-selatan pada masa DOM (Daerah Operasi Militer),label GPK lebih bermakna sebagai gerakan pencuri kayu sehingga konflik yang terjadi cenderung dikarenakan bentrokan antar sindikat perkayuan ilegal dan ganja.

GBPK (Gerakan Bersenjata Pengacau Keamanan), yang merupakan label yang diberikan oleh pihak serdadu Indonesia terhadap gerilyawan AGAM, mulai muncul ketika pihak TNI-AD dari Kodim 0108 menangkap 3 laki-laki di desa lawe sumur, kecamatan lawe alas pada tanggal 4 maret 2000, ketiga laki-laki itu disergap karena menunjukan gerak-gerik yang mencurigakan, memiliki satu pucuk pistol dengan 7 butir peluru kaliber 9 mm dan 9 buah pisau, serta khusus untuk pemuda berinisial S (24 tahun) hampir 2 tahun menghilang dari Aceh Tenggara (Waspada, 6 maret 2000). Kemudian pada tanggal 7 maret tahun 2000, pihak kepolisian polres 108 Aceh Tenggara menyita bendera GAM di rumah kepala desa tersebut berinisial S (43 tahun) turut ditangkap. Kepolisian RI mengklaim rumah S yang berstatus buron diidentifikasi telah dibai’at sebagai panglima Sagoe di wilayah Aceh Utara (Waspada, 11 Maret 2000). Jadi dengan latar belakang demikianlah kebutuhan dan keinginan rakyat Aceh Tenggara terbangun dan di maknai.

Kebutuhan-kebutuhan ekonomi rakyat di Aceh Tenggara menggambarkan bahwa kemiskinan merupakan problem yang cukup menonjol. Kemiskinan tersebut juga tergambarkan dari minim dan buruknya kualitas infrastruktur dan pelayanan yang seharusnya diberikan oleh Negara. Persoalan-persoalan tersebut juga berkaitan dengan letak Aceh Tenggara yang relatif jauh dari pusat administrasi pemerintahan di provinsi Aceh dan sikap pemerintah yang kurang memperhatikan pembangunan di wilayah tersebut.

Hal yang menarik, meski Aceh Tenggara bukan wilayah konflik, sebagian anak-anak, laki-laki dan perempuan di desa dan kota membutuhkan adanya rasa aman. Kebutuhan tersebut erat sekali kaitannya sikap keprihatinan dan solidaritas kolektif keacehan karena konflik di Aceh sarat dengan pelanggaran hak-hak asasi manusia yang terus menerus terjadi diberbagai wilayah Aceh, yang berakibat pada menonjolnya masalah kemanusiaan.

Barangkali, kebutuhan akan rasa aman di Aceh Tenggara muncul karena beberapa sebab, pertama, berita tentang kekacauan, pembunuhan, dan pembakaran rumah di wilayah Aceh lainnya telah membuat warga Aceh Tenggara menjadi

(9)

3

waas-was. Berita tersebut bisa berasal dari media masa, tapi juga bisa berasal dari para warga yang menyaksikan sendiri peristiwa-peristiwa kekerasan di wilayah Aceh lainnya. Sehingga warga di Aceh tenggara merasa takut dan cemas yang kemungkinan akan menjalarnya kekerasan di wilayah Aceh Tenggara. Kedua indikasi-indikasi kekerasan di wilayah Aceh Tenggara memang sudah sudah terasa oleh warga, seperti suara tembakan dan berita-berita adanya GPK di wilayah itu. Namun perlu dipahami bahwa istilah GPK dan konflik yang terjadi antara masyarakat dengan serdadu, atau antara serdadu TNI-AD dan Polri terjadi dalam konteks yang berbeda dengan di daerah Aceh lainnya. Ketegangan dan konflik di Aceh Tenggara lebih dipicu oleh persoalanyang berkaitan dengan pencurian kayu di Taman Nasional Gunung Lauser.

Perihal keinginan rakyat Aceh Tenggara, mereka cenderung untuk memilih bentuk otonomi bagi masa depan Aceh. Hal ini tidak terlepas dari karakter geografis dan karakter budaya multietnik dan agama di Aceh Tenggara. Disamping itu suku-suku asli Aceh, disana juga tinggal suku-suku lain seperti karo, Batak, Minang, Cina dsb. Bagi orang-orang yang “non-Aceh” pilihan merdeka bukan suatu yang populer karena ada kekhawatiran bahwa dicapainya status merdeka akan mengakibatkan mereka diusir dari negara Aceh. Sebab kemerdekaan itu dikaitkan dengan diberlakukannya syari’at islam.

Ringkasan III tentang rakyat Banda Aceh

Ketika Aceh berstatus sebagai Daerah Operasi Militer-era hidup di dalam alam brutalitas negara-maka Banda Aceh juga menjadi panggung aksi politik kekerasan negara yang muncul dalam berbagai bentuk kejahatan kemanusiaan, seperti: penangkapan, penyiksaan,penculikan, penghilangan dan peradilan politik yang telah ditelikung terhadap mereka yang di anggap oleh pihak pemerintah, terutama militer, sebagai para aktor Gerakan Aceh Merdeka.

Selanjutnya, dalam tahun 1999, Banda Aceh menjadi wilayah konflik bersenjata yang terbuka. Aksi-aksi pembakaran, penggranatan instansi pemerintah, kontak senjata antara Gerilyawana Agam dan serdadu TNI serta Polri, memiliki intensitas dan eskalasi yang tinggi. Bahkan Aksi penculikan,penangkapan, penyiksaan, dan pembunuhan misterius (petrus) terhadap warga sipil, aktivis mahasiswa dan akademisi akan menjadi menonjol. Hal yang lebih kontradiksi adlah adnya konflik antara serdadu TNI dan Polri yang mewujud dalam bentuk kontak senjata, dan pembakaran serdadu TNI AD oleh serdadu Polri.

Realitas yang di gambarkan sekilas di atas adalah sangat kontras dengan romantisme sejarah kehidupan indatu (leluhur) orang Aceh. Ternyata amat berpengaruh bagi rakyat Banda Aceh dalam menentukan apa yang menjadi kebutuhan dan keinginan mereka. Apalagi kampanye para aktivis HAM memberikan spirit untuk memperjuangkan secara damai sebuah kehidupan yang berdaulat dan bermartabat.

(10)

4

Bagi rakyat Banda Aceh, kebutuhan paling mendasar adalah dimilikinya kembali rasa aman (ketenangan dan kedamaian). Kebutuhan akan rasa aman rakyat di daerah ini terkait dengan situasi terakhir Banda Aceh yang ternyata dari hari ke hari terus berkembang menjadi wilayah konflik bersenjata yang terbuka.

Faktor konflik yang mengepung Banda Aceh juga membuat aktivitas ekonomi rakyat menjadi sangat terbatas. Jika dulunya tengah waktu aktivitas ekonomi rakyat berlangsung dari dini hari hingga malam, maka kini aktivitas ekonomi rakyat hanya berlangsung di siang hari saja.sementara, di malam hari aktivitas rakyat lebih banyak dihabiskan di rumah-rumah bersama keluarga.

Kebutuhan ekonomi adalah pilihan lain dari kaum dewasa khususnya dari kalangan perempuan di Banda Aceh. Makna ekonomi yang dimaksud adalah terpenuhinya kebutuhan hidup sehari-hari dan tersedianya kesempatan mencari nafkah. Pilihan pertama tentunya terkait dengan situasi ekonomi pada masa itu harga-harga kebutuhan pokok rakyat semakin hari semakin melambung, semakin tidak terjangkau oleh rakyat Banda Aceh. Meski Banda Aceh dikenal sebagai pusat pemerintahan, pendidikan, dan ekonomi bagi Aceh, sebagian rakyatnya masih banyak yang miskin, diantaranya buruh bangunan, pedagang kaki lima, pengayuh becak, pembantu rumah tangga, bahkan banyak juga yang terpaksa menjadi pemulung. Pendidkan juga menjadi kebutuhan, terutama bagi anak-anak. Karena dengan bersekolah akan membuat kita menjadi pintar, berguna, menjadi orang kaya atau, menjadi seorang pengusaha sukses menurut sekelompok anak-anak lainnya.

Hal yang menarik dari keinginan rakyat Aceh pada masa itu adalah dengan cara referendum sebagai jalan meraih kemerdekaan. Justru keinginan ini kuat dikemukakan oleh kaum perempuan yang sebagian berkata “Kalau Aceh merdeka, kita pasti makmur. Aceh ini berlimpah rahmat tuhan, Orang Aceh dapat mengelola sendiri kekayaan alam yang ada sehingga kita akan menjadi bangsa yang kaya. Dengan merdeka kita akan mendapat keamanan”. Bagi sekelompok anak-anak pelajar di Lampulo, Banda Aceh, yang merupakan wilayah yang sering menjadi sasaran operasi militer, apa yang menjadi keinginan utama mereka adalah merdeka. Kemerdekaan itu mereka kaitkan kembalinya keamanan di Aceh.

Ringkasan IV tentang rakyat Aceh Besar

Sebagai wilayah konflik, daerah ini tergolong baru. Posisinya sebagai gerbang untuk masuk ke Banda Aceh, dan karakter geografis daerah berupa pegunungan serta banyak daerah pedalaman, menjadikan wilayah ini sebagai basis penting bagi Gerakan Aceh Merdeka. Apalagi wilayah ini berbatasan langsung dengan pidie, yang merupakan basis utama Gerakan Aceh Merdeka. Fungsi Aceh Besar yang lebih sebagai hulu gerakan tersebut, sebenarnya merupakan fungsi tradisional. Sejak masa DOM di Aceh besar terdapat sejumlah kantong yang merupakan basis GAM. Pada saat bersamaan juga sudah ada operasi militer di

(11)

5

Aceh Besar, sudah ada pula markas-markas militer yang digunakan kamp penyiksaan dan penghilangan secara paksa sejumlah warga sipil.

Untuk Aceh Besar, berbagai fenomena dapat diperbandingkan antara kebutuhan sesama korban, bila yang pertama mereka yang berasal dari desa tempat lahirnya yang mengalami operasi militer dan tindak kekerasannya kebutuhan utama adalah rasa aman. Aman yang dibutuhkan ini dikaitkan dengan pengalaman pribadi mereka pada peristiwa 28 November 2000. Rasa aman dikaitkan dengan suasana hati agar tidak was-was terhadap kemungkinan peristiwa itu berulang kembali. Mereka memahami rasa aman dalam artian tidak ada lagi korban yang dipukuli oleh serdadu militer dan tidak ada lagi tembak-menembak, tidak ada lagi sekolah yang dibakar dan rakyat yang harus mengungsi akibat ketakutan mereka bila anggota militer datang ke wilayah mereka.

Maka yang kedua adalah mereka yang berasal dari desa transmigran yang menjadi korban aksi kekerasan manusia bertopeng. Aksi teror kelompok bertopeng ini sering dialami oleh korban warga transmigrasi sambil berseru “bunuh saja semua orang ini, kalian harus pulang ke Jawa”. Sambil mengarahkan senjata kepada mereka dan menjadi saksi langsung bagaimana kelompok bertopeng itu membakar rumah-rumah mereka hanya sebagian kecil yang memprioritaskan ganti rugi terhadap segala harta benda yang hilang, hancur dan musnah bersamaan dengan pembakaran rumah-rumah mereka. Jadi khusus untuk korban warga transmigran pilihan kebutuhan yang paling mendasar adalah rasa aman dalam arti pindah dari Aceh ke wilayah yang lebih aman atau keluar dari Aceh.

Sedangkan bagi mereka yang tidak mengalami konflik bersenjata, tidak ada sweeping, tidak ada pembakaran rumah, tidak ada tembak-menembak, dan tidak ada serdadu yang berkeliaran. Kebutuhan akan rasa aman berkaitan dengan ketenangan dalam bekerja (tani) dan bisa membuka ladang kecil-kecilan. Dari kejadian tindak kekerasan itu juga muncul kebutuhan ekonomi berupa bantuan untuk mencegah kelaparan.

Bagi penduduk baik korban dan non-korban, di Aceh Besar, keinginan mereka yang dominan adalah kemerdekaan yang diartikan pisah dengan NKRI. Kemerdekaan itu harus diraih dengan jalan damai dan demokratis, seperti referendum.

Memang partisipasi mereka dalam menuntut referendum cukup tinggi. Rakyat Aceh Besar adalah sumber masa yang cukup besar dalam sidang referendum di mesjid Baiturrahman, yang melibatkan lebih dari satu jiwa. Bahkan mereka mengingatkan agar mahasiswa sebagai penggagas referendum tetap konsisten untuk memperjuangkan referendum.

Ringkasan V tentang rakyat Aceh Barat

Sejak DOM dicabut, Aceh Barat telah menjadi salah satu daerah operasi militer dan polisi Indonesia yang sangat intensif dan brutal terhadap warga sipil

(12)

6

dalam upayanya membasmi GAM. Karena itu Aceh Barat bisa dikategorikan sebagai daerah konflik baru.

Karena itulah, ketika daerah lain (Aceh Timur, Aceh Utara, dan Aceh Barat) dijadikan sebagai daerah operasi militer yang sangat intensif dan brutal berdasarkan status Daerah Operasi Militer (DOM), maka masyarakat relatif terbebas dari tindak kekerasan dan pelanggaran HAM. Namun, uniknya ketika gerakan reformasi bergulir, lalu DOM dicabut sehinga pelanggaran HAM tersingkap, maka bersamaan dengan itu muncul gerakan protes di Bumi Teuku Umar itu hingga memuncak pada aksi menuntut referendum. Seiring dengan perkembangan intensitas dan ekskalasi konflik di Aceh, maka wilayah konflik di Aceh Barat pun merasuk ke segala penjuru pedesaan, khususnya di wilayah Nagan Raya dan wilayah Krueng Sabee. Pelebaran konflik dapat dilihat mulai Mei 1999, ,masa persiapan pemilu. Dimana kasus-kasus pembakaran terhadap gedung pemerintah serta rumah-rumah rakyat pun mulai marak, namun tak pernah terjaring dalam dalam penyelidikan aparat polisi. Bersamaan dengan itu mulai terjadi tindak kekerasan terhadap rakyat, seperti: pemukulan, penculikan, pembunuhan, teror, penyanderaan dan pemerkosaan.

Ada gerakan protes rakyat, ada aksi operasi militer Indonesia, dan tercipta kondisi yang kondusif bagi kemunculan GAM di wilayah ini adalah realitas, namun sulit untuk mengidentifikasi manakah terlebih dahulu terjadi sehingga memicu keberadaan realitas lainnya. Tapi, dari gambaran di atas menunjukan bahwa GAM akhirnya mendapat tempat di Aceh Barat, di daerah-daerah yang di dalam catatan sejarah merupakan basis tradisional gerakan perlawanan rakyat Aceh Barat.

Kebutuhan akan rasa aman juga sangat dominan bagi korban dan non-korban. Aman berarti serdadu tidak sembarangan membakar rumah rakyat, tidak memukul rakyat dan ada hukum yang berlaku untuk melindungi rakyat. Bila ingin bepergian timbul rasa takut. Orang bisa ditembak dijalan, diculik, bahkan dalam sweeping sering ditanyakkan macam-macam dan dipukul kalau salah menjawab. Di satu pihak, TNI dan Polri mengharuskan rakyat melapor bila bertemu dengan gerilyawan AGAM, jika tidak dilabel GAM dan diambil tindakan tegas. Di sisi lain, GAM menganggap siapa yang melapor kepada TNI, atau Polri adalah cuak (mata-mata yang mengkhianati perjuangan bangsa Aceh).

Meskipun Aceh Barat sebagai daerah konflik baru, pandangan rakyat terhadap perlakuan negara terhadap rakyat sudah tiba pada defenisi situasi bahwa Aceh sudah diperlakukan secara tidak adil oleh RI, dan ini menjadi sebab utama mengapa tingkat kepercayaan mereka terhadap pemerintah dari hari ke hari semakin runtuh. Di samping itu, komitmen pemerintah terhadap Aceh dianggap hanya baru sebatas janji-janji yang kerap sekali diingkari sendiri. Bahkan, ketika rakyat di Aceh mencoba menuntut apa yang seharusnya menjadi kewajiban negara, pemerintah justru menjawabnya dengan mengirim bala serdadu Polri dan TNI ke Aceh. Dan perlakuan TNI yang kasar terhadap rakyat semakin menambah

(13)

7

ketidakpercayaan mereka terhadap pemerintah. Bahkan TNI bukannya hanya mencari GAM melainkan juga melakukan teror, penculikan, pembunuhan atas rakyat dengan melabel mereka sebagai pendukung GAM. Di samping itu, sebagian rakyat pesimis pemerintah akan menyelesaikan kasus Aceh melalui penegakan hukum, karena hal itu hanya akan menyeret banyak serdadu RI ke pengadilan sebagai tersangka pelaku kejahatan kemanusiaan di Aceh. Hal itu semualah yang menjadi latar belakang keinginan rakyat di Aceh Barat. Ada keinginan untuk referendum dengan dalih agar masa depan Aceh lebih maju dan ada keinginan pemerintah segera memberikan status otonomi khusus atas dasar agar ekonomi Aceh bangkit. Ada yang menginginkan Aceh dijadikan negara federal sehingga orang Aceh bisa mengatur sendiri masalah keamanan wilayahnya. Diantara kaum perempuan korban muncul keinginan untuk referendum dengan perlahan untuk merdeka, namun dengan menempuh jalan damai, non-kekerasan dan demokratis, sebab kalau tidak merdeka akan banyak sekali tentara datang ke Aceh.

Ringkasan VI tentang rakyat Pidie.

Andaikan dibandingkan dengan daerah lain di Aceh, intensitas dan ekskalasi konflik di pidie tergolong sangat tinggi dan secara metodis bisa mewakili wilayah konflik lama seperti Aceh Utara dan Timur. Hal ini sejalan dengan tingginya resistensi rakyat terhadap dominasi dan represi negara Indonesia. Bahkan Pidie senantiasa sumber utama inspirasi perlawanan bagi daerah lainnya.

Karena itu Pidie boleh disimpulkan merupakan basis GAM, daerah operasi militer Indonesia yang paling intensif dan sekaligus daerah para korban dalam berbagai bentuk kejahatan dan dengan kualitas yang sangat beragam serta jumlah yang sangat besar pula. Karena itu apa yang dikatakan sebagai kebutuhan adalah kebutuhan korban; dan apa yang dikatakan sebagai keinginan adalah keinginan korban yang kesemuanya itu merupakan refleksi dari pengalaman hidup mereka yang sangat pahit dan hati yang terluka.

Kebutuhan yang dominan bagi rakyat di Pidie adalah adanya rasa aman. Pemahaman aman oleh korban berarti tidak ada lagi perang dan tembak-tembakan, serdadu tidak lagi mengganggu dan memukul serta bertindak kasar terhadap rakyat.

Bahkan dari saksi mata seorang anak-anak bernama Yuli (14 tahun) melihat ayahnya diambil ketika hendak shalat ashar dan dibawa ke sebuah pos sattis selama seminggu, lalu dibawah lagi ke tangsi militer di lamlho selama sebulan, dan akhirnya di eksekusi, dimasukan ke dalam karung dan dihilangkan. Anak-anak menjadi saksi kekerasan serdadu TNI-AD atas anggota keluarganya. Kemudian bayangkan lagi ketika seorang anak-anak yang bernama Fati (12 tahun) ketika melihat ayahnya menjadi korban kontak senjata, lalu mayatnya diseret dengan sepeda motor oleh serdadu sehari semalam hingga tinggal bagian kakinya

(14)

8

saja. Lainnya halnya dengan pengalaman korban seorang janda korban, karena suaminya diambil oleh dilhar (serdadu kopassus) dengan tuduhan memberi makan GPK sehingga disiksa di pos Lamlho dengan cara memukul bagian pinggang dengan rotan, disetrum, yang akhirnya meninggal.

Sehingga aman dalam artian, sebagaimana korban lainnya, tidak ada teror, penyiksaan, penindasan, penculikan, pembunuhan dan sweeping. Aman juga dibutuhkan agar nisa bekerja dengan tenang, dan tidak was-was ketika bepergian. Sebenarnya, apa yang dibutuhkan para korban merupakan hak-hak dasar untuk dapat hidup sebagaimana layaknya manusia yang beradab.

Tuntutan rasa aman ini sangat berkaitan dengan pengalaman dan informasi kekerasan yang telah menjadi masukan sehari-hari bagi setiap individu, keluarga atau anggota masyarakat di desanya. Bagi rakyat Pidie kekerasan sangat dekat dengan mereka, bila tidak menjadi salah seorang korban langsung, paling tidak pasti ada keluarga atau warga desanya yang menjadi korban kekerasan. Rakyat Pidie singkatnya sudah tiba pada kesimpulan munculnya ketidakamanan justru disebabkan oleh perilaku aparat keamanan yang bertindak sesukahatinya, baik dalam sweeping atau penyisiran ke desa-desa yang menimbulkan kecemasan bagi masyarakat. Hal demikian merupakan bagian dari model operasi militer Indonesia dalam menumpas GAM yang lebih mengedepankan kekerasan dan sering mengorbankan orang yang tidak bersalah.

Keinginan utama dari rakyat Pidie adalah merdeka. Merdeka diartikan agar tidak dijajah dan dipukul oleh si Pa’i (sebutan yang mengandung muatan rasa tidak suka terhadap serdadu TNI dan Polri yang sangat populer di kalangan rakyat Aceh). Namun, kemerdekaan itu harus diraih secara damai, yakni melalui referendum.

Pemahaman merdeka oleh korban adalah pisah dengan NKRI. Sebuah defenisi yang sangat tegas karena alasan bahwa rakyat Aceh sudah diperlakukan sewenang-wenang, tidak manusiawi, dikhianati, hingga muncul perasaan terjajah oleh Indonesia. Meskipun demikian bagi korban pemisahan itu harus berlangsung secara baik-baik sehingga setelah mereka merdeka hubungan dengan Indonesia tetap baik.

Pemaknaan merdeka bagi non-korban relatif sama, mereka hanya menambahkan rincian alasannya yang berupa sudah tidak tahan lagi melihat penderitaan rakyat dan hasil kekayaan alam Aceh yang tidak dirasakan oleh rakyat Aceh dan diperolehnya kesempatan bag rakyat Aceh mengelola hasil alamnya sendiri yang selama ini dianggap telah dirampas oleh pemerintah pusat. Hal ini berkaitan dengan tingkat perekonomian rakyat Aceh yang dirasakan tidak adil selama berada dalam wilayah Indonesia.

(15)

9 KESIMPULAN

Setelah rezim Soeharto jatuh, lalu status Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) atau, yang dikenal dalam sandi militer Indonesia sebagai daerah Operasi Jaring Merah (OJM) di cabut pada 7 Agustus 1998, realitas apakah yang mencuat ke permukaan yang mengepung dan menjerat kehidupan rakyat di Aceh, rupa-rupanya rakyat Aceh berada dalam kondisi yang sangat menderita, mencekam, marah dan luka, karena tertekan selama 20 tahun Operasi Militer Indonesia di Aceh. Di lain sisi, ada penderitaan dan penistaan harkat dan martabat manusia di Aceh, yang mana rakyat mulai melihat hal itu semua sebagai bentuk kejahatan kemanusiaan yang paling keji bagaimana manusia (warga sipil) ditangkap, disandera, disiksa, dieksekusi, dihilangkan, diperkosa, harta benda dijarah dan dibumihanguskan, serta para korban yang masih hidup menanggung luka fisik dan psikologis yang amat dalam sepanjang hayatnya karena dalam jumlah dan kualitas yang tak terdefenisikan sehingga rakyat Aceh menyimpulkan kejahatan kemanusiaan yang luar biasa itu sudah masuk dalam kategori genosida.

Lantas rakyat Aceh bangkit da berusaha menuntut hal-hal yang berkaitan dengan pelanggaran HAM, tetapi pemerintah Indonesia terus mengabaikannya. Akibatnya, eskalasi dan intensitas problem kemanusiaan masih terus bergerak kumulatif dan semakin tinggi karena operasi-operasi militer baru untuk membungkam tuntutan kemanusiaan rakyat dengan dalih mengejar gerilyawan AGAM terus berkelanjutan. Begitulah jawaban Negara atas persoalan kemanusiaan di Aceh.

Secara umum, keinginan yang menjadi prioritas rakyat Aceh adalah kebutuhan akan rasa aman, diperbaikinya keadaan ekonomi,sarana pendidikan dan infrastruktur fisik lainnya yang telah dihancurkan. Kebutuhan akan rasa aman merupakan kebutuhan rakyat yang dominan setiap wilayah. Sebuah kebutuhan yang merefleksikan betapa menyeluruhnya situasi ketidakamanan di Aceh pada saat itu. Sedangkan perihal keinginan rakyat yang dominan adalah berkisar antara keinginan untuk merdeka, mendapatkan otonomi, penghormatan pada hak-hak asasi manusia (HAM), dan ditegakkannya keadilan dan peradilan.

Kebutuhan dan keinginan di kalangan rakyat Aceh secara sepintas tampak sama. Namun demikian, arti dari kebutuhan dan keinginan yang sama bisa memiliki makna yang berbeda, yang mana perbedaannya sangat dipengaruhi oleh karakter geografis dari wilayah tersebut, adanya proses historis yang berbeda, pengalaman langsung dan intensitas pengalaman terhadap kekerasan, dan sejumlah faktor lain yang secara bersama-sama membentuk ciri spesifik wilayah tersebut perbedan-perbedaan ini mengakibatkan adanya perbedaan akan prioritas kebutuhan dan keinginan.

Namun dari 6 wilayah ini mempunyai kebutuhan dan keinginan yang sama dalam satu kategori besar yaitu referendum untuk perlahan menuju merdeka. Merdeka dalam arti berpisah dengan NKRI.

(16)

10 BUKU PEMBANDING

Tertera pada BAB V Halaman 256-290

SUMATRA UTARA BAGIAN I: ACEH Ringkasan: Sejarah

Sejarah Aceh sebelum tahun 1500 sebagian besar masih kabur. Namun sekitar tahun 500, dalam catatan sejarah Dinasti Liang disebutkan bahwa sebuah negeri bernama poli terletak di Sumatra Utara. Negeri ini memiliki 136 desa. Sang raja mengendarai kereta yang ditarik gajah. Pada waktu itu rakyat poli masih menganut agama Buddha. Orang arab, beserta agama Islam.

Pada 1507, portugis tiba di pasai, dan pada 1521 mereka mengangkat sultan boneka untuk memimpin negeri ini. Selama periode ini, Aceh tidak dirujuk menjadi sebuah negeri melainkan sebagai pelebuhan bernama Aceh, Kuta Raja dan daerah sekitarnya, pelebuhan tidak berdiri sendiri melainkan merupakan bagian dari kekuasaan Feodal Negeri Pasai. Kerajaan Feodal Aceh pun kemudian merdeka. Pada 1524, Aceh mengalahkan pasai dalam peperangan dan berhasil mengusir portugis. Suntan boneka Pasai kabur ke Malaka, dan negeri itu pun terpecah-pecah.

Pada sekitar 1520 Negeri Aceh baru merdeka mengangkat Sultan atau Syah bandarnya yang pertama, Ali Mughayat Syah. Kerajaan Aceh memperluas kekuasaannya hingga ke negeri-negeri pesisir timur pantai Sumatra.

Hubungan Aceh dan Belanda pertama kali terbangun pada 1599. Pada masa ini, Aceh memperluas pengaruhnya kewilayah-wilayah Sumatra yang kini dijajah, serta menguasai berbagai macam tempat di Semenanjung Malaka. Setelah iskandar Tsani duduk di singgasana, lalu dilanjutkan tiga Sultan perempuan lainnya.

Penduduk asli telah berbaur dengan orang-orang malaka dan tanah tinggi padang, orang-orang pagan dari tanah Batak dan Nias ( kebanyakan orang Nias datang ke Aceh sebagai budak), orang jawa, Hindu dan Arab.

(17)

11 KRITIK DAN SARAN

Kelebihan

Buku yang berjudul Suara dari Aceh memang sudahlah sangat detail, dimana susunan bahasa dan memfokuskan isi buku pada Aceh, yang membahas tentang Aceh dan keberadaannya. Namun saya temukan dari buku pembanding yang berjudul Sumatra Sejarah dan Masyarakatnya yang membahas tentang Aceh pada Bagian I, menceritakan tentang sejarah aceh, kehidupan ekonomi, masyarakat, dan juga agama, maka didapat kelebihan dari buku yang saya riview Yaitu:

1. Isi buku menceritakan tentang gambaran umum rakyat Aceh dari berbagai daerah yang ingin berpisah dari NKRI pada masa konflik dengan Aparat TNI pada tahun 1999.

2. Menceritakan tentang bagian-bagian dari aceh, termasuk salah-satunya sabang yang merupakan 0 km Indonesia.

3. Menceritakan secara detail tentang konflik-konflik yang terjadi dalam Aceh.

4. Menceritakan secara jelas suasana konflik serta korban dan pemicu terjadinya konflik.

5. Menceritakan keinginan yang menjadi prioritas rakyat Aceh adalah kebutuhan akan rasa aman, diperbaikinya keadaan ekonomi,sarana pendidikan dan infrastruktur fisik lainnya yang telah dihancurkan. Kebutuhan akan rasa aman merupakan kebutuhan rakyat yang dominan setiap wilayah. Sebuah kebutuhan yang merefleksikan betapa menyeluruhnya situasi ketidakamanan di Aceh pada saat itu. Sedangkan perihal keinginan rakyat yang dominan adalah berkisar antara keinginan untuk merdeka, mendapatkan otonomi, penghormatan pada hak-hak asasi manusia (HAM), dan ditegakkannya keadilan dan peradilan.

6. Bahasa yang digunakan penulis, cukup mudah untuk dipahami.

Kelemahan:

1. Buku Suara Dari Aceh, terlalu memfokuskan pada terjadinya konflik dan keinginannya berpisah dengan NKRI.

2. Didalam buku tidak tertera akan sejarah Aceh dan Masyarakatnya, sebelum pada pembagiannya, yang seharusnya memperkenalkan aceh

(18)

12

terlebih dahulu sebagai pendahuluannya, baru berbicara tentang konflik yang terjadi.

3. Dari buku pembanding, dapat dilihat jelas kelemahannya, yang tidak membahas secara detail sejarah aceh, kehidupan ekonomi, masyarakat, dan juga agama.

Referensi

Dokumen terkait

Vertical alignment berarti harus ada keselarasan antara strategy map dan balanced scorecard yang dibuat pada level korporasi, dengan strategy map

Hendaknya unit surveilans telah melakukan analisis dan interpretasi terhadap data tersebut dan menyajikanya dalam bentuk grafik/diagram sebelum dilaporkan kepada pihak yang

The writer chose the fourth semester students of the English Department of Widya Mandala Catholic University and conducted a study on their knowledge of articles in

menunjukkan bahwa hubungan atau pengaruh Komitmen Organisasional terhadap Kinerja adalah positif yang berarti semakin baik Komitmen Organisasional pegawai PDAM Tirta

Kesalahan pengucapan pada kategori ―sedang‖ ini akan berdampak pada proses komunikasi apabila responden tersebut tidak segera mendapatkan pengetahuan bagaimana

of Malaya.. Selain itu,untuk memastikan pelajar dapat bimbingan , pelajar perlu selalu berurusan dengan penasihatnya. Mulai daripada Sem ester 2 sesi 200212003 pelajar di

Dalam Rumusan Rasional harus tergambar cakupan dan inti masalahnya secara jelas, apa saja yang sudah dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut, sehingga diketahui