• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori lokasi adalah ilmu yang menyelidiki tata ruang (spatial order) kegiatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori lokasi adalah ilmu yang menyelidiki tata ruang (spatial order) kegiatan"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Teori Lokasi

Teori lokasi adalah ilmu yang menyelidiki tata ruang (spatial order) kegiatan ekonomi, atau ilmu yang menyelidiki alokasi geografis dari sumber-sumber yang potensial, serta hubungannya dengan atau pengaruhnya terhadap keberadaan berbagai macam usaha/kegiatan lain baik ekonomi maupun sosial (Tarigan, 2006).

Teori lokasi adalah suatu penjelasan teoretis yang dikaitkan dengan tata ruang dari kegiatan ekonomi. Hal ini selalu dikaitkan pula dengan alokasi geografis dari sumber daya yang terbatas yang pada gilirannya akan berpengaruh dan berdampak terhadap lokasi berbagai aktivitas baik ekonomi maupun sosial (Sirojuzilam, 2006: 22).

Thunen dalam Tarigan (2006) berpendapat tentang perbedaan lokasi dari berbagai kegiatan pertanian atas dasar perbedaan sewa lahan (pertimbangan ekonomi). Menurut Von Thunen tingkat sewa lahan paling mahal nilainya adalah di pusat pasar dan makin rendah apabila makin jauh dari pasar. Von Thunen menentukan hubungan sewa lahan dengan jarak ke pasar dengan menggunakan kurva permintaan. Berdasarkan perbandingan (selisih) antara harga jual dengan biaya produksi, masing-masing jenis produksi memiliki kemampuan yang berbeda untuk membayar sewa lahan. Makin tinggi kemampuannya untuk membayar sewa lahan, makin besar kemungkinan kegiatan itu berlokasi dekat pusat pasar. Hasilnya adalah

(2)

suatu pola penggunaan lahan berupa diagram cincin. Perkembangan dari teori Von Thunen adalah selain harga lahan tinggi di pusat kota dan akan makin menurun apabila makin jauh dari pusat kota.

Aksesibilitas adalah salah satu faktor yang sangat mempengaruhi apakah suatu lokasi menarik untuk dikunjungi atau tidak. Tingkat aksesibilitas merupakan tingkat kemudahan di dalam mencapai dan menuju arah suatu lokasi ditinjau dari lokasi lain di sekitarnya (Tarigan, 2006). Menurut Tarigan, tingkat aksesibilitas dipengaruhi oleh jarak, kondisi prasarana perhubungan, ketersediaan berbagai sarana penghubung termasuk frekuensinya dan tingkat keamanan serta kenyamanan untuk melalui jalur tersebut. Dalam analisis kota yang telah ada atau rencana kota, dikenal standar lokasi (standard for location requirement) atau standar jarak (Jayadinata, 1999: 160) seperti terlihat pada Tabel 2.1 berikut:

Tabel 2.1. Standar Jarak dalam Kota

No Prasarana Jarak dari Tempat

Tinggal (Berjalan Kaki)

1. Pusat Tempat Kerja 20 menit s.d 30 menit

2. Pusat Kota (Pasar dan sebagainya) 30 menit s.d 45 menit

3. Pasar Lokal ¾ km atau 10 menit

4. Sekolah Dasar (SD) ¾ km atau 10 menit

5. Sekolah Menengah Pertama (SMP) 1 ½ km atau 20 menit 6. Sekolah Menengah Atas (SMA) 20 atau 30 menit 7. Tempat Bermain Anak Atau Taman ¾ km atau 20 menit 8. Tempat Olahraga (Rekreasi) 1 ½ km atau 20 menit 9. Taman Umum (Cagar, Kebun Binatang, dsb) 30 sampai 60 menit

(3)

2.2. Standar Sarana Prasarana Pendidikan

Definisi sarana menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 Tahun 2007 adalah perlengkapan yang diperlukan untuk menyelenggarakan pembelajaran yang dapat dipindah-pindah yang meliputi meubiler, meubiler perpustakaan, buku teks pelajaran, buku referensi, alat peraga, alat-alat laboratorium dan alat-alat praktik. Sedangkan prasarana adalah fasilitas dasar yang diperlukan untuk menjalankan fungsi satuan pendidikan yang meliputi ketersediaan lahan, bangunan gedung, ruang kelas, perpustakaan, laboratorium, ruang pimpinan, ruang guru, ruang tata usaha, tempat ibadah, ruang konseling, ruang UKS, ruang organisasi kesiswaan, jamban, gudang, ruang sirkulasi serta tempat bermain/berolahraga.

Adapun beberapa standar yang dapat dijadikan acuan yaitu:

1. Standar Sarana dan Prasarana Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional RI

Standar ini merupakan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 24 Tahun 2007. Standar mencakup sarana dan prasarana untuk SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA. Ketentuan yang diatur dalam standar ini meliputi satuan: satuan pendidikan, luasan lahan, bangunan gedung, prasarana dan sarana yang harus dimiliki fasilitas pendidikan beserta ketentuannya. Penelitian ini hanya akan meninjau mengenai satuan pendidikan saja yang di dalamnya diatur mengenai banyaknya rombongan belajar, batas maksimum jumlah penduduk yang dilayani, dan area pelayanan satu fasilitas pendidikan. Standar satuan pendidikan SMA dan MA, yaitu:

(4)

a. Satu SMA/MA memiliki minimum 3 rombel dan maksimum 27 rombel. b. Satu SMA/MA dengan 3 rombel melayani maksimum 6000 jiwa

penduduk. Untuk pelayanan penduduk lebih dari 6000 jiwa dapat dilakukan penambahan rombel atau pembangunan SMA/MA baru.

2. Standar Perencanaan Kebutuhan Sarana Kota Menurut Cipta Karya untuk Perumahan Sederhana

Struktur pemerintahan yang dipergunakan dalam standar perencanaan kebutuhan sarana kota menurut Cipta Karya untuk perumahan sederhana didasarkan pada jumlah penduduk: kelurahan (30.000 jiwa), kecamatan (120.000 jiwa). Pola sebaran penduduknya adalah rukun tetangga (250 jiwa), rukun warga (2.500 jiwa), kelurahan (30.000 jiwa), dan kecamatan (120.000 jiwa). Luas tiap unit yang dimaksud pada tabel di bawah adalah luas lahan yang dapat digunakan secara efektif untuk membangun prasarana sekolah berupa bangunan gedung dan tempat bermain/olahraga.

Tabel 2.2. Standar Perencanaan Kebutuhan Sarana Kota Cipta Karya untuk Perumahan Sederhana

Jenis Sarana Kota Jumlah Penduduk

Pendukung (Jiwa) Luas Tiap Unit (m

2 ) Taman Kanak-Kanak 1000 800 Sekolah Dasar 1600 1800 SMTP 6000 2400 SMTA 6000 2400

Sumber: Keputusan Menteri PU No. 20/KPTS/1986 tentang Pedoman Teknik Pembangunan Perumahan Sederhana Tidak Bersusun dalam Iskandar (2009).

(5)

3. Standar Perencanaan Kebutuhan Sarana Kota Departemen Dalam Negeri

Struktur pemerintahan yang digunakan dalam standar perencanaan kebutuhan sarana kota Depdagri ini didasarkan pada jumlah penduduk: kelurahan (30.000 jiwa), kecamatan (200.000 jiwa). Pola sebaran penduduknya: rukun tetangga (250 jiwa), rukun warga (3000 jiwa), kelurahan (30.000 jiwa), kecamatan (200.000 jiwa), dan kota (1.000.000 jiwa). Luas tiap unit yang dimaksud adalah luas lahan yang dapat dibangun prasarana sekolah berupa bangunan gedung dan tempat olahraga.

Tabel 2.3. Standar Perencanaan Kebutuhan Sarana Kota Departemen Dalam Negeri

Jenis Sarana Kota Jumlah Penduduk

Pendukung (Jiwa) Luas Tiap Unit (m 2 ) Taman Kanak-Kanak 750 500 Sekolah Dasar 3000 4000 SMTP 30000 9600 SMTA 30000 9600

Sumber:Direktorat Tata Guna Tanah Ditjen Agraria Depdagri Atlas DKI Jakarta Raya, Tanah dan Kegiatan Pembangunan PUBL No. 214 Tahun 1982 dalam LPPWK 1993 dalam Iskandar, 2009

4. Standar dan Ketentuan Mengenai Daerah Layanan Fasilitas Pendidikan Menengah

Standar sarana dan prasarana Departemen Pendidikan Nasional terbaru memberikan batasan jarak sebagai kriteria layanan untuk daerah terpencil saja, sedangkan kriteria batasan jarak dan waktu tempuh untuk kondisi umum tidak diuraikan dalam standar ini. Sehingga standar sarana dan prasarana fasilitas

(6)

pendidikan Departemen Pendidikan yang telah dikeluarkan sebelumnya masih layak digunakan. Dalam standar fasilitas pendidikan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, bahwa kriteria lokasi fasilitas pendidikan untuk Sekolah Menengah Atas, yaitu:

1. Mudah dicapai dari setiap bagian kecamatan.

2. Dapat dicapai oleh murid selama kurang dari 45 menit berjalan kaki. 3. Jauh dari pusat keramaian (pertokoan, perkantoran, perindustrian).

Selain pedoman di atas terdapat juga pedoman perencanaan gedung sekolah dari Departemen Pekerjaan Umum, dengan mempertimbangkan aspek-aspek:

1. Fasilitas sekolah menengah umum direncanakan dengan kecenderungan perkembangan kota, rencana induk kota, dan harus disetujui oleh pemerintah daerah setempat.

2. Kepadatan dan potensi penduduk (% penduduk usia sekolah) harus mendukung kegiatan pendidikan sehingga selain akan dapat menentukan lokasi sekolah juga harus dapat menentukan jenis dan tipe sekolah.

3. Radius pencapaian ditentukan oleh jarak capai/tempuh, faktor usia, kemampuan fisik siswa, dan sarana transportasi. Radius pencapaian dari sekolah menengah umum ditentukan maksimum 5 km atau 1 jam perjalanan (jalan kaki). Lokasi harus dihindarkan dari lalu lintas berkepadatan tinggi untuk menghindari kecelakaan dan kemacetan.

4. Kondisi lingkungan sangat menentukan lokasi fisik sekolah. Lingkungan dibedakan dalam lingkungan alami, yaitu: geografi, topografi, klimatologi,

(7)

flora dan fauna, dan lingkungan buatan seperti bangunan dan lingkungan masyarakat (sosial budaya dan sosial ekonomi). Syarat lokasi bangunan sekolah terhadap lingkungan adalah tercapainya: kenyamanan, ketenangan, kesehatan, dan keamanan.

5. Standar Perencanaan Kebutuhan Sarana Kota Menurut Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum

Struktur pemerintahan yang digunakan dalam standar perencanaan kebutuhan sarana kota menurut Cipta Karya Departemen PU didasarkan pada jumlah penduduk: kelurahan (30.000 jiwa), kecamatan (120.000 jiwa), wilayah (480.000 jiwa), kota (1.000.000 jiwa). Pola sebaran penduduknya adalah RT (250 jiwa), RW (2500 jiwa), kelurahan (30.000 jiwa), kecamatan (120.000 jiwa), wilayah (480.000 jiwa), dan kota (1.000.000 jiwa).

Tabel 2.4. Standar Perencanaan Kebutuhan Sarana Pendidikan Cipta Karya Departemen PU

Jenis Sarana Kota

Jumlah Penduduk

Pendukung(Jiwa) Jarak Luas Lahan

Sekolah Dasar 1600

Mudah dicapai dan radius pencapaian maksimum 1000 m, dihitung dari unit terjauh

2000 m2

SMTP 4800 Radius maksimum 1000 m 9000 m2

SMTA 4800 Radius maksimum 3 km dari

unit yang dilayaninya

12.500 m2 (1 lt)

8000 m2 (2 lt)

5000 m2 (3 lt)

Sumber: Penyempurnaan terhadap Standar Perencanaan Kebutuhan Sarana Pendidikan Cipta Karya Departemen PU, Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan Sederhana Tidak Bersusun di Daerah Perkotaan 2003, dalam Agustin 2006.

(8)

2.3. Lahan

Menurut Permendiknas Nomor 24 Tahun 2007 bahwa luas minimum lahan yang dibutuhkan untuk jenjang sekolah menengah adalah 2.170 m2 dan lahan untuk satuan pendidikan SMA/MA memenuhi ketentuan rasio minimum luas lahan terhadap peserta didik seperti tercantum pada Tabel 2.5.

Tabel 2.5. Rasio Minimum Luas Lahan terhadap Peserta Didik Rasio Minimum Luas Lahan terhadap

Peserta Didik (m2/Peserta Didik) No Banyaknya Rombongan Belajar Bangunan Satu Lantai Bangunan Dua Lantai Bangunan Tiga Lantai 1 3 36,5 - - 2 4-6 22,8 12,2 - 3 7-9 18,4 9,7 6,7 4 10-12 16,3 8,7 6,0 5 13-15 14,9 7,9 5,4 6 16-18 14,0 7,5 5,1 7 19-21 13,5 7,2 4,9 8 22-24 13,2 7,0 4,8 9 25-27 12,8 6,9 4,7

Sumber:Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 Tahun 2007.

Untuk satu orang siswa dibutuhkan luas lahan 0.75 m2, maka 7m x 8m (luas

lokal) = 56 m2. Selanjutnya 0.75 x 56 didapatkan 42 siswa per kelas. Selain itu faktor

kondisi fisik lahan sangat menentukan dalam pemilihan lokasi suatu sekolah. Yang termasuk dalam pembahasan kondisi fisik lahan adalah 1) kondisi topografi; 2) kondisi hidrologi dan 3) kondisi tanah; 4) bebas dari bencana alam. Lebih jelasnya mengenai kondisi fisik lahan diuraikan sebagai berikut:

(9)

1. Kondisi topografi

Menurut Widyasa (2001) mengemukakan bahwa semakin landai lahan maka akan semakin banyak aktivitas. Artinya bahwa untuk penentuan sebuah lokasi sekolah diutamakan didirikan pada lokasi yang landai. Hal ini sejalan dengan pendapat yang menyatakan bahwa kondisi topografi meliputi permukaan tanah yang relatif cukup datar, lahan sekolah relatif tidak berbukit, kemiringan permukaan tanah maksimal 10%, ketinggian lahan relatif masih wajar, lahan tidak dekat dengan lereng sungai dan dalam lokasi tidak terdapat tebing curam. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 24 Tahun 2007 disebutkan bahwa lahan sekolah kemiringan lahan rata-ratanya kurang dari 15%, tidak berada di dalam garis sempadan sungai dan jalur kereta api. Lahan bukan merupakan daerah hutan lindung, bukan merupakan daerah resapan air, bukan merupakan daerah cadangan air, bukan merupakan daerah purbakala dan bukan merupakan tempat keramat. 2. Kondisi hidrologi

Kondisi hidrologi lebih menyoroti keberadaan dan kondisi air pada lahan sekolah tersebut. Jika kondisi air kurang baik maka akan berakibat tidak baik pada seluruh warga sekolah. Sebab air yang ada pada lahan tersebut dipergunakan untuk: MCK dan keperluan lainnya. Selain itu lahan harus terhindar dari pencemaran air. Hal ini sesuai dengan Permendiknas No. 24 Tahun 2007 dan PP RI No. 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air.

(10)

3. Kondisi tanah

Kondisi tanah perlu diperhatikan karena berkaitan erat dengan tingkat kepekaan terhadap erosi. Ada beberapa kondisi tanah yang mempunyai kepekaan tinggi terhadap erosi ini, yaitu: regosol, litosol, organosol, dan renzina. Kepekaan terhadap erosi ini semakin rawan apabila tingkat kemiringan lahan makin curam karena menyebabkan aliran air di permukaan makin deras dengan daya angkut yang semakin banyak. Kondisi tanah yang ideal untuk lokasi sekolah adalah: berupa tanah darat atau tanah bekas kebun/ladang; lahan yang berupa tanah rawa/sawah atau bekas rawa/sawah harus siap bangun tanpa perlakuan khusus; lahan tidak berupa tanah bekas kuburan atau bekas timbunan sawah atau bekas limbah kimia.

Intinya bahwa lahan untuk sekolah harus mempunyai kondisi yang memungkinkan hidupnya vegetasi untuk kebun percobaan, kenyamanan dan keindahan. Tanah idealnya mencukupi seperti jenis tanah berupa bebatuan, kerikil, pasir dan lempung keras.

4. Kondisi tanah bebas dari bencana alam

Dalam perencanaan pembangunan sebuah sekolah perlu diperhatikan faktor alam sebagai salah satu faktor kenyamanan sekolah. Lahan yang digunakan untuk lokasi sekolah hendaknya terhindar dari gangguan binatang buas, berada di wilayah bebas banjir, tidak termasuk daerah atau lingkungan yang sering dilanda oleh angin puyuh atau topan (Depdiknas).

(11)

2.4. Faktor Pemilihan Lokasi Sekolah

Penentuan lokasi sebuah sekolah diutamakan untuk memperhatikan faktor-faktor berikut: faktor-faktor aksesibilitas; faktor-faktor pola distribusi; faktor-faktor kondisi lingkungan; lahan sekolah dan peta pendidikan.

2.4.1. Faktor Aksesibilitas

Menurut Robinson (2003) Aksesibilitas adalah kemudahan mencapai suatu wilayah dari wilayah lain yang berdekatan. Aksesibilitas (kemudahan jarak tempuh) akan mempengaruhi kestrategisan suatu lokasi, karena menyangkut kemudahan untuk menuju lokasi tersebut dari berbagai lokasi yang berada di sekitarnya atau wilayah lainnya. Menurut Chiara dalam Yuliantarti (2003), aksesibilitas yang baik merupakan salah satu faktor strategis dalam penentuan suatu lokasi sekolah karena akan mempermudah siswa atau peserta didik dari dan ke lokasi sekolah. Selain itu dikemukakan juga bahwa salah satu kriteria dalam pemilihan lokasi adalah tingkat daya hubung yang baik yakni ketersediaan angkutan umum, jaringan jalan, frekuensi keberangkatan dan jarak.

Faktor aksesibilitas ini dianalisis berdasarkan wilayah terdekat yang mampu diakses sesuai peta jaringan jalan berdasarkan batasan jarak atau waktu minimum yang diberikan antara tempat sekolah. Jarak tempuh maksimal tempat tinggal-sekolah berdasarkan standar yang berlaku di Indonesia dengan tidak membedakan transportasi yang dipilih dan kondisi jalan yang ditempuh. Indikator yang menentukan aksesibilitas ini, yaitu: kedekatan lokasi dengan jaringan transportasi dan kedekatan lokasi dengan pusat kota.

(12)

Menurut Srour (2003) dalam jurnalnya menyebutkan bahwa tingkat aksesibilitas adalah meminimumkan waktu tempuh (travel time). Dalam kondisi yang ideal bahwa suatu aksesibilitas yang baik di suatu lokasi diukur berdasarkan seberapa baik jaringan transportasinya pada lokasi tersebut terhubung dengan pusat-pusat kegiatan lainnya.

2.4.2. Faktor Pola Distribusi

Faktor pola distribusi dimaksudkan untuk menganalisis penyebaran sekolah dengan melihat kesesuaian terhadap persediaan-permintaan sekolah (supply-demand) sekolah. Proyeksi penduduk di masa yang akan datang dalam rangka mengetahui jumlah kebutuhan fasilitas SLTA juga akan dilakukan. Supply (jumlah daya tampung sekolah) dianalisis berdasarkan standar luas minimum sekolah, luas sekolah per siswa, jumlah siswa per kelas, serta jumlah siswa per guru sedangkan demand (kebutuhan) dianalisis berdasarkan jumlah penduduk usia sekolah menengah yakni 16-18 tahun. Analisis terhadap pola distribusi ini dilakukan untuk meminimalisir kesenjangan antarwilayah untuk rasio jumlah penduduk usia sekolah dengan jumlah sekolah, ketidakseimbangan antara kapasitas dan kebutuhan, serta keterbatasan lahan untuk pengembangan dan pembangunan sekolah.

Payung hukum untuk pola distribusi ini juga diatur di dalam standar nasional sarana dan prasarana pendidikan yang dimuat dalam Permendiknas Nomor 24 Tahun 2007 tentang Standar Sarana dan Prasarana untuk SD, SMP, SMA atau sederajat.

Pada satu sisi, secara kuantitas sekolah harus menjawab kebutuhan masyarakat yang senantiasa tumbuh dan secara kualitas sekolah dituntut mampu

(13)

memfasilitasi kegiatan belajar dengan standar yang terus meningkat. Pada sisi lain, sekolah harus “bersaing” dengan berbagai kepentingan dalam penggunaan lahan sebagai konsekuensi pertumbuhan penduduk dan kota, demografi mengalami perubahan dan kebutuhan ruang terus meningkat. Hal ini memicu terjadinya pelanggaran master plan dan perubahan tata guna lahan sehingga sedikit banyak mempengaruhi lingkungan sekolah.

2.5. Sistem Informasi Geografis (SIG)

Menurut Murai dalam Muhammad (2009) mengartikan Sistem Informasi Geografis (SIG) sebagai sistem informasi yang digunakan untuk memasukkan, menyimpan, memanggil kembali, mengolah, menganalisis dan menghasilkan data bereferensi geografis atau data geospatial, untuk mendukung pengambilan keputusan dalam perencanaan dan pengelolaan penggunaan lahan, sumber daya alam, lingkungan, transfortasi, fasilitas kota dan pelayanan umum lainnya. Walaupun SIG memiliki banyak definisi, pada prinsipnya penggunaan SIG tak lepas dari perangkat keras dan perangkat lunak komputer serta manajemen data dan informasi yang berhubungan dengan permukaan bumi dengan kemampuan visualisasi dan analisa unik yang digunakan untuk pemetaan.

SIG mempunyai kemampuan untuk menghubungkan berbagai data pada suatu titik tertentu di bumi, menggabungkannya, menganalisa dan akhirnya memetakan hasilnya. Data yang akan diolah pada SIG merupakan data spasial yaitu sebuah data yang berorientasi geografis dan merupakan lokasi yang memiliki sistem koordinat

(14)

tertentu, sebagai dasar referensinya. Sehingga aplikasi SIG dapat menjawab beberapa pertanyaan seperti; lokasi, kondisi, trend, pola dan pemodelan. Kemampuan inilah yang membedakan SIG dari sistem informasi lainnya (UNDP, 2007).

Kemampuan inilah yang membedakan SIG dengan Sistem Informasi lainnya yang membuatnya menjadi berguna untuk berbagai kalangan untuk menjelaskan kejadian, merencanakan strategi, dan memprediksi apa yang akan terjadi.

2.6. Perencanaan Pendidikan

Menurut Coombs dalam Sa’ud dan Makmun (2007) perencanaan pendidikan adalah suatu penerapan yang rasional dari analisis sistematis proses perkembangan pendidikan dengan tujuan agar pendidikan lebih efektif dan efisien serta sesuai dengan kebutuhan dan tujuan para peserta didik dan masyarakatnya. Sehingga masih menurutnya bahwa terdapat empat hal yang dibahas dalam perencanaan pendidikan yaitu: tujuan, bagaimana kondisi sistim pendidikan yang ada sekarang, kemungkinan pilihan alternatif kebijakan dan prioritas untuk mencapai tujuan dan strategi pencapaian tujuan.

Perencanaan pendidikan disusun berdasarkan situasi dan kondisi suatu negara yang bersangkutan dan mempersiapkan keputusan-keputusan atau alternatif kebijaksanaan untuk keperluan pembangunan pendidikan di masa depan merupakan fungsi dari perencanaan pendidikan (Enoch, 1992).

Menurut Sa’ud (2007), tujuan perencanaan pendidikan adalah menyusun kebijaksanaan dan menggariskan strategi pendidikan yang sesuai dengan kebijakan

(15)

pemerintah (menyusun alternatif dan prioritas kegiatan) yang menjadi dasar pelaksanaan pendidikan pada masa yang akan datang dalam upaya pencapaian sasaran pembangunan pendidikan.

Pemilihan lokasi sekolah pada suatu wilayah merupakan salah satu bentuk dari suatu perencanaan pendidikan. Pemilihan lokasi sekolah pada dasarnya memiliki konsep yang sama dengan pemilihan lokasi bangunan lain seperti pemilihan lokasi perumahan, pertokoan, industri, dan lain-lain, yang semuanya berhubungan erat dengan teori lokasi sebagai dasar ilmu dari perencanaan lokasi itu sendiri.

2.7. Penelitian Sebelumnya

Penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan oleh Tophan (2005) mengenai Pemodelan Sistem Informasi Geografis untuk Penentuan Lokasi Sekolah menyatakan bahwa:

1. Dengan adanya Sistem Informasi Geografis penentuan lokasi sekolah yang mudah dicapai dapat dianalisis dengan cepat.

2. Dengan adanya Sistem Informasi Geografis yang mampu melakukan analisis pemilihan suatu lokasi yang ideal, maka lokasi sekolah yang tepat dapat diperoleh dengan cepat dan akurat.

3. Penentuan lokasi sekolah dengan menggunakan metode konvensional memerlukan waktu yang cukup lama.

Harahap (1999) melakukan penelitian dengan judul Arahan Lokasi Fasilitas Pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di wilayah Bandung Timur

(16)

menyatakan bahwa: Analisis yang digunakan dalam studi ini ialah perhitungan kebutuhan dan sediaan fasilitas SLTP di setiap kelurahan. Kebutuhan fasilitas SLTP kelurahan yang melebihi sediaannya dianggap menggunakan fasilitas di kelurahan lain terdekat. Metode yang digunakan dalam perhitungan penggunaan fasilitas SLTP adalah metode p-median dan analisis peta dengan menggunakan ARC/INFO. Analisis dilakukan dalam dua periode waktu yaitu tahun 1998 dan 2004, karena lama pendidikan di SD 6 tahun. Hasil yang diperoleh dari studi ini ialah sebagai berikut. Terdapat tiga pola pengelompokan penggunaan fasilitas SLTP, yaitu kelompok Kelurahan/Desa Margasenang, Pasir Wangi dan Pasir Endah. Kebutuhan fasilitas SLTP baru pada periode pertama tahun 1998 ialah sembilan SLTP, yang dialokasikan untuk kelompok Kelurahan Margasenang, dua SLTP di Kujangsari. Untuk kelompok Kelurahan Pasir Wangi, dua SLTP di Pasanggrahan, satu SLTP di Cipadung, satu SLTP di Palasari dan satu SLTP di Ujungberung. Untuk kelompok Kelurahan Pasir Endah, satu SLTP di Antapani dan satu SLTP di Mandalajati. Kebutuhan terhadap fasilitas SLTP tahun 2004 ialah sebanyak 11 SLTP. Kelompok Margasenang memperoleh alokasi satu SLTP, ditempatkan di Cipamokolan. Kelompok Pasir Wangi memperoleh enam SLTP, satu SLTP di Mekarmulya, empat SLTP di Cipadung dan satu SLTP di Pasanggrahan. Kelompok Pasir Endah memperoleh alokasi empat SLTP, satu SLTP di Cisaranten Kulon, dua SLTP di Antapani dan satu SLTP di Mandalajati. Selain 1okasinya, diperoleh juga pola penggunaan fasilitas SLTP yaitu pemakaian sendiri, dan pemakaian bersama fasilitas SLTP oleh beberapa kelurahan. Jumlah SLTP yang dibutuhkan di wilayah Bandung Timur sampai tahun

(17)

2044 sebanyak 20 SLTP. Untuk memenuhi kebutuhan ini dapat dilakukan dengan beberapa alternatif, yaitu membangun 20 sekolah baru, penambahan ruangan kelas pada sekolah yang sudah ada, pemakaian SLTP dua kali sehari (dua shift) dan partisipasi swasta dalam menyediakan fasilitas pendidikan SLTP. Berdasarkan perbandingan hasil studi dengan perkiraan kebutuhan dalam RDTRK dan beberapa standar, dapat disimpulkan bahwa standar yang paling mendekati ialah perkiraan kebutuhan dalam RDTRK, sehingga perkiraan kebutuhan dalam RDTRK dapat diterapkan setelah disesuaikan dengan hasil studi ini. Penyesuaian dilakukan terutama dalam melihat kebutuhan fasilitas SLTP setiap kelurahan, sehingga pelayanan fasilitas SLTP menjadi lebih baik dan lebih mudah dijangkau penduduk.

Muharani (2003) melakukan penelitian dengan judul Evaluasi Distribusi Fasilitas Pendidikan Sekolah Dasar di Kecamatan Batununggal Kota Bandung dengan Memanfaatan Sistem Informasi Geografis.

Berdasarkan statistik pendidikan Kota Bandung, jumlah fasilitas (SD) di Kota Bandung telah dapat melayani seluruh kebutuhan di Kota Bandung dan juga melayani sebagian kebutuhan di luar Kota Bandung. Namun masih terdapat kecamatan-kecamatan yang memiliki penduduk usia 7-12 tahun yang tidak terlayani oleh fasilitas SD setempat. Tidak terlayaninya kebutuhan penduduk akan fasilitas SD ini disebabkan salah satunya oleh kurang meratanya distribusi sekolah. Dengan demikian, perlu dilakukan tinjauan evaluatif terhadap distribusi fasilitas SD di Kecamatan Batununggal. Untuk mengevaluasi distribusi fasilitas pendidikan SD ini dibutuhkan data dalam bentuk spasial untuk melihat persebaran fasilitas SD

(18)

di Kecamatan Batununggal. Data spasial yang dibutuhkan ini dapat ditampilkan dengan mengandalkan Sistem Informasi Geografis (SIG). Oleh karena itu pada studi ini digunakan perangkat SIG dalam mengevaluasi distribusi fasilitas pendidikan SD. Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi distribusi fasilitas pendidikan SD di Kecamatan Batununggal dengan memanfaatkan SIG. Selain kebutuhan yang ada, dalam penyediaan fasilitas SD perlu dipertimbangkan standar dan ketentuan yang mengaturnya. Dalam evaluasi distribusi fasilitas pendidikan SD ini dibentuk indikator-indikator berdasarkan kebutuhan serta standar dan ketentuan yang ada, yaitu: indikator pemenuhan kebutuhan penduduk, indikator daerah jangkauan layanan, indikator kesesuaian lokasi dan indikator aksesibilitas. Berdasarkan hasil studi, terdapat kelurahan-kelurahan di Kecamatan Batununggal yang tidak memiliki fasilitas SD dan terdapat bagian wilayah Kecamatan Batununggal yang dilayani oleh fasilitas di luar kecamatan, sediaan fasilitas pendidikan SD di Kecamatan Batununggal hanya dapat memenuhi 87% dari kebutuhan yang ada, distribusi fasilitas SD di Kecamatan Batununggal memiliki daerah jangkauan yang dapat mencakup seluruh wilayah kecamatan dan aksesibel terhadap jalur angkutan umum tetapi terdapat lokasi fasilitas SD yang tidak sesuai dengan standar dan ketentuan yang ada. Dengan demikian, berdasarkan hasil studi keseluruhan dapat ditarik kesimpulan bahwa distribusi fasilitas SD di Kecamatan Batununggal tidak merata dan tidak memenuhi kebutuhan dan ketentuan yang ada. Untuk itu, diperlukan penambahan fasilitas pendidikan SD dan suatu pengembangan pemanfaatan SIG dalam perencanaan maupun evaluasi fasilitas khususnya fasilitas SD. Untuk perencanaan

(19)

pembangunan fasilitas SD di masa yang akan datang sebaiknya dilakukan secara berkesinambungan dan perlu memperhatikan kebutuhan serta standar dan ketentuan yang ada, antara lain daerah jangkauan layanan, kesesuaian guna lahan dan jaringan jalan serta aksesibilitas.

Prihantini (2008) tentang Pendirian Lokasi Sekolah di Kota Salatiga dengan Memanfaatkan Sistem Informasi Geografis. Kriteria penentuan lokasi suatu SLTP adalah: 1) Peta Pendidikan. Peta pendidikan adalah jumlah kebutuhan sekolah dalam suatu wilayah yang dapat digunakan untuk menentukan lokasi sekolah yang tepat berdasarkan kepadatan penduduk dan jumlah usia sekolah. Untuk menghitung kepadatan penduduk adalah dengan menghitung jumlah penduduk mencapai kurang lebih 25.000 orang lulusan SD/MI mencapai 20 orang maka diperlukan 1 unit bangunan SMP/MTs. 2) Ketersediaan Dokumentasi Administrasi. Dalam menentukan lokasi sekolah perlu diperhatikan status hukum lahan sekolah yang bukan merupakan tanah sengketa/gugatan, sitaan atau dalam proses peradilan dan surat tanah yaitu bukti surat kepemilikian yang sah. Dokumen administrasi ini dapat berupa sertifikat tanah, girik atau akta. 3) Lahan Sekolah. Pendirian suatu lokasi sekolah harus memperhatikan rencana peruntukan lahan yang berupa advis planning, yaitu surat keterangan rencana tata kota atau kabupaten yang dibuat berdasarkan RDTR Kota yang meliputi: ketentuan penataan bangunan (koefisien dasar bangunan, koefisien luas bangunan, koefisien dasar hijau, garis sempadan bangunan, rencana jalan, dan tipe bangunan), peta lokasi tanah, data tanah, peruntukan. Pendirian suatu lokasi harus mendapatkan surat keterangan dari instansi terkait setempat yang menjelaskan

(20)

bahwa lokasi tanah tersebut tersebut sesuai dengan detail tata ruang dan dapat dibangun gedung sekolah baru.

Kurniati (2007) tentang Peran Sistem Informasi Geografis dalam Bidang Pendidikan disebutkan bahwa: peningkatan aksesibilitas pendidikan dapat dilakukan dengan adanya pemetaan sekolah yang apabila disinergikan dengan SIG akan diperoleh suatu sistem yang mampu mendata daerah atau wilayah mana saja yang belum terakses pendidikan secara baik sehingga dapat diberikan solusinya.

2.8. Kajian Mengenai Draft Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2010-2030 Kota Tanjungbalai

Tujuan penataan ruang wilayah Kota Tanjungbalai mencerminkan keterpaduan pembangunan antarsektor, antarkecamatan, dan antarpemangku kepentingan. Di masa yang akan datang tujuan penataan ruang Kota Tanjungbalai tidak akan terlepas dari peran, fungsi, dan kedudukannya dalam lingkup wilayah yang lebih luas. Untuk mendukung pengembangan peran dan fungsi Kota Tanjungbalai sebagai salah satu pengembangan pelabuhan nasional di Provinsi Sumatera Utara, maka tujuan penataan ruang Kota Tanjungbalai disesuaikan dengan visinya, yaitu:

“TERWUJUDNYA TANJUNGBALAI SEBAGAI KOTA PELABUHAN,

PUSAT PERDAGANGAN DAN INDUSTRI REGIONAL DENGAN

(21)

Pusat Pelayanan Kota

Pusat Pelayanan Kota (luas 282 Ha), meliputi: Kecamatan Tanjungbalai Utara dan Tanjungbalai Selatan. Fungsi utama PPK: sebagai pusat kegiatan perdagangan regional dan kawasan daerah aliran sungai (water front). Fungsi ini didukung oleh kegiatan jasa komersial, perbankan, perkantoran, pelayanan umum dan sosial, kawasan permukiman perkotaan, industri kecil dan pusat pendidikan.

Sub Pusat Pelayanan Kota (SPPK)

1. Sub Pusat Pelayanan Kota 1 (Kecamatan Datuk Bandar)

SPPK 1 (luas 2.249 Ha), pusat pelayanannya direncanakan di Kelurahan Sijambi. Fungsi utama SPPK 1 sebagai pengembangan zona pemerintahan, RTH skala kota. Fungsi ini didukung oleh kegiatan Permukiman, Pasar, Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dan pengembangan pelayanan kesehatan.

2. Sub Pusat Pelayanan Kota 2 (Kecamatan Datuk Bandar Timur)

SPPK 2 (luas 1.457 Ha), pusat pelayanannya direncanakan di Kelurahan Bunga Tanjung.

Fungsi utama SPPK 2 sebagai pengembangan Pariwisata dan Budidaya Pertanian dan Perikanan Darat. Fungsi kawasan ini didukung oleh kegiatan permukiman, perdagangan dan jasa serta pelayanan fasilitas umum dan sosial skala SPPK. 3. Sub Pusat Pelayanan Kota 3 (Kecamatan Sei Tualang Raso)

SPPK 3 (luas 809 Ha), pusat pelayanannya direncanakan di Kelurahan Muara Sentosa.

(22)

Fungsi utama SPPK 3 sebagai pengembangan permukiman, perkantoran dan pengembangan jaringan jalan lingkar utara serta kawasan industri terpadu dan pengembangan kawasan pendidikan (politeknik) dan rumah susun.

4. Sub Pusat Pelayanan Kota 4 (Kecamatan Teluk Nibung)

SPPK 4 (luas 1.255 Ha), pusat pelayanannya direncanakan di Kelurahan Kapias Pulau Buaya.

Fungsi utama SPPK 4 sebagai pengembangan pelabuhan dan kawasan zona eksport, kawasan pelabuhan perikanan.

2.9. Kajian Mengenai Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kota Tanjungbalai Tahun 2005-2025

Kondisi sarana dan prasarana sosial dasar baik pendidikan, kesehatan, perhubungan, perdagangan, peribadatan, telekomunikasi, listrik dan air minum di Kota Tanjungbalai relatif masih sangat terbatas baik sisi kualitas maupun kuantitas.

Di bidang pendidikan, tingkat pendidikan masyarakat cukup baik, namun masih terbatas dan belum meratanya pendidik baik secara kuantitas maupun kualitas serta tingkat kesejahteraan pendidik yang masih rendah. Demikian juga fasilitas belajar belum memadai termasuk buku-buku pelajaran dan sarana penunjang lainnya. Angka Partisipasi Sekolah (APS) di Kota Tanjungbalai tahun 2006 penduduk usia 7-12 tahun (kelompok SD sederajat) Kota Tanjungbalai tahun 2006 sebesar 98,74 persen, kemudian penduduk usia 13-15 tahun (kelompok SLTP sederajat) sebesar

(23)

87,97 persen, dan penduduk usia 16-18 tahun (kelompok SLTA sederajat) sebesar 69,34 persen.

Angka Partisipasi Kasar (APK) SD sederajat sebesar 108,05 berarti ada sekitar 8,05 persen ada penduduk usia di bawah 7 tahun atau di atas 8 tahun yang masih di jenjang pendidikan SD sederajat dan atau ada anak berasal dari luar Kota Tanjungbalai (kabupaten jiran) yang bersekolah di Kota Tanjungbalai. Sedangkan Angka Partisipasi Kasar SLTP sederajat sebesar 95,25 persen dan Angka Partisipasi Kasar SLTA sederajat sebesar 69,82 persen.

Angka Partisipasi Murni (APM) SD sederajat sebesar 93,84 persen dan SLTP sederajat sebesar 73,57 persen sedangkan Angka Partisipasi Murni SLTA sederajat hanya sebesar 59,44 persen. Masih terdapat angka buta huruf penduduk 10 tahun ke atas di Kota Tanjungbalai tahun 2006 sebesar 0,97 persen.

Salah satu langkah yang dapat diambil untuk memberantas buta huruf penduduk usia lanjut dengan menggalakkan pendidikan luar sekolah seperti program paket A, B dan C. Rata-rata lama sekolah di Kota Tanjungbalai tahun 2006 telah mencapai angka 8,8 tahun hampir mencapai sasaran yang diharapkan yakni program wajib belajar 12 tahun.

Pendidikan tertinggi yang ditamatkan penduduk Kota Tanjungbalai berumur 10 tahun ke atas terbesar adalah tamat SD/sederajat sebesar 31,68 persen sedang untuk perguruan tinggi masih rendah yaitu sebesar 2,93 persen. Jumlah murid per jenjang pendidikan pada tahun 2006 adalah 23.933 orang murid SD/MI, 9.183 orang murid SLTP/MTs, dan 7.354 orang murid SLTA/MA. Sedangkan ratio murid

(24)

terhadap guru untuk SD/MI adalah 23 orang, SLTP 16 orang dan SLTA/MA/SMK 14 orang. Hal ini secara umum menggambarkan ratio murid terhadap guru di Kota Tanjungbalai cukup memadai.

Fasilitas belajar belum memadai dan masih terbatasnya buku-buku pelajaran. Jumlah sekolah untuk berbagai tingkatan adalah sebanyak 140 unit yang terdiri dari SD/MI 92 unit, SLTP/MTs 28 unit dan SLTA/MA 20 unit.

Tingkat kecerdasan penduduk dapat dilihat dari ijazah tertinggi yang dimiliki atau tingkat pendidikan yang ditamatkan. Berdasarkan Angka Sementara tahun 2006 di Kota Tanjungbalai memperlihatkan bahwa penduduk usia 10 tahun ke atas yang tamat SD/sederajat sebesar 31,68 persen, dan yang tamat SMP/sederajat hanya 22,12 persen, sedangkan yang tamat SMU/sederajat dan di atasnya sebesar 27,55 persen. Hal ini menggambarkan bahwa kemampuan penduduk dari sisi pendidikan masih relatif rendah. Sementara tidak/belum tamat SD sebesar 18,65 persen. Penyebab utama rendahnya tingkat pendidikan adalah faktor ekonomi yang disusul oleh faktor geografis. Penduduk yang tidak dapat melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi umumnya berasal dari keluarga kurang mampu.

2.10. Kajian Mengenai Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Kota Tanjungbalai Tahun 2006-2011

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kota Tanjungbalai (RPJM) merupakan pedoman dan acuan bagi Dinas, Badan, Kantor dan Bagian Setdakot dalam menyusun Rencana Strategis Dinas, Badan, Kantor dan Bagian Setdakot

(25)

di lingkungan Pemerintah Kota Tanjungbalai. Di samping itu Rencana Pembangunan Jangka Menengah merupakan acuan bagi Pemerintah Kota di dalam menyusun Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD).

Pemenuhan Hak Atas Layanan Pendidikan

Untuk memenuhi hak masyarakat miskin dalam memperoleh layanan pendidikan bebas biaya dan bermutu, tanpa diskriminasi gender dilakukan melalui program-program diantaranya:

Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun

a. Penyediaan sarana dan prasarana pendidikan yang berkualitas, terutama untuk daerah perluasan, dalam bentuk block grant atau imbal swadaya bagi satuan pendidikan dasar. Meningkatkan mutu pelayanan pendidikan termasuk subsidi atau beasiswa bagi peserta didik yang berasal dari keluarga tidak mampu tanpa diskriminasi gender;

b. Penyediaan berbagai alternatif layanan pendidikan dasar baik melalui jalur formal maupun non formal untuk memenuhi kebutuhan, kondisi, dan potensi anak bagi peserta didik dengan kemampuan berbeda (diffuble), tanpa diskriminasi gender;

c. Penyediaan berbagai alternatif layanan pendidikan dasar melalui pendidikan formal dan non formal yang memenuhi kebutuhan, kondisi dan potensi anak, untuk memenuhi kebutuhan penduduk miskin, serta pemberian perhatian bagi peserta didik yang memiliki kesulitan mengikuti proses pembelajaran;

(26)

d. Peningkatan upaya penarikan kembali siswa putus sekolah dan lulusan SD/MI yang tidak melanjutkan, serta mengoptimalkan upaya menurunkan angka putus sekolah tanpa diskriminasi gender melalui penyediaan bantuan biaya pendidikan seperti beasiswa atau voucher pendidikan dan perluasan perbaikan gizi anak sekolah;

e. Pengembangan kurikulum pengembangan pendidikan kecakapan hidup sesuai kebutuhan peserta didik, masyarakat dan industri termasuk dasar-dasar kecakapan vokasi untuk peserta didik yang tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah;

f. Penyediaan materi pendidikan, termasuk buku pelajaran dan buku bacaan guna meningkatkan pemahaman peserta didik terhadap ilmu pengetahuan yang dipelajari; dan

g. Pembebasan secara bertahap berbagai pungutan, iuran, sumbangan apapun yang berbentuk uang dari keluarga miskin.

Pendidikan Menengah

a. Penyediaan sarana dan prasarana pendidikan disertai dengan penyediaan pendidik dan tenaga kependidikan secara lebih merata, bermutu, tepat lokasi, disertai dengan rehabilitasi dan revitalisasi sarana dan prasarana yang rusak. Penyediaan biaya operasional pendidikan dan/atau subsidi/hibah dalam bentuk blockgrant atau imbal swadaya bagi satuan pendidikan menengah. Meningkatkan mutu pelayanan pendidikan seperti subsidi atau beasiswa bagi

(27)

peserta didik yang berasal dari keluarga tidak mampu tanpa diskriminasi gender;

b. Pengembangan kurikulum termasuk kurikulum pendidikan kecakapan hidup peserta didik, masyarakat dan industri termasuk kecapakan vokasi untuk peserta didik yang tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi;

c. Penataan bidang keahlian pendidikan menengah kejuruan yang disesuaikan dengan kebutuhan lapangan kerja, didukung oleh upaya meningkatkan kerjasama dengan dunia usaha dan dunia industri;

d. Penyediaan layanan pendidikan baik umum maupun kejuruan bagi siswa SMA/MA/SMK yang tidak dapat melanjutkan ke pendidikan tinggi melalui penyediaan tambahan fasilitas dan program antara (bridging program) pada sekolah/madrasah yang ada dan/atau melalui kerjasama antarsatuan pendidikan baik formal maupun non formal; dan

e. Penyediaan berbagai alternatif layanan pendidikan menengah baik formal maupun non formal untuk menampung kebutuhan penduduk miskin.

(28)

Sekolah Lanjutan Tingkat Atas di kota Tanjungbalai

Jangkauan Pelayanan Aksesibilitas Tata Guna Lahan

Kebutuhan SLTA Tahun 2030

Peta Lokasi Sekolah (Rencana dan Existing)

di Kota Tanjungbalai

2.11. Kerangka Berfikir

Gambar

Tabel 2.1. Standar Jarak dalam Kota
Tabel  2.2.  Standar  Perencanaan  Kebutuhan  Sarana  Kota  Cipta  Karya  untuk  Perumahan Sederhana
Tabel  2.4.  Standar  Perencanaan  Kebutuhan  Sarana  Pendidikan  Cipta  Karya  Departemen PU
Tabel 2.5. Rasio Minimum Luas Lahan terhadap Peserta Didik  Rasio Minimum Luas Lahan terhadap
+2

Referensi

Dokumen terkait

Jenis Serangga apa sajakah yang ditemukan di wilayah sekitar pantai Drini?.. Bagaimana klasifikasi dan ciri serangga yang telah didapatkan di wilayah sekitar

Kadar glukosa darah ke-1 adalah kadar glukosa awal yang digunakan dalam penelitian, semua responden baik kelompok intervensi maupun kelompok kontrol dilakukan

Bagi para Turis Lokal maupun Turis Mancanegara yang datang berkunjung ke Kabupaten Karo, dengan adanya tampilan bangunan Rumah tinggal suku Karo, mereka dapat merasakan nuansa

Bentuk pencegahan yang dilakukan misalnya dengan membentuk SMS center dan satuan tugas (satgas) anti narkoba agar masyarakat dapat melaporkan permasalahan terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengestimasi pengaruh dari volatilitas nilai tukar terhadap ekspor Indonesia dengan tiga negara mitra ekspor utama yaitu Jepang, Amerika

Langkah- langkah yang dilakukan sebelum verifikasi dosis radiasi adalah menentukan faktor kalibrasi TLD-100, mengukur dosis radiasi permukaan pasien kanker payudara

Dengan demikian metode kuantitatif dapat diartikan sebagai metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau

berbahaslah dengan mereka (yang engkau serukan itu) dengan cara yang lebih baik; sesungguhnya Tuhanmu Dia lah jua yang lebih mengetahui akan orang yang sesat dari jalanNya, dan Dia